BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Toxoplasma gondii adalah parasit protozoa yang ditemukan di seluruh dunia (Aiello, 1997; Dubey, 2010). Parasit ini dapat menginfeksi hampir semua hewan berdarah panas, termasuk satwa liar, hewan domestik, dan manusia (Molina and Ridley-Dash, 2008; Thompson, 2009); Dubey, 2010). Toxoplasma pertama kali diisolasi oleh Sabin dan Olitsky pada tahun 1937 yang membuktikan infeksi pada hewan yang mirip dengan infeksi pada manusia (De Camps et al., 2008). Parasit ini merupakan parasit intraseluler yang menginfeksi hampir semua sel berinti dan jaringan-jaringan tubuh, terutama jaringan usus, otot, dan mungkin termasuk otak dan hati (Quinn dan McCraw, 1972; Dubey, 1986). Parasit ini penting baik bagi dunia kedokteran manusia maupun kedokteran hewan, sehingga perlu dipelajari dan diteliti karena banyak hal yang belum terungkap. Toksoplasmosis merupakan salah satu dari penyakit zoonosis, yang disebabkan oleh parasit protozoa T. gondii. Pada manusia, toksoplasmosis selalu menghantui kaum wanita dan terutama ibu-ibu yang sedang hamil. Apabila toksoplasmosis terjadi secara kongenital dapat menyebabkan gangguan pada bayi berupa abortus, korioretinitis, hidrosefalus, mikrosefalus, gangguan psikologis, gangguan perkembangan mental pada anak setelah lahir dan kejang-kejang. Pada hewan, toksoplasmosis banyak menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak kalah pentingnya, karena dapat menyebabkan abortus, kematian dini dan kelainan 1
2
kongenital. Hewan memegang peranan yang sangat penting sebagai salah satu bentuk penularan (Nurcahyo, 2011). Infeksi maternal akut juga dapat menyebabkan hilangnya janin atau kematian neonatus (McLeod et al., 2001; Brughattas et al., 2011). Toksoplasmosis tidak menunjukkan gejala spesifik pada kucing domestik yang kelihatannya sehat, tetapi dapat menyebabkan penyakit yang parah dan menujukkan gejala klinis antara lain pada neonatus, geriatrik dan hewan immunocompromised (De Camps et al., 2008; Dubey, 2010; Elmore et al., 2010). Gejala dapat berkisar mulai dari asimtomatik, sampai menunjukkan tanda-tanda klinis yang serius, termasuk ensefalitis, meningitis, aborsi dan lahir mati, tergantung pada tahap sista infektif dan keadaan dari sistem kekebalan hospes, dan juga menyebabkan retinitis, dan miokarditis ((De Camps et al., 2008;Blader dan Saeij., 2009; Elmore et al., 2010). Pada kucing jarang mengalami toksoplasmosis dengan gejala yang serius. Fellidae, menjadi satu-satunya hospes definitif yang mampu mengeluarkan oosista yang tahan terhadap lingkungan melalui feses, dan berperan sangat penting dalam menyebarkan penyakit ini ke hospes lain, termasuk manusia (Wolfe, 2003; Dubey, 2010; Loss et al., 2013). Kucing domestik dan fellidae lainnya sebagai hospes definitif utama penyebab infeksi Toxoplasma. Secara umum diasumsikan bahwa kucing memainkan peran utama dalam transmisi T. gondii melalui kontaminasi feses di tanah, makanan atau air, karena kucing dapat mengeluarkan jutaan oosista dalam waktu singkat yaitu (1-2 minggu) (Dubey, 2008). Umumnya oosista diproduksi
3
tidak lama setelah kucing terinfeksi
awal oleh parasit dan meningkat dalam
bulan-bulan awal infeksi (Elmore et al., 2010). Oosista dikeluarkan umumnya berlangsung tidak lebih dari 21 hari (Lappin et al., 2010), meskipun bisa kambuh pada penderita yang imunosupresif (Malmasi et al., 2008). Oosista T. gondii telah terdeteksi dalam feses kurang dari 1% (Dubey dan Beattie, 1988). Kebanyakan hewan karnivora terinfeksi karena mengkonsumsi daging yang mengandung bradizoit dalam sista jaringan (Greene, 2006; Dubey, 2008). T. gondii dapat menginfeksi berbagai hospes, namun hanya anggota dari keluarga fellidae sebagai hospes definitif (Little, 2008). Manusia dapat terinfeksi T. gondii terutama karena memakan daging mentah yang mengandung sista jaringan atau memakan makanan atau meminum air yang terkontaminasi oosista dari feses kucing yang terinfeksi. Oosista T. gondii dikeluarkan dalam jumlah besar baik dari kucing domestik maupun fellidae lainnya setelah memakan mangsa atau minum air yang terkontaminasi. Oosista akan masak (matang) di lingkungan dan akan disebarkan ke tempat lain melalui hujan dan rembesan air di permukaan, sehingga kontaminasi akan menyebar secara luas di lingkungan (Dubey, 2010). Anak kucing kemungkinan merupakan sumber utama kontaminasi karena umumnya menghasilkan sejumlah besar oosista. Oosista diproduksi oleh T. gondii hanya melalui reproduksi seksual pada hospes definitif yaitu kucing (Elmore et al., 2010). Oosista berada
dalam feses kucing dan bisa bertahan hidup di
tanah dan air selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun (Lélu et al., 2012). Faktor-faktor yang berpotensi terhadap terjadinya toksoplasmosis pada
4
manusia adalah kontak dengan kucing dan kotoran kucing. Keluarga yang memiliki hanya satu kucing dapat meningkatkan risiko toksoplasmosis, tetapi yang memiliki 3 atau lebih anak kucing membuat seorang individu kemungkinan terinfeksi lebih besar terhadap T. gondii (Jones dan Dubey., 2010). Infeksi
T.
gondii telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
utama dalam beberapa tahun terakhir karena dapat menyebabkan pandemik HIV/AIDS pada penderita imunosupresif (Lindstrom et al., 2006 ; Uneke et al., 2007). Peran oosista sebagai sumber penularan potensial untuk terjadinya infeksi harus dipertimbangkan untuk studi epidemiologi dimasa yang akan datang (Tenter, 2009). Penelitian yang telah dilakukan oleh Dubey dan Beattie (1998) di Iran, ditemukan sejumlah besar kucing di jalan-jalan perumahan dan diduga bahwa hal ini dapat meningkatkan terjadinya resiko penyakit toksoplasmosis bagi manusia dan binatang lain. Masalah ini menjadi penting karena T. gondii berpotensi sebagai sumber zoonosis. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa tingkat prevalensi antibodi T. gondii pada populasi kucing cukup bervariasi mulai dari 0 sampai 100%. Hal ini sangat tergantung pada metode, jumlah hewan yang diteliti dan wilayah geografis. Penelitian tentang toksoplasmosis di Indonesia sudah banyak dilakukan dengan fokus penelitian pada pemeriksaan hospes intermedier, sedangkan untuk penelitian yang terkait dengan kucing sebagai hospes definitif masih jarang dilakukan. Toksoplasmosis pada hospes intermedier seperti pada kambing dan domba memegang peranan yang sangat penting, mengingat kasus abortus yang banyak terjadi terutama pada domba. Kasus Toksoplasmosis pertama kali di
5
Indonesia diteliti oleh Oemijati dan Bentari (1965) seperti dikutip oleh Hartono (1990) yang mengadakan penelitian tes kulit pada 862 orang yang mewakili populasi tersebar di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar. Hasil menunjukkan bahwa 27,4 % positif terkena toksoplasmosis dan persentasi tertinggi adalah 37,4 % di Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian secara serologis yang telah dilakukan oleh Ma’roef dan Soemantri (2003) tingkat seropositif 72,7 % pada kucing di Jakarta. Hanafiah et al. (2006) angka prevalensi toksoplasmosis pada masyarakat di Banda Aceh sebesar 3,15 %, sedangkan pada kucing 16,00 %. Beberapa hasil studi yang telah dilakukan di Iran menunjukkan bahwa prevalensi Toxoplasma pada kucing cukup tinggi. Sebagai contoh, studi prevalensi Toxoplasma di Sari menunjukkan tingkat prevalensi antibodi IgG (LAT titer ≥ 1:1) pada kucing liar sebesar 40%, tergantung pada wilayah (Sharif et al., 2009). Dalam studi lain di Teheran, diperoleh tingkat prevalensi pada kucing liar sebesar 90% dan 36% pada kucing rumah tangga yang positif antibodi Toxoplasma (Haddadzadeh et al., 2006). Antibodi Toxoplasma ditemukan pada 49,6% pada orang sehat dibandingkan dengan 72,3% pada yang diduga sakit di daerah Ahvaz (Hoghooghi-Rad dan Afraa, 1993). Tingkat infeksi T. gondii yang terjadi secara keseluruhan pada kucing di wilayah Kerman adalah 32,1% (Akhtardanesh et al., 2010). Diagnosa toksoplasmosis secara klinis sangat sulit ditegakkan karena penyakit ini bersifat asimtomatis atau subklinis pada infeksi kronis, terutama pada hospes imunokompeten. Pada kucing, toksoplasmosis yang diinduksi secara eksperimental menunjukkan 80 % subklinis (Lappin, 1994). Diagnosis dan
6
manajemen secara klinis merupakan masalah besar di bidang kedokteran hewan ataupun manusia karena belum tersedianya uji diagnostik yang akurat, murah dan sederhana, serta belum ada pengobatan yang efektif (Dubey, 1991). Pemeriksaan data gambaran laboratoris baik data gambaran darah rutin, data klinis dan fisik dari kucing yang terinfeksi oleh toksoplasmosis serta faktorfaktor yang berpengaruh terhadap kemunculan Toxoplasma telah dilakukan kajian. Kucing sebagai sumber infeksi utama dari mana dan apa saja faktor yang mempengaruhi sehingga kucing bisa terkena Toxoplasma belum pernah dilakukan. Diagnosis konvensional untuk deteksi toksoplasmosis seperti dengan cara isolasi Toxoplasma gondii pada hewan laboratorium memerlukan waktu lama, material yang banyak dan organisme harus hidup. Dengan teknik biakan jaringan, T. gondii masih sulit untuk dibedakan dengan protozoa lain, seperti Neospora caninum, meskipun dapat dibedakan secara imunologik (Dubey, 1999). Diagnosis toksoplasmosis pada saat hospes masih hidup (antemortem) sulit dilakukan dan pada umumnya tergantung pada peningkatan titer antibodi serum dan gejala klinis. Meskipun demikian, penentuan titer antibodi adalah hanya sebagai diagnosis presumptif dan tidak dapat dijadikan sebagai diagnosis definitif (Stiles et al., 1996). Metode standar untuk diagnostik toksoplasmosis pada umumnya didasarkan pada uji serologi namun hasil pemeriksaan tersebut sangat sulit untuk diterapkan pada ternak yang menderita immunocompromise, dan pada foetus. Beberapa metode laboratorium telah dikembangkan untuk mendeteksi adanya
7
antibodi T. gondii dalam serum kucing yang terinfeksi seperti ELISA (EnzymeLinked Immunosorbent Assay), LAT (lateks aglutinasi test), IHA (indirect hemaglutination),
IFAT
(indirect
fluorescent
antibodi
tes)
dan
immunochromatography (IC) (Zhang et al., 2009). Uji serologis Card Aglutination Test (CATT) dan Anigen Rapid Feline Antibodi Toxo untuk pemeriksaan seropositif toksoplasmosis pada kucing digunakan pada penelitian ini. Alat deteksi Anigen Rapid Feline Toxoplasma Ab merupakan alat uji yang bekerja dengan prinsip imunologis-kromatografi untuk mendeteksi antibodi yang melawan T. gondii pada serum darah kucing, plasma darah atau darah secara keseluruhan. Toxoplasma gondii di dalam tubuh kucing
berkembang secara
intraintestinal (di dalam jaringan usus) dan ekstraintestinal (di luar jaringan usus). Di dalam usus kucing, Toxoplasma berkembang membentuk stadium yang disebut oosista. Oosista ini dikeluarkan bersama dengan feses dan dapat menjadi sumber penularan bagi makhluk hidup lainnya, seperti tikus, kambing, domba, dan manusia (Dubey, 2010). Untuk mengetahui tempat dimana oosista dihasilkan pada usus maka perlu dilakukan nekropsi kucing dengan melakukan pemeriksaan secara histologis rutin yang diwarnai dengan hematoksilin dan eosin (H&E) dan juga untuk mengetahui ada tidaknya stadium perkembangan dari Toxoplasma. Distribusi antigen Toxoplasma dalam jaringan tubuh kucing untuk ditemukan kemungkinan tidak mudah, untuk mengatasi beberapa masalah pada metode konvensional, maka dikembangkan metode diagnosis lain seperti pengembangan metode diagnosis dengan pendekatan metode imunohistokimia.
8
Imunohistokimia (IHK) merupakan metode deteksi protein atau imunogen dalam jaringan dengan prinsip reaksi imunologi melalui deteksi ikatan antigen dan antibodi. Imunohistokimia mempunyai nilai lebih dibandingkan metode imunologi lainnya, seperti Western Blot, ELISA dan PCR yaitu pendeteksian insitu, yaitu dapat menentukan lokasi protein yang diidentifikasi (Santos et al., 2009). Metode imunohistokimia yang banyak digunakan dan sangat sensitif adalah metode avidin biotin atau disebut metode Avidin Biotin Complex (ABC). Metode ini merupakan modifikasi dari metode tidak langsung, namun antigen yang telah berikatan langsung dengan antibodi primer, selanjutnya antibodi primer berikatan
dengan
antibodi
sekunder
yang
telah
mengalami
biotinilasi
(terkonjugasi dengan biotin). Pada setiap ujung tangan antibodi sekunder telah terkonjugasi dengan biotin yang dapat mengikat molekul avidin dengan meneteskan larutan kompleks avidin biotin, maka antibodi sekunder membentuk kompleks dengan avidin melalui biotin. Biotin pada ABC diikatkan dengan peroksidase dan enzim tersebut divisualisasikan melalui ikatan dengan substrat yang telah diberi kromogen (Bionisch, 2001). Metode diagnosis untuk toksoplasmosis secara molekular seperti reaksi berantai polimerase (PCR) yang sederhana, sensitif, telah diproduksi dan dapat diterapkan pada semua sampel klinis (Bell dan Ranford-Cartwright, 2002; Contini et al., 2005; Calderaro et al., 2006; Bastien et al., 2007). Diagnosis PCR konvensional, pada awalnya merupakan metode deteksi molekular yang menjadi pilihan untuk sebagian besar laboratorium yang bekerja dalam
mendiagnosa
9
toksoplasmosis (Lavrard et al., 1995). Untuk meningkatkan sensitivitas diagnostik molekular toksoplasmosis juga telah diperkenalkan yaitu nested PCR, meskipun dalam beberapa tahun terakhir real-time PCR telah menunjukkan sensitivitas serta spesifisitas yang jauh lebih tinggi (Edvinsson et al., 2006). Deteksi Real-time PCR juga memiliki kemampuan untuk menghitung kuantifikasi T. gondii dalam sampel biologis (Djurković-Djaković et al., 2012). Diagnosa molekular toksoplasmosis umumnya didasarkan pada deteksi urutan DNA spesifik, menggunakan tes dan protokol yang berbeda, sebagian besar menggunakan gen B1 dengan jumlah kopi sebanyak 35 kali dalam genom, fragmen DNA repetitif 529 bp yang memiliki jumlah lebih dari 200-300 kopi dalam genom, ITS-1 (internal transcribed spacer) yang berisi 110 kopi gen dan 18S rDNA urutan gen. Protokol PCR kualitatif untuk mendeteksi copy gen tunggal seperti gen P30 kurang sensitif dan jarang digunakan untuk tujuan diagnostik (Jones et al., 2000). Selain pemeriksaan DNA juga bisa dilakukan pemeriksaan antigen T. gondii yang berguna untuk membuat diagnosis toksoplasmosis pada keadaan imunosupresif dan infeksi kongenital (Knapen, 1984). Pengembangan metode koprodiagnostik berbasis molekular diharapkan dapat digunakan untuk mendeteksi parasit T. gondii (Abassi et al., 2003). Pada penelitian ini telah dicoba metode PCR dengan menggunakan sekuen repetitif 529 bp untuk mendeteksi oosista T. gondii dalam feses kucing. Hal ini dilakukan untuk mencari metode alternatif dalam mendeteksi infeksi parasit pada feses dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi.
10
B. Permasalahan Masalah Umum Dari
latar
belakang
yang
telah
dijabarkan
sebelumnya
timbul
permasalahan apakah metode koprodiagnosis berbasis molekular dapat digunakan sebagai alat deteksi toksoplasmosis pada kucing.
Masalah Khusus Lebih lanjut dalam kajian toksoplasmosis ini timbul beberapa masalah khusus diantaranya adalah : 1.
Apakah terdapat perbedaan hasil pemeriksaan berdasarkan hasil uji mikroskopis (metode sentrifus), uji serologis (CATT Pastorex Toxo dan Anigen Rapid Feline Antibodi Toxo), histopatologis, imunohistokimia dan molekular.
2.
Apakah antigen Toxoplasma dijumpai secara keseluruhan atau hanya sebagian pada organ tempat oosista di hasilkan.
3.
Bagaimana data gambaran laboratoris (data gambaran darah rutin, data klinis dan fisik) serta faktor-faktor pada kucing yang teridentifikasi menderita toksoplasmosis.
4.
Apakah sekuen repetitif 529 bp dapat digunakan untuk mendeteksi oosista T. gondii dalam feses kucing.
11
C. Tujuan Penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Melihat perbedaan hasil pemeriksaan berdasarkan hasil uji mikroskopis (metode sentrifus), uji serologis (CATT Pastorex Toxo dan Anigen Rapid Feline Antibodi Toxo), histopatologis, imunohistokimia dan molekular 2. Melihat distribusi antigen Toxoplasma pada jaringan usus halus tempat oosista di hasilkan 3.
Menyusun data gambaran laboratoris (data gambaran darah rutin, data klinis dan fisik) serta faktor-faktor pada kucing yang teridentifikasi menderita toksoplasmosis.
4. Mengetahui
apakah sekuen repetitif 529 bp dapat digunakan untuk
mendeteksi oosista T. gondii dalam feses kucing.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari Penelitian ini diharapkan: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dalam tindakan pencegahan toksoplasmosis pada hewan dan manusia berbasis pada data hasil uji mikroskopis, uji serologis, histopatologis, imunohistokimia dan molekular. 2. Dengan terlihat distribusi antigen Toxoplasma pada jaringan usus halus tempat oosista dihasilkan, maka dapat memberikan kemudahan dalam mendeteksi tempat oosista dihasilkan secara mikroskopik. 3. Dengan adanya data gambaran laboratoris (data gambaran darah rutin, data klinis dan fisik) serta faktor-faktor pada kucing yang teridentifikasi menderita
12
toksoplasmosis diharapkan dapat dipakai sebagai referensi dasar dalam tindakan diagnosa terhadap dugaan terjadinya toksoplasmosis. 4.
Memberikan gambaran bahwa sekuen repetitif 529 bp dapat digunakan untuk mendeteksi oosista T. gondii dalam feses kucing.
E. Keaslian dan Kedalaman Penelitian Diagnosis toksoplasmosis saat ini relatif sudah banyak dikembangkan, baik secara serologis maupun molekular. Peneliti sebelumnya Jones et al., (2000), Sumartono (2007), Kasper et al., (2009), Alfonso et al., (2009), Wu et al., (2009) dan Pratama (2009), lebih banyak memfokuskan pada penggunanaan takizoit dan bradizoit T. gondii sebagai bahan diagnostik molekuler dalam kajian penelitiannya. Beberapa penelitian berbasis molekular seperti PCR telah dikembangkan untuk deteksi DNA dari T. gondii dan target yang paling umum adalah gen repetitif B1, gen P30 (SAG1) atau rDNA. Harold et al. (2007) telah melakukan deteksi DNA oosista T. gondii
pada sampel feses menggunakan PCR
menggunakan sekuen repetitif 529 bp. Yang et al. (2009) juga telah melakukan penelitian menggunakan real time PCR menggunakan gen B1 dan sekuen repetitif 529 bp untuk mendeteksi takizoit dan oosista T. gondii dalam sampel air. Diagnosis secara molekular dengan menggunakan PCR sebagai metode diagnosis toksoplasmosis ternyata memberikan akurasi yang tinggi (spesifisitas 100 % dan sensitivitas 97,4 % (Hohfieald et al., 1994; Chiabchalard et al., 2005). Diagnosis molekular bertujuan untuk menentukan keberadaan parasit, sedangkan
13
diagnosis serologis bertujuan untuk evaluasi respon imun dan penetapan status infeksi (Subekti et al., 2005) Dalam penelitian ini dilakukan deteksi DNA Toxoplasma pada feses, darah dan organ kucing menggunakan metode molekular maupun antigen Toxoplasma pada organ kucing yang sepanjang pengetahuan penulis belum banyak dilakukan di Indonesia terutama pemeriksaan pada hospes definitif yaitu kucing dengan menggunakan beberapa metode secara komprehensif
dan
bersamaan dalam penentuan diagnosa meliputi pemeriksaan koprodiagnosis, serologis, imunohistokimia dan molekular toksoplasmosis secara bersamaan. Nurcahyo (2013) sudah melakukan penelitian terkait pengembangan metode koprodiagnosa untuk mendeteksi toksoplasmosis pada kucing sebagai upaya pencegahan penularan pada manusia, namun masih terbatas pada molekular deteksi PCR saja dan belum sampai pada tahapan sekuensing DNA dan juga imunohistokimia dari organ-organ dari kucing baik yang secara serologis positif maupun yang diinfeksikan Toxoplasma. Selain itu, selama ini berdasarkan teori menyebutkan bahwa oosista Toxoplasma dihasilkan di usus halus kucing, namun tempat yang spesifiknya belum ada yang menjelaskan, maka pada penelitian ini dilakukan kajian untuk melihat dimana sebenarnya oosista berada di bagian dari usus halus. Metode koprodiagnostik untuk kucing yang terinfeksi T. gondii merupakan metode konvensional yang hanya didasarkan pada identifikasi oosista menggunakan mikroskop cahaya atau dengan bioassay. Penggunaan mikroskop pada metode ini pertama tidak sensitif dan juga tidak dapat membedakan antara
14
oosista Toxoplasma dengan parasit koksidia lain pada kucing. Penggunaan metode bioassay prosesnya lebih rumit, dan memakan waktu lama. Peneliti telah melakukan kajian pada kucing secara komprehensif untuk mengetahui masalah toksoplasmosis baik itu secara koprodiagnosis, serologis, imunohistokima dan molekular secara PCR menggunakan sekuen repetitif 529 bp untuk mendeteksi oosista T. gondii dalam feses kucing.