1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom Waardenburg (SW) adalah kumpulan kondisi genetik yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan perubahan warna (pigmentasi) dari rambut, kulit dan mata. Pada sindrom Waardenburg terdapat gangguan pendengaran sedang sampai sangat berat dan dapat terjadi pada satu atau kedua telinga. Hilangnya pendengaran dapat terjadi sejak lahir (kongenital). Individu dengan kondisi ini, sering memiliki mata biru yang sangat pucat atau mata dengan warna yang berbeda, misalnya satu mata biru dan satu mata coklat. Kadang-kadang satu mata memiliki dua segmen warna yang berbeda. Perbedaan warna rambut (seperti sekelompok rambut putih atau rambut yang secara dini berubah warna abuabu) merupakan tanda umum lain dari sindrom Waardenburg. Gambaran dari sindrom Waardenburg bervariasi diantara individu yang terkena, bahkan diantara orang-orang dalam keluarga yang sama.1,2 Sindrom Waardenburg diperkirakan mengenai 1 dari 40.000-50.000 orang dan menyumbang sebesar 2 dari 5 persen dari keseluruhan kasus gangguan pendengaran kongenital.4 Terdapat empat tipe sindrom Waardenburg, yaitu sindrom Waardenburg tipe I yang mempunyai ciri klinis dystopia canthorum dan broad nasal root, tipe II mempunyai ciri klinis yang hampir mirip dengan tipe I, tetapi tidak didapatkan dystopia canthorum, tipe III (Sindrom Klein-Waardenburg), merupakan bentuk yang lebih berat tipe I, yang dihubungkan dengan kelainan pada ekstremitas atas, sedangkan tipe IV (Sindrom Shah-Waardenburg) yang dihubungkan dengan penyakit Hirschprung. Tipe I dan II merupakan sindrom yang paling umum, sedangkan tipe III dan IV jarang terjadi. Tipe IV merupakan kasus yang jarang, hanya 48 kasus yang pernah dilaporkan sampai dengan tahun 2002.3,5 Sekitar 1 dari 30 siswa di sekolah-sekolah untuk anak dengan gangguan pendengaran memiliki sindrom Waardenburg. Semua ras dan kedua jenis kelamin dipengaruhi secara sama. Angka prevalensi yang tepat sulit didapatkan karena gambaran klinis dari sindrom ini sangat bervariasi.8,10 Atrofi serebri menggambarkan keadaan berkurangnya atau hilangnya sel-sel otak dan adanya kerusakan diantara sel-sel tersebut, atau sering disebut dengan mengecilnya ukuran otak. Atrofi serebri dapat terjadi pada seluruh bagian otak atau hanya pada bagian tertentu
2
saja dan dapat menyebabkan berkurangnya massa otak dan hilangnya fungsi neurologis. Atrofi serebri dapat terjadi oleh karena adanya cedera otak atau pada penyakit-penyakit neurologis, seperti pada cerebral palsy dan penyakit Huntington. Infeksi otak juga dapat menyebabkan kematian pada sel-sel otak dan atrofi serebri.15 Tergantung dari penyebabnya, atrofi serebri dapat berkembang sangat lambat atau sangat cepat. Atrofi serebri merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa dan belum ada terapi untuk atrofi serebri. Pengobatan ditujukan kepada pengobatan gejala dan komplikasi penyakit yang mungkin timbul. Adapun gejala-gejala dari atrofi serebri, antara lain kehilangan ingatan, kejang, kehilangan kontrol motorik dan kesulitan berbicara maupun membaca. Pada anak-anak khususnya dapat terjadi kejang dan keterlambatan perkembangan.16 Mikropenis menggambarkan ukuran penis yang ekstrem kecil dengan panjang penis kurang dari 2,5 SD dibawah rata-rata untuk umur atau tingkat perkembangan seksual. Sangat penting untuk menggunakan tehnik standar dalam pengukuran penis dan normogram umur untuk mengidentifikasi anak dengan mikropenis.17 Semua anak diatas 1 tahun dengan pengukuran panjang penis kurang dari 1,9 cm perlu dilakukan evaluasi. Yang penting diperhatikan secara psikososial adalah masalah identitas kelamin, buang air kecil normal dengan berdiri, penampilan fisik dan masalah reproduksi. Masalah-masalah ini harus segera ditangani dengan evaluasi awal, terapi dan konseling.18 Berdasarkan latar belakang tersebut pada penelitian ini dipilih kasus seorang pasien yang terdiagnosis sindrom Waardenburg, mikropenis dengan undesensus testis dan global developmental delay untuk dilakukan pemantauan dan intervensi, sehingga diharapkan pasien dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal. Sindrom Waardenburg ini juga merupakan kasus yang jarang di Indonesia. Selain itu, dukungan psikologis pada orang tua juga diperlukan agar keluarga siap mendampingi dalam proses tumbuh kembang anak.
B. Deskripsi Kasus Singkat IDENTITAS PASIEN Nama : Umur/Tanggal lahir : Jenis Kelamin : Alamat : Masuk RS No. CM Tanggal diperiksa
An. RB 1 tahun / 22 Januari 2013 Laki-laki Wonosari, Semanu, Gunung Kidul : 15/08/2013 : 01.64.72.xx : 15 Agustus 2013
Nama ayah Umur Pendidikan Pekerjaan
: : : :
Bp. S 27 tahun SLTP Buruh
Nama ibu Umur Pendidikan Pekerjaan
: : : :
Ny. SW 25 tahun SLTP Ibu Rumah Tangga
3
Pasien terdiagnosis sebagai sindrom Waardenburg, kejang tanpa demam e.c hipoglikemia, mikropenis dengan undesendus testis dan global developmental delay (GDD). Diambil sebagai kasus panjang pada usia 1 tahun.
Laporan Kasus Singkat: Seorang bayi laki-laki usia 1 tahun, dirawat di bangsal anak Melati 4 selama 9 hari, dengan keluhan utama kejang tanpa demam. Dari alloananamnesis dengan ibu, bayi dengan keluhan kejang tanpa demam sejak 3 jam sebelum masuk RS. Kejang 2x/hari, lama ± 15 menit, kesan GTC, kejang berhenti sendiri. Di UGD RS Sardjito, dilakukan pemeriksaan GDS, didapatkan hasil GDS: 44 mg/dL yang menunjukkan adanya kondisi hipoglikemia. Berat badan anak saat masuk rumah sakit 6,7 kg dengan tinggi badan 70 cm. Status gizi pasien adalah gizi baik. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan hipopigmentasi pada regio toraks, undesensus testis, mikropenis, port wine stain pada dahi dan regio oksipital dan iris mata kanan biru. Untuk perkembangan motorik kasar, pada usia 6 bulan bayi baru bisa miring-miring, belum bisa mengangkat kepala sendiri, belum bisa tengkurap dan belum bisa duduk. Untuk motorik halus, usia 6 bulan sudah bisa meraih benda. Untuk perkembangan bahasa bayi bersuara saat usia 2 bulan dan mulai bisa tertawa saat usia 4 bulan. Untuk perkembangan sosial, bayi sudah bisa senyum saat usia 3 bulan dan pada usia 6 bulan sudah bisa mengenal orang. Riwayat kehamilan dan persalinan, ibu pernah mengalami keguguran 1x, pada kehamilan pertama saat usia kehamilan 2 bulan. Selama kehamilan kedua, ibu kontrol teratur ke bidan dan tidak ada keluhan selama kehamilan. Bayi lahir secara operasi caessar atas indikasi post matur, vakum ekstraksi gagal dan ketuban pecah dini. Bayi lahir langsung menangis, tidak ada riwayat kebiruan. Anak tidak mendapat ASI sejak lahir. Anak minum susu formula Lactogen dan pada usia 6 bulan sudah mulai diberikan bubur susu. Imunisasi lengkap sesuai pengembangan program imunisasi (PPI) sampai dengan usia 6 bulan. Selama perawatan di RS Sardjito, dilakukan pelacakan untuk sindrom Waardenburg pada anak. Pada tanggal 15 Agustus 2013, hasil konsultasi dengan bagian mata didapatkan heterokromia iris unilateral dan disarankan untuk konsultasi genetika dengan dr. Hartono, Sp.M(K). Pada tanggal 19 Agustus 2013, dilakukan pemeriksaan MSCT Kepala Axial dengan kontras dengan hasil subdural higroma bifrontalis dengan tanda-tanda atrofi cerebri bifrontalis dan bentuk kepala mikrosefali.
4
Pada tanggal 20 Agustus 2013, didapatkan hasil konsultasi dengan dr. Hartono, Sp.M(K), dengan penemuan sindrom dismorfik sebagai berikut 1) Bentuk fisik secara keseluruhan baik, 2) Heterokromia iris dengan hipopigmentasi iris kanan, 3) Mikropenis dengan undesensus testis (hipogenitalism), 4) Hipopigmentasi pada kulit pada daerah-daerah tertentu, 5) Riwayat kejang. Kesimpulan 1) Suspek Sindrom Waardenburg yang disertai dengan hipogenitalism, 2) Suspek Sindrom Prader-Willy disertai heterokromia iris, 3) Gabungan Sindrom Waardenburg dengan Prader-Willy, disarankan untuk pemeriksaan pendengaran untuk Sindrom Waardenburg dan menunggu fenotipe penuh, diperiksa berkala setiap 6 bulan sekali. Pada tanggal 22 Agustus 2013, anak menjalani pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) dengan resume pemeriksaan pada telinga kanan dan kiri pada frekuensi 105 dB: tidak tampak gelombang V. Dengan kesimpulan nilai ambang dengar AS = AD abnormal, sesuai gangguan pendengaran berat dengan kerusakan pada N. VIII (severe deafness), saran untuk dilakukan pemeriksaan BERA ulang 6 bulan lagi. Dari hasil pelacakan yang telah dilakukan pada saat rawat inap di RS Sardjito, maka diagnosis akhir pada saat diambil sebagai kasus panjang adalah 1) Sindrom Waardenburg, 2) Kejang tanpa demam e.c hipoglikemia, 3) Mikropenis dengan undesensus testis, 4) Global Developmental Delay.
C. Tujuan
Tujuan pemantauan kasus panjang ini adalah untuk mengamati luaran klinis jangka panjang anak dengan sindrom Waardenburg, atrofi serebri, mikropenis dan global developmental delay dan melakukan intervensi sehingga mendapatkan luaran yang baik. Pemantauan jangka panjang pada penderita sindrom Waardenburg adalah memantau adanya gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural kongenital yang menyebabkan gangguan perkembangan bicara dan bahasa, serta gangguan komunikasi. Di samping itu, pada sindrom Waardenburg terdapat adanya hipopigmentasi pada kulit yang dapat menyebabkan masalah penampilan dan kepercayaan diri, sehingga dibutuhkan pendampingan psikologis bagi anak maupun orang tua. Pemantauan jangka panjang pada atrofi serebri adalah memantau adanya gangguan perkembangan secara global. Sedangkan pemantauan bayi dengan mikropenis adalah memantau pertumbuhan serta fungsi reproduksi anak.
5
D. Manfaat
Manfaat untuk pasien adalah dengan pemantauan secara komprehensif dan berkala secara rutin untuk dapat dilakukan penanganan yang menyeluruh dan berkesinambungan, sehingga anak dapat tumbuh kembang secara optimal dan mencapai kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Manfaat untuk keluarga dan lingkungan adalah keluarga mendapatkan pemahaman mengenai kondisi anak serta kelainan yang menyertai dan ikut berperan dalam penanganan anak untuk mencapai harapan hidup yang lebih baik. Manfaat untuk peserta PPDS antara lain menambah pengetahuan tentang kewaspadaan dini terhadap permasalahan yang dapat timbul pada sindrom Waardenburg dan dalam melakukan pemantauan terhadap pertumbuhan dan perkembangan pada anak secara berkesinambungan.