BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa dekade terakhir perkembangan ilmu pengetahuan di bidang industri farmasi sangat pesat. Persaingan yang semakin ketat, memacu setiap industri farmasi untuk menemukan dan mengembangkan sediaan obat baru. Perkembangan produk farmasi semakin meningkat dengan munculnya ide inovatif di bidang formulasi sediaan obat. Dalam prinsip pengembangan suatu produk farmasi, yang diharapkan adalah sediaan yang memberikan keuntungan yang lebih dominan dan meminimalkan kelemahan produk tersebut agar dapat diterima oleh pasar sehingga dapat meningkatkan kenyamanan pasien. Produk sediaan farmasi yang paling banyak beredar di pasaran dalam bentuk sediaan padat. Sediaan padat yang sering dijumpai umumnya ditujukan untuk sistem pemberian secara oral. Tablet adalah bentuk sediaan padat yang mengandung satu atau lebih jenis obat dan bahan tambahan yang dicetak dengan bentuk dan ukuran yang sama. Terdapat bermacam-macam jenis tablet, antara lain: tablet kompresi, tablet kompresi ganda, tablet salut gula, tablet salut selaput, tablet salut enterik, tablet bukal, tablet kunyah, tablet effervescent, tablet hipodermik, tablet pembagi, tablet dengan pelepasan terkendali, salah satunya adalah tablet lepas lambat (sustained release) (Ansel, 1989). Bahan tambahan dalam tablet berupa zat pengisi, zat pengikat, zat penghancur, dan zat pelincin (Ansel, 1989).
1
2
Salah satu sediaan dengan pelepasan obat yang dimodifikasi adalah sediaan dengan pelepasan diperlambat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat sediaan lepas lambat, salah satunya adalah sediaan yang dirancang untuk tetap tinggal di dalam lambung. Bentuk sediaan yang dapat dipertahankan di dalam lambung disebut Gastro Retentive Drug Delivery System (GRDDS). Keuntungan GRDDS diantaranya adalah mampu meningkatkan bioavailabilitas, mengurangi obat yang terbuang dengan sia-sia, meningkatkan kelarutan obat-obatan yang kurang larut pada lingkungan pH yang tinggi. GRDDS juga memiliki kemampuan untuk menghantarkan obat-obatan secara lokal di dalam lambung (contoh: antasid dan anti Helicobacter pylori) dan usus kecil bagian atas (Aurora dkk., 2005). Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan waktu tinggal obat di dalam lambung/Gastrict Residence Time (GRT), diantaranya adalah floating drug delivery system (FDDs). Pendekatan yang dilakukan melalui sistem low density, sistem high density, mucoadhesion atau sistem bioadhesion , sistem ekspansi, sistem magnetik, superporous hidrogel, raft forming systems dan floating ion exchange resins (Prajapati dkk., 2013). Obat yang cocok untuk diformulasikan dengan FDDs antara lain adalah obat yang menunjukkan penyerapan spesifik di perut atau bagian atas dari usus seperti furosemid dan riboflavin-5-fosfat. Selain itu obat-obatan yang tidak stabil di bagian bawah GIT seperti kaptopril, obat yang berefek terapetik lokal di perut seperti antasida, obat-obat yang memiliki variabel bioavailabilitas seperti satolol HCl dan obat yang tidak larut dalam cairan usus seperti quinidine ataupun
3
diazepam sangatlah efektif diformulasikan dalam sistem penghantaran obat dengan FDDs (Sharma dkk., 2011). Kaptopril temasuk dalam golongan Angiotensin Converting Enzyme inhibitor (ACEI). Obat ini masih menjadi drug of choice dalam terapi hipertensi sehingga peresepan obat kaptopril masih sangat sering dijumpai. Dalam pengobatan hipertensi yang termasuk dalam golongan penyakit kronis, pasien dituntut untuk mengkonsumsi obat ini dalam jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, akan muncul permasalahan dalam hal kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi obat. Frekuensi dan durasi penggunaan obat kaptopril dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat dan proses ADME yang terjadi di dalam tubuh. Mekanisme kerja kaptopril mempengaruhi sistem rennin-angiotensin dan menghambat konversi Angiotensin I menjadi Angiotensin II. ACEI meningkatkan sintesis bradikinin yang merangsang biosintesis prostaglandin. Bradikinin dan prostaglandin berperan dalam efek farmakologis dari ACEI. Semua efek ini menghasilkan vasodilatasi. Kaptopril melalui rute pemberian secara oral efektif menghasilkan efek antihipertensi selama periode 6-8 jam dengan dosis harian 37,5-75 mg diberikan dua atau tiga kali sehari. Kaptopril stabil pada pH 1,2. Dengan meningkatnya pH, kaptopril menjadi tidak stabil dan mengalami reaksi degradasi. Kekurangan tersebut dapat diatasi dengan mengembangkan sistem floating, sehingga obat dapat tinggal lebih lama di lambung sehingga tidak terdegradasi secara cepat. Sistem penghantaran obat melalui floating dapat meningkatkan waktu tinggal di lambung, stabilitas, dan bioavailabilitas obat (Vijayasankar dkk, 2011).
4
Pada penelitian ini, dilakukan formulasi kaptopril dalam bentuk floating tablet dengan penentuan formula menggunakan Simplex Lattice Design dari kombinasi bahan HPMC K15M sebagai matrix forming polymers dengan Natrium Bikarbonat dan Asam Tartrat sebagai gas generating dalam sistem effervescent yang dibuat dengan metode granulasi basah. Penggunaan polimer HPMC bertujuan untuk meningkatkan waktu tinggal di lambung selama rentang waktu yang dikehendaki yaitu 6–8 jam. Polimer HPMC K15M memiliki viskositas 1500 cps, nilai viskositas ini termasuk nilai yang menengah dibandingkan tipe K lainnya, sehingga diharapkan memiliki laju hidrasi yang tidak telalu cepat maupun tidak terlalu lambat. Laju hidrasi yang optimal akan mempengaruhi kecepatan mengapung tablet dan pelepasan obat dari sistem (Wikarsa dan Mulida, 2011). HPMC dipilih karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain: tahan terhadap perubahan pH atau kandungan ionik media disolusi, ekonomis, mengurangi resiko toksisitas bila terjadi dose dumping serta mudah digunakan (Lachman dkk., 1994).
Selain itu, HPMC merupakan bahan yang tidak beracun dan noniritatif (Rowe dkk., 2009). Natrium bikarbonat merupakan sumber utama penghasil karbon dioksida dalam sistem effervescent. Natrium bikarbonat larut sempurna dalam air, non higroskopis dan harganya murah. Natrium bikarbonat sering juga digunakan sebagai soda kue atau baking soda (Lachman dkk., 1986). Asam tartrat memiliki kelarutan lebih besar dari asam sitrat. Penelitian Pratiwi dan Hadisoewignyo (2010), menyatakan bahwa faktor asam tartrat sebagai komponen asam dapat menurunkan kekerasan tablet, meningkatkan kerapuhan tablet, mempercepat floating lag time, dan memperbesar laju disolusi. Hasil optimasi tersebut akan
5
dianalisis dengan menggunakan metode Simplex Lattice Design untuk mengetahui kombinasi optimum asam tartrat dan natrium bikarbonat dengan HPMC K15M dalam memperoleh formula optimum, serta mengevaluasi uji fisik tablet meliputi uji keseragaman bobot, uji kekerasan, uji kerapuhan, floating lag time, uji disolusi secara in vitro dan penetapan keseragaman kandungan. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh penggunaan HPMC K15M dan kombinasi natrium bikarbonat dan asam tartrat pada tablet kaptoril sistem floating terhadap sifat fisik tablet, floating lag time, dan uji disolusi? 2. Pada proporsi berapa diperoleh formula optimum penggunaan HPMC K15M dengan kombinasi natrium bikarbonat dan asam tartrat pada tablet kaptopril sistem floating? C.
Tujuan
1. Untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan HPMC K15M dan kombinasi natrium bikarbonat dan asam tartrat terhadap kekerasan, kerapuhan, keseragaman bobot, floating lag time, uji disolusi tablet dan uji kadar obat dalam tablet kaptoril sistem floating. 2. Untuk mendapatkan proporsi optimum HPMC K15M dan kombinasi natrium bikarbonat dan asam tartrat.dalam tablet kaptopril sistem floating. D.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa Pelaksana Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, mengasah kreativitas dan ide inovatif dalam penelitian mengenai formulasi sediaan
6
FDDs tablet kaptopril sistem effervescent. 2. Bagi industri farmasi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dalam pengembangan produk baru berupa sediaan FDDs tablet kaptopril sistem effervescent menggunakan matriks HPMC K15M, swellable polymers natrium bikarbonat dan asam tartrat sehingga meningkatkan efektifitas formulasi sediaan. 3. Bagi masyarakat dalam bidang kesehatan, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan mengenai sediaan FDDs tablet kaptopril sistem effervescent sebagai sediaan farmasetis yang inovatif. E. Tinjauan Pustaka 1.
Gastro Retentive Drug Delivery System (GRDDs) GRDDs adalah sebuah pendekatan sistem penghantaran obat melalui
peningkatan waktu tinggal lambung dengan menargetkan obat-obat yang secara spesifik dilepaskan di Gastrointestinal Tract (GIT) bagian atas untuk dapat menghasilkan efek lokal atau sistemik (Nayak dkk., 2010) Sediaan dalam bentuk gastroretentif dapat tertahan di lambung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga secara signifikan meningkatkan Gastric Retention Time (GRT) dari obat. Peningkatan waktu retensi lambung dari suatu obat merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan terutama untuk obat-obat yang memiliki sisi absorpsi di bagian atas dari GIT maupun untuk obat-obat yang kurang larut dalam suasana basa dan terdegradasi pada pH di GIT bagian bawah (Badoni dkk., 2012). Sistem pengantaran obat secara GRDDS bermanfaat untuk meningkatkan :
7
a.
Bioavailabilitas
b.
Efisiensi Terapetik
c.
Kemungkinan pengurangan dosis. Sistem penghantaran secara GRDDS secara konstan mampu menjaga
kadar terapeutik obat selama periode tertentu sehingga dapat mengurangi fluktuasi kadar obat dalam sirkulasi sistemik. Beberapa jenis obat yang memiliki waktu paruh pendek akan menyebabkan obat cepat dieliminasi dari sirkulasi sistemik, untuk menghindari keterbatasan tersebut formulasi pelepasan terkontrol melalui GRDDS merupakan upaya untuk melepaskan obat secara perlahan ke dalam GIT dan mempertahankan konsentrasi obat yang efektif dalam sirkulasi sistemik dalam waktu yang lama. (Badoni dkk., 2012). 2.
Fisiologi GIT Secara anatomi perut dibagi menjadi tiga bagian: fundus, body, dan
antrum (atau pilorus). Bagian proksimal, terdiri dari fundus dan body, bagian ini berfungsi sebagai reservoir dari bahan yang masuk ke dalam perut, sementara bagian distal yaitu antrum adalah bagian yang berperan dalam gerakan pencampuran, bagian ini juga bertindak sebagai pompa untuk pengosongan lambung (Wilson dan Washington, 1989).
Gambar 1.Struktur lambung (Wilson dan Washington, 1989)
8
Dalam GIT terjadi mekanisme pengosongan lambung. Selama puasa berlangsung peristiwa interdigestive terjadi secara electrical, siklus ini berlangsung setiap 2 sampai 3 jam dalam lambung dan usus. Peristiwa tersebut disebut interdigestive siklus myloelectric atau migrasi siklus myloelectric (MMC). Siklus MMC dibagi menjadi 4 fase (Desai, 1984). a. Tahap I (fase basal) berlangsung dari 40 sampai 60 menit dengan sedikit kontraksi. b. Tahap II (fase preburst) berlangsung selama 40 sampai 60 menit terjadi kontraksi dengan potensial aksi intermiten. Selama fase berlangsung intensitas dan frekuensi meningkat secara bertahap. c. Tahap III (fase burst) berlangsung selama 4 sampai 6 menit. Kontraksi terjadi secara intesif dan teratur dalam periode yang relatif pendek. Hal ini karena semua bahan yang tidak dicerna akan dikeluarkan dari lambung menuju ke usus halus. Peristiwa ini juga dikenal sebagai housekeeper wave. d. Fase
IV
berlangsung
selama
0-5
menit
antara fase III dan I dari 2 siklus berturut-turut.
Gambar 2. Motility pattern in GIT (Desai,1984)
dan
terjadi
9
Secara umum, kandidat obat yang sesuai untuk dikembangkan menjadi sediaan GRDDS adalah molekul yang sedikit diserap di usus tetapi memiliki sifat penyerapan yang lebih baik di bagian atas dari GIT, yaitu untuk obat-obat dengan karakter (Garg dan Gupta, 2008) : 1.
Jendela penyerapan sempit di GIT, misal riboflavin dan levodopa.
2.
Diserap baik dibagian atas dari GIT, misalnya kaptopril, chlordiazepoxide dan cinnarazine.
3. Obat-obat yang memiliki aksi lokal di perut, misalnya antasida dan misoprostol. 4. Obat yang mudah terdegradasi dalam usus, misalnya ranitidin HCl dan metronidazole. 5. Obat-obatan yang mengganggu koloni flora normal di usus, misalnya amoksisilin trihidrat. Obat yang tidak sesuai untuk sistem penghantaran secara gastroretentive (Nayak dkk., 2010) : 1. Obat yang memiliki kelarutan dalam suasana asam sangat kecil, misalnya fenitoin. 2. Obat yang tidak stabil dalam suasana lambung, misalnya eritromisin. 3. Obat ditargetkan untuk beraksi dalam usus besar misalnya 5-amino asam salisilat dan kortikosteroid. Sistem penghantaran obat secara GRDDs dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan (Manju dkk., 2014) :
10
1.
High density (sinking) system atau non FDDs
2.
Low density (floating) systems A. Non effervescent systems a) Hydro dynamically balanced systems b) Micro balloons/ hollow microspheres c) Alginate beads d) Micro porous compartment systems B. Effervescent gas generating systems
3.
3.
Bio adhesive/mucoadhesive systems
4.
Expandable, un foldable and swelling systems
5.
Super porous hydro gel systems
6.
Magnetic systems
7.
Raft forming systems
Floating drug delivery systems (FDDs) Floating drug delivery systems (FDDs) memiliki densitas yang lebih
kecil dari cairan lambung sehingga dapat mengapung dalam cairan lambung tanpa terpengaruh oleh tingkat pengosongan lambung dalam jangka waktu yang cukup lama. Saat obat terapung, zat aktif akan dilepaskan perlahan-lahan pada tingkat yang diinginkan (Mushiroda, 2000). Melalui sistem pelepasan yang terkontrol tersebut, hasilnya akan meningkatkan GRT dan fluktuasi konsentrasi obat plasma dapat terkontrol. Faktor yang mempengaruhi waktu tinggal lambung dari FDDs (Sayeed dkk.,2011):
11
a. Densitas tablet: waktu retensi lambung (GRT) dipengaruhi oleh densitas. Besarnya densitas yang untuk sediaan yang digunakan dalam FDDs harus lebih kecil dari densitas lambung (1.004gm /ml). b. Ukuran dan bentuk: sediaan dengan diameter lebih dari 7,5 mm akan meningkatkan GRT. Demikian pula untuk sediaan yang memiliki bentuk tetrahedron dilaporkan memiliki GRT lebih baik sehingga lebih cocok untuk FDDs dibandingkan dengan bentuk lainnya. c. Viskositas polimer: Viskositas polimer dan interaksi yang terjadi dapat sangat mempengaruhi pelepasan obat dan sifat floating dari FDDs. Polimer dengan viskositas rendah (misalnya, HPMC K4M dan HPMC K15M) lebih sesuai untuk FDDs dibandingkan dengan polimer yang memiliki viskositas tinggi (Misalnya, HPMC K100M), karena akan meningkatkan sifat floating dari tablet. Selain itu peningkatan viskositas polimer akan menurunkan laju pelepasan obat. d. Fed atau unfed: Dalam kondisi puasa, GRT akan terjadi sangat singkat karena periode aktivitas motorik yang kuat atau kompleks dari migrasi myoelectric (MMC) yang terjadi setiap 1,5 sampai 2 jam. Namun, dalam kondisi makan GRT jauh lebih lama karena MMC akan tertunda. e. Karakteristik makanan : makanan yang mengandung polimer yang sulit dicerna seperti lemak akan merubah pola motilitas lambung
12
sehingga dapat menurunkan kecepatan pengosongan lambung dan memperpanjang pelepasan obat. f. Frekuensi intake makanan : semakin meningkat intake makanan, maka GRT dapat meningkat 40 menit dibandingkan dengan satu kali intake makan karena MMC frekuensi rendah. g. Jenis Kelamin: GRT pada laki-laki dalam (3,4 ± 0,4 jam) lebih kecil dibandingkan dengan perempuan pada usia yang sama dan ras (4,6 ± 1,2 jam), terlepas dari tinggi, berat, dan tubuh permukaan. h. Umur: Orang tua memiliki GRT lebih lama, terutama mereka yang lebih dari 70 tahun. 4.
Klasifikasi FDDs FDDs dapat dibagi menjadi non-effervescent dan sistem effervescent. 1.
Non-Effervescent Pendekatan paling umum untuk sediaan FDDs non effervescent
adalah dengan pembentukan gel yang memiliki kemampuan sweallable tinggi seperti hidrokoloid, polisakarida, dan matriks membentuk polimer seperti polikarbonat, poliakrilat, polymethacrylate dan polystyrene serta polimer bioadhesive seperti karbopol dan chitosan. Salah satu pendekatan dalam formulasi bentuk sediaan floating tersebut melibatkan pencampuran antara obat dengan hidrokoloid yang membentuk gel, setelah kontak dengan cairan lambung polimer akan mengembang melalui rute pemberian oral. Mengembangnya bentuk sediaan ketika bersentuhan dengan cairan lambung terjadi karena sediaan floating memiliki kerapatan massa kurang dari 1.
13
Daya apung bentuk sediaan terbentuk karena adanya udara yang terperangkap dalam matriks sehingga matriks akan swealling. Struktur seperti gel yang mengembang ini bertindak sebagai reservoir obat dan akan memberikan pelepasan obat berkelanjutan melalui massa bentuk gelatin. Ketika bentuk sediaan bersentuhan dengan media berair, hidrokoloid dalam bentuk hidrat akan terlebih dahulu membentuk gel di permukaan bentuk sediaan. Struktur gel yang dihasilkan kemudian mengontrol laju difusi pelarutan dan pelepasan obat dari sediaan (Gohel, dkk., 2004). 2.
Effervescent Sistem penghantaran obat secara floating memanfaatkan zat aktif
yang sebelumnya telah dilapisi dengan suatu polimer yang dapat mengembang seperti methocel atau polisakarida serta megandung effervescent komponen misalnya, natrium bikarbonat dan asam sitrat atau asam
tartrat yang dapat
menjadi gas pada suhu tubuh. Rasio stoikiometri asam sitrat dan natrium bikarbonat harus optimal untuk dapat menghasilkan gas, diketahui bahwa rasio optimalnya 0,76: 1 (Manju dkk., 2014). Matriks yang telah difabrikasi tersebut saat tiba di perut, akan membebaskan karbon dioksida karena pengaruh keasaman lambung dan gas yang terbentuk akan terperangkap dalam lapisan hidrokoloid. Karbonat dalam formula, selain bermanfaat untuk memberikan daya apung juga bermanfaat memberikan suasana basa pada polimer gel. Selain itu, pelepasan karbon dioksida akan mempercepat hidrasi tablet untuk terapung dalam cairan lambung, hal ini penting berkaitan dengan bioadhesive dari hidrogel. Hasilnya terjadi mekanisme
14
tambahan yaitu bioadhesion yang bermanfaat untuk mempertahankan bentuk sediaan di perut selain mekanisme pengapungan (Sayeed dkk.,2011).
Gambar 3. The mechanism of Floating Systems ( Sayeed dkk, 2011)
5.
Kontrol kualitas sifat fisik granul
1. Kecepatan Alir Kecepatan alir adalah kecepatan yang dibutuhkan oleh sejumlah granul untuk mengalir dalam suatu alat. Kecepatan alir dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kondisi permukaan, kelembaban granul dan penambahan bahan pelicin. Apabila granul mempunyai sifat alir yang baik maka pengisian pada ruang kempa akan menjadi konstan, sehingga sediaan yang dihasilkan mempunyai bobot yang seragam (Parrott, 1971). Jika sifat alir sebuah campuran kurang baik, kemungkinan dapat mengakibatkan ketidak seragaman dosis pada tablet. Pada umumnya, semakin kecil ukuran serbuk akan meningkatkan daya kohesi sehingga serbuk menggumpal dan tidak mudah mengalir (Gad, 2008). Serbuk dikatakan memiliki sifat alir yang baik dan mudah dilakukan penabletan apabila kecepatan alirnya 10 gram/detik (Departement of Health, 2013).
15
2. Sudut Diam Menurut British Pharmacopiea (Departement of Health, 2013), salah satu metode umum yang digunakan untuk melihat aliran serbuk adalah dengan mengukur sudut diam. Sudut diam merupakan sudut yang dibentuk oleh sejumlah serbuk yang diberi perlakuan (Sulaiman, 2007). Besar kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh bentuk, ukuran dan kelembaban granul. Granul atau serbuk yang mempunyai kualitas farmasi mempunyai sudut diam 25°–40°, sudut diam yang kecil menunjukkan sifat alir yang baik (Wadke dan Jacobson, 1980). 3. Indeks Pengetapan Prinsip uji ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampatan campuran serbuk selama dikempa (Aldeborn dan Nystrom, 1996). 6.
Kontrol Kualitas Tablet 1. Keseragaman Bobot Pengujian keseragaman bobot dilakukan dengan menimbang 20 tablet lalu dihitung bobot rata-rata tiap tablet. Menurut FI edisi III, jika ditimbang satu per satu, tidak boleh lebih dari dua tablet yang masing-masing bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih besar dari harga yang ditetapkan kolom A yaitu 5%, dan tidak satu tabletpun yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari harga yang ditetapkan kolom B yaitu 10% (Anonim, 1979). Persyaratan penyimpangan bobot tablet dapat dilihat pada tabel I.
16
Tabel I. Persyaratan penyimpangan bobot tablet
Bobot Rata-Rata 25 mg atau kurang
Penyimpangan Bobot Rata-Rata dalam % A B 15% 30%
26 mg – 150 mg
10%
20%
151 mg – 300 mg
7,5%
15%
Lebih dari 300 mg
5%
10%
2. Keseragaman Kandungan Keseragaan kandungan perlu dilakukan salah satunya untuk tablet yang mengandung zat aktif kurang dari 25 mg atau kurang dari 25% terhadap bobot tablet. Karena jumlah zat aktif yang sedikit, maka setelah menjadi sediaan, perlu dilakukan analisis untuk memastikan zat aktif telah terhomogenisasi sempurna dalam sediaan. Keseragaman kandungan dipenuhi jika pada 10 tablet yang diperiksa memiliki nilai penerimaan kurang dari atau sama dengan 15%. (Anonim, 2014). 3. Kekerasan Tablet Kekerasan adalah parameter yang menggambarkan ketahanan tablet dalam melawan tekanan mekanik seperti goncangan, kikisan dan terjadi keretakan tablet selama pembungkusan, pengangkutan dan pemakaian. Kekerasan ini dipakai sebagai ukuran dari tekanan pengempaan. Faktor faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang dikempa, kekerasan tablet yang baik antara 4 – 8 kg (Parrott,1971).
17
4. Kerapuhan Tablet Uji kerapuhan menggambarkan kekuatan ikatan antar partikel pada bagian tepi tablet terhadap tekanan mekanik dari berbagai gangguan dari lingkungan seperti gesekan atau kikisan. Respon yang dilihat adalah presentase bobot tablet yang hilang. Semakin besar nilai presentase kerapuhan, maka semakin besar massa tablet yang hilang (Sulaiman, 2007). Kerapuhan Tablet yang diterima adalah kurang dari 1% (Anonim, 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi kerapuhan antara lain banyaknya kandungan serbuk (Fines). Kerapuhan di atas 1 % menunjukkan tablet yang rapuh dan dianggap kurang baik (Banker dan Anderson, 1986). Tablet bagus bila kerapuhan tablet yang diuji tidak boleh berkurang lebih dari 1% dari berat tablet uji (Mohrle, 1989). 5.
Floating Lag Time Tablet dimasukkan di dalam beker glass yang berisi larutan 0,1N HCl
100 ml pH 1,0. Diamati pengembangan dan pengapungan tablet selama ± 2 menit (Pratiwi dan Hadisoewignyo, 2010). 6.
Uji Disolusi Tablet Disolusi merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau bahan obat
menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, pelarutan atau disolusi obat dalam media air merupakan suatu bagian penting sebelum kondisi absorpsi sistemik (Shargel dan Yu, 1988). Uji dilakukan untuk mengetahui besarnya zat aktif yang dapat terlarut dalam medium tertentu selama interval waktu yang diharapkan. Kecepatan
18
sisolusi obat dapat mempengaruhi kecepatan absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik (Fudholi, 2013). Beberapa Farmakope terutama Farmakope Amerika (USP XXXII) mencantumkan adanya uji disolusi khususnya untuk sediaan padat berbentuk tablet, maka pengamatan jumlah zat aktif yang terlarut ke dalam medium sebagai fungsi waktu menjadi hal yang mutlak wajib dikerjakan sebagai jaminan atas ketersediaan farmasetis suatu obat (Fudholi, 2013). Kinetika pelarutan obat dapat dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat, formulasi, dan pelarut. Obat dalam tubuh, terutama dalam saluran cerna dianggap melarut dalam suatu lingkungan air. Sebagai tambahan, pada faktor-faktor ini, suhu media dan kecepatan pengadukan juga mempengaruhi laju pelarutan obat. Secara in vivo, suhu dipertahankan pada keadaan tetap 37°C dan pengadukan (terutama pergerakan peristaltik dalam saluran cerna) adalah tetap. Pada studi pelarutan secara in vitro memerlukan penjagaan suhu dan pengadukan yang tetap. Suhu biasanya dijaga pada 37°C dan kecepatan pengadukan dipertahankan pada keadaan tetap tertentu (Shargel dan Yu, 1988). Selain untuk mengetahui kinetika pelepasan obat, parameter lain yang dapat diperoleh dari uji disolusi adalah Dissolution Efficiency (DE). Dissolution Efficiency (DE) merupakan luas daerah dibawah kurva disolusi dibagi luas persegi, yang menunjukkan 100% zat terlarut pada waktu tertentu. Penggunaan metode ini mempunyai beberapa keuntungan, antara lain dapat menggambarkan semua titik pada kurva kecepatan disolusi identik dengan pengungkapan data
19
percobaan secara in vivo. Nilai yang diperoleh bergantung pada bentuk kurva yang merupakan gambaran dari kinetika pelarutan suatu zat yang tepat (Khan dan Hayer, 1973). 7.
Metode Granulasi Basah Granulasi basah yaitu memproses campuran partikel zat aktif dan
eksipien menjadi partikel yang lebih besar dengan menambahkan cairan pengikat dalam jumlah yang tepat sehingga terjadi massa lembab yang dapat digranulasi. Metode ini biasanya digunakan apabila zat aktif tahan terhadap lembab dan panas. Umumnya metode ini diterapkan untuk zat aktif yang sulit dicetak langsung karena sifat alir dan kompresibilitasnya yang kurang baik. Prinsip dari metode granulasi basah adalah membasahi massa campuran obat dengan larutan pengikat teretentu sampai mendapat tingkat kebasahan tertentu pula, kemudian massa basah tersebut digranulasi (Lachman dkk., 1994). Metode ini memliki beberapa keuntungan, antara lain: a. Menaikkan volume tablet atau bahan obat yang dosisnya kecil dengan dipakainya eksipien dalam jumlah tertentu. b. Menaikkan kohesifitas dan kompresibilitas serbuk sehingga diharapkan tablet dapat dikempa menjadi massa tablet yang kompak, cukup keras, dan tidak rapuh. c. Mencegah segregasi komponen penyusun tablet yang telah homogen selama proses pencampuran. d. Menjaga homogenitas dan memperbaiki distribusi zat aktif dengan digunakannya zat pengikat.
20
e. Untuk bahan obat yang bersifat hidrofob, sistem granulasi basah dapat memperbaiki kecepatan pelarutan zat aktif dengan penambahan cairan pelarut yang cocok pada zat pengikat (Sheth dkk., 1980). Akan tetapi, metode granulasi basah juga memiliki keterbatasan, antara lain : a. Biaya yang besar karena keterkaitan penggunaan ruang, waktu dan alat yang relatif banyak. b. Terdapat kemungkinan besar adanya kontaminasi silang yang lebih besar daripada dengan metode kempa langsung c. Dapat memperlambat disolusi zat aktif dari dalam granul setelah tablet terdisintegrasi, yang disebakan karena tidak diformulasi dan diproses dengan tepat (Siregar dan Wikarsa, 2010). 8.
Simplex Lattice Design Ada beberapa metode yang dapat dilakukan untuk mendapatkan
optimasi formula. Salah satunya adalah metode simplex lattice design, metode ini cocok untuk prosedur optimasi formula dimana jumlah total dari bahan yang berbeda adalah konstan. Untuk dua komponen, faktor persamaan yang digunakan adalah : Y = a ( A ) + b ( B ) + ab ( A ) ( B ) ............................................. Dimana,
Y a, b, ab
(1)
= respon atau efek yang dihasilkan = koefisien yang dapat dihitung dari percobaan
A dan B = fraksi komponen, dengan jumlah (A) + (B) harus satu bagian
21
Hasil persamaan yang didapat dari hasil percobaan merupakan suatu persamaan empiris yang dapat menggambarkan pola respon dalam suatu ruang simplex. Untuk penerapan dua komponen perlu dilakukan minimal tiga percobaan, yaitu 100% variabel A, 100% variabel B, dan campuran 50% variabel A dan 50% variabel B (Bolton dan Bon, 2004). 9.
Parameter Metode Analisis 1. Akurasi Akurasi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil
analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Akurasi dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analis sangat tergantung kepada keseluruhan tahapan analisis. Oleh karena itu untuk mencapai kecermatan yang tinggi dipengaruhi oleh penggunaan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu, dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur (Gandjar dan Rohman, 2007). 2. Presisi Preisisi adalah ukuran yang menunjukkan derajat kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presicion diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien variasi). Precision dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan) atau reproducibility (ketertiruan). Repeatability adalah keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama
22
pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek. Repeatability dinilai melalui pelaksanaan penetapan terpisah lengkap terhadap sampel-sampel identik yang terpisah dari batch yang sama, jadi memberikan ukuran keseksamaan pada kondisi yang normal (Riyadi, 2009). Reproducibility adalah keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Biasanya analisis dilakukan dalam laboratoriumlaboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Analisis dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari batch yang sama. Kriteria menurut AOAC diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV) 7,3 % atau kurang. 3. Linearitas Linearitas menunjukkan kemampuan suatu metode analisis untuk memperoleh hasil pengujian yang sesuai dengan konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran konsentrasi tertentu. Sedangkan rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan
kecermatan,
keseksamaan,
dan
linearitas
yang
dapat
diterima. Rentang dapat dilakukan dengan cara membuat kurva kalibrasi dari beberapa set larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya (Ermer dan Miller, 2005). Persamaan garis yang digunakan pada kurva diperoleh dari metode kuadrat terkecil, yaitu y = ax + b. Persamaan ini akan menghasilkan koefisien korelasi (r). Koefisien korelasi inilah yang digunakan untuk mengetahui linearitas
23
suatu metode analisis. Penetapan linearitas minimum menggunakan lima konsentrasi yang berbeda. Nilai koefisien korelasi yang memenuhi persyaratan adalah lebih besar dari 0.9970 (ICH, 2005). Linearitas juga dapat diketahui dari kemiringan garis, intersep, dan residual (Ermer & Miller 2005). 10. Pemerian 1. Kaptopril
Gambar 4. Struktur kimia kaptopril (Anonim,1995)
Nama kimia
: 1 [(2S)-3-merkapto-2-metilpropionil]-L-prolina
Rumus molekul
: C9H15NO3S
Berat molekul
: 217,29
Pemerian
: Serbuk hablur putih atau hampir putih, bau khas seperti sulfida.
Kelarutan
: Mudah larut dalam air, metanol, etanol, dan kloroform
Titik lebur
: 104oC-1100C
24
2. HPMC Hidroksipropilmetilselulosa (HPMC) merupakan salah satu contoh matriks hidrofilik yang mempunyai kemampuan untuk mengembang dan telah digunakan secara luas dalam formulasi bentuk sediaan lepas lambat. HPMC merupakan campuran antara alkil hidroksialkil selulosa eter dan dapat dianggap sebagai propilenglikol eter dari metil selulosa, dengan rumus molekul C8H15O6(C10H18O6)n- C8H15O6 ; berat molekul antara 10.000-1.500.000 (Parfitt, 2002).
Gambar 5. Struktur HPMC
(Rowe dkk, 2009)
HPMC bila dilarutkan dalam air dingin membentuk koloidal yang viskus, tidak larut dalam alkohol dan metilen klorida. Sangat stabil dalam keadaan kering, larutan stabil pada pH 3,0 – 11,0 (Rowe dkk., 2009). Penggunaan HPMC sebagai matriks dapat melepaskan 100% bahan aktif (Lachman
dkk.,
1986).
Polimer
HPMC
bersifat
nonionik,
sehingga
meminimalisasi masalah interaksi ketika berada dalam suasana asam, basa, atau sistem elektrolit lainnya. Polimer ini bekerja sangat baik dengan obat-obat yang bersifat larut atau tidak larut pada dosis rendah maupun tinggi, serta tidak terpengaruh dengan berbagai macam bahan lainnya maupun metode produksinya. Sifat HPMC sebagai gelling agent sangat penting dalam formulasi sediaan lepas lambat karena matriks tersebut berperan dalam pembentukan formasi, yaitu
25
dengan pembentukan hidrasi, membentuk lapisan gel difusi dan erosi yang dapat mengendalikan pelepasan obat (Ochoa dkk., 2005). Semakin banyak jumlah gugus hidroksi propil maka matriks akan semakin sulit tererosi. HPMC (dengan nama paten Methocel) memiliki macam-macam tipe seperti 1828, 2208 (Methocel K100M), 2906 dan 2910 (Methocel E4M) (Parfitt, 2002). Hydroxypropyl metylcellulose sering digunakan untuk formulasi sediaan oral, ophthalmic, nasal, dan topikal. Pada sediaan oral seperti tablet, hydroxypropyl metylcellulose digunakan sebagai bahan pengikat (konsentrasi 2%5% w/w), penyalut (konsentrasi 2%-20% w/w), dan sebagai matriks untuk sediaan lepas lambat (konsentrasi 10%-80% w/w) (Rogers, 2009). 3. Asam Tartrat Asam tartrat merupakan hablur tidak berwarna atau bening atau serbuk hablur halus sampai granul, warna putih, tidak berbau, rasa asam, dan stabil di udara. Kelarutan sangat mudah larut dalam air dan mudah larut dalam etanol (Anonim, 1995). Asam tartrat juga banyak digunakan dalam pembuatan effervescent, banyak tersedia di pasaran, lebih mudah larut dalam air dari pada asam sitrat dan lebih higroskopis, merupakan asam kuat seperti asam sitrat tetapi penggunaan dalam tablet effervescent lebih banyak dari pada asam sitrat (Mohrle, 1989). 4. Natrium Bikarbonat Natrium Bikarbonat merupakan serbuk atau kristal berwarna putih, tidak berbau dan agak terasa basa. Natrium Bikarbonat memiliki rumus empiris dengan berat molekul 84,01.
26
Natrium bikarbonat memiliki fungsi sebagai Alkalizing agent. Natrium bikarbonat umunnya digunakan pada formula farmasetika sebagai sumber karbon dioksida dalam tablet effervesent dan granul. Konsentrasi natrium bikarbonat digunakan sebagai efervesent tablet sebesar 25-50%. Natrium bikarbonat memiliki titik lebur 270°C. Jika dibawah 80% humiditas relatif, moisture content dari natrium bikarbonat kurang dari 1% w/w dan di atas 85% humiditas relatif, natrium bikarbonat cepat mengabsobsi jumlah air berlebih dan mungkin terdekomposisi ditandai dengan kehilangan karbon dioksida (Rowe dkk., 2009). Ketika dipanaskan diatas suhu 50°C, natrium bikarbonat akan terdisosiasi menjadi karbon dioksida, natrium karbonat, dan air. Dengan pemanasan antara 250-300°C natrium bikarbonat akan diubah secara sempurna menjadi natrium bikarbonat anhidrat. Natrium bikarbonat stabil pada humiditas relatif dibawah 76% pada suhu 25°C dan di bawah 48% pada suhu 40°C (Rowe dkk., 2009). 5.
Laktosa Laktosa merupakan serbuk atau masa hablur, keras, putih atau putih
krem. Tidak berbau dan rasa sedikit manis. Stabil di udara, tetapi mudah menyerap bau. Mudah (dan pelan-pelan) larut dalam air dan lebih mudah larut dalam air mendidih; sangat sukar larut dalam etanol; tidak larut dalam kloroform dan dalam eter (Anonim,1979).
27
6.
Magnesium Stearat Magnesium stearat merupakan senyawa magnesium dengan campuran
asam-asam organik padat yang diperoleh dari lemak, terutama terdiri dari magnesium stearat dan magnesium palmitat dalam berbagai perbandingan. Mengandung setara dengan tidak kurang dari 6,8% dan tidak lebih dari 8,3% MgO (Anonim, 1979). Pemerian serbuk halus, putih , licin dan mudah melekat pada kulit, bau lemah khas. Kelarutan praktis tidak larut dalam air, dalam etanol (95%) P dan dalam eter P (Anonim, 1979). Dalam Farmasi umumnya, magnesium stearat berfungsi sebagai bahan pelicin pada pembuatan kapsul dan tablet dengan konsentrasi antara 0,25%-5,0% serta digunakan sebagai bahan pembawa dalam krim (Allen dan Luner, 2009). 7.
Aerosil Aerosil menurut Rowe dkk., 2009 memiliki sinonim antara lain Cab-O-
Sil; colloidal silica; fumed silica; silica colloidalis anhydrica; silica sol; synthetic amorphous silica;dan silicon dioxide fumed. Colloidal Silicon Dioxide mempunyai rumus empirik yaitu SiO2 dan berat molekul 60,08. Serbuk aerosil berwarna putih, tidak berwarna, dan tidak berbau. Aerosil bersifat higroskopis, dan sebaiknya disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Gambar 6. Struktur Kimia Aerosil
(Rowe, 2009).
28
Dalam bidang teknologi dan farmasi, aerosil secara luas digunakan sebagai bahan kosmetik, farmasetikal, ataupun produk makanan. Dengan ukuran partikel yang kecil dan luas permukaan yang besar menyebabkan aerosil digunakan untuk meningkatkan kecepatan alir pada serbuk kering atau ketika penabletan dan pengisian kapsul. Selain itu, dapat digunakan pula sebagai formula tambahan pada suppositoria yang mengandung eksipien lipofilik untuk meningkatkan viskositas, dan mengurangi kecepatan pelepasan zat aktif. 8.
Talk Talk
adalah
magnesium
silikat
hidrat
alam,
kadang-kadang
mengandung sedikit aluminium silikat (Anonim,1995). Nama resmi
: Talk
Sinonim
: Talkum, serbuk talk
Pemerian
: Berupa serbuk hablur sangat halus, putih atau putih kelabu. Berkilat, mudah melekat pada kulit dan bebas dari butiran debu.
Kelarutan
: Praktis tidak larut dalam larutan asam dan alkalis, pelarut organik dan air.
Inkompatibilitas
: Tidak tercampur dengan campuran amonium quartener
Kegunaan
: Sebagai glidant dan sebagai lubrikan.
29
F. Landasan Teori Pada umumnya orang dewasa yang sudah lanjut usia sering mengalami penyakit darah tinggi (hipertensi), namun kini semua orang beresiko terkena penyakit ini akibat pengaruh gaya hidup. Penyakit darah tinggi (hipertensi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka sistolik dan angka diastolik pada pemeriksaan tekanan darah. Hipertensi dikategorikan sebagai the silent disease karena penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum melakukan pemeriksaan tekanan darah. Nilai normal tekanan darah seseorang adalah 120/80 mmHg. Seseorang dikatakan hipertensi jika tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHg, batasan tersebut diperuntukkan bagi individu dewasa atau di atas 18 tahun. Dalam usaha pengobatan penyakit hipertensi sering kali terjadi kegagalan dalam pengobatan antara lain disebabkan oleh kelalaian pasien dalam mengkonsumsi obat karena frekuensi penggunaan obat yang berulang kali dalam jangka waktu
yang panjang. Untuk mengatasi hal-hal tersebut
maka
dikembangkan bentuk sediaan dengan dengan ketersediaan hayati obat dalam darah dapat diperpanjang untuk mempertahankan kadar obat dalam darah sehingga memperpanjang masa kerja obat, sediaan ini dikenal dengan bentuk sediaan dengan pelepasan termodifikasi (Ansel, 1989) Kaptopril merupakan senyawa aktif yang berfungsi sebagai inhibitor Angiontensin Converting Enzyme (ACE inhibitor) yang banyak digunakan untuk pengobatan gagal jantung dan hipertensi karena efektifitas yang baik dan toksisitasnya yang rendah (Kadin, 1982). Kaptopril digunakan dalam pengobatan
30
hipertensi dengan frekuensi penggunaan berulang kali, mempunyai waktu paruh biologis satu sampai tiga jam dengan dosis sekali pakai 12,5-75 mg dua sampai tiga kali sehari, dosis maksimum 150 mg sehari. Kaptopril mudah larut dalam air dan mudah teroksidasi pada pH usus, sehingga perlu diperhatikan strategi pengembangan tablet kaptopril dengan pelepasan tekontrol yang cukup kuat menahan pelepasan obat dan dapat bertahan dalam lambung dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu pembuatan sediaan termodifikasi dari kaptopril dianggap dapat memberikan manfaat dalam mengurangi frekuensi pemberian obat sehingga kepatuhan pasien dapat ditingkatkan, keefektifan pengobatan dapat tercapai, dan mengurangi efek samping. Penggunaan HPMC K15M telah banyak digunakan sebagai polimer tablet lepas lambat yang hasilnya menunjukkan penahanan pelepasan obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunakan polimer sejenis. Penggunaan HPMC pada viskositas tinggi dapat menyebabkan waktu mengambang obat di lambung menjadi lebih lama sehingga memperpanjang pelepasan obat dari sediaan. Penggunaan HPMC K4M, K15M, dan K100M dapat menghasilkan tablet mengapung kaptopril yang baik, peningkatan bioavailabilitas dan pelepasan obat yang terkontrol (Singh dkk., 2011). HPMC K15M memiliki sifat viskositas yang lebih besar daripada polimer sejenis seperti K4M sehingga akan menghasilkan perlambatan pelepasan bagi obat yang bersifat mudah
larut dalam air.
Berdasarkan penelitian Saifullah dkk., (2007) penggunaan HPMC K15M dengan rentang konsentrasi 90 mg -135 mg dapat menghasilkan tablet floating dengan pelepasan obat yang terkontrol dengan baik. Komponen effervescent seperti
31
natrium bikarbonat dan asam tartrat digunakan untuk meningkatkan kemampuan floating tablet. Natrium bikarbonat yang bersifat basa apabila kontak dengan cairan asam lambung akan terjadi reaksi asam basa dan dihasilkan gas yang akan terperangkap oleh lapisan hidrofilik yang berasal dari matriks, mengakibatkan tablet mengembang sehingga berat jenisnya akan berkurang dan tablet akan mengapung pada cairan lambung. Pada penelitian sebelumnya dari Pratiwi dan Hadisoewignyo (2010), kombinasi natrium bikabonat dan penggunaan konsentrasi asam tartrat (0% dan 5%) dapat menurunkan kekerasan tablet, meningkatkan kerapuhan tablet, mempercepat floating lag time, dan memperbesar disolusi efisiensi (Pratiwi dan Hadisoewignyo, 2010). Penentuan formula optimum kombinasi HPMC, asam tartrat dan natrium bikarbonat menggunakan metode Simplex Lattice Design karena dengan metode ini konsentrasi yang digunakan dapat dirancang secara matematis. Metode Simplex Lattice Design dapat digunakan untuk menentukan proporsi relatif bahanbahan untuk membuat suatu formulasi optimum berdasarkan variabel atau hasil yang diinginkan. Penggunaan metode Simplex Lattice Design diharapkan dapat memperoleh formula optimum dari tablet sistem floating menggunakan kombinasi HPMC K15M, asam tartrat dan natrium bikarbonat. G. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini berupa: 1. Penggunaan HPMC K15M, asam tartrat dan natrium bikarbonat dapat
menurunkan
kekerasan
tablet,
meningkatkan
kerapuhan
mempercepat floating lag time, dan memperbesar disolusi efisiensi.
tablet,
32
2. Formula optimum kaptopril effervescent floating tablet diduga memiliki
proporsi HPMC K15M dan kombinasi asam tartrat dengan natrium bikarbonat antara 80-120mg.