S1-2016-330864-introduction.pdf

  • Uploaded by: saan anwar
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View S1-2016-330864-introduction.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 4,199
  • Pages: 25
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Lupus adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat (Mansjoer, 2001). Penderita lupus biasa disebut Odapus (Orang dengan Lupus). Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun) (Oktaria, 2010). Ikatan Reumatologi Indonesia (IRA) tahun 2015 menyatakan bahwa prevalensi lupus mencapai 5 penderita tiap 100.000 penduduk Indonesia, sedangkan menurut Data Klinik Penyakit Dalam dan Rematik Rumah Sakit Umum Pusat Sardjito Yogyakarta tahun 2015 jumlah penderita penyakit Lupus yang terdeteksi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai 2.000 orang. Terapi SLE mencakup pemberian obat-obat anti radang nonsteroid (NSAID), kortikosteroid, antimalaria, dan imunosupresan. Pemilihan obat yang sesuai tergantung pada manifestasi klinis yang dialami oleh pasien. Obat-obat NSAID digunakan untuk mengatasi artritis dan artralgia. Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila NSAID tidak dapat mengendalikan gejalagejala SLE. Pemberian imunosupresan (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Sedangkan, kortikosteroid oral dosis tinggi digunakan ketika terjadi serangan akut SLE (Carter, 2006).

1

2

SLE merupakan penyakit yang dikategorikan kronis atau menahun. Oleh sebab itu tentunya penggunaan obat untuk terapi lupus seringkali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan bagi Odapus. Menurut Australian Rheumatology Association, efek samping yang paling sering terjadi karena penggunaan NSAID dalam jangka panjang ialah gastritis yang meliputi penurunan nafsu makan, mual, muntah, diare, konstipasi, heartburn, serta rasa sakit dan kram pada perut. Masih menurut Australian Rheumatology Association, NSAID juga dapat memperburuk kondisi liver serta gagal ginjal, meningkatkan tekanan darah, memicu terjadinya stroke, serta menyebabkan pendarahan. Menurut Yayasan Lupus Indonesia penggunaan antimalaria pada Odapus seringkali menimbulkan efek samping, antara lain rambut akan menjadi rontok, kulit kering, keluhan di perut (perut kembung), hilang selera makan, kram, mual, muntah, diare, sakit kepala, sakit otot dan berasa lemas. Sedangkan, penggunaan imunosupresan dapat menyebabkan rasa mual dan muntah-muntah, rambut rontok, komplikasi pada kandung kemih, anemia (jumlah darah sel putih rendah). Yang lebih parahnya lagi, penggunaan imunosupresan cenderung meningkatkan risiko bagi pasien terhadap berkembangnya kanker (Anonim, 2011).

Secara umum risiko penggunaan obat kortikosteroid dapat menyebabkan perubahan pada penampilan fisik seperti kelebihan berat badan, pipi sembab (moonface), kulit menipis, rambut rontok serta mudah terjadi pendarahan. Rasa tidak nyaman di perut seperti dispepsia atau rasa terbakar sering terjadi dan dapat dikurangi dengan meminum obat pada saat makan atau bersama-sama dengan obat yang dapat mencegah kerusakan lambung. Selama menggunakan obat

3

kortikosteroid (pasien secara psikologi) dapat mengalami perubahan suasana hati (mood), berupa depresi ataupun emosi yang tidak stabil. Obat kortikosteroid ini juga dapat menyebabkan diabetes, meningkatnya risiko infeksi dan kerusakan pada tulang seperti sendi pinggul, lutut atau sendi lainnya. Penggunaan obat ini dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan katarak dan osteoporosis (Anonim, 2011).

Berdasarkan pemaparan di atas, tampak bahwa cukup banyak efek samping yang dapat ditimbulkan dari pengobatan SLE dan belum adanya penelitian tentang gambaran efek samping dari pengobatan SLE sehingga peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran efek samping pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada odapus di RSUP Dr. SardjitoYogyakarta.

B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana gambaran pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta? 2. Bagaimana gambaran efek samping dari pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui gambaran pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

4

2. Untuk mengetahui gambaran efek samping dari pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) pada Odapus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat : 1. Bagi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta : penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efek samping yang terjadi pada Odapus dan dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat maupun penanganan efek samping dari penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) sehingga terapi menjadi lebih tepat dan dicapai outcome terapi yang lebih baik 2. Bagi peneliti dan pembaca : hasil penelitian dapat memberi pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran efek samping pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

5

E. Tinjauan Pustaka 1. Lupus Eritematosus Sistemik a. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Isbagio et al., 2009). b. Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Penyakit ini menyerang wanita muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif. Wallace (2007) merangkum beberapa penelitian berkaitan dengan jenis kelamin dan kejadian SLE sebagaimana berikut: Tabel I. Perbandingan Jenis Kelamin Berdasar Usia Terjangkit SLE

Umur 0-4 5-9 10-14 15-19 20-29 30-39 40-49 50-59 60-69

Perempuan:Laki-laki 1,4:1 2,3:1 5,8:1 5,4:1 7,5:1 8,1:1 5,2:1 3,9:1 2,2:1

Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai Negara sangat bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000. SLE lebih sering

6

ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin saja Filipina (Bartels et al., 2011). c. Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) SLE mungkin timbul akibat interaksi antara gen kerentanan dan lingkungan. Interaksi ini menyebabkan respon imun abnormal disertai hiperreaktivitas limfosit T dan B yang tidak terkendali oleh proses imunoregulatorik yang lazim. Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE umumnya tidak diketahui, kecuali sinar UV-B (dan kadangkadang UV-A). Faktor lain yang diduga berperan antara lain adalah memakan wijen (alfalfa sprout) dan

zat

kimia, seperti hidrazin dan

pewarna rambut. Sekarang sedang dilakukan penelitian untuk mencari virus atau

retrovirus

sebagai

penginduksi

tetapi

hasilnya

belum

dapat

disimpulkan. Walaupun beberapa obat dapat menginduksi penyakit mirip lupus, lupus spontan dan lupus akibat obat memiliki perbedaan klinis maupun antibodi. Jenis kelamin perempuan jelas merupakan faktor kerentanan, karena prevalensi pada perempuan berusia subur adalah tujuh sampai sembilan kali lebih tinggi daripada laki-laki (Hahn et al., 1994). d. Patofisiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) SLE merepresentasikan gejala klinis yang unik dan berbeda dari penyakit lainnya. SLE memiliki spektrum gejala yang luas dan mencakup banyak sistem organ. Walaupun gejalanya tidak dapat dikenali secara spesifik, namun yang paling sering terjadi pada SLE adalah diproduksinya autoantibodi secara abnormal dan berlebihan serta terjadinya pembentukan

7

imun kompleks. Produksi autoantibodi yang berlebihan merupakan akibat dari terjadinya hiperaktivitas pada limfosit B. Hiperaktivitas sel B ini dapat dipicu oleh hilangnya immune self tolerance, tingginya kadar zat zat yang bersifat antigenik baik yang bersumber dari lingkungan ataupun self antigen yang dipresentasikan oleh sel B ke sel B lain melalui spesifik antigen presenting cell, tejadinya perubahan sel T helper tipe 1 menjadi sel T helper tipe 2 yang mendorong sel B untuk memproduksi antibodi, serta terjadinya kerusakan pada supresor sel B. Selain itu, kerusakan yang terjadi pada proses regulatori imun juga dapat menyebabkan SLE yang meliputi limfosit T (suppressor T cells), sitokin (e.g., interleukins, interferon-γ tumor necrosis factor-α, transforming growth factor-β), dan natural killer cells (Dipiro et al., 2008). Secara lebih jelas patofisiologi SLE tersaji dalam bagan berikut ini: Agen pemicu

Regulasi imun abnormal

Sel T Kerusakan supresor sel B

Sel B

APCs

Kerusakan clearance

Sel apoptosis; nuclear rusak

Pembentukan autoantibodi Kerusakan clearance

Pembentukan imun kompleks Aktivasi komplemen Kerusakan jaringan

Gambar 1. Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

8

Faktor lingkungan, seperti mikroba yang bersifat infektif, obat, dan zat kimia, merupakan agen pemicu yang secara genetik dan hormonal dapat mempengaruhi disregulasi sistem imun seseorang. Respon imun yang abnormal ini diakibatkan oleh hiperaktivitas T helper tipe 2 dan fungsi sel B limfosit. Fungsi dari supresor T limfosit, produksi sitokin, mekanisme clearance, serta mekanisme regulatori imun lainnya juga bersifat abnormal sehingga gagal untuk menekan pembentukan autoantibodi yang disebabkan hiperaktivitas B limfosit. Autoantibodi yang terbentuk akibat disregulasi imun ini menimbulkan sifat patogenik, membentuk imun kompleks, dan mengaktivasi komplemen yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan induk (APCs, antigen-presenting cells; TH2,T-helper type 2) (Dipiro et al., 2008). e. Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE (Utomo, 2012). Berikut merupakan tanda dan gejala yang sering terjadi pada Odapus: Tabel II. Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Dipiro et al., 2008).

Tanda dan Gejala 1. Muskuloskeletal a. Arthritis dan arthralgia 2. Konstitusional

Insidensi (%) 53-95

9

Tabel II. Lanjutan Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Dipiro et al., 2008).

a. Kelelahan b. Demam c. Penurunan berat badan 3. Mukokutan a. Ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash) b. Fotosensitivitas c. Fenomena Raynaud’s d. SLE berbentuk cakram (diskoid) 4. Sistem Syaraf Pusat a. Psikosis b. Kejang 5. Paru-paru a. Pleuritis b. Efusi Paru 6. Kardiovaskular a. Perikarditis b. Myokarditis c. Aritmia d. Hipertensi 7. Renal 8. Gastrointestinal a. Mual b. Nyeri abdominal c. Perdarahan usus (vaskulitis) 9. Hematologi a. Anemia b. Leukopenia c. Thrombositopenia 10. Limpadenopati

81 41-86 31-71 55-85 10-61 11-45 10-44 9-29 13-59 5-37 6-26 31-57 12-40 2–45 3–40 1–44 23–46 13-65 7-53 8-34 1-6 30-78 35-66 7-30 10-59

f. Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Batasan operasional diagnosis SLE diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumbatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi (Kasjmir et al., 2011).

10

Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi

sebagai

penyakit

lain

misalnya

artritis

reumatoid,

gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit SLE menjadi penting (Kasjmir et al., 2011). Tabel III. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al., 2011)

Kriteria 1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitivitas

4. Ulkus mulut 5. Artritis

6. Serositis a. Pleuritis

b. Perikarditis

7. Gangguan renal

8. Gangguan neurologi

Batasan Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial. Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik. Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa. Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau efusia. a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura. atau b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium. a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif atau b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular,tubular atau campuran. a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obatobatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).

11

Tabel III. Lanjutan Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al, 2011)

atau b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obatobatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit). 9. Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis hematologik atau b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih atau d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-obatan 10. Gangguan a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA imunologik dengan titer yang abnormal atau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponemapallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema. 11. Antibodi Titer abnormal dari antibodi antinuklear antinuklear positif berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi (ANA) atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis

12

bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan (Kasjmir et al., 2011). g. Prognosis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Hari ini, sebagai hasil dari pengobatan dan teknik diagnosa yang lebih maju, tingkat keberlangsungan hidup 5 tahun melebihi 96%, dan tingkat keberlangsungan hidup 20 tahun mendekati 70%. Keparahan penyakit SLE juga berubah drastis bukan hanya karena terapi yang telah lebih baik namun juga peningkatan kemampuan untuk merawat pasien dengan penyakit ginjal (misal, dialisis), infeksi, dan CAD (coronary artery disease) (Delafuente et al., 2008). 2. Penatalaksanaan Terapi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Menurut

Rekomendasi

Diagnosis

dan

Pengelolaan

Lupus

Eritematosus Sistemik yang disusun oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011, tujuan khusus pengobatan SLE antara lain: 1. Mendapatkan masa remisi yang panjang, 2. menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, 3. mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang optimal. Ada tiga pilar pengobatan menurut rekomendasi tersebut yang seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Tiga pilar tersebut ialah:

13

a. Edukasi dan Konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultraviolet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. b. Program rehabilitasi Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan teknis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. Istirahat b. Terapi fisik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain

14

c. Program medikamentosa Pasien dengan SLE diobati menggunakan obat-obat antiinflamasi nonsteroid,

agen

antimalaria,

kortikosteroid,

dan

obat-obat

imunosupresan, termasuk siklofosfamid, azatioprine, metroteksat, dan mofetil mikofenolat. Pilihan obat ditentukan oleh derajat keparahan penyakit dan fungsi-fungsi organ yang terlibat (Tsokos dan George, 2011). 1) Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) NSAID memiliki sifat analgetik, antiinflamasi, dan antipiretik. NSAID secara

merupakan inhibitor enzim siklo-oksigenase, sehingga langsung

menghambat

biosintesis

prostaglandin

dan

tromboksan dari asam arakidonat. Terdapat 2 bentuk siklooksigenase (COX), COX-1, yang merupakan bentuk konstitutif enzim, dan COX-2, merupakan bentuk yang dipengaruhi oleh suatu keadaan inflamasi. Penghambatan COX-2

memberikan efek

analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik dari NSAID sementara penghambatan COX-1 diperkirakan menimbulkan beberapa efek toksik, terutama pada saluran gastrointestinal. Kebanyakan NSAID tersedia untuk penggunaan

klinis menghambat baik COX-1 dan

COX-2, meskipun inhibitor COX-2 yang selektif seperti selekoksib telah tersedia sekarang (Sweetman, 2009). Tanda dan gejala seperti demam, artritis, dan serositis sering dialami pasien dengan derajat penyakit ringan, terapi inisial dengan

15

suatu obat antiinflamasi merupakan pilihan yang logis. Pilihan NSAID yang digunakan bersifat empiris (Delafuente et al., 2008). 2) Obat antimalaria Obat-obat antimalaria seperti klorokuin dan hidroksiklorokuin telah sukses digunakan dalam penanganan lupus diskoid dan SLE. Secara luas, manifestasi SLE yang ditangani dengan obat antimalaria adalah manifestasi pada kulit, arthralgia, pleuritis, inflamasi perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia. Obat-obat golongan ini paling baik digunakan dalam terapi pemeliharaan jangka panjang karena

efeknya

tidak

langsung

tampak.

Hidroklorokuin

kemungkinan lebih aman dibandingkan klorokuin dan dianggap sebagai antimalaria pilihan pertama. Mekanisme aksi obat-obat antimalaria masih belum pasti. Mekanisme yang telah diajukan adalah obat antimalaria menghambat aktivasi limfosit sel T. Efek lain obat antimalaria yang bermanfaat bagi

pasien

SLE

adalah

penghambatan

sitokin,

penurunan

sensitivitas terhadap sinar ultraviolet, aktivitas antiinflamasi, efek antiplatelet, dan aktivitas antihiperlipidemik (Delafuente et al., 2008). 3) Kortikosteroid Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak

16

dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi (Kasjmir et al., 2011). Tujuan terapi dengan kortikosteroid pada SLE adalah untuk menekan dan mempertahankan supresi terhadap penyakit yang aktif dengan dosis yang serendah-rendahnya (Delafuente et al., 2008). Pasien dengan diagnosa SLE tidak langsung membutuhkan terapi kortikosteroid. Penyakit derajat ringan dengan manifestasi seperti demam, artralgia, pleuritis, atau manifestasi pada kulit dapat memberikan

respon yang cukup dengan NSAID atau agen

antimalaria, namun pasien dengan manifestasi yang lebih serius atau tidak

berespon

terhadap

obat

lain

biasanya

membutuhkan

kortikosteroid (Delafuente et al., 2008). Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, lupus nefritis, lupus serebral (Kasjmir et al., 2011). 4) Obat Sitostatika Obat sitostatika biasanya dikombinasi dengan kortikosteroid sebagai terapi penekan sistem imun tubuh (imunosupresan) pada pasien SLE. Meskipun kedua golongan obat ini diketahui dapat menekan dan

menstabilkan aktivitas penyakit di luar ginjal,

sebagian besar pemanfaatan obat-obatan ini terfokus pada lupus

17

nefritis, salah satu faktor terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas SLE (Delafuente et al., 2008). Menurut Rekomendasi Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik yang disusun oleh Perhimpunan Reumatologi Indonesia pada tahun 2011, pengobatan SLE berdasarkan aktivitas penyakitnya, yaitu: 1) Pengobatan SLE ringan Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu: a) Obat-obatan (1) Penghilang nyeri seperti paracetamol 3x500 mg, bila diperlukan. (2) Obat anti inflamasi non steroidal (NSAID), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan inflamasi. (3) Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan). (4) Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa). Catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 56,5 mg/kg BB/hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 612 bulan.

18

(5) Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg/hari atau yang setara. b) Tabir surya Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurangkurangnya 15 (SPF 15). 2) Pengobatan SLE sedang Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa regimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serositis yang refrakter: 20 mg/hari prednison atau yang setara. 3) Pengobatan SLE berat atau mengancam nyawa Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan sebagaimana tercantum dibawah ini: a) Glukokortikoid Dosis Tinggi Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40-60 mg/hari (1 mg/kgBB) prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intravena 500 mg sampai 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut.

19

Derajat Beratnya SLE

Berat

Sedang

Ringan 

Manifestasi kulit



Nefritis ringan sampai sedang



Artritis



Trombositopenia (trombosit 3



Nefritis berat (kelas IV, III + V, IV + V, atau III-V dengan gangguan fungsi ginjal)

3

20-50x10 /mm ) 



Serositis mayor

Trombositopenia refrakter berat (trombosit < 20x103/mm3)

Terapi Hidroksiklorokuin/



Anemia hemolitik refrakter berat



Keterlibatan paru-paru

klorokuin/ MTX

(hemorhagik)

+ KS dosis rendah NSAID

Terapi induksi



NPSLE (serebritis, mielitis)

MP iv (0,5-1 gr/hari selama 3 hari)



Vaskulitis abdomen

diikuti oleh: AZA (2 mg/kgBB/hari) atau

Keterangan:

MMF (2-3 g/hari) Terapi induksi

+

TR (Tidak Respon) RS (Respon Sebagian)

KS (0,5-0,6 mg/kg/hari selama 4-6

RP (Respon Penuh)

minggu lalu diturunkan secara

KS (Kortikosteroid

bertahap).

MP iv (0,5-1 g/hari selama 3 hari) + CYC iv (0,5-0,75 g/mm2/bulan x 7 dosis)

setara prednison) MP (Metilprednisolon)

TR

AZA (Azatioprin)

RS

TR

RP

NSAID (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) CYC (siklofosfamid)

Terapi pemeliharaan AZA (1-2 mg/kgBB/hari) atau MMF (1-2 g/hari) +

Terapi

Tambah Rituximab

pemeliharaan

Inhibitor calcineurin

CYC iv (0,52

(siklosporin)

0,75 g/mm /3

IVIg

KS (KS diturunkan sampai dosis

bulan selama 1

(imunoglobulin

0,125 mg/kg/hari selang sehari).

tahun)

intravena)

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Kasjmir et al., 2011)

20

b) Obat Imunosupresan atau Sitotoksik Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan/sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikosteroid dan imunosupresan/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Algoritma penatalaksanaan SLE dapat dilihat pada Gambar 2. 3. Efek Samping Terapi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) Terapi

dengan

menggunakan

obat

terutama

ditujukan

untuk

meningkatkan kualitas atau mempertahankan hidup pasien. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara mengobati pasien, mengurangi atau meniadakan gejala sakit, menghentikan atau memperlambat proses penyakit serta mencegah penyakit atau gejalanya, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat diprediksikan dalam

pemberian obat, yaitu kemungkinan terjadinya

masalah terkait dengan obat yang tidak diharapkan, salah satunya adalah efek samping dari pemberian suatu obat (Kurniawan, 2014). Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping obat (ESO), karena seperti halnya efek farmakologi, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi antara molekul obat dengan sistem biologik tubuh. Risiko efek samping obat tidak dapat dihilangkan, tetapi dapat ditekan dan dikurangi seminimal mungkin dengan mengetahui kondisi

21

yang mendorong terjadinya efek samping, mengetahui sifat obat, serta mengetahui cara pemakaian yang tepat (Kurniawan, 2014). Faktor risiko yang mendorong terjadinya efek samping dapat berasal dari individu pasien, misalnya fisiologik (umur, konstitusi tubuh, jenis kelamin, faktor patologi, faktor alergik, faktor genetik). Faktor risiko juga dapat berasal dari obat, misalnya obat, formulasi, kemurnian, dosis, dan frekuensi pemberian. Di samping itu faktor risiko juga dapat berasal dari obat, misalnya pemakaian obat kombinasi. Banyak diketahui bahwa semakin banyak pemakaian obat, semakin sering frekuensi timbulnya efek samping obat (Suryawati, 1995). Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya: 1) Kegagalan pengobatan. 2) Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug induced disease), yang semula tidak diderita oleh pasien. 3) Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru (dampak ekonomi). 4) Efek psikologi terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat (Kurniawan, 2014).

22

Sayangnya tidak semua efek samping dapat dideteksi secara mudah dalam tahap awal, kecuali kalau yang terjadi adalah bentuk-bentuk yang berat, spesifik dan jelas sekali secara klinis (Kurniawan, 2014). Efek samping dalam pengobatan SLE, antara lain: 1. NSAID (Obat Antiinflamasi Non Steroid) Obat Antiinflamasi Non Steroid (NSAID), obat ini dapat digunakan untuk mengatasi nyeri dan pembengkakan pada sendi dan otot. Biasanya hanya digunakan pada lupus ringan dan organ vital tidak mengalami gangguan. Perlu kehati-hatian dalam penggunaannya

karena

dapat

menyebabkan

gangguan pada

lambung, sakit kepala, penimbunan cairan di dalam tubuh, gangguan pada hati, darah, dan ginjal. Obat ini juga dihindari penggunaannya pada wanita hamil setelah tiga bulan pertama kehamilan. Demikian juga perlu kehati-hatian pada wanita menyusui (Akil, 2012). 2. Antimalaria Obat antimalaria, obat ini digunakan untuk pencegahan dan pengobatan malaria, tetapi juga mempunyai efek yang baik dalam mengatasi gejala lupus. Efektivitas obat ini terlihat baik pada lupus dengan keterlibatan kulit dan muskuloskeletal, juga baik untuk mengatasi gejala kelelahan dan inflamasi pada paru. Ada dua obat yang sering digunakan

yaitu

klorokuin dan hidroksiklorokuin.

Efek samping yang utama akibat penggunaan obat ini adalah

23

gangguan pada penglihatan. Sebelum penggunaan obat antimalaria penderita disarankan untuk memeriksakan matanya ke dokter mata (Akil, 2012). 3. Kortikosteroid Kortikosteroid atau steroid, obat ini digunakan untuk mengatasi pembengkakan dan nyeri pada berbagai organ tubuh. Pada dosis besar, obat ini dapat menekan kerja sistem imun. Gejala lupus memberi respon perbaikan yang cepat dengan pemberian obat ini. Begitu gejala membaik, maka dosis obat ini perlu diturunkan perlahan-lahan sampai dengan dosis yang paling kecil yang masih dapat mengontrol aktivitas penyakit. Selain efeknya yang kuat dalam mengatasi gejala lupus, obat ini juga mempunyai banyak efek samping yang harus menjadi bahan pertimbangan di dalam penggunaannya. Efek samping jangka pendek meliputi bengkak pada muka (moonface), timbul jerawat, nyeri ulu hati (heartburn), nafsu makan meningkat, berat badan bertambah, dan perubahan suasana hati. Efek samping ini biasanya menghilang setelah obat dihentikan. Efek samping

jangka panjang meliputi mudah

mengalami memar, kulit dan

rambut menipis, tulang keropos,

peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah, kelemahan pada otot,

infeksi, dan

katarak. Beberapa penderita mungkin

menderita luka, depresi, ataupun gagal jantung. dapat digunakan selama kehamilan (Akil, 2012).

Kortikosteroid

24

Secara lebih lengkap efek samping dari penggunaan kortikosteroid disajikan dalam tabel berikut: Tabel IV. Efek samping yang sering ditemui pada pemakaian kortikosteroid (Kasjmir et al, 2011)

Sistem Skeletal Gastrointestinal

Immunologi Kardiovaskular

Ocular Kutaneous

Endokrin

Tingkah laku

Efek Samping Osteoporosis, osteonekrosis, miopati Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan NSAID), pankreatis, perlemakan hati Predisposisi infeksi, menekan hipersensitivitas tipe lambat Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia Glaukoma, katarak Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu, jerawat, buffalo hump, hirsutism Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan metabolisme lipid, perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat badan, gangguan elektrolit, supresi HPA aksis, supresi hormon gonad Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif

4. Sitotoksik/imunosupresan Obat imunosupresan, obat ini bertujuan menekan sistem imun pada penderita lupus, terutama digunakan pada lupus yang berat. Obat-obatannya antara lain azatioprin, siklofosfamid, mofetil mikofenolat, dan metotreksat. Efek samping yang dapat terjadi dengan penggunaan obat ini, antara lain, mual, muntah, rambut

25

rontok, gangguan pada kandung kemih, penurunan kesuburan, kanker, dan infeksi (Akil, 2012).

F. Keterangan Empiris Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun yang angka kejadiannya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masa terapi Lupus Eritematosus Sistemik yang memakan waktu lama diketahui meningkatkan kemungkinan terjadinya efek samping obat. Adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran efek samping

pengobatan Lupus Eritematosus

Sistemik (SLE) pada pengobatan Odapus di Instalasi Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

More Documents from "saan anwar"

0gdgf.pdf
December 2019 6
Dn Sa.doc
December 2019 53
Lrit By Ftk Its Cover
May 2020 41
Logistik Kuis.pdf
October 2019 65