Ruu P-ks Dalam Pandangan Islam.docx

  • Uploaded by: Rifki ridho arrazi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ruu P-ks Dalam Pandangan Islam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,776
  • Pages: 44
Solusi Tuntas Kekerasan Seksual Februari 06, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Masyithoh Zahrodien S.S (Aktivis Muslimah Malang) Mediaoposisi.com-Keprihatinan terhadap kasus kekerasan seksual menyita perhatian banyak pihak termasuk akhirnya DPR merencanakan untuk merampungkan RUU PKS pada tahun 2019 ini. Kampanye dan sosialisasi pun tak ayal menjadi hal yang dilakukan oleh serombongan orang untuk menyelamatkan para wanita dari kasus kekerasan seksual yang semakin lama semakin banyak dan menjamur. Kaum feminis pun tak tinggal diam untuk memberikan solusi. Namun nyatanya, kasus yang terjadi tidak berhenti, namun kian banyak dan mengerikan. Ini cukup membuktikan pada kita sebagai makhluk berakal bahwasanya solusi ini tidak mempan untuk memberikan jawaban atas penyakit ‘kekerasan seksual’ yang melanda negeri kita. Kekerasan seksual bahkan merupakan masalah global, hokum positif yang diterapkan di

Perancis dengan RUU yang telah dilegalkan untuk mengatur soal pelecehan seksual dengan denda sangat berat US$ 37.000 setara dengan Rp.500 juta, namun tak menghentikan kejahatan seksual di Perancis. Muara dari semua solusi kejahatan seksual tidak akan mampu menghentikan predator seksual. Karena semua penanganan yang ada hanyalah perlindungan abal abal, tidak bisa menjadi perisai apalagi menghilangkan semua ancaman. Keamanan, kehormatan dan nyawa perempuan dan anak anak dalam ancaman. Dan lagi upaya rehabilitasi pun juga tidak mengatasi masalah. Semisal pun dengan RUU PKS yang pro kontra di masyarakat Indonesia kekinian. Bahkan RUU itu syarat dengan kebebasan dan sekulerisme. Kalau ditelisik secara mendalam kita bisa melihat bahwa mereka terfokus pada klasul ‘secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, tidak adanya persetujuan dalam keadaan bebas’. Kesan yang dibuatnya adalah perbuatan seksual itu boleh tapi dilakukan tanpa ada paksaan dan dikehndaki oleh satu sama lain bahkan tidak akan dikategorikan sebagai perbuatan yang patut di sanksi. Disinilah sebuah paradigma ‘hidup gue urusan gue’ ‘my body my otority’ ‘aurot gue bukan urusan elo’ jelas sekali gagal sejak awal untuk mengatur kepornoan dan kebejatan moral. Karena standar yang dipakai adalah standar para pemuja syahwat ala liberalisme dan sekulerisme. Maka bisa dipastikan bawah pornoaksi akan terus berkeliaran di kehidupan masyarakat. Jadi saya rasa sudah clear. Masalah ini tidak selesai bukan karena tidak adanya Undang Undang yang mengatur, atau masyarakat yang terlalu cuek dengan jutaan kasus. Tapi apakah ‘sesuatu’ yang bisa menyelesaikan masalah kekerasan seksual? Menilik banyak cara yang sudah diupayakan tapi masalah terlalu kompleks dan menyangkut banyak hal. Bagiamana jIka kita memberi solusi dari control diri ? ini sangat perlu, tapi diri yang terkontrol pun bisa menjadi korban kekerasan seksual dengan kondisi lingkungan yang penuh dengan syahwat dan pornografi. Bagiamana dengan beladiri? Sejauh mana seorang perempuan dan anak bisa membela dirinya toh kadang bahkan mereka mengelabui dengan banyak cara atau dengan senang hati dilakukan karena prinsip hidup bebas. Bagaimana dengan Undang Undang yang sangat tegas? Bisa jadi, tapi selama ini Undang undang selalu multi tafsir, syarat dengan kebebasan dan justru membuat masalah semakin tajam. Permasalahan semakin kompleks karena aturan ini dibuat berdasarkan kepentingan tertentu dan berkaitan dengan aspek kehidupan lain semisal ekonomi, politik, gaya hidup dsb. Jadi? Kita butuh system kehidupan beserta dengan orang orang yang hidup didalamnya memiliki sebuah paradigma mulia tentang kehidupan mereka. Jelas bukan paradigma satu dua orang atau para filsuf atau intelektual lainnya. Tapi role model kehidupan yang mulia yang berasal dari pencipta manusia. Dibuat dengan sempurna menjaga harmonisasi antara manusia, alam semesta dan kehidupan. Dialah aturan dari pemilik langit dan bumi, dzat yang menggenggam seluruh jiwa makhluknya, Allah SWT. Allah menurunkan islam sebagai petunjuk kehidupan, islam yang sempurna ini mengatur

seluruh aspek kehidupan manusia. Salah satunya adalah adanya system pergaulan di dalam islam (nidzam ijtima’ie fil islam). Adanya system sosial didalam islam (andzimatil mujtama fil islam) dan lebih kerennya lagi karena adanya institusi penjaga yaitu negara yang menerapkan islam secara totalitas (Khilafah islamiyyah). Dengan begitu akan dilakukan tindakan preventif dan kuratif untuk mengatasi secara tuntas masalah kekerasan seksual. Negara akan mengganti paradigma tentang kebebasan diganti menjadi ketaatan pada Nya semata. Negara akan mengkondisikan lingkungan aman, perekonomian terjamin, daya intelektualita dan paham akan ilmu islam, sosial media terjaga, kehormatan dan kemuliaan wanita terjaga dengan hokum syariat islam. Dan tindakan terakhir yang dilakukan negara adalah adanya sanksi yang tegas untuk bagi para pelanggar hukum. Jadi solusi tuntas masalah kekerasan seksual adalah dengan menghadirkan kembali islam politik dalam kehidupan kita.[MO/sr]

RUU P-KS Layak Ditolak, Jika Disahkan Maka Free Sex , LGBT Dan Pornografi Bebas Tanpa Kendali Januari 30, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Merli Ummu Khila Mediaoposisi.com-Maimon Herawati, penggagas petisi tolak RUU PKS “ Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum, sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun di luar pernikahan diperbolehkan, pemaksaan aborsi bisa dijerat hukum, sedangkan yang sukarela diperbolehkan. Bahkan, seorang ibu yg memaksakan anak perempuannya untuk berhijab, bisa dijerat hukum, Ekstrim, bukan?” ujarnya. Seperti dilansir Arrahmah.com Jakarta, 29/01/2019 19:20 Rancang Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang sedang digodok di Komisi VIII DPR RI menuai penolakan. Pasalnya, RUU ini dinilai sarat aroma liberalisme dan pro zina serta sarat dengan konsep Barat yang liberal. Akan seperti itu lah produk hukum buatan manusia. Tergantung misi si pembuat dan siapa yang "memesan" hukum tersebut. Membuat hukum hanya berdasarkan kepentingan. Belum jadi undang-undang pun, free sex, LGBT dan pornografi sudah merajalela apalagi jika sudah ketok palu.[MO/ad]

Mengejutkan, Inilah Peluang RUU P-KS Pro Zina Dalam Perspektif Bahasa Februari 05, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Ayu Fitria Hasanah (Mahasiswa FKIP Universitas Jember) Mediaoposisi.com-RUU Penghapusan Kekerasan Seksual santer diperbincangkan. Bermula dari adanya petisi penolakan RUU PKS dengan judul 'TOLAK RUU Pro Zina' oleh Maimon Herawati. Dalam hitungan jam media sosial ramai berbicara RUU PKS. Tidak sedikit yang ikut menanggapi perihal tersebut dengan membuat meme yang berisi tanggapannya mengenai RUU PKS. Sebagian warga net ternyata memiliki persepsi yang sama seperti Maimon Herawati. Hal ini ditanggapi oleh Ketua DPR Bambang Soesatyo, ia membantah bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) memuat pasal-pasal pro-zina. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhae'ie mengatakan bahwa RUU PKS ini adalah rancangan undang-undang yang lex spesialis untuk kekerasan seksual dan lebih melihat pada aspek pemenuhan kebutuhan korban yang hendak diatur di dalamnya (https://news.detik.com). Pasal-pasal bab V RUU PKS merupakan pasal yang digunakan untuk menetapkan seseorang menjadi pelaku penyimpangan seksual dan harus dikenai pidana. Namun bila dicermati secara mendalam dari sisi penggunaan bahasa, kalimat pada beberapa pasal dalam bab V adalah kalimat taksa (bermakna ganda) yang berpeluang sebagai pembenaran atas perilaku menyimpang. Misalnya pada pasal 18 bab V berbunyi “Setiap

orang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, melacurkan seseorang dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, diancam pidana pemaksaan pelacuran” (http://www.dpr.go.id). Kalimat ini memiliki dua makna, pertama jika ada seseorang yang melacurkan orang lain dengan kekerasan, ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, maka diancam pidana pemaksaan pelacuran. Kedua, jika ada seseorang yang melacurkan orang lain tidak dengan kekerasan, tidak dengan ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, tidak dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, berarti tidak diancam pidana pemaksaan pelacuran. Peluang pemberian makna seperti paparan di atas menandakan bahwa kalimat ini mengandung konsekuensi baik dan buruk. Bagi pembaca yang memiliki kepribadian atau sikap yang baik akan menyikapi isi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan baik, tetapi bagi pembaca yang memiliki kepribadian atau sikap tidak baik dapat dimanfaatkan untuk melakukan kejahatan. Dalam penulisan hukum pidana seharusnya memenuhi syarat Bahasa Hukum Indonesia salah satunya yaitu penggunaan bahasa yang harus tetap, terang, dan monosemantik (Halim, 2015:157). Pada bagian RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bab V terdapat pasal-pasal yang kalimatnya tidak monosemantik (satu makna). Wajar bila muncul petisi penolakan terhadap RUU PKS tersebut, karena kemampuan bahasa dan logika memberikan ruang bagi pelaku kejahatan untuk mendapatkan perlindungan apabila dapat membuktikan perilakunya tidak sesuai dengan ketentuan kalimat dalam perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan adanya asas ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ dalam landasan politik kriminal. Makna asas tersebut yaitu bahwa setiap orang yang dituntut karena suatu tindak pidana akan dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dinyatakan terbukti menurut ketentuan perundang-undangan (asas praduga tidak bersalah atau presumtion of innocence) (Remmelink, 2014:35). Artinya bila ada seseorang yang melacurkan orang lain tidak dengan kekerasan, tidak dengan ancaman kekerasan, rangkaian kebohongan, nama, identitas, atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, tidak dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain, maka tidak bisa disalahkan atau dikenai hukuman sebagai sanksi atas perilaku penyimpangannya. Hal ini dikarenakan tidak memenuhi kriteria pidana sebagaimana bunyi kalimat pasal 18 bab V RUU PKS. Padahal melakukan aktivitas pelacuran merupakan perilaku yang menyimpang. Namun dengan peluang makna pada kalimat pasal 18 bab V RUU Penghapusan Kekerasan Seksual justru menjadi legitimasi diperbolehkannya perilaku tersebut. Ini merupakan dampak yang bisa terjadi, dimana perilaku penyimpangan akan memiliki payung hukum yang akan melindunginya. Karena itu perlu berpikir ulang untuk mengesahkan RUU PKS tersebut menjadi hukum pidana. Dengan mempertimbangkan segala peluang dampak yang ditimbulkan maka dapat diukur dampak negatif adanya RUU PKS tersebut.

Andi Hamzah dalam (Purwoleksono, 2012:6) menyatakan bahwa hukum pidana merupakan kode moral suatu bangsa, melalui hukum pidana inilah akan terlihat hal-hal yang diperbolehkan ataupun dilarang dalam suatu masyarakat dan negara, bahkan juga mencerminkan pandangan suatu bangsa. Menurut Hermann Mannheim dalam (Purwoleksono, 2012:7) bahwa pidana adalah pencerminan yang paling terpercaya pada peradaban suatu bangsa. Tentu bangsa yang bermartabat tidak akan pernah membiarkan bangsanya memiliki hukum pidana yang berpeluang melegalkan pelacuran, aborsi atau seks bebas.[MO/sr]

Lubang Biawak RUU PKS Februari 01, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Ainul Mizan S.Pd Mediaoposisi.com-Menarik untuk dicermati RUU PKS (Rancangan Undang – Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang sudah masuk prolegnas periode antara 2015 – 2019. Tentunya desakan untuk segera mensahkan RUU PKS ini begitu kuat.

Di samping latar belakang terjadinya kejadian demi kejadian yang berhubungan dengan pelecehan seksual kerapkali menimpa kaum wanita. Yang terbaru dan sempat ada indikasi pengajuan grasi ke presiden adalah kasus pelecehan seksual yang dialami oleh saudari Baiq Nuril. Tulisan ini selanjutnya akan mencermati beberapa pasal dalam RUU PKS. Yang urgen dan mendasar untuk dicermati adalah mengenai definisi dari frase Kekerasan Seksual. Di dalam Bab 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat ke-1 dijelaskan bahwa “Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang Yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya dan atau politik. Dari definisi kekerasan seksual tersebut, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa selama perbuatan yang disebutkan yakni merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, dilakukan tanpa ada paksaan, tentunya tidak bisa dijerat oleh hukum. Artinya perbuatan – perbuatan yang dimaksud dilakukan atas dasar saling menguntungkan dan sukarela. Inilah pintu pertama dari cacat pendefinisian, yang akibatnya membuka celah upaya liberalisasi. Berikut ini beberapa pasal di dalam RUU PKS yang menjelaskan bentuk – bentuk kekerasan seksual. Pasal 5 Ayat 1; setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya. Ayat 2; Bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 meliputi, a. pelecehan seksual, b. Kontrol seksual, c. Perkosaan, d. eksploitasi seksual, e. Penyiksaan seksual, dan f. perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas, dan atau organ reproduksi sebagai sasaran. Pasal 7 Ayat 1; Tindak pidana control seksual sebagaimana pasal 5 ayat 2 huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan, dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Ayat 2; Kontrol seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 meliputi,a. Pemaksaan

menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu, b. Pemaksaan kehamilan, c. Pemaksaan aborsi, c. Pemaksaan sterilisasi, dan e. Pemaksaan perkawinan. Sesungguhnya asas nilai yang mendasari diajukannya RUU PKS adalah nilai liberalisme. Bahwa manusia berkuasa atas dirinya sendiri. Manusia itu mempunyai 4 kebebasan pokok yakni kebebasan beragama, kebebasan beperilaku, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berpendapat. Ukuran dari pemenuhan 4 macam kebebasan tersebut adalah selama seseorang dalam memenuhi kebebasannya tidak merugikan hak orang lain untuk memenuhi 4 kebebasan tersebut. Fungsi negara dalam hal ini layaknya satpam yang mengatur regulasi agar setiap individu bisa menikmati kebebasannya dengan sebaik – baiknya. Di dalam RUU PKS ini sudah memberikan ruang lingkup contoh dan definisi dari frase kekerasan seksual. Ambil contoh tindak pidana kontrol seksual. Seseorang siapapun dia dilarang untuk memaksa menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Padahal sebagai seorang muslimah, Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan agar menggunakan pakaian khusus ketika keluar rumah, yakni jilbab dan kerudung. Lantas apakah dengan alasan merasa dipaksa kemudian kewajiban memakai jilbab dan kerudung itu gugur bagi kaum muslimah? Bisa – bisa nanti para muballigh yang menjelaskan haramnya memakai pakaian yang membuka aurat dan wajibnya bagi kaum wanita memakai busana muslimah, akan dilaporkan oleh orang – orang yang merasa kebebasannya dikekang dengan pengajian tersebut. Bahkan orang tuanya sendiri pun tidak segan untuk dilaporkan karena memaksa anaknya memakai busana muslimah. Potensi dari RUU PKS ini hingga melahirkan manusia – manusia yang tidak takut dengan Tuhannya, Allah SWT. Di samping itu, RUU PKS ini membuka peluang yang lebar akan maraknya perzinaan. Secara naluriah orang yang melakukan zina tidak siap menerima konsekwensi dari perbuatan zinanya yakni mendapatkan kehamilan. Tentunya tidak akan bisa dijerat hukum, bila mereka berinisiatif untuk membuang bayinya atau melakukan aborsi. Mereka pun lantas bisa tenang menikmati kumpul kebonya. Termasuk sesuatu yang harus disegerakan dalam Islam adalah mengawinkan anak wanita ketika sudah ada calon suaminya. Dengan alasan ingin menuntut ilmu lebih, atau ingin mengejar karir supaya nanti kehidupan perkawinannya tercukupi secara ekonomi, si wanita memutuskan untuk tidak mau segera menikah. Biarlah mereka jalani kehidupan cintanya dengan berpacaran agar lebih mengenal satu sama lain lebih dalam. Pada kondisi seperti ini, anjuran dan perintah orang tuanya untuk segera melakukan perkawinan akan bisa berujung pada delik pidana. Hal demikian rentan akan mendisharmonisasi hubungan antar anggota keluarga. Bahkan pada pasal 8 RUU PKS, dijelaskan mengenai aktifitas pemerkosaan. Ironisnya,

RUU PKS ini menggolongkan pemerkosaan itu bisa terjadi dalam dua kondisi yakni kondisi di luar perkawinan dan kondisi di dalam perkawinan. Disebut pemerkosaan adalah dalam kondisi dipaksa. Ketika suatu hubungan kelamin tanpa ada kondisi paksaan, bukan lagi pemerkosaan untuk menyebutnya, akan tetapi yang tepat hal tersebut adalah perzinaan. Jadi tidak ada istilah pemerkosaan tanpa paksaan, padahal sejatinya yang dimaksud adalah zina. Propaganda zina begitu kental nuansanya. Bahkan lebih dari itu, bangunan keluarga bisa terancam hancur. Bagaimana mungkin seorang suami disebut melakukan pemerkosaan kepada istrinya? Padahal mereka berdua sudah halal untuk saling mengecap kenikmatan satu sama lain. Tatkala suami menginginkan istriya untuk melayani hasrat seksualnya, maka apakah layak sang istri menolaknya hanya karena alasan belum menyetujui atau memang tidak ada keinginan? Lantas suaminya dilaporkan karena melakukan pemerkosaan di dalam perkawinan. Sebagian orang bisa jadi memandang bahwa hukum Islam atas wajibnya seorang istri melayani hasrat sekrual suaminya walau ia sendiri masih berada di dekat tungku api, dipandang sebagai bagian dari pelanggaran atas hak asasi manusia. Pola berpikir demikian bermula dari asas berpikirnya. Adalah kewajaran ketika orang sekarang sudah hidup sekian belas hingga puluhan tahun dalam kondisi yang jauh dari nilai – nilai Islam dalam regulasi perundang – undangan, maka pola berpikirnya tidak jauh beda dengan fenomena yang disaksikannya dari maraknya pergaulan bebas dan berbagai kejahatan. Parahnya dengan pola berpikir yang sekuleristik , berusaha untuk mengoreksi nilai nilai dan hukum islam. Sesungguhnya pasangan suami istri yang baik, yang memahami hak dan kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam hukum agama, tidak akan menemukan persoalan terkait hubungan seksual di antara keduanya. Tidak akan ada perasaan istri merasa dipaksa oleh suaminya dalam melakukan hubungan seksual. Demikianlah beberapa pasal dalam RUU PKS yang merupakan lubang biawak bagi kaum muslimin di negeri tercinta ini. Ngomong – ngomong tentang lubang biawak, penggambaran hadits tentang lubang biawak sebagai kulminasi dari upaya mengikuti jejak dan budaya orang – orang kafir. Ketika wanita – wanita muslimah itu sudah masuk ke dalam perangkap lubang biawak, akibat mengerikan akan segera terjadi. Hancurnya tatanan keluarga dan masyarakat. Tidak ada lagi nilai – nilai moral dan keluhuran di tengah tengah masyarakat.[MO/ad]

Aroma Liberalisasi Semakin Menyengat Di Indonesia Melalui Transformasi RUU P-KS Januari 29, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Ani Zahra (Aktivis Sosial dan media) Mediaoposisi.com-Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sedang diperbincangkan lagi yang sebelumnya belum disahkan. Hal ini pun menjadikan pro dan kontra ditengah-tengah masyaratkat. Lahirnya RUU PKS karena didasari tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara

fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. Hal ini pun menjadi perhatian para aktivis perempuan dan feminis untuk segera diselesaikan. Terasa memang manis hadirnya RUU PKS ini, sebagai bentuk penyelesaian kasus seksualitas terutama kekerasan pada perempuan. Namun, harus diwaspadai karena beberapa pasal yang ada didalam RUU PKS ini mengandung aroma kebebasan. Bisa kita lihat pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Pun juga kabar gembira bagi para penikmat seks sesama (LGBT) yang memberikan kebebasan aktivitas kepada mereka. Hal ini terlihat pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT. Tidak hanya itu, kebebasan dalam bebusana juga diatur dalam RUU PKS ini. Orang lain tidak punya hak untuk menentukan apa dan bagaimana ia berbusana. Hal ini bisa terlihat dalam pasal pasal 7 (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu. Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana. Dan dalam kasus ini pun orang tua bisa ditindak pidana. Bau-bau kebebasan semakin terlihat, tentu ini kabar tidak baik bagi para generasi dan umat. Tentu RUU PKS ini wajib ditolak karena semakin melegalkan aktivitas LGBT dan perzinaan pun juga memperbolehkan aborsi. Hal ini tentu akan semakin menjauhkan umat dan generasi dari Islam. Bahkan orang tua yang wajib memberikan edukasi pergaulan dalam Islam tidak diperbolehkan. Lalu bagaimana kondisi generasi bangsa ini kedepannya. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, butuh solusi yang mengakar untuk menyelesaikan masalah ini. Karena jelas RUU PKS ini adalah program para kapitalis dan sekuler untuk menghancurkan generasi. Butuh perubahan yang haqiqi yaitu hanya dengan penerapan Islam secara Kaffah yang mempunyai pengaturan pergaulan yang menjadikan manusia mulia dan untuk membentuk masa depan negeri-negeri Muslim hanya pada penerapan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.

‫علِّي ٌم‬ َ ٍ‫ش ْيء‬ َ ‫ٌّللاُ ِّبك ُِّل‬ ِّ ‫س ٌم ٌوا‬ ِّ ‫ت َو ٌما فِّي األ َ ْر‬ َّ ‫ٌّللاُ يَ ْعلَ ُم ٌما فِّي ال‬ ‫ض َو ه‬ ‫ٌّللا بِّدِّي ِّن ُك ْم َو ه‬ َ ‫قُ ْل أَتُعَ ِّل ُمونَ ه‬ “Katakanlah (Hai Muhammad): “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu? (QS. Al-Hujuraat: 16)[MO/ad]

Bahayanya RUU PKS Februari 03, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh: Andini Sulastri

Mediaoposisi.com - Sebuah petisi online dibuat untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena disebut mendukung perbuatan zina. Komnas Perempuan meluruskan tuduhan tersebut. Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakhae'ie menegaskan RUU ini dibuat bukan untuk melegalkan perzinaan hingga LGBT. Dia mengatakan RUU ini akan khusus pada kasus kekerasan seksual. "Sebetulnya petisi yang menolak RUU PKS dengan alasan bahwa RUU PKS pro-zina, pro-aborsi, pro-LGBT, dan seterusnya, itu tidak membaca baik RUU itu. RUU PKS sama sekali tidak ingin melegalkan perzinaan, melegalkan aborsi atau bahkan melegalkan LGBT," ucap Imam kepada wartawan. (detik.com) Dengan dihapusnya undang-undang mengenai kekerasan seksual, itu artinya memberi kebebasan pelaku tindak kekerasan seksual dalam melakukan hal tersebut. Pada pasal 5 ayat 1 yang berbunyi larangan berbuat tindak kekerasan seksual, jika pasal ini dihapus, itu mengartikan adanya kebebasan dalam kekerasan seksual tersebut dan tidak adanya hukuman atau tindak pidana atas kasus kekerasan seksual. Adapun pasal 5 ayat 2 yang menjelaskan apa saja yang meliputi tidak kekerasan adalah pelecehan seksual, kontrol seksual, perkosaan, eksploitas seksual, penyiksaan seksual, dan Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran. Hal ini pun sama seperti pasal 5 ayat 1 jika terjadinya penghapusan, yaitu akan adanya kebebasan dalam kekerasan seksual tersebut dan tidak adanya hukuman atau tindak pidana atas kasus kekerasan seksual. Didalam penghapusan ini pun ada larangan kontrol seksual yang didalamnya terdapat makna bahwa adanya kebebasan dalam berbusana. Dan dinyatakan akan adanya tindak pidana terhadap siapa yang mengatur busana/pakaian seseorang. Termasuk peran seorang Ibu, seorang Ibu akan dipidanakan apabila menyuruh/mengatur anaknya dalam berbusana/berpakaian. Disinipun ada kebolehan wanita berpakaian laki-laki dan sebaliknya laki-laki berpakaian wanita. Jadi kalau biasanya seorang pengemban dakwah muslimah menyampaikan mengenai pentingnya berhijab sesuai syariat Islam, maka itu merupakan kekerasan seksual. Padahal jelas itu adalah perintah Allah yang terdapat pada Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 59 dan surat Ali-‘Imran ayat 31. Landasan dihapusnya undang-undang tersebut adalah adanya data yang menyatakan peningkatan kasus kekerasan seksual di setiap tahunnya. Namun keputusan yang di ambil justru merupakan kekeliruan. Karena dengan penghapusannya kebijakan tersebut akan berdampak pada keadaan negara ini juga. Dengan penghapusan kebijakan ini tidak membuat kasus tersebut menurun, justru tidak menutup kemungkinan akan lebih meningkat. Karena orang dapat lebih bebas tanpa rasa takut akan pidana dalam melakukan kekerasan seksual. Dan akan berpakaian bebas bahkan vulgar dengan pakaian seksi di tengah-tengah masyarakat. Hal tersebut justru merusak negara dan merupakan tindakan yang menyimpang dari Islam. Pernyataan ini pun menentang Allah bahkan menantang Allah. Karena Allah yang melarang zina, Allah yang menyuruh menutup aurat, tapi manusia justru menyimpang semua kalamullah tersebut.[MO/as]

Membongkar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Februari 05, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh : Rizkya Amaroddini (Mahasiswi STEI Hamfara) Part 2

Mediaoposisi.com- Dalam data statistik terungkap bahwa pornografi di bulan Oktober tahun 2018 sebesar 868.243, konten negative yang di rekomendasikan instansi sector 330, konten yang meresahkan masyarakat 23 dan yang melanggar nilai social budaya 26, jumlah total kasus baik yang di jabarkan dan yang tidak sebesar 936.097.

Dalam Catahu 2018 ranah privat/personal menunjukan hal baru. Terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang meningkat dan cukup besar yaitu 2.227 kasus. Sementara angka kekerasan terhadap istri, tetap menempati peringkat pertama yakni 5.167 kasus. Selain itu, kekerasan dalam pacaran, disusul kasus kekerasan terhadap anak yaitu 1.873 kasus. Diranah privat/personal persentase tinggi adalah kekerasan fisik 3.982 kasus (41% ). Kekerasan seksual 2.979 kasus (31%), kekerasan psikis 1.404 kasus (15%) dan kekerasan ekonomi 1.244 kasus (13%). Selanjutnya kasus perkosaan sebanyak 619 kasus, kemudian persetubuhan/eksploitasi seksual sebanyak 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest itu, 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%). Tiga jenis kekerasan paling banyak pada kekerasan seksual dalam ranah komunitas adalah pencabulan 911 kasus, pelecehan seksual 708 kasus dan perkosaan 669 kasus. Dari data telah di ketahui persentase dari tahun ke tahun semakin meningkat. Inilah salah satu bukti gagalnya mengentaskan persoalan, jika RUU PKS di sahkan hal itu juga akan berdampak luar biasa buruknya terhadap masyarakat. Hal ini menjadi acuan dasar seseorang menolak kebaikan dengan asas HAM atau terkait undang-undang yang mengatur. Kebaikan perlahan mulai di hilangkan, Agama hanya di jadikan tinta sejarah saja. Sungguh miris !!

Saat menyampaikan syiar Islam terkait menutup aurat hal itu bisa mengakibatkan seseorang masuk penjara. Sungguh luar biasa buruk bukan, jika itu tidak mendorong berbagai kalangan untuk menolak, perjuangan mereka pun akan semakin gencar. Sudah tau rezim sekarang anti Islam eh maumaunya di peralat dengan aturan seperti itu.

RUU PKS mengedepankan pemaksaan dalam mengatasinya bukan dari eksensinya, hal ini memberikan gambaran jika RUU PKS di sahkan maka berbagai keburukan merajalela. Proses RUU PKS juga di back up oleh penumpang gelap yang memiliki tujuan dari pengesahan undang-undang tersebut. Undang-undang tersebut akan menjerat bagi pasangan yang halal pula jika ingin berhubungan seksual namun pasangannya merasa enggan dengan alasan yang syar’i atau rasional, bisa di bayangkan betapa buruknya undang-undang tersebut.

Maka sungguh ironis jika masyarakat terutama para pemuda tidak menyuarakan kebenaran dan santai dalam menghadapi mereka yang berusaha melegalkan undang-undang tersebut. Pengesahan RUU PKS akan menjadi halangan bagi masa depan. [MO/ra]

Efektifitas RUU P-KS Terhadap Darurat Kekerasan Seksual Januari 29, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh : Ummu Himmah Mediaoposisi.com-Pucuk dicinta ulam tiba. Bagaikan mendapat angin segar, apa yang diinginkannya telah menemukan momen untuk mendapatkannya. Sudah sejak lama diperjuangkan dan waktunya digolkan. Begitulah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mendapatkan kembali perhatian publik. Mencuatnya kasus prostitusi online beberapa waktu yang lalu yang hanya menyeret mucikari sebagai tersangka, meninggalkan pelaku dan pelanggan pada posisi aman karena tidak adanya sanksi yang menjerat pelanggan. Juga kasus pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril yang dikenai delik UU ITE atau pemerkosaan saat KKN yang menimpa mahasiswi salah satu PTN baru terungkap setelah sekian lama karena ketidak beranian

korban, dan pelecehan seksual lainnya. Merupakan fenomena pucuk gunung es dari darurat seksual yang dinilai oleh publik sangat buruk penanganannya, sehingga korban tidak mendapatkan akses kebenaran, keadilan dan pemulihan. Meski ada UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004 mendorong korban untuk berani bicara, namun tidak mengatur secara khusus penanganan darurat seksual. Sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Lembaga itu mencatat pada 2014, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus dan di 2016 menjadi 5.785 kasus.(Tempo.co 29/1/2019) Data ini sempat digunakan untuk mendesak pengesahan RUU PKS ini waktu itu, namun mandek. Hingga mencuatlah kasus-kasus diatas menjadi tambahan alasan untuk disegerakannya pengesahan RUU ini. Ada delapan bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual versi Komnas Perempuan. Adapun bentuknya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Selain itu, di dalam draf RUU itu juga diatur mengenai sistem pemidanaan bagi para pelaku. Pidana pokok yang bisa dijerat tidak hanya berupa kurungan, tetapi juga meliputi rehabilitasi khusus bagi pelaku yang masih anak-anak, dan restitusi terhadap korban. Pidana kurungan maksimal yang diatur adalah 40 tahun, dan hukuman seumur hidup bagi pemerkosaan dengan pemberatan jika dilakukan kepada anak-anak, wanita hamil, atau penyandang disabilitas. Sementara itu, pidana tambahan mencakup pembatasan ruang gerak pelaku agar tidak mendekati korban yang diadopsi dari ketentuan dalam UU PKDRT, kerja sosial, pencabutan hak politik, pengumuman keputusan hakim, dan sanksi administratif. Yang menjadi pertanyaan berikutnya apakah dengan diketoknya palu RUU menjadi UU maka kekerasan seksual bisa hilang atau minimal berkurang? Kalau dilihat isinya yang secara eksplisit menggambarkan adanya upaya pelegalan pergaulan bebas, penjegalan pernikahan usia dini, pelegalan prostitusi bahkan pelacuran dan penyimpangan seksual. RUU tersebut secara gamblang menyatakan bahwa free seks legal ketika dilakukan dengan pasangan setia meski belum menikah karena dilandasi saling rela bukan perkosaan dan pemaksaan. Ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, boleh untuk diaborsi asal dilakukan oleh petugas medis dan tidak ada paksaan.Pelacuran menjadi boleh ketika dilakukan tanpa paksaan dan kekerasan. Pornoaksi selana tak dipaksa dan bahkan legal bagi e76ib1t1. Sebagaimana yang disampaikan Intinya yang disorot adalah masalah kekerasan seksualnya bukan pada aktivitas seksual itu sendiri. Yang ini semua berdampak pada terjadinya gejolak sosial, penyakit di masyarakat seperti degradasi moral, penyakit kelamin, AIDS, brokenhome, kriminalitas, dan lain-lain. Sejujurnya RUU ini tak dilengkapi tindakan pencegahannya. Padahal pencegahan itulah intinya agar tidak terjadi kekerasan seksual. Maka bisa dipastikan RUU ini adalah upaya liberalisasi hukum islam --penghancuran keluarga muslim bahkan penghapusan hukum

islam. Upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut : Sebagai Individu yang bertakwa Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan sama dihadapan Alloh Ta'ala dalam ketaatannya terhadap hukum syara'. Islam memuliakan wanita dengan syariah menutup aurat secara sempurna, dengan berkerudung dan berjilbab sebagai bagian dari penjagaan atas kehormatannya. Adanya larangan berduaan dan bercampurbaur antara laki dan perempuan. Anjuran untuk menikah bagi pemuda di usia produktif / tidak dibatasi usia sudah baligh. Senantiasa menjaga diri agar selalu dalam suasana keimanan kepada Alloh Ta'ala. Kontrol Sosial di tengah Masyarakat Adanya budaya untuk saling mengingatkan, agar kondisi masyarakat kondusif dan mendukung individu muslim bertakwa kepada Alloh Ta'ala. Aturan yang digunakan berdasarkan syariah islam, sehingga terjadinya kelalaian yang dilakukan oleh individu akan dikembalikan kepada syara' bukan kehendak bersama. Jadi standar perbuatannya adalah halal haram saja. Dan masyarakat ini terbentuk dari individu-individu bertakwa. Peran serta Negara Negara sebagai pengayom rakyat baik muslim atau non muslim melegislasi peraturan berdasarkan syariat islam. Negara menutup celah untuk terjadinya kemaksiatan baik melalui media sosial atau tempat-tempat yang bisa menjadi sarana kemaksiatan seperti cafe dan sejenisnya. Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan difasilitasi untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok dan tambahan melalui lapangan pekerjaan bagi lelaki penanggung nafkah. Negara mempermudah akses pendidikan bagi semua rakyat untuk meningkatkan mutu SDM dan mencetak generasi robbani. Negara memberikan jaminan keamanan jiwa dan harta rakyatnya dengan diterapkannya hukum yang adil di tengah masyarakat. Negara mengedukasi rakyatnya melalui departemen penerangannya agar rakyat terkondisikan selalu dalam suasana keimanan dan bersih dari pemikiran yang merusak seperti sekulerisme dan komunisme. Negara seperti ini tentunya negara yang berdiri berdasarkan alqur'an sunnah yaitu Khilafah. Yang akan segera berdiri kembali dalam waktu dekat.[MO/sr]

Menemukan Kembali Izzah Wanita Yang Hilang Maret 26, 2018 A+A-PrintEmail

Oleh : Ningsri Fuanah, A.Md (Pemerhati Perempuan dan Pembina Majlis Ta'lim)

“Wanita dijajah Pria Sejak Dulu” Mediaoposisi.com-Potongan bait lagu diatas nampaknya menggambarkan realitas kaum hawa saat ini. Kekerasan terhadap kaum hawa semakin hari semakin menjadi, hingga tak jelas lagi kehormatan kaum hawa ada dimana. Bukan tanpa data, melainkan ini realitas yang berseliweran di depan mata. Lihatlah apa yang terjadi pada perempuan negeri ini, menurut data Komnas Perempuan menunjukkan setiap hari ada 35 perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual, salah satunya perkosaan. Ini artinya, setiap dua jam terjadi tiga kasus (VIVA.Co.Id). Bahkan yang terbaru apa yang terjadi dengan kasus kekerasan di Jawa Tengah (Jateng), selama Januari 2018 sampai pertengahan bulan ini saja sudah ada 704 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, 78,80 persen jadi korban kekerasan seksual, 11,00

persen kekerasan fisik dan 10,20 persen kekerasan psikis (MuriaNewsCom). Fakta di atas memberi gambaran bahwa wanita saat ini sudah kehilangan izzahnya (kehormatan, red). Wanita selalu menjadi bulan-bulanan kejahatan. Hal itu wajar, karena paradigma sistem liberal yang mercokol saat ini menempatkan wanita sebagai sosok lemah, sosok yang tidak memiliki sisi strategis sedikitpun sehingga siapa saja berhak memperlakukan wanita dengan kasar. Bahkan oleh orang-orang terdekat sekalipun yang seharusnya melindunginya. Mirisnya penanganan terhadap kekerasan terhadap perempuan selama ini sangatlah lamban. Justru solusi-solusi yang digelontorkan hanya mendatangkan masalah baru. Sebutlah salah satu contohya apa yang saat ini sedang digodog pemerintah untuk menangani kekerasan pada perempuan ini, yaitu dengan wacana pembahasan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sejak digelontorkanya RUU ini, dari namanya saja sudah banyak yang mengoreksi, apalagi jika melihat isinya. RUU PKS ini mengundang kontroversi, bagi kalangan yang pro mereka yakin bahwa dengan disahkan UU ini nantinya akan menjadi terobosan dalam pencegahan kekerasan seksual, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan keluarganya, serta penindakan tegas para pelaku kekerasan seksual di Indonesia. Namun bagi yang kontra tidak sedikit dari mereka khawatir UU ini justru akan menyuburkan kekerasan itu sendiri. Terlepas dari kontroversi RUU PKS ini, sebetulnya jika kita melihat kasus kekerasan pada perempuan yang semakin meningkat setiap tahunnya itu menandakan bahwa peraturanperaturan yang telah dibuat pemerintah untuk menyelesaikan masalah tersebut tidaklah manjur. Malah menimbulkan komplikasi dimana-mana, begitupun yang mungkin akan terjadi dengan RUU PKS ini. Apalagi jika melihat point-poinya jelas didalamnya terdapat unsurunsur ide-ide kebebasan, melebarkan ruang perzinahan dan perilaku menyimpang seperti LGBT yang justru akan melanggengkan dan melebarkan permasalahan yang ada. Apalagi pendekatan solusinya juga lebih mengedepankan sisi feministik yang justru akan melanggegkan kebebasan berlandas HAM yang secara fakta justru ide-ide kebebasan inilah yang telah meliarkan pikiran manusia untuk bertindak sesuai nafsunya dan sehingga sanggup bertindak tidak manusiawi. Hal ini jelas, bahwa niat sebagus apapun dalam upaya menuntaskan masalah kekerasan pada perempuan, jika aturan yang dibuatnya lahir dari otak-otak yang penuh keterbatasan maka pasti akan tidak mampu untuk menjadi solusi, termasuk RUU PKS ini. Sepintar-pintarnya manusia dan setinggi apapun kecerdasan akal manusia, maka pasti tidak akan bisa berjalan dengan lurus tanpa bimbingan wahyu. Akal manusia ibarat sepasang mata sedangkan dalil wahyu bagaikan lentera atau cahaya.

Mata tidak akan bisa berfungsi dengan baik tanpa adanya cahaya. Mata kita baru bisa berfungsi dengan baik dan benar jika ada cahaya. Cahaya tersebut sebagaimana kedudukan dalil wahyu terhadap akal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Akal tidaklah bisa berdiri sendiri, akal baru bisa berfungsi jika dia memiliki naluri dan kekuatan sebagaimana mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapatkan cahaya iman dan al-Qur’an barulah akal bisa seperti mata yang mendapatkan cahaya matahari. Jika tanpa cahaya tersebut, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” [Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah] Sementara disisi lain, sebetulnya ada solusi sekaligus menjadi alternatif satu-satunya yang telah memberi uswah (contoh teladan). Sudah terbukti dalam lembaran fakta sejarah, kemampuannya dalam memberikan kemuliaan pada perempuan. Dialah Islam, agama sekaligus jalan hidup yang memberikan kejelasan aturan untuk seluruh manusia termasuk di dalamnya perempuan, agar hidup dalam kemuliaan. Aturan-aturan dalam islam semuanya lahir dari Zat yang memiliki otoritas untuk mengatur manusia yang tidak lain dialah Al-Khaliq sekaligus Al-Mudabbir, Allah Ta'ala. Ketika kalam Allah terterap dalam kehidupan dan dijadikan panduan dalam mengarungi kehidupan, hanya kemuliaan saja yang nampak darinya. Syariat Islam laksana sinar mentari yang menyinari kehidupan. Dimana syariat dilaksanakan, disana manusia akan selalu mendapatkan standar nilai yang jelas; terlepas bahwa mereka secara lahiriyah menampakkan kebencian, permusuhan, dan sikap antipatinya kepada syariat tersebut. Allah Ta’ala tidak peduli dengan sikap permusuhan mereka, sebab Dia menurunkan syariat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam; meskipun orang-orang zalim, fasik, dan kafir membenci. Sebagaimana Allah menyampaikanya dalam firmanNya: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb-mu, maka janganlah engkau termasuk bagian dari orang-orang yang ragu.” (Al Baqarah: 147) Di sisi lain berdasar fakta sejarah telah mencatat bagaimana kaum perempuan sangat dimuliakan dalam islam. Pernah ada seorang perempuan yang dilecehkan oleh lelaki Yahudi Bani Qoinuqo, saat ia berada di pasar. Maka Rasulullah yang saat itu sebagai pemimpin penerap aturan islam, tidak segan-segan menurunkan pasukannya dalam jumlah besar dan melakukan pengepungan terhadap Yahudi Bani Qoinuqo. Pengepungan tersebut berujung dengan pengusiran Bani Qoinuqo dari Madinah. Ketegasan Rasulullah terhadap Bani Qoinuqo semata karena dia memahami bahwa perempuan sangatlah mulia dan tidak boleh dilecehkan izzahnya.

Sehingga hal ini jelas, menerapkan aturan yang lahir dari Kalamullah dalam sebuah institusi kepemimpinan yang menerapkan islam, adalah sebagai hal urgen yang harus diwujudkan untuk menyelesaikan hilangnya izzah perempuan akibat kekerasan terhadapnya.[MO]

Menjerat Swinger Dalam Bayangan RUUPKS April 23, 2018 A+A-PrintEmail

Oleh: Rini Rufaedah Mediaoposisi.com-Tersiar di media , ada komunitas swinger yang di grebeg Kepolisian Daerah Jawa Timur di Malang. Swinger adalah perilaku seks menyimpang yang melibatkan pasangan resmi (pasutri).

Sepasang pelaku ternyata merupakan warga surabaya, dua pasangan lainnya adalah warga Lawang, Malang. Komunitas ini terbentuk atas inisiasi THD dengan membuat grup Facebook bernama Sparkling sejak tahun 2013 lalu. Di grup tertutup ini, mereka kerap membuat kesepakatan untuk melakukan aktifitas seksual bersama-sama dan bertukar pasangan. (iNews.id/ 16/04/18). Sejak terbentuk tahun itu mereka terus merekrut anggota baru dan menggelar pesta seks. Komunitas semacam ini terus merebak di berbagai akun sosial media, sebagaimana komunitas LGBT yang kemaren sempat viral. Motifnya tidak lain untuk memuaskan fantasi (seksual) para anggota, sebagaimana penuturan pelaku swinger di Malang. Tidak ada perbuatan prostitusi di sana. Anehnya, polisi hanya menetapkan satu tersangka saja yakni admin grup, sedangkan yang lainya adalah korban. Pelaku dijerat tindak pidana dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain sebagaimana pasal 296 KUHP dengan ancaman hukuman penjara selama satu tahun empat bulan. Bagi kita yang masih menyadari norma agama, tentu menganggap perbuatan tak senonoh swinger sangatlah tidak pantas. Sungguh perbuatan yang lebih rendah dari binatang. Namun di sisi lain, beberapa waktu yang lalu ternyata mulai digodog rancangan undangundang penghapusan kekerasan seksual (RUU – PKS) . RUU ini sangat sarat akan aturan liberal. Nilai liberal yang muncul pada rancangan tersebut adalah ‘pelacuran paksa’ , yang berarti jika pelacuran itu tanpa paksaan maka sahsah saja. RUU pun tidak menyinggung zina atas dasar suka sama suka. Singkatnya, yang akan dipidana hanyalah yang terdapat unsur paksaan, seperti pelecehan seksual. Jika kasus swinger dikaitkan dengan rancangan yang diajukan di parlemen, tentu bisa dibayangkan ke depan akan seperti apa? Akan terjadi pelegalan zina, termasuk aktifitas swinger, karena mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Bahkan lebih menyedihkan lagi adalah ketika RUU ini aktifitas penyimpangan-penyimpangan seksual apapun Seandainya mau mengoptimalkan akal harusnya tidak

jadi disahkan, maka tidak bisa diadili.

sehat, maka perilaku (swinger) dapat

tersebut diterima.

Bayangkan saja, tidak ada perasaan cemburu terhadap pasangannya sama sekali.Justru malah saling bersepakat untuk melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang lain. Inilah fakta yang mengenaskan, perzinaan dengan berbagai modus sudah menjadi makanan sehari-hari.

Sudah dianggap sesuatu yang wajar. Eh malah didukung pula dengan RUU yang sarat nilai-nilai kebebasan (liberalisme). Masyarakat di negri muslim terbesar ini, benarbenar sudah diambang kehancuran. Liberalisme merupakan paham kebebasan, yang sengaja dibawa oleh Barat untuk menghancurkan sendi-sendi kaum muslim. Dari lingkup terkecil yakni banyaknya kontenkonten pornografi yang merusak pemikiran umat . Ditambah upaya penghancuran keluarga dengan cara membuat komunitas yang rusak, yang banyak ditiru oleh mereka yang lemah pemahaman Islamnya. Semua demi peringatan

untuk

menyalurkan hawa yang telah

nafsunya tanpa Allah

menghiraukan sampaikan.

“Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32). Apalagi di jalur legislasi, upaya merusak dan terus membuat arus kebebasan ini menjadi legal masih getol digulirkan. Sempurnalah sudah kerusakan tersebut! Maka sebagai seorang muslim tidak selayaknya membiarkan kasus seperti ini terus berulang. Diperlukan solusi yang komprehensif untuk menuntaskannya. Dalam kacamata Islam, telah dijelaskan mengenai hukuman bagi pelaku zina yaitu terdapat pada nash al Qur’an “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiaptiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS. An-Nur :2). Apabila pelakunya belum menikah, dan melakukan zina secara suka rela atau tidak diperkosa maka mereka dihukum dengan dicambuk 100 kali. Kemudian jika pelaku telah pernah menikah dirajam sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits mutawatir dan ijma’ Shohabat. Diharapkan bisa menimbulkan efek jera bagi pelakunya, sehingga perilaku seksual yang ”ilegal” dan menyimpang dapat dihentikan. Dibutuhkan juga pengaturan interaksi sosial antara kedua jenis manusia ini (pria dan wanita) agar bisa terjauhkan dari aktifitas yang berorientasi seksual. Justru keberadaan mereka agar bisa saling ta’awun (kerjasama) yang bersih, agar bisa berkhidmat pada kepentingan umat secara umum. Seperti di bidang pendidikan, kesehatan atau bidang yang lain yang membutuhkan peran semua nya, baik pria maupun wanita. Sedangkan, untuk menyalurkan kebutuhan seksual , Islam hanya membuka satu pintu yang bersih yaitu pernikahan. Bukan pergaulan bebas.

Namun hukuman dan pengaturan interksi sosial yang seperti itu, tidak akan pernah bisa diterapkan apabila tidak ada negara yang menaunginya. Hanya dengan Sistem Islam, hukum-hukum syariat dapat diterapk

Membongkar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Februari 03, 2019 A+A-PrintEmail

Oleh : Rizkya Amaroddini (Mahasiswi STEI Hamfara)

Part 1

Mediaoposisi.com- Petisi yang berisi penolakan RUU P-KS (Penghapusan Kekerasan Seksual) menuai kritikan di berbagai tempat. Namun ada segelintir partai seperti PDI dan kaum pro LGBT, kaum feminisme serta liberalis sangat mendukung untuk di putuskan dalam DPR.

Umat telah melihat bahwa kinerja DPR selama 5 tahun ini sungguh buruk, sehingga mereka yang anti Islam segera mendesak untuk mengesahkan RUU tersebut. Seperti kutipan "Dari 28 ribu sekian (korban) itu ada hambatan untuk mengakses keadilan sekaligus pemulihan," kata Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahe'i dalam diskusi Polemik MNC Trijaya berjudul "Pro Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual" di d'Consulate Resto, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/2/2019).

"RUU PKS ini berangkat dari fenomena hambatan di mana perempuan korban kekerasan seksual dan laki-laki tidak mendapat akses yang cukup untuk mendapat keadilan," jelas Imam. Tak dapat kita pungkiri secara logika itu masuk akal, namun di balik semua ini tujuan apa yang ingin di raih mereka ? Secara garis besar filosofi dasar atas kekerasan sesual tidak di dasarkan pada baik atau buruk, halal atau haram, tetapi ‘suka atau tidak suka’ si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Cara pandang tersebut terus di gencarkan supaya dalam hidup mereka tidak memakai aturan melainkan sebuah kebebasan, hal ini berawal dari anggapan bahwa aturan itu mengekang kebebasan mereka. Pengaturan dan perilaku seksual perempuan di anggap sebagai bentuk kekerasan gender atau kekerasan seksual. Nah pemikiran seperti inilah yang membebaskan dari aturan dan pengontrolan baik dari orang tua, nilai Agama, atau Negara. Kebebasan ini yang mengindikasikan seseorang bertindak apapun dan dengan siapa pun.

Jika RUU di sahkan maka berpotensi : 1. legalnya perzinahan 2. Menyuburkan perilaku LGBT 3 3. Legalnya prostitusi online maupun offline 4 4. Aborsi merajalela 5. Pemerkosaan, Perbudakan seksual dan bentuk kekerasan lainnya akan di maknai secara liberal dan multitafsir 6. Mengkriminalisasi hubungan seksual yang halal sebagai bentuk pemaksaan 7. Korban dari kekerasan seksual tidak mendapat keadilan Di Indonesia pun telah terjadi berbagai kasus kekerasan seksual, namun hukuman yang di berikan tidak pernah jera. Faktanya tidak memberantas justru persentase semakin naik. Kejadian yang terungkap saja masih mengambang cara mengatasinya apalagi yang belum terungkap dan masih di persulit dalam pengaduan ke pihak hukum. Nah sekarang justru RUU seperti itu mau di sahkan. Jika sebuah Negara dalam mengurusi

rakyatnya saja tidak becus, mau di kemanakan nasib bangsa ini. Negara saja melindungi kejahatan dan menghukum yang mensyiarkan kebaikan. Jika Negara mengentaskan persoalan kekerasan seksual seharusya berbagai tayangan pornografi di hapuskan bukan memberikan berbagai alasan yang basi.

Penanganan dari berbagai kasus oleh Pemerintah Indonesia justru mengembalikan pada nilainilai spiritual dan mayoritas untuk menekan angka kejahatan seksual. [MO/ra]

Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik Selasa, 21 November 2017 - 09:17 WIB Kita sangat berharap pemerintah dan masyarakat tak mudah tepengaruh kampanye penghapusan kekerasan seksual dengan cara pandang sekuler-liberal terhadap seksualitas

ANT

Aksi mahasiswa menolak seks bebas dan kondomisasi

Terkait 

Alasan PKS Tolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



Bamsoet: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Banyak Disoroti Masyarakat



AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah

(Halaman 1 dari 2) Oleh: Dr Dinar Dewi Kania AKHIR-akhir ini berbagai aktivitas dilakukan untuk mengampanyekan penghapusan kekerasan seksual. Aktivitas tersebut sangat bervariasi, mulai dari acara nonton film bersama, seminar, pengumpulan tandatangan di kampus, mall, serta media sosial, sampai agenda yang bersifat serius, yaitu pengajuan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS). Kampanye tersebut digalakkan karena adanya pihak-pihak yang menyatakan bahwa di Indonesia terjadi “Darurat Kekerasan Seksual”. Alasannya karena maraknya pemberitaan terkait perkosaan, pencabulan, dan penyiksaan bernuansa seksual yang kadang berujung pada pembunuhan terhadap korban. Benarkah di Indonesia terjadi darurat kekerasan seksual? Untuk menilai kebenaran sebuah pernyataan, kita harus memiliki pengetahuan konseptual tentang istilah-istilah yang digunakan. Kekerasan seksual menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) didefinisikan sebagai berikut: “ … any sexual act, attempt to obtain a sexual act, unwanted sexual comments or advances,or acts to traffic, or otherwise directed, against a person’s sexuality using coercion,by any person regardless of their relationship to the victim, in any setting, including but not limited to home and work. Coercion can cover a whole spectrum of degrees of force. Apart from physical force, it may involve psychological intimidation, blackmail or other threats. “ (Krug, Etienne G., 2002. World Report on Violence and Health, Geneva : World Health Organization. Dapat juga dilihat dalam dokumen resmi PBB lainnya).

Komnas Perempuan sebagai salah satu penggagas kampanye penghapusan kekerasanseksual di Indonesia merumuskan arti kekerasan seksual sebagaimana definisi PBB, namun ditambahkan frasa “karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender”. “…setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau perbuatan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.” Baca: Islam dan Kesesatan Paham Gender

Dalam penjelasannya, kedua definisi tersebut mengafirmasi bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk dari kekerasan berbasis gender. Gender merupakan jenis kelamin sosial yang merupakan sebuah konstruksi sosial, berbeda dengan seks yang mengacu kepada organ biologis seseorang.Kekerasan berbasis gender bukan berarti semua korbannya berjenis kelamin biologis perempuan, melainkan dapat meliputi kondisi dimana laki-laki menjadi korban kekerasan seksual, yaitu lelaki yang dilecehkan, dipukul, dibunuh karena laki-laki tersebut berperilaku sesuai dengan padangan maskulinitas yang diterima oleh lingkungan sosial. (Definitions of sexual and gender-based violence, http://www.irinnews.org/feature/2004/09/01/definitions-sexual-andgender-based-violence) Komnas Perempuan mengafirmasi 15 (lima belas) bentuk kekerasan seksual yaitu:1) perkosaan; 2) intimidasi seksual;3) pelecehan seksual; 4) eksploitasi seksual; 5) perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; 6) prostitusipaksa; 7) perbudakan seksual; 8) pemaksaan perkawinan; 9) pemaksaan kehamilan; 10) pemaksaan aborsi;11) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; 12) penyiksaan seksual; 13) penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; 14) praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan; 15) kontrol seksual. Namun,draf RUU P-KS yang diajukanhanya mengakomodasi 9 (sembilan) bentuk kekerasan seksual. Kelima bentuk lainnya seperti indimidasi seksual,pemaksaan kehamilan,penghukuman tidak manusiawi bernuansa seksual, kontrol seksual, dan tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan tidak dimasukkan sebagai bentuk kekerasan seksual. Meskipun demikian, Naskah Akademik RUU tersebut tetap mencantumkan kelima belas bentuk kekerasan seksual dalam penjelasan kasus-kasus yang dipaparkan dalam Naskah Akademik RUU P-KS. Ada Apa dengan Kekerasan Seksual? Pengaruh feminismedalam kampanye penghapusan kekerasan seksualtampak jelas dari penggunaan kata-kata “relasi kuasa atau relasi gender”dalam definisi kekerasan seksual yangmenyiratkanpeperangan terhadap konsep patriarki.Kekerasan seksual yang dimaksud para feminismerupakan bentuk dari gender-based violence atau kekerasan berbasis gender, yaitu mencakup orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender. (Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, Februari 2017) Dalam konsep kekerasan seksual, dominasi historis, sosial, dan politik laki-laki atas perempuan (patriarki) adalah akar penyebab kekerasan berbasis gender. Norma gender yang merendahkan peran perempuan dalam masyarakat dan peran keluarga juga dianggap sebagai penyebab kekerasan seksual. (Dinah Douglas, et all. 2015. United Nation Women Background Guide). Upaya penghapusan kekerasan seksual menurut mereka harus dimulai dengan mendefinisikan ulang norma dan kultur gender karena di dunia modern masih

terdapat banyak bias gender, kekuasaan atau kontrol terhadap perempuan dan anak perempuan. (dijelaskan dalam (“Definitions of sexual and gender-based violence, http://www.irinnews.org/feature/2004/09/01/definitions-sexual-andgender-based-violence) Baca: Sesat Pikir Keadilan Gender

Filosofi yang mendasari munculnyakonsepkekerasanseksual adalahpandanganbahwa kebebasan sejati perempuan hanya bisa diwujudkan apabila perempuan dapat mengontrol tubuhnya sendiri, my body is mine. Salah satu elemen penting patriarki adalah kontrolterhadap aktivitas seksual dan reproduksi dari tubuh perempuan. Pandangan tersebut merupakan ciri khas “worldview”kaum feminis radikal. Menurut Simone de Beauvoir, meskipun perempuan telah memperoleh haknya untuk dapat berperan di ranah publik, berpendidikan tinggi, serta memiliki hak politik, hal tersebut belum cukup untuk memberikan kebahagiaan sejati bagi kaum perempuan.Baginya, struktur sosial tidak pernah bisa dimodifikasi atau diubah dengan adanya pengakuan terhadap hak-hak perempuan tersebut. (Simone de Beauvoir. 1956.The Second Sex, London : Lowe and Brydone (Printers) Ltd) Wanita hanya akan selalu menjadi pelengkap laki-laki dan tertindasjika perempuan belum memilikikekuasaan penuh atas tubuh dan aktivitas seksual mereka. Tidak sulit untuk menilai kuatnya pengaruh feminis radikal apabila kita lebih kritis dalam membaca definisi dari bentuk-bentuk kekerasaan seksual yang mereka kampanyekan, seperti perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, kontrol seksual, dan lain-lain. Perkosaan sebagai kekerasan seksual, tidak lagi dipahami sebagai perkosaan yang dikenal selama ini oleh masyarakat luas.Gerakan feminisme dan revolusi seksual di Barat telah berhasil memperluas makna perkosaan dan mengubah definisi hukumnya. Sebagian negara di dunia menyetujui untuk mengadopsi “standar internasional” tentang perkosaan ini. (Debusscher, Petra. 2015. Women’s Rights and Gender Equality :Evaluation of the Beijing Platform for Action +20 and the opportunities for achieving gender equality and the empowerment of women in the post-2015 development agenda. Directorate General For Internal Policies Policy Department C: Citizens’ Rights AndConstitutional Affairs) Kaum feminis di mayoritas negara bagian Amerika Serikat telah berhasil mengganti definisi hukum perkosaan.Begitu pula dengan Inggris Raya (UK) yang telah mengadopsi perubahan tersebut dengan disahkannya Sexual Offences Act 2003. Dalam Undang-Undang tersebut definisi perkosaan diperluas dan menggunakan definisi hukum “persetujuan” (concent). Namun, pada pelaksanaannya, Undang-Undang tersebut dianggap ambigu sehingga mengundang banyak kontroversi bagi masyakarat Barat sekalipun mereka

sangat liberal dalam hal seksualitas. (Did you know the legal definition of rape and ‘consent’ is changing? Here’s how, the Teleghrap, Monday 20 November 2017) Baca: Selamat Datang “Pendekar Gender”

Definisi perkosaan yang diperluas ini merupakan revolusi yang berhasil dilakukan feminis Barat karena telah mengubah cara pandang masyarakat tentang perkosaan. Kini, revolusi tersebut dipropagandakan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan cara mem-blow–upkasus-kasusperkosaan guna memperoleh dukungan terhadap kampanye penghapusan kekerasan seksual. Definisi perkosaan semacam ini di satu sisi memunculkan “ancaman” bagi pihak yang melakukan hubungan seksual secara legal, namun di sisi lain justru memunculkan “perlindungan”terhadap penyimpangan seksual, seperti pelaku prostitusi. Perkosaan dapat terjadi apabila aktivitas seksual tidak dilakukan sesuai kesepakatan, misalnya apabila laki-laki tidak menggunakan kondom padahal ia telah setuju untuk menggunakannya. Tugas penting dalam agenda feminis adalah menyangkal bahwa apa yang perempuan kenakan, ke mana dia pergi, dan dengan siapa, atau pilihan seksual di masa lalu memiliki relevansi dengan persetujuannya untuk melakukan seks pada suatu kesempatan tertentu. Oleh karena itu, pakaian perempuan yang provokatif, tindakan flirting atau perilaku menggoda dari pihak perempuan, dan datang dengan sukarela ke kamar seorang laki-lakitidak dikategorikan sebagai tindakan berisiko (unsafe behaviour) yang dapat memicu terjadinya perkosaan. (Lihat mitos dan fakta tentang kekerasan seksual https://www.law.georgetown.edu/campuslife/advising-counseling/personal-counseling/sarvl/general-information.cfm) Menurut mereka, penyebab utama dari perkosaan atau kekerasan seksual lainnya adalah rape culture yang selama ini tertanam dalam pikiran laki-laki untuk mengontrol dan menindas perempuan dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Dalam banyak aksinya, kaum feminis kerap melakukan aksi telanjang dada sebagai simbol penguasaan penuh akan tubuh mereka. Kata kunci dari konsep kekerasaan seksual yang diusung feminis adalah adanya paksaan atau tidak adanya persetujuan dari seseorang, bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya yang terdapat pada suatu masyarakat.Akibatnya, perilaku seksual yang selama ini dianggap menyimpang dan berisiko tinggi tertular penyakit kelamin mematikan, seperti perzinaan dan LGBT, justru tidak dianggap sebagai bagian dari bentuk kekerasan seksual karena perzinaan pada umumnya dilandasi suka sama-suka dan bukan paksaan. Perilaku LBGT tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual apabila dilakukan dengan kesadaran dari pelakunya. Bahkan, orang-orang yang

menolak perilaku LBGT dianggap telah melakukan kekerasan seksual karena tidak dapat menerima pilihan orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda. Begitupun dengan tindakan pelacuran, aborsi, dan nudity yang dilakukan atas kemauan sendiri tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur pemaksaan.Menurut konsep kekerasan seksual, yang termasuk bentuk kekerasanadalah tindakan pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, pemaksaan nudity, dan lain-lain sehingga apabila ditafsirkan secaraa contrario atau kebalikan maka perbuatan-perbuatan tersebut jika dilakukan dengan kesadaran dan tanpa tekanan atau paksaanmaka dapat dilegalkan secara hukum.*>>>> Bersambung Melalui enam langkah ini, harapan untuk melahirkan manusia yang beradab, yang akan menjadi arsitek peradaban insyaaAllah bisa terwujud. Sebab, menurut al-Attas, tujuan utama pendidikan adalah melahirkan manusia-manusia yang baik (good man), atau manusia beradab (insan adabi). Sedangkan proses pendidikan yang utama adalah proses penanaman adab ke dalam diri manusia, sebagai manusia. Meskipun sejak tahun 2002, al-Attas telah diberhentikan dari ISTAC, dan institusi pendidikan unggul itu kemudian ditutup, tetapi gagasan al-Attas semakin luas dipahami dan diperjuangkan, baik di Malaysia dan di Indonesia. Adalah Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud yang bisa dikatakan berjasa besar dalam menjelaskan, mengembangkan dan melanjutkan penerapan konsep adab al-Attas itu dalam berbagai institusi dan tingkat pendidikan. Salah satu yang penting adalah pendirian CASISUTM (Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation—Universiti Teknologi Malaysia).

Baca: Prof Wan Mohd Nor Wan Daud: “Islamisasi Ilmu tak Berarti Anti Barat” Prof. al-Attas dan Prof. Wan Mohd Nor dalam berbagai kesempatan mengingatkan pentingnya pembenahan pendidikan di tingkat Pendidikan Tinggi. Sebab, kekeliruan dan kerancuan ilmu di peringkat tinggi ini akan melahirkan sarjana-sarjana yang akan menerapkan ilmunya pada peringkat pendidikan yang lebih rendah. Dalam proses pendidikan, guru merupakan kunci perbaikan pendidikan. Guru adalah produk pendidikan tinggi. Jika guru mendapat ilmu yang salah, maka ia akan berpikir dan berperilaku salah pula. Ilmu yang salah itulah yang selanjutnya ia ajarkan kepada para muridnya. Akibatnya, tercipta lingkaran setan kekeliruan ilmu dan pendidikan, yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin yang keliru pula; yang tidak beradab; yang tidak memahami bagaimana seharusnya memahami dan menyikapi segala sesuatu dengan benar dan tepat, sesuai dengan harkat dan mertabat yang ditentukan Allah.

Baca: Pentingnya Islamisasi Ilmu dengan Memisahkan Unsur Asing dan Barat yang Sekuler Di sinilah tampak urgensi konsep Islamisasi ilmu dan pembenahan pendidikan tinggi, sebagaimana digagas puluhan tahun lalu oleh Prof. Naquib al-Attas, kemudian dikembangkan oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, dan kini digaungkan kembali oleh Dr. Muhammad Ardiansyah melalui disertasi doktornya. Disertasi Dr. Ardiansyah ini menguatkan kembali teori Prof. Naquib al-Attas, bahwa solusi yang paling mendasar bagi masalah utama umat Islam dewasa ini, adalah penerapan konsep adab dalam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Solusi itu akan mengurai akar krisis umat Islam dewasa ini, yaitu ‘hilang adab’, atau loss of adab. Wallahu A’lam. (Semarang, 18 November 2017).*

Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat. Kolom CAP adalah kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

Aroma Kebebasan Seksual di balik RUU Penghapusan Seksual Kamis, 22 Maret 2018 - 12:52 WIB Padahal kekerasan seksual akan terselesaikan dengan penerapan syariat. Islam ada perintah menutup aurat juga menundukkan pandangan

YAHYA G NASRULLAH/HIDAYATULLAH.COM

Rapat Dengar Pendapat (RDP) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Ruang Rapat Komisi VIII DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (31/01/2018).

Terkait 

Wali Kota Padang Tolak RUU P-KS karena dinilai Pro LGBT



4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



Bamsoet: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Banyak Disoroti Masyarakat



AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah

Oleh: Ragil Rahayu Wilujeng

RANCANGAN UNDANG-UNDANG (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sejak Januari 2016, DPR setuju RUU ini masuk Prolegnas 2015-2019. RUU yang ditargetkan ketok palu tahun 2018 ini dibahas oleh Komisi VIII yakni bidang agama, sosial dan pemberdayaan perempuan. RUU PKS muncul didasari tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Pada catatan tahunan 2017 Komnas Perempuan, tercatat 348.446 kasus kekerasan yang dilaporkan selama tahun 2017. Angka tersebut naik 74 persen dari tahun 2016 sebanyak 259.150 (www.komnasperempuan.go.id). Kekerasan seksual tak hanya marak di Indonesia, namun menjadi masalah dunia. Data dari PBB menyebutkan 35 persen perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan secara fisik dan seksual. 120 juta perempuan di dunia pernah dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dan tindakan seksual lainnya. (Serambinews.com) Draft RUU PKS Draft RUU PKS memantik kontroversi. Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama sejumlah lembaga di ruang rapat Fraksi PKS menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diwaspadai karena dinilai sarat dengan konsep Barat yang liberal (Hidayatullah.com, 31/5/2016 ) Baca: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Perlu Diwaspadai

Berikut adalah pasal-pasal yang kontroversial dalam RUU PKS : Pasal 5 (1) Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual dalam segala bentuknya. (2) Bentuk Kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi; a. Pelecehan seksual, b. Kontrol seksual , c. Perkosaan, d. Eksploitasi seksual, e. Penyiksaan seksual, dan f. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh, seksualitas dan/atau organ reproduksi sebagai sasaran (3) Setiap tindakan persetujuan diam-diam atau pembiaran yang dilakukan oleh lembaga negara, korporasi, dan lembaga masyarakat, yang berakibat terjadinya kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (2) merupakan tindak pidana kelalaian. Perlakuan atau penghukuman lain tidak manusiawi yang menjadikan tubuh dan seksualitas atau organ reproduksi sebagai sasaran, dan/atau merendahkan martabat kemanusiaan Pasal 6

(1) Tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) huruf a adalah tindakan menghina dan/atau menyerang tubuh dan seksualitas seseorang. (2) Bentuk-bentuk tindak pidana pelecehan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat 2) huruf a meliputi: a. Pelecehan fisik; b. Pelecehan lisan; c. Pelecehan isyarat; d. Pelecehan tertulis atau gambar; dan e. Pelecehan psikologis atau emosional Pasal 7 (1) Tindak pidana kontrol seksual sebagaimana pasal 5 ayat (2) huruf b adalah tindakan yang dilakukan dengan paksaan, ancaman kekerasan, atau tanpa kesepakatan dengan tujuan melakukan pembatasan, pengurangan, penghilangan dan atau pengambilalihan hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. (2) Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; b. Pemaksaan kehamilan; c. Pemaksaan aborsi;d. Pemaksaan sterilisasi; dan e. Pemaksaan perkawinan. Pasal 8 (1) Tindak pidana perkosaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c adalah tindakan seksual dengan menggunakan alat kelamin atau anggota tubuh lainnya atau benda ke arah dan/atau ke dalam organ tubuh yaitu pada vagina, anus, mulut, atau anggota tubuh lain, dilakukan dengan cara paksa, atau kekerasan, atau ancaman kekerasan, atau tekanan psikis, atau bujuk rayu, atau tipu muslihat, atau terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan yang sesungguhnya. (2) Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan. Baca: DPR: RUU Penghapusan KS Tumpang Tindih dengan UU Lain

Aroma Kebebasan Seksual Frasa kontrol seksual pada pasal 5 ayat (2) huruf b yang dikategorikan kekerasan seksual artinya mendorong setiap orang untuk bebas memilih aktivitas seksual tanpa ada kontrol dari pihak lain. Pihak yang melakukan kontrol seksual justru bisa dipidanakan. Orang tua tidak boleh melarang anak lajangnya melakukan hubungan seks bebas karena bisa terkategori kontrol sosial. Aktivitas LGBT juga terlindungi dengan frasa ini. Kebebasan seksual ini makin nampak pada pasal 7 ayat (1) yaitu adanya hak mengambil keputusan yang terbaik atas diri, tubuh dan seksualitas seseorang

agar melakukan atau berbuat atau tidak berbuat. Artinya kebebasan seksual harus dilindungi. Termasuk ketika memilih seks bebas, kumpul kebo, zina dan seks menyimpang semisal LGBT. Lebih jauh lagi, pada pasal 7 ayat (2) dinyatakan bahwa Kontrol Seksual sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. Pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan busana tertentu; Maka orang tua tidak boleh mendisiplinkan anaknya berhijab untuk menutup aurat. Karena termasuk kontrol seksual dalam hal busana. Seorang laki-laki tidak harus berpakaian laki-laki, namun boleh berpakaian perempuan. Demikian juga sebaliknya. Perempuan boleh berpakaian laki-laki. Karena melarangnya termasuk kontrol seksual. Para perempuan juga berhak berbaju seksi dan minim, karena itu dianggap hak yang dilindungi undangundang. Pasal 8 ayat (2) menyebutkan bahwa Tindak pidana perkosaan meliputi perkosaan di dalam dan di luar hubungan perkawinan.Sesuai pasal ini, seorang istri bisa sesuka hatinya memilih untuk melayani suami atau tidak. Jika suami memaksa untuk berhubungan, maka terkategori pemerkosaan. Baca: Penghapusan Kekerasan Seksual: Sebuah Kritik

Aurat Asal muasal maraknya kekerasan seksual adalah tidak dijalankannya syariat Islam untuk mengatur interaksi sosial masyarakat. Aurat perempuan dipertontonkan dimana-mana dengan vulgar. Pornografi menyeruak hingga ke ujung jari (gadget). Anak-anak sejak dini sudah terpapar pornografi. Saat ini bukan lagi zaman dimana orang mencari konten pornografi. Tapi konten pornografi yang mendatangi kita. Tanpa diminta. Di sisi lain, aturan tentang pornografi dan pornoaksi sangat lemah. Karena definisi porno juga makin liberal. Video seorang anak perempuan yang mengakses pornografi dari gadget saat sedang bersama orangtuanya membuat kita miris. Pornografi sudah sejauh itu menguasai alam pikiran anak kita. Akibatnya muncul penyakit masyarakat berupa seks bebas. Jika bisa terpenuhi suka sama suka menjadi zina dan prostitusi. Jika tak terpenuhi, menjadi perkosaan. Akibat zina dan perkosaan, muncuk kehamilan tak diinginkan (KTD). Lanjutannya adalah aborsi. Maka upaya menghentikan kekerasan seksual dengan mengusung kebebasan seksual ibarat mengaduk lumpur. Makin memperkeruh masalah. Kekerasan seksual akan makin marak, seiring kebebasan seksual makin digemakan. Kekerasan seksual akan terselesaikan tuntas dengan penerapan syariat Islam. Laki-laki dan perempuan diperintahkan menutup aurat ( An nuur 30, 31 dan al

Ahzab 59) dan juga menundukkan pandangan (an nuur 30 dan 31). Sehingga pintu pertama zina sudah tertutup. Islam juga melarang khalwat sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas RA, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda :”Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi (berkhalwat) dengan seorang perempuan, kecuali [perempuan itu] disertai mahramnya.” Ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan) juga dilarang sebagaimana hadits dari Abu Hurairah RA : Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan seburuk-buruknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf untuk wanita adalah yang paling belakang, dan seburuk-buruknya adalah yang paling depan.” (HR Muslim, no 440). Syariat pergaulan ini sangat bagus jika dilegislasi menjadi qanun (undangundang). Beserta dengan sistem sanksinya. Perilaku liwath (LGBT) juga diberantas, dengan dakwah masif dan juga sanksi yang berat. Penerapan syariat inilah yang akan menyelesaikan persoalan kekerasan seksual. Bukan justru mengusung kebebasan seksual. * Pengasuh Majelis Taklim Al Bayyinah Sidoarjo Rep: Ahmad Editor: Cholis Akbar

DPR: RUU Penghapusan KS Tumpang Tindih dengan UU Lain Kamis, 1 Februari 2018 - 06:35 WIB "Ini perlu pendalaman, jangan sampai UU ini kehilangan ruh dalam pembahasannya kemudian."

YAHYA G NASRULLAH/HIDAYATULLAH.COM

Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher Parasong di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (31/01/2018).

Terkait 

Alasan PKS Tolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



Bamsoet: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Banyak Disoroti Masyarakat



AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah

Hidayatullah.com– Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher Parasong, mengungkapkan, pihaknya masih mendalami usulan Rancangan UndangUndang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Penghapusan KS) yang diajukan oleh Komnas Perempuan tersebut. Hanya saja, ia mempertanyakan definisi dari tindakan kekerasan itu sendiri, dan apakah nantinya UU tersebut mampu menjangkau kepada kehidupan keluarga yang sangat pribadi. “Ini perlu pendalaman, jangan sampai UU ini kehilangan ruh dalam pembahasannya kemudian,” ujarnya kepada hidayatullah.com usai Rapat

Dengar Pendapat (RDP) RUU PKS di Ruang Rapat Komisi VIII, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/01/2018). Politisi PAN ini menjelaskan, mengutip pakar pidana yang hadir pada RDP sebelumnya, bahwa RUU Penghapusan KS ini belum mencerminkan ada faktor pemidanaan, maka kategori UU ini adalah UU administratif. Karena tidak mengatur aspek-aspek pidana. Baca: Komisi VIII: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Kehilangan Ruh Pancasila

“Judulnya saja penghapusan, sementara kalau pidana itu harus ada tindak pidananya. Nah ini hanya penghapusan, penghapusan itu kan persoalan administratif. Sementara perlu ada judul atau nomenklatur yang mencerminkan ada tindakan sehingga muncul alat bukti pada akhirnya yang menjadi bagian terpenting dari proses penegakan hukum,” paparnya. Apalagi, lanjut Ali, selain soal nama, banyak poin dalam RUU itu juga tumpang tindih dengan undang-undang lain, seperti UU tentang Perkawinan, UU tentang Pornografi, UU tentang KDRT, dan KUHP. “Ini, kan, sudah diatur berbagai hal yang menyangkut tindakan kekerasan, bagian dari kejahatan. Jangan sampai UU yang ada bertentangan dengan UU di atasnya,” tandasnya. Baca: 41 Persen Kekerasan Seksual Akibat Pornografi

Ditanya mengenai usulan agar pembahasan RUU Penghapusan KS disetop, Ali bilang belum bisa memutuskan. Ia mengatakan, saat ini sedang terus dibahas dan dikaji dengan mendapat informasi seluas-luasnya. “Sehingga pada saat nanti kita akan simpulkan,” pungkasnya.* Rep: Yahya G Nasrullah Editor: Muhammad Abdus Syakur

41 Persen Kekerasan Seksual Akibat Pornografi Jum'at, 1 Desember 2017 - 07:00 WIB Karena itu, Mensos mengingatkan para orangtua untuk memberikan perlindungan kepada anak.

ILUSTRASI

Indonesia memasuki darurat pornografi!

Terkait 

Wali Kota Padang Tolak RUU P-KS karena dinilai Pro LGBT



Alasan PKS Tolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



AILA Kritik RUU Penghapusan KS di Kongres Muslimah

Hidayatullah.com– Hasil penelitian Kementerian Sosial tentang kekerasan seksual anak terhadap anak menunjukkan bahwa 41 persen kekerasan seksual terjadi karena terpapar pornografi. “Kekerasan seksual yang pelakunya anak terhadap anak. Kita bisa melihat dari hasil penelitian ini bahwa pelaku melakukan kekerasan seksual 41 persen karena terpapar pornografi,” ujar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di Jakarta, Kamis (30/11/2017) lansir Antara. Dari hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur, Magelang, Yogyakarta, Mataram, dan Makassar itu, juga menunjukkan, selain pornografi, 33 persen akibat pengaruh teman, 11 persen karena pengaruh lainnya seperti narkoba. Baca: Orangtua Harus Bernyali Atasi Kejahatan Pornografi pada Anak

Penelitian itu juga menunjukkan bahwa 10 persen kekerasan seksual akibat pengaruh historis sebagai korban dan 10 persen karena pengaruh keluarga. Selain itu, terkait dengan karakteristik sosial ekonomi keluarga pelaku dan korban menunjukkan, 55 persen merupakan keluarga utuh dan 45 persen merupakan keluarga yang tidak utuh baik karena bercerai maupun meninggal. “Artinya bahwa meski dalam keluarga utuh dan tinggal serumah tidak berarti terlindungi,” ujar Khofifah. Karena itu, dia mengingatkan para orangtua untuk memberikan perlindungan kepada anak. Dalam undang-undang perlindungan anak, kewajiban utama dan pertama adalah orangtua untuk melindungi anak-anak mereka.* Baca: Ini yang Diinginkan Bisnis Pornografi Terhadap Anak Anda Rep: Admin Hidcom Editor: Muhammad Abdus Syakur

Komisi VIII: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Kehilangan Ruh Pancasila Rabu, 31 Januari 2018 - 21:03 WIB "Saya lebih setuju penguatan terkait kejahatan seksual dimasukkan dalam rancangan UU Ketahanan Keluarga."

YAHYA G NASRULLAH/HIDAYATULLAH.COM

Rapat Dengar Pendapat (RDP) RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Ruang Rapat Komisi VIII DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (31/01/2018).

Terkait 

Alasan PKS Tolak draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



FPKS Tolak Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



4 Catatan Kritis PKS soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual



Bamsoet: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Banyak Disoroti Masyarakat

Hidayatullah.com– Anggota Komisi VIII DPR RI, Iqbal Romzi menilai, usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual telah kehilangan ruhnya, karena sedikitpun tidak mencantumkan Pancasila sebagai sumber hukum. Menurut Iqbal, tidak bisa sebuah undang-undang di Indonesia tidak dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Apalagi hanya bersandar pada Hak Asasi Manusia (HAM). “Orang sering berdebat tentang hak asasi manusia. Hidup ini bukan hak asasi, hidup adalah anugerah Allah. Semakin lebar dan semakin tidak jelas (sandaran undang-undangnya), berimplikasi pada penerapannya,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) RUU tersebut di Ruang Rapat Komisi VIII, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/01/2018). Baca: DPR: RUU Penghapusan KS Tumpang Tindih dengan UU Lain

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menambahkan, RUU yang diusulkan Komnas Perempuan tersebut menghasilkan apa yang sudah berhasil dan menambah suatu yang sudah ada. Yakni UU tentang Perkawinan, UU tentang Pornografi, UU tentang KDRT, dan KUHP. “Saya lebih setuju penguatan terkait kejahatan seksual dimasukkan dalam rancangan UU Ketahanan Keluarga,” ungkapnya. Iqbal juga menyoroti sikap Komnas Perempuan yang terkesan mengintimidasi DPR agar segera mengesahkan RUU tersebut. “Karenanya saya tidak terlalu menghargai, di pertemuan kemarin minta pokoknya disahkan, tidak bisa. Ini pemaksaan kehendak namanya, intimidasi,” tandasnya.* Rep: Yahya G Nasrullah Editor: Muhammad Abdus Syakur

Related Documents


More Documents from "priyo"