Rs Usu (1) Laporan Kasus.docx

  • Uploaded by: Andro Winardo Sinaga
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rs Usu (1) Laporan Kasus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,176
  • Pages: 65
LAPORAN KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun Oleh: Muhammad Rifan Hidayat

130100058

Andro Winardo Sinaga

130100015

Adibah binti Abd Latif

130100365

Ida Sharina binti Razali

130100433

Febrina Setiawan

120100229

Luthfi Mahfuzh

130100152

Aprilia Prafita S. R.

120100137

Pembimbing : dr. Rizqi Arini Siregar, M.Ked (PD), Sp.PD

PROGRAM PROFESI PENDIDIKAN DOKTER DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal

: 8 Maret 2019

Nilai

:

PIMPINAN SIDANG

(dr. Rizqi Arini Siregar, M.ked(PD), Sp.PD)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................i KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii DAFTAR ISI .............................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1 1.1 Latar Belakang .........................................................................................1 1.2 Tujuan ......................................................................................................3 1.3 Manfaat ....................................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4 2.1 Penyakit Ginjal Kronik ............................................................................4 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi .................................................................4 2.1.2 Etiologi ...............................................................................................5 2.1.3 Patofisiologi .......................................................................................7 2.1.4 Manifestasi Klinis ..............................................................................9 2.1.5 Diagnosis ............................................................................................9 2.1.6 Klasifikasi ..........................................................................................12 2.1.7 Tatalaksana.........................................................................................13 2.1.8 Prognosis ............................................................................................32 BAB III STATUS ORANG SAKIT ........................................................................33 BAB IV FOLLOW UP .............................................................................................44

BAB V DISKUSI KASUS ........................................................................................51 BAB VI KESIMPULAN ..........................................................................................57 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................58

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Klasifikasi PGK Berdasarkan Diagnosis Etiologi...................... Tabel

2

Klasifikasi

Penyakit

Ginjal

Kronik

Menurut

13

Derajat

Penyakit........................................................................................................

13

Tabel 3 Rencana Tatalaksana PGK Sesuai Dengan Derajat.................

14

Tabel 4 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat Pada PGK..................

14

Tabel 5 Pedoman Pengobatan Hipertensi pada pasien PGK.................

17

Tabel 6 Pedoman Pengobatan Diabetes pada pasien PGK.....................

18

Tabel 7 Pedoman Pengobatan Dislipidemia pada pasien PGK..............

21

Tabel 8 Pedoman Gaya Hidup pada pasien PGK....................................

23

Tabel 9 Pedoman Pengobatan Proteinuria pada pasien PGK...............

24

Tabel 10 Pedoman Pengobatan Anemia pada pasien PGK...................

26

Tabel 11 Pedoman Pengobatan Abnormalitas Metabolisme Mineral pada pasien PGK.........................................................................................

29

Tabel 12 Pedoman Persiapan Terapi Penggantian Ginjal pada pasien PGK............................................................................................................... 30 Tabel 13 Pedoman Pengobatan Konservatif Menyeluruh pada pasien PGK............................................................................................................... 31

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi Ginjal.........................................................................

7

Gambar 2 Patofisiologi PGK.....................................................................

8

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal progresif dan irreversible.1 National Kidney Foundation mendefinisikan penyakit ginjal kronik sebagai suatu keadaan berkurangnya kemampuan ginjal dalam fungsi ekskresinya yang ditandai dengan laju filtrasi glomerulus (LGF) ≤60 mL/min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih.2 Penyakit ginjal kronik saat ini dipandang sebagi masalah serius di dunia karena prevalensi PGK yang terus meningkat setiap tahunya. Pada tahun 1999 hingga 2004 diperkirakan 26 juta penduduk atau sekitar 13% dari penduduk di Amerika memiliki penyakit ginjal kronik, meningkat 3% dari data 10 tahun sebelumnya.3 Pada tahun 2006, Penyakit ginjal kronik menempati urutan ke sembilan sebagai penyebab kematian terbanyak pada 45.000 penduduk Amerika Serikat.4 Skrining yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2009 menemukan bahwa prevalensi PGK pada populasi beresiko (hipertensi, diabetes atau proteinuria) adalah sebesar 29,1%.5 Penyakit ginjal kronik pada umumnya memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap seperti hemodialisis atau tranplantasi ginjal,1 Hemodialisis masih merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak digunakan di Indonesia.6 Menurut hasil pendataan yang dilakukan di tahun 2006 di Indonesia, sebanyak lebih dari 10.000 pasien telah menjalani terapi hemodialisis.7

2

Anemia merupakan hal yang umum dijumpai pada pasien dengan penyakit ginjal kronik terutama pada pasien PGK dengan stadium lanjut yang menjalani terapi hemodialisis.2 Anemia berkembang pada awal perjalanan penyakit ginjal kronik dan prevalensinya meningkat pada penyakit ginjal kronik dengan stadium lanjut yaitu penyakit ginjal kronik stadium 4 dan 5, Anemia terkadang lebih berat dan muncul lebih awal pada pasien PGK dengan sebab diabetes daripada PGK dengan sebab yang lain.2 Anemia pada penyakit ginjal kronik akan berdampak pada peningkatan mortalitas dan morbiditas, penurunan fisik dan kualitas hidup, serta meningkatkan biaya dan lama rawat inap, Anemia juga merupakan faktor resiko terjadinya penurunan fungsi kognitif.8,9 Penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa anemia mempunyai peran dalam terjadinya proses retinopati, neuropati, hipertensi pada penyakit diabetes, perkembangan dari penyakit ginjal kronik, serta penyakit jantung dan pembuluh darah.10 Penelitian menunjukan bahwa dengan mengobati anemia dengan tujuan menaikan hematokrit sekurang-kurangnya 36%, dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, mengurangi

kebutuhan

transfusi,

meningkatkan

fungsi

kognitif,

serta

mengurangi angka kematian dan kesakitan pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.11,12 Banyak faktor yang dapat menjadi etiologi anemia pada pasien PGK, diantaranya adalah berkurangnya umur eritrosit, anemia efek toksik uremia, berkurangnya produksi eritopoetin, anemia karena defisiensi besi, inflamasi, serta karena perdarahan.13,14 Memperkirakan jenis anemia dapat dilakukan menggunakan pemeriksaan laboratorium darah seperti dengan pemeriksaan

3

complete blood count, MCV, MCH, MCHC, retikulosit, serum besi, dan pemeriksaan lain yang dianggap perlu. Mengetahui jenis anemia menjadi penting karena dapat membantu menentukan terapi yang tepat dan terbaik untuk mengobati anemia pada pasien PGK, sehingga diharapkan dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian, meningkatkan kualitas hidup, dan memperbaiki prognosis pada pasien PGK. Mengingat besarnya jumlah pasien penyakit ginjal kronik serta banyaknya dampak yang ditimbulkan penyakit ini.

1.3 Tujuan Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menguraikan teori-teori tentang Penyakit Ginjal Kronik mulai dari definisi sampai diagnosis, pentalaksanaan, dan prognosisnya. Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal Penyakit Ginjal Kronik, terutama tentang penegakan diagnosis dan tatalaksananya.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik 2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.1 Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik adalah:2 1.

Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada pemeriksaan radiologi.

2.

LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Prevalensi penyakit gagal ginjal kronik saat ini terus mengalami

peningkatan di seluruh belahan dunia. Diperkirakan lebih dari 50 juta penduduk dunia mengalami PGK dan 1 juta dari mereka membutuhkan terapi pengganti ginjal.17 Penelitian di jepang memperkirakan sekitar 13 % dari jumlah penduduk atau sekitar 13,3 juta orang yang memiliki penyakit ginjal kronik pada tahun 2005.18

5

Menurut data dari CDC tahun 2010, lebih dari 20 juta warga Amerika Serikat yang menderita penyakit ginjal kronik, angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunya. Lebih dari 35% pasien diabetes menderita penyakit ginjal kronik, dan lebih dari 20% pasien hipertensi juga memliki penyakit ginjal kronik dengan insidensi penyakit ginjal kronik tertinggi ditemukan pada usia 65 tahun atau lebih.19 Studi di Indonesia menyebutkan angka insidensi pasien PGK sebesar 30,7 perjuta penduduk dan angka kejadianya sebesar 23,4 perjuta penduduk.20 Jumlah pasien yang menderita penyakit ginjal kronik diperkirakan akan terus meningkat, peningkatan ini sebanding dengan bertambahnya jumlah populasi, peningkatan populasi usia lanjut, serta peningkatan jumlah pasien hipertensi dan diabetes. 8 2.1.2 Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah : 1 1.

Glomerulonefritis Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan glomerulus.1 Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN

6

kronik. Di Indonesia GN masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap akhir. 1 2.

Diabetes Mellitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.1 Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.1 Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat kronik progresif.21

Perhimpunan

Nefrologi

Indonesia

pada

tahun

2000

menyebutkan diabetes mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan insidensi 18,65%.1 3.

Hipertensi Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain.1 Penyakit ginjal hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10 %.22 Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus

dan

hipertensi,

terdapat penyebab lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik (lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.

7

2.1.3 Patofisiologi Patofisiologi CKD pada awalnya dilihat dari penyakit yang mendasari, namun perkembangan proses selanjutnya kurang lebih sama. Penyakit ini menyebabkan berkurangnya massa ginjal. Sebagai upaya kompensasi, terjadilah hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor. Akibatnya, terjadi hiperfiltrasi yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan 10 aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, hingga pada akhirnya terjadi suatu proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Sklerosis nefron ini diikuti dengan penurunan fungsi nefron progresif, walaupun penyakit yang mendasarinya sudah tidak aktif lagi1

Gambar 1 Anatomi Ginjal Diabetes melitus (DM) menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk. Nefropati diabetik merupakan istilah yang mencakup semua lesi yang terjadi di ginjal pada 3. Mekanisme peningkatan GFR yang terjadi pada keadaan ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh 11

8

dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, Insuline-like Growth Factor (IGF) – 1, nitric oxide, prostaglandin dan glukagon. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Proses ini terus berlanjut sampai terjadi

ekspansi

mesangium

dan

pembentukan

nodul

serta

fibrosis

tubulointerstisialis.4

Gambar 2 Patofisiologi PGK Hipertensi juga memiliki kaitan yang erat dengan gagal ginjal. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan-perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, di tandai dengan fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Salah satu organ sasaran dari keadaan ini adalah ginjal3. Ketika terjadi tekanan darah tinggi, maka sebagai kompensasi, pembuluh darah akan melebar. Namun di sisi lain, pelebaran ini juga menyebabkan pembuluh darah menjadi lemah dan akhirnya tidak dapat bekerja dengan baik untuk membuang kelebihan air serta zat sisa dari dalam tubuh. Kelebihan cairan yang terjadi di dalam tubuh kemudian dapat menyebabkan tekanan darah menjadi lebih meningkat, sehingga keadaan ini membentuk suatu siklus yang berbahaya5

9

2.1.4 Manifestasi Klinis Oleh karena ginjal memainkan peran yang sangat penting dalam mengatur keseimbangan homeostasis tubuh, penurunan fungsi organ tersebut akan mengakibatkan banyak kelainan dan mempengaruhi pada sistem tubuh yang lain. Antara gejala-gejala klinis yang timbul pada GGK adalah:6 1.

Poliuria, terutama pada malam hari (nokturia)

2.

Udem pada tungkai dan mata (karena retensi air)

3.

Hipertensi

4.

Kelelahan dan lemah karena anemia atau akumulasi substansi buangan dalam tubuh

5.

Anoreksia, nausea dan vomitus

6.

Gatal pada kulit, kulit yang pucat karena anemia

7.

Sesak nafas dan nafas yang dangkal karena akumulasi cairan di paru

8.

Neuropati perifer. Status mental yang berubah karena ensefalopati akibat akumulasi bahan buangan atau toksikasi uremia

9.

Nyeri dada karena inflamasi di sekitar jantung penderita

10. Perdarahan karena mekanisme pembekuan darah yang tidak berfungsi 11. Libido yang berkurangan dan gangguan seksual 2.1.5 Diagnosis Manifestasi klinis pasien PGK sesuai dengan penyakit yang mendasari sepertihipertensi, hiperurisemi, diabetesmalitus, infeksi traktus urinarius, batu traktusurinarius, Lupus eritomatosus sistemik.Bila menimbulkan sindrom uremia maka gejala yang timbul berupa lemah, anoreksia, mual,muntah, nokturia, letargi,kelebihan volume cairan (volumeoverload), uremic frost, perikarditis,

1 0 neuropatiperifer, pruritus, kejang-kejang sampai koma. Gejala komplikasinya antara lainhipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).1 Gagal ginjal kronik biasanya tidak menampakkan gejala-gejala pada tahap awal penyakit.. Dengan hanya melakukan pemeriksaan laboratorium bisa dikesan kelainan-kelainan yang berlaku. Individu-individu yang mempunyai risiko besar untuk terpajannya penyakit harus melakukan pemeriksaan rutin untuk mengesan penyakit ini. untuk menentukan diagnosa pada GGK dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu untuk menentukan derajat kegawatan GGK, menentukan gangguan sistem dan membantu menegakkan etiologi. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, dan juga untuk mengetahui beberapa pembesaran ginjal. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dilakukan untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis, aritmia dan gangguan elektrolit.7 Pemeriksaan urin termasuk di dalam pemeriksaan laboratorium. Antara pemeriksaan urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi glomerulus. Analisis urin dapat mengesan kelainan-kelainan yang berlaku pada ginjal. Yang pertama dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan reagen tertentu untuk mengesan sunstansi yang normal maupun abnormal termasuk protein dalam urin. Kemudian urin diperiksa di bawah mikroskop untuk mencari eritrosit dan leukosit dan juga apakah adanya kristal dan silinder. Bisanya dijumpai hanya sedikit protein albumin di dalam urin. Hasil positif pada pemeriksaan dipstick menunjukkan adanya kelainan. Pemeriksaan yang lebih sensitif bagi menemukan protein adalah pemeriksaan laboratorium untuk estimasi albumin dan kreatinin dalam urin. Nilai banding atau ratio antara albumin dan kreatinin dalam urin memberikan gambaran yang bagus mengenai ekskresi albumin per hari. Menurut Prodjosudjadi (2001) tahap keparahan penyakit ginjal yang diukur berdasarkan Tes Klirens Kreatinin (TKK), diklasifikasikan gagal ginjal kronik (chronic renal failure, CRF) apabila TKK sama atau kurang dari 25 ml/menit. Penurunan fungsi dari ginjal tersebut akan berterusan dan akhirnya

1 1 mencapai tahap gagal ginjal terminal apabila TKK sama atau kurang dari 5 ml/menit.7 Laju filtrasi glomerulus (LFG) adalah penunjuk umum bagi kelainan ginjal. Dengan bertambah parahnya kerusakan ginjal, LFG akan menurun. Nilai normal LFG adalah 100-140 mL/min bagi pria dan 85-115 mL/min bagi wanita. Dan ia menurun dengan bertambahnya usia. LFG ditentukan dengan menentukan jumlah bahan buangan dalam urin 24 jam atau dengan menggunakan indikator khusus yang dimasukkan secara intravena.6 The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) of the National Kidney Foundation (NKF) menyatakan gagal ginjal kronik terjadi apabila berlaku kerusakan jaringan ginjal atau menurunnya glomerulus filtration rate (GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih8. Berikut adalah tahap yang telah ditetapkan menerusi (K/DOQI) pada tahun 2002:6 1.

Stage 1: Kidney damage with normal or increased GFR (>90 mL/min/1.73 m2 )

2.

Stage 2: Mild reduction in GFR (60-89 mL/min/1.73 m2)

3.

Stage 3: Moderate reduction in GFR (30-59 mL/min/1.73 m2)

4.

Stage 4: Severe reduction in GFR (15-29 mL/min/1.73 m2)

5.

Stage 5: Kidney failure (GFR <15 mL/min/1.73 m2 or dialysis) Estimated GFR (eGFR) dilakukan dengan menghitung anggaran GFR

menggunakan hasil dari pemeriksaan darah. Adalah penting untuk mengetahui nilai estimasi GFR dan tahap atau stage GGK penderita. Ini adalah untuk melakukan pemeriksaan tambahan lain dan juga upaya panatalaksanaan.6 Pemeriksaan darah yang dianjurkan pada GGK adalah kadar serum kreatinin dan blood urea nitrogen (BUN). Ia adalah pemeriksaan yang biasa dilakukan untuk monitor kelainan ginjal. Protein kreatinin adalah hasil degradasi normal otot dan urea adalah hasil akhir metabolisme protein. Hasil keduanya

1 2 meningkat dalam darah jika adanya panyakit pada ginjal. Electrolyte levels and acid-base

balance

ditentukan

karena

gagal

ginjal

akan

menyebabkan

ketidakseimbangan elektrolit. Terutamanya kalium, fosfor dan kalsium. Hiperkalemia adalah yang perlu diberi perhatian. Keseimbangan asam basa juga biasanya terganggu.6 Blood cell counts dilakukan karena pada dasarnya, kerusakan ginjal menyebabkan gangguan pada produksi eritrosit dan memendekkan jangka hayatnya. Ini menyebabkan anemia. Sesetengah penderita juga mungkin mengalami

defisiensi

zat

besi

karena kehilangan darah pada

saluran

gastrointestinal. Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan gambaran yang tidak bersifat invasif. Pada tahap kronik, ginjal biasanya mengerucut walaupun pada beberapa kelainan seperti adult polycystic kidney disease, diabetic nephropathy, dan amiloidosis ia tampak membesar dan mungkin normal. USG digunakan untuk mendiagnosa apakah terdapat obstruksi, batuan ginjal, dan menilai aliran darah ke ginjal 6. 2.1.6 Klasifikasi Penyakit ginjal kronik dapat diklasifikasikan menurut 2 hal yaitu, menurut diagnosis etiologi dan menurut derajat (stage) penyakit. Menurut diagnosis etiologi, penyakit ginjal kronik dapat di golongkan menjadi penyakit ginjal diabetes, penyakit ginjal non diabetes, dan penyakit pada transplantasi sebagai berikut :

1 3 Penyakit Penyakit Ginjal Diabetes Penyakit Ginjal non Diabetes

Tipe Mayor Diabetes tipe 1 dan 2 Penyakit Glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia) Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,mikroangiopati) Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, obstruksi, keracunanobat) Penyakit kistik (ginjal polikistik) Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik Keracunan Obat Penyakit recurrent Tabel 1 Klasifikasi PGK Berdasarkan Diagnosis Etiologi Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012, Klasifikasi PGK menurut derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 derajat, dikelompokan atas penurunan faal ginjal berdasarkan LFG, yaitu: Derajat G1 G2 G3a G3b G4 G5

LFG (mL/meit/1,73 m2) ≥90 60-89 45-59 30-44 15-29 <15

Tabel 2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Derajat Penyakit 2.1.7 Tatalaksana Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :1 1.

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

2.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

3.

Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.

4.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

1 4 5.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

6.

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal Derajat 1

LFG (ml/mnt/1,73m2) ≥ 90

Rencana Tatalaksana

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,evaluasi perburukkan fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular. 2 60-89 Menghambat perburukkan fungsi ginjal 3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi 4 15-29 Persiapan terapi pengganti ginjal 5 < 15 Terapi pengganti ginjal Tabel 3 Rencana Tatalaksana PGK Sesuai Dengan Derajat LFG Asupan Protein Fosfat g/kg/hari g/kg/hari 2 (ml/mnt/1,73m ) >60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi 25-60 0,6-0,8/kg/hari,termasuk ≤10 g ≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi 25-60 0,6-0,8/kg/hari, ≤10 g term asuk ≥0,35gr/kg/hr nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino essensial atau asam keton <60 ( sindrom Nefrotik ) 0,8/kg/hr ( + 1 g protein/g ≤9g proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan asam amino essensial atau asam keton Tabel 4 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat Pada PGK Pedoman baru untuk penatalaksanaan gagal ginjal kronik telah dibuat oleh Canadian Society of Nephrology. Pedoman ini menggambarkan aspek kunci penatalaksanaan gagal ginjalkronik untuk memfasilitasi perawatan pasien ini oleh dokter umum dan spesialis, termasuk spesialis penyakit dalam, ahli endokrinologi,

1 5 spesialis jantung, dan spesialis nefrologi. Secara khusus, pedoman ini dibuat untuk perawatan pasien yang tidak menerima dialisis. Dalam ulasan ini, kami menguraikan rekomendasi dari pedoman mengenai aspek pengobatan gagal ginjal kronik, termasuk target untuk berbagai abnormalitas, strategi untuk pengobatan dan frekuensi follow up berdasarkan bukti yang tersedia.7 Setiap rekomendasi digolong-golongkan dengan menggunakan skema yang dibentuk oleh Canadian Hypertension Education Program8 dan digunakan oleh Canadian Society of Nephrology Guidelines Committee. Kriteria untuk menggolong-golongkan rekomendasi ini berkisar dari yang mencerminkan penelitian yang sangat valid, tepat dan dapat diaplikasikan (derajat A) sampai yang berdasarkan pada tingkat bukti yang lebih rendah dan pendapat ahli (derajat D). Derajat B dan C mengacu pada penelitian dengan validitas yang lebih rendah derajatnya, termasuk hasil atau perhitungan hasil peneltian lainnya. Rekomendasi klinis: 1. Rujukan pasien dengan berkurangnya fungsi ginjal Tersedia pedoman untuk pemberi pelayanan primer dan para spesialis untuk merujuk pasien dengan gagal ginjal kronik ke spesialis nefrologi. Kebanyakan kasus gagal ginjal kronik nonprogresif dapat diobati tanpa perlu merujuk ke spesialis nefrologi. Merujuk ke spesialis nefrologi biasanya direkomendasi pada pasien dengan gagal ginjal akut, kecepatan filtrasi glomerulus persisten kira-kira kurang dari 30mL/menit/ 1.73m2, berkurang fungsi ginjal secara progresif, rasio protein urin dengan kreatinin lebih besar dari 100mg/mmol (sekitar 900mg/24 jam) atau rasio albumin urin dengan kreatinin lebih besar dari 60mg/mmol (sekitar 500mg/24

jam),

ketidakmampuan

untuk

mencapai

target

pengobatan, atau cepatnya perubahan fungsi ginjal. 2. Pasien dengan hipertensi Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi

1 6 lebih dari 75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun.9 Ini merupakan penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian pedoman ini menyoroti aspek kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Aspek ini termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal untuk gagal. ginjal kronik proteinuria dan nonproteinuria, dan pengobatan hipertensi dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar. Pasien tanpa diabetes  Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik proteinuria (rasio albumin urin dengan kreatinin≥ 30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor (derajat A) atau angiotensin-receptor blocker pada kasus yang tidak toleran terhadap ACE inhibitor (derajat D).  Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130/80 mm Hg (derajat C)  Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik nonproteinuria (rasio albumin dengan kreatinin <30mg/mmol), terapi antihipertensi seharusnya termasuk baik ACE inhibitor (derajat B), angiotensin-receptor blocker (derajat B), diuretik tiazid (derajat B), beta bloker (pasien yang berusia 60 tahun atau kurang, derajat B) atau long acting calcium channel blocker (derajat B). Pasien dengan diabetes  Terapi antihipertensi seharusnya termasuk ACE inhibitor (derajat A) atau angiotensin- receptor blocker (derajat A).  Tekanan darah seharusnya ditargetkan kurang dari 130mm Hg sistolik (derajat C) dan kurang dari 80 mmHg diastolic (derajatB). Pasien dengan penyakit vaskular renal pembuluh darah besar Hipertensi renovaskular seharusnya diobati dengan cara yang sama seperti untuk

1 7 nondiabetik, gagal ginjal kronik non-proteinuria. Harus hati-hati dengan penggunaan ACE inhibitor atau angiotensin-receptor blocker karena risiko gagal ginjal akut (derajat D). Catatan: ACE= angiotensin-converting enzyme. Tabel 5 Pedoman Pengobatan Hipertensi pada pasien PGK 3. Pasien dengan diabetes Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien dengan gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau berubahnya sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet dan masalah kepatuhan

terkait

dengan

diperlukannya

kerumitan

dalam

perawatan. Karena itu, penting untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol glikemik bagi pasien ini.10-15 Saat ini terdapat keterbatasan bukti untuk membimbing rekomendasi pengobatan diabetik pada populasi gagal ginjal kronik. Akibatnya, pernyataan terbatas dalam lingkup. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk mengganti Canadian Diabetes Association Guidelines tetapi lebih untuk fokus pada aspek perawatan spesifik untuk pasien dengan gagal ginjal kronik. Informasi tambahan tersedia pada pedoman praktek klinis dari Canadian Diabetes Association.16 Kontrol glikemik  Target untuk kontrol glikemik, daiman mereka dapat dicapai dengan aman, seharusnya mengikuti Canadian Diabetes Association Guideline (hemoglobin A1c<7.0%, kadar glukosa darah puasa 4-7 mmol/L) (derajatB)  Kontrol glikemik seharusnya merupakan bagian dari strategi intervention multifaktorial

yang

menyebutkan

kontrol

tekanan

darah

dan

risiko

kardiovaskular, dan mendukung penggunaan ACE inhibitor, angiotensin receptor blocker, statin dan asam asetilsalisilat (derajat A).

1 8 Penggunaan metformin pada DM tipe II 

Metformin direkomendasi untuk kebanyakan pasien dengan tipe diabetes 2 dengan gagal ginjal kronik stadium 1 atau 2 yang memiliki fungsi renal stabil yang tidak berubah selama 3 bulan terakhir (derajatA).



Metformin mungkin dilanjutkan pada pasien dengan gagal ginjal kronik stabil stadium 3 (derajat B).



Rekomendasi praktek klinis: Metformin seharusnya dihentikan jika terdapat perubahan akut dalam fungsi renal atau selama periode penyakit yang dapat menimbulkan perubahan tersebut (misalnya ketidaknyamanan gastrointestinal atau dehidrasi) atau menyebabkan hipoksia (misalnya gagal jantung atau respirasi). Perawatan khusus seharusnya dilakukan untuk pasien yang juga mengkonsumsi

ACE

inhibitor,

angiotensin

receptor

blocker,

obat

antiinflamasi nonsteroid atau diuretik, atau setelah pemberian kontras intravena karena risiko gagal ginjal akut dan sehingga akumulasi asam laktat, terbesar untuk pasienini. Pilihan agen lain yang mengurangi glukosa 

Menyesuaikan pilihan agen lain yang mengurangi glukosa (termasuk insulin) pada pasien individu, tingkat fungsi renal dan komorbiditas (opini derajatD).



Risiko hipoglikemia seharusnya dinilai secara teratur untuk pasien yang memakai insulin atau insulin secretagogue. Pasien ini seharusnya diajarkan bagaimana mengenali, mendeteksi dan mengobati hipoglikemia (opini derajatD).



Rekomendasi praktek klinis: Sulfonilurea kerja pendek (misalnya gliclazide) dipilih melebihi agen kerja panjang untuk pasien dengan chronic kidneydisease. Catatan: ACE= angiotensin converting enzyme. Tabel 6 Pedoman Pengobatan Diabetes pada pasien PGK 4. Pasien dengan dislipidemia Terdapat tingginya prevalensi dislipidemia di antara pasien pada setiap stadium gagal ginjal kronik.20 Karena itu, skrining, evaluasi

1 9 dan intervensi terapeutik untuk

kontrol dislipidemia penting

dilakukan. Sayangnya, karena kebanyakan penelitian klinis telah menyingkirkan pasien dengan gagal ginjal kronik, dengan evidence base terbatas. Namun, pedoman yang berusaha untuk menyebutkan pertanyaan utama terkait abnormalitas lipid pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Tersedia beberapa data mengenai frekuensi optimal dari pengukuran lipid pada pasien dengan gagal ginjal kronik; karena itu, kelompok kerja merekomendasi untuk mengikuti pedoman yang ada untuk populasi umum.21 Analisis subkelompok dari penelitian telah menunjukkan bahwa terapi statin mengurangi risiko kejadian kardiovaskular pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3.22-24 Karena itu, memberi kesan bahwa dokter meresepkan terapi statin seperti pada pedoman lipid yang sudah ada sebelumnya. Tidak ada bukti yang mendukung pemantauan serial rutin dari kreatinin kinase dan alanin aminotransferase pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang menerima terapi statin dosis rendah sampaisedang.25-27 Skrining  Profil lipid puasa (total kolesterol, kolesterol LDL, dan trigliserida) seharusnya

diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3 (derajatA).  Profil lipid puasa seharusnya diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal

kronik stadium 4 yang hanya jika hasil akan mempengaruhi pilihan untuk memulai atau mengubah pengobatan yang memodifikasi lipid (derajatD). Frekuensi pengukuran profil lipid  Profil lipid seharusnya diukur setelah puasa semalaman (idealnya ≥12 jam) (derajatA).  Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida seharusnya diukur (derajat A)  Profil lipid puasa seharusnya diukur tidak lebih awal daripada 6 minggu

2 0 setelah permulaan atau perubahan dalam terapi farmakologik. Kemudian, profil lipid seharusnya dimonitor setiap 6-12 bulan jika hasil dapat mempengaruhi pilihan terapi berikutnya (derajat D). Pengobatan 

Terapi statin seharusnya dimulai untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3 berdasarkan pedoman lipid yang ada untuk populasi umum (derajatA).



Pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 1-3, para klinisi seharusnya mempertimbangkan mengtitrasi dosis statin berdasarkan pedoman lipid untuk populasi umum (derajatB).



Para klinisi seharusnya mempertimbangkan untuk memulai terapi statin untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 dan mentitrasi dosis untuk mencapai kadar kolesterol LDL <2 mmol/L dan rasio total kolesterol dengan kolesterol HDL < 4mmol/L (derajat B).



Gemfibrozil (1200mg setiap hari) mungkin dipertimbangkan sebagai alternatif pengobatan statin untuk pasien dengan gagal ginjal kronik (stadium 1-3) yang berisiko kardiovaskular intermediate atau tinggi dengan kadar kolesterol HDL rendah (<1.0 mmol/L) (derajatB).



Trigliserida puasa >10mmol/L pada stadium gagal ginjal kronik manapun seharusnya diobati dengan perubahan gaya hidup dan menambah gemfibrozil atau niasin, seperti yang diperlukan untuk mengurangi risiko pankreatitis akut (derajat D). Data saat ini tidak mendukung mengobati hipertrigliseridemia sebagai strategi untuk mengurangi risiko kardiovaskular (derajatA).

Pemantauan efek samping obat  Pemantauan serial kreatinin kinase dan alanin aminotransferase tidak diperlukan untuk pasien asimtomatik dengan gagal ginjal kronik (stadium manapun) yang mengonsumsi dosis statin rendah sampai sedang (≤ 20mg/ hari simvastatin atau atorvastatin, atau dosis setara statin lainnya) (derajatA). Kreatinin kinase serial dan alanin aminotransferase seharusnya diukur setiap 3

2 1 bulan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 yang mengonsumsi dosis statin sedang sampai tinggi (≥40mg/ hari simvastatin atau atorvastatin, atau dosis setara statin lainnya) (derajat D).  Kreatinin kinase serial dan alanin aminotransferase seharusnya diukur setiap 3 bulan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 yang mengonsumsi dosis statin sedang sampai tinggi (≥40mg/ hari simvastatin atau atorvastatin, atau dosis setara statin lainnya) (derajat D).  Statin dan fibrat seharusnya tidak diberikan bersamaan pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 4 karena risiko rabdomiolisis (derajatD).  Gemfibrozil aman untuk digunakan pada pasien dengan gagal ginjal kronik . Preparat fibrat lain (misalnya, fenofibrat) seharusnya dicegah atau dosis secara signifikan dikurangi untuk pasien dengan gagal ginjal kronik stadium 2-4 karena meningkatnya risiko toksisitas (derajatD). Catatan: ACE= angiotensin-converting enzyme, HDL= high density lipoprotein, LDL= low density lipoprotein. Tabel 7 Pedoman Pengobatan Dislipidemia pada pasien PGK 5. Pedoman gaya hidup Bagian pedoman ini menekankan pentingnya pengobatan gaya hidup dalam mengobati pasien dengan terganggunya fungsi renal. Karena gagal ginjal kronik memiliki faktor risiko umum yang sama dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes, modifikasi gaya hidup yang diarahkan pada merokok, obesitas, konsumsi alkohol, olahraga dan diet penting dilakukan. Asupan protein diet telah menjadi fokus beberapa penelitian. Meskipun begitu, kurang bukti yang menyakinkan bahwa restriksi asupan protein jangka panjang (<0.70 g/kg/ hari) memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik. Karena itu, diet dengan protein terkontrol (0.8 -1 g/kg/hari) direkomendasi.28-30 Tidak terdapat penelitian mengenai restriksi garam dan perkembangan atau progresi gagal ginjal kronik. Meskipun begitu, tersedia manfaat mengurangi garam karena mereka berhubungan dengan perkembangan dan kontrol hipertensi

2 2 dan dimasukkan dalampedoman.31-32 Berhenti merokok Seharusnya didukung berhenti merokok untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal, dan untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (derajatD). Mengurangi berat badan  Orang obesitas (IMT >30kg/m2) dan berat badan berlebihan (IMT 25.029.9kg/m2) seharusnya didukung untuk mengurangi IMT mereka untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal kronik dan stadium akhir penyakit ginjal (derajat D).  Mempertahankan berat badan sehat (IMT 18.5- 24.9 kg/m2, lingkar pinggang <102cm untuk laki-laki, <88 untuk wanita) direkomendasi untuk mencegah hipertensi (derajat C) atau untuk mengurangi tekanan darah pada yang dengan hipertensi (derajat B). Semua orang yang berlebih berat badan dengan hipertensi seharusnya disarankan utnuk mengurangi berat badan (derajat B). Mengurangi asupan alkohol Untuk mengurangi tekanan darah, konsumsi alkohol pada orang normotensi dan hipertensi seharusnya sejalan dengan pedoman Canadian untuk risiko rendah. Orang dewasa sehat seharusnya membatasi konsumsi alkohol untuk 2 minimuan atau kurang per hari, dan konsumsi seharusnya tidak melebihi 14 minuman standar per minggu untuk laki-laki dan 9 minuman standar per minggu untuk wanita (derajatB). Olahraga Orang tanpa hipertensi (untuk mengurangi kesempatan menjadi hipertensi) atau tanpa dengan hipertensi (untuk menurunkan tekanan darah mereka) seharusnya didukung untuk mengakumulasi 30-60 menit olahraga dinamik intensitas sedang (berjalan, berlari, bersepeda, atau berenang) 4-7 hari per minggu (derajat D).

2 3 Intensitas olahraga lebih tinggi tidak lebih efektif. Asupan garam  Untuk mencegah hipertensi, asupan sodium <100mmol/hari direkomendasi, selain diet yang seimbang (derajatB).  Pasien dengan hipertensi seharusnya membatasi asupan sodium mereka sampai 65- 100mmol/hari (derajatB). Tabel 8 Pedoman Gaya Hidup pada pasien PGK 6. Pasien dengan proteinuria Proteinuria dimasukkan dalam pedoman karena ini merupakan penanda kerusakan ginjal dan merupakan faktor risiko penting untuk perkembangan gagal ginjal kronik serta morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.14 Adanya proteinuria pada 2 dari 3 sampel

urin

berturut-turut

diperlukan

untuk

menentukan

proteinuria persisten pada kecepatan filtrasi glomerulus manapun. Metode skrining yang dipilih untuk proteinuria merupakan pengukuran acak tunggal dari rasio protein urin dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin.16 Saat ini, skrining berbasis populasi untuk proteinuria tidak direkomendasi. ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker efektif dalam mengurangi ekskresi protein.12

Terapi

nonfarmakologi

kurang

efektif.

Tingkat

proteinuria dimana ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker yang seharusnya dimulai telah ditetapkan untuk pasien dengan hipertensi dan yang dengan diabetes. Bagi pasien tanpa hipertensi atau diabetes, tidak terdapat cukup bukti untuk menentukan tingkat proteinuria dimana untuk memulai terapi dengan

ACE

Meskipun

inhibitor

begitu,

atau

penelitian

angiotensin-receptor besar

menunjukkan

blocker. manfaat

pengobatan ACE- inhibitor daripada pengobatan antihipertensi konvensional di antara pasien dengan 1 atau lebih gram proteinuria per hari (rasio protein dengan kreatinin sekitar100mg/mmol).16

2 4 Pengukuran proteinuria  Skrining untuk proteinuria seharusnya dilakukan untuk semua pasien yang berisiko tinggi terjadinya penyakit ginjal (pasien dengan diabetes, hipertensi, penyakit vaskular, penyakit autoimun, diperkirakan kecepatan filtrasi glomerulus <60ml/menit/ 1.73 m2 atau edema (derajatD).  Skrining seharusnya dilakukan dengan sampel urin acak untuk mengukur rasio protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin. Untuk pasien dengan diabetes, pemeriksaan rasio albumin dengan kreatinin seharusnya dilakukan untuk mengskrining penyakit ginjal (derajatB).  Rasio protein dengan kreatinin >100mg/mmol atau rasio albumin dengan kreatinin>60mg/mmol

seharusnya

dianggap

sebagai

ambang

untukmengindikasikantingginya risiko perkembangan menjadi stadium akhir penyakit ginjal (derajat D). Pengobatan  Orang dewasa dengan diabetes dan albuminuria persisten (rasio albumin dengan kreatinin >2mg/mmol untuk laki-laki, >2.8 mg/mmol untuk wanita) seharusnya menerima ACE inhibitor atau angiotensin receptor blocker untuk memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik (derajat A).  ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker merupakan obat pilihan untuk mengurangi proteinuria (derajatA).  Pada pasien yang dipilih dengan hati-hati, antagonis reseptor aldosteron mungkin mengurangi proteinuria (derajatD)  Diet terkontrol protein, serta berkurangnya berat badan (untuk pasien yang meningkat indeks massa tubuh), mungkin memberikan sebagian manfaat dalam mengurangi proteinuria (derajatD). Catatan ACE: angiotensin- converting enzyme Tabel 9 Pedoman Pengobatan Proteinuria pada pasien PGK 7. Pasien dengan anemia Anemia lazim pada pasien dengan kecepatan filtrasi glomerulus yang diperkirakan kurang dari 60mL/menit/ 1.73 m2.7 Anemia

2 5 terkait dengan hal yang merugikan pada pasien dengan gagal ginjal kronik,

termasuk

masuknya

ke

rumah

sakit,

penyakit

kardiovaskular dan mortalitas.9 Meskipun defisiensi eritropoetin merupaakn penyebab anemia yang dikenal baik pada populasi ini, pedoman merekomendasi bahwa penyebab anemia potensial lainnya seharusnya dicari (misalnya defisiensi besi) dan diobati. Hingga saat ini, terapi untuk menormalkan kadar hemoglobin pada pasien ini tidak menunjukkan adanya manfaat dalam kesehatan manapun. Terapi ini telah terkait dengan meningkatnya insidensi kematian atau perlunya untuk dialysis.2 Berdasarkan bukti ini, target kadar hemoglobin 110 g/L direkomendasi untuk pasien dengan gagal ginjal kronik (kisaran yang dapat diterima 100120g/L). Menggunakan agen yang menstimulasi eritropoesis untuk pengobatan anemia pada pasien dengan gagal ginjal kronik terkait dengan

hasil

yang

potensial

yang

merugikan,

termasuk

meningatknya tekanan darah dan komplikasi trombosis. Mereka seharusnya dirawat oleh spesialis yang berpengalaman meresepkan agen ini. Terapi besi merupakan komponen penting dalam mengobati anemia.2 Direkomendasikan bahwa bentuk besi oral dipertimbangkan teristimewa daripada bentuk intravena. Penilaian Anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin <135g/L untuk laki-laki dewasa dan <120g/L untuk wanita dewasa (derajat D). Evaluasi awal Mempertimbangkan memeriksa pasien dengan kadar hemoglobin <120g/L untuk berikut (derajat D< opini): kadar hemoglobin, jumlah leukosit dan, jumlah platelet, indeks eritrosit, jumlah retikulosit absolute, serum feritin dan saturasi transferin.

2 6 Penggunaan agen yang menstimulasi eritropoiesis  Untuk pasien dengan anemia dan cadangan besi yang adekuat, agen yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya dimulai jika kadar hemoglobin berkurang di bawah 100g/L (derajat D).  Untuk pasien yang mendapat agen yang menstimulasi eritropoesis, target kadar hemoglobin seharusnya 110g/L (derajat A). Kisaran hemoglobin yang dapat diterima adalah 100-120g/L  Agen yang menstimulasi eritropoiesis seharusnya diresepkan bersama-sama dengan spesialis yang berpengalaman dalam meresepkan agen ini (derajatD). Penggunaan terapi besi 

Untuk pasien yang tidak menerima agen yang menstimulasi eritropoiesis dan yang kadar hemoglobin <119g/L, besi seharusnya diberikan untuk mempertahankan kadarferitin >100ng/mL dan saturasi transferin>20% (derajat D).



Untuk pasien yang mendapat agen yang stimulasi eritropoiesis, besi seharusnya diberikan untuk mempertahankan kadar feritin>100ng/mL dan saturasi transferin >20% (derajatD).



Bentuk besi oral merupaakn terapi lini pertama yang dipilih untuk pasien dnegan gagal ginjal kronik (derajatD) Tabel 10 Pedoman Pengobatan Anemia pada pasien PGK 8. Pasien dengan abnormalitas metabolisme mineral Fungsi ekskretorik renal berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan kalsium dan fosfat. Karena gagal ginjal kronik progresif

menyebabkan

perkembangan

hiperfosfatemia

dan

hipokalsemia, bagian pedoman ini fokus pada penilaian dan pengobatan abnormalitas mineral. Perubahan metabolic ini mungkin berperan dalam patofisiologi kalsifikasi vaskular serat penyakit tulang. Potensial untuk penyakit tulang mungkin ditingkatkan dengan adanya asidosis, yang mungkin diobati dengan menggunakan bikarbonat oral. Ginjal juga merupakan lokasi 1α-

2 7 hidroksilasi dari 25-hidroksivitamin D menjadi bentuk aktif ini, 1,25-dihidroksivitamin D (kalsitriol). Seiring dengan berkurangnya fungsi renal dalam gagal ginjal kronik , defisiensi kalsitriol mendukung hyperplasia kelenjar paratiroid dan meningkatnya sintesis

hormon

paratiroid,

akhirnya

menyebabkan

hiperparatiroidisme sekunder. Saat ini, terdapat bukti yang terbatas mengenai dampak abnormalitas metabolisme mineral atau pengobatannya pada pasien dengan gagal ginjal kronik yang tidak menerima dialisis. Rekomendasi kami terutama dihitung dari data yang diperoleh dari pasien yang menerima dialisis. Karena itu, pernyataan terbatas dalam lingkup karena perlunya evidence base. Penelitian observasional pada populasi umum dan gagal ginjal kronik dan dialisis memberi kesan adanya hubungan antara abnormalitas metabolic tersebut pada gagal ginjal kronik dan risiko mortalitas.5557

Meskipun begitu, hingga saat ini, tidak terdapat penelitian acak

yang menunjukkan bahwa meningkatnya kontrol metabolik mempengaruhi kelangsungan hidup. Dengan tidak adanya data yang mendukung fraktur atau berkurangnya mortalitas dengan hasil kontrol metabolik, kelompok kerja mempertimbangkan praktek terbaik adalah mempertahankan kadar kalsium dan fosfat normal dan suplementasi dengan vitamin D aktif jika kadar hormone paratiroid meningkat. Tidak terdapat bukti yang cukup yang menyarankan pengukuran rutin 25-hidroksivitamin D. Modifikasi diet awalnya direkomendasi, yang diikuti dengan terapi pengikat fosfat yang mengandung kalsium (kalsium glukonat atau kalsium asetat). Dengan tidak adanya data pengurangan morbiditas dan mortalitas yang mendukung pengikat fosfat yang tidakmengandung kalsium (sevelamer dan lanthanum), agen ini tidak dapat direkomendasi. Pada kenyataannya, dampak ekonomi potensial di Kanada mungkin menjadi penghalang.4

2 8 Penilaian dan target terapeutik  Kadar serum kalsium, fosfat, dan hormone paratiroid seharusnya diukur pada orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 4 dan 5, dan untuk orang dewasa dengan gagal ginjal kronik stadium 3 dan berkurangnya fungsi renal secara progresif (derajat D, opini).  Kadar serum fosfat seharusnya dipertahankan dalam kisaran normal (derajatC).  Kadar kalsium serum seharusnya dipertahankan dalam kisaran normal (derajatD).  Kadar hormon paratiroid utuh mungkin meningkat di atas nilai normal; kadar target hormone serum paratiroid utuh tidak diketahui (derajatD). Pilihan pengobatan  Restrisi fosfat seharusnya digunakan terus menerus untuk mengobati hiperfosfatemia (derajat D).  Terapi dengan pengikat fosfat yang mengandung kalsium (kalsium karbonat atau kalsium asetat) seharusnya dimulai jika restriksi makanan gagal untuk mengontrol

hiperfosfatemia

dan

jika

tidak

ditemukan

hiperkalsemia

(derajatD).  Jika terbentuk hiperkalsemia, dosis pengikat fosfat yang mengandung kalsium atau analog vitamin D seharusnya dikurangi (derajat D).  Hipokalsemia seharusnya dikoreksi jika pasien memiliki gejala klinis atau jika terkait dengan meningkatnya kadar hormone paratiroid (derajatD).  Mempertimbangkan untuk meresepkan analog vitamin D jika kadar serum hormone paratiroid utauh >53pmol/L. Terapi seharusnya dihentikan jika hiperkalsemia atau hiperfosfatemia terbentuk atau jika kadar hormon paratiroid <10.6pmol/L. Analog vitamin D seharusnya digunakan setara dengan spesialis yang berpengalaman dalam meresepkan agen ini (derajat D). Terapi pengganti ginjal Meskipun secara keseluruhan tujuan pedoman dan rekomendasi adalah untuk

2 9 memperlambat perkembangan gagal ginjal kronik dan komplikasinya, proporsi pasien akan memerlukan terapi pengganti ginjal (baik dialisis atau transplantasi) untuk memperlama kehidupannya. Tujuan bagian pedoman ini adalah untuk menggambarkan aspek edukasi, perawatan dan proses yang perlu untuk mengoptimalisasi persiapan pasien ini untuk terapi pengganti ginjal. Dokter dan pemberi perawatan kesehatan harus waspada dengan perlunya persiapan dan diperlukan waktu untuk melaksanakan rencana perawatan ini. Transplantasi ginjal dari donor hidup seharusnya didukung sebagai pilihan pertama bagi pasien yang memenuhi syarat yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Hasil dengan donor ginjal yang meninggal dunia juga secara signifikan lebih baik daripada dengan dialisis.31 Bagi pasien dengan gagal ginjal kronik progresif dengan rencana untuk hemodialisis,yang membuat rencana untuk akses vaskular merupakan komponen penting perawatan mereka dalam mempersiapkan untuk stadium akhir penyakit ginjal. Rencana perawatan mungkin termasuk penilaian terperinci (termasuk venous mapping) dan mencegah vena pungsi atau pengukuran tekanan darah pada lengan tidak dominan untuk melindunginya untuk pembuatan akses. Pada titik ini, perawatan seharusnya dikoordinasi oleh spesialis nefrologi. Diskusi menyeluruh mengenai pemantauan akses vaskular, pencegahan infeksi dan pengobatan komplikasi termasuk dalam pedoman praktek klinis hemodialisis oleh Canadian Society of Nephrology. Dialisis yang lebih sering atau terus menerus, seperti hemodialisis nokturnal atau dialisis peritoneum, merupakan alternatif dari hemodialisis konvensional yang menerima 3 kali per minggu dan seharusnya dianjurkan untuk pasien yang sesuai berdasarkan keperluan dan ketersediaan.32 Tabel 11 Pedoman Pengobatan Abnormalitas Metabolisme Mineral pada pasien PGK Komponen perawatan sebelum dimulai  Jika layak, pasien dengan GFR kira-kira <30mL/ menit/m2 seharusnya menerima perawatan dalam kondisi multidisiplin yang termasuk dokter,

3 0 perawat, ahli nutrisi dan pekerja social (derajatC).  Program edukasi predialisis seharusnya termasuk modifikasi gaya hidup, pengobatan, pemilihan modalitas dan akses vaskular serta pilihan untuk transplantasi ginjal (derajat D, opini). Waktu mulai  TIdak ada bukti saat ini ada mengenai rekomendasi GFR dimana terapi pengganti ginjal seharusnya dimulai tanpa adanya komplikasi gagal ginjal kronik (derajat D,opini).  Pasien dengan kira-kira GFR <20ml/menit/m2 mungkin memerlukan awal terapi pengganti ginjal jika yang berikut ini ditemukan: gejala klinis uremia (setelah menyingkirkan penyebab lain), komplikasi metabolic refrakter (hiperkalemia, asidosis), berlebihnya volume (dikeluhkan sebagai edema resisten atau hipertensi) atau berkurangnya status nutrisi (seperti yang diukur oleh serum albumin, lean body mass yang refrakter terhadap intervensi diet (derajat D,opini)  Transplantasi ginjal donor hidup tidak seharusnya dilakukan sampai GFR kirakira <20ml/menit/m2 dan terdapat bukti kerusakan renal progresif dan ireversibel melebihi 6-12 bulan sebelumnya (derajat D, opini) Catatan GFR= glomerular filtration rate Tabel 12 Pedoman Persiapan Terapi Penggantian Ginjal pada pasien PGK 9. Pengobatan konservatif menyeluruh Perawatan pasien dengan gagal ginjal kronik semestinya termasuk pengobatan proaktif menyeluruh untuk yang memilih tidak menerima terapi pengganti ginjal dan untuk yang tidak ingin mengakhiri hidup mereka setelah periode waktu terapi. Kami menggambarkan komponen dan perlunya untuk pengobatan konservatif menyeluruh dan perawatan akhir hidup untuk pasien dengan gagal ginjal kronik. Kami mengakui bahwa tidak semua pasien

akan

dirujuk

ke tim spesialis nefrologi saat mereka

menolak terapi pengganti ginjal, karena itu, kami mencoba untuk

3 1 menjelaskan dalam rekomendasi berikut ini. Struktur dan proses Program renal dan pemberi pelayanan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik progresif yang memilih untuk tidak mengikuti terapi pengganti ginjal seharusnya menjamin pasien memiliki akses terhadap tim interdisiplin untuk memberikan pengobatan konservatif menyeluruh, (derajatD). Rencana perawatan lanjut Semua program penyakit ginjal kronik dan pemberi pelayanan seharusnya memiliki mekanisme yang membentuk dokumen dan proses untuk perencanaan perawatan lanjut (derajatD) Komponen pengobatan konservatif komprehensif Protokol pengobatan konservatif komprehensif seharusnya termasuk penanganan gejala klinis, perawatan psikologi dan perawatan spiritual (derajatD) Perawatan pasien yang dalam waktu dekat meninggal Perawatan akhir hidup yang terkoordinasi seharusnya tersedia untuk pasien dan keluarga (derajat D) Tabel 13 Pedoman Pengobatan Konservatif Menyeluruh pada pasien PGK Pengobatan konservatif menyeluruh memerlukan keterlibatan tim interdisipin, termasuk spesialis nefrologi, perawat, ahli nutrisi, pekerja social, psikolog, pekerja spiritual, dokter dan perawat perawatan paliatif, dan sukarela yang terlatih dan disupervisi.66 Dokter perawatan primer pasien merupakan bagian integral tim ini. Setara dengan pasien dan keluarga, tim interdisipliner seharusnya membentuk rencana pengobatan yang menyatakan kebutuhan fisik, psikologi dan spiritual pasien dan keluarganya dan pengasuh. Pembuatan keputusan merupakan komponen integral proses ini, dan revisi pada rencana

3 2 pengobatan seharusnya berdasarkan pada berubahnya kebutuhan dan pilihan pasien dan keluarga.31 2.1.8 Prognosis Prognosis dari penyakit ginjal kronik, tergantung pada seberapa cepat upaya deteksi dan penanganan dini, serta penyakit penyebab. •

Semakin dini upaya deteksi dan penanganannya, hasilnya akan lebih baik.



Beberapa jenis kondisi/penyakit, akan tetap progresif. Misalnya: dampak diabetes pada ginjal dapat dibuat berjalan lebih lambat dengan upaya kendali diabetes. Pada kebanyakan kasus, penyakit ginjal kronik progresif bisa menjadi gagal ginjal kronik. Kematian pada penyakit ginjal kronik tertinggi adalah karena komplikasi

jantung,

dapat

terjadi

sebelum

maupun

sesudah

gagal

ginjal.10

34

BAB III STATUS ORANG SAKIT

Nama

: Derianto Simatupang

Umur

: 52 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Tapanuli Utara

No. MR

: 07.85.58

Tanggal Masuk : 3 Maret 2019

ANAMNESA Keluhan Utama

: BAK berdarah

Telaah

:



Hal ini dialami pasien sejak kira-kira 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, terjadi secara tiba-tiba, dan terjadi setiap pasien BAK. Volume BAK kira-kira 1000 cc/ 24 jam, dengan warna merah gelap. Nyeri saat BAK dijumpai, dan dirasakan setiap kali pasien BAK, memberat sejak kira-kira 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengkonsumsi obat antinyeri yang dijual bebas untuk mengurangi rasa nyeri saat BAK. Keluhan BAK berpasir tidak dijumpai. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak dijumpai.



Nyeri pinggang dijumpai sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, bersifat hilang timbul, dan tidak menjalar.



Demam dijumpai sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan suhu tertinggi tidak jelas. Demam turun dengan obat penurun panas yang dibeli keluarga pasien di apotek bebas.



Keluhan mual muntah tidak dijumpai. Keluhan sesak nafas tidak dijumpai. Keluhan batuk tidak dijumpai. BAB dalam batas normal.



Riwayat bengkak pada kedua kaki dan wajah dijumpai kira-kira 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak berkurang dengan pemberian diuretik.

34

35



Riwayat penyakit DM tidak dijumpai. Riwayat hipertensi disangkal.



Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Permata Bunda dengan diagnosis sebelumnya tumor buli dan rencana tindakan TURB, namun dijumpai peningkatan ureum dan kreatinin sehingga pasien direncanakan HD terlebih dahulu.

Riwayat Penyakit Terdahulu : tumor buli Riwayat Penggunaan Obat

:

Paracetamol,

Natrium

Diclovenac,

asam

Traneksamat

ANAMNESA ORGAN Jantung

Saluran

Sesak nafas

: -

Edema

: -

Angina pektoris

: -

Palpitasi

: -

Lain-lain

: -

Asma,

: -

Batuk-batuk

: -

pernafasan

Saluran

Bronkitis Dahak

: -

Lain-lain

: -

Nafsu makan

: normal Penurunan BB

: -

Keluhan menelan

: -

: -

pencernaan Keluhan defekasi

Saluran

Keluhan perut

: -

Lain-lain

: -

Sakit BAK

: +

BAK tersendat

: +

Mengandung

: -

Keadaan urin

: Hematuri

urogenital

batu

35

36

Sendi dan tulang

Haid

: -

Lain-lain

: -

Sakit pinggang

: +

Keterbatasan

: -

gerak Keluhan

: -

Lain-lain

: -

Haus/polidipsi

: -

Gugup

: -

Poliuri

: -

Perubahan

: -

persendian Endokrin

suara

Saraf pusat

Darah dan

Polifagi

: -

Lain-lain

: -

Sakit kepala

: -

Hoyong

: -

Lain-lain

: -

Pucat

: -

Perdarahan

: -

Peteki

: -

Purpura

: -

Lain-lain

: -

Lain-lain

: -

pembuluh darah

Sirkulasi perifer

Claudicatio

: -

intermitten

ANAMNESA FAMILI -

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK Status Presens Keadaan Umum Sensorium

: Compos Mentis

Tekanan Darah: 150/90 mmHg Nadi : 81 kali/menit Pernafasan : 17 kali/menit

36

4

Temperatur : 36.2oC Keadaan Penyakit Pancaran wajah Sikap paksa Refleks fisiologis Refleks patologis

: biasa ::+ :-

4

5

Anemia (+), Ikterus (-), Dispnu (-) Sianosis (-), Edema (-), Purpura (-) Turgor kulit: Baik Keadaan Gizi TB: 160 cm BB: 62 kg BW = BB .100% = 103% TB-100

Status Lokalisata Kepala: Mata: konjungtiva palpebra pucat (+), ikterus (-), pupil: isokor, ukuran refleks cahaya direk (+)/indirek (+), kesan anemis Telinga: normal Hidung: normal Mulut: lidah normal, gigi normal, tonsil/faring normal

Leher: Struma tidak membesar, pembesaran kelenjar limfe (-), posisi trakea di tengah, TVJ R-2 cmH2O, kaku kuduk (-)

Thorax depan: Inspeksi Bentuk Pergerakan

: simetris fusiformis : normal

Nyeri tekan Fremitus suara Iktus

:: kanan = kiri :-

Palpasi

Perkusi Paru

5

6

Batas paru-hati R/A Peranjakan Jantung

: ICS V : 2 cm BAC

Batas atas jantung : LMCS ICS II Batas kiri jantung : LMCS ICS IV 1 cm medial Batas kanan jantung : linea parasternalis dextra ICS IV Auskultasi Paru Suara pernafasan Suara tambahan Jantung

: vesikuler :-

M1>M2, P2>P1, T1>T2, A2>A1 Desah sistolis (-); Desah diastolis (-) HR; 81 kali/menit, reguler Thorax belakang Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

: simetris fusiformis : stem fremitus kiri = kanan : sonor : suara pernafasan: vesikuler; suara tambahan: -

Abdomen Inspeksi Bentuk Gerakan lambung/usus Vena kolateral Caput medusa Palpasi

: simetris :::-

Dinding abdomen Hati Pembesaran Permukaan Pinggir Nyeri tekan Limfa Pembesaran

: soepel, nyeri tekan (-)

Ginjal Ballotement Uterus/ovarium Tumor

:::::Schuffner (-) Haecket (-) :-

6

7

Dijumpai pada regio suprapubik Perkusi Pekak hati Pekak beralih Auskultasi Peristaltik usus

::: normoperistaltik

Pinggang Nyeri ketuk sudut kostovertebra (-)

Inguinal Dalam batas normal

Genitalia luar Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan colok dubur (RT) Perineum Sphincter ani Lumen Mukosa Sarung tangan

: tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota gerak atas

Anggota gerak bawah

Deformitas sendi

:

-

Edema

:

+

Lokasi

:

-

Arteri femoralis

:

+

Jari tabuh

:

-

Arteri tibialis posterior

:

+

Tremor ujung jari

:

-

Arteri dorsalis pedis

:

+

Telapak tangan sembab

:

-

Refleks KPR

:

+

Sianosis

:

-

Refleks APR

:

+

Eritema palmaris

:

-

Refleks fisiologis

:

+

7

8

Lain-lain

:

-

Refleks patologis

:

-

Lain-lain

:

-

Pemeriksaan laboratorium rutin Darah

Kemih

Hb

:

7,4 g%

Warna

: kemerahan

Eritrosit

:

2,5x106 /mm3

Protein

: +2

Leukosit

:

9,14 x103 /mm3

Reduksi

: -

Trombosit

:

380 x103 /mm3

Bilirubin

: -

Ht

:

21,5%

Urobilinogen

: Normal

LED

:

-

Sedimen

Hitung jenis

Eritrosit

: 150-200/lpb

Eosinofil

:

2,2%

Leukosit

: 100-120/lpb

Basofil

:

0,1%

Silinder

: -

Neutrofil absolut

:

5,96/µL

Epitel

: 2-3

Neutrofil segmen :

65,2%

Limfosit

:

17%

Monosit

:

15,5%

Na/K/Cl

:

129/4,73/102 mmol/L

DIAGNOSA BANDING 

CKD stage V ec. tumor buli + anemia ec. penyakit kronis + asidosis metabolik terkompensasi

8

9

DIAGNOSA KERJA 

CKD stage V ec. PGOI + tumor buli + hidronefrosis moderat bilateral + anemia ec. penyakit kronis + asidosis metabolik terkompensasi

TERAPI Aktivitas : tirah baring Diet : diet ginjal Tindakan suportif : IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit Medikamentosa :  Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam 

Inj. Transamin 500 mg/8 jam



Inj. Tramadol 1 amp/8 jam k/p

RENCANA 

Cek darah rutin /24 jam



AGDA



Urinalisa



USG ginjal



USG kandung kemih



Balance cairan



Rencana

pemberian

meylon

9

10

BAB IV FOLLOW UP

Tanggal 2/3/2019 S

BAK berdarah

O

Sens: CM TD: 150/90 mmHg HR: 80 x/i RR: 20 x/i T: 36,2oC Mata: konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Leher: TVJ R-2 cmH2O, pembesaran KGB (-) Thorax: I: simetris fusiformis P: SF ka=ki P: sonor kedua lapangan paru A: SP: vesikuler; ST: Abdomen: I: simetris A: normoperistaltik P: soepel, H/L/R tidak teraba P: timpani Ekstremitas: akral hangat, edema (-/-)

10

11

Urine bag: Urine berwarna merah gelap Hasil lab HGB/WBC/PLT: 7,4/914.000/380.000 MCV/MCH/MCHC: 86/29,6/34,4 Neu/limf/mono/eosin/baso: 65,2/17/15,5/2,2/0,1 GDS: 88 mg/dL ur/cr: 137,5/8,7 Na/K/Cl: 129/4,73/102 AGDA: pH/pCO2/pO2/HCO3/TCO2/BE/sat O2: 7,23/23,9/148/10,1/11/-17/99 A

CKD stage V ec PGOI Tumor buli Anemia ec penyakit kronik Asidosis metabolik terkompensasi parsial

P

Tirah baring Diet MB Kateter terpasang IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit makro Meylon 6 Flc dalam 500 cc Nacl 0,9% 20 gtt/menit mikro Inj Transamin 500 mg/8 jam

11

12

Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p) Inj Ranitidine 50 mg/12 jam Rencana: -

konsul anestesi untuk pemasangan double lumen

-

konsul urologi

-

HD hari senin

Tanggal 3/3/2019 S

BAK berdarah

O

Sens: CM TD: 140/80 mmHg HR: 78 x/i RR: 20 x/i T: 36,0oC Urine bag: Urine berwarna merah gelap Telah terpasang double lumen di jugularis kanan. Hasil USG: tumor buli dan hidronefrosis moderat bilateral Balance cairan: Input

Output

Makan: 300 mL

BAB: 50 mL

Minum: 400 mL

BAK: 2000 mL

IVFD: 1950 mL

Muntah: IWL: 500 mL

12

13

total input: 2650 mL

Total output: 2550 mL Balance: +100 mL

A

CKD stage V ec PGOI Tumor buli Anemia ec penyakit kronik Asidosis metabolik terkompensasi parsial

P

Tirah baring Diet MB Kateter terpasang IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit Inj Transamin 500 mg/8 jam Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p) Inj Ranitidine 50 mg/12 jam

Tanggal 4/3/2019 S

BAK berdarah

O

Sens: CM TD: 140/80 mmHg HR: 80 x/i RR: 20 x/i T: 36,1oC

13

14

Urine bag: Urine berwarna merah gelap Terpasang double lumen di jugularis kanan. Balance cairan: Input

Output

Makan: 300 mL

BAB: 50 mL

Minum: 400 mL

BAK: 2000 mL

IVFD: 1950 mL

Muntah: IWL: 500 mL

total input: 2650 mL

Total output: 2550 mL Balance: +100 mL

A

CKD stage V ec PGOI Tumor buli Anemia ec penyakit kronik Asidosis metabolik terkompensasi parsial

P

Tirah baring Diet MB IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit makro Meylon 6 Flc dalam 500 cc Nacl 0,9% 20 gtt/menit mikro durante HD Inj Transamin 500 mg/8 jam Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p) Inj Ranitidine 50 mg/12 jam Rencana : HD hari ini

14

15

Tanggal 5/3/2019 S

BAK berdarah, mual, dan nafsu makan menurun

O

Sens: CM TD: 140/80 mmHg HR: 86 x/i RR: 19 x/i T: 36,2oC Urine bag: Urine berwarna merah gelap Terpasang double lumen di jugularis kanan. Balance cairan: Input

Output

Makan: 300 mL

BAB: 50 mL

Minum: 400 mL

BAK: 1600 mL

IVFD: 1440 mL

Muntah: IWL: 500 mL

total input: 2140 mL

Total output: 2150 mL Balance: -10 mL

A

CKD stage V ec PGOI Tumor buli Anemia ec penyakit kronik

P

Tirah Baring

15

16

Diet MB IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit makro Inj Transamin 500 mg/8 jam Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p) Inj Ranitidine 50 mg/12 jam Rencana: Cek darah lengkap dan AGDA post HD

16

17

BAB V DISKUSI KASUS

TEORI

KASUS

Definisi Penyakit ginjal kronik merupakan suatu Hal ini dialami pasien sejak kira-kira keadaan patologis yang ditandai dengan 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, kelainan struktural maupun fungsional terjadi secara tiba-tiba, dan terjadi yang berlangsung lebih dari tiga bulan setiap pasien BAK. Volume BAK serta terjadinya kerusakan ginjal dan kira-kira 1000 cc/ 24 jam, dengan penurunan

fungsi

ginjal

dengan warna merah gelap. Nyeri saat BAK

Glomerular Filtrate Rate (GFR) kurang dijumpai, dan dirasakan setiap kali dari 60 ml/menit/1,73 m2 . Pada PGK pasien BAK, memberat sejak kira-kira didapatkan kelainan komposisi darah, 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. urin maupun kelainan tes pencitraan Pasien mengkonsumsi obat anti-nyeri (imaging).

yang dijual bebas untuk mengurangi rasa nyeri saat BAK. Keluhan BAK berpasir

tidak

dijumpai.

Riwayat

keluhan yang sama sebelumnya tidak dijumpai. Nyeri Pinggang dijumpai. Anamnesis Anamnesis

dan

merupakan hal

pemeriksaan yang

fisik BAK berdarah dialami pasien sejak

sangat penting kira-kira 2 minggu sebelum masuk

dalam pendekatan pasien dengan dugaan rumah sakit, terjadi secara tiba-tiba, penyakit ginjal kronik. Riwayat penyakit dan sebelumnya

merupakan

hal

terjadi

setiap

pasien

BAK.

penting Volume BAK kira-kira 1000 cc/ 24

karena dapat diketahui faktor resiko dan jam, dengan warna merah gelap. riwayat penyakit ginjal sebelumnya

Nyeri

saat

BAK

dijumpai,

dan

dirasakan setiap kali pasien BAK, memberat sejak kira-kira 1 minggu

17

18

sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengkonsumsi obat anti-nyeri yang dijual bebas untuk mengurangi rasa nyeri saat berpasir

BAK.

tidak

Keluhan BAK

dijumpai.

Riwayat

keluhan yang sama sebelumnya tidak dijumpai. Nyeri pinggang dijumpai sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, bersifat hilang timbul, dan tidak menjalar. Demam dijumpai sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan suhu tertinggi tidak jelas. Demam turun dengan obat penurun panas yang dibeli keluarga pasien di apotek bebas. Keluhan mual muntah tidak dijumpai. Keluhan sesak nafas tidak dijumpai. Keluhan batuk tidak dijumpai. BAB dalam batas normal. Riwayat bengkak pada kedua kaki dan wajah dijumpai kira-kira 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Bengkak berkurang dengan pemberian diuretik. Riwayat penyakit DM tidak dijumpai. Riwayat hipertensi disangkal. Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Permata Bunda dengan diagnosis sebelumnya tumor buli dan rencana tindakan TURB, namun dijumpai peningkatan

ureum

dan

kreatinin

sehingga pasien direncanakan HD terlebih dahulu

18

19

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan Sens: CM tanda vital untuk melihat ada tidaknya TD: 150/90 mmHg sepsis, pemeriksaan sistematik organ HR: 81 x/i untuk mencari komplikasi atau et causa RR: 17 x/i T: 36,2oC

penyakit ginjal yang lain.

Saluran Urogenital: Sakit BAK (+), BAK tersendat (+), Hematuri (+). Sendi dan Tulang: Nyeri pinggang (+) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium menunjang Hb: 7,4 g/dL untuk diagnosis Penyakit Ginjal Kronis. 1. Darah Rutin

Eritrosit: 2,50x 106/mm3 Leukosit: 9,14x 103/ mm3

2. Ureum dan Kreatinin 3. Elektrolit

Trombosit: 280.000/mm3

4. Urinalisa Ht: 21,5%

5. USG: Menilai besar dan bentuk ginjal,

KGD puasa : 88 g/dL

tebal parenkin ginjal, anatomi sistem pelviokalises, dan ureter Hitung Jenis: proksimal, kepadatan parenkim ginjal,

anatomi

pelviokalises

Eosinofil : 2.2%

sistem

dan

ureter

proksimal, kandung kemih dan

Basofil

: 0.1%

Neutrofil : 5,96%

prostat. Tujuan penunjang

utama adalah

dari

pemeriksaan

Limfosit

: 1,55%

untuk menegakkan

19

20

diagnosis PGK secara cepat dan aman, oleh karena itu kombinasi dari hasil pemeriksaan

fisik

dan

hematologi dan biokimia

pemeriksaan

Monosit

: 1,42%

Ureum : 135.50 mg/dL Creatinin : 8.7 mg/dL Natrium : 129 mmol/L Kalium : 4.73 mmol/L Klorida : 102 mmol/L

Urinalisa Warna : Merah Kejernihan : Keruh pH : 6.0 Berat jenis: 1.01 Protein: +2 Glukosa : Billirubin : Urobilinogen : Normal Keton : Blood : +3 Nitrit : Leukosit : 100-200 LPB

20

21

Eritrosit : 150-200 LPB Silinder : Kristal : Bakteri : Tatalaksana Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik Tirah baring meliputi;

Diet MB

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya.

Kateter terpasang IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/menit Meylon 6 Flc dalam 500 cc Nacl 0,9%

2. Pencegahan dan terapi terhadap 20 gtt/menit (micro) kondisi

komorbid

(comorbid Inj Transamin 500 mg/8 jam

condition) 3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal.

Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p) Inj Ranitidine 50 mg/12 jam Rencana: -

4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. 5. Pencegahan dan terapi terhadap

konsul

anestesi

untuk

pemasangan double lumen -

konsul urologi

-

HD hari senin

komplikasi. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.

21

22

BAB VI KESIMPULAN

Seorang pasien laki-laki dengan inisial DS, 52 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium didiagnosa dengan Penyakit Ginjal Kronik. Penatalaksanaan yang diberikan selama pasien dirawat yaitu tirah baring, diet MB, kateter terpasang, IVFD NaCl 0,9% 20 gtt/menit makro, Meylon 6 Flc dalam 500 cc Nacl 0,9% 20 gtt/menit mikro, Inj Transamin 500 mg/8 jam, Inj Tramadol 1 amp/8 jam (k/p), Inj Ranitidine 50 mg/12 jam dan dengan rencana konsul anestesi untuk pemasangan double lumen, konsul urologi, dan hemodialisa.

22

23

DAFTAR PUSTAKA 1.

Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sehati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi IV. Jakarta Pusat : Interna Publishing : 2014 ; 2159-2165.

2.

Kdoqi, National Kidney F. KDOQI Clinical Practice Guidelines and Clinical Practice Recommendations for Anemia in Chronic Kidney Disease. American journal of kidney diseases : the official journal of the National Kidney Foundation [Internet]. 2013 [cited 2019 march 6]; 47(5 Suppl 3):S11-145. Available from: Elsevier.

3.

Crews DC, Plantinga LC, Miller ER, 3rd, et al. Prevalence of chronic kidney disease in persons with undiagnosed or prehypertension in the United States. Hypertension [Internet]. 2010 [cited 2019 march 6]; 55(5):1102-1109. Available from: Hypertension AHA.

4.

Centers for Disease Control and Prevention (U.S.), National Center for Health Statistics (U.S.), National Vital Statistics System (U.S.). National vital statistics reports : from the Centers for Disease Control and Prevention, National Center for Health Statistics, National Vital Statistics System. DHHS publication no (PHS). Hyattsville, Md.: National Center for Health Statistics:v [Internet]. 2013 [cited 2019 march 6]. Available from: www.cdc.gov/nchs/products/nvsr.htm

5.

Prodjosudjadi W, Suhardjono, Suwitra K, et al. Detection and prevention of chronic kidney disease in Indonesia: initial community screening. Nephrology [Internet]. 2009 [cited 2019 march 6]; 14(7):669-674. Available from: WileyOnlineLibrary.

6.

Kusman Ibrahim ST, Kittikorn Nilmanat. Coping and Quality of Life among Indonesians Undergoing Hemodialysis. Thai J Nurs Res [Internet]. 2009

[cited

2019

march

6];

13(2):117-109.

Available

from

:

http://antispam.kmutt.ac.th/index.php/PRIJNR/article/view/6435

23

24

7.

CDC. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet: General Information and National Estimates on Chronic Kidney Disease in the United States. Atlanta: US Department of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention[Internet]. 2014 [cited 2014 Feb 4]. Available from : http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/factsheets/kidney.htm

8.

Stigant C, Stevens L, Levin A. Nephrology: 4. Strategies for the care of adults with chronic kidney disease. CMAJ 2003;168:1553-60

9.

Zarnke KB, Campbell NR, McAlister FA, et al. A novel process for updating recommendations for managing hypertension: rationale and methods. Can J Cardiol 2000;16:1094-102.

10. Culleton B. Introduction to the Canadian Clinical Practice Guidelines. J Am Soc Nephrol 2006;17:S1-3. 11. Diabetes Control and Complications Trial Research Group. The effect of intensive treatment of diabetes on the development and progression of longterm complications in insulin- dependent diabetes mellitus. N Engl J Med 1993;329:977-86. 12. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Effect of intensive bloodglucose control with metformin on complications in overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet 1998;352:854-65. 13. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998;352:837-53. 14. Diabetes Control and Complications Trial and Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group. Retinopathy and nephropathy in patients with type 1 diabetes four years after a trial of intensive therapy. N Engl J Med 2000;342:381-9.

24

25

15. Writing Team for the Diabetes Control and Complications Trial and Epidemiology of Diabetes Interventions and Complications Research Group. Sustained effect of intensive treatment of type 1 diabetes mellitus on development and progression of diabetic nephropathy: the Epidemiology of Diabetes

Interventions

and

Complications

(EDIC)

study.

JAMA

2003;290:2159-67. 16. Nathan DM, Cleary PA, Backlund JY, et al. Intensive diabetes treatment and cardiovascular disease in patients with type 1 diabetes. N Engl J Med 2005;353:2643-53. 17. Canadian Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee. 18. Canadian Diabetes Association 2008 clinical practice guidelines for the prevention and management of diabetes in Canada. Can J Diabetes 2008;32(Suppl 1):S1-S201. 19. Donnelly LA, Doney AS, Hattersley AT, et al. The effect of obesity on glycaemic response to metformin or sulphonylureas in type 2 diabetes. Diabet Med 2006;23:128-33. 20. Salpeter S, Greyber E, Pasternak G, et al. Risk of fatal and nonfatal lactic acidosis with metformin use in type 2 diabetes mellitus. Cochrane Database Syst Rev 2006;(1):CD002967. 21. Lalau JD, Race JM. Lactic acidosis in metformin therapy: searching for a link with metformin in reports of “metformin-associated lactic acidosis”. Diabetes Obes Metab 2001;3:195-201. 22. Kasiske BL. Hyperlipidemia in patients with chronic renal disease. Am J Kidney Dis1998;32(Suppl 3):S142-56. 23. McPherson R, Frohlich J, Fodor G, et al. Canadian Cardiovascular Society position statement — recommendations for the diagnosis and treatment of

25

26

dyslipidemia and prevention of cardiovascular disease. Can J Cardiol 2006;22:913-27. 24. Heart Protection Study Collaborative Group. MRC/BHF Heart Protection Study of cholesterol lowering with simvastatin in 20,536 high-risk individuals: a randomized placebo- controlled trial. Lancet 2002;360:7-22. 25. Sever PS, Dahlof B, Poulter NR, et al. Prevention of coronary and stroke events with atorvastatin in hypertensive patients who have average or lower-than-average cholesterol concentrations, in the Anglo-Scandinavian Cardiac

Outcomes

Trial-Lipid

Lowering

Arm

(ASCOT–LLA):

a

multicentre randomised controlled trial. Lancet 2003;361:1149-58. 26. Tonelli M, Isles C, Curhan GC, et al. Effect of pravastatin on cardiovascular events in people with chronic kidney disease. Circulation 2004;110:155763. 27. Wanner C, Krane V, Marz W, et al. Atorvastatin in patients with type 2 diabetes mellitus undergoing hemodialysis. N Engl J Med 2005;353:238-48. 28. Saltissi D, Morgan C, Rigby RJ, et al. Safety and efficacy of simvastatin in hypercholesterolemic patients undergoing chronic renal dialysis. Am J Kidney Dis 2002;39:283-90. 29. Baigent C, Landray M, Leaper C, et al. First United Kingdom Heart and Renal Protection (UK-HARP-I) study: biochemical efficacy and safety of simvastatin and safety of low-dose aspirin in chronic kidney disease. Am J Kidney Dis 2005;45:473-84. 30. Klahr S, Levey AS, Beck GJ, et al. The effects of dietary protein restriction and blood- pressure control on the progression of chronic renal disease. Modification of Diet in Renal Disease Study Group. N Engl J Med 1994;330:877-84.

26

27

Fouque D, Laville M, Boissel JP. Low protein diets for chronic kidney disease

in

non

diabetic

adults.

Cochrane

Database

Syst

Rev

2006;(2):CD001892.

27

Related Documents


More Documents from "Dhea Mutiadini"