BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Program Kesehatan Kerja mempunyai tujuan utama yaitu memberikan perlindungan kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja dan promosi kesehatan pekerja. Lebih jauh lagi adalah menciptakan kerja yang tidak saja aman dan sehat, tetapi juga nyaman serta meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas. Kantor Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 2005 memperkirakan bahwa diseluruh dunia setiap tahun 2.2 juta orang meninggal karena kecelakaan-kecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja. Dan kematian-kematian akibat kerja nampaknya meningkat. Lagi pula, diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi 270 juta kecelakaan-kecelakaan yang akibat kerja yang tidak fatal (setiap kecelakaan paling sedikit mengakibatkan paling sedikit tiga hari absen dari pekerjaan) dan 160 juta penyakit-penyakit baru akibat kerja. Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan permasalahan pemerintah, pengusaha, pekerja dan keluarganya diseluruh dunia. Sementara beberapa industri bersifat lebih berbahaya dari industri yang lain, kelompok pekerja migran dan pekerja berpenghasilan kecil yang lain lebih banyak dihadapkan pada risiko mengalami kecelakaan-kecelakaan akibat kerja dan kesehatan yang kurang baik, karena kemiskinan seringkali memaksa mereka untuk menerima pekerjaan yang tidak aman. Berbagai pendekatan sering dilakukan dalam menghadapi risiko dalam organisasi atau perusahaan seperti mengabaikan risiko sama sekali, karena dianggap merupakan hal yang diluar kendali manajemen. Pendapat tersebut, merupakan cara pendekatan yang tidak tepat, karena tidak semua risiko berada diluar jangkauan kendali organisasi / perusahaan. Menghindari semua kegiatan atau proses produksi yang memiliki risiko. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak
1
mungkin dilaksanakan, karena semua aktivitas ditempat kerja sampai tingkat tertentu selalu mengandung risiko.
Menerapkan Manajemen Risiko, dalam
pengertian umum, risiko tinggi yang dihadapi sebenarnnya merupakan suatu tantangan yang perlu diatasi dan melalui suatu pemikiran positif diharapkan akan memberikan nilai tambah atau imbalan hasil yang tinggi pula. Aspek ekonomi, sosial dan legal merupakan beberapa hal yang berkaitan dengan penerapan manajemen risiko. Dampak finansial akibat peristiwa kecelakaan kerja, gangguan kesehatan atau sakit akibat kerja, kerusakan atau kerugian aset, biaya premi asuransi, moral kerja dan sebagainya, sangat mempengaruhi produktivitas. Demikian juga aspek sosial dan kesesuaian penerapan peraturan perundang undangan yang tercermin pada segi kemanusiaan, kesejahteraan dan kepercayaan masyarakat memerlukan penyelenggaraan manajemen risiko yang dilaksanakan melalui partisipasi pihak terkait. Manajemen risiko kesehatan di tempat kerja mempunyai tujuan: meminimalkan kerugian akibat kecelakaan dan sakit, meningkatkan kesempatan/peluang untuk meningkatkan produksi melalui suasana kerja yang aman, sehat dan nyaman, memotong mata rantai kejadian kerugian akibat kegagalan produksi yang disebabkan kecelakaan dan sakit, serta pencegahan kerugian akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
B. Rumusan Masalah 1. Pengertian risiko 2. Pengertian hazard 3. Pengertian diagnosa keperawatan 4. Risiko dan hazard dalam diagnosa keperawatan
C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian dari risiko 2. Mengetahui pengertian dari hazard
2
3. Mengetahui diagnosa keperawatan 4. Mengetahui risiko dan hazard dalam menegakkan diagnosa keperawatan
3
BAB II PEMBAHASAN
A. KONSEP RISIKO DAN HAZARD 1. Pengertian Risiko Kerja Risiko didefinisikan sebagai “kombinasi dari kemungkinan terjadinya peristiwa yang berhubungan dengan cidera parah; atau sakit akibat kerja atau terpaparnya seseorang / alat pada suatu bahaya ” (klausul 3.21). Jadi, bahaya adalah sifat dari proses yang dapat merugikan individu, dan risiko adalah kemungkinan bahwa itu akan terjadi bersama dengan seberapa parah akibat yang akan diterima. Jadi, jika memiliki dua pekerjaan kantor yang membutuhkan gerakan berulang, tapi satu yang dilakukan setiap hari dan yang kedua dilakukan sebulan sekali, risiko akan lebih tinggi pada pekerjaan pertama. Demikian juga, jika memiliki dua proses yang memerlukan penambahan bahan kimia dalam proses produksi, dengan proses pertama membutuhkan bahan kimia yang sangat berbahaya dan yang lainnya tidak, maka proses pertama akan memiliki risiko lebih tinggi. Risiko (Risk) adalah menyatakan kemungkinan terjadinya kecelakaan/ kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu (Tarwaka, 2008). Penilaian risko adalah proses untuk menentukan pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan kerja/ penyakit akibat kerja. Penilaian risiko adalah proses evaluasi risiko-risiko yang diakibatkan adanya bahayabahaya, dengan memperhatikan kecukupan pengendalian yang dimiliki, dan menentukan apakah risikonya dapat diterima atau tidak (Operasional Procedure No.31519). Menurut PERMENAKER No. 05/MEN/1996, pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan dengan berbagai macam metode, yaitu :
4
1. Pengendalian teknis atau rekayasa yang meliputi eliminasi, subtitusi, isolasi, ventilasi, higiene, dan sanitasi (engineering control). 2. Pendidikan dan pelatihan 3. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif, penghargaan, dan motivasi diri 4. Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan dan etiologi. 5. Penegakan hukum.
2.
Pengertian Hazard Kerja
Bahaya adalah sumber, situasi atau tindakan yang berpotensi menciderai manusia atau sakit penyakit atau kombinasi dari semuanya (Operasional Procedure No 31519). Bahaya adalah aktifitas, kondisi, kejadian, gejala, proses, material, dan segala sesuatu yang ada di tempat kerja/ berhubungan dengan pekerjaan yang menjadi/ berpotensi menjadi sumber kecelakaan/ cidera/ penyakit/ dan kematian. Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan (Suma’mur 1996). Selain resiko yang berbeda-beda, setiap bahan mempunyai intensitas atau tingkat bahaya yang berbeda, misalnya pengaruh dari suatu bahan kimia ada yang akut dan ada yang kronis. Untuk mengetahui setiap karakteristik suatu bahan dan 52 penanganannya dibuat MSDS (Material Safety Data Sheet) sebagai alat informasi kepada tenaga kerja agar dapat mengenali karakteristik dan cara penanganan bahan-bahan kimia tersebut. Berdasarkan National Safety Council mengatakan bahwa hazard adalah faktor faktor intrinsik yang melekat pada sesuatu berupa barang atau kondisi dan mempunyai potensi menimbulkan efek kesehatan maupun keselamatan pekerja serta lingkungan yang memberikan dampak buruk. Sedangkan menurut Miles Nedved hazard adalah suatu aktivitas atau sifat
5
alamiah yang berpotensi menimbulkan kerusakan. Pengertian berdasarkan Frank Bird Jr, hazard adalah suatu kondisi atau tindakan yang dapat berpotensial menimbulkan kecelakaan dan kerugian (AS/NZS, 1999).
1.
Beberapa komponen yang menyangkut terhadap hazard: a. Karakteristik material b. Bentuk material c. Hubungan pemajanan dan efek d. Jalannya pemajuan dari proses individu e. Kondisi dan frekuensi penggunaan f. Tingkah laku pekerja
2.
Jenis-Jenis Hazard Berdasarkan karakteristik dampak yang diakibatkan oleh suatu jenis bahaya maka jenis bahaya dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu bahaya kesehatan kerja dan bahaya keselamatan kerja. Bahaya Kesehatan kerja dapat berupa bahaya fisisk, kimia, biologi dan bahaya berkaitan dengan ergonomi, berdampak kepada kesehatan dan kenyamanan kerja, misalnya penyakit akibat kerja, pemajanan terjadi pada waktu lama dan pada konsentrasi rendah, Bahaya keselamatan (safety hazard) fokus pada keselamatan manusia yang terlibat dalam proses, peralatan, dan teknologi. Dampak safety hazard bersifat akut, konsekuensi tinggi, dan probabilitas untuk terjadi rendah. Bahaya keselamatan (Safety hazard) dapat menimbulkan dampak cidera, kebakaran, dan segala kondisi yang dapat menyebabkan kecelakaan di tempat kerja. Jenis-jenis safety hazard, antara lain :
6
a. Mechanical Hazard, bahaya yang terdapat pada benda atau proses yang bergerak yang dapat menimbulkan dampak, seperti tertusuk, terpotong, terjepit, tergores, terbentur, dan lain-lain. b. Electrical Hazard, merupakan bahaya yang berasal dari arus listrik. c. Chemical Hazard, bahaya bahan kimia baik dalam bentuk gas, cair, dan padat yang mempunyai sifat mudah terbakar, mudah meledak, dan korosif. Bahaya
kesehatan
(health
hazard)
fokus
pada
kesehatan
manusia.Bahaya Keselamatan kerja dapat berupa bahaya fisik, kimia, bahaya berkaitan dengan ergonomi, psikososial, elektrik, berdampak pada keselamatan kerja, misalnya cedera, kebakaran, ledekan, pemajanan terjadi pada waktu singkat. -Hazard fisik, misalnya yang berkaitan dengan peralatan seperti bahaya listrik, temperatur ekstrim, kelembaban, kebisingan, kebisingan, radiasi, pencahayaan, getaran, dan lain-lain. -Hazard Kimia ialah kecederaan akibat sentuhan dan terhidu bahan kimia.Contohnya bahan-bahan kimia seperti asid, alkali, gas, pelarut, simen, getah sintetik, gentian kaca, pelekat antiseptik, aerosol, insektisida, dan lain-lain.. Bahan-bahan kimia tersebut merbahaya dan perlu diambil langkah - langkah keselamatan apabila mengendalinya. -Hazard biologi, misalnya yang berkaitan dengan mahluk hidup yang berada di lingkungan kerja seperti virus, bakteri, tanaman, burung, binatang yang dapat menginfeksi atau memberikan reaksi negative kepada manusia. -Hazard psikososial, misalnya yang berkaitan aspek sosial psikologis maupun organisasi pada pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat
7
memberi dampak pada aspek fisik dan mental pekrja. Seperti misalnya pola kerja yang tak beraturan, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi kapasitas mental, tugas yang tidak berfariasi, suasana lingkungan kerja yang terpisah atau terlalu ramai dll sebagainya B. PENGERTIAN DIAGNOSA KEPERAWATAN Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinik tentang respon individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan aktual atau potensial, dimana berdasarkan pendidikan dan pengalamannya, perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga, menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah status kesehatan klien (Herdman, 2012). Diagnosa keperawatan merupakan suatu bagian integral dari suatu proses keperawatan. Hal ini merupakan komponen dari langkah - langkah analisa, dimana perawat melakukan identifikasi terhadap respon-respon individu terhadap masalah-masalah kesehatan yang aktual dan potensial. Dibeberapa negara diagnosa diidentifikasikan dalam tindakan praktik keperawatan sebagai suatu tanggung jawab legal dari perawat yang professional. Diagnosa keperawatan memberikan dasar petunjuk untuk memberikan terapi yang pasti di mana perawat yang bertanggung jawab di dalamnya (Kim, 1984). Diagnosa keperawatan di tetapkan berdasarkan analisis dan interprestasi data yang di peroleh dari pengkajian klien. Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang kesehatan yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi, dimana pengambilan keputusannya dapat di lakukan dalam batas wewenang perawat. Diagnosakeperawatan juga sebagai suatu bagian dari proses keperawatan yang di reflesikan dalam standar praktik American Nurses Assiation (ANA). Standar-standar ini memberikan
8
suatu dasar luas untuk mengevaluasi praktik dan mereflesikan pengakuan hak-hak manusia yang menerima asuhan keperawatan (Am, 1980). 1. Pengkajian Diagnosa Menurut (Nurjannah, 2012) dalam menentukan diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien, untuk itu maka diperlukan pengkajian keperawatan untuk mempermudah perawat dalam menentukan diagnosa yang di alami oleh pasien, maka dari itu perlu dilakukan langkah-langkah pengkajian berikut dalam menentukan diagnosa : Pengkajian tanda vital Pengkajian untuk keamanan Pengkajian untuk situasi khusus Pengkajian untuk klien hamil Pengkajian untuk sistem gastrointestinal Pengkajian untuk sistem perkemihan Pengkajian aktifitas, istirahat dan mobilitas/Pergerakan Pengkajian kenyamanan, kulit, dan integritas jaringan Pengkajian untuk nutrisi Pengkajian kondisi psikologi Pengkajian untuk kognitif dan persepsi Pengkajian untuk spiritual, values, dan religious Pengkajian untuk tingkah laku Pengkajian untuk seksualitas dan aspek sosial Pengkajian bayi/anak Pengkajian Caregiver Pengkajian Komunitas
2. Jenis Diagnosa keperawatan
9
Penentuan diagnosa kesperawatan, bagaimanapun lebih sulit dan kompleks dari pada penentuan diagnosa medis. Hal itu dikarenakan data dari hasil pengkajian tidak selalu menjadi data batasan karakteristik (S) dalam format PES pada diagnosa keperawatan, tetapi juga bisa menjadi etiologi (E) pada format PES. Data ini bahkan bisa berfungsi sebagai label diagnosa itu sendiri (Herdman, 2012). Diagnosa keperawatan menurut Carpenito (2001) dapat di bedakan menjadi diagnosa keperawatan syndrome dan kolaborasi, Sedangkan menurut Herdman (2012) diagnosa keperawatan dapat dibedakan menjadi
diagnosa
keperawatan
aktual,
resiko,
kemungkinan,
dan
kesejahteraan. Diagnosa keperawatan menurut Carpenito (2001) dan Herdman (2012) dapat di jelaskan sebagai berikut : a. Aktual : suatu diagnosa keperawatan yang menggambarkan penilaian klinis yang harus di validasi oleh perawat karena adanya batasan karakteristik mayor. Jenis keperawatan tersebut memiliki empat komponen : dimulai dari label, defenisi, karakteristik dan faktor yang berhubungan. Label yang di berikan juga harus singkat dan jelas, hal itu bertujuan untuk mempermudah dalam membantu membedakan diagnosa yang ada agar dapat di bedakan antara diagnosa yang satu dengan diagnosa yang lainnya. Syarat untuk menegakkan suatu diagnosa keperawatan maka di perlukan adanya Problem, etiology, symptom(PES) yang dijelaskan sebagai berikut : 1) Problem (Masalah) Tujuan penulisan pernyataan masalah adalah menjelaskan status kesehatan atau masalah kesehatan klien secara singkat dan sejelas mungkin. Karena pada bagian ini dari diagnosa keperawatan mengidentifikasi apa yang tidak sehat tentang klien dan apa yang harus di rubah tentang status kesehatan klien dan juga memberikan pedoman terhadap tujuan dari asuhan keperawatan. Dengan menggunakan standar diagnosa dari Herdman
10
mempunyai keuntungan yang signifikan yaitu : a.Untuk membantu perawat untuk berkomunikasi antara yang satu dengan yang lainnya dengan menggunakan istilah yang di mengerti secara umum. b.Sebagai metode untuk mengidentifikasi perbedaan masalah keperawatan yang ada dengan masalah medis.
c.Semua
mendefenisikan
perawat kategori
dapat
bekerjasama
diagnosa
dalam
dalam
menguji
mengidentifikasi
dan
kriteria
pengkajian dan intervensi keperawatan dalam meningkatkan asuhan keperawatan. 2) Etiologi (Penyebab) Etiologi (penyebab) adalah faktor faktor klinik dan personal yang dapat merubah status kesehatan atau mempengaruhi perkembangan masalah. Etiologi mengidentifikasi fisiologis, psikologis, sosiologis, dan spiritual serta faktor-faktor lingkungan yang di percaya berhubungan dengan masalah baik sebagai penyebab maupun faktor resiko. Karena etiologi mengidentifikasi faktor yang mendukung terhadap faktor masalah kesehatan klien, maka etiologi sebagai pedoman atau sasaran langsung dari intervensi keperawatan. Jika terjadi kesalahan dalam menentukan penyebab maka tindakan keperawatan menjadi tidak efektif dan efesien. 3) Symptom (tanda atau gejala) Merupakan identifikasi data objektif dan subjektif sebagai tanda dari masalah keperawatan memerlukan kriteria evaluasi. b. Resiko : diagnosa keperawatan resiko menggambarkan penilaian klinis dimana individu maupun kelompok lebih rentan mengalami masalah yang sama di bandingkan orang lain di dalam situasi yang sama atau serupa. Syarat untuk menegakkan diagnosa resiko ada unsur PE (Problem and Etiologi ) dan untuk penggunaan batasan karakteristik yaitu “resiko dan resiko tinggi “ tergantung dari tingkat kerentanan/keparahan suatu masalah. Dan faktor yang terkait untuk diagnosa keperawatan resiko merupakan faktor
11
yang sama dengan keperawatan aktual seperti yang sudah dibahas sebelumnya di diagnosa keperawatan aktual. c. Kemungkinan : diagnosa kemungkinan adalah diagnosa keperawatan yang memerlukan data tambahan, hal tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya suatu diagnosa yang bersifat sementara, dan dalam menentukan suatu diagnosa keperawatan yang bersifat sementara bukanlah menunjukan suatu kelemahan atau keraguan dalam menentukan suatu diagnosa, akan tetapi merupakan suatu proses penting dalam keperawatan. d. Kesejahteraan : diagnosa keperawatan kesejahteraan merupakan penilaian klinis tentang keadaan individu, keluarga atau masyarakat dalam transisi dari tingkat sejahtera tertentu menjadi tingakat sejahtera yang lebih tinggi (Herdman, 2007). 5.Syndrome : diagnosa syndrome merupakan kumpulan gejala diagnosa keperawatan, karena terdiri dari diagnosa keperawatan aktual dan resiko yang di perkirakan ada karena situasi atau peristiwa tertentu. Dan didalam diagnosa syndrome terdapat etiologi dan faktor pendukung lainnya yang bertujuan untuk mempermudah dalam menegakkan suatu diagnosa. (Carpenito, 2001). Meskipun begitu ada juga beberapa data yang mempunyai banyak diagnosa keperawatan adalah „tekanan darah‟ yang ditemukan dalam diagnosa keperawatan „Activity Intolerance’, „Anxiety„ , ‘Decreased Cardiac Output ‘, ‘Fear, ‘Deficient Fluid Volume’,’ Excess Fluid Volume’, ‘Acute pain ‘, ‘ineffective Tissue Perfusion ‘ dan ‘dysfunctional Ventilator Weaning Response „ ( Herdman, 2012). Kenyataan ini menunjukan adanya diagnosa banding yang perlu dicermati oleh perawat meskipun hanya dengan satu tanda dan gejala saja. Dalam proses „Diagnostic Reasoning’ dalam keperawatan, mengidentifikasi kemungkinan diagnosa (Possible diagnoses) merupakan bagian penting dari proses „Diagnostic Reasoning’ (Westfall, 1986). Informasi mengenai
12
kemungkinan apa diagnosa keperawatan dan masalah kolaborasinya perlu di sadari oleh perawat sehingga akan memunculkan proses berpikir lebih lanjut untuk dapat mengkonfirmasi berbagai kemungkinan diagnosa tersebut melalui pengkajian fokus. 3. Diagnosa Kolaborasi Diagnosa kolaborasi merupakan suatu masalah keperawatan dimana perawat perlu membuat suatu keputusan klinik yang akurat dan tepat terkait dengan perubahan patofisiologis pada status kesehatan klien. Telah diketahui bahwa tanda dan gejala yang didapatkan dalam pengkajian dapat menjadi milik diagnosa keperawatan atau kolaboratif. Tetapi pada kenyataannya ini tampak tidak terlalu diperhatikan dalam proses „diagnostic reasoning‟. Referensi yang ada biasanya juga memisahkan dua hal ini, contohnya Carpenito (2006 Carpenito , 2008) adalah referensi yang membedakan diagnosa keperawatan dan diagnosa kolaborasi dalam dua topik yang berbeda. Kenyataan pembagian data tersebut sangat penting sekali diketahui perawat. Salah satu contoh kegunaan pengetahuan ini adalah apabila perawat tahu data mana saja yang hanya akan memunculkan diagnosa potensial komplikasi, maka perawat perlu menyampaikan data ini pada dokter sebagai petugas kesehatan professional yang ikut berkepentingan terhadap data ini. Hal ini dikarenakan diagnosa potensial komplikasi merupakan‟ grey area„ dimana perawat bersentuhan dengan medis. Tim medis akan melihat seorang perawat cakap apabila perawat mampu dalam hal diagnosa potensial komplikasi. Tentunya ini berbeda dengan diagnosa keperawatan yang betulbetul milik perawat dan intervensinya pun mandiri oleh perawat. Diagnosa kolaborasi dapat berlangsung secara optimal, jika semua anggota profesi mempunyai keinginan untuk bekerjasama.
13
Perawat dan dokter saling bekerja sama dan saling ketergantungan antara satu dengan yang lain, di mana perawat dan dokter berkontribusi dalam perawatan individu, keluarga dan masyarakat.Perawat sendiri merupakan sebagai anggota yang membawa perspektif dalam tim inter disiplin. Perawat memfasilitasi dan membantu pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari praktek profesi kesehatan lain. Inti dari suatu hubungan
kolaborasi
yaitu
adanya
perasaan
saling
ketergantungan
(interdefensasi)untuk kerjasama dan bekerjasama. Bekerjasama dalam suatu kegiatan dapat memfasilitasi kolaborasi yang baik. Kerjasama mencerminkan proses koordinasi pekerjaan agar tujuan atau target yang telah di tentukan dapat tercapai (Carpenito, 2006). Didalam diagnosa keperawatan kolaborasi yang perlu di perhatikan yaitu tanggung jawab dari keperawatan, mulai dari mendiagnosa, mengintervensi serta meperhatikan kemajuan yang dialami oleh klien. Dalam hal ini perawat tidak sendiri, melainkan melakukankolaborasi dengan dokter dan praktisi kesehatan lainnya untuk memantau kestabilan fisiologis dari klien, kemudian untuk melihat perlu atau tidaknya dilakukan tindakan (Carpenito, 1983).
C. RESIKO DAN HAZARD DALAM DIAGNOSA KEPERAWATAN Secara teknis penegakan diagnosis dilakukan dengan cara berikut ini (B, sugeng. 2003): 1. Anamnesis (wawancara) meliputi, identitas, riwayat kesehatan, riwayat penyakit, dan keluhan yang dialami saat ini. 2. Riwayat pekerjaan a. Sejak pertama kali bekerja (kapan mulai bekerja di tempat tersebut) b. Kapan, bilamana, apa yang dikerjakan, bahan yang digunakan, jenis bahaya yang ada, kejadian sama pada pekerja lain, pemakaian alat
14
pelindun diri, cara melakukan pekerjaan, pekerjaan lain yang dilakukan, kegemaran (hobi), dan kebiasaan lain (merokok, alkohol) c. Sesuai tingkat penegtahuan, pemahaman pekerjaan. 3. Membandingkan gejala penyakit sewaktu bekerja dan dalam keadaan tidak bekerja a. Pada saat bekerja maka gejala timbul atau menjadi lebih berat, tetapi pada saat tidak bekerja atau istirahat maka gejala berkurang atau hilang. b. Perhatikan juga kemungkinan pemajanan di luar tempat kerja. c. informasi tentang ini dapat ditanyakan dalam anamnesa atau dari data penyakit di perusahaan. 4. Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan catatan a. Tanda dan gejala yang muncul mungkin tidak spesifik. b. Pemeriksaan laboratorium membantu diagnostik klinis. c. Dugaan adanya penyakit akibat bekerja dilakukan juga melalui pemeriksaan laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis. 5. Pemeriksaan laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis a. Seperti pemeriksaan spirometri dan rontgen paru (pneumokoniosispembacaan standart ILO). b. Pemeriksaan audiometri. c. Pemeriksaan hasil metabolit dalam darah dan urine. 6. Pemeriksaan atau pengujian lingkungan kerja atau data hygine perusahaan yang memerlukan: a. Kerjasama dengan tenaga ahli hygine perusahaan. b. Kemampuan mengevaluasi faktor fisik dan kimia berdasarkan data yang ada. c. Pengenalan secara lengsung sistem kerja dan lama pemakaian. 7. Konsultasi keahlian medis dan keahlian lain
15
a. Seringkali penyakit akibat kerja ditentukan setelah ada diagnosis klinis, kemudian dicari faktor penyebabnya di tempat kerja, atau melalui pengamatan (penelitian) yang relatif lebih lama. b. Dokter spesialis lainnya, ahli toksikologi, dan dokter penasehat (kaitannya dengan kompensasi). Menurut (dermawan, deden. 2012: 194-197) Untuk dapat mendiagnosis penyakit akibat kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman : 1.
Tentukan diagnosis klinisnya Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan
memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak. 2.
Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja
adalah
esensial
untuk
dapat
menghubungkan
suatu
penyakit
dengan
pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesa mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup : a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara kronologis. b. Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan. c. Bahan yang diproduksi. d. Materi (bahan baku) yang digunakan. e. Jumlah pajanananya. f. Pemakaian alat perlindungan diri (masker).
16
g. Pola waktu terjadinya gejala. h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa). i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label, dan sebagainya). 3.
Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut. Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung
pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut diatas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama dan sebagainya). 4.
Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan
tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menetukan diagnosis penyakit akibat kerja. 5.
Tentukan
apakah
ada
faktor-faktor
lain
yang
mungkin
dapat
mempengaruhi. Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat perkerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanan, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa sebelumnya sehingga resikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.
17
6.
Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit. Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit?
Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja. 7.
Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya. Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu
keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjann hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan waktu menegakkan diagnosis. Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya,
tetapi
pekerjaannya/pajanannya
memperberat/mempercepat
timbulnya penyakit.
18
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Program Kesehatan Kerja mempunyai tujuan utama yaitu memberikan perlindungan kepada pekerja dari bahaya kesehatan yang berhubungan dengan lingkungan kerja dan promosi kesehatan pekerja. Lebih jauh lagi adalah menciptakan kerja yang tidak saja aman dan sehat, tetapi juga nyaman serta meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas.
Kantor Perburuhan
Internasional (ILO) pada tahun 2005 memperkirakan bahwa diseluruh dunia setiap tahun 2.2 juta orang meninggal karena kecelakaan-kecelakaan dan penyakit-penyakit akibat kerja.
Dan kematian-kematian akibat kerja
nampaknya meningkat. Lagi pula, diperkirakan bahwa setiap tahun terjadi 270 juta kecelakaan-kecelakaan yang akibat kerja yang tidak fatal (setiap kecelakaan paling sedikit mengakibatkan paling sedikit tiga hari absen dari pekerjaan) dan 160 juta penyakit-penyakit baru akibat kerja. Risiko didefinisikan sebagai “kombinasi dari kemungkinan terjadinya peristiwa yang berhubungan dengan cidera parah; atau sakit akibat kerja atau terpaparnya seseorang / alat pada suatu bahaya ” (klausul 3.21). Jadi, bahaya adalah sifat dari proses yang dapat merugikan individu, dan risiko adalah kemungkinan bahwa itu akan terjadi bersama dengan seberapa parah akibat yang akan diterima. Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan (Suma’mur 1996). Selain resiko yang berbeda-beda, setiap bahan mempunyai intensitas atau tingkat bahaya yang berbeda, misalnya pengaruh dari suatu bahan kimia ada yang akut dan ada yang kronis.
19
Menurut
(dermawan,
deden.
2012:
194-197)
Untuk
dapat
mendiagnosis penyakit akibat kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman. B. Saran Jagalah keselamatan anda dalam kondisi yang aman dalam melakukan tindakan keperawatan khususnya di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 Tntang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Harrington, J.M.2003. Buku Saku Kesehatan Kerja-Ed. 3. Jakarta: EGC
Yahya, A. 2009, Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Risiko Klinis. PERSI:KKP-RS
21