Riset Gigih Fix 1.docx

  • Uploaded by: Nofa Safitri
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Riset Gigih Fix 1.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,860
  • Pages: 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK) 1. Definisi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih (ISK) adalah episode bakteriuria signifian (yaitu infeksi dengan jumlah koloni > 100.000 mikroorganisme tunggal per ml) yang mengenai saluran kemih bagian atas (pielonefritis, abses ginjal) atau bagian bawah (sistisis) atau keduanya. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI, 2011). Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi pada saluran kemih (Dipiro dkk, 2015). Dari definisi diatas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi saluran kemih merupakan penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme di dalam urin yang dapat menimbulkan infeksi pada saluran kemih. 2. Klasifikasi Klasifikasi infeksi saluran kemih dapat dibedakan berdasarkan anatomi dan klinis. Infeksi saluran kemih diklasifikasikan berdasarkan anatomi, yaitu: a. Infeksi saluran kemih bawah berdasarkan presentasi klinis dibagi menjadi 2 yaitu : 1). Perempuan Sistitis adalah infeksi saluran kemih disertai bakteriuria bermakna dan Sindroma uretra akut 2). laki-laki Berupa sistitis, prostatitis, epidimidis, dan uretritis. b. Infeksi saluran kemih atas berdasarkan waktunya terbagi menjadi 2 yaitu: 1). Pielonefritis akut (PNA), adalah proses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan oleh infeksi bakteri (Sukandar, 2006). 2). Pielonefritis kronis (PNK), mungkin terjadi akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil (Liza, 2006). Berdasarkan klinisnya, ISK dibagi menjadi 2 yaitu :

a. ISK Sederhana (tak berkomplikasi) b. ISK berkomplikasi

3. Epidemiologi ISK dapat menyerang pasien dari segala usia mulai dari bayi baru lahir hingga orangtua. Masalah ISK ini sering dialami oleh kaum wanita karena uretra wanita lebih pendek daripada pria. Uretra yang pendek memudahkan bakteri dari anus atauarea genital mencapai vesica urinaria. Tetapi padamasa neonatus ISK lebih banyak terdapat pada bayi laki-laki yang tidak menjalani sirkumsisi daripada bayi perempuan. ISK merupakan keadaan yang sering ditemukan pada praktik umum (biasanya disebabkan Escherichia coli) dan merupakan 40% dari infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial) (sering disebabkan oleh Enterobacter atau Klebsiella). (Ilmu Bedah Edisi3. Pierce A. Grace & Neil R. Borley). Di Indonesia, ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada semua usia mulai dari bayi sampai orang tua. Semakin bertambahnya usia, insidensi ISK lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki karena uretra wanita lebih pendek dibandingkan laki-laki (Purnomo, 2014). Menurut data penelitian epidemiologi klinik melaporkan 25%-35% semua perempuan dewasa pernah mengalami ISK. National Kidney and Urology Disease Information Clearinghouse (NKUDIC) juga mengungkapkan bahwa pria jarang terkena ISK, namun apabila terkena dapat menjadi masalah serius (NKUDIC, 2012). Infeksi saluran kemih (ISK) diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta kunjungan per tahun, dengan biaya lebih dari $ 1 miliar. Sekitar 40% wanita akan mengalami ISK setidaknya sekali selama hidupnya, dan sejumlah besar perempuan ini akan memiliki infeksi saluran kemih berulang (Gradwohl, 2011). Prevalensi pada lanjut usia berkisar antara 15 sampai 60%, rasio antara wanita dan laki-laki adalah 3 banding 1. Prevalensi muda sampai dewasa muda wanita kurang dari 5% dan laki-laki kurang dari 0,1%. ISK adalah sumber penyakit utama dengan perkiraan 150 juta pasien pertahun diseluruh dunia dan memerlukan biaya ekonomi dunia lebih dari 6 milyar dollar (Karjono, 2009). 4. Faktor Penyebab dan Risiko Infeksi saluran kemih disebabkan oleh adanya mikro organisme patogenik dalam traktus urinarius, dengan atau tanpa disertai gejala. Faktor risiko yang umum mencakup ketidakmampuan atau kegagalan kandung kemih untuk mengosongkan isinya secara lengkap, penurunan mekanisme pertahanan alamiah dari pejamu, peralatan yang dipasang pada traktus urinarius, seperti kateter dan prosedur sistoskopi. Pasien diabetes sangat berisiko karena peningkatan kadar glukosa dalam urin menyebabkan suatu infeksi-akibat lingkungan pada traktus urinarius. Kehamilan dan gangguan

neurologi juga meningkatkan risiko karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan stasis urin (Smeltzer & Bare, 2001, p.1428). Agen penyebab ISK adalah golongan kuman gram negatif terutama Escherichia coli, Enterococcus, Pseudomonas aeruginosa,dan Klebsiella.Di luar negeri dilaporkan kuman E. coli merupakan penyebab terbanyak infeksi saluran kemih. Jumlah E. coli mencapai 85 % untuk infeksi communityacquired dan 60% infeksi hospital-acquired. Meskipun urin berisi berbagai cairan, garam, dan produk hasil ekskresi, di dalam urin biasanya tidak ditemukan bakteri, tetapi saat bakteri masuk ke vesica urinaria dan ginjal dan bermultiplikasi di urin maka akan menyebabkan terjadinya ISK. Saluran kemih dalam keadaan normal adalah steril kecuali pada bagian akhir uretra. Kemampuan tubuh untuk mengosongkan kandung kemih merupakan salah satu mekanisme penting untuk menjaga agar urin tetap steril dan mencegah ISK. Jika kandung kemih dapat langsung mengosongkan seluruh isinya selama proses berkemih maka bakteri tidak mempunyai kesempatan untuk menginfeksi jaringan atau tumbuh dan mengadakan multiplikasi di kandung kemih. Mekanisme pertahanan terhadap infeksi saluran kemih adalah uretra yang tidak obstruktif, proses berkemih yang baik serta mukosa kandung kemih dan uretra yang utuh. Masuknya kateter akan mengganggu mekanisme pertahanan tersebut, membawa masuk bakteri dari luar uretra dan memberikan jalan baginya untuk mencapai kandung kemih. Bakteri dapat mencapai kandung kemih melalui dua jalan, yaitu melalui bagian dalam kateter (intra luminal) dan melalui ruang antara dinding luar kateter dan mukosa (ekstra luminal). Cara memasukkan kateter, gerakan bolak-balik dari kateter dan pengumpulan urin pada sistem terbuka harus dihindari. Selain karena pemasangan kateter, infeksi saluran kemih juga dapat disebabkan oleh tindakan dilatasi uretra, cystoskopy, dan pyelography retrograde. Faktor resiko : 1. Obstruksi saluran kemih 2. Pemasangan kateter 3. Disfungsi kandung kemih (neuropatik) 4. Imunosupresi 5. Diabetes melitus 6. Kelainan Struktural 7. Kehamilan 5. Patofisiologi

Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran kemih dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua ureter dan ginjal (Purnomo, 2014). Kuman ini biasanya memasuki saluran kemih melalui uretra, kateter, perjalanan sampai ke kandung kemih dan dapat bergerak naik ke ginjal dan menyebabkan infeksi yang disebut pielonefritis (National Kidney Foundation, 2012). ISK terjadi karena gangguan keseimbangan antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agent dan epitel saluran kemih sebagai host. Mikroorganisme penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup secara komensal dalam introitus vagina, preposium, penis, kulit perinium, dan sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses atau dubur, masuk ke dalam saluran kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal (Fitriani, 2013). Mikroorganisme tersebut dapat memasuki saluran kemih melalui 3 cara yaitu ascending, hematogen seperti penularan M.tuberculosis atau S.aureus , limfogen dan langsung dari organ sekitarnya yang sebelumnya telah mengalami infeksi (Purnomo,2014). Sebagian besar pasien ISK mengalami penyakit komplikasi. ISK komplikasi adalah ISK yang diperburuk dengan adanya penyakit lainya seperti lesi, obstruksi saluran kemih, pembentukan batu, pemasangan kateter, kerusakan dan gangguan neurologi serta menurunya sistem imun yang dapat mengganggu aliran yang normal dan perlindungan saluran urin. Hal tersebut mengakibatkan ISK komplikasi membutuhkan terapi yang lebih lama (Aristanti, 2015). 6. Patologi 1. Infeksi asenden : sebagian besar ISK terjadi dengan cara ini (bakteri dari saluran cerna berkoloni di saluran kemih bagian bawah) 2. Penyebaran hematogen : penyebab yang jarang pada ISK (terjadi pada pengguna obat-obatan i.v., endokarditis bakterial, dan TB) 7. Tanda dan Gejala Gejala / tanda ISK sebagai berikut: demam (> 38 ° C), urgensi, frekuensi, disuria, nyeri suprapubik, atau nyeri sudut costovertebral. Gejala infeksi mungkin melibatkan saluran kemih bawah dan menyebabkan sistitis, atau mungkin melibatkan kaliks ginjal, pelvis dan parenkim dan menyebabkan pielonefritis. Selain itu, risiko tertular bakteriuria diperkirakan sebesar 8,1% per hari selama kateter masih terpasang (Onyegbule, et al, 2014). Infeksi saluran kencing sering di tandai dengan gejala berikut (Krisnadi, 2005):

-

Nyeri dibawah perut

-

Susah kencing atau keluar hanya sedikit

-

Sering berkemih dan tak dapat ditahan

-

Retensi urin

-

Demam

-

Menggigil

-

Perasaan mual dan muntah

-

Lemah

-

Nyeri pinggang

Namun, gejala-gejala klinis tersebut tidak selalu diketahui atau ditemukan pada penderita ISK. Untuk menegakan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, ureum dan kreatinin, kadar gula darah, urinalisasi rutin, kultur urin, dan dip-stick urine test. (Stamm dkk, 2001). Dikatakan ISK jika terdapat kultur urin positif ≥100.000 CFU/mL. Ditemukannya positif (dipstick) leukosit esterase adalah 64 - 90%. Positif nitrit pada dipstick urin, menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit oleh bakteri gram negatif tertentu (tidak gram positif), sangat spesifik sekitar 50% untuk infeksi saluran kemih. Temuan sel darah putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah indikator yang paling dapat diandalkan infeksi (> 10 WBC / hpf pada spesimen berputar) adalah 95% sensitif tapi jauh kurang spesifik untuk ISK. Secara umum, > 100.000 koloni/mL pada kultur urin dianggap diagnostik untuk ISK (M.Grabe dkk, 2015). 8. Pengkajian Sebelum menegakkan diagnosa, perawat harus melakukan pengkajian data dasar pada pasien yang meliputi: Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko: Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya, Obtruksi pada saluran kemih, Adanya faktor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial: Pemasangan kateter tetap, Imobilisasi dalam waktu yang lama, Inkontinensia; Kaji manifestasi klinik dari infeksi saluran kemih: Dorongan berkemih, Frekuensi berkemih, Disuria, Bau urin yang menyengat, Nyeribiasanya pada suprapubik pada ISK bawah dan sakit pada panggul pada ISK atas (perkusi daerah kostovertebra untuk mengkaji nyeri tekan panggul), Demam, khususnya pada ISK atas 9.

Pemeriksaan Laboratorium A. Pemeriksaan urin

Deteksi jumlah bermakna kuman patogen (significant bacteriuria) dari kultur urin masih merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. Hasil pemeriksaan urin dikatakan bakteriuria jika didapatkan ≥105 cfu/ml urin pada pengambilan sampel urin porsi tengah, sedangkan pada pengambilan sampel urin melalui aspirasi suprapubik dikatakanbakteriuria bermakna jika didapatkan >105 cfu per ml. Apabila hanya tumbuh koloni dengan jumlah <103 koloni/ml urin, maka bakteri yang tumbuh kemungkinan besar hanya merupakan kontaminasi flora normal dari muara uretra. Jika diperoleh jumlah koloni antara 103-105 koloni/ml urin, kemungkinan kontaminasi belum dapat disingkirkan dan sebaiknya dilakukan biakan ulang dengan bahan urin yang baru. Faktor yang dapat mempengaruhi jumlah kuman adalah kondisi hidrasi pasien, frekuensi berkemih dan pemberian antibiotika sebelumnya.Perlu diperhatikan pula banyaknya jenis bakteri yang tumbuh, bila>3 jenis bakteri yang terisolasi, maka kemungkinan besar bahan urin yang diperiksa telah terkontaminasi. Urin dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika dengan pemeriksaan mikroskopik didapatkan lebih dari 10 leukosit per mm3 atau terdapat lebih dari 5 leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urin juga diperlukan untuk menentukan keberadaan kuman dan jenis kuman guna menentukan jenis antibiotik sebagai terapi. B. Pemeriksaan lain Dapat dilakukan pemeriksaan penunjang menggunakan foto polos abdomen, ultrasonography, intravena phyelography, voiding sistouretrography, dan CT-scan 10. Kompikasi 1. Bakterimia dan syok septik 2. Abses ginjal, perinefrik, dan metastasis 3. Kerusakan ginjal dan gagal ginjal akut/kronis 4. Pielonefritis kronis dan xantogranulomatosa 11. Pencegahan Penggunaan kateter adalah faktor risiko terpenting dari ISK nosokomial. Hal tersebut dikarenakan risiko pertumbuhan bakteri dalam urin meningkat sekitar 3-10% per hari selama pemasangan kateter. Langkah pencegahan yang bisa dilakukan berkaitan dengan pemasangan kateter urin antara lain: 1. Pemasangan kateter dilakukan hanya bila diperlukan saja, dan dilakukan oleh tenaga pelaksana yang benar-benar memahami dan terampil dalam teknik pemasangan.

2. Harus dilakukan dengan asepsis artinya sebelum dan sesudah manipulasi kateter harus cuci tangan dan menggunakan peralatan steril. 3. Pengendalian lingkungan meliputi keadaan kamar operasi, alat-alat operasi. 4. Penggunaan antibiotik yang sesuai indikasi, untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik. 5. Penggantian kateter urin secara rutin yakni maksimal tiap 5 hari sekali

B. KATETERISASI PERKEMIHAN 1. Definisi Kateterisasi Urine Kateter urine adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih untuk mengalirkan urine. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih, namun metode lain yang disebut pendekatan suprapubik, dapat digunakan (Marrelli, 2007). Pemasangan kateter merupakan tindakan keperawataan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2006). Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih.Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada klien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau klien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji haluaran urin per jam pada klien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter dan Perry, 2006). Kateterisasi urin membantu pasien dalam proses eliminasinya. Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Penggunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Craven dan Zweig, 2010). Ada tiga macam kateter kandung kemih, yaitu kateter dengan selang pembuangan satu buah, dengan dua buah dan dengan tiga buah saluran pembuangan. Saluran pembuangan ini dinamakan lumen. Kateter dengan tiga lumen dengan sendirinya akan memiliki garis tengah (jadi lebih gemuk) yang lebih besar dibanding kateter dengan satu lumen. Kateter yang dipakai tergantung pada tujuan memakai kateter tersebut: kateter dengan satu lumen dipakai untuk tujuan satu kali, kateter dengan dua lumen adalah kateter yang ditinggal tetap disitu satu lumen dipakai sebagai saluran pembuangan urine, lumen yang lain dipakai untuk mengisi dan mengosongkan balon yang dipasang pada ujungnya. Balon ini diisi jika kateter dimasukkan dengan cara yang tepat. Jumlah air destilasi tertentu,

yang menyebabkan kateter tidak dapat tergeser dan tetap berada dalam kandung kemih. Baru setelah kateter akan dilepas, balon ini harus dikosongkan. Kateter dengan tiga lumen, terutama dipakai untuk tujuan membilas kandung kemih. Disini satu lumen dipakai untuk memasukkan cairan pembilas, satu sebagai saluran pembuangan cairan, dan satu untuk balon penampungan (Smeltzer & Bare, 2005) Menurut Murwani (2009, p.42), terdapat 5 jenis kateter berdasarkan bahan yang digunakan, yaitu: a. Kateter plastik : digunakan sementara karena mudah rusak dan tidak fleksibel. b. Kateter latex/karet : digunakan untuk penggunaan/pemakaian dalam jangka waktu sedang (kurang dari 3 minggu). c. Kateter silikon murni/teflon : untuk penggunaan jangka waktu lama 2-3 bulan karena bahan lebih lentur pada meatus uretra. d. Kateter PVC (Polyvinylchloride) : sangat mahal, untuk penggunaan 4-6 minggu, bahannya lembut, tidak panas dan nyaman bagi uretra. e. Kateter logam: digunakan untuk pemakaian sementara, biasanya pada pengosongan kandung kemih pada ibu yang melahirkan. 2. Tipe Kateterisasi Menurut Hidayat pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau menetap.Pemasangan kateter sementara atau intermiten catheter (straight kateter) dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling catheter (folley kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat, 2006). a. Kateter sementara (straight kateter). Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit.Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Potter dan Perry, 2006). Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dan dapat menimbulkan infeksi (Rizki, 2009).

Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang dikemukakan oleh Japardi (2008) antara lain: 1) Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan seoptimal mungkin 2) Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal. 3) Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback ke medula spinalis tetap terpelihara 4) Teknik yang mudah dan klien tidak terganggu kegiatan sehari harinya Kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya bahaya distensi kandung kemih, resiko trauma uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman-kuman dari luar atau dari ujung distal uretra (flora normal) (Japardi, 2008). b. Kateter menetap (folley kateter) Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama.Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter.Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter dan Perry, 2006). Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem continue ataupun penutupan berkala (clamping).Pemakaian kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter menetap, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena kateterisasi menetap dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih (Japardi, 2009). Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter dan Perry, 2006).

3. Indikasi Pemasangan Kateter Kateterisasi dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa, khususnya bila traktus urinarius tersumbat atau pasien tidak mampu melakukan urinasi. Kateterisasi juga dapat digunakan dengan indikasi lain, yaitu : untuk menentukan perubahan jumlah urin sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urin, untuk menghasilkan drainase pascaoperatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, atau menyediakan cara-cara untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Smeltzer & Bare, 2005). Menurut Charlene, dkk (2001), ada 8 indikasi penggunaan kateter yaitu: untuk menyembuhkan retensi urin, mengurangi tekanan pada kandung kemih, memudahkan pengobatan dengan operasi, mempercepat pemulihan jaringan setelah operasi, memasukkan obat kedalam kandung kemih, mengukur output urin secara tepat, mengukur output residual, memvisualisasikan struktur anatomi secara radiografis. Kateterisasi kandung kemih mencakup pemasangan selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan aliran kontinu pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pada mereka yang mengalami obstruksi aliran perkemihan (Perry, dkk, 2010). Kozier (2010) menyebutkan kontra indikasi pemasangan kateter yaitu: adanya penyakit infeksi di dalam vulva seperti uretritis gonorhoe dan pendarahan pada uretra. Menurut Japardi (2009) Kateter diindikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan kateter dalam jangka waktu yang pendek akan meminimalkan infeksi, sehingga metode pemasangan kateter sementara adalah metode yang paling baik. a) Indikasi pada pemasangan kateter sementara : 1) Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih 2) Pengambilan urin residu setelah pengosongan kandung kemih b) Indikasi pada pemasangan kateter jangka pendek : 1) Obstruksi saluran kemih (pembesaran kelenjar prostat) 2) Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan, sepertivesika urinaria, uretra dan organ sekitarnya 3) Preventif pada obstruksi uretra dari perdarahan 4) Untuk memantau output urin 5) Irigasi vesika urinaria

c) Indikasi pada pemasangan kateter jangka panjang : 1) Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK/UTI 2) Skin rash, ulcer dan luka yang iritatif apabila kontak dengan urin 3) Klien dengan penyakit terminal 4. Akibat yang Di Dapat Dari Pemasangan Kateter a) Iritasi ataupun trauma pada uretra Penggunaan kateter yang ukurannya tidak tepat dapat mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya trauma pun meningkat. Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan. Trauma pada jaringan uretra pun dapat terjadi apabila penyisipan letak kateter belum tepat pada saat balon retensi pada kateter dikembangkan. Fiksasi kateter yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang menyebabkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa sengaja. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi (Brunner & Suddarth, 2006). b) Krustasi pada kateter Urin yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri seperti Proteus mirabilis, yang meningkatkan pH urin memicu terbentuknya krusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh kristal yang berasal dari campuran ph urin yang tinggi, bakteri dan ion kalsium maupun ion magnesium (Mandigan et all, 2006). Pembentukan krusta yang berasal dari garam urin dapat menjadi sumber pembentukan batu.Asupan cairan yang bebas dan peningkatan halauran urin harus dipastikan untuk mengirigasi kateter dan mengencerkan zat-zat dalam urin yang dapat membentuk krusta. Pemakaian katetersilicon secara signifikan jarang menimbulkan pembentukan krusta (Brunner & Suddarth, 2006). c) Terjadi blocking( Tersumbat, tidak mengalir dengan lancar ) Kerusakan pada kateter yang disebabkan oleh krusta yang menutupi area lumen kateter (Mandigan et al, 2006). d) Terjadi kebocoran Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urin yang tidak tepat. Sehingga urin dapat merembes keluar tidak melalui selang kateter.

e) Resiko infeksi saluran kemih tinggi Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Banyak mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogen atau flora usus normal, atau didapat melalui kontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit maupun melalui kontak dengan peralatan yang tidak steril (Brunner &Suddarth,2006). 5. Komplikasi Adanya kateter indwelling dalam traktus urinarius dapat menimbulkan infeksi. Kolonisasi bakteri (bakteriuria) akan terjadi dalam waktu dua minggu pada separuh dari pasien-pasien yang menggunakan kateter urin, dan dalam waktu empat hingga enam minggu sesudah pemasangan kateter pada hampir semua pasien. Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih. Manipulasi kateter paling sering menjadi penyebab kerusakan mukosa kandung kemih pada pasien yang mendapat kateterisasi. Dengan demikian infeksi akan terjadi tanpa terelakkan ketika urin mengenai mukosa yang rusak itu. Ketika kateter terpasang, kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi. Karena itu, pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya (atonia). Apabila hal ini terjadi dan kateter dilepas, otot detrusor mungkin tidak dapat berkontraksi dan pasien tidak dapat mengeliminasi urinnya. Latihan kandung kemih dapat mencegah kejadian ini (Smeltzer & Bare, 2005). 6. Hubungan perawatan kateter dengan infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang kateter Perawatan kateter adalah suatu tindakan keperawatan dalam memelihara kateter dengan antiseptik untuk membersihkan ujung uretra dan selang kateter bagian luar serta mempertahankan kepatenan kelancaran aliran urin pada sistem drainase kateter. Pasien yang dikateterisasi dapat mengalami infeksi saluran kemih melalui berbagai cara. Perawatan kateter merupakan tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi. Perawatan kateter yang salah dapat menyebabkan masuknya mikroorganisme. Daerah yang memiliki risiko masuknya mikroorganisme ini

adalah daerah insersi kateter, kantung drainase, sambungan selang, klep, dan sambungan antara selang dan kantung (Potter & Perry, 2005, hlm.1721). C. ORTHOPEDIK 1. Definisi Orthopedik Orthopedik adalah cabang ilmu bedah yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pemulihan fungsi sistem rangka, persendiannya, dan stuktur yang berkaitan. Berhubungan dengan koreksi deformitas sistem muskuloskeletal; berhubungan dengan orthopedik (Dorland). Bedah orthopedi adalah suatu tindakan bedah untuk memullihkan kondisi disfungsi muskuloskeletal seperti, fraktur yang tidak stabil, deformitas, dislokasi sendi, jaringan nekrosis dan terinfeksi, sindrom kompartemen, serta sistem muskuloskeletal (Brunner & Suddart). 2. Jenis-Jenis Pembedahan Orthopedik a. Reduksi terbuka: Adalah melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan deseksi dan pemajanan tulang yang patah. b. Fiksasi interna: Adalah stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan sekrup, plat, paku, dan pin logam. c. Graft tulang: Adalah penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi, atau mengganti tulang yang berpenyakit. d. Amputasi: Adalah penghilangan bagian tubuh. e. Artroplasti: Adalah memperbaiki masalah sendi dengan arthostop (suatu alat yang memungkinkan ahli bedah mengoprasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka. f. Menisektomi: Adalah eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak. g. Penggantian sendi: Adalah penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis. h. Penggantian sendi total: Penggantian permukaan artikuler dalam sendi dengan bahan logam atau sintetis. i. Transfer tendo: Adalah pemindahan insersi untuk memperbaiki fungsi. j. Fasiotomi: Adalah pemotongan fascia otot untuk menghilangkan kontriksi otot atu mengurangi kontraktur fascia. (Brunner & Suddarth. 2002) 3. Macam-Macam Gangguan Orthopedik a. Fraktur: Fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Ada lebih dari 150 klasifikasi fraktur, 5 diantaranya adalah; 1) Inclomplete: fraktur hanya melibatkan bagian potongan menyilang tulang. Salah satu sisi patah, yang lain biasanya hanya

bengkok atau greenstick. 2) Complete: garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubah tempat. 3) Tertutup (simple) : fraktur tidak meluas melewati kulit 4) Terbuka (compound) : fragmen tulang meluas melewati otot dan kulit, dimana potensian untuk terjadi infeksi. 5) Patologis : fraktur terjadi pada penyakit tulang atau seperti kanker, osteoporosis, dengan tak ada trauma atau hanya minimal. b. Bedah rekrontuksi wajah c. Amputasi: Pada umumnya amputasi disebabkan oleh kecelakaan, penyakit, dan gangguan kongenital. Untuk tujuan perencanaan asuhan ini, amputasi adalah pengangkatan melalui bedah atau traumatik pada tungkai. Amputasi ekstremitas bawah dilakukan lebih sering dari pada amputasi ekstremitas atas. Lima tingkatan yang sering digunakan pada amputasi ekstremitas bawah, telapak dan pergelangan kaki, bawah lutut (ABL), disartikulasi dan atas lutut, disertikulasi lutut-panggul, dan hemipelviktomi dan amputasi translumbar. Terdapat dua tipe amputasi: 1) Terbuka (provisional), yang memerlukan teknik aseptik ketat dan refisi lanjut. 2) Tertutup atau flaps. d. Penggantian sendi total: Penggantian sendi diindikasikan unuk kerusakan sendi peka rangsang dan nyeri yang tak hilang (contoh; degeneratif dan artritis reumatoid; fraktur tertentu (contoh, leher femur), ketidakstabilan sendi panggul kongenital. Penggantian panggula dan lutut dalam bedah paling umum. Prostase mungkin besi atau polietilen (atau kombinasi) dan ditanam dengan semen akrilik, atau mungkin sesuatu yang berpori-pori, implan bersalut yang mendorong pertumbuhan tulang kedalam (Doengoes Marilyn)

D. PENELITIAN TERKAIT 1. Edel Weisela Permata Sari (2014) dengan judul “PERBEDAAN RISIKO INFEKSI NOSOKOMIAL SALURAN KEMIH BERDASARKAN KATETERISASI URIN, UMUR, DAN DIABETES MELITUS di RSU HAJI SURABAYA”. Penelitian ini menggunakan desain kasus kontrol dengan besar sampel 20 pada masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Sampel kasus adalah pasien yang terdiagnosa infeksi saluran kemih sedangkan sampel kontrol adalah pasien yang tidak terdiagnosa infeksi saluran kemih di RSU Haji Surabaya tahun 2013 hingga 2014.Variabel bebas adalah lama pemasangan kateter, frekuensi kateterisasi urin, umur, dan DM,

sedangkan variabel tergantung adalah infeksi nosokomial saluran kemih. Pengolahan data menggunakan analisis risk difference (RD) pada Epi Info. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan risiko infeksi nosokomial saluran kemih berdasarkan lama pemasangan kateter urin sebesar RD = 0,52 artinya apabila dilakukan upaya penggantian kateter setiap 7 hari, maka dapat mencegah 0,52 dari 0,71 atau 73,53% kejadian infeksi saluran kemih, frekuensi kateterisasi urin sebesar RD = 0,44 artinya apabila dilakukan upaya pengurangan kateterisasi urin hingga 1 kali, maka dapat mencegah 0,44 dari 0,79 atau 55,94% kejadian infeksi saluran kemih, umur sebesar 0,40 artinya apabila dilakukan indikasi pemasangan dan prosedur pemasangan yang tepat pada pasien dengan umur > 55 tahun, maka dapat mencegah 0,40 dari 0,68 atau 59,26% kejadian infeksi saluran kemih dan DM sebesar RD = 0,42 artinya apabila dilakukan upaya pencegahan terhadap penyakit DM, maka dapat mencegah 0,42 dari 0,75 atau 55,56% kejadian infeksi saluran kemih. 2. Marlina (2012) dengan judul “HUBUNGAN PEMASANGAN KATETER DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN DI RUANG RAWAT INAP PENYAKIT DALAM RSUDZA BANDA ACEH”. Jenis penelitian adalah correlation study. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 35 perawat yang bekerja di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh. Pengumpulan data dengan lembar observasi yang terdiri dari 27 item pernyataan dan 2 item hasil laboratorium. Metode analisis data dengan menggunakan uji statistik Fisher Exact, hasil penelitian adalah ada hubungan antara pemasangan kateter (P-value 0,019) dengan kejadian infeksi saluran kemih di ruang rawat inap penyakit dalam RSUDZA Banda Aceh. Saran bagi perawat adalah agar dapat meningkatkan teknik aseptik serta perawatan yang dilakukan pada kateterisasi sehingga dapat mencegah terjadinya kejadian infeksi saluran kemih akibat pemasangan kateter.

3. Rizki Artika Putri (2012) dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PASIEN RAWAT INAP USIA 20 TAHUN KE ATAS DENGAN KATETER MENETAP DI RSUD TUGUREJO SEMARANG”. Desain penelitian ini adalah Cross Sectional, jumlah sampel 30 responden dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian dengan Fisher Exact Test menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kejadian ISK dengan lama penggunaan kateter (p=0,0001) dan perawatan kateter (p=0,009). Hasil analisis multivariat, diketahui bahwa lama penggunaan kateter merupakan faktor risiko paling dominan yang berpengaruh terhadap kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap. Pasien dengan lama penggunaan

kateter > 3 hari mempunyai risiko 56,07 kali dapat terkena ISK dibandingkan dengan pasien yang menggunakan kateter ≤ 3 hari. Uji probabilitas membuktikan bahwa 25 % kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap disebabkan oleh penggunaan kateter >3 hari. Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar lebih memperhatikan faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap, terutama faktor risiko yang dapat diubah seperti lama penggunaan kateter dan perawatan kateter. E.

KERANGKA TEORI Faktor yang berhubungan dengan lama kateterisasi dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien pasca operasi orthopedi:  Resiko kejadian ISK berdasarkan lama pemasangan kateter pada pasien pasca operasi orthopedi  Resiko kejadian ISK berdasarkan jenis kelamin  Hubungan perawatan kateter dengan kejadian ISK pada pasien pasca operasi ortophedi

F.

Infeksi Saluran Kemih

KERANGKA KONSEP Variabel Independen

Lama Pemasangan Kateter

G. HIPOTESIS Ha :

Variabel Dependen

Infeksi Saluran Kemih

1. Ada hubungan antara lama kateterisasi dengan kejadian ISK pada pasien pasca operasi orthopedic 2. Ada hubungan antara perawatan kateter dengan kejadian ISK pada pasien pasca orthopedic yang menggunakan kateter menetap Ho : 3. Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian ISK pada pasien pasca operasi orthopedic yang menggunakan kateter menetap

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif, dengan metode yang digunakan yaitu survey analitik.

B. Desain dan rancangan penelitian Metode penelitian ini adalah survey dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan lama kateterisasi dengan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien pasca operasi orthopedic di ruang gelatik RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Tahun 2020.

C. Subjek Penelitian 1. Populasi penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien pasca operasi orthopedic yang terpasang kateter di ruang gelatik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek 2. Sampel Penelitian Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmojo, 2010). Kriteria inklusi adalah karakteristik atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sampel. Sedangkan kriteria eklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoadmojo,2012) Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah : a. Pasien dengan pasca operasi orthopedic b. Pasien yang terpasang kateter c. Dalam kondisi sadar maupun tidak sadar d. Pasien di ruang gelatik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah : a. Tidak ada keluarga yang mendampingi atau menunggu

Related Documents

Riset Gigih Fix 1.docx
December 2019 4
Riset
May 2020 50
Plbs.bm.09.3 Gigih
June 2020 1
Gigih Tanam Cendawan
October 2019 29
Pengantar Riset
December 2019 57

More Documents from "dwi"