Ririn

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ririn as PDF for free.

More details

  • Words: 1,251
  • Pages: 4
Nama :Febrina Hidayati Nrp

:08.02.111.00081

Tugas :Bank dan lembaga Keuangan Manajemen 1

Jamsostek(Plus), Kenapa Harus? Salah satu kewajiban negara adalah melindungi setiap warga negaranya baik secara fisik, mental, sosial dan ekonomi sebagai imbal balik kesetiaan warga negara kepada negara baik dalam bentuk pembayaran pajak secara rutin atau ketundukan pada peraturan hukum di negara tersebut. Poin tersebut juga tercakup dalam Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang merupakan buah pemikiran founding fathers bangsa ini sejak awal kemerdekaan. Secara das sollen, demikianlah adanya. Namun bagaimana secara das sein realisasi perlindungan tersebut dalam konteks perlindungan atau jaminan sosial kesehatan ? Berdasarkan

data

Survei

Kesehatan

Nasional(Surkesnas)

2001

dan

Susenas pada tahun yang sama, baru sekitar 20,2% dari 210 juta penduduk Indonesia yang terjangkau oleh jaminan sosial kesehatan. Jaminan sosial tersebut antara

lain

Dana

Sehat,

Asuransi

Kesehatan(Askes),

Asuransi

Tenaga

Kerja/Jaminan Sosial tenaga Kerja(Astek/Jamsostek), dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat(JKPM). Dari 20,2% tersebut, Askes sebanyak 7,4%, Kartu Sehat 6,3%, 0,5% untuk Dana Sehat, 2,4% untuk asuransi perusahaan dan 0,4% untuk asuransi yang lain. Sementara pemegang

polis Jamsostek atau yang tercakup oleh jaminan

Jamsostek sekitar 2,9% atau terbanyak ketiga setelah Askes dan Dana Sehat. Untuk daerah perkotaan, cakupan Jamsostek berkisar 5,1% jauh dibandingkan Askes yang menempati urutan pertama dengan 12,4%. Di pedesaan, Kartu Sehat dan JKPM mendominasi masing-masing dengan 8,3% dan 1,6%. Hal ini dapat dimaklumi mengingat masih sedemikian terkonsentrasinya sentra-sentra ekonomi di kota-kota besar dan belum meratanya tingkat pembangunan industri dan ekonomi di daerah kendati pemerintah sudah mencanangkan otonomi daerah sejak 2001. Sehingga jumlah pekerja industri yang notabene lebih well-informed tentang jaminan sosial untuk pekerja terakumulasi di kota-kota besar ketimbang pekerja di pedesaan yang lebih didominasi sektor agraria yang lebih bersifat lessindustrialized. Dari sisi lain, kesenjangan tersebut dikonfirmasi dengan data statistik Indonesia 2001 dari Biro Pusat Statistik(BPS) mengenai pendapatan perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2000 sebesar Rp 5,7 juta dan Rp 6,4 juta pada

2001. Cukup signifikan sebagai faktor pembanding adalah jumlah penduduk miskin yang pada Desember 1998 berkisar 30 persen lebih kini sebesar 18,4%. Rincian data penduduk miskin pada Desember 1998 adalah 17,6 juta jiwa (21,9%) berada di kota besar sementara 31,9 juta jiwa (25,7%) di pedesaan. Dengan kata lain, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sejak awal krisis moneter—bahkan sejak masa Orde Baru—hingga era reformasi, masalah kesenjangan sosial baik antara kaya-miskin maupun kota-desa masih menjadi masalah serius yang signifikan dalam stabilitas sosial ekonomi bangsa. Terlebih lagi, berdasarkan data BPS tahun 2001, sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pedesaan sebesar 56,87% dan 43,13% tinggal di kota besar. Sehingga dalam konteks perlindungan atau jaminan sosial untuk pekerja tidak dapat terlepas dari masalah besar tersebut. Lebih-lebih berdasarkan data 2001 dari BPS, dari angkatan kerja yang ada terdapat 5% angkatan kerja yang tidak terserap dalam lapangan kerja yang disediakan

pemerintah.

Jumlah

tersebut

akan

lebih

besar

lagi

jika

kita

mempertimbangkan akumulasi jumlah angkatan kerja dari tahun ke tahun yang tidak terserap oleh lapangan kerja. Diperkirakan terdapat sekitar 40 juta penganggur di Indonesia. Fenomena masih kuatnya minat WNI menjadi TKI ke luar negeri seperti Arab Saudi, Malaysia atau Hongkong di tengah maraknya berita-berita kasus pelecehan TKI di sana menjadi indikasi kuat sedemikian sempitnya lapangan kerja yang tersedia di dalam negeri. Ada lima faktor mengapa program Jamsostek kurang berkembang :1. Konsep Jamsostek belum tuntas secara komprehensif merangkum makna martabat dan kualitas hidup manusia yang paripurna seperti termaktub dalam Konstitusi WHO(1948) Konstitusi WHO (1948): “Health is not merely an absence of illness but a state of physical mental

and social well-being”,

yang

merepresentasikan secara paripurna kualitas sumber daya manusia dan, yang terutama, belum menerapkan sistem berkeadilan seperti subsidi silang dari kalangan kaya kepada kaum miskin;(2) dukungan masyarakat yang belum mantap karena tradisi masyarakat yang terbiasa dengan sistem pembayaran tunai termasuk untuk pembiayaan kesehatan,(3) dukungan aparat yang lemah, terbukti dari rendahnya sosialisasi dari aparat pemerintah yang baik melalui media atau struktur jaringan pemerintahan,(4) rendahnya partisipasi masyarakat akibat sosialisasi yang kurang dan belenggu tradisi pembayaran tunai. Singkat kata, cakupan Jamsostek masih sangat terbatas dalam memayungi kalangan pekerja yang ada dan itu pun sebatas di perkotaan dan belum banyak merengkuh penduduk pedesaan yang justru merupakan mayoritas penduduk Indonesia.

Untuk itu konsep Jamsostek(Plus) atau One-stop service atau layanan satu atap yang mengintegrasikan semua pembiayaan atau asuransi sosial dan kesehatan yang ada di Indonesia sekaligus meluaskan ruang lingkup Jamsostek yang semula hanya berlaku di kalangan pekerja menjadi mengikat seluruh warga negara Indonesia dalam bentuk jaminan sosial negara yang komprehensif, patut menjadi terobosan yang berharga untuk dipertimbangkan para pengambil kebijakan di kalangan birokrat. Kendati, konsekuensinya harus mengeliminasi dan merevisi sistem pembiayaan atau asuransi sosial dan kesehatan yang ada seperti Askes, JPKM, Dana Sehat dan Kartu Sehat dengan ide baru Jamsostek(Plus) atau apa pun namanya nanti yang dikembangkan. Model Social Assistance di Norwegia atau Social Security di Amerika Serikat yang bahkan hingga menyediakan tunjangan bagi penganggur, jompo dan pengungsi dan pendatang asing patut menjadi bahan pertimbangan. Kendati tampak utopis di tengah kesemrawutan kondisi sosial ekonomi bangsa saat ini karena berkonsekuensi merombak total sistem yang ada dan “tampaknya” berbiaya tinggi. Dalam konteks tersebut, langkah yang dapat dilakukan adalah: (1)mengubah secara sistemik dan birokratoris maupun konstitusional untuk memadukan semua pembiayaan atau jaminan sosial kesehatan dalam satu atap, seperti dengan merevisi perundang-undangan yang ada, yakni UU Kesehatan No.23 Tahun 1992 (Februari) mengenai penyelenggaraan asuransi di bidang kesehatan, yang belum secara komprehensif merangkum definisi sehat paripurna dalam Konstitusi WHO seperti tersebut di atas dan membuat satu undang-undang mengenai layanan atau jaminan sosial yang mencakup sisi SDM dan kesehatan seperti Social Security Act di luar negeri, katakanlah untuk membentuk sebuah Jamsostek (Plus),(2) yang sekaligus dapat memberlakukan kewajiban masyarakat untuk bergabung dalam Jamsostek (plus) tersebut di mana pembayaran premi dikaitkan dengan sistem pajak nasional. Dalam hal ini, patut diadopsi wacana pemungutan zakat di Malaysia di mana sekian besar zakat nominal yang dibayarkan dikompensasikan pada pengurangan pajak yang dibayarkan sang wajib pajak. Dalam konteks ini, salah satu pilihan yang ada antara lain, pengenaan pajak regresif (semakin besar pendapatan semakin besar persentase beban pajak) yang bervariasi bagi kalangan kaya di mana bagi yang telah memenuhi syarat

minimal

alokasi

Jamsostek(plus)

atau

apa

pun

namanya

kelak

mendapatkan persentase beban pajak yang lebih kecil seiring semakin besarnya alokasi Jamsostek(plus) yang disisihkan. Di luar negeri, adanya komponen jaminan

sosial(social

security)

memang

berdampak

pada

besarnya

pajak

pendapatan yang harus dibayarkan dan ketatnya pengawasan terhadap wajib pajak namun terbayarkan dengan jaminan sosial yang merata dan tepat sasaran. Sehingga tidak menimbulkan kecurigaan mengenai bocornya dana pajak publik maupun mengesankan negara sekedar sebagai “instrumen pemungut pajak

rakyat”

tanpa

mampu

mengembalikannya

secara sepadan

dalam

bentuk

pelayanan publik maupun jaminan sosial yang memadai. Langkah ketiga adalah merancang instrumen teknis jaminan sosial negara yang wajib dimiliki setiap warga negara. Seperti halnya KTP, setiap warga negara Indonesia wajib memiliki kartu jaminan sosial yang prosedurnya pengurusannya dapat dirancang seperti pengurusan KTP tanpa kecuali, tidak seperti keikutsertaan Jamsostek saat ini yang mempertimbangkan faktor besaran jumlah pekerja dalam sebuah perusahaan yang cenderung berdampak mendiskriminasikan karyawan-karyawan di perusahaan kecil atau yang tidak berbadan hukum. Dengan kewajiban memiliki polis Jamsostek(Plus) seperti wajibnya memiliki KTP, warga negara “dipaksa” untuk belajar mempersiapkan masa depan sekaligus memaksa negara lebih bertanggung jawab dalam menjamin hak-hak warga negara. Sehingga bila ada warga negara mengalami kecelakaan atau dalam kondisi tidak bekerja atau tidak mampu bekerja (lagi) dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan maupun mendapatkan tunjangan atau santunan sosial dalam waktu yang layak hingga mendapatkan pekerjaan kembali atau modal untuk berwirausaha untuk menjamin penghidupan mereka. Inilah yang namanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam praktek (Sila kedua Pancasila) dan pelaksanaan amanat UUD 1945 pasal 34 yang menjanjikan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara yang menjadi hutang pemerintah Indonesia dari masa-masa.

Related Documents