1 A. Ringkasan Materi 1. Konsep Dasar Autisme 1) Pengertian Kata autisme berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan pada seseorang yang menunjukkan gejala “hidup dalam dunianya sendiri”. Autisme merupakan gangguan proses perkembangan yang mulai muncul dalam tiga tahun pertama kehidupan, yang menyebabkan hambatan komunikasi dan interaksi sosial, serta memiliki minat terbatas dan perilaku berulang. Hambatan tersebut bisa menyebabkan gangguan pada bidang komunikasi, bahasa, kognitif, sosial dan fungsi adaptif, sehingga menyebabkan anak-anak tersebut seolah-olah berada dalam dunianya sendiri. 2) Derajat Autisme Derajat autistik berdasarkan fungsi kecerdasan dapat dikategorikan ke dalam 3 tingkatan, yaitu : 1) Fungsi kecerdasan rendah. Anak autis yang temasuk ke dalam kategori kecerdasan rendah maka dikemudian hari kecil kemungkinan untuk dapat diharapkan untuk hidup mandiri secara penuh, ia tetap akan memerlukan bantuan orang lain. 2) Fungsi kecerdasan menengah. Apabila penyandang autis masuk ke dalam kategori kecerdasan menengah maka memungkinkan untuk dilatih bermasyarakat dan mempunyai kesempatan yang cukup baik bila diberikan pendidikan khusus yang dirancang secara khusus untuk penyandang autis. 3) Fungsi kecerdasan tinggi. Apabila penyandang autis masuk ke dalam kategori kecerdasan tinggi maka dengan pendidikan yang tepat, diharapkan dapat hidup secara mandiri bahkan dimungkinkan dapat berprestasi, dapat juga hidup berkeluarga. 3. Karakteristik Peserta Didik Autis Merujuk pada berbagai definisi diatas, maka karasteristik hambatan dominan pada peserta didik autis adalah sebagai berikut:
2 1) Perilaku terbatas dan Perilaku mengulang Hambatan tentang perilaku terbatas meliputi hambatan yang terjadi di beberapa area berikut ini antara lain: sangat meyukai perilaku yang diulang-ulang, misalnya flapping dan
menata mobil mainan, mempunyai cara komunikasi yang tidak
lazim/unik antara lain echolalia, monologues, jargon. Cenderung memiliki ketertarikan yang dominan pada hal-hal yang spesifik (highly restricted, fixated special interests). Memiliki sensori yang terkadang sangat sensitive atau sebaliknya (Hyper-or hypo-reactivity to sensory input). 2) Hambatan kumunikasi dan berinteraksi sosial Bila dilihat dari penampilan luar secara fisik, maka peserta didik autis tidak berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya. Perbedaannya baru dapat dilihat apabila mereka melakukan aktivitas seperti : berkomunikasi, bermain dsb. Leo Kanner dalam Peeters (1994) dan Widyawati (2002) memberikan penjelasan mengenai karakteristik khusus anak-anak dengan autisme. Karakteristik tersebut ditinjau dari interaksi sosial, komunikasi dan pola bermain, serta aktivitas dan minat. 1) Karakteristik dari segi interaksi sosial Anak dengan autisme dapat dikenali dengan memahami interaksi sosialnya yang ganjil dibandingkan anak pada umumnya. Seperti : a) Menolak bila ada yang mau memeluk b) Tidak mengangkat kedua lengannya bila diajak untuk digendong c) Ada gerakan pandangan yang abnormal d) Gagal menunjukkan suatu objek kepada orang lain e) Sebagian anak autistic tak acuh dan tak bereaksi terhadap pendekatan orangtuanya,tapi sebagian lainnya malahan merasa terlalu cemas bila berpisah dan melekat pada orangtuanya. f) Gagal dalam mengembangkan permainan bersama teman-teman sebayanya, mereka lebih suka menyendiri g) Keinginan untuk menyendiri sering tampak pada masa kanak-kanak dan akan makin berkurang sejalan dengan bertambah usianya h) Tidak mampu memahami aturan-aturan yang berlaku dalam interaksi sosial
3 i) Tidak mampu untuk memahami ekspresi wajah orang, ataupun untuk mengekspresikan perasaannya baik dalm bentuk vocal ataupun dalam ekspresi wajah. 2) Karakteristik dari segi komunikasi dan pola bermain Sekitar 50% penyandang autisme mengalami keterlambatan dan abnormalis dalam berbahasa. a) Bila tertarik pada sesuatu objek/benda, biasanya mereka tidak menunjuk atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya. b) Mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata serta penggunaan bahasa yang sesuai konteksnya, senang mengulang kata-kata dan sering berbicara pada dirinya sendiri. c) Mengalami kesukaran dalam berkomunikasi walaupun mereka dapat berbicara dengan baik, monoton, kaku dan menjemukan, suka mengatur suara volume dan intonasi suaranya, kesukaran dalam mengekspresikan perasaan/ emosi melalui suara tidak menggunakan gerakan tubuh dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan prasaannya dan untuk merasakanperasaan orang lain. 3) Karakteristik dari segi aktivitas dan minat Pada aspek aktivitas dan minat, anak penyandang autisme memperlihatkan abnormalitas dalam bermain, seperti stereotip, diulang-ulang, dan tidak kreatif. Anak penyandang autisme menolak adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru. Berikut ini alasan atau latar belakang perilaku stereotip dan minat yang terbatas pada diri anak-anak penyandang autisme (Sleuween, 1996); a) Karena menyenangkan: Perilaku anak penyandang autisme yang sering melihat bagaimana sinar matahari menerobos masuk lewat jari-jemarinya terasa menyenangkan. b) Memenuhi dorongan yang tidak dapat ditahan: Bertanya berulang ulang c) Menghindari kegagalan
dan mempertahankan diri dari kesulitan atau rasa
sakit: Automutilasi (menyakiti diri sendiri) pada anak dapat bermula untuk menghindari rasa sakit yang lebih besar seperti membentur-benturkan kepala.
4 d) Belajar lebih banyak mengenal dunia dengan caranya sendiri: Bila anak penyandang autisme diberi sebuah pensil, ia tidak langsung menggunakan atau menulis. Akan tetapi sering mereka memegang, mengusap-usap, dicium, serta dijilatinya. e) Sebagai reaksi terhadap stress atau tekanan. Kembali pada rutinitas atau ritual dapat menjadi cara agar dapat menghindar dari dan mengontrol rasa takut f) Sebagai fungsi komunikatif. Misalnya perilaku automutilasi dapat merupakan cara anak penyandang autisme mencari perhatian. g) Untuk menyiapkan diri pada langkah berikutnya. Beberapa perilaku motorik merupakan persiapan bagi anak untuk melakukan perilaku berikutnya. h) Sebagai cara lari dari situasi yang sulit. Hal ini berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas. Misalnya, seorang anak penyandang autisme dapat mencium orang setiap kali orang ini menanyakan hal sulit padanya. 2. Identifikasi dan Asesmen Peserta Didik Autis a. Identifikasi Identifikasi adalah kegiatan mengenal atau menandai sesuatu, yang dimaknai sebagai proses penjaringan atau proses menemukan apakah anak mempunyai kelainan/masalah, atau proses pendektesian dini terhadap anak berkebutuhan khusus. Identifikasi
dapat
dilakukan
oleh
orang-orang
yang
dekat
(sering
berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tua, pengasuh, guru, dan pihakpihak yang terkait dengan anak. Sedangkan langkah berikutnya untuk melakukan pengamatan yang lebih serius tentang gangguan yang terjadi pada anak sering disebut asesmen. Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau usia anak, gejala tersebut adalah sebagai berikut: 1) Usia 0-6 bulan a) Bayi tampak terlalu tenang ( jarang menangis) b) Terlalu sensitif, cepat terganggu/terusik c) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama bila mandi d) Tidak mengoceh e) Tidak ditemukan senyum sosial diatas 10 minggu f) Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
5 g) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal 2) Usia 6 – 12 Bulan a) Kaku bila digendong b) Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da) c) Tidak mengeluarkan kata sampai usia 16 bulan d) Tidak tertarik pada boneka atau mainan lain e) Memperhatikan tangannya sendiri f) Tidak merespon jika dipanggil namanya g) Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar/halus 3) Usia 12 – 36 bulan a) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain b) Melihat orang lain sebagai “benda” c) Kontak mata terbatas, cenderung hindari kontak mata dengan orang lain d) Tertarik pada benda tertentu, misalnya sangat suka benda-benda bulat, berputar, atau suka benda-benda bungkus (kotak) obat atau makanan e) Kaku bila digendong 4) Usia 4 – 5 Tahun a) Sering didapatkan ekolalia (membeo) b) Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi atau datar) c) Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah d) Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala) e) Temperamen tantrum atau agresif Selain dengan mewaspadai beberapa gejala diatas, identifikasi terhadap autisme dapat dilakukan secara sederhana dengan instrument Modified Checklist for Autism in Toddlers disingkat M-CHAT. Instrumen ini bisa digunakan untuk mendeteksi gejala autisme untuk anak usia 18 bulan atau sebelum 3 tahun. M-CHAT ini merupakan daftar atau checklist yang berjumlah 23 item, berisi gejala-gejala dini dari gangguan autisme. Cara menggunakan sangat mudah, yaitu dengan menjawab Ya atau Tidak pada pernyataan yang tertulis dalam checklist.
6 b. Asesmen Asesmen dalam pendidikan khusus dirancang untuk mengetahui kelayakan seorang peserta didik diberi layanan pendidikan khusus. Seorang peserta didik spektrum autisme layak diberi layanan pendidikan khusus apabila hambatan yang dimiliki baik hambatan fisik, kognitif, komunikasi, sosial atau emosional, dan/atau perkembangan adaptifnya berakibat terhadap kemampuan pendidikannya (IDEA dalam Hallahan & Kaufman, 2011). Kegiatan asessmen memberikan manfaat : 1) Untuk mengetahui mengenai identitas anak autisme secara lengkap dan terinci 2) Untuk mengetahui tingkat kemampuan dan kebutuhan anak autisme 3) Pedoman untuk mengklasifikasikan dan menyusun program-program kegiatan anak autisme 4) Pedoman untuk penyusunan program dan strategi pengajaran 5) Pedoman untuk penyusunan pengajaran individual (IEP) Aspek yang menjadi obyek asessmen dalam pengumpulan data dan informasi masalah anak adalah mengenai : 1) Identitas anak autisme 2) Riwayat perkembangan anak, riwayat terapi, pendidikan, dan riwayat kesehatan (anamnesa) 3) Kondisi dan kemampuan fisik : bagaimana kondisi fisik anak autisme, bagaimana pula kemampuan melakukan kegiatan ADL, serta kemampuan koordinasinya. 4) Kondisi dan kemampuan psikis anak : bagaimana sikap dan kehidupan emosionalnya, kepribadiannya, kesukaannya, yang ditakuti anak, kecenderungan perilakunya. 5) Kemampuan intelektualnya apakah tinggi, sedang atau rendah. 6) Aspek sosial bagaimana anak berinteraksi sosial, kemampuan menolong 7) Aspek perilaku : berkelebihan atau berkekurangan. Asesmen dapat dilakukan secara formal dan informal. Asesmen formal menggunakan instrument terstandar dan dilakukan oleh individu yang terlatih (bersertifikat), sedang asesmen informal instrumennya tidak terstandar. (asesmen for learning). Asesmen pada pada peserta didik peserta didik autis di sekolah khusus menggunakan
7 pendekatan asesmen informal. Guru dapat membuat instrumen asesmen sesuai kebutuhan. Teknik asesmen dapat menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara dapat dilakukan kepada individu yang mengenali peserta didik autis secara mendalam. Sedang observasi dapat dilakukan melalui mengamati kinerja, penugasan (proses), ataupun portofolio. Kegunaan Hasil Asessmen sebagai berikut: 1) Skrining anak 2) Klasifikasi atau penempatan anak 3) Perencanaan program 4) Evaluasi program dan 5) Asessmen kemajuan individu anak c. Langkah-langkah Asesmen Adapun langkah-langkah asesmen bagi peserta didik autis sebagai berikut. Terkait wawancara dengan orang tua: 1) Guru membuat perjanjian kepada orang tua untuk bertemu.
Waktu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi 2) Siapkan ruangan dan instrumen asesmen. 3) Usahakan ruang yang nyaman. Pastikan tidak terganggu proses asesmennya. 4) Guru menggali informasi dengan bertanya kepada orang tua tentang aspek perkembangan peserta didik autis seperti interaksi, komunikasi, dan perilaku, emosi, sensori dan hal-hal yang terkait perkembangan peserta didik dan catatlah (siapkan instrumen asesmen) 3. Program Pengembangan Interaksi, Komunikasi, dan Perilaku Peserta Didik Autis a. Prinsip Pendidikan dan pengajaran peserta didik autis pada umumnya dilaksanakan berdasarkan pada prinsip - prinsip sebagai berikut : 1) Terstruktur Pendidikan atau pemberian materi pembelajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang mudah ke yang sukar. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat diatasnya namun merupakan rangkaian yang
8 tidak terpisah dari materi sebelumnya. Struktur pendidikan dan pengajaran bagi peserta didik autis meliputi struktur (waktu, ruang, dan kegiatan) 2) Terpola Kegiatan peserta didik autis biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. 3) Terprogram Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi.Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelumnya. 4) Konsisten Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi peserta didik autis, prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya : apabila peserta didik berperilaku positif memberi respon positif terhadap sesuatu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus cepat memberikan respon positif (reward/penguatan), begitu pula apabila peserta didik berperilaku negatif (reinforcement). 5) Continue Prinsip pendidikan dan pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi peserta didik autis. Continue disini meliputi kesinambungan antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pelaksanaannya. Kontinuitas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindak lanjuti untuk kegiatan dirumah dan lingkungan sekitar peserta didik. b. Rambu-rambu Pelaksanaan Rambu-rambu yang perlu diperhatikan sebagai berikut: 1) Program pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku dibuat tidak berdasarkan jenjang, satuan pendidikan dan tingkatan kelas, tetapi disesuaikan dengan jenis, klasifikasi, tingkat kemampuan peserta didik, tingkat perkembangan emosi dan usia; 2) Asesmen tentang kondisi peserta didik autis perlu diketahui sebelumnya untuk menentukan jenis latihan yang cocok dan sesuai;
9 3) Metode, alat pengembangan untuk pelatihan, dan evaluasi diserahkan sepenuhnya kepada guru; 4) Bentuk latihan pengembangan interaksi, komunikasi, dan perilaku sebaiknya bervariasi, menarik perhatian, merangsang emosi serta menuntun ke arah kesanggupan diri untuk melakukannya; 5) Proses pengembangan dilaksanakan peserta didik dengan mengutamakan aspek senso-motoris dan psikomotor 6) Penguasaan kemampuan dan indikator tidak harus dilakukan secara berurutan, tetapi guru diberi wewenang untuk memilih sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik. c. Kompetensi dan Indikator Untuk memberikan arah atau tujuan yang akan dicapai dalam pelaksanaan program pengembangan interaksi, komunikasi dan perilaku, maka ditetapkan kemampuan dan indikator yang dapat dijadikan acuan oleh guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai kegiatan pengembangan interaksi, komunikasi dan perilaku peserta didik autis. d. Prosedur Pelaksanaan: Asesmen, Perencanaan, Pelaksanaan, Penilaian e. Strategi Departemen of Education UK mengemukaan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merancang strategi pembelajaran yang tepat bagi peserta didik autis, antara lain: 1.
Peserta didik autis memiliki cara berpikir yang berbeda sehingga mungkin akan memiliki perspektif yang berbeda dalam berbagai situasi dan mungkin dapat terlihat sangat tertarik dan terpaku terhadap sesuatu.
2.
Peserta didik autis bisa saja tampak fokus terhadap dirinya sendiri dan mungkin terlihat bahwa satu-satunya kebutuhannya tertuju pada dirinya.
3.
Peserta didik autis memiliki profil pembelajaran yang tidak biasa. 4. Sebagian besar peserta didik autis lebih mudah memahami informasi yang disajikan secara visual.
4.
Peserta didik autis dapat mempunyai sedikit pemahaman atau tidak memiliki pemahaman sama sekali tentang perasaan dan pikiran orang lain.
10 5.
Peserta didik autis kemungkinan memiliki keunikan pemrosesan sensori, misalnya penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan/penciuman, perabaan.
6.
Peserta didik autis mungkin memiliki masalah medis, makanan yang terbatas, masalah pencernaan, atau masalah dalam “toileting”.
7.
Setiap peserta didik autis merupakan individu yang unik, tidak bisa disamaratakan. Departemen of Education UK dan beberapa ahli (AAWA, 2005; Gargiulo, 2012; Mangunsong, 2009) menyebutkan beberapa strategi untuk mewujudkan hal-hal tersebut, sebagai berikut. 1) Lingkungan yang terstruktur Ketika menangani peserta didik dengan spektrum autisme, sangat penting mengatur
lingkungan sekitar untuk mengurangi gangguan konsentrasi dan
memenuhi kebutuhan tambahan seperti pada gangguan sensorik dan perhatian. Pengaturan lingkungan tersebut dapat berupa: a) mengurangi gangguan visual (sedikit dekorasi atau tidak ada) b) tempat duduk yang mendukung c) membelakangi jendela d) pencahayaan yang baik e) penetapan area belajar, area “tenang” (“break” area) atau area sensori, dan area transisi f) perhatian terhadap suara yang mungkin mengganggu anak (misalnya AC) g) mainan dan material lainnya berada diluar
jangkauan dan dalam lemari
tertutup. 2) Material Pendukung Dalam rangka memaksimalkan pembelajaran dan kemampuan anak dalam berkomunikasi, pendidik akan sering menggunakan material pendukung tambahan, terutama yang bersifat visual. Beberapa material pendukung, yaitu: a) Ketersediaan jadwal, membantu peserta didik atuis memahami dan memprediksi aktivitas yang akan dilakukan di sekolah dan membantu mengatasi perubahan. b) Tulisan pada benda-benda di sekeliling ruangan c) Papan pilihan (choice board) yang dilengkapi gambar/tulisan
11 d) Aktivitas yang memiliki awal dan akhir yang jelas e) Penguatan (reward) yang sangat memotivasi f. Macam-macam Pendekatan Tidak ada satu pun pendekatan pembelajaran yang bisa efektif untuk semua peserta didik autisme. Namun diantara berbagai macam pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip pembelajaran tersebut diatas adalah Treatment and Education of Autistic and related
Communicationhandicapped Children
(TEACCH).
Pendekatan ini sangat menekankan prediksibilitas, organisasi dari lingkungan fisik, dan aktivitas yang menggunakan dukungan visual (Mesibov, Shea & Schopler dalam Gargiulo, 2012). Selain itu, pendekatan lainnya yang telah diterima luas dan dianggap efektif adalah Applied Behavior Analysis (ABA), namun perlu diketahui bahwa pendekatan ABA yang terbaru lebih humanis. Selain ABA dan TEACCH, ada beberapa pendekatan pembelajaran yang bisa diterapkan, antara lain: DTT (Discrete Trial Training), Intervensi LEAP (Learning Exoerince an Alternative Program for Preschooles and Parent), atau Floor Time. g. Penilaian Penilaian program interaksi, komunikasi dan perilaku oleh guru yang dilakukan secara berkesinambungan bertujuan untuk memantau proses dan kemajuan belajar peserta didik autis serta untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program interaksi, komunikasi dan perilaku peserta didik autis. Hasil penilaian oleh guru dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui kemajuan dan kesulitan yang dihadapi peserta didik autis dalam pelaksanaan program interaksi, komunikasi dan perilaku. Penilaian program interaksi, komunikasi dan perilaku sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik autis, antara lain mencakup penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ujian sekolah. Dalam program interaksi, komunikasi dan perilaku, guru melaksanakan penilaian otentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output) program interaksi, komunikasi dan perilaku.
12 Cakupan penilaian merujuk pada ruang lingkup materi atau aspek, kompetensi, indikator, dan proses program interaksi, komunikasi dan perilaku. Pendekatan penilaian yang digunakan adalah Penilaian Acuan Kriteria (PAK). PAK merupakan penilaian pencapaian kompetensi yang didasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). KKM merupakan kriteria ketuntasan belajar minimal yang ditentukan oleh satuan pendidikan dengan mempertimbangkan karakteristik kompetensi yang akan dicapai, daya dukung, dan karakteristik peserta didik autis. B. Materi yang sulit dipahami Pendekatan pembelajaran pengembangan interaksi sosial anak autis ABA ( Applied Behavior Analysis), TEAACH ( Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handycap), DTT ( Discrete Trial training), Intervensi LEAP ( Learning Experience and Alternative Programs for Preschool and Parents), Floortime. Kelima pendekatan tersebut tidak dijelaskan secara rinci. C. Materi esensial yang tidak ada dalam sumber belajar 1. Pendekatan dan metode pembelajaran pengembangan interaksi sosial anak autis hanya disebutkan, namun tidak dijelaskan secara rinci. Pendekatan/Metode pembelajaran dalam pengembangan interaksi sosial anak autis : 1. Metode ABA ( Applied Behavior Analysis) Salah satu metode yang sering digunakan dalam penanganan anak autis awal adalah metode Lovaas atau ABA (Applied Behavior Analysis). Metode Lovaas/ ABA dapat dikatakan sebagai teori belajar mengajar yang memiliki tujuan untuk mengurangi perilaku yang berlebih atau tidak wajar, mengajarkan anak terhadap perilaku yang lebih bisa diterima lingkungan. Sukinah (2005:126) menjelaskan bahwa “metode Lovaas atau ABA dalam pelaksanaannya menggunakan cara yang terstruktur, terarah dan terukur, sehingga mudah disampaikan, mudah diterima oleh anak, dan memudahkan terapis atau orangtua memantau perkembangan anak.” Dalam penatalaksanaan perilaku dengan menggunakan metode Lovaas atau ABA ini perilaku anak dapat terkontrol dengan baik, dan dapat dengan mudah diketahui perkembangannya, karena metode Lovaas atau ABA (Applied Behavior Analysis)
13 terfokus pada pemberian penguatan yang positif, setiap anak merespon dengan benar sesuai dengan instruksi yang diberikan. Sukinah (2005:123) menjelaskan bahwa “pembelajaran ABA menggunakan prinsip Operant Conditioning dan Respon Conditioning. Prinsip ini berusaha untuk mengontrol perilaku anak autis, misalnya melalui sistem reward dan punishment.” Edy Purwanta (2005: 18) menjelaskan bahwa sistem Operant Conditioning ini akan memberikan penghargaan sesuai dengan yang diminati anak jika perilaku yang dimunculkan itu tepat dan sesuai harapan. Akan tetapi jika anak memunculkan perilaku yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan yang diharapkan anak tidak akan mendapatkan penghargaan yang disukainya. Prinsip ini terlihat ketika guru/ terapis memberikan antecedent yaitu hal yang mendahului terjadinya perilaku yang berupa instruksi, kemudian akan muncul behavior atau perilaku kemudian dari antecedent dan behavior akan memunculkan consequence yaitu konsekuensi yang ditimbulkan akibat adanya instruksi dan perilaku yang dimunculkan. Teknik yang digunakan dalam penerapan Lovaas/ ABA adalah dengan pendekatan individual / “one by one. “ Pendekatan individual/ “one by one” yaitu dalam penanganannya satu anak ditangani oleh satu terapis atau jika diperlukan didampingi oleh tenaga “prompter” (orang yang membantu mengarahkan perilaku anak sesuai dengan yang diinstruksikan terapis). Penerapan metode Lovaas memiliki dua tahapan yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan. Selain tahap persiapan dan pelaksanaan hal yang diperhatikan adalah tahap penilaian dan evaluasi yang bertujuan untuk mengukur sejauh mana perubahan yang dicapai oleh anak setelah penerapan metode Lovaas.” Pelaksanaan penggunaan metode Lovaas/ ABA untuk anak autis awal tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang orang/terapis, karena guru/ terapis yang menerapkan metode tersebut harus memahami bagaimana cara mengajarkan sesuai dengan prosedur yang benar. Penerapan Lovaas harus sistematis, terarah dan terstruktur. Sehingga perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus untuk guru/ terapis yang akan menggunakan metode Lovaas/ ABA dalam menangani anak. Adanya pelatihan metode Lovaas/ ABA ini agar tidak terjadi kesalahan dalam penerapan metode, karena dapat berdampak terhadap perilaku dan perkembangan anak.
14 2. Metode TEAACH Metode terapi TEACCH TEACCH adalah Treatment and education of autistic and Related Communication handicapped Children, yaitu suatu metode yang dilakukan untuk mendidik anak autis dengan menggunakan kekuatan relatifnya pada hal terstruktur dan kesenangannya pada rutinitas dan hal-hal yang dapat diperkirakan dan relatif mampu berhasil pada lingkungan yang visual dibanding yang auditori. (Noviza, 2005: 42) TEACCH (Treatment and Education for Autistic Childrent and Related Communication Handicaps) merupakan pembelajaran bagi anak dengan memperhatikan seluruh aspek layanan untuk pengembangan komunikasi anak.
Pelayanan diprogramkan dari segi
diagnosa, terapi/treatment, konsultasi, kerjasama, dan layanan lain yang dibutuhkan baik oleh anak maupun orangtua 3. Discrete Trial Training (DTT) Training ini didasarkan pada Teori Lovaas yang mempergunakan pembelajaran perilaku. Dalam pembelajarannya digunakan stimulus respon atau yang dikenal dengan orperand conditioning. Dalam prakteknya guru memberikan stimulus pada anak agar anak memberi respon. Apabila perilaku anak itu baik, guru memberikan reinforcement (penguatan). Sebaliknya perilaku anak yang buruk dihilangkan melalui time out/ hukuman/kata “tidak”. 4. Intervensi LEAP (Learning Experience and Alternative Program for Preschoolers and Parents) menggunakan stimulus respon (sama dengan DTT) tetapi anak langsung berada dalam lingkungan sosial (dengan teman-teman). Anak autistik belajar berperilaku melalui pengamatan perilaku orang lain. PRINSIP LEAP 1. Semua anak mendapat keuntungan dari lingkungan yang terpadu 2. Anak penyandang autistik semakin membaik jika intervensi berlangsung konsisten baik di rumah, sekolah, maupun masyarakat 3. Keberhasilan semakin besar jika orang tua dan guru bekerja bersama-sama 4. Anak penyandang autistik bisa saling belajar dari teman-teman sebaya mereka 5. Intervensi haruslah terancang, sistematis, individual
15 5. Floor Time Merupakan teknik pembelajaran melalui kegiatan intervensi interaktif. Interaksi anak dalam hubungan dan pola keluarga merupakan kondisi penting dalam menstimulasi perkembangan dan pertumbuhan kemampuan anak dari segi komunikasi, sosial, dan perilaku anak. 2. Macam-macam terapi yang dapat diterapkan untuk anak autis tidak disebutkan 1. Terapi perilaku Terapi perilaku digunakan untuk mengurangi perilaku yang tidak lazim. Terapi perilaku ini dapat dilakukan dengan cara terapi okupasi, dan terapi wicara. Terapi okupasi
dilakukan
dalam
upaya
membantu
menguatkan,
memperbaiki
dan
menibngkatkan keterampilan ototnya. Sedangkan terapi wicara dapat menggunakan metode ABA (Applied Behaviour Analysis). 2. Terapi Biomedik Terapi biomedik yaitu dengan cara mensuplay terhadap anak-anak autis dengan pemberian obat dari dokter spesialis jiwa anak. Jenis obat, food suplement dan vitamin yang sering dipakai saat in adalah risperidone, ritalin, haloperidol, pyrodoksin, DMG, TMG, magnesium, Omega-3, dan Omega-6 dan sebagainya. 3. Terapi Fisik Fisioterapi Bagi
anak-anak
autis
bertujuan
untuk
mengembangkan,
memelihara,
dan
mengembalikan kemampuan maksimal gerak dan fungsi anggota tubuh sepoanjang kehidupannya. Dalam terapi ini, terapis harus mampu mengembangkan seoptimal mungkin kemampuan gerak anak, misalnya gerakan meneukuk kaki, menekuk tangan, membungkuk berdiri seimbang, berjalan hingga berlari. 4. Terapi sosial Dalam terapi sosial, seorang terapis harus membantu memberikan fasilitas pada anakanak autis utnuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dan mengajari cara-caranya secara langsung, karena biasanya anak-penyandang autis memiliki kelemahan dalam bidang komunikasi dan interaksi. 5. Terapi bermain Terapi betrmain bertujuan agar anak-anak autis selalu memiliki sikap yang riang dan gembira terutama dalam kebersamannya dengan temanteman sebayanya. Hal ini sangat
16 berguna untuk membantu anak autisme dapat bersosialisasi dengan anak-anak yang lainnya. 6. Terapi perkembangan Jurnal Edueksos Vol III No 1, Januari-Juni 2014 131 Dalam terapi perkembangan, anak akan dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya sampai benar-benar anak tersebut mengalami kemajuan sampai dengan interaksi simboliknya. 7. Terapi visual Terapi visual, bertujuan agar anak-anak autis dapat belajar dan berkomunikasi dengan cara melihat (visual learner) gambar-gambar yang unik dan disenangi. Misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System). 8. Terapi musik Terapi musik dapat juga dilakukan untuk membantu perkembangan anak. Musik yang dipakai adalah musik yang lembut, dan dapat dengan mudah dipahami anak. Tujuan dari terapi musik ini adalah agar anak dapat menanggap melalui pendengarnnya, lalu diaktifkan di dalam otaknya, kemudian dihubungkan ke pusat-pusat saraf yang berkaitan dengan emosi, imajinasi dan ketenangan. 9. Terapi obat Dalam terapi obat, penderita autis dapat diberikan obat-obatan hanya pada kondisikondisi tertentu saja,pemberiannya pun sangat terbatas karena terapi obat tidak terlalu menentukan dalam penyembuhan anakanak autis. 10. Terapi Lumba-lumba Terapi dengan menggunakan ikan lumba-lumba dapat dilakukan dalam durasi sekitar 40 menit, dengan tujuan untuk menyeimbangkan hormon endoktrinnya dan sensor yang dikeluarkan melalui suara lumba-lumba dapat bermanfaat untuk memulihkan sensoris anak penyandang autis. 11. Sosialisasi ke sekolah Reguler Anak autis yang telah mampu bersosialisasi dan berkomunikasi dengan baik dapat dicoba untuk memasuki sekolah normal sesuai dengan umurnya, tetapi terapi perilakunya jangan ditinggalkan. 12. Sekolah Pendidikan khusus
17 Salah satu bentuk terapi terhadap anak-autis juga adalah dengan memasukannya di sekolah khusus anak-anak autis karena di dalam pendidikan khusus biasanya telah mencakup terapi perilaku, terapi wicara, dan terapi okuvasi. Pada pendidikan khusus biasanya seorang terapis hanya mampu menangani seorang anak pada saat yang sama. C. Materi yang tidak esensial tetapi ada dalam sumber belajar - Definisi autis yang terlalu banyak. Dua saja sebenarnya sudah cukup, kemudian diambil kesimpulan