PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN RINGKASAN MATERI
Mawarda Nurodanika 16504244009
Dosen Pegampu : Prof. Dr. Herminarto Sofyan, M.Pd.
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2018
Dedi Supriadi (2002), Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia. Jakarta : Dikemenjur.
Pendidikan adalah sesuatu yang hak bagi setiap manusia. Salah satunya pendidikan kejuruan yang berawal dari pemikiran Ratu Belanda yaitu Politik Etika (Etische Politiek) merupakan bentuk pertanggungjawaban politik Pemerintah Belanda terhadap Hindia Belanda. Sebuah tulisan oleh Mr. C. Th. Van Deventer, mengungkapkan bahwa kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, khususnya di Hindia Belanda, sementara Belanda menyatakan dirinya sebagai bangsa dengan peradaban yang tinggi. Dalam tulisannya, ia mengemukakan bahwa Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) tahun 1830 dan Sistem Liberal tahun 1870 yang dilaksanakan Pemerintah Belanda di tanah jajahannya, Hindia Belanda yang mengeruk keuntungan yang luar biasa, oleh sebab itu muncul Politik Etika yang dicanangkan Ratu Belanda dalam sidang parlemen Belanda tahun 1901. Pemerintah Balanda berusaha mengembangkan ekonomi agar memiliki anggaran sendiri hingga akhirnya dari pendidikanlah unsur yang perlu dibenahi dan dibangun. Pendidkan kejuruan adalah salah satu di dalamnya, dimana dari sekolah kejuruan akan diperoleh lulusan dengan keahlian dibidang teknik. Pendidikan kejuruan yang pertama kali adalah Sekolah Pertukangan yang digunakan untuk memajukan pertukangan di Indonesia. Pada saat itu Belanda sedang dalam masa penjajahan ke tanah Indonesia, sedang pada saat itu jika hanya dengan mengandalkan potensi yang ada maka tidak akan berkembang. Lalu dengan mengembangkan pendidikan Sekolah Pertukangan tidak hanya berusaha meningkatkan pendidikan warga negara Belanda kepentingan mereka, tetapi ikut bertanggungjawab kepada Indonesia sebagai tanah jajahannya walaupun memang hanya khusus kaum bangsawan pada saat itu. Ada tiga kota besar di Indonesia yang dibangun sekolah pertukangan terseut, yaitu: Surabaya, Betawi dan Semarang. Kemudian berkembang lagi Pendidikan Kejuruan Pertanian yaitu sekolah yang berkonsentrasi pada kursus untuk pendidikan
pertanian praktis. Kemudian dibangun Pendidikan Kejuruan Teknik, dimana banyak sekali keahlian yang dikembangkan seperti keahlian bangunan, keahlian pertambangan, pendidikan masinis, dan lain-lain. Walaupun bagaimana juga pendidikan yang awalnya oleh pemerintah Belanda hanya untuk kebangsaan Eropa dan China, tetapi akhirnya mereka mengembangkan untuk masyarakat Pribumi. Memang tidak secara singkat perkembangan yang terjadi sedemikian majunya, karena dalam masa penjajahan adalah masa sulit dan masa yang tidak menyenangkan bagi yang terjajah, sehingga sangat banyak hambatan dan rintangan yang membuat banyak instansi sekolah yang dipergunakan sebagai proses pendidikan ini berkembang sesuai perkembangan perekonomian saat itu. Sejarah pendidikan di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua periode utama, yaitu pendidikan pada zaman sebelum kemerdekaan dan pendidikan pada zaman kemerdekaan. Dari periode-periode ini akan tersusun dari beberapa periode dari pendidikan di Indonesia. Di antara pendidikan pada zaman sebelum masa kemerdekaan yaitu; (1) pendidikan yang berbasis ajaran keagamaan, (2) pendidikan yang berbasis kepentingan penjajah, (3) pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan (Depdikbud, 1996). Lalu pendidikan pada zaman kemerdekaan dibagi menjadi tiga babak yaitu; (1) tahun 1945-1968 yaitu sejak diproklamasikan kemerdekaan Indonesia sampai sebelum pelaksanaan Pelita I; (2) sejak pelaksanaan Pelita tahun 1969/1970 hingga akhir Pelita VI tahun 1997/1998 dan (3) periode reformasi tahun 1998 yang berlanjut dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tahun 2001 hingga sekarang tatkala pendidikan mengalami desentralisasi yang radikal (Jalal & Supriyadi, 2001). Satu setengah abad pendidikan kejuruan di indonesia Perkembangan awal pendidikan kejuruan di Indonesia dimulai sekitar 10 abad sebelum datangnya Portugis dan Belanda, yaitu berupa pendidikan yang berbasis keagamaan yang diselenggarakan oleh pemuka Hindu, Budha dan Islam. Namun baru pada abad 16 sekolah pertama di Indonesia didirikan oleh penguasa Portugis di Maluku, Antonio Galvano, tepatnya tahun 1536. Kemudian disusul pendirian sekolah-sekolah lain di beberapa tempat di penjuru Indonesia.
Sejak datangnya bangsa Portugis hingga berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, bangsa Indonesia berkenalan dengan kebudayaan dan peradaban bangsa Barat. Hal yang sangat menonjol pada kebudayaan Barat adalah intelektualismenya, yaitu penghargaan terhadap kecerdasan otak dan keterampilan kerja yang kemudian berkembang dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada dasawarsa 1960an dan 1970-an, pendidikan di Indonesia sebenarnya agak lebih maju daripada Malaysia yang telah mendapat kemerdekaan dari Inggris. Waktu Indonesia mampu mengirimkan guru-guru ke Malaysia. Indonesia pun harus membangun sistem pendidikannya dari nol, walaupun elemen-elemennya dari sistem pendidikan Belanda, dan juga dari zaman Jepang, tetap menjadi landasannya. Sampai pada tahun 1899 dalam majalah De Gids (No. 63) di negeri Belanda, isinya mengungkapkan kerisauan kalangan intelektual Belanda terhadap pertumbuhan kapitalisme yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Dari sinilah memicu lahirnya Politik Etika (Etische Politiek) yang dicanangkan oleh ratu Belanda, hingga menumbuhkan beberapa pemikiran dan menghasilkan kesepakatan untuk membuat beberapa sekolah atau lembaga pendidikan. sekolah pertam yang didirikan adalah tentang Pendidikan Kejuruan Pertanian (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1257/16), kemudian Pendidikan Kejuruan Teknik (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 6 juli 1900 nomor 1258/17), Akses Penduduk Bumiputera terhadap Pendidikan Kejuruan (Surat Gubernur Jenderal kepada Menteri Jajahan, 12 September 1900 nomor 49/2280). Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1940-an yang waktu itu mengumbar cita-cita untuk menjadi saudara tua di seluruh Asia Timur, membangun tentara yang kuat. Setelah menduduki Indonesia tahun 1942, pertama yang Jepang lakukan adalah membenahi sistem pemerintahannya, dimana bahasa Indonesia dijadikan bahasa pergaulan (lingua franca) menjadikan rasa kebanggaan orang Indonesia waktu itu. Tetapi kehidupan rakyat Indonesia benar-benar sengsara, dimana beras dijatah, berjualan secara gelap. Pada pendidikan umumnya di masa pendudukan Jepang, banyak sekolah yang sempat ditutup karena situasi perang segera dibuka kembali. Berupa tiga pendidikan yaitu, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan
dasar berupa Sekolah Rakyat (lamanya 6 tahun), pendidikan menengah terdiri atas Sekolah Menengah Pertama (3 tahun) dan Sekolah Menengah Atas (3 tahun), pendidikan tinggi atau Perguruan tinggi hanya Sekolah Tinggi Kedokteran di Salemba, Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Pada zaman jepang juga ada sekolah khusus seperti Sekolah Guru, Sekolah Pertanian dan Sekolah Tinggi Pamongpraja, lalu ada juga pembukaan kembali sekolah untuk Pendidikan Kejuruan Teknik, Sekolah Pertukangan di samping Sekolah Tingkat Menengah. Dan akhirnya dari Zaman Kemerdekaan sampai pada Era Reformasi, dengan banyak sekali perubahan yang terjadi dalam perkembangan pendidikan khususnya dalam aspek kejuruan menjadikan potensi pendidikan kejuruan di Indonesia sangat besar untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dimana pada tahun 1998, siswa SMK baik Negeri maupun Swasta mencapai 2 juta orang atau sekitar 37 % dari seluruh populasi SLTA di Indonesia. Pendidikan Teknik dan Kejuruan dan Pertumbuhan Ekonomi pada PELITA I dan II. Pada Pelita I (1969/1970 s.d 1974/1975), Pemerintah Republik Indonesia menempatkan pembangunan pendidikan teknologi sebagai bagian integral REPELITA mengisi kebutuhan terhadap tenaga kerja teknik. Sebelum Pelita I dimulai, Direktur Pendidikan Teknologi, Kolonel Amir Gondokusuma, telah melakukan analisis kebutuhan, analisis jabatan, hingga analisis kemampuan, yang kemudian dijabarkan dalam bentuk Kurikulum STM Pembangunan. Tahun pertama Pelita I dimulai dengan pembangunan delapan STM Pembangunan, dengan dukungan sumber daya yang dimiliki oleh Indonesia sendiri. Tahun kedua Pelita I (1970-1971), pembangunan pendidikan teknik ditingkatkan lagi dengan membangun lima Tehcnical Training Centre (Balai Latihan Pendidikan Teknik) dengan pinjaman dana dari World Bank, dan bantuan tenaga ahli dari UNESCO serta Pemerintah Inggris. Tahun keempat Pelita I (1972-1973), diadakan proyek Peningkatan Mutu Pengajaran Teknik (PMPT), dengan pusat penyelenggaraan di STM Instruktor (bekas SGPT) di Jalan Dr. Rum No. 9 Bandung, dengan sasaran utama mendukung peningkatan mutu guru teknik pada proyek-proyek STM Pembangunan dan BLPT.
Sejalan dengan perkembangan yang semakin intensif pembangunan pendidikan teknik, antara lain dengan penambahan BLPT menjadi sembilan atas bantuan World Bank dan rehabilitasi 27 STM atas bantuan pinjaman dari Pemerintah Belanda maka dirasakan perlunya pelembagaan proyek-proyek penataran guru teknik. Melalui bantuan tenaga ahli dari Australia Mr. Ian Scoot tahun 1972-1973, dan Mr. Ken Sharp tahun 1974-1975, dirumuskan suatu bentuk kelembagaan, yang waktu itu disebut TTUC (Tehnical Teacher Upgrading Centre). Pendidikan Kuantitatif Pendidikan Kejuruan hingga PELITA IV Dalam rangka pembaharuan sistem pendidikan nasional telah ditetapkan visi pendidikan nasional, yaitu terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah terutama dalam proses pendidikan. Dalam PELITA I ditentukan suatu kebijakan digunakannya siaran radio dan televisi untuk pemerataan mutu pendidikan. PELITA I s/d III tidak menganut kebijakan karena dorongan perekayasaan (technology driven), melainkan dorongan pendidikan (education driven). Masyarakat dengan budaya
yang maju
menggunakan dan bahkan menghasilkan teknologi yang maju pula. Sebaliknya masyarakat yang kurang maju menggunakan teknologi yang lebih sederhana. Pada masa itu, pemerintah telah berniat untuk menggunakan teknologi dalam bidang pendidikan. Berdasarkan pengkajian Komisi
PBB Untuk Pembangunan
Pengetahuan dan Teknologi (United Nations Commission on Science and Technology for Development /UNCSTD) pada tahun 1998, integrasi antara teknologi informasi dan komunikasi secara positif mempengaruhi pembangunan di semua sektor. Oleh karena itu disarankan agar semua negara angota PBB memanfaatkan potensi TIK secara produktif, agar menuju tercapainya masyarakat berpengetahuan. Perubahan Paradigma Pendidikan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah mengukuhkan berbagai usaha pembaharuan dalam bidang pendidikan yang telah diperjuangkan mulai tahun 1976.
Program pembinaan dan pengembangan pendidikan menengah kejuruan mulai Pelita I sampai dengan Pelita IV pada dasarnya mencakup beberapa aspek seperti berikut: Secara kuantitatif dilakukan dengan memprogramkan peningkatan daya tampung siswa, Secara kuantitatif dilakukan dengan meningkatkan kualitas lulusan melalui peningkatan program pendidikan, peningkatan mutu tenaga pengajar dan peningkatan tenaga pengajar, relevansi ditingkatkan dengan mengusahakan lebih terkaitnya kurikulum dengan kebutuhan industri/dunia kerja, Efektivitas dilakukan dengan mengembangkan program pendidikan untuk menghasilkan calon lulusan yang bermutu yang memenuhi persyaratan tenaga kerja atau persyaratan mandiri, Efektivitas dilakukan melalui perbaikan dan peningkatan pengelolaan pendidikan yang lebih terkoordinasi dan terpadu. Perkembangan pendidikan kejuruan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor penting penunjang pembangunan, faktorfaktor tersebut antara lain faktor Ekonomi, faktor Teknologi, faktor Sosial Budaya, faktor Sumber Kekayaan Alam dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah pendidikan yang selanjutnya mempengaruhi pula proses pelaksanaan pendidikan kejuruan. Pada kurikulum pendidikan kejuruanpun, pada dasarnya suatu lembaga pendidikan meliputi perumusan tujuan lembaga pendidikan, lama pendidikan, struktur program, garis-garis besar program pengajaran, metode pengajaran dan evaluasi hasil belajar. Beberapa kurikulum yang telah diterapkan dalam pendidikan kejuruan adalah Kurikulum 1964, Kurikulum 1976/1977, dan Kurikulum 1984. Proses pengembangan pendidikan kejuruan akan terdapat semacam Pembaruan Pendidikan Kejuruan. Beberapa pembaruan yang pernah dilaksanakan antara lain; 1. Kurikulum dan Program Pendidikan, 2. Penyesuaian Masa Pendidikan, 3. Pembaruan melalui Kurikulum 1984, 4. Fasilitas Pendidikan, 5. Tenaga Kependidikan, 6. Manajemen dan Administrasi, 7. Kesiswaan, 8. Pendirian dan Pengembangan PPPG Teknologi dan Kejuruan, dan 9. Efisiensi Biaya Pendidikan. Pada masa Pelita IV, pada tahap perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan menghadapi persoalan-persoalan pokok seperti; masalah relevansi dan mutu
Program Pendidikan, masalah penyediaan Guru dan Tenaga Kependidikan, masalah Kondisi Fasilitas Pendidikan, masalah Perluasan Kesempatan Belajar, serta masalah pembinaan Program Pendidikan. Dibutuhkan suatu strategi pecahan masalah dengan memperhatikan kebijaksanaan yang telah ditetapkan, dengan menyesuaikan program-program pendidikan menengah kejuruan dengan berbagai kesempatan kerja yang tersedia, lalu dengan memperluas kesempatan belajar bagi setiap warga negara Indonesia, kemudian menyediakan tenaga pengajar yang memenuhi syarat, lalu berusaha melengkapi fasilitas pendidikan, sedang dalam asapek penyelenggaraan pendidikan diperlukan peranan pendidikan dengan mengolah dan membina kegiatan pendidikan menengah kejuruan yang diharapkan terjadi aktivitas-aktivitas terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, jika diperlukan dilaksanakan studi banding ke luar negeri. Perkembangan Pendidikan Menengah Kejuruan pada Pelita V Dalam rangka pembangunan ekonomi Indonesia, terdapat bermacam usaha dan program telah tersusun dalam agenda Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan yang akan diterapakan di berbagai bidang seperti perdagangan, sandang, pangan, pariwisata, perkantoran, teknik, kesenian dan lain-lain. Tetapi seiring berjalannya waktu, terdapat persoalan apakah kelangsungan hidup dapat dipertahankan dengan kekuatannya sendiri. Maka dalam masalah ini akan dapat didiskripsikan beberapa faktor yang mempengaruhi, seperti ; 1. Tradisi kehidupan masyarakat Indonesia dengan sejarah pertumbuhannya, 2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan warisan dari zaman sebelum Perang Dunia II, dan 3. Peta geografi indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang banyak jumlahnya dengan ragam tingkat perkembangannya. Indikator-indikator kuantitatif Pendidikan Kejuruan dapat disederhanakan menjadi beberapa faktor dan program-program yang telah dicannagkan oleh pemerintah antara lain seperti di bawah ini : 1. Perkembangan Lembaga, Siswa dan Ketenagaan. 2. Pembiayaan. 3. Bantuan Hibah dan Pinjaman Luar Negeri. 4. Ikatan Kerjasama dengan Luar Negeri.
5. Kerjasama dengan Dunia Usaha/Industri Dalam Negeri. 6. Usulan proyek-proyek baru. 7. Hal-hal yang memerlukan perhatian. Dalam masa Pelita VI juga terdapat beberapa permasalahan dalam Pendidikan Kejuruan, walaupun memang telah banyak hasil positif dari pencapaian oleh Pembanguan Pendidikan Kejuruan tersebut. Tetapi dalam pencapaian tersebut belum mampu menjadi landasan yang kuat dalam menghadapi tantangan yang ada pada era globalisasi, era perdagangan bebas, dan era teknologi informasi. Maka harus diperlukan sistem pendidikan kejuruan untuk masa depan yang handal, luwes, adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah tersebut, pendidikan menengah kejuruan menghadapi berbagai permasalahan fundamental dan operasional, seperti; 1. Masalah Konsepsi, 2. Masalah Program, 3. Masalah Operasional 4. Perlunya Pembaruan. Pada masa Kabinet Pembangunan VI, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro) memperkenalkan kebijakan baru untuk pembangunan pendidikan, yang disebut “Link and Match”. Kebijakan “Link and Match” mengimplikasikan wawasan sumber daya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu dan wawasan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan wawasan ekonomi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan. Perkembangan SMK Bidang Teknik/Teknologi. Berdasarkan Kurikulum 1984, bidang-bidang keahlian dalam lingkungan pendidikan menengah kejuruan meliputi enam kelompok, yaitu; 1. Kelompok Teknologi dan Industri, 2. Kelompok Pertanian dan Kehutanan, 3. Kelompok Bisnis dan Manajemen, 4. Kelompok Pariwisata, 5. Kelompok Kesejahteraan Masyarakat dan 6. Kelompok Seni dan Kerajinan. Dalam kelompok Teknologi dan Industri tercakup sekolah-sekolah yang menyelenggarakan
pendidikan
dan
pelatihan
di
bidang
keahlian
Teknologi/Teknik/Rekayasa Industri. Sebelum nama-nama sekolah kejuruan diubah dengan nama generik Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) pada tahun 1996/1997, sekolah-sekolah yang tercakup dalam Kelompok Teknologi dan Industri adalah Sekolah Teknololgi Menengah (STM). Dalam “kawasan” STM ini
dikenal STM 3 tahun, Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) dan STM Pembangunan 4 tahun. Beberapa Masalah dalam Implementasi Pendidikan Sistem Ganda di SMK. PSG merupakan program pendidikan yang dipilih untuk menjabarkan secara operasional kebijakan “Link and Match” pada pendidikan menengnah kejuruan. Secara teoritis, PSG merupakan sistem pendidikan yang sangat ideal untuk meningkatkan relevansi dam efisiensi SMK. Praktik siswa di industri merupakan bagian dari kegiatan penerapan PSG. Kepala sekolah dan guru-guru menempatkan praktik industri siswa sebagai bagian yang paling penting dalam pelaksanaan PSG. Kegiatan pemasyarakatan serta persiapan implementasi PSG hampir seluruhnya bertumpu pada upaya merangkul industri. Dalam Implementasi PSG di sekolah diperlukan banyak kesiapan faktor-faktor pendukungnya seperti; Kesiapan Guru untuk Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Kepala Sekolah dalam Melaksanakan Inovasi, Kesiapan Faktor Penunjang Praktik di Sekolah, dan Iklim Belajar di Sekolah. Lalu dalam Implementasi di Industri juga diperlukan beberapa kesiapan antara lain; Kesiapan Pekerjaan Praktik di Industri, Kesiapan Manajemen Perusahaan,dan Kesiapan Siswa dalam Mengikuti Praktik Industri. Dari penerapan kedua Implikasi pembelajaran baik di Sekolah dan di Industri belum terdapat keterkaitan karena kedua kegiatan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri, dan bisa dikategorikan seperti masalah tertentu seperti; Kesiapan Majelis Sekolah, Standar Kompetensi Industri, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan. Setiap Industri pasti menginginkan terjadinya sustained profitable growth atau langgeng atau berlanjutnya pertumbuhan yang menguntungkan, bahkan meningkat lagi. Dalam industri berbasis pengetahuan, kemampuan menghasilkan dan memanfaatkan pengetahuan untuk melakukan inovasi bukan hanya merupakan faktor penentu kemakmuran, melainkan juga merupakan basis untuk menciptakan keunggulan komparatif. Apalagi dalam era informasi dan globalisasi hanya industri-industri berbasis pengetahuanlah yang akan langgeng dan yang lain (misalnya berbasis tenaga kerja yang murah atau bahan baku yang melimpah saja) akan layu dan mati.
Globalisasi dalam industri manufaktur mengandung arti global market dan global manufacturing dengan tujuan agar industri manufaktur untuk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya berpartisipasi dalam pasar global. Perubahan paradigma tersebut melahirkan paradigma baru dalam manufakturing yang dikenal dengan New Generation Manufacturing (NGM), sehingga keberhasilan suatu industri manufaktur akan tergantung pada jaringan kemitraan yang dibangunnya. Langkahlangkah yang harus diupayakan ialah membuat organisasi manufaktur menjadi bagian dari suatu globally extended enterprise dalam suatu jaringan kemitraan. Intinya ialah pemanfaatan metodologi-metodologi yang sangat disiplin dalam Rapid Product and Process Realization (RPPR) melalui: a. Integrated Product and Process Development (IPPD), b. Flexible and Modular Equiments and Processes, c. Integrated Product Teams (IPTs) yang dimotori oleh CE , d. didukung oleh suatu Enterprise-Wide Computing Environment, e. didukung oleh jaringan komunikasi global. Menjelang 2020, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang sejahtera. Di samping sumberdaya alam yang kaya, Indonesia memiliki tenaga kerja dalam jumlah yang berlimpah. Agar potensi tersebut dapat menjadi sumber daya pembaruan, yang diperlukan pendidikan yang bermutu dan relevan. Begitu pula dengan Diklat Kejuruan dituntut untuk mampu meningkatkan kompetensi generasi muda Indonesia yang akan memasuki dunia kerja, melatih ulang dan meningkatkan kompetensi mereka yang sudah bekerja, selaras dengan perkembangan teknologi dan perubahan pasar kerja. Salah satu aspek penting dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan keterampilan menjelang 2020 ini adalah kesiapan pemerintah untuk mengantisipasi pendanaan yang diperlukan. Segala bentuk kebijakan pendanaan khususnya yang bersumber dari pemerintah pusat harus diarahkan pada pengembangan SMK masa depan, pola penyelenggaraan Diklat berbasis kompetensi, serta sistem pengujian dan sertifikasi yang mengacu kepada standar nasional dan internasional. Usahausaha tersebut sejauh mungkin menggunakan sumber daya ayng ada baik nasional maupun internasional, selaras dengan prakarsa negara-negara yang menjadi mitra kerjasama.
Reposisi Pendidikan Kejuruan dimaksudkan sebagai upaya penataan kembali konsep, perencanaan, dan implementasi pendidikan kejuruan dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia yang mengacu kepada kecenderungan (trend) kebutuhan pasar kerja baik dalam lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional. Di antara tujuan dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Menata ulang sistem Diklat kejuruan agar lebih fleksibel dan permeabel dengan menerapkan pola pembelajaran/pelatihan yang berbasis kompetensi. Menata ulang program keahlian dan sistem pembelajaran pada SMK dengan menerapkan Competency Based Training (CBT). Di antara manfaat dari reposisi pendidikan kejuruan adalah: Para pengambil keputusan di daerah dapat memahami dengan baik kondisi, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi oleh Diklat kejuruan beserta kaitannya dengan ketenagakerjaan, bagi para perencana pembangunan sumber daya manusia di wilayah, reposisi dapat dijadikan pertimbangan untuk mendukung upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan era global.
Putu Sudiro (2017).TVET Abad 21. Yogyakarta: UNY Press
A. Pendidikan Vokasional, Vokasi, Teknikal dan Kejuruan Pendidikan Vokasional atau Vocational Education (VE) adalah pendidikan untuk dunia kerja (Education for Vocation atau Education for Occupations). Pendidikan Vokasional adalah pendidikan untuk mengembangkan ke-vokasi-an seseorang sehingga memiliki kapasitas atau kapabilitas ditugasi atau diberi perintah untuk melakukan pekerjaan atau jabatan tertentu. Billet (2011:2) menyatakan Pendidikan Vokasional sebagai “Education for Occupations”. Kemudian Pavlova (2009) menyatakan bahwa tujuan tradisional Pendidikan Vokasional sebagai berikut: Traditionally, direct preparation for work was the main goal of vocational education. It was perceived as providing specific training that was reproductive and based on teachers’ instruction, with the intention to develop understanding of a particular industry, comprising the specific skills or tricks of the trade. Students’ motivation was seen to be engendered by the economic benefits to them, in the future. Competency-based training was chosen by most governments in Western societies as a model for vocational education (VE) (Pavlova, 2009: 7).
Tradisi Pendidikan Vokasional bertujuan menyiapkan lulusan untuk bekerja. Persiapan bekerja adalah tujuan utama Pendidikan Vokasional. Agar siap bekerja maka Pendidikan Vokasional memuat pelatihan khusus yang cenderung bersifat reproduktif sesuai perintah guru atau instruktur dengan fokus perhatian pada pengembangan kebutuhan industri, berisikan skill khusus atau triktrik pasar. Motivasi utama Pendidikan Vokasional terletak pada keuntungan ekonomi untuk masa depan. Walaupun sekarang sudah mulai berkembang dimana TVET mulai memperhatikan pembangunan berkelanjutan dimana ekonomi bukan satu-satunya variabel Pendidikan Vokasional. Pelatihan berbasis kompetensi dipilih sebagai model Pendidikan Vokasional. Tradisi Pendidikan Vokasional mempersiapkan tenaga kerja terlatih dengan skill tinggi yang tunduk pada pemberi kerja (Rojewski, 2009: 21). Tradisi ini ditentang oleh John Dewey. Dalam perspektif lain dari John Dewey dalam Rojewski (2009:21) dinyatakan: The principle goal of public education was to meet individual needs for personal fulfilment and preparation for life. This required that all students receive vocational education, be taught how to solve problems and have individual differences equalized. Dewey rejected the image of students as passive individuals controlled by market economy forces and existentially limited by inherently proscribed intellectual capacities. In his view, students were active pursuers and constructors of knowledge (Rojewski, 2009:21). Pada literatur internasional tidak ditemukan istilah Pendidikan Vokasi dan sekolah vokasi seperti yang dipakai di Indonesia. Sekali lagi Pendidikan Vokasi dan sekolah vokasi tidak ada dalam nomenklatur internasional. Yang ada adalah Pendidikan Vokasional atau sekolah vokasional. Pendidikan Vokasional adalah pendidikan untuk mengembangkan kapasitas ke-vokasi-an seseorang agar dapat dipanggil, diterima atau ditugasi bekerja pada satu bidang pekerjaan atau jabatan tertentu. Dapat ditegaskan kembali bahwa istilah Pendidikan Vokasional lebih tepat digunakan daripada Pendidikan Vokasi. Penggunaan istilah jalur pendidikan antara akademik dan vokasi bisa dibenarkan karena jalur vokasi bermakna jalur menuju panggilan kerja, sedangkan jalur akademik adalah jalur pendidikan yang lebih bersifat umum. Jika kata vokasi sebagai kata benda dikaitkan dengan kata pendidikan menjadi Pendidikan Vokasi. Pendidikan Vokasi adalah pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu untuk memahami jenis-jenis perintah atau penugasan kerja atau jabatan. Pendidikan Vokasi mengkaji jenis-jenis perintah penugasan pekerjaan sebagai noun tidak mendalami sifat-sifat atau karakteristik pekerjaan itu sendiri. Istilah Pendidikan Vokasi sebagai ilmu tentang jenis-jenis perintah atau penugasan kerja sangat sempit dan bahkan dapat masuk dan menjadi bagian kecil dari Pendidikan Vokasional. Pendidikan Vokasional jelas memiliki makna dan cakupan pengembangan keilmuan lebih luas daripada Pendidikan Vokasi. Jika yang dikaji dalam berilmu itu adalah sifat-sifat pekerjaan itu sendiri maka Pendidikan
Vokasional yang tepat digunakan. Jika yang dikaji jenis-jenis perintah atau penugasan pekerjaan sebagai yang dibendakan maka Pendidikan Vokasi yang tepat digunakan. Sekali lagi dalam nomenklatur internasional tidak ada Vocation Education yang ada adalah Vocational Education atau Pendidikan Vokasional. Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama dengan Pendidikan Vokasional. Kata kejuruan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris kata “vocational”. Untuk kasus di Indonesia istilah Pendidikan Vokasional dan Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama. Secara akademik kedua istilah ini tidak memberi makna yang berbeda. Pendidikan Kejuruan bukan bermakna pendidikan pada jenjang menengah seperti yang digunakan dalam perundangundangan sistem pendidikan Indonesia. Mestinya istilah Pendidikan Vokasional atau Pendidikan Kejuruan dapat digunakan baik pada jenjang pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Pemisahan penggunaan Pendidikan Kejuruan untuk SMK/MAK dan Pendidikan Vokasi untuk politeknik secara akademik menimbulkan kegamangan dan kesulitan dalam memahami dan membedakan karena keduaduanya adalah pendidikan untuk dunia kerja. Sebagai rekomendasi istilah yang digunakan adalah salah satu di antara pendidikan kejuruan atau pendidikan vokasional. Pendidikan Teknikal (Technical Education) adalah pendidikan yang mengajarkan penerapan prinsip-prinsip dan teori bekerja kepada peserta didik dalam menerapkan pengetahuannya pada situasi kerja yang baru dan terus berubah. Pendidikan Teknikal mencakup pelatihan atau training keterampilan atau teknikteknik bekerja. Pendidikan dan pelatihan teknikal mengajarkan pengetahuan dan skill khusus yang penting bagi pengembangan individu sebagai pekerja. Melalui Pendidikan Teknikal seseorang mampu menyiapkan dirinya memiliki kapasitas yang diperlukan dalam dunia kerja. Pendidikan Teknikal merupakan studi kepemilikan keahlian kerja (occupational experts possess), kemampuan menggunakan keahliannya dengan skill penuh pada situasi seperti apapun baik sudah familier atau masih baru. Pengetahuan tentang kerja dan sifat-sifat pekerjaan yang diperoleh melalui Pendidikan Vokasional disempurnakan dengan skill teknis bagaimana menerapkan pengetahuan kerja itu melalui Pendidikan Teknikal. Perpaduan kedua pendidikan ini menghasilkan konsep Pendidikan Teknikal dan Vokasional atau Technical and Vocational Educatin (TVE). Pendidikan Teknikal menyatu dengan Pendidikan Vokasional sehingga muncul Technical and Vocational Education (TVE). TVE adalah pendidikan formal di sekolah dan kampus. Oleh karena TVE hanya menyangkut pendidikan persekolahan tentang technical and vocational maka ILO mengusulkan adanya pelatihan disamping pendidikan. Usulan ini dalam rangka pendidikan untuk semua. Pengembangan dan pemberian bekal bekerja tidak semua dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Pemberian bekal bekerja juga perlu difasilitasi melalui pelatihan nonformal dan informal. ILO bersama UNESCO
dalam kongres internasional kedua di Korea pada tahun 1999 menetapkan konsep pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional dengan nama Technical and Vocational Education and Training (TVET). Sejak itu terminologi TVET digunakan secara baku dalam semua kajian akademik dan literatur pendidikan Vokasional. TVET digunakan sebagai strategi pemenuhan pendidikan untuk semua (Education for All=EFA) dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development=ESD). TVET dalam nomenklatur Pendidikan Vokasional menjadi komprehensif digunakan dalam proses pendidikan dan pelatihan untuk dunia kerja. Makna ini penting sekali bagi pengembangan pembelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah termasuk Pendidikan Luar Sekolah (PLS). TVET sebagai strategi EFA menyangkut pendidikan dan pelatihan untuk semua kaum. TVET juga digunakan untuk rehabilitasi anak-anak bermasalah dan anak berkebutuhan khusus. Pemahaman makna TVET memberi landasan yang jelas bagaimana para pengembang dan pelaku TVET mengembangkan learning outcome, kurikulum, pembelajaran, pemenuhan sarana-prasarana pendidikan, mengembangkan standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikannya. Pengembangan pengetahuan dan skill bekerja tidak hanya dilakukan melalui pendidikan tetapi juga melalui pelatihan dan pelatihan kembali sehingga semua orang dapat meningkatkan kompetensi dan skill kerjanya dan berkembang karirnya. Dalam keilmuan pendidikan vokasional termasuk dalam adult education. TVET disesuaikan dengan tingkat umur, kematangan, kedewasaan dan kesiapan anak untuk mengapresiasi pekerjaan. Di Indonesia batasan minimal usia kerja 18 tahun sebagai batasan umur setelah melewati pendidikan menengah (SMK). Apresiasi terhadap pekerjaan penting maknanya bagi peserta didik dan lulusan satuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional. Kematangan dan kedewasaan peserta didik dalam Pendidikan Teknikal dan Vokasional sangat penting dan perlu mendapat kajian yang cukup. Kekurangdewasaan peserta didik Pendidikan Vokasional mengakibat berbagai resiko mulai dari permasalahan motivasi belajar sampai dengan permasalahan keselamatan kerja dalam menjalani pelatihanpelatihan kerja. Lulusan Teknikal dan Vokasional yang tidak memanfaatkan kompetensi yang diperoleh dari berbagai jenis pendidikan dan pelatihan merupakan bentuk in-efisiensi Pendidikan Vokasional. Pendidikan Vokasional tanpa memberi dampak diperolehnya pekerjaan akan sia-sia dan in-efisien, karena tujuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional adalah untuk membangun kompetensi kerja dan produktivitas lulusan. Negara-negara Asia Tenggara menggunakan istilah Vocational and Technical Education and Training (VTET) yang intinya sama dengan TVET. Negara-negara Asia Tenggara menekankan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan dan pelatihan teknik dan kejuruan. VTET lebih menekankan dua hal yang berbeda antara pendidikan yang berbau teori dan pelatihan yang berbau skill. Pendidikan memuat
materi-materi umum yang bersifat normatif dan adaptif dan pelatihan memuat praktikum pengembangan skill motorik berbagai pekerjaan. Model itu lebih menekankan aspek-aspek keterampilan atau skill motorik dibandingkan pengembangan karir secara terprogram. Istilah Vocational Education and Training (VET) dan Vocational and Technical Education (VTE) digunakan di Australia. Pendidikan Vokasional di Australia juga sangat maju. Perkembangan Pendidikan Vokasional di Australia sangat didukung oleh lembagalembaga risetnya yang sangat intens didalam melakukan kajiankajian dan pengembangan Pendidikan Vokasional. National Centre for Vocational Education Research (NCVER) adalah salah satu lembaga riset nasional Australia yang sangat profesional dalam melakukan kajian pengembangan dan publikasi Pendidikan Vokasional di Australia. Di Eropa saat ini muncul lagi nomenklatur Vocational and Professional Education and Training (VPET). Istilah ini bukan hal baru karena dorongan pekerjaan semakin kearah pekerjaan sebagai profesi (Sudira, 2011). Indonesia menggunakan nomenklatur pendidikan kejuruan pada tingkat menengah dan pendidikan vokasi pada tingkat pendidikan tinggi. Pendidikan kejuruan diselenggarakan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan Vokasi diselenggarakan di Politeknik dan Sekolah Vokasi dengan jenjang Diploma 1, Diploma 2, Diploma 3, dan Diploma 4. Sekolah Vokasi lahir di universitas besar yang kemudian disapih dari induknya karena kelahirannya tidak cocok dengan visi-misi universitas sebagai lembaga pendidikan berbasis riset. Pemilihan nomenklatur Pendidikan Kejuruan dan Pendidikan Vokasi belum menunjukkan konsep yang jelas. Penetapan nomenklatur baru didasarkan pada perbedaan tingkatan pelaksanaan pendidikannya. Indonesia dapat dikatakan belum memiliki konsep yang jelas tentang pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional. Akibatnya pendidikan kejuruan dan pendidikan vokasi menjadi ranahnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi. Sedangkan pelatihan kejuruan menjadi ranah Departemen Sosial, Departemen Pertanian, Departemen Perindustri-an, Departemen Ketenaga Kerjaan, Departemen Dalam Negeri. Kondisi semacam ini perlu menjadi perhatian bersama, bagaimana mulai membangun framework yang utuh tentang pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional yang komprehensif. Negara-negara berpenduduk besar dengan disparitas kemampuan pendidikan yang lebar lebih tepat menggunakan TVET. Akses pendidikan dunia kerja yang bersiat formal yang masih relatif rendah dapat diatasi melalui pelatihan-pelatihan singkat pada kompetensi atau skill tertentu saja tanpa harus memalui pendidikan formal yang panjang. Demikian juga bagi pekerja aktif dalam meningkatkan kompetensinya dapat dilakukan melalui pelatihan singkat selain pendidikan formal yang menyita waktu, biaya, dan produktivitas kerja. Secara yuridis definisi dasar pendidikan kejuruan Indonesia dapat ditemukan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Pasal 15 UU Sisdiknas menyatakan pendidikan kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Kemudian pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan program sarjana. Pendidikan kejuruan diselenggarakan di SMK dan MAK. Pendidikan vokasi diselenggarakan di Akademi, Sekolah Tinggi, Politeknik, Institut, dan Universitas. Pasal ini menegaskan bahwa pendidikan kejuruan dan vokasi adalah pendidikan yang utamanya menyiapkan peserta didik untuk bekerja. Penggunaan istilah pendidikan kejuruan pada tingkat menengah dan pendidikan vokasi untuk pendidikan tingkat tinggi secara akademik tidak memiliki makna yang jelas. Perbedaan istilah itu hanya membedakan level penyelenggaraannya. Apakah vokasi lebih tinggi levelnya dari kejuruan juga tidak bisa dijelaskan. Bagaimana jika dibalik? Kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 19 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dinyatakan bahwa Standar Kompetensi Lulusan (SKL) satuan pendidikan menengah kejuruan adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan bidang kejuruannya. SKL ini mengandung empat aspek pokok, yaitu: (1) meningkatnya kecerdasan dan pengetahuan sebagai bagian aspek pendidikan otak; (2) dimilikinya kepribadian dan ahklak mulia sebagai personifikasi dari pendidikan hati nurani; (3) dimilikinya keterampilan agar dapat menghidupi dirinya secara mandiri; (4) dapat menempuh studi lanjut sesuai bidang kejuruan yang telah diambil. Definisi pendidikan kejuruan kembali dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang menyatakan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan yang selanjutnya disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs. Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pasal 157 ayat 2 menyatakan satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejuruan yang terkait dengan potensi ekonomi, sosial, dan/atau budaya setempat yang merupakan keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah. Definisi dan tujuan pendidikan kejuruan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 lebih mengesankan pengaruh mazab Prosser dengan filosofinya esensialisme, sedangkan dalam PP 19 Tahun 2005 deskripsi SKL SMK lebih kuat menunjukkan pengaruh mazab Dewey dengan filosofinya pragmatisme. Mencermati hukum-hukum formal pendidikan kejuruan atau vokasional yang ada,
sesungguhnya belum menegaskan arah dan jati diri pendidikan kejuruan atau vokasional Indonesia dalam pengembangan SDM Indonesia kedepan. Secara yuridis formal pendidikan kejuruan di Indonesia diselenggarakan di SMK dan MAK. Sejalan dengan otonomi daerah pembinaan penyelenggaraan pendidikan kejuruan di SMK dan MAK diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dengan memperhatikan keunggulan potensi lokal baik dalam sektor ekonomi, sosial, dan budaya daerah. Ketentuan hukum otonomi pendidikan ternyata membawa konsekuensi tersendiri yaitu tidak meratanya kapasitas dan kemampuan daerah dalam mengembangkan pendidikan vokasional. Demikian juga penyetaraan program-program pendidikan vokasional dengan koridor pengembangan ekonomi belum tertata dengan baik. Masing-masing provinsi di Indonesia belum memiliki kapasitas yang sama dalam melakukan pengembangan pendidikan vokasional. Akibatnya pertumbuhan pendidikan vokasional di Indonesia tidak akan merata, terjadi kesenjangan kualitas antara sekolah kejuruan atau vokasional antardaerah. Pemerintah daerah belum dapat memahami posisi dan fungsi pendidikan vokasional dengan baik. Tujuan penyelenggaraan pendidikan vokasional adalah untuk pengentasan kemiskinan, peningkatan pendapatan asli daerah, peningkatn kualitas tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan, penguatan dan konservasi budaya dan tata nilai. Untuk mewujudkan pendidikan vokasional yang baik diperlukan proses vokasionalisasi. Tujuan utama vokasionalisasi adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dan bimbingan kejuruan dengan perkembangan kebutuhan keduniakerjaan dalam mewujudkan masyarakat sejahtera yang kompetitif dan berorientasi kepada pembangunan berkelanjutan. Vokasionalisasi tidak boleh terjebak hanya pada orientasi pasar yang sempit. Vokasionalisasi harus membangun masyarakat sejahtera sekarang dan masa depan tanpa batas waktu. Vokasionalisasi juga membawa visi misi membangun dan menjaga jagat raya beserta seluruh isinya menjadi “hamemayu ayuning bhawana”. Dunia yang sudah “ayu” atau baik diperbaiki kembali secara terus menerus agar tambah baik. Vokasionalisasi tidak boleh terjebak pada kebutuhan sesaat yang sempit apalagi mengancam kelangsungan hidup. Ini pesan moral vokasionalisasi masyarakat melalui pendidikan kejuruan dan vokasional. Pendidikan kejuruan sebagai pendidikan untuk dunia kerja dalam mengisi peluangpeluang kerja yang ada perlu menjalankan fungsi-fungsi dasar pendidikan kejuruan yaitu: (1) melakukan transmisi kultur (budaya); (2) transmisi skills/kemampuan; (3) transmisi nilai dan keyakinan; (4) persiapan untuk hidup produktif; (5) pemupukan interaksi kelompok; (6) pengembangan kearifan dan keunggulan lokal. Pendidikan kejuruan/vokasional sebagai pendidikan untuk pengembangan kompetensi kerja sumber daya insani (SDI) akan berhasil baik jika mampu menumbuhkembangkan esensi dan eksistensi manusia melalui pendidikan kejuruan yang memasyarakat, berbudaya kompetensi dalam tatanan kehidupan berdimensi
lokal, nasional, regional, dan global. Sebagai produk masyarakat, pendidikan kejuruan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat dimana pendidikan kejuruan dikembangkan. Pendidikan kejuruan tumbuh dari masyarakat, berkembang bersama budaya dan tradisi masyarakat setempat, memperhatikan kearifan lokal, keunggulan lokal, potensi wilayah, dukungan masyarakat, partisipasi dan kerjasama masyarakat, ada konsensus yang kuat diantara masyarakat dengan lembaga pendidikan kejuruan. Visi pendidikan kejuruan seharusnya kongruen dengan visi masyarakat dimana pendidikan kejuruan dikembangkan (Tilaar, 1999; Sudira, 2012). Kehidupan modern bercirikan perubahan tanpa henti. Terjadi pelipatan pengetahuan super cepat dan tuntutan skill baru dengan siklus masa hidup yang sangat pendek. Kondisi semacam ini membutuhkan budaya belajar dan habit belajar sepanjang hayat, belajar dari berbagai sumber. Keterampilan belajar yang baik adalah kunci sukses di Abad XXI. Keterampilan belajar Abad XXI adalah keterampilan belajar orde tinggi dengan ciri pokok kritis dalam berpikir, kreativitas, kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan orang lain dari berbagai etnis, serta cerdas merayakan setiap keberhasilan hidupnya. TVET dikatakan berhasil melakukan edukasi bangsa jika mampu membangun budaya hidup pada seluruh masyarakatnya menjadi insaf akan teknologi, memahami dan melek teknologi, memiliki kapabilitas menerapkan teknologi, kreatif menemukan teknologi baru, kritis mengambil sikap bagaimana dan mengapa menggunakan teknologi. Budaya semacam ini merupakan budaya TVET yang peduli, sadar, melek, insaf, berkemampuan, kreatif, kritis terhadap teknologi. Mampu menerapkan teknologi pada sektor produksi agar semakin produktif dan memuaskan pelanggan dalam sektor layanan. Budaya konsumtif harus diwaspadai sebagai kegagalan edukasi TVET. Keberhasilan TVET dalam membangun budaya rekayasa membutuhkan dukungan sains yang memberi eksplanasi dan verifikasi pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan empat tujuan pembelajaran TVET maka muncul konsep belajar (learning), belajar kembali (relearning), tidak belajar sesuatu yang usang (unlearning), berlatih (training), berlatih kembali (retraining), tidak berlatih sesuatu yang tidak bermanfaat (untraining). Dalam TVET pendidikan dan pelatihan berjalan seirama. Pendidikan mewakili kegiatan pembelajaran berjenjang dalam satu kualifikasi tertentu, sedangkan pelatihan mewadahi kegiatan pembelajaran untuk satu skill atau kompetensi tertentu. Pengembangan pendidikan kejuruan/vokasional membutuhkan kebijakan lintas departemen. Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan ekonomi tidak mungkin dapat berdiri sendiri berkembang di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi. Pendidikan Vokasional membutuhkan kebijakan bersama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Riset dan Pendidikan Tinggi, Departemen Perekonomian, Departemen
Perdagangan, Departemen Perindustri-an, Departemen Ketenagakerjaan, dan Departemen Dalam Negeri. Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian seharusnya digunakan sebagai dasar perencanaan kebutuhan pengembangan ketenaga kerjaan, jenis dan jumlah bidang keahlian kejuruan yang dibutuhkan. Departemen Dalam Negeri juga ikut memfasilitasi pengembangan pendidikan kejuruan sesuai kebutuhan otonomi daerah. Permasalahan ini adalah permasalahan makro pendidikan kejuruan/vokasional Indonesia yang tidak dapat diselesaikan dengan perbaikan-perbaikan mikro semata seperti perbaikan kurikulum, sarana-prasarana, proses pembelajaran, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan. Problematika mendasar pendidikan kejuruan/vokasional di Indonesia ada pada tataran kebijakan. Adanya Direktorat Pembinaan SMK tidak cukup mengatur pengembangan pendidikan kejuruan/vokasional di Indonesia karena secara struktural tidak memiliki kewenangan sampai membuat kebijakan ketenagakerjaan. B. Cakupan Bidang TVET Pada penetapan UNESCO bahwa “Technical and Vocational Education and Training (TVET) is concerned with the acquisition of knowledge and skills for the world of work” maka Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk dunia kerja memiliki cakupan bidang pendidikan yang sangat luas mulai dari program studi di perguruan tinggi dengan status yang tinggi sampai pendidikan menengah dengan status yang rendah hingga pelatihanpelatihan singkat kompetensi kerja baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan di perguruan tinggi dengan status tinggi seperti pendidikan dokter, pendidikan notaris, pendidikan bisnis, teknik dan sebagainya termasuk dalam cakupan Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan yang konsern pada pemerolehan pengetahuan dan skill untuk okupasi. Semua pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi jika mengorientasikan lulusannya untuk bekerja maka termasuk dalam cakupan bidang Pendidikan Vokasional (TVET). Disisi lain pendidikan di SMK, politeknik, dan pendidikan keguruan teknik masih dikategorikan sebagai Pendidikan Vokasional dengan status menengah. Sejauh ini masyarakat vokasional masih banyak salah memahami dimana pendidikan kejuruan/vokasional baru dipahami sebagai pendidikan yang diselenggarakan di SMK dan Politeknik. Bahkan pendidikan di Politeknik masih disebut sebagai pendidikan vokasi. Kesalahan dalam memahami konsep pendidikan vokasi pada level pengambil kebijakan sangat merugikan. Mengapa demikian? Karena akan berdampak banyak secara struktural. Perspektif ini tentu belum sesuai dengan hakikat dari Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk okupasi. Pemahaman hakikat Pendidikan Vokasional yang hanya dipandang sebagai pendidikan berstatus bawah perlu diluruskan pemahamannya. Penegakan kembali
pemahaman makna Pendidikan Vokasional pada hakikat atau kesejatiannya akan bermanfaat dan dapat meningkatkan citra Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan berkelas. TVET dibutuhkan dalam semua lapisan dan jenis pendidikan. TVET setidaknya diselenggarakan untuk empat tujuan pokok yaitu: (1) persiapan untuk kehidupan kerja meliputi pengenalan bakat diri peserta didik, pemberian wawasan tentang pekerjaan-pekerjaan yang dapat mereka pilih; (2) melakukan persiapan awal bagi individu untuk kehidupan kerja meliputi pengembangan kapasitas diri untuk pekerjaan yang dipilih; (3) pengembangan kapasitas berkelanjutan bagi individu dalam kehidupan kerja mereka agar mampu melakukan transformasi kerja (kapabilitas) selanjutnya; (4) pemberian bekal pengalaman pendidikan untuk mendukung transisi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya sebagai pilihan bagi setiap individu atau mungkin karena tekanan perubahan pekerjaan lintas kehidupan kerja mereka. TVET konsern mendidik dan melatih peserta didik dalam proses menemukan jalan bagi setiap individu dalam mengidentifikasi pekerjaan yang cocok untuk dirinya, awal dari pengembangan kapasitas yang diperlukan dalam pekerjaan, dan perbaikan kapasitas itu menjadi kapabilitas untuk pengembangan berkelanjutan melalui kehidupan kerja sebagai cara untuk menguatkan keberlanjutan kemampuan kerjanya. Dalam hal ini termasuk menghubungkan dirinya dengan spesialisasi pekerjaan yang cocok untuk karir mereka. TVET mencakup pendidikan dan pelatihan penyiapan tenaga kerja sesuai kebutuhan dan permintaan lapangan kerja. Merawat karir mereka hingga mencapai posisi yang sesuai dengan jalur kehidupan yang diminati dan dipilihnya. C. TVET: Visi Abad XXI Perubahan-perubahan serta lompatan besar yang terjadi pada Abad XXI memberi tantangan signifikan pada sistem TVET. Globalisasi, revolusi teknologi informasi dan komunikasi Abad XXI telah menyebabkan perubahan sosial dan ekonomi yang ditandai oleh peningkatan mobilitas tenaga kerja dan permodalan, peningkatan kesenjangan antara kaum kaya dan miskin, percepatan dan berlipatnya perkembangan pengetahuan dan ide-ide baru yang semakin kreatif. Perubahan sosial dan ekonomi membutuhkan transformasi pembangunan berkelanjutan untuk semua orang, kebutuhan pembangunan manusia, pemberdayaan dengan semakin mampu berpartisipasi dalam dunia kerja. Globalisasi dan revolusi teknologi informasi dan komunikasi telah memberi sinyal kuat perlunya paradigma baru pengembangan sumber daya manusia. Kongres kedua TVET di Seoul pada Tahun 1999 menetapkan TVET sebagai pendidikan dan pelatihan yang digunakan untuk merealisasikan budaya perdamaian, pembangunan berkelanjutan, kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Sistem TVET diharapkan memainkan peran pengembangan skill untuk semua masyarakat baik kaya maupun miskin sebagai bagian dari hak azasi manusia.
Visi TVET Abad XXI diarahkan pada pengembangan pendidikan untuk semua, belajar sepanjang hayat, kesejajaran dan pemerataan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Sistem TVET direformasi dengan paradigma baru pendidikan yang lebih fleksibel, inovatif, produktif, memberi skills sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali tenaga kerja. Belajar sepanjang hayat dikembangkan sebagai bagian dari aspek budaya yang memberi keuntungan bagi diri, lingkungan, dan ekonomis. TVET memberi inspirasi bagi kaum muda sikap positif untuk beriovasi. Visi TVET Abad XXI diarahkan untuk mewujudkan pemenuhan enam cita-cita yaitu: 1. Tantangan TVET dalam menghadapi perubahan tuntutan Abad XXI dalam bidang ekonomi dan sosial yang berimplikasi pada tranformasi meningkatnya mobilitas tenaga kerja dan permodalan, kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, akses pendidikan yang semakin mahal, terganggunya keseimbangan alam. TVET dihadapkan pada tantangan kebutuhan pengembangan kapasitas dan pemberdayaan sumber daya manusia di dunia kerja. TVET memiliki peran krusial dalam penyediaan skill untuk semua umat manusia termasuk kaum miskin atau kaum kurang beruntung dan masyarakat berkebutuhan khusus atau dipabel. Sistem TVET kemudian perlu direformasi pada paradigma baru menuju keberhasilan, fleksibilas, inovasi dan produktivitas, memberikan skill yang dibutuhkan, menuju pemenuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali pekerja aktif, kaum pengangguran dengan misi memberi peluang kerja untuk semua pada sektor ekonomi baik formal maupun informal. Harus ada kerjasama baru di antara pendidikan dan dunia kerja dalam mengembangkan kompetensi, etika kerja, skill teknologi dan kewirausahaan. 2. Pengembangan sistem TVET sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat membangun mentalitas pengalaman berkehidupan diseluruh dimensi baik sosial, budaya, ekonomi, spiritualitas. TVET harus semakin terbuka, fleksibel, dan berorientasi pada pembelajar. TVET disamping memberi skill bekerja juga harus menyiapkan individu memiliki skill bermasyarakat dan memenuhi kebutuhan seluruh kehidupannya termasuk berkeluarga. Budaya belajar dan belajar tentang budaya dimasyarakatkan. Hal ini penting karena ketegangan budaya antaretnis sering menjadi penghambat dalam bekerja. TVET memberi inspirasi kaum muda sikap positif pada inovasi, menyiapkan transisi dari sekolah ke dunia kerja. 3. Inovasi proses pendidikan dan pelatihan. Pendekatan inovatif dalam TVET merupakan tantangan Abad XXI. Reorientasi kurikulum, pembelajaran, dan asesmen TVET menuju inovasi dan pemenuhan kebutuhan Abad XXI sangat penting dilaksanakan. Teknologi informasi dan komunikasi membuka potensi luas dalam pengembangan pembelajaran berbasis TIK. TIK digunakan untuk penyediaan perluasan layanan TVET untuk semua masyarakat. Metode-metode baru yang lebih efektif dan efisien terus diterapkan dalam pembelajaran, asesmen,
akreditasi, dan sertifikasi kompetensi. TVET penting menyiapkan pre-vokasional bagi peserta didik pada tingkat SMP, karena spektrum pendidikan kejuruan sangat kompleks yang memerlukan persiapan untuk memilih. 4. TVET untuk semua. TVET merupakan instrumen bagi semua warga masyarakat dalam merespon tantangan kehidupan Abad XXI khususnya tantangan dalam peningkatan produktivitas. TVET merupakan tool yang efektif untuk peningkatan kohesi sosial, integrasi, dan rasa percaya diri masyarakat. Programprogram TVET Abad XXI harus dirancang untuk kebutuhan yang menyeluruh dan mengakomodasi kebutuhan semua pembelajar mulai dari pendidikan dan pelatihan di sekolah (SMK/MAK, Sekolah Luar Biasa, Pendidikan Luar Sekolah, Perguruan Tinggi, Balai Diklat, Yayasan anak-anak cacat, Pusat rehabilitasi sosial, pelatihan untuk kaum perempuan dan ibu rumah tangga dll. Komitmen TVET untuk semua membutuhkan rancangan kebijakan dan strategi yang baik, peningkatan pemenuhan sumberdaya baik dana maupun manusia, lingkungan pelatihan yang terbuka dan bersahabat. 5. Perubahan peran bagi Pemerintah dan Stakeholder. TVET Abad XXI membutuhkan pola partnership diantara pemerintah, pemberi kerja, lapangan kerja/pekerjaan, industri, trades union dan masyarakat. Partnership harus memiliki tujuan memantapkan budaya belajar di seluruh lapisan masyarakat dan memberi penguatan ekonomi, peningkatan kohesi sosial, menguatkan identitas budaya bangsa, keberagaman, dan kemanusiaan. Pelatihan untuk semua jenis-jenis pekerjaan menyangkut hakhak asasi manusia, pembinaan struktur lembaga swadaya masyarakat, peningkatan belajar sepanjang hayat, partisipasi luas dalam pendidikan dan pelatihan, mendorong etika kerja dengan spirit kewirausahaan. Pemerintah dan swasta memanfaatkan TVET sebagai investasi pendidikan dan pelatihan masa depan bukan biaya program dengan pengembalian yang signifikan dalam bentuk tenaga kerja terlatih, produtif, siap berkompetisi secara internasional. 6. Peningkatan kerjasama internasional dalam TVET. Dukungann UNESCO dan ILO, World Bank, OECD sangat dibutuhkan untuk pengembangan TVET Abad XXI. Kerjasama internasional dalam peningkatan kualitas program-program TVET dikembangkan untuk saling mendukung pengembangan berbagai pelatihan skill. Kerjasama utara selatan perlu ditingkatkan.
Wardiman Djojonegoro. (1998). Pengembangan Sumberdaya Manusia melalui SMK. Jakarta : PT. Jayakarta Agung Offset
Bab II KEADAAN PENDIDIKAN KEJURUAN
PADA PJP 1
1. Pra-PeIita I Pendidikan kejuruan pada Pra-Pelita I belum memiliki tujuan yang jelas, pelajaran bersifat teoritis, kualifikasi tamatan tidak jelas kaitannya dengan tingkat keahlian di dunia kerja, tidak adanya keseragaman antar jenis sekolah dalam pengorganisasian kurilkulumnyar metode penyampaian yang berpusat pada guru, fasilitas praktek kurang memadai, dan juiillah serta mutu guru yang sangat tidak memadai.
2. Pelita I (1969/1970 - 1973/1974) Pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita I masih berpusat pada pengadaan fasilitas dan identifikasi gagasan-gagasan inovatif sebagai persiapan Pelita II dalam pembenahan Pendidikan kejuruan agar sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan nasional. Meskipun demikian, gagasan-gagasan pada Peiita I secara terbatas telah diwujudkan, misalnya : rehabilitasi sebagian SMK, pembangunan 5 BLPT, pengembangan 12 IPT menjadi 8 STM Pembangunan dan 4 SMT Pertanian, dan pendirian PGPT.
3. Pelita II (1974/1975-1978/1979) Pada Pelita Il dilakukan pembangunan 4 BLPT baru (Yogyakarta, Semarang, Padang dan Palembang) untuk melayani praktek kejuruan para siswa dari 10 STM di sekitar BLPT-BLPT tersebut. Pengembangan guru-guru teknologi dan kejuruan ditakukan meialui program "in-service " yang diselenggarakan di Bandung (Teknologi) dan Ragunan (Kejuruan); pengadaan dan Pengcmuangan Guru untuk mencapai kualifikasi Sl dan D3 lewat ptogram "pre-senvice training " yang iebih terarah melalui kerjasama antara Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dengan Fakultas Keguruan Teknik IKIP Yogyakarta dan Padang; dan rehabiiitasi serta pembangunan sejumiah SMK baru. Dalam Pelita II, tepatnya tahun 1975, sekolah kesenian yang dibina oleh Direktorat jenderal Kebudayaan dialihkan ke
Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Dapat disarikan bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita II mulai dititik beratkan pada kesesuaiannya dengan kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan nasional. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembenahan pendidikan kejuruan untuk diselaraskan dengan struktur piramida tenaga kerja Indonesia saat itu. Namun demikianr konsep pendidikan kejuruan pada Pelita II memiliki banyak kelemahan, khususnya yang berkaiktan dengan penerapan kurikulum 1976 SMK, antara lain : a. Karena tujuan SMK terminal, maka SMK kurang diminati oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat yang berasal dari kalangan menengah dan atas. b. Pemisahan teori kejuruan dan praktek kejuruan akibat pengaruh konsep Bloom Taxonomy (yang memisahkan antara Kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor), menyebabkan kurang sambungnya antara teori kejuruan dan praktek kejuruan dan sering terjadi konflik antara keduanya. Akibatnya, program kejuruan tersebut kurang bermakna bagi penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja. c. Kurikulum 1976 SMK sangat sarat pedoman dan petunjuk pelaksanaan, sampai-sampai cara mengajarpun dibuatkan petunjuk pelaksanaan (juklak) melalui pendekatan PPSI. Akibatnya para guru menjadi kurang kreatif dan kurang berani mengambii prakarsa- prakarsa baru yang inovatif. d. Sangat sedikitnya jumlah jam, pelajaran Matematika menyebabkan rendahnya kemampuan berplkir logis tamatan SMK, sehingga mereka tidak berkembang di tempat kerja, apa!agi jika mereka meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi.
4. Pelita III (1979/1980 - 1983/1984) pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita III lebih cenderung melanjutkan Pelita II, dengan penekanan pada konsolidasi dan aktualisasi peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan perluasan kesempatan pendidikan kejuruan melalui pembangunan SMK baru.
5. Pelita IV (1984/1985 - 1988/1989) Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol pada Pelita IV adalah penyernpurnaan Kurikulum SMK 1976 menjadi kuriku!um SMK 1984. Berbeda dengan kuriku[um SMK 1976, maka jenis pengelompokkan pendidikan kejuruan Kurikulum SMK 1984 menjadi pertanian dan kehutanan, rekayasa, usaha dan perkantoran, kesehatan dan kemasyarakatan, kerumahtanggaan, dan budaya. pada dasarnya, kurikulum SMK 1984 (Lampiran 2) memiliki karakteristik sebagai berikut : Pertama, kurikulum SMK 1984 tidak hanya bersifat terminal seperti kurikulum 1976, tetapi juga memberi peluang siswanya untuk me!anjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kedua, adanya keterpaduan antara teori dan praktek kejuruan, yang sebelumnya terpisah. Karena itu, Kurikulum 1984 juga mengintegrasikan domain kognitif, afektif dan psikomotor yang sebelumnya terpisah-pisah. Ketiga titik beratnya pada proses tanpa mengabaikan hasil pendidikan. Keempat, istilah yang digunakan adalah kelompokr rumpun dan program studi. Kelima, kurikulum disusun dengan pola program inti dan program pilihan. Program inti wajib diikuti oleh semua siswa, sedang program pilihan mengacu kepada kemampuan profesional, disesuaikan dengan bakat, minat, dan kebutuhan lingkungan. Program pilihan dituangkan dalam berbagai macam program studi. Proporsi antara program inti dan program pilihan adalah 60% dibanding 40%. Keenam , tidak ada lagi semester bersama pada kelas 1 seperti kurikulum sebelumnya. Ketujuh, secara umum Kurikulum SMK 1984 masih meneruskan Kurikulum 1 976, hanya tidak bersifat terminai. Porsi jam mata pelajaran Matematika juga tetap kecil seperti kurikulum sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa Pelita IV pendidikan kejuruan telah mengupayakan terlaksananya amanat GBHN 1983 yang meliputi peningkatan daya tampung, mutu, dan relevansi. Namun demikian, peningkatan mutu akibat penambahan jumlah
siswa yang tidak sebanding dengan fasilitas dan guru yang tersedia, belum terealisasinya kerjasama secara melembaga antara pendidikan kejuruan dengan dunia kerja, realisasi kerjasama baru sampai pada tahap dialog yang sifatnya umum, penyelenggaraan pendidikan kejuruan masih sepenuhnya dilakukan oleh satu pihak, yaitu sekolah. Karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan pada saat itu juga cenderung "supply driven" dan "school based approach ".
6. Pelita V (1989/1990 - 1993/1994). realisasi pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita V, antara lain: (1) kemantapan sistem pendidikan menengah kejuruan yang tertuang dalam PP No. 29 tahun 1990, kelembagaan SMK dengan Kepmendikbud No. 490/U/1992, dan Kurikulum 1994 SMK dengan Kepmendikbud No. 080/U/1993; (2) penataan dan pemantapan
manajernen
sekolah
yang
dilakukan
melalui
pendekatan
Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS); (3) pengembangan fungsi PPPG " Kejuruan" menjadi Pusat Pengembangan Pendidikan Kejuruan; (4) perintisan unit produksi; (5) perintisan dan pengembangan institusi pasangan; serta (6) melanjutkan program rehabilitasi fasilitas fisik sekolah dan pembangunan sekolah baru.
Secara khusus pada tahun terakhir Pelita V (1993/1994) dilakukan pengkajian yang seksama terhadap keberadaan pendidikan menengah kejuruan pada saat itu, inventarisasi terhadap gagasan-gagasan inovatif, mempelajari ketentuan pada aturan perundang-undangan yang ada dalam kaitannya dengan GBHN 1993 sebagai langkah persiapan memasuki Repelita VI yang merupakan bagian penting dari PJP ll.
Bab III TUNTUTAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG 11
1. GBHN 1993 dan Repelita VI
Dalam GBHN 1993 ditetapkan bahwa : "Sasaran Umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua, adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin .... " Guna mencapai sasaran umum ini ditetapkan titik berat pembangunan pada bidang ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusiar dan didorong secara saiing memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya. Dari amanat GBHN 1993 dan jabarannya dalam Repelita VI, terasa kuat sekali bahwa pembangunan bidang pendidikan ditekankan pada peningkatan kualitas yang terkait dan sepadan dengan pembangunan di bidang-bidang lainnya melalui kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Bagi pembangunan pendidikan kejuruan, amanat GBHN 1993 dan Repetita VI tersebut rnemiliki implikasi bahwa kualitas dan relevansi perlu mendapat penekanan dan dijalankan melalui kemitraan antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha.
2. Ekonomi Baru Indonesia dan Tantangan Mutu Tenaga Kerja Saat ini Indonesia telah memasuki ekonomi baru, dari era pertanian menuju ke era industri dan jasa,yang ditunjukkan oleh gejala-gejala sebagai berikut: Pertama, perlahan dan pasti, struktur ekonomi Indonesia telah bergeser dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa. Pergeseran struktur ekonomi ini ditunjukkan oleh data distribusi presentase PDRB Propinsi menurut lapangan usaha termasuk Migas. Terlihat bahwa PDRB industri dan jasa (lainnya) semakin kuat. Data ini juga didukung oleh prosentase penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan 1995. . Ini berarti bahwa kesempatan kerja di sektor-sektor industri dan jasa akan semakin banyak pula. Kedua, dilihat dari sektor formal dan informal, perkembangan ekonomi di Indonesia masih menunjukan proporsi yang sama kuat antara sektor formal dan informal. dapat dilihat bahwa sampat pada tahun 2000, proporsi tenaga informal masih cukup besar yaitu 58,140/0. Dalam keadaan seperti ini pendidikan kejuruan
harus juga menyiapkan tamatannya untuk bekerja di sektor informal, tidak hanya di sektor formal saja. Ketiga, penyerapan tenaga kerja bagi tamatan SMK cukup menggembirakan. Angka pengangguran tamatan SMK relatif iebih kecil dibanding tamatan jenis dan jenjang pendidikan lainnya Tanda-tanda semacam ini memberi petunjuk bahwa perluasan pendidikan kejuruan dapat menjamin prospeknya. Namun demikian keje!ian terhadap pemilihan program studi yang ditawarkan harus dilakukan agar hasilnya benar-benar relevan dengan kebutuhan pembangunan pada umumnya, dunia usaha pada khususnya.
3. Globalisasi Perdagangan dan Investasi Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang tangguh untuk menghadapi persaingan bebas. Sadar tentang hal ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil langkah-langkah kebijakan yang mengarah pada kemampuan untuk mendukung terciptanya sumberdaya manusia yang mampu menghadapi persaingan bebas. Tahun 2003 (AFTA) dan 2020 (APEC) adalah waktu dimana Indonesia sudah harus melaksanakan semua jadwal komitmen berbagai sektor perdagangan bebas. Ini berarti bahwa lalu lintas perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara lain sudah tidak ada lagi hambatan tarif dan quota. Implikasinya bagi pengembangan mutu sumber daya manusia rasanya sudah jelas, yaitu Indonesia harus mempersiapkan Sumber daya manusia bermutu kelas dunia. Ini bukan hanya impian, akan tetapi merupakan visi yang harus diwujudkan.
Bab IV TINJAUAN TEORITIK DAN EMPIRIK PENDIDIKAN KEJURUAN Berikut akan disampaikan tinjauan teoritik dan empirik pendidikan kejuruan, dengan harapan agar para pembaca tidak ragu lagi terhadap keberadaan pendidikan
kejuruan. Tinjauan ini selanjutnya akan merupakan jastifikasi perubahan dari pendidikan kejuruan model lama menjadi pendidikan kejuruan model baru 1. Tinjauan Teoritik a. Pentingnya Tenaga Terampil banyak negara mulai menyadari pentingnya tenaga terampil bagi kemajuan bangsanya. Keunggulan industri suatu bangsa, boleh dikata sangat ditentukan oleh kualitas tenaga kerja terampil yang terlibat langsung dalam proses produksi, tenaga kerja yang berada di “front-Iine" (sebagaimana yang selalu dibanggakan oleh bangsa Jerman). Karena itu, mutu tenaga kerja pada bagian Iini harus ditingkatkan. Berikut adalah beberapa alasan pentingnya tenaga terampil : 1) Tenaga kerja terampil, adalah orang yang terlibat Iangsung dalam proses produksi barang maupun jasa, karena itu menduduki peranan penting dalam menentukan tingkat mutu dan biaya produksi. 2) Tenaga kerja terampil 'sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industrialisasi suatu negara. 3) Persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam. Tenaga kerja terampil adalah merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan global. 4) Kemajuan
teknologi
adalah
faktor
penting
dalam
meningkatkan
keunggulan. Dan penerapan teknologi supaya berperan menjadi faktor keunggulan tergantung pada tenaga kerja terampil menguasai dan mengaplikasikannya. 5) Orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja dan produktif. Semakin banyak warga suatu bangsa yang terampil dan produktif maka semakin kuat kemampuén ekonomi negara yang bersangkdtan. 6) Semakin banyak warga suatu bangsa yang tidak terampil, maka semakin tinggi kemungkinan pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi negara yang bersangkutan.
Secara teoritik, pendidikan kejuruan sangat dipentingkan karena dua ha]. Pertama, lebih 80 % tenaga kerja di lapangan kerja adalah tenaga kerja tingkat menengah ke bawah dan sisanya kurang dari 20% bekerja pada lapisan atas. Kedua, kenyataan menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil tamatan Sekolah Menengah Atas yang melanjutkan ke Pendidikan Tinggi. Karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan jelas merupakan hal penting.
Arti Pendidikan Kejuruan Rumusan arti pendidikan kejuruan bervariasi menurut subyektivitas si perumus. Rupert Evans (1978) misalnya, mendefinisikan bahwa pendldikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan 'yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidangbidang pekerjaan lainnya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan, sepanjang bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam daripada bidang studi lainnya dan kedalaman itu dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Dengan demikian Bahasa lnggris yang dipelajari lebih mendalam daripada lainnya untuk tujuan bekerja, maka bahasa lnggris tersebut merupakan pendidikan kejuruan. Menurut Undang-Undang No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional: ”Pendidikan Ke/uruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat beker/a da/am bidang tertentu. " Arti pendidikan kejuruan ini dijabarkan lebih spesifik dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yaitu: Pendidikan Menengah Ke/‘uruan adalah pendidikan pada jen/‘ang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pe/aksanaan jenis peker/aan tertentu. ” Fungsi Pendidikan Kejuruan Pendidikan kejuruan memiliki multi-fungsi yang kalau dilaksanakan dengan baik akan berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional. Fungsi-fungsi dimaksud antara lain meliputi : 1) Sosialisasi 2) Asimilasi dan konservasi budaya
3) kesatuan dan persatuan budaya 4) tidak sekedar berfungsi mengajarkan apa yang ada
Tujuan Pendidikan Kejuruan Banyak rumusan pendidikan kejuruan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, dua diantaranya adalah sebagai berikut : Rupert Evans (1978) merumuskan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: |(a) memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja; (b) meningkatkan pilihan pendidikan bagi setiap individu; dan (c) mendorong motivasi untuk belajar terus. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 29
tahun
1990
merumuskan
bahwa
”Pendidikan
Menengah
Ke/uruan
mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. " Tujuan yang dirumuskan PP 29 ini kemudian dijabarkan lagi dalam Keputusan Mendikbud No. 0490/ U/ 1990 seperti berikut: (a) mempersiapkan siswa untuk meianjutkan kejenjang pendidikan yang lebih dan/atau meluaskan pendidikan dasar; (b) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbai balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan sekitar; (c) meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan pengembangan ilmu, teknologi dan kesenian, serta (d) menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional.
Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan Menurut Charles Prosser (1925), prinsip-prinsip pend‘idikan kejuruan dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan d.imana siswa di'latih merupakan replika hingkungan dimana nanti ia akan bekeqa.
2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas Iatihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja. 3) Pendidikan kejuruan akan efektifjika dia melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri. 4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi 5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang dapat untung da)nya. 6) Pendidikan kejuruan akan efektifjika pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya. 7) Pendidikan kejuruan akanefektifjika gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetal‘nuan pada operdsi dan proses kerja yang akan dliakukan. 8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut. 9) Pendidikan
kejuruan
harus
memperhatikan
permintaan
pasar
(memperhatikan tanda-tanda pasar kerja). 10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai). 11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari pengaiaman para ahli pada okupasi tersebut. 12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. 13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif jika diiakukan lewat pengajaran kejuruan.
14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut 15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengaiir daripada kaku dan terstandar. 16) Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi
Bab V PERMASALAHAN DAN PERLUNYA PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN 1. Konsep Konsep pendidikan kejuruan model konvensional yang dimiliki oleh lndonesia sampai dengan akhir PJP l, dapat digambarkan dengan ciri-ciri .sebagai berikut : a. Slipply Driven, totalitas pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan pendidikan (Pengajaran), penilaian hasil belajar (evaluasi) dilakukan secara sepihak oleh para pelaku pendidikan b. School Based Program, seluruh kegiatan pendidikan dilakukan di sekolah, 40 jam pelajaran per minggu (30 jam a' 60 menit) rata-rata setiap hari belajar di sekolah dari pukul 07:00 sampai pukul 13:30. Sistem konvensional selalu berusaha melengkapi dan memodernisasi peralatan praktek kejuruan dengan maksud menghasilkan tamatan yang berkualitas profesional dan siap pakai, padahal yang terjadi adalah pemborosan, karena secara teoritis tidak mungkin. Selengkap apa dan semodem apapun fasilitas praktek pendidikan kejuruan yang ada di sekolah, kegiatannya akan tetap bersifat simulasi (tiruan), dan proses pengajaran simulasi tidak akan pernah mencapai keahlian yang berkualitas profesional. Kenyataan yang di hadapi di SMK pada kondisi akhir PJP I, "setting” sekolah dengan program, kegiatan, perilaku, kebiasaan dan sistem nilainya membentuk kesenjangan antara "dunia sekolah", dengan “dunia industri". Berbagai kebiasaan dan perilaku tersebut pada akhirnya membentuk “dunia sekolah" yang jauh berbeda dengan “dunia industri" yang bercirikan budaya kerja industri. Berbagai kebiasaan dan perilaku
yang pada akhirnya membentuk “sikap” tamatan SMK yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia industri antara Iain:
Tamatan SMK terbiasa santai dengan jam belajar dan bekerjai’ yang sedikit, padahal di industri harus bekerja keras dengan jam kerja rata-rata 40 jam per minggu, bahkan sering bekerja sampai malam hari.
Tamatan SMK kurang memiliki kepedulian dan keterkaitan pada mutu, karena di sekolah kurang mengajarkan resiko kerugian atas kegagalan, sedangkan di industri kegagalan adalah kerugian yang harus ditanggung oleh pekerja dan perusahaan.
Di SMK Pertanian misalnya, banyak kegiatan keahlian yang dikerjakan pada pagi, sore atau malam hari (misalnya mengawinkan ikan, memerah susu, menyadap karet dsb). Padahal sekolah hanya menyediakan jam kerja, dari p/ukul 07:00 sampai dengan pukul 13:30.
c. Tidak ada Recognition of Prior Learning, membuat program pendidikan kejuruan menjadi kaku dan tidak efektif. Keahlian kejuruan pada dasarnya diperoleh dimana saja dan melalui cara apa saja. Bisa diperoleh di sekolah, di pusat-pusat pelatihan, melalui pengalaman bekerja di dunia kerja, atau melalui berbagai pengalaman hidup di masyarakat. Tetapi yang terjadi, keahlian yang diperoleh di .. luar SMK tidak diakui dan tidak dihargai oleh sistem SMK. Bahkan seorang siswa SMK yang memperoleh kesempatan bekerja di dunia kerja, akan mengalami kesulitan masuk kembalimeneruskan sekolahnya, dan apabila diterima, tidak memperole'n penghargaan atas keahlian ya'ng diperoleh dari pengalaman kerjanya.
d. “Dead End", setelah tamat dari SMK, masuk ke dunia kerja, seakanakan itulah akhir karir pendidikan tamatan SMK. Belum ada system pendidikan kejuruan yang menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh tamatan SMK dari pengalaman kerjanya, yang sebenarnya dapat diperhitungkan sebagai modal untuk mengikuti pendidikan kejuruan yang lebih tinggi dan sekaligus memotivasi tamatan SMK berprestasi dan belajar lebih banyak dari pengalaman kerjanya. e. Guru Kejuruan yang tidak berpengalaman industri. Secara teoritis guru hanya akan mengajarkan apa yang dia tahu, apa yang dia bisa. dan mentransfer nilai-nilai melalui perilaku kerjanya. Guru SMK, yang diperoleh melalui tamatan segar dari lKlP, yang tidak memiliki pengalaman kerja industri. dan sulit mema’nami wawasan mutu (sense of quality), wawasan pasar (sense of economy/sense of business), wawasan keunggulan (sense of competitive advantage), wawasan nilai tambah (sense of added value). Bahkan sikap guru tamatan IKIP, sangat kuat dipengaruhi oleh “perilaku dan kebiasaan dosen" yang mengajar mereka, dengan ciri “kebebasan akademik” yang kurang pas dengan kebutuhan SMK. f. Pendidikan merupakan tanggungjawab Depdikbud, adalah konsep berpikir yang dimiliki oleh masyarakat industri, para pelaku pendidikan, dan masyarakat luas. Dengan konsep berpikir seperti ini, masyarakat industri kurang merasa peduli dan tidak merasa terikat untuk turut serta memikirkan dan melaksanakan pendidikan kejuruan. Bahkan pada awal pertumbuhan era industrialisasi Indonesia, kebanyakan industriawan berpikiran bahwa pendidikan dan pelatihan tenaga kerja itu adalah cost, dan para industriawan tersebut masih mengandalkan daya saingnya pada upah buruh murah, belum pada kualitas tenaga kerjanya. Di sisi lain, para pelaku pendidikan juga memiliki konsep berpikir yang Sama. Para pembina dan pelaku pendidikan kejuruan di SMK berpendapat “merekalah yang menjadi pemilik SMK, merekalah yang paling
bertanggungjawab tentang SMK, mereka jugalah yang paling berhak, paling tahu, dan paiing bisa melaksanakan program SMK". Konsep berpikuir seperti ini telah memperlebar jarak antara “dunia pendidikan ke’juruan" dengan “dunia industry”. g. Pendidikan kejuruan masih berorientasi pada penyiapan keahlian untuk mengisi keperluan sektor formal, padahal lapangan kerja yang terbuka sangat potensial, dan masih lebih besar di sektor informal. h. Pembiayaan pendidikan kejuruan (di SMK Negeri) masih sangat tergantung pada subsidi pemerintah pusat (sangat dependable), padahal potensi masyarakat sangat besar untuk digali, dan kemampuan keuangan pemerintah akan selalu terbatas. 2. Program Program pendidikan kejuruan yang diformulasikan dalam Kurikulum 1994 (yang disiapkan pada Pelita V), masih merupakan produk dari konsep seperti tersebut di atas, cenderung bersifat ”Supply Driven ” untuk ”School Based Program Sekalipun dalam proses penyusunan Kurikulum 1994 telah melalui proses validasi sebagai implementasi prinsip relevansi, namun yang menyusun kurikulum tersebut adalah pakar pendidikan dari lingkungan Depdikbud. Dan sekalipun telah dialokasikan satu catur wulan untuk kegiatan praktek kerja lapangan, programnya disusun oleh sekolah dan pelaksanaannya dititipkan tanpa pengawasan ke lapangan kerja.
Beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari program pendidikan Kurikulum 1994 adalah :
a. Program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran matamata pelajaran, dan tidak terfokus pa’da pencapaian kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. b. Penjurusan yang dimulai dari awal (tahun pertama) kurang memberikan dasar yang kuat dan bekal dasar yang memadai untuk fleksibilitas menghadapi perkembangan masa mendatang. c. Muatan program yang akan menjadi kompetensi kunci menghadapi pelkembangan masa mendatang beium memadai. Misalnyd jam pelajaran Matematjka dan llmu Pengetghuan Alam masih sedukit (bahkan ada yang berak'nir di tingkat H). Muatan untuk kemampuan berkomunikasi,
kemampuan
bekerjasama,
dan
kemampuan
menggunakan informasi, juga masih belum terprogram dengan jelas. Jumlah jam pelajaran per minggu (42 jam pelajaran = 31,5 jam a' 60 menit) belum merupakan jam yang membiasakan siswa memasuki jam kerja dunia industri. 3. Operasional Pada akhir PelitaV ditemukan banyak perilaku salah dalam kegiatan belajar mengajar di SMK (Iihat Tabel 2), bahkan terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima menjadi suatu kewajaran. Beberapa contoh yang ditemukan, antara lain : a. Pelajaran praktek dasar kejuruan tidak diajarkan secara mendasar. Kesalahan yang diterima menjadi suatu kewajaran, antara Iain : mutu hasil kerja dibiarkan apa adanya tanpa standar mutu; guru yang kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat l; dan alat yang sudah tua atau sudah tidak baik dipakai oleh siswa tingkat l. Ada sikap dan pola pikir yang salah, seakan-akan pada tingkat pertama, tingkat awal, mutu itu tidak terlalu penting. Padahal, untuk mendapatkan suatu program pendidikan dan pelatihan yang bermutu tinggi, harus diawali dengan dasar yang kuat dan benar.
b. Dalam pelajaran praktek, siswa sering dibiarkan bekerja dengan cara yang salah. Tadak mengikuti langkah kerja yang benar, posisi tubuh dan gerak tangan tidak diperhatikan. Padahal secara teknis, kualitas dan produktivitas hasil kerja seseorang sangat ditemukan oleh cara kerja yang benar. Jumlah waktu pengalaman kerja seseorang dapa’c menlingkatkan kualitas dan produktivitas hasil kerja, apabi!a dikerjakan dengan dasar yang benar dan cara kerja yang benar. Membiarkan tiga atau lebih siswa bekerja pada satu mesin bubut; membiarkan siswa bekerja d.i Iiantai padahal'a‘da rheia kerja; membiarkan siswa memakai pahat untuk fungsi obeng dan sebaliknya obeng berfungsi sebagai pahat; membiarkan siswa memakai kawat untuk mengganti baut (dengan alasan kalau tidak ada rotau akarpun berguna); adalah contoh-contoh cara kerja yang salah, tetapi dibiarkan oleh guru, sebagai hal yang wajar. c. Membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja “asal jadi". Banyak kegiatan praktek siswa dikerjakan hanya formalitas telah mengerjakan saja, tanpa adanya standar mutu yang harus dicapai. Guru memang memberi angka, tetapi angka adalah “angka guru", tidak ada hubungan dengan standar mutu di dunia kerja. Kebiasaan siswa mengerjakan pekerjaan dengan kualitas asal jadi membentuk sikap dan kebiasaan tamatan SMK kurang memahami dan kurang peduli terhadap mutu/tidak memiliki ”sense ofqua/ity” dan ”sense of added value". d. Kegiatan praktek siswa tidak mengikuti prinsip 'belajar tuntas (mastery learning). Misalnya, pada minggu tertentu siswa mengerjakan satuan pekerjaan tertentu, dan tidak selesai. Namun sekalipun pekerjaan tersebut belum/tidak selesai, pada minggu berikutnya siswa sudah beralih pada satuan pekerjaan berikutnya; pekerjaan inipun tidak selesai sampai tuntas, minggu berikutnya sudah beralih lagi ke satuan pekerjaan yang lain lagi. Sehingga bisa terjadi, seorang siswa yang belajar selama tigq tahun di SMK, tidak pernah mengerjakan satupun
satuan pelajaran sampai tuntas. Akibatnya, setelah siswa tamat dari SMK, tidak memiliki kemampuan dan tidak percaya diri untuk mengerjakan pekerjaannya. e. Siswa sering bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan guru. Guru pasif, bahkan ada yang menghilang setelah membagi-bagi pekerjaan kepada siswa. Keadaan seperti ini yang membuat siswa semaunya, bisa dengan cara yang salah, dan hasui kerja asal jadi. Siswa sering dibiarkan bekerja tanpa memperhatikan persyaratan keselamatan kerja. Akibatnya ada siswa yang mengelas tanpa kacamata pélindung dan masker e.indung untuk mulut. Scko!ah kurang menyadari, bahwa siswa mungkin belum merasakan akibat negatif pada saat itu, tetapi sangat membahayakan di kemudian hari. f. Masih sering dijumpai kebiasaan siswa bekerja praktek dengan cara yang tidak bertanggungjawab. Misalnya tidak mengisi kartu pemakaian mesin sebelum dan sesudah memakai mesin, tidak\ merapihkan dan membersihkan mesin setelah selesai digunakan, dan tidak merapihkan tempat bekerja setelah selesai dipakai. g. Masih sering ditemukan siswa bekerja praktek tanpa diser'tai lembar kerja. Guru hanya menjelaskan pekerjaan secara lisan, dan siswa mengerjakannya hanya dengan cara "kira-kira". h. Masih banyak guru yang berada di sekolah hanya pada jam mengajarnya saja, dan perilaku seperti ini dianggap sebagai suatu yang wajar. Padahal setiap guru sebagai pegawai negeri harus berada di sekolah selama 37,5 jam (a’ 60 menit) per minggu, dan sisa waktu di luar jam mengajar seharusnya digunakan untuk perencanaan program pengajaran, penyusunan bahan ajar, evaluasi hasil pengajaran, memberi bimbingan pada siswa yang memerlukan pelayanan khusus, dan mengembangkan materi ajarannya.
i. Masih ditemukan ada gum yang mengajar dengan cara menulis di papan tulis. Bahkan ditemukan siswa yang menulis bahan ajar di papan tulis, dan gurunya sendiri menghilang. j. SMK kurang memiliki wawasan ekonomi. Sering ditemukan peralatan mesin yang ada di sekolah, dipakai dengan jam pemakaian yang rendah, atau jam pemakaian bengkel yang rendah, tanpa ada rasa bersalah (tanpa guilty feeling) pada guru, atau kepala bengkel. Bahkan banyak sekolah (dengan biaya investasi besar)‘hanya dipakai dari puku|07100 sampai pukul 13:30 setiap hari, tanpa disadari oieh manajemen sekolah bahwa ketidakterpakaian pada siang-soremalam hari. adalah suatu pemborosan (waste). k. Kurang kepedulian untuk membentuk “etos-kerja". Perilaku, kebiasaan dan iklim sekolah secara menyeluruh sulit diharapkan berperan untuk membentuk etos keq'a siswa. Etos kerja, sebagai suatu dorongan yang timbul dari diri seseorang (bersifat intrmsik) untuk mengejar mutu dan produktivitas yang tinggi, hanya mungkin terjadi apabila iklim belajar mengajar di sekolah kondusif untuk itu. Dengan gambaran permasalahan yang diuraikan di atas, baik permasalahan pada konsep, program dan operasionaln)'a,-~perbaikan pendidikan menengah kejuruan memerlukan pembaruan secara menyeluruh, bersifat terobosan, tidak cukup hanya dengan cara-cara konvensional, atau pgrsifat tambal sulam. Konsep lama yang bersifat supply driven, tidak dapat lagi dipertahankan. Pendidikan kejuruan akan bermakna dan akan menjadi efektif, hanya dengan cara melibatkan pihak dunia kerja berperan serta dalam totalitas program pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikannya, pelaksanaan, evaluasi, dan pemasaran tamatannya. Dunia kerja yang lebih tahu kebutuhannya, dan dunia kerja adalah pihak yang langsung berhadapan dengan dampak kemajuan IPTEK. Karena itu, pihak dunia kerja perlu dan harus dilibatkan secara tersistem.
Program yang diformulasikan dalam kurikulum 1994juga perlu diperbaiki, supaya lebih berorientasi pada pencapaian kompetensi dan mampu memberi bekal dasar yang kuat menghadapi perubahan dan tantangan masa mendatang. Gambaran perilaku-salah seperti dikemukakan di atas, telah terlanjur diterima sebagai kewajaran, sesuatu yang tidak masalah. Kebiasaan salah yang menjadi wajar ini, telah ikut membentuk "sikap salah" dan “sistem nilai salah" pada para pelaku pendidikan kejuruan. Untuk mengubah sikap salah dan sistem nilai salah ini memang memerlukan waktu (sesuai dengan teori perubahan perilaku), tetapi harus dimulai dan dilakukan secara taat azas (konsisten) dalam kurun waktu yang agak lama. Momentum waktu memasuki tahun pertama PJP ll,, tahun pertama . Rapelita VI tahun 1994/1995, adalah waktu yang tidak boleh dilepas begitu saja. Dan kebijakan Link and Match yang diperkenalkan pada tahun 1993/1994 (tahun terakhir Pelita V), adalah suatu kebijakan yang dibutuhkan pendidikan kejuruan. BAB 6 WAWASAN LINK AND MATCH SEBAGAI DASAR PEBAHARUAN
Sistem pendidikan sekolah kejuruan dengan seting konvensional sudah tidak dapat lagi dipertahankan karena menganut prinsip “suply and driven” dan “school based program” yang dinilai sangat lamban dan tidak mampu mengikuti perkemangan jaman dengan berbagai perubahan yang terjadi. Oleh karena itu diperkenalkan sistem “link and match” sebagai kebijakan operasional yang diuraikan sebagai berikut. 1. Wawasan Sumber Daya Manusia Wawasan sumberdaya manusia menuntut supaya penyelengaraan pendidikan terhadap SMK tidak hanya sekedar layanan sosial masyarakat, akan tetapi harus dapat benar-benar diandalkan dan memiliki kontribusi dalam kemajuan ekonomi dan mengurangi angka pengangguran sehingga biaya yang di investasikan oleh pemerintah dalam pembangunan dan biaya operasional sekolah kejuruan tidak hanya sekedar penyelenggaraan pendidikan demi pendidikan.
Pegukuran tingkat keberhasilan sekolah kejuruan menggunakan sistem “rate of return” biaya operasional sekolah kejuruan dengan tingkat keberhasilan lulusan terserap dalm dunia kerja. 2. Wawasam Masa Depan Wawasan masa depan “link and match” mengandung pemikiran bahwa prokduk pendidikan masa kini adalah hasil dari roses pendidikan pada masa lalu, dengan artian bahwa kualitas peserta didik SMK dipengaruhi dengan kualitas pendidikan selama tamatan pendidikan dasar selama sembilan tahun. Lehkarena itu hasil dari produk pendidikan sekolah kejuruhan juga dipengaruhi oleh kualitas pendidikan yang diterima oleh lulusan selama tiga tahun menjalani pendidikan kejuruan di SMK, sehingga sebagai lulusan sekolah kejuruan diharapkan mengandung muatan: a. Kompetensi prduktif, yang memunginkan tamatan SMK dapat terserap lapangan pekerjaan setelah lulus. b. Memiliki keunggulan dalam faktor kompetitif untuk dapat menghadapi persaingan dan kerja sama di dunia kerja. c. Memiliki bekal dasar kemampuan pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai dasar menguasai perkembangan iptek. 3. Wawasan Mutu Wawasan “link and match”untuk mengukur mutu tamatan sekolah kejuruan berdasarkan mngukur kompetensi tenaga kerja berupa kualitas hasil kerja dan tingkat produktifitasnya, beberapa prinsip yang diperhatikan dalam penerapan wawasan mutu sesuai kebijakan link and match, antara laim: a. Ukuran yang diunakan untuk mengukur tingkat kompetensi lulusan SMK menggunakan uji kompetnsi yang diselengarakan oleh pihak dunia kerja dengan standar ukuran dunia kerja. b. Tingkat produktivitas kerja dan kualitas hasil kerja seseorang sangat dipengaruhi oleh cara kerja, sehingga SMK dituntut untuk dapat melatih penggunaan iptek serta membentuk sikap pembiasaan kerja yang benar. c. Guna mendapatkan standar hasil mutu sesuai ukuran dunia kerja, SMK diharapkan dapat berkerja sama dengan industri dalam mewujudkan standar mutu dan standar kerja sesuai dalam dunia industri.
4. Wawasan Keunggulan Wawasan keunggulan “link and match” memberikan pandangan bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi akan memiliki keunggulan dalam persaingan di dunia kerja dan faktor keunggulan akan membuat indonesia dapat bersaing secara kompetitif dalam dunia industri
dan perdagangan. Sehingga lulusan dari sekolah euruan diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk persaingan idustri dan pedagangan global. Dalam menghadapi persaingan global pendidikan kejuruan perlu memperhatikan hal-hal berikut. a. Program pendidikan kejuruan perlu dibekali kemampuan berfikir logis, kemampuan berkomunikasi, kemampuan bererja sama, kemampuan menggunakan data, dankemampuan menguasai IPTEK untuk dapat mampu berkontribusi dalam persaingan global. b. SMK harus dapat menimbulkan iklim persaingan di skolah dengan cara seperti memberikan penghargaan kepada siswa yang berprestasi dan mengikuti perlombaan sehingga siswa dapat terpacu untuk dapat mengembangkan potensi diri. c. SMK harus menerapkan metode pembelajaran yang menuntut siswa untuk kreatif dengan tingkat keberhasilan tertentu dan tidak mudah merasa puas dengan hasil yang dicapai. d. SMK harus dapat menimbulkan stigma bahwa persaingan bukanlah hal yang menakutkan akan tetapi persaingan adalah salah satu ajang yang digunakan untuk memacu semangat dan kreaktifitas fiswa. 5. Wawasan Profesionalisme Wawasan profesionalisme yang sesuai dengan kebijakan link and match mengharapkan sekolah dapat membentuk nlai provesionalisme bukamn melalui metode ceraamah verbal melainkan melalui pembiasaan pada proses pembelajaran selama tiga tahun di sekolah kejuruan. Sehingga sekolah mampu berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya industri , antara lain dengan: a. Guru di sekolah harus dapat memposisikan dirinya sebagai contoh yang bersikap provesional. b. Manajemen sekolah harus dapat menciptakan iklim organisasi skolah. 6. Wawasan Nilai Tambah Wawasan nilai tambah sesuai dengan kebijakan “link and match” menuntun lulusan SMK berproses sekaligus menghasilkan tamatan yang berwawasan nilai tambah untuk ini SMK harus memperhatikan nilai-nlai berikut: a. Kualitas seorang lulusan SMK jika dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya sebelum masuk sekolah kejuruan harus memiliki nilai tambah berupa kemampuan sesuai dengan bidangnya, jika lulusan SMK masih menganggu maka dapat dikatakan tidak memiliki nilai tambah.
b. Kualitas barang dan jasa lulusan SMK harus lebih tinggi jika dibandingkan dengan kualitas dari lulusan non SMK. c. Dengan kemampuan yang dimiliki lulusan SMK diarapkan dapat memiliki kemampuan memilih dan membuat pilihan, serta mengerjakan pekerjaan yang memberi nilai tambah yang lebih tinggi. 7. Wawasan Efisiensi Wawaasan efisiensi yang sesuai dengan kebijakan “link and match” adalah lulsan SMk harus memberikan hasil lulusan yang memiliki daya guna dalam persaingan perdagangan maupun persainagn industi, hal ini harus sebanding dengan biaya investasi penddidikan SMK yang cukup tinggi sehingga diharapkan lulusan SMK memiliki daya guna yang tinggi pula agar tingkat efisiensi produk lulusan SMK sebanding dengan investasi biaya pendidikan yang diberikan oleh pemerintah.
BAB VII DIMENSI PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN Hakekat pembaruan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebijakan link and match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumberdaya manusia. Berbagai dimensi pembaruan yang diturunkan dari kebijakan link and match, antara lain adalah : 1. Perubahan Dari Pendekatan Supply Driven Ke Demand Driven. Pendekatan lama yang bersifat supply driven dilakukan secara sepihak penyelenggara pendidikan kejuruan, mulai dari kegiatan perencanaan, penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan dan evaluasinya. Pendekatan lama yang telah berproses sejak lama dan telah dianggap menjadi sesuatu yang baku, telah membentuk sistem nilai dan sikap, seolah-olah "pendidikan kejuruan itu adalah urusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan bahkan dalam sikap para pelaku pendidikan kejuruan terbentuk kesan, bahwa merekalah yang paling berhak, palingtahu, dan paling bisa melaksanakan pendidikan kejuruan".Dengan kebijakan link and match, terjadi perubahan dari pendekatan supply driven ke pendekatan demand driven. Pengertian demand driven, mengharapkan justru pihak dunia usaha, dunia industri, dunia kerja yang seharusnya lebih berperan menentukan, mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam perencanaan pembangunan pendidikan kejuruan, pihak dunia kerja ikut menentukan, di mana SMK harus dibangun, dan jurusan atau program studi apa yang diperlukan. Dalam penyusunan program pendidikan (kurikulum), dunia kerja ikut menentukan standard kompetensi yang harus dicapai setiap
2.
3.
4.
tamatan SMK, karena mereka yang lebih tahu kebutuhan di dunia kerja. Dalam pelaksanaan, dunia kerja juga ikut berperan serta, karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur dengan ukuran dunia kerja. Perubahan Dari Pendidikan Berbasis Sekolah (School Based Program) Ke Sistem Berbasis Ganda (Dual Based Program). Model lama dengan sitem berbasis sekolah dimana program pendidikan sepenuhnya dan seutuhnya dilaksanakan di sekolah, telah membiasakan sekolah kejuruan terasing dari dunia kerjanya, dan sekolah membentuk dunianya sendiri yang disebut dunia sekolah. Dunia sekolah tidak mengenal kegagalan sebagai kerugian financial, karena segala sesuatu itu bisa diulang. Dunia sekolah terbiasa santai, karena tidak mengenal delivery time. Dunia sekolah kurang mengenal sense of quality karena hasil pekerjaannya tidak terkait dengan pasar (market) ke pendidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya program pendidikan kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang diperoleh melalui prinsip learning by doing. Pendidikan yang dilakukan melalui proses bekerja di dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan dan nilainilai dunia kerja yang tidak mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan nilai tambah, dan pembentukan etos keria. Perubahan Dari Model Pengajaran Yang Mengajarkan Mata-Mata Pelajaran Ke Model Pengajaran Berbasis Kompetensi. Perubahan ke model pengajaran berbasis kompetensi, bermaksud menuntun proses pengajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi ini sekaligus memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan, dari model lama berbentuk silabus (berisi uraian mata pelajaran yang harus diajarkan) ke dalam kemasan berbentuk paket-paket kompetensi. Perubahan Dari Program Dasar Yang Sempit (Narrow Based) Ke Program Dasar Yang Mendasar, Kuat Dan Luas (Broad Based), Program pendidikan lama pada SMK (Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994), menganut pola penjurusan bidang keahlian yang sempit mulai dari tingkat I. Selain itu, dalam perilaku pengajaran di tingkat I, pada umumnya masih dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak penting sehingga guru yang kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat I, alat yang sudah tua/sudah rusak dipakai di tingkat I, dan disiplin belajarpun dibiarkan longgar di tingkat I. Kebijakan link and match menuntut adanya pembaruan, mengarah kepada
5.
6.
pembentukan dasar yang mendasar, kuat, dan lebih luas. Sistem baru yang berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan menganut prinsip, tidak mungkin membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas dan yang memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan pembentukan dasar (pondasi) yang kuat. Pengalaman di negara maju juga telah menunjukkan, bahwa perkembangan iptek telah menimbulkan kemungkinan terjadinya perubahan pekerjaan di dunia kerja, misalnya ada pekerjaan tertentu yang telah diambil alih oleh robot. Karena itu, sistem baru harus memberi dasar yang lebih luas tetapi kuat dan mendasar, yang memungkinkan seseorang tamatan SMK memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap kemungkinan perubahan pekerjaan. Perubahan Dari Sistem Pendidikan Formal Yang Kaku, Ke Sistem Yang Luwes Dan Menganut Prinsip Multy Entry, Multy Exit. Pengertian pendidikan formal telah menggiring pendidikan menengah kejuruan pada format pendidikan umum, antara lain dengan batasan usia peserta didik, harus mengikuti sistem catur wulan, mengikuti system penjadwalan mingguan klasikal, mengikuti kalender ulangan dan libur yang sama dengan kalender persekolahan secara umum. Sejalan dengan perubahan dari supply driven ke demand driven, dari schools based program ke dual based program, dari model pengajaran mata pelajaran ke program berbasis kompetensi, diperlukan adanya keluwesan yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja industri, dan pelaksanaan praktek kerja industri, dan pelaksanaan prinsip multy entry, multy exit. Prinsip ini memungkinkan siswa SMK yang telah memiliki sejumlah satuan kemampuan tertentu (karena program pengajarannya berbasis kompetensi), mendapatkan kesempatan kerja di dunia kerja, maka siswa tersebut dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan kalau siswa tersebut ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan program SMKnya, maka sekolah harus membuka diri menerimanya, dan bahkan menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh siswa yang bersangkutan dad pengalaman kerjanya. Selain itu, sistem program berbasis ganda juga memerlukan pengaturan praktek kerja di industri sesuai dengan aturan kerja yang berlaku di industri yang tidak sama dengan aturan kalender belajar di sekolah.
Perubahan Dari Sistem Yang Tidak Mengakui Keahlian Yang Telah Diperoleh Sebelumnya. Ke Sistem Yang Mengakui Keahlian Yang Diperoleh Dari Mana Dan Dengan Cara Apapun Kompetensi Itu Diperoleh (Recognition Of Prior Learning).
Kenyataan empirik membuktikan, bahwa pengalaman kerja seseorang mampu membentuk kemampuan mengerjakan sesuatu pekerjaan(kompetensi) bagi orang tersebut. Tetapi sistem lama pendidikan kejuruan tidak mengakui kompetensi seseorang yang diperoleh dari pengalaman kerja, dan hanya mengakui apa yang didapatkan siswa dari hasil proses belajar mengajar di sekolah. Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Sistem ini akan memotivasi ban yak orang yang sudah memiliki kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bekal untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk ini SMK perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrumen dan kemampuan menguji kompetensi seseorang darimana dan dengan cara apapun kompetensi itu didapatkan. 7. Perubahan Dari Pemisahan Antara Pendidikan Dengan Pelatihan Kejuruan, Ke Sistem Baru Yang Mengintegrasikan Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan Secara Terpadu. Sistem lama selalu berusaha membuat batasan yang tegas antara pendidikan kejuruan dengan pelatihan kejuruan, sekalipun batasan itu tidak memberikan arti yang bermakna. Dalam kenyataan di dunia kerja, kebanyakan perusahaan memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan kompetensi dan produktivitas kerja orang tersebut tanpa melihat apakah kompetensi itu diperoleh dari satuan pendidikan, pelatihan atau pengalaman kerja. Pembatasan yang selalu dipaksakan justru menutup peluang yang didapat oleh seseorang dari proses pelatihan untuk melanjutkan pendidikannya secara berkelanjutan. Program baru pendidikan yang mengemas pendidikannya dalam bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi. Sistem baru akan memberikan artikulasi antara program pelatihan kejuruan dan program pendidikan kejuruan. Untuk memudahkan proses Dimensi Pembaruan Pendidikan Kejuruan 75 artikulasi, beberapa SMK akan sekaligus didorong dan disiapkan melaksanakan program pelatihan berbasis kompetensi. 8. Perubahan Dari Sistem Terminal Ke Sistem Berkelanjutan. Sistem lama kurang memberi peluang bagi tamatan SMK untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (cenderung dead end). Sekalipun kesempatan untuk melanjutkan terbuka, tetapi tetap harus melalui proses seleksi dengan materi ujian seleksi yang sama dengan tamatan SMU dan tidak memberi penghargaan terhadap kompetensi kejuruan yang didapat dari SMK serta potensi keahlian yang diperoleh dari pengalaman kerja. Sistem baru tetap mengharapkan dan mengutamakan tamatan SMK langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga kerja produktif, dapat memberi return atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui ban yak tamatan SMK yang potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih
berkembang lagi setelah bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (misalnya program Diploma), melalui suatu proses artikulasi yang mengakui dan menghargai kompetensi yang diperoleh dari SMK dan dari pengalaman kerja sebelumnya. Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien diperlukan "program antara" (bridging program) guna memantapkan kemampuan dasar tamatan SMK yang sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjut ke program pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa SMK potensial (terpilih), disiapkan untuk mampu melaksanakan program Diploma. 9.
Perubahan Dari Manajemen Terpusat Ke Pola Manajemen Mandiri (Prinsip Desentralisasi). Pola manajemen lama yang cenderung mengarahkan dan mengendalikan secara ketat dari Pusat, telah terasa membentuk sikap ketergantungan yang berlebihan dari para pelaksana pendidikan di lapangan, membuat mereka tidak percaya diri melaksanakan tugas profesinya tanpa petujuk pelaksanaan dari pusat, kurang kreatif, kurang inisiatif dan tidak inovatif. Pola baru manajemen mandiri dimaksudkan memberi peluang kepada Propinsi dan bahkan sekolah untuk menentukan kebijakan operasional, asal tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan nasional dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis, supaya memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan berimprovisasi dan melakukan inovasi. Kunci utama untuk memandirikan manajemen SMK adalah dengan mencari, menyiapkan, dan menempatkan Kepala Sekolah yang berkualitas unggul, serta didukung oleh sistem motivasi yang terpercaya (reliable) yang secara taat azas memberikan penghargaan kepada mereka yang pantas dihargai, dan menindak mereka yang pantas ditindak.
10. Perubahan Dari Ketergantungan Sepenuhnya Dari Pembiayaan Pemerintah Pusat, Ke Swadana Dengan Subsidi Pemerintah Pusat. Sistem lama SMK yang lebih banyak menggantungkan dirinya pada alokasi biaya operasional dari pusat, cenderung membuat sekolah pasif, tidak kreatif, kurang berinisiatif mencari tambahan dana, walaupun alokasi dana operasional yang disediakan oleh pemerintah pusat tidak memadai. Di sisi lain, ditemukan beberapa SMK Swasta yang sepenuhnya mandiri, bisa berkembang meningkatkan mutu sekolahnya tanpa dukungan dana dari luar. Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan manajemen sekolah, dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan dapat mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi alokasi dana dari pemerintah pusat bersifat membantu atau subsidi. Sistem ini juga diharapkan mampu mendorong SMK berpikir dan berperilaku ekonomis.
Bab VIII PENDIDIKAN SISTEM GANDA Salah satu bentuk nyata implementasi kebijakan link and match adalah pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan Sistem Ganda pada dasarnya mengandung dua prinsip utama, yaitu : 1. Program pendidikan kejuruan pada SMK adalah program bersama (joint) antara SMK dengan industry. Prinsip ini merupakan konkritisasi peralihan dari supply driven ke demand driven. Peralihan dalam arti kewenangan dan tanggung jawab secara sepihak oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke arah kebersamaan dan tanggung jawab bersama dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan kejuruan. 2. Program pendidikan kejuruan dilakukan di dua tempat, sebagian program yaitu teori dan praktek dasar kejuruan dilaksanakan di sekolah (SMK), dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keahlian produktif yang diperoleh melalui kegiatan bekerja di dunia kerja. Pola penyelengggaraan pendidikan di dua tempat ini, akan memaksa SMK mendekatkan dunia sekolah ke dunia kerja, menyesuaikan isi dengan kebutuhan dunia kerja, untuk mempermudah transfer nilai-nilai dan perilaku kerja sebagaimana yang berlaku di dunia kerja. 1. Konsep Pendidikan Sistem Ganda Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Dalam pengertian tersebut, tersirat ada dua pihak yaitu lembaga pendidikan dan pelatihan, dan lapangan kerja (industri/perusahaan atau instansi tertentu) yang secara bersama-sama menyelenggarakan suatu program pendidikan dan pelatihan kejuruan. Kedua belah pihak secara sungguh-sungguh terlibat dan bertanggung jawab mulai dari tahap perencanaan program, tahap penyelenggaraan, sampai pada tahap penilaian dan penentuan kelulusan peserta didik, serta upaya pemasaran tamatannya. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG bertujuan untuk : 1) Menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja, 2) Meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara lembaga pendidikan dan
pelatihan kejuruan dengan dunia kerja, 3) Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional, dengan memanfaatkan sumberdaya pelatihan yang ada di dunia kerja, 3) Memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan. Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan, didukung oleh beberapa faktor yang menjadi komponen-komponennya, antara lain lnstitusi Pasangan, Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama, Kelembagaan Kerjasama, Nilai Tambah, dan Jaminan Keberlangsungan (Sustainability). 1) Institusi Pasangan Pendidikan Sistem Ganda hanya mungkin dilaksanakan apabila terdapat kerjasama dan komitmen antara institusi pendidikan kejuruan (dalam hal ini SMK) dan institusi lain (industri/ perusahaan atau instansi lain yang berkepentingan dengan tenaga kerja) yang memiliki sumber daya untuk mengembangkan keahlian kejuruan, untuk bersamasama menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan. 2) Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama Program pendidikan dan pelatihan yang harus disepakati bersama itu, paling tidak meliputi: (a) Standar Kompetensi/Keahlian Tamatan Pendidikan Sistem Ganda diarahkan untuk menghasilkan tamatan yang memiliki keahlian /kompetensi tertentu secara terstandar sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Oleh karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pendidikan harus senantiasa mengacu kepada pencapaian standar kemampuan/ kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatan pekerjaan atau profesi tertentu yang berlaku di lapangan kerja. (b) Standar Pendidikan dan Pelatihan Untuk mencapai penguasaan standar kemampuan tamatan yang telah ditetapkan, diperlukan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang secara terstandar dengan ukuran isi, waktu dan metode tertentu.
Komponen Umum (Normatif), dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki watak dan kepribadian sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.
Komponen Dasar Kejuruan (Adaptif), untuk memberi bekal penunjang bagi penguasaankeahlian profesi dan bekal kemampuan pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Komponen Kejuruan (Produktif), berisi materi yang berkaitan dengan pembentukan kemampuan keahlian tertentu sesuai program studi masing-masing untuk bekal memasuki dunia kerja.
Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang harus dipelajari, ditetapkan berapa lama pendidikan dan pelatihan itu akan dilaksanakan, kemudian disepakati berapa lama dilaksanakan di sekolah dan berapa lama di institusi pasangannya. Selanjutnya perlu disepakati pola atau model pengaturan penyelenggaraan program, khususnya yang menyangkut tentang kapan dilaksanakan di lembaga pendidikan (di SMK) dan kapan di institusi pasangannya.
3) Sistem Penilaian dan Sertifikasi Pengukuran dan penilaian keberhasilan peserta didik dalam mencapai kemampuan sesuai dengan standar profesi (standar keahlian tamatan) yang telah ditetapkan, harus dilakukan melalui proses dan sistem penilaian dan sertifikasi yang disepakati bersama. 4) Kelembagaan Keriasama Pelaksanaan PSG memerlukan dukungan dan jaminan keterlaksanaan melalui lembaga kerjasama. Lembaga kerjasama ini melibatkan pihak pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan pendidikan dan pelatihan kejuruan (stakeholders), antara lain pihak KADIN, Organisasi Pekerja, Asosiasi Profesi dan Tokoh Masyarakat. Kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung dan menjamin keterlaksanaan PSG adalah : MAJELIS PENDIDIKAN KEJURUAN. Pada tingkat nasional, disebut Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Nasional (MPKN), pada tingkat propinsi disebut Majelis Pendidikan Kejuruan tingkat Propinsi (MPKP) dan pada tingkat sekolah disebut Majelis Sekolah (MS).dengan peran dan tugas masing-masing sebagai berikut: (a) Peran dan Tugas MPKN
Merumuskan kebijaksanaan pelatihan kejuruan.
Berhak menentukan standar, baik standar jabatan, standar kompetensi, standar sistem pendidikan dan pelatihan maupun
pengembangan
pendidikan
dan
standar pengujian dan sertifikasinya melalui badan pembantu tetap (standing committee) yaitu Kelompok Bidang Keahlian (KBK).
Mengembangkan Standarisasi Profesi, Sistem Pendidikan dan Pelatihan, Sistem Pengujian dan Sertifikasi dan Pemasaran Tamatan.
Merumuskan kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan yang menghendaki bahwa proses belajar tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di industri. Keduanya harus saling melengkapi (complement) Karena dunia usaha dan industri telah merupakan bagian integral sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan.
Pembaruan pendidikan dan pelatihan kejuruan menghendaki bahwa SMK perlu memanfaatkan sumberdaya pendidikan yang tersedia di masyarakat seoptimal mungkin.
Memotivasi pihak-pihak pada tingkat pusat (nasional) dan internasionai untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan.
Memotivasi dunia usaha dan industri akan lebih efektif jika dilakukan oleh MPKN.
(b) Peran dan Tugas KBK
Menganalisis dan merumuskan standarjabatan profesi kejliruan dalam bidang keahliannya masing-masing. serta menyusun standar kemampuan (kompetensi) dari setiap jenjang jabatan profesi tersebut.
Menyusun rambu-rambu materi pendidikan dan pelatihan yang akan dituangkan dalam kurikulum.
Menyusun sistem evaluasi dan sertifikasi serta pola penyelenggaraan pendidikan dengan memadukan kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan bekerja di industri dalam satu kesatuan program PSG.
Menyusun sistem akreditasi. (c) Tugas MPKP
Menjabarkan kebijaksanaan dan dilaksanakan pada tingkat Propinsi;
program
MPKN
untuk
Menghimpun dan menggerakkan potensi dunia usaha dan industri untuk aktif dalam pelaksanaan PSG;
Merumuskan dan mengajukan rekomendasi pengembangan pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk dilaksanakan di Propinsi yang bersangkutan;
Melaksanakan Lomba Keterampilan Kejuruan (LKK) tingkat Propinsi;
Mempromosikan PSG di Propinsi yang bersangkutan.
Mengkoordinasikan Kegiatan MS.
(d) Tugas MS
Mengkoordinasikan kegiatan penyesuaian materi pendidikan di sekolah dan di institusi pasangannya (industri/ perusahaan).
Menjadi mitra SMK dalam mendekati dan mengajak dunia usaha/industri agar mau menjadi institusi pasangan untuk melaksanakan PSG.
Menjadi mitra SMK dalam merumuskan dan penandatanganan naskah kerjasama antara SMK dan institusi pasangannya (dunia usaha/industri) untuk pelaksanaan PSG;
Memonitor pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda, baik di SMK maupun di institusi pasangannya (dunia usaha/industri) serta memberikan motivasi.
Membentuk tim sistem pengujian dan sertifikasi dan memasarkan tamatan SMK.
5) Nilai Tambah dan lnsentif Ada beberapa keuntungan atau nilai tambah yang didapat dengan melakukan kerja sama dengan indutri, diantanya: (a) Nilai tambah bagi institusi pasangan (Industri/Perusahaan).
lnstitusi pasangan dapat mengenal persis kualitas peserta didik yang .belajar dan bekerja di perusahaannya.
Pada umumnya peserta didik telah ikut aktif dalam proses produksi, sehingga pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan.
lnstitusi pasangan dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (dari sekolah), demi kepentingan khusus perusahaan.
Memberi kepuasan tersendiri bagi dunia usaha dan industri yang menjadi institusi pasangan, karena memperoleh pengakuan ikut serta menentukan masa depan bangsa melalui PSG.
(b) Nilai Tambah Bagi Sekolah
Mmberikan pengertian kepada siswa dalam memasuki dunia kerja lebih terjamin ketercapaiannya.
Terdapat kesesuaian dan kesepadanan yang lebih pas, antara program pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja (sesuai dengan kebijakan link and match).
Mengatasi permasalahan biaya, sarana, dan prasarana pendidikan di sekolah
Memberi kepuasan bagi penyelenggara pendidikan kejuruan (SMK dan para pelaku Iainnya), karena tamatannya Iebih terjamin memperoleh bekal keahlian yang bermakna.
(c) Nilai Tambah Bagi Peserta Didik Bagi siswa PSG akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain:
Setelah lulus peserta didik akan memiliki bekal keahlian profesional untuk terjun ke lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan/ pengembangan dirinya secara berkelanjutan.
Rentang waktu (lead-time) untuk mencapai keahlian profesional menjadi Iebih singkat, karena setelah tamat PSG tidak memerlukan waktu latihan lanjutan untuk mencapai tingkat keahlian siap pakai.
Keahlian profesional yang diperoleh melalui PSG dapat mengangkat harga dan rasa percaya diri siswa.
6) Jaminan Keterlaksanaan
Sementara belum ada aturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional, maka diperlukan naskah kerjasama antara pihak SMK dengan dunia usaha/industri, yang isinya setidak-tidaknya memuat:
Tujuan kerjasama melaksanakan PSG;
Program PSG, meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan yang akan dilaksanakan di sekolah dan di institusi, serta model penyelenggaraannya;
Jumlah peserta PSG;
Tanggung jawab masing-masing pihak;
Pelayanan/kemudahan bagi peserta;
Administrasi bagi penyelenggara dan hai-hal lain yang dianggap perlu
Pendidikan Sistem Ganda (PSG), dengan konsep seperti diuraikan di atas, adalah sesuatu yang baru, bahkan dapat disebut sebagai "inovasi pendidikan kejuruan” yang mengandung muatan perbaikan dan penyempurnaan terhadap sistem lama yang bersifat konvensional. Ada beberap strategi pengembangan yang ditempuh adalah sebagai berikut : a. Pentahapan dan Pembabakan 1) Proses pemahaman sampai kepada keberterimaan program PSG, diharapkan dapat berlangsung selama lima tahun (kurun waktu Pelita VI). 2) Proses pembentukan kepedulian dan komitmen, akan bisa dibentuk apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah mulai melihat dan merasakan secara nyata hasil positif PSG itu sendiri. Hasil ini diharapkan baru bisa dirasakan setelah sepuluh tahun (pada kurun waktu Repelita VII). 3) Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan SMK terpilih yang telah siap dengan institusi pasangannya. 4) Keterlaksanaan program PSG yang mantap dan terstandar, diharapkan terjadi pada awal Repelita VIII. 5) Sekalipun kemantapan program PSG baru terjadi pada awal Repelita VIII, proses pengenalan dan pelaksanaan PSG diharapkan telah dapat memberikan hasil nyata berupa peningkatan mutu tamatan SMK. sejak Pelita VL
6) Pembabakan ini diharapkan sejalan dengan langkah penyiapan sumberdaya manusia menghadapi komitmen AFTA tahun 2003, dan komitmen APEC pada tahun 2010 dan 2020. Pelaksanaan dan Pengembangan PSG pada SMK dibagi dalam 3 Jalur, diantaraya sebagai berikut: 1) Jalur l (Optimalisasi Peningkatan Mutu) Program ini pada dasarnya merupakan upaya pemasyarakatan PSG pada semua SMK dengan mengoptimalkan kondisi dan sumberdaya yang tersedia. Dengan diberlakukannya PSG secara menyeluruh dan bertahap ini pada gilirannya diharapkan terbentuk citra umum bahwa PSG merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang paling ideal bagi pencapaian misi dan tujuan pendidikan dan pelatihan kejuruan, sehingga akan menjadi ciri khas (trade mark) bagi SMK. 2) Jalur ll (Pengembangan Sistem Terstandar) Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan model PSG terstandar (Standardized System Development), dilakukan melalui uji coba pada beberapa SMK secara terbatas. Pada program jalur ll (Track II) ini dilakukan upaya-upaya yang optimal, agar program yang telah dirancang secara teustandar didukung oleh SDM, manajemen, sarana dan prasarana yang juga terstandar. 3) Jalur III (Pengembangan Pusat Pengembangan Keahlian Kejuruan). Pendirian pusat-pusat pengembangan keahlian tersebut akan dapat meningkatkan daya saing dan daya dukung SMK dalam mengakomodasi dan memenuhi tuntutan kebutuhan lapangan kerja, khususnya yang bersifat mendesak (immediately) dan atau keahlian yang sangat khusus (specific), sehingga tidak mungkin dilayani dengan program reguler yang tersedia. MeIalui jalur III (track Ill) ini industri dan perusahaan didorong membangun training centre, sehingga dapat ikut aktif melaksanakan PSG sejak awal (tahun pertama) program SMK. Jalur ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah (Depdikbud) dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang tersedia (seperti Balai Latihan Pendidikan Teknik BLPT), dapat pula dilakukan oleh pihak dunia usaha/industri (misalnya beberapa perusahaan yang belum memiliki training centre bergabung mendirikannya), atau perpaduan antara pihak pemerintah dan dunia usaha/industri. b. Pengembangan SMK Sebagai Pusat Pengembangan Budaya Profesional.
Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam upaya memacu sekolah melakukan PSG untuk menghasilka budaya yang baik pada siswa dalam menjalankn pekerjaan, antara lain : 1) Inisiatif Sekolah Kemampuan manajemen sekolah dalam mendekati dan meyakinkan, atau menjual programnya ke dunia usaha dan industry sangat diperlukn. Karena itu inisiatif sekolah sangat diperlukan dan diutamakan. Kegiatan kerjasama dengan industri/dunia usaha yang telah lama dikembangkan di SMK, dapat menjadi modal dasar untuk lebih difokuskan kepada kerjasama pelaksanaan PSG. 2) Keluwesan (Fleksibilitas) Tingkat kesediaan dan kesiapan yang bervariasi ini dapat diakomodasikan dengan model penyelenggaraan, antara lain : (a) Dapat berbentuk day release, dapat berbentuk block release, dapat berbentuk hour release, atau gabungan dari ketiganya. (b) Subkomponen praktik keahlian produktif yang dilaksanakan melalui kegiatan bekerja Iangsung di industri/perusahaan dapat dimulai pada tahun pertama, tahun kedua, atau tahun ketiga, bahkan bisa saja pada tahun keempat. (c) Standar keahlian profesional yang akan dicapai melalui model penyelenggaraan yang bervariasi, mengacu kepada pencapaian standar minimal profil kemampuan tamatan pada buku kurikulum SMK (1994). Selain itu, dalam memenuhi langkah awal pelaksanaan PSG, tidak dituntut kewajiban yang dapat memberatkan industri/ perusahaan yang menjadi institusi pasangan. Bahkan kalau perlu, pemerintah (dalam hal ini Depdikbud) dapat memberi subsidi untuk sebagian keperluan pelaksanaan program yang dilaksanakan di industri/perusahaan.
3) Pelaksanaan Bertahap Pelaksanaan tahap awal ini akan merupakan langkah uji coba (tryout) yang akan selalu diikuti dengan langkah pemantauan dan analisis berkelanjutan, dan pada gilirannya diharapkan dapat terformulasikan konsep dan pelaksanaan PSG yang benar-benar mantap dan cocok untuk kondisi Indonesia Pelaksanaanya akan ditentukan oleh kesiapan SMK yang bersangkutan, terutama kesiapan dalam menjalin hubungan kerjasama dengan industri/ perusahaan untuk menjadi institusi pasangan.
4) Pembinaan Manajemen Sekolah Keberhasilan SMK melaksanakan PSG secara dominan ditentukan kehandaian (reliability) manajemen sékolah yang bersangkutan. Sedangkan kehandalan manajemen sekolah sangat dipengaruhi kapasitas Kepala Sekolahnya, karena itu masalah kekepala sekolahan akan menjadi perhatian khusus datam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda. Masalah utama dalam mewujudkan pelaksanaan PSG antara lain bagaimana melibatkan pihak dunia usaha/industry/lapangan kerja, untuk ikut bertanggung jawab secara sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Pengalaman selama ini mengajarkan, bahwa pendekatan dan cara apapun yang dilakukan Depdikbud untuk melibatkan mereka, jika sifatnya masih sepihak ternyata kurang/belum memberikan hasil yang memuaskan.
Bab IX HASIL – HASIL YANG DICAPAI PADA PELITA VI Banyaknya apresiasi masyarakat terhadap SMK melalui mutu tamatan yang semakin membaik, hasilnya terasa signifikan karena merupakan landasan yang kuat bagi percepatan laju pembangunan pendidikan kejuruan pada masa mendatang. Beberapa hal penting yang penting dan perlu dikemukakan, antara lain : 1. Pembaruan wawasan a. Pola pikir melihat pendidikan menengah kejuruan dari sudut pendidikan semata, yang memikirkan pendidika menengah kejuruan sebagai sub-sistem dari sistem pendidikan nasional saja, juga sebagai sub-sistem dari sistem pembangunan sumberdaya manusia
b. Pihak pendidikan lebih mengetahui kebutuhan dunia kerja, karena itu berhak dan perlu diajak ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian hasil pendidikan menengah kejuruan c. Kepedulian terhdapat mutu dan keunggulan, dan pemahan terhadap phenomena globalisasi, era baru adalah era persaingan, diperlukan sumberdaya manusia yang bermutu tinggi dan memiliki keunggulan
2. Pembentukan lembaga pendukung PSG a. Pergerakan semua badan oragnisasi perusahaan dan asosiasi profesi yang berada dibawah naungan organisasi Kadim dalam mendukung pelaksanaan program PSG b. Melakukan standarisasi kopetensi dan sistem pengujian dan sertifikasi c. Organisasiberperan aktif sebagai mitra SMK dalam totalitas kegiatan SMK meliputi kegiatan penerimaan siswa baru, pengkajian
dan
penyesuaian
materi
ajaran,
pengaturan
penyelenggaraan program pendidikan di sekolah dan di industri, pelaksanaan uji
kopetensi,
pelaksanaan
sertifikasi,
dan
pemasaran tamatan 3. Penyusunan perangkat pendukung (software) PSG a. Konsep pendidikan sistem ganda b. Pedoman sinkronisasi program pendidikan di sekolah dan pelatihan di industri c. Pengelolaan kegiatan belajar mengajar dalam PSG d. Penilaian dan sertifikasi PSG e. Sistem penerimaan siswa baru f. Sistem pembibingan siswa PSG g. Administrasi pendidikan siswa PSG h. Optimalisasi dan eksplorasi sumber pembayaran PSG i. Pengembangan kegiatan industri
j. Pengembangan industri pasangan k. Pengembangan unit produksi di SMK l. Pengelolaan fasilitas dan bahan plastik m. Organisasi pelaksanaan PSG n. Sistem monitoring dan evaluasi PSG o. Kepala sekolah, guru dan instruktur p. Pedoman teknis (Mannis) pelaksanaan PSG 4. Peningkatan Peran serta Industri dan peningkatan kesempatan kerja industri bagi siswa SMK a. Pemilihan siswa SMK untuk melaksanakan program PSG b. Perkembangan jumlah industri
yang ikut
serta dalam
pelaksanaan program PSG dan perkembangan jumlah siswa yang dilayani berpraktik kerja industri, adalah juga merupakan gambaran keberterimaan program PSG di kalangan dunia usaha dan industri 5. Peningkatan mutu dan pengakuan terhadap tamatan SMK a. Kebanyakan perusahaan lebih menyukasi tamatan SMA dari pada tamatan SMK 6. Peningkatan minat memasuki SMK a. Keinginan masyarakat memasukan anaknya ke SMK Negeri meningkat dengan tajam pada Pelita VI. Peninhkatan minat masyarakat terhadap SMK di satu sisi merupakan hal yang positif
karena
dapat
memberikan
gambaran
perbaikan
kepercayaan masyarakat terhadap SMK, tetapi di sisi lain, daya tampung SMK Negeri (yang bermutu baik) yang sangat terbatas, merangsang pertumbuhan SMK Swasta (sebagian masih tetap kurang bermutu).
7. Penyempurnaan Kurikulum
Perbaikan kurikulum dari pendidikan berbasis sempit menjadi pendidikan berbasis mendasar, penyempurnaan GBPP dari orientasi pengajaran mata pelajaranpaket – paket kopetensi, penyepurnaan metodologi pengajaran dari metode maju berkelanjutan 8. Penataan dan pengebangan manajemen SMK Pelaksanaan program PSG di SMK mengandung banyak sekali kegiatan baru yang sebelumnya tidak ada, dan memiliki misi pembaruam dari sistem lama ke sistem baru. Keberhasilan pelaksanaan program PSG dan ketuntasan pencapaian misinya, sangat dominan dipengaruhi oleh kehandalan manajemen sekolah. Dan kehandalan manajemen sekolah sangat dominan dipengaruhi oleh kualitas Kepala Sekolah sebagai manajer 9. Pelaksanaan unit Prosuksi pada SMK Pengembangan
kegiatan
unit
produksi
pada
SMK
telah
mendapatkan penekanan penting sejak awal Pelita VI. Kegiatan penting ini (yang memang memungkinkan sesuai dengan PP no. 29 tahun 1990), selain dimaksudkan untuk menambah penghasilan sekolah dan sekaligus ikut mendukung peningkatan produktifitas nasional. Program unit produksi ini diharapkan berfungsi sebagai pranata (means) menggiring SMK berwawasan pasar (market), berwawasan mutu, berwawasan keunggulan dan berwawasan ekonomi. Perkembangan sampai dengan tahun 1997/1998 harus diakui belum memuaskan. Kemajuan yang telah dicapai terasa sangat lamban, kelambanan ini terutama disebabkan oleh kekurang siapan sumberdaya manusia SMK melakukan kegiatan yang bersifat bisnis. Kegiatan bisnis adalah sesuatu yang baru bagi mereka, dan di luar jangkauan pemikiran mereka. Namun demikian, dengan dukungan kebijakan dan penciptaan iklim yang kondusif untuk pengembangan Unit Produksi, sebanyak +50 SMK telah mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Keberhasilan beberapa SMK mengembangkan unit produksinya akan menjadi model atau
contoh-contoh keberhasilan untuk ditiru SMK lainnya. Apabila semakin banyak SMK berhasil mengembangkan unit produksinya, maka kesulitan SMK mencari industri tempat praktek kerja industri sebagian akan teratasi
10. pemasyarakatan program psg Peningkatan jumlah industri yang ikut-serta dalam pelaksanaan program PSG (seperti dikemukakan pada butir cidi atas), adalah juga gambaran keberterimaan (acceptability) program PSG di kalangan masyarakat industri. Selain itu, peningkatan animo siswa masuk ke SMK, juga merupakan gambaran pengakuan dan keberterimaan program PSG oleh masyarakat luas. Keberterimaan, pengakuan dan penghargaan terhadap program PSG diperoleh melalui kegiatan pemasyarakatan yang sangat intensif, antara lain melalui: a. Publikasi melalui media massa (TV, Radio dan Surat Kabar). \ b. Promosi melalui kegiatan Gebyar di tiap Propinsi c. Promosi langsung ke industri (door to door promotion), yang dilakukan oleh seluruh lapisan pimpinanDepdikbud, mulai dari unsur pimpinan Departemen di tingkat Pusat, tingkat Kanwil di Propinsi dan tingkat Sekolah (SMK). d. Kegiatan Seminar Lokakarya dan Rapat Kerja yang dilakukan oleh MPKN (beserta KBK), MPKP dan Majelis Sekolah. e. Kegiatan Lomba Keterampilan Siswa (LKS), pada tingkat sekolah, tingkat propinsi dan tingkat nasional Media Buletin SMK (Suara
Membangun
Kejuruan).
f.
Kegiatan
promosi
dan
pemasyarakatan telah menjadi wawasan bagi para pelaku dan penanggung jawab program SMK, dan diharapkan dapat berkembang lebih efektif pada masa-masa mendatang 11.Gebyar SMK
Gebyar telah tumbuh menjadi suatu program rutin SMK di tiap propinsi. Kegiatan Gebyar yang pada dasarnya berfungsi sebagai FAIR", media promosi, media perdagangan, media pemasaran produk dan jasa SMK telah dilaksanakan sekali setahun di tiap Propinsi sejak tahun 1995, tahun 1996 dan tahun 1997. Kegiatan Gebyar SMK yang melibatkan secara langsung Majelis Sekolah, MPKP dan Pemerintah Daerah setempat telah berhasil: a. Mengangkat rasa percaya diri SMK, karena terbukti mereka berani dan mampu tampil berhadapan dan bekerjasama dengan masyarakat industri dan masyarakat luas. b. Memacu SMK menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas unggu untuk dijual dan dipamerkan pada acara Gebyar. c. Mendorong peningkatan unit produksi pada SMK d .Menuntun SMK berwawasan pasar, berwawasan bisnis, berwawasan mutu dan berwawasan keunggulan e. Membentuk opini masyarakat, terutama masyarakat industri, bahwa SMK masa kini telah lain dari SMK masa dulu. 12. Pelaksanaan Lomba Keterampilan Siswa (LKS). Lomba keterampilan siswa telah tumbuh menjadi program reguler tahunan pada tingkat sekolah, tingkat propinsi dan tingkat nasional. Kegiatan ini bermaksud untuk dijadikan sebagai media persaingan bagi siswa SMK dan untuk menghadapi persaingan mereka memerlukan mutu dan keunggulan. Selain sebagai pranata (means) persaingan, LKS juga terbukti efektif menjadi media promosi bagi SMK, karena melalui unjuk kemampuan pada saat berlomba, masyarakat semakin mengenal kualitas SMK dan sekaligus memudahkan pemasaran tamatan SMK 13. Buku Putih "Skill Towards 2020" (Keterampilan Menjelang 2020).
Buku putih "Keterampilan Menjelang Tahun 2020", adalah hasil kajian dan rumusan yang dihasilkan oleh satu kelompok kerja (Task Force) yang dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 0156/P/1995 tanggal 7 Juli 1995. Keanggotaan kelompok kerja ini sungguh-sungguh sangat representatif, orangorang pilihan dari unsur dunia usaha dan industri, dari asosiasi profesi, organisasi pekerja, anggota DPR, pakar pendidikan dan tokoh masyarakat yang berpengaruh. Dalam proses penyusunan buku ini, kelompok kerja telah melakukan studi perbandingan ke manca negara, antara lain ke: Jerman, Belanda, Inggris, Australia, Korea, Taiwan, Singapore, Malaysia dan Thailand Buku Putih yang dihasilkan oleh kelompok kerja ini mengandung nilai yang sangat tinggi, dan telah teruji melalui berbagai proses validasi antara lain melalul forum diskusi dengan kalangan industri dan melalui seminar di dalam dan di luar negeri. Isi buku ini antara lain menyangkut visi dan tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia di masa depan, strategi pengembangan sumberdaya manusia dan rekomendasi kebijakan (policy recomendation) pengembangan program pendidikan dan pelatihan kejuruan. Isi buku ini yang sangat kuat dipengaruhi oleh pendapat anggota dari dunia usaha dan industri serta asosiasi profesi, ternyata sangat sejalan dengan kebijakan link and match, dan dapat menjadi landasan kuat bagi pembaruan pendidikan dan pelatihan kejuruan 14. Kepmen Dikbud Tentang Pelaksanaan PSG. Kepmendikbud tentang pelaksanaan PSG, disusun berdasarkan pengalaman selama lebih dari tiga tahun pelaksanaan program PSG pada SMK dan disusun bekerjasama dengan Sekretariat MPKN. Kepmen ini tetap mengacu pada UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, GBHN 1993 tentang Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua, PP No. 29 tahun 1990, dan
Kepmendikbud No. 080/1993 tentang kurikulum 1994 SMK. Dengan lahirnya Kepmen ini, maka semakin kuat dasar hukum pelaksanaan program PSG pada SMK, dan tidak perlu ada keraguan tentang kelanjutan pelaksanaan program PSG pada SMK
15. Sistem Evaluasi SMK Sistem evaluasi hasil belajar siswa SMK, dilakukan dengan dua cara, yaitu Pertama, dengan EBTANAS. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dilakukan oleh pihak Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan menghasilkan tanda bukti keberhasilan yang disebut STTB (Surat Tanda bukti Tamat Belajar). Pelaksanaan EBTANAS SMK baru diujicoba tahun 1995/1996 terbatas pada mata ujian Matematika, dan pada tahun 1996/1997 dilaksanakan secara penuh meliputi keseluruhan muatan program., Hasil EBTANAS tahun 1996/1997 telah memberikan pelajaran berharga, yaitu peta mutu tamatan SMK per sekolah, per propinsi, dan secara Nasional Cara evaluasi yang Kedua, yaitu dengan melakukan uji kompetensi Uji kompetensi pada prinsipnya dilakukan oleh pihak dunia usaha dan industri, dan ukuran yang dipakai untuk mengukurpun adalah ukuran dunia kerja. Siswa atau tamatan SMK yang berhasil dalam uji kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi. 16. Penyempurnaan Organisasi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan. Untuk lebih mengefisienkan dan mengefektifkan organisasi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, telah dilakukan penyempurnaan organisasi dengan Keputusan Mendikbud No. 049/0/1997 tanggal, 24 Maret 1997 (Lampiran :15). Karakteristik utama dari oraganisasi baru ini adalah tersedianya satu Sub Direktorat yang menangani pengembangan dan pembinaan PSG,
dan keterpaduan pembinaan pada seluruh jenis sekolah (tidak lagi terkotak-kotak menurut jenís sekolah seperti pada struktur organisasi yang lama)
BAB X PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN KEJURUAN PADA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KEDUA 1. Pemberdayaan Majelis Pendidikan Kejuruan 2. Pengembangan Kurikulum 3. Penyusunan Paket Pengajaran Berbasis Kompetensi 4. Pengembangan Sistem Pengujian 5. Peningkatan Kepedulian Sistem Ganda 6. Pengembangan Unit Produksi 7. Peningkatan Mutu Guru 8. Peningkatan Manajemen Pendidikan Kejuruan 9. Peningkatan Lomba Keterampilan Siswa SMK 10. Sosialisasi dan Promosi SMK 11. Memberikan Pelayanan Khusus bagi yang Potensial dan Menjanjikan 12. Pengembangan PPPG Kejuruan 13. Pelaksanaan Program Keahlian Berbasis Kompetensi 14. Pemberlakuan multy Entry, Multy Exit 15. Pengakuan Terhadap Kompetensi yang diperoleh daei Pengalaman Sebelumnya 16. Pengembangan Program Diploma 17. Pembangunan SMK Baru 18. Peningkatan Mutu SMK Swasta