Rijalul Hadis dan Jarh wa Ta’dil Makalah Ini Disusun guna Memenuhi Tugas Mata kuliah Hadits
Dosen Pengampu : Miftakhussurur
Disusun Oleh: 1. Maliyya Marisa
23030160179
2. Winarsih
23030160153
3. Alvin Dwi Nugroho
23030160181
TADRIS BAHASA INGGRIS FAKULTAS TARBIYAN DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2019
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap hadist mengandung 2 bagian yaitu teks ( Matn ) hadist itu sendiri dan matan transmisi atau isnadnya yang menyebutkan nama-nama riwayat rowinya para prasejarah klasik maupun modern sependapat bahwa mula-mula hadist muncul tanpa dukungan isnad pada masa sahabat ( periode periwayatan hadits ) sampai lebih kurang pengantian abad ke 11/ 7 M. Sekitar masa ini pulalah hhadist muncul secara besarbesaran ketiak ilmumpengetahuan formal yang tertulis mulai di rintis baru pada abad 99 H- 101 H Umar bin Abdul Aziz mempunyai ide untuk membukukan hadist dengan jalan memrintahkan semua ulama’ di seluruh dunia untuk menggumpulkan hadisthadist Rasul yang menurut anggapan mereka sama, pembukuan hadist pada periode ini dilakukan dengan cara mengemukakan riwayat-riwayat di sertai dengan sanadnya sehingga memungkinkan untuk mengetahui mutu hadist yang di riwayatkan baik shohih maupun dhoif dengan cara meneliti sanadnya denag bantuan ilmu lain yang bermacam-macam. Ilmu Rijalul Hadist merupakan salah satu cabang besar yang tumbuh dari hadist riwayah dan Diroyah dengan ilmu ini dapat membantu kita untuk mengetahui keadaan para perowi yang menerima hadist dari Rasulullah dengan keadaan rowi yang menerima hadist dari sahabat dan seterusnya. Denag mengetahui keadaan para perowi yang menjadi sanad, dan memudahkn kita menilai kualitas suatu hadist maka bias di simpulkan bahwa ilmu Rijalul Hadis merupakan separuh dari ilmu hadist.
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Rija Al-Hadist? 2. Apa itu Jarh wa Ta’dil? 3. Apa hubungan ilmu Jarh wa Ta’dil dan Ilmu Rija Al-Hadits?
BAB II PEMBAHASAN 1. Ilmu Rija Al-Hadist Menurut bahasa, Rijal artinya para kaum pria. Dimaksudkan disini yaitu ilmu yang membicarakan tentang tokoh atau orang yang membawa hadist, semenjak dari nabi sampai dengan periwayat terakhir (penulis kitab hadis). Hal yang terpenting di dalam ilmu Rijal Al Hadis adalah sejarah kehidupan para tokoh tersebut, meliputi masa kelahiran dan wafat mereka, negeri asal, negeri mana saja tokoh-tokoh itu mengembara dan dalam jangka berapa lama, kepada siapa saja mereka memperoleh hadis dan kepada siapa saja mereka menyampaikan hadist. Ada beberapa istilah untuk menyebut ilmu yang membicarakan persoalan ini. Ada yang menyebut ilmu Tarikh, ada yang menyebut Tarikh Al Ruwat, ada juga yang menyebutnya Ilmu Tarikh Al Ruwat. Ilmu ini muncul bersamaan dengan kebutuhan para ulama periwayatan hadist. Dan merebaknya, setelah timbulnya hadist palsu. Tampaknya, setelah hadis palsu itu bermunculan, maka para ulama merasa berkepentingan menelusuri jati diri pembawa hadis dan guru-guru yang menyampaikan hadis kepadanya. Ilmu Rijalul Hadits adalah ilmu yang membahas hal ikhwal dan sejarah para rawi dari kalangan sahabat, tabi’in, dan atba’ at-tabi’in. Ulama hadits mendefinisikan ilmu rijalul hadits yaitu ilmu yang membahas para rawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi sesudahnya. 1Dalam penjelasan lain disebutkan ilmu rijalul hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi hadits dalam kapasitas mereka dalam perawi hadits.2 Secara sederhana, penulis dapat menyimpulkan bahwa ilmu rijalul hadits merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan dan atau sejarah hidup para periwayat hadits dari semua generasi pada setiap thabaqahnya. Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam ranah kajian ilmu hadits karena kajian ilmu hadits pada dasarnya terletak pada dua hal, yaitu: matan dan sanad. Ilmu rijalul hadits menempati tempat yang khusus mempelajari persoalanersoalan sekitar sanad maka mengetahui keadaan rawi yang menjadi sanad merupakan separuh pengetahuan. 1
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 153. Sohari Sahrani, et al., Ulumul Hadits…, h. 125.
2
Ulama yang pertama kali memperkenalkan dan mempelajari secara serius ilmu ini ialah Bukhari, ‘Izzad Bin Ibn al-atsir atau yang lebih dikenal dengan Ibn Al-Atsir (630 H). karya yang terkenal dari disiplin ilmu ini adalah Al-Isti’ab fi Ma’rifah Alashab karya Ibnu Abdul Bar (w. 463 H), Al-Ishabah fi Tamyiz as-Sahabah, Tahzib atTahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Tahzib al-Kamal karya Abdul Hajjaj Yusuf bin Az-Zakki Al-Mizzi (w. 742 H).3 Ada beberapa cara yang dicoba oleh para ulama untuk menyusun buku riwayat hidup para periwayat : 1. Kitab yang disusun berdasarkan generasi (thabaqath) seperti:
a) Kitab al-thabaqath al-kubra karya Abu Abdillah Muhammmad ibn Sa’ad Katib al – Waqidi (168-230H). Kitab ini memuat biografi para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah b) Thabaqat al-Riwayat karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746H/1348M). c) Kitab Tadzkirat al – Huffazh Karya Muhammad ibn Ahmad al-Dzahabi (w. 746H/1348M) 2. Kitab yang disusun secara umum berdasarkan huruf abjad agar mudah
menggunakanya, seperti al-Tarikh al Kabir Karya Al-Imam Muhammad ibn Isma’il al Bukhari (194-256 H). Kata al – Bukhari, “Nama-nama ini saya susun berdasarkan huruf abjad. Hanya saja, saya mulai dari nama Muhammad karena kemuliaan nama Muhammad SAW kemudian nama-nama selain Muhammad yang berdasarkan urutan abjad 3. Di samping itu ada yang membahas biografi para sahabat Nabi,seperti;
a. Al-Isti’ab fi Ma’rifat al Ashab Karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H/1071 M). Di antara kitab tentang biografi sahabat, kitab ini tenggolong besar kalau bukan yang terbesar. Tidak kurang dari 3500 orang sahabat dipaparkan biografinya dalam kitab ini. b. Usud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah karya ‘Izzudin ibnu Atsir (w. 630H/1232 M). Penulisnya telah mencurahkan segala kemampuanya untuk mewujudkan karya besar dan bagus ini. Biografi sahabat sebanyak 7554 dimasukkan disini, disusun berdasarkan urutan abjad. c. Al-Ishabah fi Tamyiz al Shahabah
3
M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits…, h. 112.
karya Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852H/1449 M). 4. Kitab-kitab yang membicarakan para periwayat enam kitab (Shahih al – Bukhari,
Shahih Muslim, Sunan al- Turmudzi, sunan Abi Daud, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah) antara lain; Al-Kamal fi Asma al-Rijal karya Abdul Ghani al – Maqdisi (w. 600 H/102M). Kitab ini diringkas oleh Abul Hajjaj Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w. 742 H) dengan nama kitab Tahdzib al kamal. Kemudian ada yang meringkasnya lagi dengan nama Tahdzib. Setidaknya ada dua orang yang menulis kitab yang judulnya sama, disebut terakhir ini, yaitu Muhammad ibn Ahmad al- Dzahabi (w. 748H/1348 M) dan ibn Hajar al-Asqalani (w. 852H/1449 M). Kitab ini pun diringkas oleh ibn Hajar al- Asqalani dengan Taqrib al –Tahdzib. 5. Kitab yang menyebutkan riwayat hidup para periwayat sepuluh kitab hadist (enam
kitab ditambah al-Muwattha’ Malik, Musnad al-syafii, Musnad Ahmad dan Musnad yang berisi hadist riwayat imam Abu Hanifah himpunan al-Husein ibn Muhammad ibn Khurs) yaitu Al-Tadzikirah bi Rijal al-Asyarah 6. Kitab yang membicarakan para periwayat yang kualitasnya diragukan, seperti Al-
Kamil fi Dhu’afa al Rijal karya Abu Ahmad Abdullah ibn ‘Adi al Jurjani (w. 365 H). Mizan al-I’tidal fi Naqd al –Rijal karya Al-Dzahabi, dan lisan al-Mizan karya ibn Hajar al –Asqalani. 7. Kitab Riwayat hidup para periwayat yang menerangkan nama samaran, seperti
kitab Nazhat al-Albab fi al-Alqab. Dan masih banyak lagi jenis kitab riwayat hidup para periwayat seperti Kitab Tarikh yang dikaitkan dengan negari tertentu, seperti Baghdad, Damaskus, Naisabur, dan lain-lain. Dengan menggunakan kitab-kitab diatas peneliti hadist akan mendapat bantuan menguak nilai mata rantai sanad sebuah hadist. 2. Jarh wa Ta’dil Di dalam ilmu hadits, penyelidikan terhadap para rawi itu merupakan suatu kewajiban dalam rangka memelihara kemurnian sunnah Nabi yang didasarkan pada kaedah ajaran Islam. Dasar daripada penyelidikan ini adalah adanya beberapa ayat di Dalam Al-Quran yang menginspirasi kegiatan penyelidikan ini, misalnya: Surat alHujurat ayat 6
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika datang kepadamu orang fasiq dengan membawa berita maka selidikilah. Mungkin kamu dapat mendatangkan musibah kepada kaum karena ketidak-tahuan, akhirnya kamu menyesal karena perbuatanmu.” A. Jarh “Jarh” menurut bahasa, artinya: melukai atau cacat. Sedangkan menurut istilah ilmu Hadits, ialah: “menunjukkan atau membayangkan kelemahan, celaan, atau cacat seorang rawi, atau melemahkan dia, maupun semua itu benar ada pada diri si rawi atau tidak”. Istilah “al-Jarh” digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadis, seperti, pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka dikatakan bahwa periwayat tersebut cacat. Hadis yang dibawa oleh periwayat semacam ini ditolak, dan hadisnya dinilai lemah (dha’if). 1) Pembagian-pembagian Jarh a) Jarh yang tidak beralasan Tiap-tiap jarh yang ditujukan kepada seorang rawi, hendaklah ada alasannya, dari perbuatan atau omongan si rawi, atau dari jalan lain. ‘Ulama yang menjarh seorang rawi dengan tidak menyebut alasannya, tentu bagi ‘ulama itu ada alasannya sendiri, dan belum tentu jadi alasan bagi orang lain. Oleh sebab itu, maka jarh tersebut dianggap masih gelap bagi kita. Jadi jarh tersebut belum dapat diterima untuk melemahkan si rawi. Contoh : Dawud bin ‘Abdirrahman al- ‘Aththar Abu Sulaiman alMakki; Kata Ibnu Hajar: “Tidak shah dari Ibni Ma’in bahwa ia pernah melemahkan Dawud”. Bahkan tersebut dalam kitab Khulashah Tahdzibil-Kamal, Ibnu Ma’in anggap dia kepercayaan. Dari contoh tersebut, dapat kita ambil pelajaran, bahwa apabila dalam satu kitab tersebut “Imam anu melemahkan rawi anu” sedang tidak ada orang lain mencela si rawi itu, hendaklah kita susul keterangan tentang imam itu melemahkannya. b) Jarh yang tidak diterangkan sebabnya Jarh yang tidak diterangkan sebabnya itu, seperti seorang berkata: “Si anu lemah”, “Si anu tidak kuat” dan lain-lain yang seumpamanya,
dengan tidak disebut atau diketahui sebab si rawi dianggap lemah atau tidak kuat. Maka ini tidak dapat diterima karena gelap. Mungkin juga, orang yang menganggap seseorang rawi lemah, bilamana ia nyatakan sebabnya, tidaklah menjadi catatan yang sebenarnya atas si rawi itu. Contoh: ‘Abdul-Malik bin Shubbah al-Misma’I al-Bashri: ada orang meriwaytkanb, bahwa al-Khalili pernah berkata: “Adalah ‘AbdulMalik tertuduh “mencuri” “Hadits”. Kata Ibnu Hajar: “Ini satu jarh yang tidak terang”. Dikatakan tidak terang, karena al-Khalili tidak tunjukkan jalan tuduhannya. Yazid bin Abi Maryam ad-Dimisyqi: tentang dirinya, adDaraquthni berkata: “Dia tidak kuat”. Ibnu Hajar berkata: “Ini satu jarh yang tidak diterangkan sebabnya”. Bahkan Yazid itu dianggap kepercayaan oleh Ibnu Ma’in, Duhaim dan lain-lain. Dari kedua contoh tersebut, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, semata-mata sebutan “dia lemah”, “dia tidak kuat”, dengan tidak diterangkan sebabnya, atau tidak bisa diketahui sebabnya, belumlah rawi tersebut teranggap lemah, atau tidak kuat. c) Jarh yang disebut sebabnya Tiap-tiap celaan dan catatan atas diri seseorang rawi pastilah ada sebabnya. Para ulama dalam menjarh rawi-rawi menggunakan sebabsebab yang bertingkat. Dengan sebab-sebab itulah, dapat digunakan untuk mengukur drajat kelemahan si rawi. Berikut adalah sifat yang menyebabkan seorang rawi dianggap lemah, sehingga riwayatnya tidak boleh diterima:
Dusta
Salah
Lupa/lalai
Dungu
Menyalahi
Fisq
Tidak dikenal
Buruk hafalan
Talqin
Kehilangan kitab
Ikh-tilath
Tad-lis
Bukan ahli
Bersendiri dalam meriwayatkan
Mempermudah
Jarh itu ada yang boleh diakui dan ada yang tertolak. Jarh yang mesti ditolak, timbulnya karena beberapa sebab dan hal yang sebenarnya tidak patut dijadikan alasan menjarh. Imam Daqiqul-‘Id berkata : “Jalan yang menyebabkan orang-orang dahulu menjarh seseorang rawi itu, ada lima:
Karena hawa nafsu, dan karena suatu maksud
Karena berlainan kepercayaan
Karena berselisihan antara tashawwuf dan ahli zhahir
Karena omongan yang terbit karena tidak tahu tingkatan ilmu-ilmu
Berpegang dengan samar-samar serta tidak ada wara’
2) Tingkatan-tingkatan al-Jarh Pertama, tingkatan para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti fihi maqal (ada yang diperbincangkan dalam dirinya), fihi adna maqal (apa yang diperbiincangkan adalah sesuatu yang paling rendah), laysa bi al-matin (tidak kuat), laysa bi hujjah (tidak bisa dipakai hujjah), laysa bi al-hafidz (bukan orang hafidz), dan lain-lain. Kedua, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan atasnya. Yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti la yuhtaju bihi (ia tidak dibuthkan), mudhtarib al-hadits (haditsnya kacau), lahu ma yunkaru (haditsnya diingkari para ulama), haditsuhu munkar (haditsnya munkar), lahu munakir (ia punya hadits-hadits munkar), dhaif (lemah), atau munkar menurut selain al-Bukhari, sebab al-Bukhari sendiri pernah berkata, “Setiap perawi yang aku komentari sebagai munkirul hadits, maka tidak halal meriwayatkan hadits darinya. Ketiga, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti
fulan rudda haditsuhu (ia ditolak haditsnya), mardud al hadits (haditsmya ditolak), dhaif jiddan (sangat lemah), la yuktab haditsuhu (haditsnya tidak boleh ditulis), mathruh al-hadist (hadits yang diriwayatkannya harus dibuang), mathruh (dibuang), dan lain-lain. Keempat, tingkatan yang lebih buruk dari tingkatan di atasnya, yakni para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti fulan yasyriq al-hadits (ia telah mencuri hadis), muttaham bi al-kidzb (dituduh sebagai seorang pendusta), muttaham bi al-wadh’ (dituduh sebagai seorang pemalsu), saqith (perawi yang gugur), dzahib al-hadist (hadistnya hilang), halik (perawi yang binasa), dan lain-lain. Kelima, tingakatn yang lebih buruk dari atasnya, ykni para perawi yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan, seperti Dajjal (si dajjal), kadzdzab (tukang bohong), wadhdha’ (tukang pemalsu hadits), dan lainnya. Keenam, tingkatan yang lebih buruk lagi, yakni para perawii yang dikomentari dengan ungkapan-ungkapan hiperbolis (mubalaghah), seperti akdzab al-nas (manusia paling dusta), ilayhi munaha al-kidzb (dialah puncak kebohongan), mamba’ al-khidzb (sumber kebohongan), dan lain sebagainya. B. At-Ta’- dil “Ta’dil”,
menurut
bahasa,
artinya:
meluruskan,
membetulkan,
membersihkan. Sedangkan “Ta’dil”, menurut must-thalah Hadits, ialah: “menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi, maupun semua itu benar ada pada diri rawi atau tidak. Istilah ini digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya. Orang yang mampunyai penilaian seperti ini disebut ‘adil, sehingga hadis yang dibawanya diterima dan dinyatakan sebagai hadis shahih. 1) Tingkatan-tingkatan ta’dil Tingkat pertama, yakni para sahabat. Di sini terdapat jargon yang cukup terkenal: kullu sahabat ‘udul (semua sahabat adalah adil). Tingkat kedua, yakni tingkatan orang-orang yang direkomendasikan para ulama dengan menggunakan ungkapan-ungkapan yang hiperbolis, missalnya awtsaqu al-nas (manusia paling tsiqqah), adhbath al-nas (manusia
paling cerdas), ilayhi muntaha al-tatsbit (dialah puncak kesahhahihan), dan lain-lain. Tingkatan ketiga, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama dengan ungkapan ganda yang berbeda, misalnya tsabat harbefizh (kuat lagi hafal) tsiqqah tsabat (tsiqqah lagi kuat), dan lain-lain. Atau dengan satu ungkapan yang diulang, misalnya tsiqqatu tsiqqah, dan lain-lain. Tingkatan keempat, yakni tingkatan orang-orang yang dipuji para ulama dengan memakai satu ungkapan yang menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan adalah tsiqqah, misalnya dengan kata-kata tsabat, hujjah, dhabit, qawi, dan lain-lain. Tingkatan kelima, yakni tingkatan orang-orang yang dikomentari para ulama dengan ungkapan-ungkapan seperti shuduq (jujur), khiyar al-khalaq (orang pilihan), dan lain sebagainya. C. Hal-hal yang Disyariatkan dan Tidak Disyariatkan dalam Jarh wa Ta’dil. Dalam tradisi ilmu hadits, seorang yang hendak melakukan jarh maupun ta’dil harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 1. Ia harus seorang yang alim, wara’, bertakwa, dan jujur 2. Harus mengetahui sebab-sebab seseorang di-jarh maupub di-ta’dil 3. Harus menguasai bahasa dan percakapan orang Arab dengan baik, tidak meletakkan kalimat di luar maknanya, sehingga terhindar dari melakukan jarh dengan kalimat yang bukan kalimat jarh. Sebaliknya, hal-hal yang tidak diisyaratkan untuk men-jarh atau men-ta’dil seseorang, yaitu: 1. Tidak diisyaratkan harus laki-laki atau wanita. 2. Tidak diisyaratkan harus merdeka. 3. Sebagian ulama menyatakan, jarh maupun ta’dil hanya bisa diterima dengan kesaksian dua orang atau lebih. Namun sebagian yang lain menerima jarh dan ta’dil dari satu orang saja, karena banyaknya jumlah tidaklah diisyaratkan dalam diterima atau ditolaknya sebuah riwayat. D. Pertentangan antara Jarh dan Ta’dil Apabila ada seorang perawi yang dinilai positif (di-ta’dil) oleh sebagian ulama, sementara ulama yang lain memberinya catatan negatif (di-jarh), maka
dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat yang secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar. Satu kelompok ulama berpendapat bahwa ta’dil yang jumlahnya banyak harus lebih didahulukan di atas jarh yang sedikit. Jadi bagi kelompok ini, jumlah menjadi faktor penentu dan sangat penting. Alasannya jumlah yang banyak tentunya akan saling menguatkan dan kita harus menghargai perkataan mereka. Dan ini disebut dengan kaidah al-ta’dil muqaddimun ‘ala al-jarh (pujian lebih didahulukan ketimbang celaan). Pendapat yang dipandang shahih oleh Ibnu Shalah, al- Razi, al-Atmidi, dan lain-lain adalah bahwa jarh harus lebih didahulukan daripada ta’dil, secara mutlak, walaupun yang menta’dil lebih banyak jumlahnya. Demikian pula yang dikutip al-Khathib al-Baghdadi dari jumhur ‘ulama. Alasannya karena pihak yang men-jarh mempunyai pengetahuan yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil. Dengan kata lain, pihak yang men-jarh bisa menerangkan cacat perawi yang tidak diketahui oleh pihak yang menta’dil. Inilah yang disebut dengan kaidah aljarh muqaddimun ‘ala al-ta’dil (kritik harus didahulukan daripada pujian). Pendapat ini didukung oleh Hasbi Ash Shiddiedy dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.4 3. Hubungan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dan Ilmu Rijalul Hadits Dari pembahasan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan tentang hubungan kedua ilmu tersebut bahawa antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul Hadits merupakan cabang ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan kebenaran suatu hadits serta saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa dikatan ilmu al-jarh wa at-ta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang periwayat hadits yang masuk dalam sanad hadits, meskipun ada sedikit perbedaan terhadap objek pembahasannya yaitu : 1. Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil menunjukkan tindakan secara aktif untuk mengetahuai secara mendalam tentang kecacatan-kecacatan yang terdapat dalam diri periwayat.
4
M.Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah…hlm.374.
2.
Sedangkan Ilmu Rijalul Hadits tidak menunjukkan tindakan yang secara aktif untuk mengetahui kecacatan yang ada pada diri periwayat hadits, akan tetapi lebih membahas tentang biaografi dan kebiasaan yang senantiasa dilakukan oleh periwayat dalam segala aktifitasnya.
BAB III KESIMPULAN Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil merupakan cabang-cabang ilmu hadits yang membahas tentang para periwayat hadits, supaya dapat diketahui cacat dan tidaknya, adil dan tidaknya seorang periwayat hadits, sehingga dapat diterima riwayatnya atau bahkan ditolak riwayatnya secara keseluruhan. Ilmu Rijalul Hadits yaitu ilmu yang membahas para rawi hadits, baik dari kalangan sahabat, tabi’in, mauun dari generasi-generasi sesudahnya. Dengan kata lain Ilmu Rijalul Hadits merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan dan atau sejarah hidup para periwayat hadits dari semua generasi pada setiap thabaqahnya. hubungan antara Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil dengan Ilmu Rijalul Hadits merupakan cabang ilmu hadits yang sama pentingnya dalam menentukan kebenaran suatu hadits serta saling berkaitan satu dengan yang lainnya, bahkan bisa dikatan ilmu al-jarh wa atta’dil merupakan bagian dari ilmu rijalul hadits, begitupun sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari kesamaan pembahasannya yaitu tentang periwayat hadits yang masuk dalam sanad hadits.
Daftar pustaka Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1987. Kamus Arab : Arab-Indonesia, Indonesia-Arab, Surabaya: Apollo. Sahrani, Sohari, dkk., (ed.), Ulumul Hadits, Banten: IAIN SMH Banten, 2009. Soetari, Ending, Ilmu Hadits: Kajian Diriwayah dan Dirayah, Bandung: Mimbar Pustaka, 2005. Solahudin , M. Agus, dkk., (ed.) Ulumul Hadis, editor: Drs. Maman Abd. Djaliel, M.Ag., Bandung: Pustaka Setia, 2015, cetakan kedua. https://muhibbin99.blogspot.com/2018/01/makalah-ilmu-al-jarh-wa-at-tadil-dan.html; diakses pada 24/03/2019; pukul; 16:48.