Nama
: Rifqi Azhar Fadillah
NIM
: 4115162130
Kelas
: PPKn A 2016
Dosen
: Dr. Achmad Husen, M.Pd
MATERI 1 A. Pengertian hukum dalam islam, syariat dan fiqih Sebelum dikaji bagaimana pandangan hukum Islam tentang wanita, ada baiknya terlebih dahulu dikaji secara singkat gambaran umum tentang hukum Islam. Untuk memahami hukum Islam secara singkat, akan diuraikan pada bagian ini pengertian beberapa istilah yang terkait dengan hukum Islam, seperti syariah, fikih, dan hukum Islam sendiri, serta hubungan antar berbagai istilah tersebut. Di samping itu, pada bagian ini akan diuraikan juga sumber-sumber hukum Islam dan ruang lingkupnya. Semua permasalahan itu akan diuraikan satu persatu seperti di bawah ini. a. Hukum Kata hukum berasal dari bahasa Arab hakamayahkumu-hukmun yang berarti memimpin, memerintah, menetapkan, atau memutuskan, sehingga kata hukmun berarti putusan, ketetapan, pemerintahan, atau kekuasaan. Dalam KBBI kata ‘hukum’ diartikan dengan: 1. peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat; 2. undang-undang, peraturan, dsb.; 3. patokan (kaidah, ketentuan); dan 4. keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.. b. Syariah atau syariat Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syarī’at yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yan g harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Secara harfiah kata kerja syara’a berarti menandai atau menggambar jalan yang jelas menuju sumber air. Dalam pemakaiannya yang bersifat religius, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Alquran menggunakan kata syir’at dan syarī’at (QS. al-Māidat (5): 48 dan QS. alJāsiyat (45): 18) dalam arti dīn atau agama dengan pengertian jalan yang telah ditetapkan
Tuhan bagi manusia atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuhtumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia. Syariah adalah hukum amaliyah yang berbeda di kalangan umat manusia menurut perbedaan Rasul yang membawanya. Syariah yang datang kemudian mengoreksi dan membatalkan syariah yang lebih terdahulu, sedangkan dasar agama, yaitu aqidah (tauhid), tidak berbeda di antara para rasul dan umatnya
c. Fiqih Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata be rbahasa Arab: al-fiqh (), yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu.8 Dalam hal ini kata ‘ fiqh’ identik dengan kata ‘ fahm’ () yang mempunyai makna sama. Kata fikih pada mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal Alquran menggunakan kata ‘ fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘ faqiha’ dalam 20 ayat. Dalam pengertian memahami, kata fiqh secara umum berada di lebih dari satu tempat dalam Alquran. Ungkapan Alquran ‘ liyatafaqqahū fi al-dīn’(QS. al-Taubat (9): 122) yang artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman dalam agama’ menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fiqh tidak hanya dikenakan dalam pengertian hukum saja, tetapi juga mempunyai arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu aspek teologis, politis, ekonomis, dan hukum. Istilah lain yang searti dengan fiqh adalah ‘ilm. Jadi, kata fiqh dan ‘ilm pada masa-masa awal digunakan dalam lingkup yang lebih luas. Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukallaf. Atau dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan oleh para pakar ilmu fikih seperti al-Qādi Husein, Imām al-Subki, Imām Ibn ‘Abd al-Salām, dan Imām al-Suyūthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih adalah zakerhijd atau
kepastian, kemudahan, dan kesepakatan bersama yang sudah mantap. Pola umum dari fikih adalah kemaslahatan (i’tib ār al-mashālih).
MATERI 2 2. Asas dan prinsip hukum islam a. Asas hukum islam Tim pengkaji Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, dalam laporannya tahun 1983/1984 (laporan 1983/1984 :14-27) menyebut beberapa asas Hukum Islam yang (1) bersifat umum, (2) dalam lapangan hukum pidana, dan (3) dalam lapangan hukum perdata: 1)
Asas-asas umum : Asas-asas hukum islam yang meliputi semua bidang dan
segala lapangan hukum islam adalah
2)
a.
Asas keadilan
b.
Asas kepastian hukum
c.
Asas kemanfaatan
Asas-asas dalam lapangan hukum pidana: Asas-asas dalam lapangan hukum
pidana Islam antara lain adalah
3)
a.
Asas legalitas
b.
Asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain
c.
Asas praduga tidak bersalah
Asas-asas dalam lapangan hukum perdata a.
Asas kebolehan atau mubah
b.
Asas kemaslahatan hidup
c.
Asas kebabasan dan kesukarelaan
d.
Asas menolak medarat
e.
Mengambil manfaat
f.
Asas kebijakan
g.
Asas kekeluargaan
h.
Asas adil dan berimbang
i.
Asas mendahulukan kewajiban dari hak
j.
Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain
k.
Asas kemampuan berbuat
l.
Asas kebebasan berusaha
m. Asas mendapatkan hak karena usaha dan jasa n.
Asas perlindungan hak
o.
Asas hak milik berfungsi social
p.
Asas yang beritikad baik harus dilindungi
q.
Asas resiko dibebankan pada benda atau harta, tidak pada tenaga atau pekerja
r.
Asas mengatur sebagai petunjuk
s.
Asas perjanjian tertulis atau diucapkan didepan saksi
b. Prinsip Hukum Islam. Tauhid Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah ketetapan yang sama, yaitu, ketetapan tauhid yang ditetapkan dalam kalimat là ilâha illa Allâh (Tiada Tuhan selain Allah). Al-Quran memberikan ketentuan dengan jelas mengenai prinsip persamaan tauhid antar semua umat-Nya. Berdasarkan prinsip tauhid ini, pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan diri kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas kemahaesaan-Nya dan menifestasi syukur kepada-Nya. Prinsip tauhid memberikan penjelasan logis tentang manusia tidak boleh saling menuhankan sesama manusia atau sesama makhluk lainnya. Konsekuensi prinsip tauhid ini mengharuskan setiap manusia untuk menetapkan hukum sesuai ketentuan dari Allah (al-Quran dan Sunah). Allah adalah pembuat hukum (syåri), sehingga siapa pun yang tidak menetapkan hukum sesuai dengan ketetapan Allah, maka seseorang tersebut dapat dikategorikan sebagai orang yang mengingkari kebenaran, serta zalim karena membuat hukum mengikuti kehendak pribadi dan hawa nafsu. Keadilan Islam memerintahkan agar hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ihsan. Keadilan yang harus ditegakkan meliputi keadilan terhadap diri sendiri, pribadi, keadilan hukum, keadilan sosial, dan keadilan dunia.
Keadilan dalam Hukum Islam meliputi berbagai aspek kehidupan; hubungan manusia dengan Tuhan ; hubungan dengan diri sendiri; hubungan manusia dengan sesama manusia (masyarakat); dan hubungan manusia dengan alam sekitar. Amar Makruf Nahi Munkar Dua prinsip sebelumnya melahirkan tindakan yang harus berdasarkan asas amar makruf nahi munkar. Suatu tindakan di mana hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia menuju tujuan yang baik, benar, dan diridhai oleh Allah swt. Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma’ruf : kebaikan, nahyi: mencegah, munkar: kejahatan. Abul A'la al-Maududi menjelaskan tujuan utama dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di atas dasar ma’rifat (manfaat-kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatan. Dalam bukunya, Maududi memberikan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan ma'ruf dan munkar sebagai berikut: Istilah ma’rufat (jamak dari ma’ruf) menunjukan semua kebaikan dan sifat-sifat yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani manusia sebagai suatu yag baik. Munkarât (jamak dari munkar) menunjukkan semua dosa dan kejahatan sepanjang masa hukuman telah dikutuk oleh watak manusia sebagai sesuatu yang jahat. Dalam filsafat hukum Islam dikenal dengan istilah amar makruf sebagai fungsi sosial engineering , sedangkan nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan penegakan hukum. Berdasarkan prinsip inilah di dalam hukum Islam adanya istilah perintah dan larangan; waajib dan haram; pilihan antara melakukan perbuatan yang kemudian dengan sebutan al-ahkam al-khamsah atau hukum lima, yaitu : wajib haram, sunah, makruh dan mubah. Hukum Islam hadir dengan Prinsip nahi munkar untuk memerankan fungsi social control, memberikan suatu batasan tingkah laku masyarakat yang menyimpang dan akibat harus diterima dari penyimpangan itu. Sebagai sarana perekayasa sosial (mengubah masyarakat) amar makruf bertujuan menciptakan perubahan-perubahan dalam masyarakat menuju kemajuan yang terencana dan berlandaskan keimanan dan rasa taqwa kepada Allah.
Kemerdekaaan atau Kebebasan (Al-Hurriyyah) Kebebasan individual berupa penentuan sikap atas berbuat sesuatu atau tidak. Namun demikian, Islam tetap memberian batasan nilai. Artinya kebebasan yang diberikan oleh Islam tidaklah bebas Value (nilai) atau liberal apalagi sekuler. Setiap individu berhak menentukan sendiri sikapnya, namun kebebasan atau kemerdekaan seseorang tersebut tetaplah dibatasi oleh kebebasan dan kemerdekaan orang lain. Persamaan atau Egaliter Dihadapan Tuhan atau di hadapan penegak hukum, manusia baik yang mskin atau kaya, pintar atau bodoh sekalipun semua berhak mendapat perlakuan yang sama karena islam mengenal prinsip persamaan (egalite) tersebut. Tolong-Menolong dan Toleransi Taàwun yang berasal dari akar kata ta'awana-yata'àwanu atau biasa diterjemahkan dengan pertolongan tolong-menolong ini merupakan salah satu prinsip di dalam Hukum Islam. Bantu membantu ini ditujukan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah. Toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya.
MATERI 3 3. Sumber Hukum Islam a. Pengertian Sumber hukum Kata ‘sumber’ dalam hukum fiqh adalah terjemah dari lafadz () مصادر – مصدر, lafadz tersebut terdapat dalam sebagian literatur kontemporer sebagai ganti dari sebutan dalil ( ) الدليل atau lengkapnya “ adillah syar’iyyah” ( ) األدلة الشرعية. (Sedangkan dalam literatur klasik, biasanya yang digunakan adalah kata dalil atau adillah syar’iyyah, dan tidak pernah kata “ mashadir al-ahkam al-syar’iyyah” ( )مصادر األحكام الشرعية. Kata sumber ( مصادر,( atau dengan jamaknya مصادر, dapat diartikan suatu wadah yang dari wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan ‘dalil hukum’ berarti sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah.Berikut 2 pembahasan sumber utama hukum, yaitu:
1. Alquran. Kata Alquran dalam bahasa Arab berasal dari kata Qara'a artinya ' membaca. Bentuk mashdarnya artinya ' bacaan' dan 'apa yang tertulis padanya'. Seperti tertuang dalam ayat Al-Qur'an : - Secara istilah Alqur'an adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tertulis dalam mushhaf berbahasa Arab, yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir, bila membacanya mengandung nilai ibadah, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas Al-Jurjani mendefinisikan Al-Qur'an: Al-Qur'an adalah (Kalamullah) yang diturunkan kepada Rasulullah tertulis dalam mushhaf, ditukil dari Rasulullah secara mutawatir dengan tidak diragukan. Adapun hukum-hukum yang terkandung dalam Alqur'an, meliputi (a).Hukum-hukum I'tiqadiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan keimanan kepada Allah swt, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab, para Rasul Allah dan kepada hari akhirat. (b). Hukum-hukum Khuluqiyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan akhlak. manusia wajib berakhlak yang baik dan menjauhi prilaku yang buruk. (c).Hukum-hukum Amaliyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum amaliyah ini ada dua; mengenai Ibadah dan mengenai muamalah dalam arti yang luas. Hukum dalam Alqur'an yang berkaitan dengan bidang ibadah dan bidang al-Ahwal alSyakhsyiyah / ihwal perorangan atau keluarga. disebut lebih terperinci dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lainnya. Hal ini menunjukan bahwa manusia memerlukan bimbingan lebih banyak dari Allah swt dalam hal beribadah dan pembinaan keluarga. Banyak manusia yang menyekutukan Allah, ini perlu diluruskan dan teguran, sedang keluarga
merupakan unsur terkecil dalam masyarakat dan akan memberi warna terhadap yang lainnya. Adapun dalam bidang-bidang lain yang pengaturannya bersifat umum, memberi peluang kepada manusia untuk berpikir, tentu ini sangat bermanfaat, karena dengan pengaturan yang bersifat umum itu Alqur'an dapat digunakan dalam berbagai lapisan masyarakat, dan berbagai kasus dalam sepanjang jaman. Hukum Islam memberi peluang kepada masyarakat dan manusia untuk berubah, maju dan dinamis. Namun kemajuan dan kedinamisannya harus tetap dalam batas-batas perinsip umum Alqur'an. Perinsip umum itu adalah Tauhidullah, persaudaraan, persatuan dan keadilan
2. As-Sunnah atau Al-Hadis As-Sunnah Sunnah secara bahasa berarti ' cara yang dibiasakan' atau ' cara yang terpuji. Sunnah lebih umum disebut hadits, yang mempunyai beberapa arti: = dekat, = baru, = berita. Dari artiarti di atas maka yang sesuai untuk pembahasan ini adalah hadits dalam arti khabar, seperti dalam firman Allah Secara Istilah menurut ulama ushul fiqh adalah semua yang bersumber dari Nabi saw, selain Al-Qur'an baik berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan. Adapun Hubungan Al-Sunnah dengan Alqur'an dilihat dari sisi materi hukum yang terkandung di dalamnya sebagai berikut : a. Muaqqid Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkan Al-Qur'an dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah, misalnya tentang Shalat, zakat terdapat dalam Al-Qur'an dan dikuatkan oleh Al-sunnah. b. Bayan Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Al-Qur,an yang belum jelas, dalam hal ini ada tiga hal : (1).Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang masih mujmal, misalnya perintah shalat dalam Al-Qur'an yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. Demikian juga tentang zakat, haji dan shaum. Dalam Shalat misalnya. (2).Membatasi kemutlakan ( taqyid al-muthlaq) Misalnya: Al-Qur'an memerintahkan untuk berwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Kemudian Al-Sunnah membatasinya. (3). Mentakhshishkan keumuman, Misalnya: Al-Qur’an mengharamkan tentang bangkai, darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikan pengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa. (4) menciptakan hukum baru. Rasulullah melarang untuk binatang buas dan yang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur'an
MATERI 4 Hukum Islam sebagai hukum positif dalam sistem hukum nasional ( Hukum perkawinan dan Hukum waris) 1. Pengertian Hukum Islam Kata Hukum Islam tidak ditemukan sam sekali didalam Alquran dan literasi hukum dalam Islam yang ada dalam alquran adalah kata Syari’ah, Fiqh, Hukum Allah dan yang seakar dengannya. Kata-Kata hukum Iaslam adalah terjemahan dari term “islamic law” dari Literatur Barat. Definis Hukum Islam adalh keseluruhan kitab Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspek atau Hukum islam adalah Seperangkat peraturan bedasarkan wahyu Allahdan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallah yang diakui dan dyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum nasionl adalah hukum yang dbangun oleh bangsa Indonesia, seteah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia, terutama bagi warga Negara Republik Indoensia sebagai penggnati hukum kolonial. Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yangterdiri atas berbagai suku bangsa dengan budaya dan agama yang berbeda,ditambah dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan olehpemerintah kolonial dahulu, bukan pekerjaan mudah. Pembangunanhukum nasional akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandangagama yang dipeluknya harus dilakukan dengan hati-hati, karena di antaraagama yang dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ini ada agamayang tidak dapat diceraipisahkan dari hukum. Agama Islam, misalnya,adalah agama yang mengandung hukum yang mengatur hubunganmanusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat. Bahwa Islamadalah agama hukum dalam arti kata yang sesungguhnya. Oleh karenaitu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritaspenduduknya beragama Islam seperti di Indonesia ini, unsur-unsur hukum agama itu harus benar-benar diperhatikan. Untuk itu perluwawasan yang jelas dan kebijakan yang arif.Karena hukum nasional harus mampu mengayomi dan memayungiseluruh bangsa dan negara dalam
segala aspek kehidupannya,
makamenurut Menteri Kehakiman Ismail Saleh (1989) dalam merencanaka pembangunan hukum nasional, kita wajib menggunakan wawasan nasional yang merupakan tritunggal yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, yaitu: wawasan kebangsaan, wawasan nusantara dan wawasan bhineka tunggal ika. Dipandang dari wawasan kebangsaan sistem hukum nasional harus berorientasi penuh pada aspirasi serta kepentingan bangsa Indonesia. Wawasan kebangsaan ini, menurut Menteri Kehakiman, bukanlah wawasan kebangsaan yang tertutup, tetapi terbuka memperhatikan kepentingan generasi yang akan datang dan mampu menyerap nilai-nilai hukum modern. Karena yang dianut dalam pembangunan hukum nasional juga wawasan nusantara yang menginginkan adanya satu hukum nasional, maka usaha unifikasi di bidang hokum harus sejauh mungkin dilaksanakan. Ini berarti seluruh golongan masyarakat akan diatur oleh satu sistem hukum yaitu sistem hukum nasional. Akan tetapi, demi keadilan, kata Menteri Kehakiman, hukum nasional yang akan diwujudkan berdasarkan kedua wawasan itu, harus juga memperhatikan perbedaan latar belakang sosial budaya dan kebutuhan hukum yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh karena itu, di samping kedua wawasan tersebut, pembangunan hukum nasional harus mempergunakan wawasan bhinneka tunggal ika. Dengan mempergunakan wawasan tersebut, unifikasi hukum yang diinginkan oleh wawasan nusantara itu harus menjamintertuangnya aspirasi, nilai-nilai dan kebutuhan hubungan masyarakat kedalam sistem hukum nasional. Dengan wawasan Bhinneka Tunggal Ika ini, keragaman suku bangsa, budaya dan agama sebagai aset pembangunan nasional harus dihormati, sepanjang, tentu saja, tidak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. (Mardani, 2009) b. Kontribusi Hukum Islam dalam Pembangunan Hukum Nasional Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional,hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen. Pertama, UU No. I tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undangundang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang
dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya. Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islamdalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensimerumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum. Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: (1) Ada, dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia; (2) Ada, dalam arti kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional; (3) Ada, dalam arti hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia; (4) Ada, dalam arti sebagai bahan utama dan unsur utama. Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai. Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh dibiarkan saling bertentangan.
MATERI 5 Pengertian tujuan, Prinsip diperhatikan sebelum perkawinan A. Pengertian perkawinan Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan seharihari orang arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membemtuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman tenteram, bahagia dan kekal Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dengan yang tercantum dalam Pasal 1 Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bahasia Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh (Kamus Besar Bahas Indonesia, 1994:456). Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin menyatakan perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila (Soedharyo Saimin, 2002:6). Ali Afandi menyatakan perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.
Persetujuan kekeluargaan dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri-ciri tertentu (Ali Afandi, 1984:94). Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi Hukum Islam adalah jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara seorang
pria
dengan
seorang
wanita sebagai suami isteri dengan memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah putus untuk mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan suami isteri dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum syariat serta hukum negara dan tidak ada jalan lain untuk mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selamalamanya. Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan mempunyai 4 (empat) unsur, yakni : 1) ikatan lahir batin, maksudnya dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali menpelai perempuan dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas kawin, tetapi ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan yang ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang peranan yang sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluara bahagia dan kekal. 2) antara seorang pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan perkawinan menurut UU perkawinanhanya boleh terjadi antara seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi isteri. Dengan demikian pasal 1 UU perkawinan menganut azas monogami. 3) membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya perkawinan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan, kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk membentuk sebuah keluarga harusmampu membawa ketenangan dan ketentraman sampai akhir hayatnya. 4) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus berdasarkan pada ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama. Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang diatur dalam hukum agama.
B. Tujuan Pernikahan
Berbicara mengenai tujuan pernikahan atau tujuan perkawinan, kedua belah pihak antara lakilaki dan perempuan melangsungkan pernikahan atau perkawinan bertujuan untuk memperoleh keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tujuan pernikahan akan dibahas sebagai berikut.
1. Tujuan Pernikahan Sakinah (tenang) Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang tenang dan tentram. Dalam Tafsirnya Al-Alusi mengatakan bahwa sakinah adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini merupakan satu hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung terhadap dirinya.Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman, karena makna lain dari sakinah adalah ketenangan. Ketenangan dan ketentraman ini yang menjadi salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif untuk menjaga kesucian hati agar terhindar dari perzinahan.
2. Tujuan Pernikahan Mawadah dan Rahmah Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kerohanian.Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir ialah al mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar rahmah adalah ar-ra’fah (kasih sayang). Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang masih muda sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.
C. Prinsip Perkawinan dalam Islam Prinsip perkawinan dalam islam terdapat dalam Q.IV : 3 1. Apabila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim (yang kamu berkewajiban memeliharanya)
2. Maka nikahilah wanita-wanita tertentu yang baik boleh dua, tiga atau empat 3. Tetapi apabila kamu takut tidak akan berlaku adil (terhadap istri-istri kamu itu) maka nikahilah oleh kamu fawahidathan atau fawahidah atau satu perempuan saja. 4. Bahwa nikah dengan satu orang perempuan itu saja adalah lebih baik agar kamu terhindar dari perbuatan aniaya Dari tafsir Q. IV : 3 ini dapat kita ikuti beberapa pendapat tentang prinsip perkawinan menurut hukum islam pada umumnya hanya ada dua pendapat : 1. Bahwa prinsip perkawinan menurut hukum islam bertitik tolak dari Q IV: 3 ini da hadits fi’il dari Rasulullah maka prinsipnya perkawinan itu adalah poligami, maka nikahilah oleh kamu dua dan seterusnya 2. Bertitik tolak juga dari Q IV: 3 ini maka pendapat kedua bahwa hukum islam itu prinsipnya adalah monogamy tetapi poligami adalah pengecualian. Pendapat pertama bahwa prinsip perkawinan menurut islam adalah poligami,yaitu nikahilah oleh kamu wanita-wanita yang baik dua, tiga atau empat. Bilamana dihubungkan dengan quran surah IV ayat 127, bahwa tambah dapat dibenarkan bahwa prinsip perkawinan menurut hukum islamitu adalah poligami, apabila ditanyakan kepada Nabi Muhammad SAW siapa-siapa wanita yang boleh dikawini dua, tiga atau empat itu ialah wanita anak yatim yang berada dalam pemeliharaan kamu atau ibu dari anak yatim itu. Jadi makin tampak dengan jelas menurut tafsiran ini, boleh bebas beristri dua, tiga atau empat itu dengan wanita mana pun asal dapat berlakuadil (Hazairin: 1974). Sedangkan menurut pendapat kedua dalam tafsiran ini bahwa prinsipnya adalah monogami. Apabila kamu tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim dalam pemeliharaan kamu maka nikahilah wanita-wanita ibu dari anak yatim itu boleh dua tiga atau empat. Tetapi apabila kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap istri-istri kamu itu kelak, maka nikahilah oleh kamu wanta itu satu saja (Ramulyo, 2004). Prinsip perkawinan dalam islam yang terdapat pada sumber yaitu agar suatu pernikahan dapat mencapai tujuannya yaitu duniawi menuju kebahagiaan akhirat, maka Islam menggariskan sejumlah prinsip dasar, antara lain adalah : 1. Kebebasan dalam memilih jodoh Proses peminangan yang dilanjutkan dengan ta’aruf terhadap perempuan yang diinginkan menunjukkan adanya prinsip
kebebasan laki-laki memilih jodoh. Meski Islam memberikan hak pilih dalam memilih jodoh, namun tetap ada rambu-rambu agar tidak salah dalam memilih jodoh, yaitu agama sebagai pertimbangan utama. Kebahagiaan keluarga dapat terwujud jika suami isteri yang menjalankan agamanya dengan baik (taat). 2. Sakinah, mawaddah dan rahmah Mawaddah secara bahasa bermakna cinta kasih, sedangkah rahmah berarti kasih sayang. Mawaddah wa Rahmah terbentuk dari suasana hati yang ikhlas dan rela berkurban demi kebahagiaan pasangannya. Pernikahan yang meskipun mengandung tujuan melanjutkan keturunan, namun pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. 3. Saling melengkapi dan melindungi Posisi atau kedudukan suami dan isteri adalah sederajat, saling menutupi aib, melindungi, membutuhkan dan melengkapi, karena masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya, menutupi aibnya ibarat pakaian yang menutupi tubuh. 4. Mu’asyarah bi al-Ma’ruf Prinsip ini berdasar al Qur’an surat al-Nisa’ (3) Ayat tersebut menjelaskan bahwa Islam memperhatikan kaum perempuan. Hal ini juga dikuatkan hadits nabi pada peristiwa haji wada’ yang mewasiatkan kaum Muslimin bahwa isteri adalah amanat dari Allah kepada para suami/laki-laki. Nabi adalah tauladan dalam memperlakukan isterinya dengan lembut, sopan santun bahkan tidak segan pula beliau mengambil alih mengerjakan tugastugas rumah tangga (Ainiyah, 2018).
D. Sumber hukum perkawinan di Indonesia 1. Al-Qur’an Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan adalah sebagai berikut: a. Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain adalah untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya terdapat didalam QS. Al-Dzariyat:49, QS.Yasin:36, QS.al-Hujurat:13, QS.alNahl:72. b. Perkawinan adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami istri, kalangan
keluarga yang lebihluas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya. Hal ini dapat dilihat didalam QS. Al-Rum:21, QS.An-nur:32. c. Larangan-larangan Allah untuk dalam perkawinan dapat dilihat didalam QS.al-Baqarah:235, QS.Al-Nisa:22-23, QS.an-Nur:3, QS.al-Baqarah:221, QS.al-Maidah:5, QS.al-Mumtahanah:10. d. Perintah berlaku adil dalam perkawinan dapat dilihat di dalam QS. AnNisa’:3 dan 34. e. Adanya peraturan dalam melakukan hubungan suami istri terdapat di dalam QS. Al-Baqarah:187, 222, dan 223. f. Aturan-aturan tentang penyelesaian kemelut rumah tangga terdapat di dalam QS.an-Nisa’:35, QS. Al-Thalaq:1, QS. Al-Baqarah:229-230. g. Aturan tentang masa menunggu (‘iddah) terdapat di dalam QS.alBaqarah:226-228, 231-232, 234, 236-237, QS. Al- Thalaq:1-2, 4, 7, dan 66, serta QS al-Ahzab;49. h. Hak dan kewajiban dalam perkawinan terdapat di dalam QS. Al-Baqarah: 228-233, serta QS. An-Nisa’:4. i. Peraturan tentang nusyuz dan zhihar terdapat di dalam QS. An-Nisa’:20 dan 128, QS. Al-Mujadalah:2-4, QS. An-Nur;6-9.
2. Al Hadist Meskipun Al-Quran telah memberikan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dengan sangat terperinci sebagaimana disebutkan diatas, tetapi masih diperlukan adanya penjelasan penjelasan dari sunnah, baik mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al- Qur’an secara garis besar. Beberapa contoh sunnah mengenai hal-hal yang tidak disinggung dalam Al-Quran dapat disebutkan antara lain sebagai berikut: a. Hal-hal yang berhubungan dengan walimah. b. Tata cara peminangan. c. Saksi dan wali dalam akad nikah. d. Hak mengasuh anak apabila terjadi perceraian. e. Syarat yang disertakan dalam akad nikah.
Beberapa contoh penjelasan sunnah tentang hal-hal yang disebutkan dalam AlQur’an secara garis besar sebagai berikut:
a. Pengertian quru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an mengenai masa ‘iddah perempuan yang ditalak suaminya. b. Bilangan susuan yang mengakibatkan hubungan mahram. c. Besar kecilnya mahar. d. Izin keluar rumah bagi perempuan yang mengalami ‘iddah talak raj’i. e. Perceraian yang terjadi karena li’an merupakan talak yang tidak memungkinkan bekas suami istri kembali nikah lagi.
MATERI 6 Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum perkawinan
6.. Persiapan Perkawinan 1. Memilih jodoh yang tepat Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Karena perkawinan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi. Oleh karena itu, Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat. Sesuai dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah menjelaskan : “perempuan dinikahi pada umumnya atas pertimbangan empat faktor, yaitu kecantikannya, kekayaannya, pangkatnya (status sosialnya), dan agamanya. Maka pilihlah perempuan yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung”. Yang dimaksud dengan memilih perempuan yang kuat agamanyaadalah komitmen keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan, suatuketika akan hilang
2. Peminangan Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Peminangan itu disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Sedangkan menurut terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita Berdasarkan ketentuan Pasal 12 dapat dijelaskan bahwa seorang laki-laki bebas untuk meminang seorang wanita, baik perawan atau janda yang ingin dijadikan istrinya. Kecuali wanita tersebut masih terdapat keterikatan dalam ikatan pinangannya dengan pria lain. Selain itu seorang laki-laki tidak boleh meminang wanita yang sedang dalam masa iddah karena dalam masa iddah itu, bekas suaminya masih mempunyai hak untuk merujuk isteri, jika hal itu diinginkannya. Disamping itu, dalam masa iddah juga dapat memperjelas status kandungan seorang janda, serta dapat mengetahui hamil atau tidak hamil dari perkawinan sebelumnya.
3. Melihat perempuan yang dipinang Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat perempuan yang akan dipinang itu boleh saja. Hal ini didasarkan pada Hadits Rasullullah SAW. Dari Musa bin Abdullah menurut riwayat Ahmad yang berbunyi : “…..berkata Rasul Allah SAW. Bila salah seorang diantaramumeminang seseorang perempuan tidakada halangannya melihat kepadanya bila melihat itu adalah untuk kepentingan peminangan, meskipun perempuan itu tidak mengetahuinya”. (H.R.Ahmad). Adapula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihatperempuan yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Hal inididasarkan kepada Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad danAbu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya: “….apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah”. (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Meskipun hadits Nabi menetapkan boleh melihat perempuanyang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Batasananggota badan yang boleh dilihat adalah:
a) Jika yang melihatnya sama-sama perempuan, seluruh anggota badannya boleh dilihat, dan perempuan yang diutus oleh pihak laki-laki harus mengatakan sejujur-jujurnya tentang keadaan perempuan yang dimaksudkan, sehingga jangan sampai pihak laki-laki tertipu. b) Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang diperbolehkan hanya muka dan telapak tangan, karena selain itu merupakan aurat yang haram dilihat. Larangan melihat anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan kepada dalil Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 31: “dan janganlah
merekamenampakkan
perhiasannya,
kecuali
yang
(biasa)
nampakdarinya.” (Q.S. An-Nur:31). Hadits Nabi dari Khalid ibn Duraik dari Aisyah menurut riwayat Abu Daud pun menegaskan bahwa batas umum aurat seorang perempuan yang mungkin dapat dilihat hanya muka dan telapak tangan. Hadits Nabi tersebut berbunyi:“Asma’ binti Abi Bakar masuk kerumah Nabi sedangkan dia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata : hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tangannya.” Alasan mengapa hanya muka dan telapak tangan saja yang bolehdilihat, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannyadan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui kesuburanbadannya (Amir Syarifuddin, 2006:57). Adapun waktu melihat kepadaperempuan tersebut adalah saat menjelang menyampaikan pinangan,bukan setelahnya, karena apabila laki-laki tersebut tidak suka setelahmelihat maka laki-laki tersebut akan dapat meninggalkannya tanpamenyakitinya
c. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berlangsungnya perkawinan d. Hubungan suami istri (Seperti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan suami istri, membentuk rumah tangga samawa, dll) e. Hubungan suami istri ( speerti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan suami istri, membentuk rumah tangga samawa, dll)
Materi 7 Hal-Hal yang Harus diperhatikan saat Berlangsungnya Perkawinan A. Akad Nikah (Dasar Hukum dan Rukun Akad Nikah) Seperti telah dibahas sebelumnya, berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat perkawinan, salah satunya adalah bahwa dalam perkawinan harus ada akad yang jelas dalam bentuk ijab kabul. Ijab diucapkan oleh wali dari pihak mempelai perempuan, sedangkan kabul adalah pernyataan menerima dari pihak laki-laki. Berdasarkan hal tersebut, telah jelaslah bahwa akad nikah sangat penting dalam perkawinan, sebab akad nikah merupakan hal yang paling pokok dalam perkawinan. Akad nikah sebagai penentu sahnya perkawinan dalam hukum Islam dijamin kelangsungannya, karena telah termuat didalam UU Perkawinan dan KHI. Menurut hukum syara’, akad nikah sendiri mempunyai pengertian yaitu suatu yang membolehkan seseorang untuk melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadzh “menikahkan atau mengawinkan” yang diikuti dengan pengucapan ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria dengan jelas serta tidak terselang oleh pekerjaan lainnya 1. Dasar Hukum Akad Nikah Pernikahan adalah suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Rasullullah SAW. Dan akadnya merupakan suatu perjanjian dan ikatan yang tidak boleh dianggap main-main. Oleh karena itu, akad nikah harus didasarkan pada landasan dan pondasi yang kuat. Landasan akad nikah didasarkan pada tiga hal yaitu: a. Keyakinan atau keimanan. Iman merupakan sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Imanlah yang menjadi syarat diterimanya amal perbuatan manusia. Mengingat pentingnya iman bagi seseorang, sudah seharusnya bila akad nikah menetapkan tauhid ini menjadi dasar atau asas pertamanya. Artinya, akad nikah tidak boleh bertentangan dan harus menumbuhkan serta memupuk iman seseorang. Suatu ikatan perkawinan diharapkan kokoh dan kuat sehingga apapun ujian dan goncangan yang ada dikemudian hari tidak akan goyah dan sirna, karena antara mempelai laki-laki dan perempuan melakukan akad nikahnya dengan dilandasi oleh keimanan yang mapan. b. Al-Islam. Maksudnya bahwa akad nikah merupakan suatu aktivitas ibadah yang telah dicontohkan oleh Rasullullah SAW. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus sesuai dengan ajaran-ajaran dan norma-norma Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul , serta ijtihad, terutama dalam bentuk Ijma’ dan Qiyas.
Dasar hukum akad nikah apabila ditinjau dari aspek kusus dan lebih spesifik terdapat dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 21: “…bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Q.S. An-Nisa : 21) Pada ayat ini, dengan tegas Allah menyatakan bahwa nikah itu bukanlah suatu perjanjian yang biasa saja, tetapi suatu perjanjian yang kuat, perjanjian yang kuat disini maksudnya adalah akad nikah. 2. Rukun Akad Nikah Perkawinan dalam Islam bukanlah semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 KHI bahwa perkawinan merupakan akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah. Dalam KHI, rukun nikah terdapat dalam Bab IV bagian kesatu pasal 14 yang salah satu rukunnya yaitu ijab dan kabul. Ijab dan kabul merupakan rukun yang paling pokok. Dikatakan rukun yang paling pokok dalam perkawinan, karena ada perlambang yang tegas untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambang itu diutarakan dengan kata-kata kedua belah pihak yang mengadakan akad. Para ulama telah sepakat bahwa akad nikah itu baru terjadi setelah dipenuhinya rukun-rukun akad nikah yaitu: a. Adanya calon pengantin laki-laki dan calon penganti perempuan. b. Calon pengantin itu kedua-duanya telah dewasa dan berakal. c. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut. d. Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan. e. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki. f. Harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki yang adil. g. Harus ada upacara ijab kabul.
B. Wali Nikah Wali nikah adalah hal yang sangat penting dan menentukan, karena tidak sah nikah tanpa adanya wali bagi pihak pengantin perempuan. Hal tersebut telah ditegaskan oleh madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah dan Madzhab Hanbaliyah. KHI pun telah menegaskan dalam pasal 19 bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Syarat-syarat menjadi seorang wali adalah:
a. Beragama Islam b. Baligh c. Berakal sehat d. Laki-laki e. Adil. Adil yang dimaksudkan disini adalah, wali taat beragama islam dan wali tidak mendapat tekanan apapun, maka disamping keempat syarat tersebut di atas, maka seseorang sudah cakap bertindak sebagai wali.
C. Saksi Nikah Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa peranan saksi dalam akad nikah sangat penting, mengingat saksi merupakan salah satu rukun nikah dan menjadi syarat sahnya suatu pernikahan. Suatu pernikahan tidak sah apabila tidak disaksikan oleh minimal dua orang saksi. Seperti yang dijelaskan oleh Hadits Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yaitu: “tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil…” Untuk dapat menjadi saksi dalam akad nikah diperlukan syaratsyarat sebagai berikut: a. Laki-laki muslim b. Berakal sehat c. Baligh d. Adil (beragama dengan baik) e. Mendengar dan memahami sighat akad (dalam Pasal 25 KHI disebut dengan istilah tidak tuna rungu atau tuli). Pasal 26 KHI menyebutkan bahwa: “saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.
Materi 8 Hubungan Suami Itsri (seperti hak dan kewajiban suami istri, adab berhubungan suami istri, membentuk rumah tangga samara) a. Hak dan kewajiban suami istri Umum : 1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinanh, mawaddah dan warahman yang menjadi dasar dari susunan masyyarakat 2. Suami istri wajib saling mencintai, saling mengjormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain 3. Suami istri memikuk kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak merka, baik mengenani pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan gamanya 4. Suami istri memelihara kehormatannya 5. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan Agama 6. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap 7. Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh suami istri bersama
Kewajiban suami 1. Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri secara bersama. 2. Suami wajib melindungi istrinya dan memeberikan sega;a sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya 3. Suami istri memberi pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa 4. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri b. Biaya rumah tangga, biaya perawatn dan biaya pengobatan bagi istri dan anak c. Biaya pendidikan anak
5. Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkim sempurna dari istrinya 6. Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b 7. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz
Kewajiban istri 1. Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan islam 2. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya 3. Istri dapat dianggap musyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah 4. Selama istri dalam nusyu, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya 5. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz 6. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah b. adab berhubungan suami istri Ada beberapa adab yang telah diajarkan oleh Islam ketika suami istri ingin menyalurkan hasrat bercintanya. Berikut adab-adab saat jima’, bercinta atau berhubungan intim di ranjang: 1. Ikhlaskan niat untuk cari pahala 2. Melakukan pemanasan dan cumbuan terlebih dahulu 3. Membaca doa sebelum hubungan intim 4. Menyetubuhi istri dari arah mana pun asalkan bukan di dubur 5. Tidak boleh sama sekali menyetubuhi istri di dubur, apa pun keadaannya 6. Jika ingin mengulangi hubungan intim, hendaklah berwudhu dahulu 7. Dilarang menyetubuhi wanita di waktu haidhnya 8. Boleh melakukan azl, menarik penisnya dari vagina si wanita sebelum terjadi ejakulasi 9. Tidak boleh menyebar rahasia hubungan ranjang
c. keluarga Samawa Kehidupan rumah tangga yang bisa awet, langgeng, sakinah (tentram) dan bahagia adalah apabila dinamika hidup sehari-hari dilalui dengan menyenangkan. Anjuran Nabi dan kriteria Jabir dalam memilih calon istri terkesan berbeda namun memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana agar rumah tangga yang akan dijalani dapat menyenangkan. Umumnya, seorang pemuda akan memilih seorang gadis karena hubungan suami-istri tak ubahnya dengan pergaulan antar-teman yang umumnya memilih teman sebaya sebagai kawan akrab. Itulah mengapa Nabi menganjurkan Jabir menikahi seorang gadis. Namun, Jabir adalah seorang pemuda yang memiliki pandangan ke depan yang dewasa dan tidak egois. Ia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, tapi juga kepentingan saudara-saudara perempuannya. Bagi Jabir, istri yang menyenangkan adalah apabila selain dapat menyenangkan hatinya, ia juga dapat menyenangkan dan membimbing adik-adiknya. Terlepas dari itu, poin yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa membuat suasana rumah tangga menyenangkan itu penting. Poin-poin di bawah dapat dipakai sebagai titik awal untuk menjadikan suasana rumah tangga lebih menyenangkan. Pertama, canda. Setiap hal ada waktunya. Tegas itu perlu, bercanda juga tak kalah penting. Humor yang segar dan sesuai momentum akan mengendirkan suasana yang tegang. Kalau pasangan Anda kurang memiliki rasa humor yang baik, ajari dia dengan cara yang sesuai dengan gaya Anda. Kedua, saling mengagumi. Setiap orang pasti punya kelebihan. Kagumi kelebihannya, dan lupakan dan tak perlu disebut kekurangannya. Ketiga, saling menghormati. Jangan meremehkan pasangan Anda walaupun level pendidikannya lebih rendah. Keunggulan dalam pendidikan bukan berarti unggul dalam hal lain terutama dalam aspek kecerdasan sosial dan emosional. Keempat, saling memberi hadiah. Biasanya kita sibuk memberi hadiah pada teman, dan tetangga pada peristiwa tertentu. Mengapa tidak memberi hadiah pada pasangan sendiri? Hadiah diberikan tidak harus bertepatan dengan hari tertentu, tapi bisa juga sebagai ungkapan terima kasih atau permintaan maaf. Rasulullah menganjurkan agar manusia saling memberi hadiah karena hadiah dapat melunakkan hati.
Kelima, memberi semangat. Kalau pasangan sedang down dan putus asa, beri dia semangat dan harapan. Jangan ikut putus asa karena itu akan menambah bebannya. Keenam, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengarkan dengan baik saat pasangan Anda berbicara dan beri respons dengan benar dan tepat. Kalau sekiranya tidak dapat memberi respons yang pas, lebih baik diam dan dengarkan dengan antusias. Itu jauh lebih baik daripada respons yang tidak nyambung. Ketujuh, jalan-jalan. Jalan-jalan ke suatu tempat wisata adalah salah satu cara menghilangkan kejenuhan.Insyaallah, dengan tujuh poin di atas, maka hubungan suam-istri akan terasa menyenangkan, akan saling membutuhkan dan saling merindukan satu sama lain (QS Ar-Rum 30:21).
MATERI 9 Putusnya perkawinan dalam islam, idah dan rujuk 9. Putusnya perkawinan dalam islam, idah dan rujuk a. Putusnya perkawinan Putusnya perkawinan dalam ketentuan Pasal 38 UU Perkawinan terjadi karena: a) Kematian, b) Perceraian, dan c) Atas Putusan Pengadilan. Hal-hal yang akan dibahas secara lebih luas adalah terkait dengan perceraian dan putusan pengadilan sebagai sebab putusnya perkawinan. Sedangkan akibat dari kematian yang menyebabkan putusnya perkawinan tidak lagi dibahas. Karena dalam realitasnya, tidak terlihatadanya polemik di dalam masyarakat terkait dengan penyebab putusnya perkawinan dikarenakan kematian, jika dibandingkan dengan terjadinya perceraian maupun atas putusan pengadilan. Kematian difahami sebagai bagian dari suratan takdir ilaahi rabbi. Menurut hukum Islam istilah perceraian disebutkan dalam bahasa Arab, yaitu talak,yang atinya melepaskan ikatan. Talak menurut istilah ialah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata-kata talak atau yang seumpamanya, misalnya “aku talak engkau”. Dengan ucapan yang demikian maka putuslah ikatan pernikahan antara suami istri tersebut. Menurut hukum perkawinan nasional bagi suami yang ingin menjatuhkan talak untuk menceraikan istrinya, harus mengajukan permohonan ke pengadilan agama bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 39 UU Perkawinan: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Berdasarkan bunyi pasal di atas, perceraian dapat terjadi apabila dilakukan di depan sidang pengadilan. Itu artinya, tidak ada perceraian dalam bentuk apapun yang dapat dilakukan di luar sidang pengadilan. Karena perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, sama halnya denga perkawinan yang tidak dicatat. Perkawinan yang tidak dicatat tidak diakui oleh hukum dan oleh sebab itu maka tidak dilindungi hukum. Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa perceraian yang dilakukan di luar pengadilan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap (no legal force). Suatu perceraian yang dilakukan dil uar pengadilan akan menimbulkan kesulitan bagi si istri atau bahkan bagi si suami.
Hal ini tampaknya menjadi realitas umum yang terjadi di masyarakat, bahwa dalam setiap talak yang dijatuhkan oleh seorang suami terhadap istrinya terjadinya di luar pengadilan dan biasanya terucapkan di lingkungan rumah tangganya. Dalam kondisi ini, suami tidak memperhitungkan hak-hak istrinya sebagai akibat dari perceraian tersebut. Maka dari itu, ketentuan hukum perkawinan mengatur pentingnya penyelesaian perkara perceraian untuk dilakukan di depan sidang pengadilan, karena hal ini juga sejalan dengan tujuan adanya UU Perkawinan yang terdapat dalam Penjelasan Umum Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menjelaskan bahwa UU Perkawinan bertujuan antara lain untuk melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya.Ketentuan hukum Islam sendiri memandang bahwa perceraian merupakan keniscayaan yang tidak mungkin terhindarkan, walaupun Rasullullah SAW., telah menetapkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT meskipun hukumnya halal. Karena pada dasarnya Alah Maha Bijaksana dalam menakdirkan pergaulan antara suami istri, dalam hal mana dalam pergaulan rumah tangga antara suami dan istri tersebut ada saat-saat terburuk dalam rumah tangga tersebut sehingga tidak ada jalan lagi untuk memperbaikinya, maka dalam keadaan yang demikian diizinkanlah perceraian karena tidak dapat lagi menegakkan lagi hukum-hukum yang telah digariskan oleh Allah SWT.Perceraian atau talak di dalam hukum positif Indonesia mendapatkan pengaturan pada UU perkawinan, sedangkan menurut hukum Islam dapat dijumpai pada beberapa Ayat Al Qur’an, diantaranya: 1. QS. Al Baqarah Ayat 226 – 227: “Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka bertekad (sepenuh hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” 2. QS. Al Ahzaab Ayat 49: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka”. QS. Ath-Thalaaq Ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu”. b. Iddah
Kata iddah berasal dari kata ‘adad’ dalam Bahasa arab yang berarti bilangan atau hitungan. Dan dalam istilah fiqih berarti masa menunggu yang harus dijalani seorang mantan istri yang di talak aatau ditinggal mati oleh suaminya sebelum dia dibolehkan menikah kembali. Dasarnya, firman Allah Swt. Dalam surah Al-baqarah {2} : 228. “perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu sebelum kawin lagi) selama tiga kali quru’ ( yakni, tiga kali masahaid atau masa suci sebagaimana akan dijelaskan kemudian).
Macam-Macam ‘iddah” :
a. ‘Iddah istri yang haidnya masih aktif. Yaitu 3 kali suci menurut mażhab Syāfi’i dan Māliki atau 3 kali ḥaiḍ menurut madhab Ḥanbali dan Ḥanafi. Sebagaiman َ " َو ْال ُمWanita-wanita yang diṭalaq firman Allah Swt. صنَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِهنَّث َ ََلثَةَقُ ُروء ْ َّطلَّقَاتُيَت ََرب handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru." (QS. Al-Baqarah : 228) b. ‘Iddah istri yang sudah tidak ḥaiḍ lagi atau belum pernah ḥaiḍ. Yaitu 3 bulan, sebagaiman
firman
Allah
َّ ارت َ ْبت ُ ْمفَ ِعدَّتُ ُه َّنثَ ََلثَةُأ َ ْش ُهر َو َّ َو َالَل ِئيلَ ْم َي ِحضْن ْ سا ِئ ُك ْمإِ ِن َ يض ِم ْن ِن ِ الَل ِئي َي ِئ ْسن َِمن َْال َم ِح
Swt:
"Dan
perempuan-
perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuanperempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), Maka masa ‘iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (QS. at Thalak : 4) c. ‘Iddah istri yang di tinggal meninggal oleh suami yaitu 4 bulan 10 hari jika tidak hamil baik sudah di kumpuli maupun belum. Dan sampai melahirkan jika dalam keadaan
hamil,
sebagaimana
صنَ ِبأ َ ْنفُسِ ِهنَّأ َ ْر َب َعةَأ َ ْش ُهر َو َع ْش ًرا ْ ََّوالَّذِينَيُت ََوفَّ ْون َِم ْن ُك ْم َو َيذَ ُرونَأ َ ْز َوا ًجا َيت ََرب
firman
Allah
Swt.
"Orang-orang
yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber›‘iddah) empat bulan sepuluh hari." (QS. Al-Baqarah : 234) d. ‘Iddah istri yang hamil. Sampai melahirkan, sebagaimana firman Allah Swt: َ ُ " َوأdan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ض ْعنَ َح ْملَ ُه َّن َ َوَلت ُ ْاْلَحْ َم ِاْل َ َجلُ ُهنَّأ َ ْني ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." (QS. AṭṬalaq : 4).
e. ‘Iddah istri yang ditinggal mati dalam keadaan hamil. Menurut sebagian ulama sampai melahirkan walaupun kurang dari 4 bulan 10 hari. f. ‘Iddah istri yang belum dicampuri yaitu tidak ada ‘iddah-nya.
Kewajiban Suami Isteri Selama ‘Iddah :
Selama masa ‘iddah belum habis maka suami masih mempunyai beberapa kewajiban terhadap istri yang dicerai, kewajiban tersebut adalah : - Memberikan belanja, pakaian dan tempat tinggal jika si istri tidak durhaka. - Memberikan nafkah dan tempat tinggal untuk isteri yang masih dalam ‘iddah ṭalāq bain dalam keadaan hamil dan hanya member nafkah jika si isteri tidak hamil. Adapun kewajiban istri selama masa ‘iddah adalah : Wajib tinggal dirumah yang disediakan
suami
yang
menceraikan,
احشَة ُم َب ِينَة ِ َََلت ُ ْخ ِر ُجو ُه َّن ِم ْنبُيُو ِت ِه َّن َو ََل َي ْخ ُرجْ نَإِ ََّلأَ ْن َيأ ْ ِتينَ ِبف
sebagaimana
“Janganlah
kamu
firman
Allah
keluarkan
Swt.
mereka
dari rumahnya, dan janganlah (di izinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji dan munkar yang terang” (QS. Aṭ-Ṭalaq : 1) c. Rujuk Ruju atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kataberarti “kembali”. Orang yang rujuk kepada istrinnya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqih menurut al-Mahalli ialah “kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa iddah”Rujuk yang berasal dai Bahasa arab telah menjadi Bahasa Indonesia terpaki yang artinya menurut KBBI adalah : “Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah”. Hukum Rujuk a. Mubah, adalah asal hukum rujuk b. Haram, apabila si istri dirugikan serta lebih menderita disbanding sebelum rujuk. c. Makruh, bila diketahui meneruskan perceraian lebih bermanfaat d. Sunat, bila diketahui rujuk lebih bermanfaat disbanding meneruskan perceraian e. Wajib, khusus bagi laki-laki yang beristri lebih dari satu Rukun dan Syarat Rujuk
a. Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj’I ( bukan talak tiga) dan masih dalam masa iddah b. Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa c. Sghat ( lafaz rujul). Lafaz yang menunjukan maksud rujuk, misalnya kata suami “ aku rujuk engkau” atau aku kembalikan engkau kepada nikahku.” d. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil Hikmah di balik kebolehan rujuk terdapat nilai-nilai positif baik bagi bekas pasangan tersebut maupun bagi anak-anaknya. Diantaranya adalah : 1. Sarana memikir ulang substansi perceraian yang telah dilakukan; apakah karena emosi, hawa nafsu atau karena kemaslahatan. 2. Sarana mempertanggung jawabkan anak secara bersama-sama. 3. Sarana menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan tersebut bisa lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati. 4. Saran perbaikan hubungan diantara 2 manusia atau lebih, sehingga muncul rasa saling menyayangi yang lebih besar. 5. Rujuk akan menghina
MATERI 10 Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 10. Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Lahirnya UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia sebagian besar telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah dikumandangkan sejak Kongres Perempuan Indonesia pertama tahun 1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita dalam perkawinan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita pada waktu itu adalah masalah perkawinan paksa, poligami, dan talak yang sewenangwenang. Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang hukum perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini, dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan yang bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha) Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar Indonesia tidak lagi mengadopsi UU yang diwariskan oleh pemerintah kolonial belanda. RUU tersebut kemudian dibahas dalam sidang DPR namun tidak berhasil berwujud undang-undang. Kemudian pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas RUU Perkawinan yang berisi tentang RUU Perkawinan umat Islam yang berasal dari Departemen Agama dan RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun, pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama, karena pada saat itu wakil golongan Katolik sangat kecil jumlahnya. Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada DPR melalui pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama merupakan penjelasan pemerintah atas RUU tersebut. Tingkat kedua merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU tersebut dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu. Tingkat ketiga berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi IX) untuk membahas RUU, yang dalam hal ini diserahkan kepada suatu panitia yang diberi nama Panitia Kerja RUU
Perkawinan. Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU Perkawinan) dengandidahului pendapat terakhir (stemmotivering) dari masing-masing fraksi. Setelah melalui pembicaraan empat tingkat antara DPR dan Pemerintah, maka RUU tersebut diteruskan kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undangundang. Setelah semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi kesempatan untuk menyampaikanpendapatnya, maka pada hari itu juga RUU Perkawinan disahkan olehDPR RI menjadi undang-undang. Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan, dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor 3019/1974.
MATERI 11 Pengertian hukum waris menurut Islam dan Hal-hal yang harus dselesaikan sebelum pembagian warisan: 11. Hukum Waris Islam Hukum waris islam yaitu ketentuan yang mengatur perhitungan dan pembagian serta pemindahan harta warisan secara adil dan merata kepada ahli warisnya dan atau orang/badan lain yang berhak menerima, sebagai akibat matinya seseorang. Pengertian adil dalam hukum waris islam hendaknya jangan dilihat secara matematis, yaitu jumlah penerimaan yang sama setiap ahli waris. Namun maksudnya, “meletakkan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya”, menurut ketentuan hukum islam yang didasarkan pada Al-Qur’an maupun Hadist. a. Hal Hal yang Harus di Selesaikan Sebelum Pembagian Warisan Sebelum dilaksanakan pembagian warisan, terlebih dahulu harus diselesaikan beberapa hak yang ada sangkut pautnya dengan harta peninggalan itu. Hak-hak yang harus diselesaikan dan dibayar, adalah: 1. Zakat; apabila telah sampai saatnya untuk mengeluarkan zakatnya, maka dikeluarkan untuk itu lebih dahulu. 2. Belanja; yaitu biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan dan pengurusan mayat, seperti harga kafan, upah menggali kuburan dan sebagainya. 3. Hutang; Jika mayat itu ada meninggalkan hutang, maka hutangnya itu mesti dibayar lebih dahulu.
4. Wasiat, jika mayat itu meninggalkan pesan (wasiat), agar sebagian dari harta peninggalannya diberikan kepada seseorang, maka wasiat ini pun harus dilaksanakan.
Setelah ahli waris menunaikan kewajibannya yaitu melaksanakan empat hal di atas, barulah ahli waris dapat menerima haknya yaitu harta peninggalan tersebut. Dengan demikian, wujud warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam sangat berbeda dengan wujud warisan menurut hukum waris Barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata maupun menurut hukum waris adat. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum Islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal warisan. Keterangan ini sejalan dengan penegasan Syekh Mahmud Syaltut, Islam menentukan bahwa harta peninggalan yang akan dibagi-bagikan antara ahli waris menurut prinsip di atas, ialah sisa kekayaan sesudah pembayaran utang dari orang yang meninggal.
Hak-hak yang terkait dengan peninggalan si mayit: Yang terkait dengan peninggalan si mayit ada lima hak secara beurutan menurt kadar kepentingan, yiatu sebagai berikut: 1. Beban persipan pemakaman si mayit: 2. Hak-hak yang terkait dengan dzat harta peninggalan 3. Hutang-hutang yang tidak terkait langsung dengan harta peninggalan 9 sebaliknya hanya terkait dengan tanggungan si mayit): 4. Wasiat sepertiga (1/3) atau lebih sedkit untuk selain ahli waris 5. Warisan Rukun warisan ada tiga, yaitu: yang mewariskan, ahli waris dan yang diwariskan. 1. Yang mewariskan adalah orang yang harta peninggalannya pindah ke tangan yang lain 9 ahli warisnya), dan ia adalah si mayit. 2. Ahli waris adalah orang yang menerima harta peninggalan si mayit 3. Yang diwariskan adalah harta peninggalan (si mayit) Syarat warisan ada tiga: 1. Yang mewariskan sudah mati secara hakiki atau dihukum sudah mati
2.
Ahli waris masih hidup setelah kematian yang mewariskan walaupun sesaat, baik secara hakiki atau dihukum masih hidup.
MATERI 12 Ahli Waris dan Ketentuan Bagian Ahli Waris A. Pengertian Ahli Waris Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fiqih ialah orang yang berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Yang berhak menerima harta warisan adalah orang yang mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris yang meninggal. Disamping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu, mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya persyaratan sebagai berikut: 1. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris. 2. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima warisan. 3. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih dekat B.Ketentuan Bagian Ahli Waris 1.
Ahli waris terdiri dari duda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.Maka pembagiannya sebagai berikut: duda memperoleh ¼, ayahmemperoleh 1/6, ibu memperoleh 1/6, anak dan/atau keturunannyamemperoleh sisa.
2. Ahli waris erdiri dari janda, anak dan/atau keturunannya, ayah dan ibu.Maka pembagiannya sebagai berikut: janda memperoleh 1/8, ayahmemperoleh 1/6, ibu memperoleh 1/6, anak dan/atau keturunannyamemperoleh sisa. 3. Ahli waris terdiri dari duda, ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagaiberikut: duda memperoleh ½, ayah memperoleh 1/3, ibu memperoleh1/3. Karena bagian waris lebih dari 1 (satu), maka dilakukan aul. 4.
Ahli waris terdiri dari janda, ayah dan ibu. Maka pembagiannya sebagaiberikut: janda memperoleh ¼, ayah 1/3, ibu 1/3. Sisanya di rad kepadaayah dan ibu berbagi sama.
5. Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan seorang saudara lakilaki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Maka pembagiannyasebagai berikut: janda memperoleh 1/4 atau jika duda ia memperoleh ½,ibu memperoleh 1/3 dan seorang saudara laki-laki/perempuan(sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6
bagian. Jika jumlahbagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul dan jika jumlahbagian kurang dari satu, maka harus dilakukan rad. 6. Ahli waris terdiri dari janda/duda, ibu dan dua orang atau lebih saudaralakilaki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu). Maka pembagiannyasebagai berikut: Janda memperoleh ¼, atau jika duda memperoleh ½,Ibu memperoleh 1/6 dan dua orang atau lebih saudara perempuan(sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/3 bagian. Jika jumlahbagian lebih dari nilai 1 (satu), maka harus dilakukan aul, jika jumlahbagian lebih kecil dari nilai 1 (satu) dilakukan rad. 7.
Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan nenek pihak ayah, kakek dannenek pihak ibu, seorang saudara laki-laki/perempuan sekandung, seayahatau seibu). Maka pembagiannya sebagai berikut: janda memperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½, kakek dan nenek pihak ayah memperoleh 1/3 berbagi sama, seorang saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) memperoleh 1/6. Jika jumlah bagian lebih dari 1 (satu) dilakukan aul untuk kakek dan nenek pihak ayah dan ibu serta saudara. Jika jumlah bagian kurang dari nilai 1 (satu) dilakukan rad.
8. Ahli waris terdiri dari janda/duda, kakek dan nenek dari pihak ayah danibu serta dua orang atau lebih saudara laki-laki atau perempuan(sekandung, seayah atau seibu). Maka pembagiannya sebagai berikut:Janda memperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½, kakek dan nenekpihak ayah masing-masing memperoleh 1/6 berbagi sama, kakek dannenek pihak ibu memperoleh 1/6 berbagi sama, dua orang atau
lebihsaudara
laki-laki/perempuan
(sekandung,
seayah
atau
seibu)
memperoleh1/3 bagian. Jika jumlah nilai bagian kurang dari nilai 1 (satu), makadilakukan rad untuk kakek dan nenek pihak ayah dan pihak ibu serta duaorang atau lebih saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atauseibu). Jika jumlah bagian melebihi nilai 1 (satu), maka dilakukan aul. 9. Ahli waris terdiri dari janda/duda, paman/bibi pihak ayah dan ibudan/atau keturunannya. Maka pembagiannya sebagai berikut: Jandamemperoleh ¼ atau jika duda ia memperoleh ½, paman/bibi dari paihakayah dan/atau keturunannya memperoleh bagian ayah (1/3 bagian),paman/bibi dari pihak ibu dan/atau keturunannya memperoleh bagian ibu(1/3 bagian). Jika jumlah bagian kurang dari nilai 1 (satu), makadilakukan rad untuk paman/bibi dari pihak ayah atau ibu dan/atauketurunannya. Jika jumlah bagian lebih dari 1 (satu), maka dilakukan aul.
Materi 13 Masalah masalah istimewa tentang pembagian warisan Masalah waris adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam hukum Islam, karena hal ini selalu ada dalam setiap keluarga dan masalah waris ini rentan dengan masalah/konflik di masyarakat akibat pembagian yang dianggap kurang adil atau ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu syariat Islam membuat aturan yang begitu lengkap tentang masalah waris yang terdapat dalam Alquran seperti (QS. An-Naml: 16 dan An-Nisa : 7-12). Berikut permasalahan dalam pelaksanaan pembagian warisan, yaitu :
A. Al-Aul Al-Aul artinya bertambah. Dalam ilmu Faraidh istilah Al-Aul diartikan bagian-bagian yang harus diterima oleh ahli waris lebih banyak dari pada asal masalahnya, sehingga asal masalahnya harus ditambah atau diubah. B. Ar-Radd Ar-Radd (ar-raddu) yaitu : “mengembalikan”. Menurut istilah faraidh ialah membagi sisa harta warisan kepada ahli waris menurut pembagian masing-masing mnerima bagiannya. Ar-Radd dilakukan karena setelah harta diperhitungkan untuk ahli waris ternyata masih terdapat sisa, sedangkan tidak ada ‘ashobah. Maka harta yang tersisa tersebut dibagikan kepada ahli-waris yang ada kecuali suami atau isteri.
C. Gharawain Gharawain artinya dua yang terang, yaitu dua masalah yang terang cara penyelesaiannya yaitu : 1. Pembagian warisan jika ahli warisnya suami, ibu dan bapak 2. Pembagian warisan jika ahli warisnya istri, ibu dan bapak Dua masalah tersebut berasal dari Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Tsabit. Kemudian disepakati oleh jumhur fuqaha. Dua hal tersebut diatas dianggap sebagai masalah karena jika di bagi dengan perhitungan yang umum, bapak memperoleh lebih kecil dari pada ibu. Untuk itu dipakai pedoman penghitungan khusus sebagaimana dibawah ini :
Untuk masalah pertama maka bagian masing-masing adalah suami 1/2, ibu 1/3 sisa (setelah diambil suami) dan bapak ‘ashobah. Misalkan harta peninggalannya adalah Rp. 30.000.000,-. Maka cara pembagiannya dalah sebagai berikut : Suami 1/2 x Rp. 30.000.000,-
= Rp. 15.000.000,- sisanya adalah Rp. 15.000.000,-
Ibu 1/3 x Rp.15.000.000,-=
= Rp. 5.000.000,-
Bapak (‘ashobah)
= Rp. 10.000.000,-
Jumlah
= Rp. 30.000.000,-
(dan begitu pula untuk pembagian pada masalah ke-2 yakni dengan ahli waris istri 1/4, ibu 1/3 sisa (setelah diambil hak istri) dan bapak ‘ ashobah )
D. Masalah Musyarakah Musyarakah atau Musyarikah ialah yang diserikatkan. Yaitu jika ahli waris yang dalam perhitungan mawaris memperolah warisan akan tetapi tidak memperolehnya, maka ahli waris tersebut disyarikatkan kepada ahli waris lain yang memperolah bagian. Masalah ini terjadi pada ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 orang saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung, yang jika dihitung menurut perhitungan semestinya mengakibatkan saudara laki-laki sekandung tidak memperoleh warisan. Dalam masalah ini. Menurut Umar, Utsman, dan Zaid yang diiuti oleh Imam Tsauri, Syafe’i dan lain-lain, pembagian tersebut tidak adil. Maka, untuk pemecahannya saudara kandung disyarikatkan dengan saudara seibu didalam baigiannya yang 1/3. sehingga penyelesaian tersebut dapat diketahui dalam pembagian berikut : Suami ½
= 3/6 = 3
Ibu
= 1/6 = 1
1/6
Dua orang saudara seibu dan saudara (lk) sekandung Jumlah
1/3 = 2/6 = 2
=6
Bagian saudara seibu dan saudara laki-laki sekandung dibagi rata, meskipun diantara mereka ada ahli waris laki-laki maupun perempuan.
E. Masalah Akdariyah Akdariyah artinya mengeruhkan atau menyusahkan, yaitu kakek menyusahkan saudara perempuan dalam pembagian warisan. Masalah ini terjadi jika ahli waris terdiri suami, ibu, saudara perempuan kandung/sebapak dan kakek.
Bila diselesaikan dalam kaidah yang umum, maka dapat diketahui bahwa kakek bagian lebih kecil dari pada saudara perempuan. Padahal kakek dan saudara perempuan mempunyai keduduka yang sama dalam susunan ahli waris. Bahakn kakek adalah garis laki-laki, yang biasanya memperoleh bagian lebih besar dari pada perempuan, maka dalam masaah ini terdapat tiga pendapat dalam penyelesaiannya, yaitu : 1. Menurut pendapat Abu Bakar ra. Saudara perempuan kandung/sebapak mahjub oleh kakek. Sehingga bagia yang diperoleh oleh masing-masing ahli waris adalah suami 1/4, ibu 1/3, kakek ‘ashobah, dan saudara perempuan terhijab hirman. 2. Menurut pandangan Umar bin Khatib dan Ibn Mas’ud, untuk memecahkan masalah diatas, amak bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu dikurangi dari 1/3 menjadi 1/6, untuk menghindari agar bagian ibu tidak lebih besar dari pada bagian kakek. Sehingga bagian yang doioerolah masing-masing ahli waris adalah suami 1/2, ibu 1/6, saudara perempuan ½ dan kakek 1/6. diselesaikan dengan Aul. 3. Menurut pendapat Zaid bin Tsabit, yaitu dengan cara menghimpun bagian saudara perempuan dan kakek, lalu membaginya dengan prinsip laki-laki memperolah dua kali bagian perempuan. Sebagaimana jatah pembagian umum, saudara perempuan 1/2 dan kakek 1/6. 1/2 dan 1/6 digabungkan lalu dibagikan untuk berdua dengan perbandingan pembagian saudara perempuanndan kakek = 2 : 1. F. Hal-hal yang berkenaan dengan harta Peninggalan Beberapa masalah yang berkaitan dengan harta yang terlebih dahulu wajib ditunaikan oleh ahli waris sepeninggal seorang muslim yang meniggalkan harta, yaitu: 1. Biaya penyelenggaratan Jenazah 2. Pelunasan hutang 3. pelaksanaan wasiat G. Penetapan Ahli Waris yang Mendapat Bagian (Itsbatul Waris) Dalam Itsabatul Waris ini harus dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini : 1. Meneliti siapa saja yang menjadi ahli waris, baik karena hubungan kerabat, pernikahan maupun karena sebab lainnya. 2. Meneliti siapa saja yang terhalang menerima warisan. Misalnya karena membunuh atau atau beda agama. 3. Meneliti ahli waris yang dapat terhijab. 4. Menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan, setelah melakukan perhitungan yang tepat tentang jumlah harta peniggalan almarhum/almarhumah. H. Cara Pembagian Sisa Harta Yang dimaksud dengan sisa harta warisan adalah :
1. Sisa harta setelah semua ahli waris menerima bagiannya 2. Sisa harta karena orang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris Didalam menyelesaikan masalah diatas menurut para ulama dalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5.
Jumhur sahabat, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan ulama Syi’ah berpendapat : dibagikan kembali kepada dzawil furudh selain suami/istri dengan jalan radd. Bila tidak ada ahli waris, maka harta warisan diberikan kepada dzawil arham. Bila dzawil arham pun tidak ada, maka harta peniggalan diserahkan ke baitul mall. Imam Malik, Iamam Syafe’i, Al-Auza’i dan lain-lain berpendapat bahwa sisa harta warisan, baik setelah ahli waris mendapatkan bagiannya maupun karena tidak ada ahli waris, tidak boleh diselesaikan dengan jalan radd maupun diserahkan ke dzawil arham, tetapi harus diserahkan ke baitul mall untuk kepentingan umat islam.
I. Bagian Anak dalam Kandungan Beberapa permasalahan yang menyangkut dengan anak yang masih berada dalam kandungan yaitu : 1. Apakah janin yang masih dalam kandungan tersebut ada hubungan kekrabatan yang sah dengan si mati, maka perlu diperhatikan tenggang waktu anara akad nikah dengan usia kandungan. 2. Belum bisa dipastikan jenis keamin dan jumlah bayi yang ada dalam kandungan tersebut. 3. Belum bisa dipastikan, apakah janin tersebut akan lahir dalam keadaan hidup atau mati. 4. Jika harta warisan dibagikan maka akan menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi. Bayi yang lahir dalam keadaan hidup, mempunyai hak warisan dari ayahnya yang meninggal. Sabda Rasulullah saw. :“Jika anak yang dilahirkan berteriak, mak ia diberi warisan” Jalan Keluar dalam masalah ini adalah : 1. Para ahli waris yang ada boleh mengambil bagian dengan jumlah paling minimal dari kemungkinan-kemngkinan yang bisa terjadi. 2. Apabila harta warisan dapat dijaga dan pembagianya tidak mendesak, maka pembagian warisan ditunda sampai bayi lahir. J. Bagian Orang Yang Hilang Yang dimaksud dengan orang yang hilang disini ialah yang tidak diketahui keberadaannya dalm jangka waktu yang relatif lama. Orang yang hilang tersebut bisa sebagai muwaris maupun ahli waris, maka dapat ilaksanakan sebagai berikut : Apabila kedudukannya sebagai Muwarits 1. Harta yang hilang sebaiknya ditahn sampai ada kepastian keberadaannya atau kepastian tentang hidup atau matinya
2. Ditunggu sampai batas usia manusia pada umumnya. Menurut Adul Hakim ditunggu sampai batas usia kurang 70 tahun. Apabila kedudukannya sebagai ahli waris Harta warisan dibagikan, dan ia (orang yang hilang) diberikan bagian sebagaimana bagian semestinya dan diberikan bila ia masih hidup atau datang. Dan diserahkan kepada ahli waris lain bila ia sudah meninggal.
K. Bagian orang yang meninggal bersama-sama Orang yang meninggal secara bersamaan yang disebabkan oleh penyebab-penyebab tertentu, tidak saling waris mewarisi baik ada hubungan kekerabatan maupun pernikahan. Sebab adanya saling waris mewarisi ialah adanya al –muwarits yang sudah meninggal dunia dan alWarits yang masih hidup. Pendapat ini dipegang oleh Abu Bakar dan Umar, lalu diikuti oleh jumhur Fuqaha. Antara lain Imam Malik, Imam Syafe’i, Imam Abu Hanifah dan lain-lain.
L. Hikmah Pembagian Warisan 1. Menghindari terjadinya persengketaan dalam keluarga karena maslah pembagian harta warisan 2. Menghidari timbulnya fitnah. Karena pembagian harta warisan yang tidak benar 3. dapat mewujudkan keadilan dalam keluarga, yang kemudian berdampak psitif bagi keadilan dalm masyarakat 4. Memperhatikan orang-orang yang terkena musibah karena ditinggalkan oleh anggota keluarganya 5. Menjunjung tinggi hukum Allah dan Sunnah Rasulullah.
Materi 14 Teknik penyelesaian pembagian warisan 1. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Kekeluargaan Dalam praktik khususnya pada perselisihan pembagian harta warisan umat islam lebih baik memilih menyelesaikan sengketa warisan melalui jalur kekeluargaan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan ditempuh melalui lembaga peradilan apabila tidak ada kemungkinan lagi agar dilakukan secara kekeluargaan. Untuk memudahkan suatu proses pembagian warisan dilakukan terlebih dahulu mengenai penentuan ahli waris yang akan menerima harta warisan. Ahli waris yang dimaksud adalah yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Apabila pewaris tidak mempunyai istri dan anak maka akan ditetapkan ahli waris yang lain yang mempunyai hubungan darah terkait dengan pewaris. Dalam menyelesaikan pembagian warisan atas harta peninggalan dengan cara kekeluargaan, biasanya ahli waris mengundang orang yang dituakan dalam keluarga. Disini orang yang dituakan ini guna untuk menjadi penengah dan memberikan saran dalam hal penyelesaian sengketa harta warisan ini. Adapun cara penyelesaian sengketa dengan cara yaitu dengan mengumpullkan para ahli waris, dijelaskan duduk perkaranya lalu diberikan pendapat oleh orang yang dituakan dan dibagikan harta warisan menurut hukum islam. Apabila sengketa harta warisan tidak dapat ditempuh dengan cara duduk pakat keluarga, ahli waris juga dapat mengundang alim ulama yang dianggap lebih mengetahui cara pembagian harta warisan menurut hukum islam.
2. Penyelesaian Sengketa Dengan Cara Pengadilan Sebelum ahli waris menyelesaikan sengketa harta warisan dengan cara pengadilan, ahli waris telah melakukan penyelesaian sengketa dengan cara kekeluargaan. Apabila sengketa harta warisan tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka ahli waris dapat memasukan gugatan ke mahkamah syariah. Agar perkara sengketa ini dapat diselesaikan oleh mahkamah syariah, maka ahli waris harus mengajukan gugatan terlebih dahulu ke Mahkamah Syari’ah. Ketika gugatan telah
diajukan dan para pihak dipanggil ke persidangan sudah menjadi kewajiban Hakim untuk menawarkan perdamaian kepada kedua belah pihak, upaya damai yang harus dilakukan oleh hakim dalam penyelesaian sengketa warisan di Mahkamah Syariah tertuju pada ketentuan peraturan Mahkamah agung no.1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Apabila tidak ada kesepakatan dengan cara mediasi maka pemeriksaan perkara harus dilanjutkan. Maka akan dibacakan suarat gugatan oleh penggugat. Lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang diawali oleh pihak tergugat, kemuadian replik penggugat dan diakhiri dengan duplik tergugat. Setelah jawab menjawab selesai dilanjutkan dengan acara pembuktian, dimana pada tahap ini para pihak dituntut untuk memberikan bukti-bukti. Setelah para pihak memeberikan bukti-bukti, maka para pihak memberikan kesimpulan yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara. Setelah tahap pemeriksaan selesai, hakim mengambil putusan dan memberikan keadilan dalam perkara tersebut. Sebelum hakim memutuskan dan mengadili perkara tersebut, hakim menguji benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan para pihak dengan memberikan alat-alat bukti dan hakim juga melakukan pemeriksaan di tempat (descente) yaitu pemeriksaan mengenai perkara oleh hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung pengadilan untuk menyesuaikan yang menjadi objek sengketa gugatan dengan keadaan lapangan.
SUMBER BACAAN
Ainiyah, Q. (2018). Prinsip Pernikahan dalam Cedaw Perspektif Hukum Islam. Jurnal Qolamuna, 4(1), 26-28. Ramulyo, M. I. (2004). Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahu 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara. Jamaludin & Nanda Amalia (2016). Buku Ajar Hukum Perkawinan. Lhokseumawe : Unimal Press. Arif Furqan. (2002).Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Jakarta: Departemen Agama RI Rohidin. (2017). Buku Ajar Pengantar Hukum Islam: Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia.Yogyakarta : Lintang Raksai Aksara Books Muhammad Alim.(2010). Asas-Asas Hukum Modern dalam Hukum Islam. No. 1 Vol. 17 Ali, M. D. (2015). Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, hal. 176-179. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Jakarta : Intermassa,1986.hlm. 41 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta: UII Press, Cet. ke-15, 2004, hlm. 3. https://media.neliti.com/media/publications/97045-ID-kedudukan-hukum-islam-dalamsistem-hukum.pdf https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/tahkim/article/viewFile/3174/2137 http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/penelitian/Dr.+Marzuki,+M.Ag_.++Buku+ Hukum+Islam+BAB+2.+Tinjauan+Umum+Hukum+Islam.pdf