REFARAT RHINOSINUSITIS AKUT
Penyaji : Daniel Ivan Sembiring
(140100136)
Pembimbing : Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL (K)
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK – BEDAH KEPALA LEHER (THT-KL) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dibacakan pada tanggal
:
Nilai
:
Penguji
Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp. THT-KL (K)
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini dengan judul “Rhinosinusitis Akut”. Penulisan refarat ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan refarat ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa penulisan refarat ini masih jauh dari kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan refarat selanjutnya. Semoga refarat ini bermanfaat, akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 28 Februari 2019
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ...............................................................................
ii
Kata Pengantar ........................................................................................
iii
Daftar Isi..................................................................................................
iv
Daftar Gambar .........................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .....................................................................
1
1.2 Tujuan ..................................................................................
2
1.3 Manfaat ................................................................................
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................
3
2.1 Anatomi Hidung ....................................................................
3
2.2 Anatomi Sinus Paranasal.......................................................
5
2.3 Definisi Rhinosinusitis ..........................................................
10
2.4 Etiologi ..................................................................................
11
2.5 Patofisiologi ..........................................................................
12
2.6 Gejala Klinis..........................................................................
13
2.7 Diagnosis ...............................................................................
14
2.8. Tatalaksana...........................................................................
16
2.10 Komplikasi ..........................................................................
20
2.11 Prognosis .............................................................................
20
BAB III KESIMPULAN ......................................................................
21
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
22
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Osteokartilago Hidung ..................................................................... 5 Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal ................................................................. 6 Gambar 2.3 Kompleks Osteomeatal .................................................................... 7 Gambar 2.4 Klasifikasi Rhinosinusitis .............................................................. 11 Gambar2.5Tanda
dan
gejala
yang
berhubungan
dengan
diagnosis
rinosinusitis (Rhinosinusitis Task Force) ....................................... 15 Gambar 2.6 Panduan Pilihan Anti Mikroba pada Rhinosinusitis ...................... 17 Gambar 2.7 Skema Penatalaksanaan ARS pada Layanan Primer ..................... 18
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Rinosinusitis adalah suatu kondisi yang merupakan manifestasi dari respon keradangan membran mukosa sinus paranasalis yang biasanya dihubungkan dengan infeksi yang dapat menyebabkan penebalan mukosa dan akumulasi sekret mukus dalam rongga sinus paranasalis. Rinosinusitis merupakan penyakit keradangan dengan prevalensi yang tinggi dan mungkin akan terus meningkat karena kualitas hidup penderita dapat sangat terganggu. Oleh karena itu sangatlah penting bagi dokter untuk dapat mengatasinya dengan memiliki pengetahuan yang benar mengenai definisi, gejala serta metode diagnosis rinosinusitis.1 Rinosinusitis merupakan masalah yang penting dan merupakan permasalahan kesehatan
pada
masyarakat
luas,
karena
sebagian
besar
penyakit
ini
penatalaksanaannya sering mengalami kegagalan. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi, dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.2 Insiden rinosinusitis akut sangat tinggi. Diperkirakan bahwa orang dewasa menderita 2-5 kali pilek per tahun, dan anak-anak mungkin menderita 7-10 kali pilek per tahun. Insiden yang tepat sulit diukur karena sebagian pasien dengan flu biasa tidak langsung ke dokter. Berdasarkan studi kasus kontrol pada populasi Belanda menyimpulkan bahwa diperkirakan 900.000 orang terkena infeksi saluran pernapasan akut setiap tahun. Rhinovirus (24%) dan Influenza (11%) adalah agen yang paling umum. Sekitar 0,5-2% infeksi saluran pernapasan oleh virus disertai oleh infeksi bakteri.3
1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai rinosinusitis akut berupa definisi, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasinya.
1.3.
Manfaat Penulisan Manfaat penulisan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai
rinosinusitis akut.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (tip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) 4 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila, dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut kartilago alar mayor, dan kartilago septum.4 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.4 Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi dan tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrise. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior, dan superior. Dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, konka media yang lebih kecil, konka superior yang lebih kecil lagi, dan konka suprema adalah yang terkecil.4 Di antara konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, terdapat tiga meatus yaitu meatus superior, meatus medius, dan meatus inferior. Meatus superior terletak di antara konka superior dan konka media. Di daerah ini terdapat muara sinus etmoid posterior
3
dan sinus sfenoid. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada daerah ini terdapat muara duktus nasolakrimalis.4,5 Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian atas dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid dan bagian posterior dibentuk oleh os vomer. Bagian tulang rawan yaitu kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Pada bagian tulang rawan septum dilapisi perikondrium, bagian tulang dilapisi periosteum, sedangkan bagian luar dilapisi mukosa hidung.4,5 Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung yang dibentuk oleh os maksila dan os palatum (permukaan atas palatum durum). Dinding superior atau atap hidung yang sempit dibentuk oleh lamina kribosa, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk os sfenoid.5 Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior. Bagian bawah hidung diperdarahi oleh cabang arteri maksilaris interna, yaitu ujung arteri palatina mayor, dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis anterior, dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena-vena ini membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah membrana mukosa. Drainase vena terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior, dan sfenopalatina.5 Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Nervus maksilaris dari nervus trigeminus berfungsi untuk impuls aferen sensorik, nervus fasialis untuk
4
gerakan otot pernapasan pada hidung luar. Ganglion sfenopalatina berguna mengontrol diameter vena dan arteri hidung, dan juga produksi mukus, sehingga dapat mengubah pengaturan hantaran, suhu, dan kelembaban aliran udara.5
Gambar 2.1. Osteokartilago Hidung13
2.2. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal adalah rongga berisi udara yang berbatasan langsung dengan rongga hidung. Bagian lateralnya merupakan sinus maksila (antrum) dan sel-sel dari sinus etmoid, sebelah kranial adalah sinus frontal, dan sebelah dorsal adalah sinus sphenoid. Sinus sphenoid terletak tepat di depan klivus dan atap nasofaring. Sinus paranasal juga dilapisi dengan epitel berambut-getar. Lendir yang dibentuk di dalam sinus paranasal dialirkan ke dalam meatus nasalis. Alirannya dimulai dari sinus frontal, sel etmoid anterior, dan sinus maksila kemudian masuk ke meatus-medius. Sedangkan aliran dari sel etmoid posterior dan sinus sfenoid masuk ke meatus superior. Aliran yang menuju ke dalam meatus inferior hanya masuk melalui duktus nasolakrimalis. Secara klinis, bagian yang penting ialah bagian depan-tengah meatus medius yang sempit, yang disebut kompleks ostiomeatal. Daerah ini penting karena hampir semua lubang saluran dari sinus paranasal terdapat di sana.6 Kompleks Ostiomeatal (KOM) adalah celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi, dan resesus frontal. KOM adalah unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang terletak di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Bila terjadi 5
obstruksi pada KOM, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus yang terkait.4 Pada saat lahir, sinus paranasal belum terbentuk, kecuali beberapa sel etmoid. Kemudian baru pada sekitar umur dua belas tahun, semua sinus paranasal terbentuk secara lengkap. Kadang-kadang, salah satu dari sinus frontal tidak terbentuk. Bagian belakang nasofaring berbatasan dengan fossa sfeno-palatina.6 Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai dari pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid sudah ada sejak saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.4
Gambar 2.2. Sinus Paranasal4
6
Gambar 2.3 Kompleks Osteomeatal13
2.2.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus pertama yang muncul (7-10 minggu masa janin). Sinus maksila adalah sinus paranasal yang terbesar dan bervolume 6-8 ml saat lahir.4 Proses terbentuknya sinus maksila berasal dari ekspansi infundibulum etmoid ke dalam maksila hingga membuat suatu massa. Proses ekspansi tersebut menghasilkan suatu rongga kecil pada saat lahir yang berukuran 7 x 4 x 4 mm. Pertumbuhan dan perkembangannya terus berlanjut pada masa anak-anak kira-
7
kira 2 mm secara vertikal dan 3 mm anteroposterior. Proses perkembangan tersebut mulai menurun pada usia 7 tahun, diikuti fase pertumbuhan kedua berikutnya. Pada usia 12 tahun, pneumatisasi mencapai bagian lateral, yaitu di bawah bagian lateral dinding orbita pada sisipan prosesus zigomatikus, secara inferior ke bagian dasar hidung dan setelah pertumbuhan gigi (dentisi) kedua di bawah dasar hidung. Setelah proses dentisi, sinus hanya akan membesar secara perlahan-lahan dan mencapai ukuran maksimum pada usia 17 hingga 18 tahun. Ukuran standar volume sinus maksila pada orang dewasa adalah sekitar 15 cm2 dan secara kasar bentuknya menyerupai piramid. Dasar piramid dibentuk oleh dinding medial sinus maksilaris dengan sisi apeks piramid ke arah resesus zigomatikus.6 Hal yang diperhatikan dari segi anatomi sinus maksila berdasarkan segi klinis adalah bahwa dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan terkadang gigi taring (C) dan gigi moral M3. Selanjutnya sinusitis maksilaris juga dapat menimbulkan komplikasi orbita. Selain itu, letak ostium sinus maksila yang lebih tinggi dari dasar sinus menyebabkan drenase hanya tergantung dari gerak silia. Drenase yang harus melalui infundibulum yang sempit juga dapat menyebabkan sinusitis jika di daerah tersebut mengalami inflamasi.7 2.2.2. Sinus Etmoid Selama 9 dan 10 minggu masa gestasi, 6 hingga 7 lipatan muncul di bagian dinding lateral dari kapsul nasalis janin. Lipatan-lipatan ini dipisahkan dari satu dengan yang lain sesuai alurnya. Lebih dari seminggu kemudian, lipatanlipatan tersebut berfusi menjadi 3-4 puncak dengan sebuah bagian anterior 'ascending' dan sebuah bagian posterior 'descending' (ramus asendens dan ramus desendens). Semua struktur permanen etmoid berkembang dari puncak tersebut.7 Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior. Pada bagian terdepan sinus etmoid anterior terdapat resesus frontal yang berhubungan dengan
8
sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu area penyempitan disebut infundibulum yang merupakan tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan di resesus frontal mengakibatkan sinusitis frontal. Sementara jika peradangan terjadi di infundibulum mengakibatkan sinusitis maksila.7 Sinus etmoid dipisahkan oleh rangkaian resesus yang dibatasi 5 sekat tulang atau lamela. Lamela ini diberi nama dari yang paling anterior ke posterior : prosesus uncinatus, bula etmoidalis (sel etmoid yang terbesar), dasar atau lamela basalis dan konka superior. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.7 2.2.3. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior. Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml.4 Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan.7 Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.7 2.2.4. Sinus Frontal Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior. Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5%) dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus. Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior
9
dari kompleks etmoid anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi, menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CTscan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan variasi.7 Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk.4
2.3. Definisi Rinosinusitis Rinosinusitis secara luas didefinisikan sebagai inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior) serta nyeri pada wajah atau rasa tertekan di wajah dan penurunan atau hilangnya penghidu. Temuan nasoendoskopi separti polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius, dan atau edema/obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer seperti perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus. Konsensus internasional tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut (ARS) dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik (CRS) jika lebih dari 3 bulan.8 Pada sinusitis bakteri kronik, infeksi lebih cenderung mengarah pada kerusakan sistem aliran mukosiliar akibat infeksi berulang dibandingkan infeksi bakteri yang persisten. Kadang-kadang semua sinus paranasal meradang pada waktu yang sama.7
10
Gambar 2.4. Klasifikasi Rhinosinusitis7
2.4. Etiologi Faktor-faktor yang berhubungan dengan patogenesis rinosinusitis dibagi dalam 2 besar, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor manusia misalnya seperti genetik / kelainan kongenital (kista fibrosis, sindrom silia imotil), alergi / kondisi imun tubuh, kelainan anatomi, penyakit sistemik, kelainan endokrin, gangguan metabolik, dan keganasan. Sedangkan faktor lingkungan misalnya seperti infeksi (virus, bakteri, dan jamur), trauma, bahan kimia berbahaya, iatrogenik (medikamentosa ataupun pembedahan).9 Sinusitis yang disebabkan oleh infeksi ada 3 agen penyebabnya, yaitu virus, bakteri, dan jamur. Rhinosinusitis akibat virus disebut common cold. Virus yang menginfeksi antara lain : rhinovirus (50%), coronavirus (20%), influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, adenovirus dan enterovirus. Sementara rinosinusitis bakterial akut disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza (sekitar 60% kasus rinosinusitis akibat bakteri). Sisanya disebabkan oleh Streptococcus grup A, Streptococcus milleri, Staphylococcus aureus, Neisseria spp., basil gram negatif, Klebsiella sp., Moraxella catarrhalis, dan Pseudomonas sp. Patogen anaerobik seperti Peptostreptococcus, Bacteroides spp., dan Fusobacteria ditemukan pada kasus sinusitis maksilaris yang merupakan infeksi sekunder terhadap penyakit gigi. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesies Aspergillus dan Candida.9 Beberapa faktor predisposisi selain yang di atas adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan tersebut secara
11
perlahan akan menyebabkan perubahan mukosa dan kerusakan silia dalam hidung dan sinus paranasal.9
2.5. Patofisiologi Sinus normal biasanya dalam keadaan yang steril. Bakteri yang masuk ke sinus dapat dieliminasi dengan cepat melalui sekresi mukus yang dikeluarkan oleh sel epitel kolumnar bersilia. Mukus itu sendiri dihasilkan oleh sel goblet dan kelenjar submukosa. Oleh karena itu, jika ada kelainan pada silia, maka proses eliminasi bakteri pun terhambat.10 Baik atau tidak baiknya keadaan sinus dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam kompleks ostio-meatal (KOM). Mukus sangat bermanfaat dalam menjaga kesehatan sinus karena mengandung substansi antimikrobial (immunoglobulin) dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama-sama dengan udara pernafasan.10 Inflamasi hidung dan sinus dari berbagai penyebab dapat mengakibatkan obstruksi ostium-ostium sinus dan menjadi faktor predisposisi terhadap infeksi. Faktor yang berperan dalam terjadinya acute bacterial sinusitis (ABRS) banyak, secara garis besar dibagi atas 2 bagian, yaitu faktor manusia dan lingkungan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita itu sendiri (faktor manusia), yaitu faktor genetik seperti sindrom silia imotil atau kista fibrosis, abnormalitas anatomi (konka bulosa, kelainan septum, atau turbinatum paradoksal), penyakit sistemik, keganasan, dan alergi. Sedangkan faktor lingkungan meliputi infeksi bakteri, virus, jamur, atau paparan primer maupun sekunder asap tembakau, akut atau kronik bahan iritan atau bahan kimia berbahaya, faktor iatrogenik termasuk pembedahan, medikamentosa ataupun pemasangan NGT. Berdasarkan bukti-bukti yang ada saat ini, para individu dengan riwayat alergi memiliki tingkat insidensi yang lebih tinggi terjadinya rinosinusitis akut dan kronik.10 Rinosinusitis akut biasanya terjadi karena infeksi virus pada saluran pernafasan bagian atas. Infeksi ini lebih umum terjadi pada individu yang memiliki faktor-faktor predisposisi yang telah dijelaskan sebelumnya. Infeksi
12
tersebut
akan
menyebabkan
pembengkakan
mukosa
hidung
sehingga
mengakibatkan oklusi atau obstruksi ostium sinus. Apapun penyebabnya, sekali saja ostium mengalami oklusi, hipoksia lokal akan terjadi pada kavum sinus dan sekresi sinus menjadi terakumulasi. Kombinasi antara keadaan hipoksia dan sekresi yang tertumpuk tadi akan menyebabkan tumbuhnya bakteri patogen di dalam sinus . Peradangan juga menyebabkan mukus menjadi lebih kental dan gerakan silia lebih lambat daripada normal.10 Alergi sangat berperan penting pada kejadian rinosinusitis. Reaksi antigenantibodi pada keadaan alergi menyebabkan pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin. Mediator-mediator ini meningkatkan permeabilitas vaskular, edema mukosa, dan pada akhirnya mengakibatkan obstruksi ostia. Walaupun agen infeksius dapat menjadi penyebab utama inflamasi sinus, mereka juga ditemukan sebagai infeksi sekunder pada individu yang mengalami rinitis alergi.10 Berbeda dengan rinosinusitis akut, patofisiologi rinosinusitis kronik masih belum dapat diketahui secara jelas, namun faktor predisposisi lebih berperan penting, misalnya seperti penyakit sistemik dan lingkungan. Pada pasien rinosinusitis kronis yang penyebabnya bakteri patogen, organisme terbanyak adalah Staphylococcus sp. (55%) dan Staphylococcus aureus (20%).10
2.6. Gejala Klinis Pasien sering mengeluh pengerasan kulit hidung, obstruksi, hipersekresi atau postnasal drip, batuk, tekanan pada wajah, dan kelelahan ketika fungsi mukosa hidung tidak normal. Sumbatan hidung yang bergeser dari sisi ke sisi adalah umum pada banyak jenis rhinitis dan dapat dianggap berlebihan pada fisiologi normal.8 Gejala utama dari sinusitis termasuk tekanan pada wajah, kemacetan atau kepenuhan pada wajah, obstruksi hidung, discharge hidung, dan anosmia. Gejala ringan termasuk sakit kepala, halitosis, kelelahan, sakit gigi, batuk, dan tekanan pada telinga. Tanda-tanda utama termasuk purulensi di hidung yang dicatat pada pemeriksaan dengan sinusitis akut, dan demam. Nyeri adalah keluhan yang sering dengan sinusitis akut tetapi jarang terjadi dengan sinusitis kronis. Pasien dengan
13
sinusitis kronis sering perhatikan tekanan wajah kusam yang tampaknya memburuk dengan ketergantungan. Pasien dengan sinusitis akut mungkin memiliki rasa sakit wajah diskrit atau sakit gigi, tetapi juga memiliki discharge purulen pada hidung, sering dengan demam. Hal ini penting untuk dicatat bahwa nyeri wajah bukanlah gejala sinusitis kronis dengan tidak adanya tanda-tanda dan gejala hidung lain. Umumnya, sinusitis diduga terjadi atas dasar setidaknya dua faktor utama, salah satu faktor utama dan dua faktor minor, atau purulensi pada pemeriksaan hidung.8
2.7. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis penting untuk ditanyakan mengenai gejala yang dirasakan serta durasi, lokalisasi gejala, tingkat severitasnya, faktor yang memberatkan atau menghilangkan, serta obat yang pernah digunakan.11 Menurut durasi gejala oleh Rhinosinusitis Task Force 1996, rhinosinusitis didefinisikan sebagai akut apabila gejala berlangsung selama 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala berlangsung 4 minggu hingga 12 minggu, atau kronis untuk gejala yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Istilah rhinosinusitis akut berulang adalah untuk pasien dengan 4 atau lebih episode per tahun dengan interval bebas penyakit diantara keduanya. Eksaserbasi akut RSK didefinisikan sebagai tiba-tiba memburuknya gejala pada pasien yang sudah didiagnosis dengan RSK, dengan kembali ke gejala awal setelah perawatan. Sebuah riwayat yang kuat sesuai dengan rhinosinusitis akan memerlukan adanya 2 kriteria mayor atau 1 mayor dan 2 minor.11 Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pada rinoskopi anterior bisa ditemukan Pada pemeriksaan bisa ditemukan nasal inflamasi, edema mukosa, dan discharge purulen, dan juga terkadang ditemukan hal yang tidak dicurigai sebelumnya seperti polip atau abnormalitas anatomi. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada rhinosinusitis maksial dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid
14
posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.11 Faktor Mayor
Faktor Minor
Tekanan/ nyeri wajah
Sakit kepala
Obstruksi nasal
Demam (untuk semua non akut)
Sekret hidung/ post nasal drip
Halitosis (bau nafas)
Hiposmia/ anosmia
Nyeri gigi
Purulensi saat pemeriksaan fisik
Fatigue
Demam (hanya pada akut)
Batuk
Nyeri telinga/ rasa tertekan/ rasa penuh
Gambar 2.5. Tanda dan gejala yang berhubungan dengan diagnosis rinosinusitis (Rhinosinusitis Task Force)11
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT Scan. Foto polos posisi Waters, PA dan Lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-caira (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT Scan sinus merupakan gold standard diagnosis rhinosinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjangdiagnosis rhinosinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakuka operasi sinus.3 Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.3
15
2.8. Tatalaksana Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat
penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan akut menjadi kronik. Jenis terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan12 2.8.1. Medikamentosa Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.12 Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation adalah jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan hidung tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L) dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter. Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi. Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat.
16
Inisial Terapi
Efikasi Opsi Switch Therapy (improvement Klinis
/< stlh 72 jam)
(%) Derajat ringan tanpa riwayat pemakaian antimikroba dalam 4-6 minggu Amoxicillin/Clavulanate
90-91
-
Amoxicillin (1.5-4 g/d)
87-88
Lefofloxacin/Gatifloxacin/moxifloxacin
Cefpodoxime
87
Amoxicilin/clavulanate
Cefuroxime
85
Ceftriaxone
Cefdinir
83
Combination therapy
(1.75-4 g/250 mg/d)
Gejala ringan dengan riwayat penggunaan antimikroba 4-6 minggu terakhir/gejala sedang Gatifloxacin/Lefofloxacin 92 Amoxicillin/ clavulanate
91
Ceftriaxone
91
Re-evaluasi
Combination therapy Gambar 2.6. Panduan Pilihan Anti Mikroba pada Rhinosinusitis12
17
Gambar 2.7. Skema Penatalaksanaan ARS pada Layanan Primer8
2.8.2. Pembedahan Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus. A. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista
18
atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.12 B. Operasi Caldwell-Luc Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal. C. Etmoidektomi Eksternal Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi. Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini. Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman. D. Trepinasi Sinus Frontal Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan. E. Irigasi Sinus Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya dilakukan pada meatus inferior hidung.12
19
2.9. Komplikasi Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru. A. Komplikasi Orbita Komplikasi orbita disebabkan infeksi sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita), paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Komplikasi orbita dibagi menjadi 5, yaitu selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita, dan trombosis sinus kavernosus. B. Komplikasi Intrakranial Komplikasi intrakranial dapat berupa meningitis, abses subdural, abses intraserebri , dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial lebih umum dijumpai pada pasien sinusitis kronik dibandingkan sinusitis akut. C. Osteomielitis dan Abses Subperiosteal Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi. D. Kelainan Paru Kelainan paru akibat komplikasi rinosinusitis yaitu seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.
2.11. Prognosis Prognosis untuk penderita rhinosinusitis akut yaitu sebesar 40% akan sembuh secara spontan tanpa pemberian antibiotik. Terkadang juga penderita bisa mengalami relaps setelah pengobatan namun jumlahnya sedikit yaitu kurang dari 5 %. Sedangkan prognosi untuk rhinositis kronik yaitu jika dilakukan pengobatan yang dini maka akan mendapatkan hasil yang baik.10
20
BAB III KESIMPULAN Rinosinusitis merupakan penyakit yang banyak ditemukan diantara penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher lainnya. Awalnya penyakit ini didahului oleh salesma (common cold) yang akan mempengaruhi silia dari sinus paranasal sehingga terjadi penebalan mukosa dan akumulasi mukus di dalamnya. Selain disebabkan oleh virus dan bakteri, rinosinusitis juga dapat disebabkan oleh kelainan anatomis, metabolik, ataupun imunodefisiensi. Oleh karena penyakit ini mengganggu kualitas hidup pasien, dokter haruslah dapat mendiagnosis rhinosinusitis sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, oleh Task Force Rhinosinusitis 1996 berupa 2 kriteria mayor atau 1 mayor ditambah 2 minor. Tatalaksana yang diberikan dapat diawali dengan pemberian medikamentosa dan jika tidak ada perubahan dengan medikamentosa adekuat, dapat dipertimbangkan tindakan operatif.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sriwiludjeng T. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Bakterial Akut Anak. RSUD dr. Wahidin Sudiro Husodo Kota Mojokerto. 2. Budiman BJ, Asyari A.2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan Polip Nasi. Bagian telinga hidung tenggorok bedah kepala leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 3. Fokkens W et al. 2007. Rhinology supplement 20 EP3OS. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. 4. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. 2007, Dalam Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hal 150-3. 5. Soepardi ES, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan :
Telinga Hidung Tenggorok Kepala-Leher Edisi Ketujuh. FK
UI.2012. Jakarta 6. Brook
I,
Bronze
MS.
Acute
Sinusitis.
2013.
Diakses
pada
http://emedicine.medscape.com. Edit tanggal 4 Oktober 2014. 7. Selvianti,
Irwan,
K.
Patofisiologi,
Diagnosis
Dan
Penatalaksanaan
Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Nasi Pada Orang Dewasa. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. 8. Chow AW, Benninger MS, Brook I, Brozek JL, Goldstein EJC, Hicks LA, et al. IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. Clinical Infectious Diseases 2012 9. Fernando, A.,Oktavianto, G.2014, Rhinosinusitis. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Periode 5 Mei-7 Juni 2014 Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan Jakarta, Hal : 14-15.
22
10. Salamone, Shah, et al. Chapter 14: Acute and Chronic Sinusitis. Dalam: Lalwani, editor. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology – Head and Neck Surgery, Ed 2. USA, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2007. 11. Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery Otolaryngology Fourth Edition Volume One. Lippincott Williams & Wilkins 12. Husni, T. 2012. Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Divisi Rinologi, Bagian Telinga Hidung Tenggorokan-Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Syahkuala/RSUD Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh, Hal : 212-228. th
13. Dhingra PL. 2007. Disease of Ear Nose and Throat. 4 Ed.New Delhi, India : Elsevier. pp : 129-135; 145-148.
23