Diagnosis dan Tatalaksana Rhinitis Olyana Wolff 102015232 C6
[email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara No.06 Jakarta 11510 Pendahuluan Rinitis adalah inflamasi pada lapisan dalam hidung yang ditandai dengan adanya gejalagejala seperti rinore,bersin-bersin, hidung tersumbat, dan atau hidung gatal. Secara garis besar, rinitis dibagi kepada 2 bagian yaitu rinitis nonalergik dan alergi. Gejala-gejala hidung yang berlangsung kronis tanpa penyebab alergi disebut rinitis nonalergik. Sedangkan bila didapati adanya penyebab alergi (alergen) dikenal dengan rinitis alergik. Karaktieristik gejala pada rinitis nonalergik sering susah dibedakan dengan rinitis alergik. Oleh karena itu, hasil negative dari tes sensitivitas yang diperantarai Ig-E terhadap aeroallergen yang releven, penting untuk menkonfirmasi diagnosis.1 Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri, dimana kejadiannya kurang dari dua belas minggu. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari dua belas minggu. Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis alergi, rhinitis hipertrofi (medikamentosa), dan rhinitis vasomotor.2 Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.3 Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).3 Pemeriksaan Fisik Pada semua kasus rhinitis hasil pemeriksaan fisik pasien secara keseluruhan memberikan hasil yang hampir sama dimana didapatkan konka yang hiperemis/livide, hidung tersuumbat unilateral/bilateral, keluarna cairan cair/kental dan sebagainya.
Diagnosis Rhinitis Akut 1. Rhinitis Simpleks (Selesema, Comman Cold, Coryza) Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu. Awalnya hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer, sangat banyak dan berwarna putih.4 2. Rhinitis E.c Bakteri (pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus, Corynebacterium diphteriae) Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan. Secret hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri. Pada rhinitis difteri dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Gejala ialah demam, terdapat limfadenitis. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.4 3. Rinitis Iritan Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak.4 Terapi dan Pencegahan Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai dengan istirehat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.23,24,25 Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya system imuitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirehat yang cukup, mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang teraturjuga baik untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.25
Rhinitis Kronis 1. Rhinittis Hipertrofi (medikamentosa) Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.4 2. Rhinitis Atrofik (Ozaena) Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen.5 Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat.5 3. Rhinitis Alergi Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.3 Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.3 Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma, konjungtivitis dan rhinosinusitis.6 Etiologi Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies and Higler., 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Epidmiologi Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Patofisilogi Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 1 16 Gambar 4. Reaksi Alergi Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
`
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.3 Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.3 IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 17 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).3 Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 3
Gambar 1. Patofisologi rhinitis alergi, paparan alergen pertama dan selanjutnya (Benjamin,Choico, Sunshine 2000)
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GMCSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.3
1. 2. 3. 4.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:3 Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan serta jamur. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang- kacangan. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan Misalnya: penisilin dan sengatan lebah. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.
Diagnosis Anamnesis Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Gejala klinis lainnya dapat berupa ‘popping of the ears’, berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan. Pemeriksaaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner.1 Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.1 Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan mikroskopik dari jaringan nasal biasanya menunjukkan jumlah eosinofil yang sangat banyak. Penghitungan eosinofil darah periferal dapat dilakukan, tapi sifatnya kurang spesifik dan kegunaannya terbatas. Uji radioallergosorbent (RAST) dapat digunakan untuk mendeteksi IgE dalam darah yang beraksi spesifik terhadap antigen tertentu, tapi uji ini tidak lebih efektif ketimbang test perkutan (Bousquet et al., 2008). Skin test atau skin prick test mampu mengidentifikasi allergenspesific IgE dalam serum. Test ini diperlukan bila simptom yang dialami bersifat persisten dan/atau sedang sampai berat, atau bila kualitas hidup pasien mulai terpengaruh. Komplikasi Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah:3 1. Polip hidung. Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. Penatalaksanaan7 a. Menghindari alergen spesifik b. Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam menurunkan gejala alergis c. Terapi topikal dapat dengan dekongestan hidung topikal melalui semprot hidung. Obat yang biasa digunakan adalah oxymetazolin atau xylometazolin, namun hanya bila hidung sangat tersumbat dan dipakai beberapa hari (< 2 minggu) untuk menghindari rhinitis medikamentosa. d. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak dapat diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon. e. Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida yang bermanfaat untuk mengatasi rinorea karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor. f. Terapi oral sistemik 1. Antihistamin • Anti histamin generasi 1: difenhidramin, klorfeniramin, siproheptadin. • Anti histamin generasi 2: loratadin, cetirizine 2. Preparat simpatomimetik golongan agonis alfa dapat dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi antihistamin. Dekongestan oral: pseudoefedrin, fenilpropanolamin, fenilefrin. g. Terapi lainnya dapat berupa operasi terutama bila terdapat kelainan anatomi, selain itu dapat juga dengan imunoterapi Konseling dan Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk: a. Menyingkirkan faktor penyebab yang dicurigai (alergen). b. Menghindari suhu ekstrim panas maupun ekstrim dingin c. Selalu menjaga kesehatan dan kebugaran jasmani.
Gambar 2. Algoritma penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasasa) 4. Rhinitis Vasomotor Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.3 Rinitis vasomotor adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini 30 merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang.3 Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktorfaktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 3 Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif. Epidemiologi Sebanyak 30 – 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 – 4. Secara umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 – 21%.7
Patogenesis Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini merupakan refleks hipersensitivitas mukosahidung yang non – spesifik. Serangan dapat muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu.3 Beberapa faktor yang dapat memicu seperti adanya paparan terhadap suatu iritan -> memicu ketidakseimbangan sistem saraf otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung -> vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung -> hidung tersumbat dan rinore. isebut juga “rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis )“ merupakan respon non – spesifik terhadap perubahan – perubahan lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon terhadap protein spesifik pada zat allergennya. tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE ( IgEmediated hypersensitivity ). Pemicu seperti alkohol, perubahan temperatur/kelembapan, makanan yang panas dan pedas, bau – bauan yang menyengat, asap rokok atau polusi udara lainnya. Faktor – faktor psikis seperti : stress, ansietas, obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral.7 Penatalaksanaan7 Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 1. Menghindari penyebab / pencetus (Avoidance therapy) . 2. Pengobatan konservatif (Farmakoterapi) : i. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung). ii. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore. iii. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone iv. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Ipratropium bromide (nasal spray) 3. Terapi operatif (dilakukan bila pengobatan konservatif gagal) : Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi.
Kesimpulan Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan timbul dengan gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rinitis berkaitan dengan berbagai penyakit antara lain rhinosinusitis, asma dan otitis media. Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan, walaupun sering dianggap sepeleh oleh pasien dan para prektisi. Gejala-gejala rinitis akut secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala sistemik yang turut menyertainya, seperti fatigue, sakit kepala dan gangguan kognitif. Rinitis akut merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri secara spontan setelah kurang lebih 12 minggu.
Karena itu umumnya terapi yang diberikan adalah bersifat simptomatik seperti analgesik, antipiretik, nasal dekongenstan dan antihistamin. Terapi nonfarmakologi adalah tirah baring total untuk mendapatkan istirehat yang mencukupi. Terapi khusus tidak diperlukan, kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan. Tindakan pencegahan yang dapat dilakuakan meliputi istirehat yang cukup,konsumsi makanan dan minuman yang sehat, olahraga teratur utuk membina sistem imunitasi yang optimal. Daftar Pustaka 1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School of Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/NonAllergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 24 Maret 2019] 2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8 3. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi : Elsevier; 2011. p. 180-184 5. Maran. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore. 6. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 24 Maret 2019. 7. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997. 8. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di: http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari 2011.