Rhinitis Alergi David.docx

  • Uploaded by: black desert education
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rhinitis Alergi David.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,828
  • Pages: 22
REFERAT Rhinitis Alergi

DISUSUN OLEH: David Sudarman

112018005

PEMBIMBING: dr. Erwinantyo Budi K, Sp.THT

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK RUMAH SAKIT PANTI WILASA DOKTER CIPTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 26 November 2018 – 29 Desember 2018

BAB I PENDAHULUAN Rhinitis alergi merupakan penyakit immunologi yang paling sering ditemukan. Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rhinitis alergi diperkirakan berkisar antara 10%20% dan secara konstan meningkat dalam dekade terakhir.1 Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impacy on Asthma) tahun 2001, Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.2 Rhinitis alergi bukanlah penyakit yang fatal, tetapi gejalanya dapat berpengaruh pada kesehatan seseorang dan menurunkan kualitas hidup yang bermakna pada penderitanya.

3

Biasanya rhinitis alergi timbul pada usia muda (remaja dan dewasa muda). Pada usia remaja/ dewasa, prevalensi rhinitis alergi adalah sama banyak antara laki-laki dan perempuan. Keluarga atopi memiliki prevalensi lebih besar daripada neonatopi. 4 Penyakit alergi THT terutama rhinitis alergi umumnya diterapi dengan cara menghindari allergen penyebab untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui alergen penyebab tersebut, imunoterapi, mencegah degranulasi sel matosit, menetralisir mediator amine vasoaktif (terutama mediator histamine) dan menghilangkan gejala-gejala pada organ target ( pilek dan buntu hidung).5 tetapi cara yang paling efektif untuk mengontrol penyakitpenyakit alergi adalah dengan menghindari paparan allergen penyebabnya.6 Dalam referat ini penulis akan mencoba untuk membahas mulai dari definisi, epidemiologi, faktor resiko, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, pemeriksaan, diagnosis & diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis dan pencegahannya. Namun sebelumnya, penulis akan membahas anatomi dan fisiologi hidung terlebih dahulu

1

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG

Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali tenang anatomi dan fisiologi hidung. Anatomi hidung dibagi menjadi dua bagia, yaitu hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Sedangkan Fisiologi hidung terdapat limja fungsi, yaitu fungsi respirasi, fungsi penghidu, fungsi fonetik, fungsi staris dan mekanik, serta fungsi sebagai reflex nasal. Pertama-tama akan dibahas mengenai anatomi hidung. II.1

Anatomi Hidung1 II.1.1 Hidung bagian Luar Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah adalah sebagai berikut : 

Pangkal hidung ( bridge)



Batang hidung (dorsum nasi)



Puncak hidung (tip)



Ala nasi



Kolumela



Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar tampak samping

2

Gambar 2. Anatomi hidung bagian luar tampak bawah

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit. Kerangka tulang terdiri dari: 1. Tulang hidung (os nasal) 2. Prosesus frontalis os maksila 3. Prosesus nasalis os frontal.

Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang yaitu: 1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior 2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior atau yg disebut juga alaris mayor 3. Kartilago alaris minor 4. Tepi anterior kartilago septum.

3

Gambar 3. Kerangka Tulang dan Tulang Rawan Hidung

II.1.2 Hidung bagian dalam1 Rongga hidung atau cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian dari tulang adalah: 1. Lamina perpendikularis os etmoid 2. Vomer 3. Krista nasalis os maksila 4. Krista nasalis os palatina. Bagian Tulang rawan adalah: 1. Kartilago septum ( lamina kuadrangularis) 2. Kolumela. Cavum nasi terdiri dari vestibulum, meatus nasi, mukosa nasi, dan konka nasalis. Konka nasalis terbagi menjadi 4 bagian yaitu bagian superior, media, inferior dan suprema. Konka suprema ini biasanya rudimeter.

Gambar 4. Konka dan Sinus Hidung

4

II.2

Vaskularisasi hidung1 Bagian rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmik dari arteri karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor an arteri sfenopalatina dan memasuki ringga hidung dibelakang konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut pleksus Kisselbach ( little’s area). Pleksus kisselbach letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis.

III.3

Fisiologi Hidung1 Fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1.

Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan meknisme imunologik lokal.

2.

Fungsi penghidu karena terdapat mukosa olfaktorius dan reservoir udara ubtuk menampung stimulus penghidu.

3.

Fungsi fonetiik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang,

4.

Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.

5.

Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti, rangsang bau tertentu juga akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.

5

BAB III RHINITIS ALERGI

III.1

Definisi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskkannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impacy on Asthma) tahun 2001, Rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rhinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE.2

III.2

Epidemiologi Rinitis alergi merupakan penyakit yang umum dijumpai di masyarakat, insiden rinitis alergi menurut WHO - ARIA 2001 antara 1 - 18%, sedangkan insiden rinitis alergi di Jakarta cukup tinggi antara 10-20%.7 Dari sumber lainnya, didapatkan prevalensi penyakit Rinitis Alergi pada beberapa Negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah penduduk dan di Amerika, merupakan satu diantara deretan atas penyakit umum yang sering dijumpai. 7 Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetic kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya. 7

III.3

Faktor Resiko Faktor resiko rhinitis alergika antara lain 8: 1. Riwayat keluarga yang atopi 6

2. Serum IgE > 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun 3. Sosioekonomi menengah keatas 4. Paparan terhadap allergen dalam ruangan (binatang dan debu) 5. Skin prick test positif

III.4

Etiologi Rinitis alergi adalah disebabkan oleh reaksi peradangan mukosa hidung, yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE), setelah terjadi paparan allergen (reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Comb). 9 Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi pada setiap orang dapat berbeda alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994). 10 Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas: • Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur. • Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang. • Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah. • Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

7

III.5

Patofisiologi Pada dasarnya, rhinitis alergi merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 merupakan reaksi yang bersifat cepat dan merupakan hasil dari sensitisasi sel-sel mast yang ada pada jaringan oleh IgE. Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang terbagi menjadi 2 fase, yakni IPAR ( Immediate Phase Allergic Reaction ) yang berlangsung dalam kurun waktu sampai 1 jam setelah terpapar oleh allergen, dan LPAR ( Late Phase Allergic Reaction ) dimana manifestasinya muncul 2-4 jam setelah terpapar dengan puncak manifestasinya pada jam ke 6-8 dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Mukosa dari nasal memiliki kemampuan untuk menangkap partikel-partikel yang ikut terhirup ketika bernafas, partikel-partikel tersebut kemudian akan dipindahkan ke faring dengan bantuan silia-silia yang ada pada permukaan mukosa. Namun pada rhinitis alergi, antigen dari partikel-partikel tertentu akan dipecahkan oleh enzim yang terdapat pada mukosa hidung dan melepaskan alergen yang kemudian akan memicu sel mast , yang sudah tersensitisasi dan memiliki IgE pada reseptornya, yang ada dalam jaringan mukosa dan memicu terjadinya reaksi hipersensitivitas terhadap alergen tersebut. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). 8

IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lainlain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati,

9

Kasakayan,

Rusmono,

2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari: 1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier. 3. Respon tersier 10

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

III.6

Klasifikasi Sekarang ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi WHO initiative ARIA tahun 2001, berdasarkan lama terjadinya gejala serta berdasarkan keparahan dan kualitas hidup, dapat dilihat sebagai berikut:11

11

Tabel 1. Klasifikasi Rhinitis Alergi menurut guideline ARIA (2001) Selain

klasifikasi diatas, terdapat juga klasifikasi berdasarkan waktunya,

terdapat tiga golongan rhinitis alergi, yaitu :11 

Seasonal allergic rhinitis (SAR) Terjadi pada waktu yang sama setiap tahunnya, misalnya pada saat musim bunga, dikarenakan banyak serbuk sari yang beterbangan.



Perrenial allergic rhinitis (PAR) Terjadi setiap saat dalam setahun, penyebab utamanya adalah debu, animal dander, jamur, kecoa



Occupational allergic rhinitis Rhinitis alergi yang terkait dengan pekerjaan

III.7

Manifestasi Klinis Tanda dan gejala pada rhinitis alergi, adalah: o Bersin berulangkali o Hidung berair (rhinorrhea) o Tenggorokan, hidung, kerongkongan gatal 12

o Mata merah, gatal, berair o Post-nasal drip

Gambar 5. Gejala Rhinitis Alergi Berikut adalah perbedaan tanda dan gejala pada intermiten dan persisten rhinitis alergi,

Tabel 2. Pebedaan Gejala Rhinitis Alergi Intermiten dan Persisten

III.8

Pemeriksaan Penunjang a. In vitro 13

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.1

b. In vivo Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.1 Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui. 12 Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.1 III.9

Diagnosa Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1. Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang 14

kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.1 Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersinbersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam,

hidung tersumbat,

dan mata merah serta berair

maka dinyatakan positif

(Rusmono, Kasakayan, 1990). 2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, bewarna pucat,m atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Gejala spesifik lain, terutama pada anak ialah garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). III.10 Diagnosa Banding Rhinitis alergika harus dibedakan dengan:13 1. Rhinitis vasomotor Adalah gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik.14 Kelainan ini merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit untuk dibedakan. 1 Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan. Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer, seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut. 1 15

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya. Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi atas tindakan konservatif dan operatif.

Tabel 3. Perbedaan Rhinitis Alergi dengan Rhinitis Vasosmotor 2. Rhinitis virus Rhinitis yang disebabkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan rhinitis virus adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus coxsackie, dan virus ECHO. Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh, Pada stadium prodromal yang berlangsung beberapa jam, didapatkan rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung. Kemudian akan timbul bersin berulang, hidung tersumbat, dan ingus encer yang biasanya disertai demam dan nyeri kepala.Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Tidak ada terapi spesifik selain istirahat dan pemberian obat-obat simptomatis, seperti analgetika, antipiretika, dan obat dekongestan. Antibiotika diberikan hanya jika ada infeksi sekunder oleh bakteri 3.

Rhinitis bacterial Rhinitis yang terjadi akibat adanya infeksi dari bakteri. Rhinitis bacterial dapat terjadi sebagai infeksi primer ataupun infeksi sekunder pada rhinitis virus. Beberapa bakteri yang dapat menyebabkan rhinitis bacterial adalah Corynebacterium diphteriae yang menyebabkan rhinitis dipteri, Treponema palidum yang menyebabkan rhinitis sifilis, infeksi ekstra pulmonal oleh mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan rhinitis tuberkulosa.

16

III.11 Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 2. Simptomatis a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006). b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001). c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

17

18

III.12 Komplikasi Komplikasi rhinitis alergi yang sering adalah:1 1. Polip hidung 2. Otitis Media Akut 3. Sinusitis Paranasal Komplikasi lainnya yang dapat disebabkan rhinitis alergi adalah: 1. Asma 2. Obstruksi tuba Eustachius dan efusi telinga bagian tengah 3. Hipertrofi tonsil dan adenoid 4. Gangguan kognitif

III.12 Prognosis Secara Umum baik. Penyakit rhinitis alergi ini secara menyeluruh berkurang seiring bertambahnya usia, tetapi kemungkinan menderita asma bronkial meningkat ( Becker, 1994 ). Remisi spontan dapat terjadi sebanyak 15-25% selama jangka waktu 57 tahun, remisi untuk rinitis alergi musiman lebih besar frekusensinya dibandingkan dengan rhinitis alergi perenial ( Rusmono, 1993 ). III.13 Pencegahannya Pencegahan dari rhinitis alergi adalah dengan menghindari paparan dengan allergen pencetus rhinitis alergi, selain itu juga dengan menjaga keadaan imunitas tubuh dalam keadaan yang baik.

19

BAB IV RINGKASAN Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflammasi yang dicetuskan oleh reaksi hipersensitivitas sistem pertahanan tubuh terhadap alergen-alergen tertentu. Penyakit ini dapat timbul secara musiman atau sepanjang tahun. Penyakit ini dapat dikaitkan dengan suatu kelainan atopik. Tanda dan gejala yang khas dari rhinitis alergi adalah rinorrhea, bersin-bersin, obstruksi jalan nafas pada cavum nasi, lakrimasi, dan rasa gatal pada hidung dan konjungtiva. Selain itu pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan mukosa nasal berwarna pucat dan nampak basah, konjungtiva bisa didapatkan kongesti dan edem, pada faring tidak ditemukan suatu tanda yang spesifik. Pembengkakan mukosa cavum nasi dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder memlalui oklusi ostium sinus maupun tuba eustachius. Diagnosis rhinitis alergi terutama berdasarkan pada anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang menunjang. Penggunaan pemeriksaan penunjang dapat membantu dalam penegakan diagnosa, seperti foto x-ray, skin prick test, cell diff count, dan sebagainya. Penatalaksanaan untuk kasus rhinitis alergi berupa pencegahan kontak dengan alergen. Untuk simptomatis dapat diberikan obat-obatan anti histamin, simpatomimetik, kortikosteroid, anti kolinergik. Bila terapi dengan medikamentosa tidak memuaskan dan penyakit pasien menyebabkan disfungsi pada pasien, dapat dilakukan tindakan operatif seperti konkotomi. Selain itu dapat dilakukan imunoterapi yang merupakan usaha desensitisasi terhadap alergen pencetus rhinitis alergi pada pasien.

20

DAFTAR PUSTAKA 1. Suprihati,dr.,Sp.THT. Patofisiologi dan Prosedur Diagnosis Rhinitis Alergi. Bagian THT FK Undip/RSUP Dr. Kariadi semarang: 1 -10 2. Sarumpaet R.D. Kumpulan Karya Ilmiah. Bagian Ilmu kesehatan THT FK Undip/SMF kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang, 2001 ; 49 -54 3. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Ed 14 Jilid I. Binarupa Aksara, Jakarta, 1994 : 176 – 8 4. Ballenger J.J. Diseases of The Nose, Throat, and Ear. 11thed. Philadelphia : Lea & Febrigger, 1987 : 93 – 6 5. Boyes LR, Higgler JA, Priest RE. Fundamental of Otolaryngology A Textbook of Ear, Nose, and Throat Diseases. 4thed. London : WB Saunders Company, 1984 : 303 – 9 6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Rhinitis Alergi. Buku Ajar Ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala leher Edisi keenam FKUI. Balai Penerbit FK UI, 2007 : 128 – 34 7. Adams GL, Boyes LR, Higgler PH. Buku Ajar Penyakit THT ed.6 EGC, Jakarta, 1997 : 196-7 8. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17thedition. USA : McGraw-Hill Companies, 2008 : 2068 - 70

21

Related Documents


More Documents from "Lamboy Sihaloho"