i
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISTIK
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran Matematika
Oleh: Fajar Gunawan Afandi NIM. 165500107
UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA SURABAYA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA Juni, 2018
ii
KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur ke Hadirat Allah S.W.T. yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya berupa kesehatan, kesempatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya guna memenuhi tugas mata kuliah evaluasi proses dan hasil pembelajaran Matematika. Penulisan makalah berjudul “Teori Belajar Konstruktivistik” adalah untuk memberikan
penjelasan/pemaparan
mengenai
implementasi
teori
belajar
konstruktivistik dalam kegiatan belajar mengajar. Makalah ini tidak dapat terselesaikan terlepas dari bimbingan, bantuan dan paritsipasi semua pihak, untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Drs. Djoko Adi Walujo, ST., M.M., D.B.A., Rektor Universitas PGRI Adi Buana Surabaya 2. Moh. Syukron Maftuh, S.Pd., M.Pd., dosen pengampu mata kuliah Belajar dan Pembelajaran Matematika yang turut membimbing dalam penyelesaian makalah ini Penulis menyadari akan kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran dan masukan yang bersifat membangun. Penulis juga berharap makalah ini dapat bermafaat bagi para pembaca.
Surabaya, 28 Juni 2018 Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ KATA PENGANTAR ...................................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. A. Latar Belakang ........................................................................................... B. Rumusan Masalah ....................................................................................... C. Tujuan ......................................................................................................... BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. A. Pengertian Teori Belajar Konstruktivistik .................................................. B. Tokoh – Tokoh Teori Belajar Konstruktivistik .......................................... 1. Teori Perkembangan Jean Piaget ................................................................ 2. Teori Vygotsky ..................................................................................................... 3. Teori Bandura ....................................................................................................... C. Implementasi Teori Belajar Konstruktivistik.............................................. BAB III PENUTUP .......................................................................................... A. Simpulan .................................................................................................... B. Saran ........................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
iii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Evaluasi atau penilaian sangat dibutuhkan dalam berbagai kegiatan kehidupan manusia sehari-hari karena disadari atau tidak, sebenarnya evaluasi sudah sering dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk diri sendiri maupun kegiatan sosial lainnya. Dalam pendidikan, evaluasi merupakan komponen penting yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pembelajaran. Untuk itu, seorang guru harus benar-benar mempersiapkan dengan benar evaluasi tersebut. Sebelum menyiapkan evaluasi belajar guru terlebih dahulu harus mengetahui tujuan dari penilaian itu. Namun, dalam praktik penilaian, guru kurang menggunakan jenis dan instrument penilaian yang bervariasi, kurang menghargai peserta didik dan tidak adil. Penilaian lebih banyak diarahkan pada penguasaan bahan/materi (content) yang diujikan dalam bentuk tes objektif. Oleh karena itu, dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, diperkenalkan konsep, pendekatan, dan model baru penilaian yang disebut Penilaian Berbasis Kelas. Penilaian ini dilakukan untuk memberikan keseimbangan pada ketiga domain, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor dengan menggunakan berbagai bentuk dan model penilaian yang dilakukan secara sistematik dan sistemik, menyeluruh dan berkelanjutan (Arifin, 2009: 179). Berikut ini akan dipaparkan konsep PBK (Penilaian Berbasis Kelas). Selain itu, akan dipaparkan pula mengenai tujuan instruksional yang merupakan penjabaran dari tujuan pendidikan dalam sistem pendidikan, secara nasional tujuan pendidikan tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Perumusan suatu tujuan pendidikan yang menetapkan hasil yang harus diperoleh siswa selama belajar, dijabarkan atas pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap dan nilai yang telah menjadi
milik siswa. Adanya tujuan tertentu memberikan arah pada usaha para pengelola pendidikan dalam berbagai taraf pelaksanaan. Dengan demikian usaha tersebut menjadi tidak sia-sia karena bekerja secara professional dengan berpedoman pada patokan yang jelas. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah makalah sebagai berikut. 1.
Apa pengertian teori belajar konstruktivistik ?
2.
Siapa saja tokoh – tokoh teori belajar konstruktivistik ?
3.
Bagaimana implementasi teori belajar konstruktivistik ?
C. Tujuan 1. Mengetahui pengertian teori belajar konstruktivistik. 2. Mengetahui tokoh – tokoh teori belajar konstruktivistik. 3. Mengetahui implementasi teori belajar konstruktivistik.
2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Teori Belajar Konstruktivistik Konstruktivistik adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi
presmis
bahwa
dengan
merefleksikan
pengalaman,
kita
membangun,
mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. Belajar, dengan demikian, semata – mata sebagai suatau proses pengaturan model mental seseorang untuk mengakomodasi pengalaman – pengalaman baru. Istilah konstruktivistik sendiri sudah dapat dilacak dalam karya Bartlett (1932), kemudian juga Mark Batlwin yang secara lebih rinci diperdalam oleh Jean Piaget, kemudian konsep Piaget ini disebar luaskan di Amerika Utara (meliputi Amerika Serikat dan Canada) oleh Ernst Von Glasersfeld. Namun, konsep terkait dengan konstruktivistik (walau saat
itu belum
mempergunakan
istilah
konstruktivistik) bahkan sudah diungkapkan oleh Giambattista Vico pada tahun 1710, yang menyatakan bahwa “mengetahui berarti mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang itu dapat dikatakan mengetahui sesuatu, baru jika ia dapat menjelaskan unsur – unsur apa yang membangun sesuatu itu. Sementara itu sejumlah ahli lain berpendapat bahwa konstruktivistik sebagai salah satu bentuk pragmatisme, oleh sebab itu dapat dimaklumi jika tokoh pragmatisme, Jhon Dewey yang terkenal dengan konsep belajar dengan melakukan (learning by doing), dikategorikan sebagai ahli pendukung konstruktivistik. Teori pembelajaran konstruktivistik merupakan teori pembelajaran kofnitif yang baru dalam psikologi pendidikan yang menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan – aturan lama dan merefisinya apabila aturan – aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar – benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, merekan harus bekerja memecahkan masalah,
3
menemukan sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide – ide (Slavin, 1994). Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide- ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Slavin, 1994 : 225). Para ahli konstruktivis beranggapan bahwa satu – satunya alat yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah inderanya. Seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya dengan melihat, mendengar, mencium, mejamah, dan merasakannya. Hal ini menapakkan bahwa pengetahuan lebih menunjuk pada pengalaman seseorang. Driver and Bell ( dalam Hamzah (2008)) mengemukakan karakteristik pembelajaran konstruktivistik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu
yang
pasif
mempertimbangkan
melainkan
seoptimal
memiliki
mungkin
tujuan,
proses
(2)
belajar
keterlibatan
harus
siswa,
(3)
pengetahuan bukan sesuatu ynag datang dari luar, melainkan dikonstruksi secara personal. Prinsip – prinsip yang sering diambil dari konstruktivistik menurut Suparno (1997 : 73), antara lain: 1.
Pengetahuan dibangun siswa secara aktif.
2.
Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa.
3.
Mengajar adalah membantu siswa belajar.
4.
Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir.
5.
Kurikulum menekankan partisipasi siswa, dan
6.
Guru sebagai fasilitator
4
B.
Tokoh – Tokoh Pencetus Teori Belajar Konstruktivistik
1.
Teori Perkembangan Jean Piaget Menurut Jean Piaget (dalam Nur, 1998 : 11), seorang anak maju melalui
empat tahap perkembangan kognitif, antara lahir dan dewasa, yaitu tahap sensorimotor, pra-operasional, operasi kongkrit, dan operasi formal. Tahap – tahap perkembnagan kognitif tersebut dijabarkan dalam tabel berikut: Tahap
Perkiraan Usia
Sensorimoto r
–
Kemampuan Kemampuan Utama
Lahir sampai 2
Terbentuknya “kepermanenan
tahun
konsep
obyek”
dan
kemajuan gradual dari perilaku refleksif
keperilaku
yang
mengarah kepada tujuan. Praoperasional
2
sampai
7
Perkembangan kemampuan menggunakan simbol – simbol
tahun
untuk menyatakan obyek – obyek dunia. Pemikiran masih egosentris dan sentarsi. Operasi kogrit
7 sampai 11 tahun
Perbaikan
dalam
kemampuan untuk berpikir secara logis. Kemampuan – kemampuan baru termasuk penggunaan operasi –
operasi
yang
dapat
balik.
Pemikiran tidak lagi sentarsi tetapi desentrasi, dan pemecahan maalah tidak
begitu
dibatasi
oleh
keegosantrisan. Operasi formal
11 tahun sampai dewasa
Pemikiran murni
simbolis
abstrak
dan
mungkin
dilakukan. Masalah – masalah
5
dapat
dipecahkan
penggunaan
melalui
eksperimentasi
sistematis. Perkembangan sebagian bergantung pada seberapa jauh anak aktif berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan dimana anak belajar menentukan proses perkembangan kognitif anak. Adaptasi lingkungan dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Selanjutnya menurut Piaget bahwa anak membangun sendiri skemata – skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya. Disini peran guru adalah sebagai fasilitator dan bukan sebagai pemberi informasi. Gur perlu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para siswanya (Hadisubroto, 2000 : 11). Piaget juga yakin bahwa pengalaman – pengalaman dari lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Selain itu, ia juga berkeyakinan bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi, berdiskusi, membantu memperjelas pemikiran, yang pada akhirnya, membuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998 : 9). Dari implikasi teori Piaget diatas, guru harus mampu menciptakan keadaan pembelajaran yang mampu untuk belajar sendiri. Artinya, guru tidak sepenuhnya mengajarkan suatu bahan ajar kepada siswa, tetapi guru dapat membangun siswa yang mampu belajar dan terlibat aktif dalam belajar. 2.
Teori Vygotsky Teori Vygotsky merupakan salah satu teori penting dalam psikologi
perkembangan. Teori Vygotsky menekankan pada hakikat sosiokultural dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas – tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas – tugas tersebut berada dalam zone of proximal development. Zone of proximal development adalah perkembangan yang sedikit lebih diatas perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerja sama antar
6
individu, sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap kedalam individu tersebut (Slavin dalam Prof.Dr. Suyono, M.Pd, 2011). Ide penting lain yang diturunkan dari teori Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada seorang anak selama tahap – tahap awal pembelajaran kemudian anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah – langkah pemecahan, memberikan contoh, ataupunyang lain sehingga memungkinkan siswa tumbuh mandiri (Slavin, 1994 : 49). Ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pembelajaran sains. Pertama, dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antarsiswa, sehingga siswa dapat berinteraksi disekitar tugas – tugas yang sulit dan memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam masing – masing zone of proximal development mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran menekankan scaffolding sehingga siswa semakin lama semakin bertanggung jawab terhadap pembelajarannya sendiri (Slavin dalam Prof.Dr. Suyono, M.Pd, 2011). 3.
Teori Bandura Permodelan merupakan konsep dasar dari teori dasar belajar sosial yang
dikembangkan oleh Albert Bandura. Menurut Bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingatkan tingkah laku orang lain (Arends dalam Pribadi, Benny A, 2009). Menurut teori ini, seseorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang – ulang kembali. Berdasarkan pola perilaku tersebut, selanjutnya Bandura mengklasifikasi empat fase belajar dari permodelan, yaitu : a.
Fase Atensi Fase pertama dalam belajar permodelan adalah memberikan perhatian
pada suatu model. Dalam pembelajaran guru yang bertindak sebagai model bagi
7
siswa harus dapat menjamin agar siswa memberikan perhatian kepada bagian – bagian penting dari pelajaran. Hal ini dapat dapat dilakukan dengan cara menyajikan materi pelajaran secara jelas dan menarik, memebrikan penekanan pada bagian – bagian penting, atau mendemonstrasikan suatu kegiatan. b.
Fase Retensi Menurut Gredler, (dalam Sudibyo, E. 2001: 5), fase ini fase ini
bertanggung jawab atas pengkodean tingkah laku model dan menyimpan kode – kode itu didalam ingatan (memori jangka panjang). Pengkodean adalah proses perubahan pengalaman yang diamati menjadi kode memori. c.
Fase Reproduksi Dalam fase ini kode – kode dalam memori membimbing penampilan yang
sebenarnya dari tingkal laku yang baru diamati. Derajat ketelitian yang tertinggi dalam belajar mengamati adalah apabila tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental. Fase reproduksi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan individu. Pada fase ini hendaknya model memberikan umpan balik terhadap aspek – aspek yang sudah benar ataupun pada hal – hal yang masih dalam penampilan. d.
Fase Motivasi Pada fase ini si pengamat akan termotivasi untuk meniru model, sebab
mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka akan memperoleh penguatan. Memberikan penguatan untuk suatu tingkah laku tertentu akan memotivasi pengamat (siswa) untuk berunjuk perbuatan. Aplikasi fase motivasi di dalam kelas dalam pembelajaran sering berupa pujian atau pemberian nilai. 4.
Teori Bruner Jerome Bruner, seorang ahli psikolog Havard adalah salah satu seorang
pelopor pengembangan kurikulum terutama dengan teori yang dikenal dengan pembelajaran penemuan (inkuiri). Teori Bruner yang selanjutnya disebut pembelajaran penemuan (inkuiri) adalah model pengajaran yang menekankan pentingnya pemahaman tentang struktur materi (ide kunci) dari suatu ilmu yang dipelajari, perlunya belajar aktif sebagai dasar dari pemahaman sebenarnya, dan nilai dari berfikir secara induktif dalam belajar (pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi).
8
Menurut Bruner, belajar akan lebih bermakna bagi siswa jika mereka memusatkan perhatinannya untuk memahami struktur materi yang dipelajari. Dalam pembelajaran melalui penemuan, guru memberikan contoh dan siswa bekerja berdasarkan contoh tersebut sampai menemukan hubungan antar bagian dari suatu struktur materi (Woolfolk, 1997: 317)
C.
Manfaat Teori Belajar Konstruktivistik
1.
Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. Dengan menghargai gagasan – gagasan atau pemikiran siswa serta
mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka.para siswa yang merumuskan pertanyaan – pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawabterhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah. 2.
Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan
beberapa waktu kepada siswa untuk merespon. Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan – gagasan dan komentar orang lain. Cara – cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan. 3.
Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivistik akan
menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal – hal yang berada di balik respon – respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep – konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan – gagasan atau pemikirannya. 4.
Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan
siswa lainnya. Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan – gagasannya. Jika mereka pikirkan dan mendengarkan
9
gagasan – gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun kemampuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang angat bermakna akan terjadi dikelas.
Dari
uraian
dapat
dikatakan,
bahwa
makna
belajar
menurut
konstruktivistik adalah aktivitas yag aktif, dimana peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide – ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky dalam Trianto, M.Pd, 2010). Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat
hipotesis
dan
mempunyai
kemampuan
untuk
mengujinya,
menyelesaiakn persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.
10
BAB III PENUTUP
A. Simpulan 1. Konstruktivistik adalah sebuah filosofi pembelajaran yang dilandasi presmis bahwa dengan merefleksikan pengalaman, kita membangun, mengkonstruksi pengetahuan pemahaman kita tentang dunia tempat kita hidup. 2. Menurut Piaget anak membangun sendiri skemata – skemata dari pengalaman sendiri dengan lingkungannya. Namun teori Vygotsky menekankan pada hakikat
sosiokultural
dari
pembelajaran.
Menurut
Vygotsky
bahwa
pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas – tugas yang belum dipelajari namun tugas – tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas – tugas tersebut berada dalam zone of proximal development. Sedangkan menurut teori Bandura, seseorang belajar dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang – ulang kembali. 3. Manfaat dari teori belajar konstruktivistik yaitu mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar, guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon, mendorong siswa berpikir tingkat tinggi, Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau diskusi dengan guru dan siswa lainnya. B. Saran 1. Sebaiknya guru harus memahami teori belajar konstruktivistik maupun teori belajar yang lain agar kegiatan belajar dan mengajar dapat berlangsung sesuai yang diharapkan. 2. Sebaiknya setiap guru memahami betul karakteristik dari masing - masing teori belajar agar materi yang disampaikan dapat diterima oleh peserta didik dengan lebih baik.
11
DAFTAR PUSTAKA
Trianto, M.Pd. Model Pembelajaran Terpadu. 2010. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Prof.Dr. Suyono, M.Pd. Belajar dan Pembelajaran teori dan konsep dasar. 2011. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Pribadi, Benny A. Model Design Sistem Pembelajaran. 2009. Jakarta: Dian Rakyat.
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. Kurikulum dan Pembelajaran. 2012. Jakarta: Rajagrafindo Persada.