BAB II ANALISIS KASUS
Pasien merupakan seorang bayi lelaki berusia 1,5 bulan, yang dibawa orang tuanya ke IGD RSUD Dr. Moewardi dengan keluhan BAB cair disertai lendir sebanyak 7-8 kali sehari sejak 3 hari SMRS. Berdasarkan anamnesis, pasien tersebut mengalami diare akut, dimana pasien BAB lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu (Soebagyo dan Santoso, 2009). Pada pasien diare, perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Pada pasien ini ditemukan bahwa sejak tiga hari, pasien buang air besar dengan tinja berkonsistensi cair > ampas dengan sedikit bercak kemerahan, jumlah ± ¼ - 1/3 gelas belimbing setiap BAB, warna kuning, tidak seperti air cucian beras, tidak berbau amis dan tidak disertai lender dan darah. Pasien juga dikeluhkan demam. Pasien kencing terakhir pada blablabla. Pasien mendapatkan ASI sejak lahir hingga saat ini, namun pasien juga diberikan susu kedelai karena ASI dari ibu pasien jumlahnya sedikit dan pasien alergi terhadap susu formula. Pasien biasa minum susu dengan intensitas sering dan jumlah ± 80 ml tiap 2 jam, namun sejak sehari sebelumnya pasien rewel dan sulit untuk diminumi. Beberapa hari terakhir pasien tidak mengkonsumsi makanan dan minuman selain susu yang biasa dikonsumsi. Pasien pernah mengalami keluhan buang air besar cair sebelumnya sekitar 1 bulan yang lalu akibat alergi susu formula, namun setelah menggunakan susu soya / kedelai pasien tidak diare lagi. Tidak ditemukan keluhan serupa pada keluarga. Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen pada diare antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita
campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetic (Soebagyo dan Santoso, 2009). Faktor risiko diare yang ditemukan pada psien berupa: tidak mendapatkan ASI ekslusif, sumber air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari sumur yang letaknya berdekatan dengan septic tank, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis. Keterbatasan pemberian ASI dan penggunaan susu kedelai ini perlu menjadi perhatian, karena kurangnya higienitas bahan dan peralatan yang digunakan bisa menjadi media masuknya kuman ke dalam saluran cerna. Pemberian ASI ekslusif pada awal masa bayi dapat menurunkan risiko terjadinya diare pada 6 bulan awal kehidupan (OR 0.37, 95 % CI 0.15 to 0.88) (Hanieh et al., 2015). Pada pemeriksaan fisik pasien diare perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda dehidrasi (Soebagyo dan Santoso, 2009). Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, lemah, compos mentis, kehausan, gizi kesan baik sedangkan pada vital sign ditemukan hipertermia (38.80C). Demam umum dan terkait dengan patogen invasif, sedangkan pada anak demam awalnya ada di sebagian besar anak-anak dengan diare akibat rotavirus (WGO). Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare (Soebagyo dan Santoso, 2009). Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain (Soebagyo dan Santoso, 2009). Secara objektif, ditemukan penurunan berat badan pasien ini adalah….. Pasien menunjukkan tanda utama dehidrasi, yaitu tampak gelisah, rasa haus (+), turgor kulit abdomen menurun. Sedangkan tanda tambahan yang ditemukan berupa ubun-ubun besar tidak cekung, kelopak mata cekung, air mata kering, mukosa mulut, bibir dan lidah masih basah serta akral hangat. Berdasarkan kriteria WHO, pasien termasuk dalam dehidrasi derajat ringan sedang / tidak berat. Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, dilakukan pula pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Leukosit biasanya tidak meningkat pada diare akibat virus ataupun toksin. Leukositosis biasanya
muncul, walaupun tidak selalu, pada bakteri yang bersifat enteroinvasif. Shigella organisms cause a marked bandemia with a variable total white blood cell count (Guandalini, 2015). Pada pemeriksaan darah didapatkan bahwa leukosit normal (8.8 ribu/dl). Ketidakseimbangan elektrolit sangat jarang terjadi pada pasien dengan dehidrasi ringan sedang. Namun, pada pasien dengan dehidrasi berat yang mendapatkan terapi cairan intravena perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit, bikarbonat dan ureum/kreatinin darah. Selain itu, pada pemeriksaan elektrolit darah ditemukan hiponatremia dan hiperkloremia yang pada kasus ini terjadi akibat kehilangan cairan saluran cerna yaitu diare (Guandalini, 2015). Ketidakseimbangan elektrolit pada kasus ini dapat diatasi dengan rehidrasi cairan tubuh yang hilang. Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides (Soebagyo dan Santoso, 2009). Hasil pemeriksaan makroskopis tinja: konsistensi cair, warna kuning, tidak ditemukan darah, lendir, lemak, pus dan makanan tidak tercerna. Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon (Soebagyo dan Santoso, 2009). Pada pemeriksaan mikroskopis tinja pasien ini ditemukan leukosit (++) dan sel epitel (+). Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut pasien didiagnosis dengan: Diare akut dehidrasi ringan-sedang et causa rotavirus dd ETEC, Shigella. Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. Cairan, 2. Seng, 3. Nutrisi, 4. Antibiotik, 5. Nasihat kepada orang tua. Pasien ini ditatalaksana dengan mondok bangsal gastroenterologi anak untuk dilakukan monitoring dengan
indikasi sesuai CDC tentang Manajemen Diare Akut tahun 2003 yaitu: berusia kurang dari 3 bulan, berat badan kurang dari 8 kg, demam 38.80C, output diare yang berat, terdapat tandatanda dehidrasi, perubahan status kesadaran berupa gelisah / rewel, sulit asupan peroral (CDC, 2003). Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini diberikan sesuai dengan terapi dehidrasi ringan sedang, yaitu: Rehidrasi dapat menggunakan oralit 75ml/kgBB dalam 3 jam pertama yaitu 75ml x 3.9kg= 292.5 ml oralit dilanjutkan untu mengganti kehilangan cairan setiap diare cair sebanyak 5-10ml/kgBB yaitu 10ml x 3.9 kg = 39ml tiap buang air besar. Namun karena pasien sulit untuk minum peroral akibat rewel, maka diberikan rehidrasi parenteral (intravena) dengan menggunakan kristaloid Asering (200ml/kg/hari) = 200ml x 3.9 kg= 780 ml / hari ≈ 33 ml/jam selama 24 jam dilanjutkan D1/4 NS 17 ml/jam. Berdasarkan guideline diare akut WHO tahun 2005, cairan terbaik dan banyak teersedia yang direkomendasikan adalah Ringer’s Laktat. Cairan ini mampu mengganti kehilangan Natrium dan mengandung cukup laktat (yang dimetabolisme menjadi Bikarbonat) untuk mengoreksi adanya asidosis. Cairan ini dapat digunakan pada segala usia yang mengalami diare akut dengan etiologi yang bervariasi. Cairan Ringer’s asetat maupun Ringer’s laktat merupakan cairan kristaloid berbasis asam yang mampu mengkoreksi asidosis, yang memiliki perbedaan lokasi metabolisme dimana laktat terutama dimetabolisme di hati sementara asetat dimetabolisme terutama di otot (Cortes et al., 2014). Asetat dimetabolisme secara signifikan lebih cepat dibandingkan dengan laktat, serta efek alkalisasi asetat sangat cepat (Zander, 2009). Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari (Soebagyo dan Santoso, 2009). Suplementasi seng telah terbukti mampun memperingan durasi dan keparahan diare serta kemungkinan infeksi selanjutnya selama 2-3 bulan berikutnya (Khan dan Sellen, 2011). Pasien ini sudah seng sebelumnya dari dokter umum, yaitu 10 mg per hari. Setelah penggunanan seng, Ibu pasien mengaku bahwa frekuensi BAB berkurang walaupun volume dan konsistensi tinjanya tetap. Seng bermanfaat bagi anak dengan diare karena seng merupakan mikronutrien esensial penting untuk sintesis protein, pertumbuhan dan diferensiasi sel, imunitas, serta transport air dan elektrolit pada saluran cerna (Khan dan Sellen, 2011).
ASI merupakan nutrisi yang digunakan sebagai terapi pada pasien ini. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi (Soebagyo dan Santoso, 2009). Pasien ini mendapatkan terapi diet Air Susu Ibu (ASI) dan Air Susu Buatan (ASB) 8x50 ml, yaitu dengan susu soya yang biasa dikonsumsi pasien tersebut. Antibiotik diberikan jika ada indikasi saja, misalnya disentri (diare berdarah) atau kolera. Pemberian antibiotik tidak rasional akan mengganggu keseimbangan flora usus sehingga dapat memperpanjang lama diare dan Clostridium defficile akan tumbuh yang menyebabkan diare sulit disembuhkan (IDAI, 2009). Pasien pada kasus ini tidak mendapatkan terapi antibiotik. Pemberian obat pada pasien ini berupa terapi simtomatis diberikan antipiretik dengan pilihan parasetamol 10-15mg/ kgBB/ kali apabila demam. Berat pasien 3.9 kg ≈ 60 mg/8 jam per oral. Pada pasien diare anak tidak diberikan obat anti diare. Nasihat kepada orang tua penting diberikan dalam penatalaksanaan diare. Pemberian minum melalui botol lebih meningkatkan penyebaran penyakit dibandingkan dengan pemberian ASI ekslusif. Pendidikan terhadap orang tua yang rendah mengenai bagaimana menjaga higienitas pemberian asupan pada bayi mempengaruhi kejadian diare (Scott et al., 2010). Ibu pasien mengaku sudah menjaga kebersihan alat minum bayi, namun masih perlu dievaluasi apakah sudah benar higienitasnya. Selain itu, ibu pasien mungkin tidak memahami pentingnya ASI sehingga tidak mengupayakan pemberian ASI ekslusif.
Liberato dan Mullholand. 2014. Zinc supplementation in young children: A review of the literature
focusing
on
diarrhoea
prevention
and
treatment
http://www.clinicalnutritionjournal.com/article/S0261-5614(14)00206-4/abstract
Naeem S dan Perveen S. 2014. Role of Bottle Feedind and Parental Education in Children Diarrhea. Research Journal Vol. 5 Issue 2 Updated 14-01-2016
Zander R. 2009. Fluid Management Second expanded edition. Bibliomed – Medizinische Verlagsgesellschaft mbH, Melsungen.
Cortés DO, Bonor AR, Vincent JL. 2014. Isotonic crystalloid solutions: a structured review of the literature. Br. J. Anest.
Hanieh S, Ha TT, Simpson JA, Thuy TT, Khuong NC, Thoang DD, Tran TD, Tuan T, Fisher J, Biggs BA. 2015. Exclusive breast feeding in early infancy reduces the risk of inpatient admission for diarrhea and suspected pneumonia in rural Vietnam: a prospective cohort study. https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-015-2431-9
Khan
dan
Sellen.
2011.
Zinc
supplementation
http://www.who.int/elena/titles/bbc/zinc_diarrhoea/en/
in
the
management
of
diarrhea.