MSG merupakan garam sodium yang berasal dari salah satu asam amino non-esensial asam glutamate. Dalam tubuh manusia, asam glutamat sebagian besar berada dalam bentuk glutamate, karena kondisi di dalam tubuh yang mendukung hilangnya atom hidrogen dari asam glutamat. Sehingga lebih sering disebut sebagai glutamat. Glutamat juga diproduksi oleh tubuh manusia dan akan berikatan dengan asam amino lain untuk membentuk struktur protein. Glutamat yang diproduksi oleh neuron di dalam tubuh manusia memiliki peran sebagai neurotransmitter. Glutamat diketahui merupakan neurotransmitter eksitatorik utama yang terdapat di SSP pada mamalia serta terlibat dalam sebagian besar aspek fungsi dari otak normal termasuk fungsi kognisi, pembelajaran dan memori. Prekursor dari neurotransmitter ini adalah glukosa, glutamin dan atau α-ketoglutarat. Telah diketahui pula bahwa terdapat proses uptake oleh sel glia dan neuron yang berlangsung secara aktif. Proses uptake ini akan menghentikan efek eksitatorik dari glutamat yang dilepaskan di celah sinaps. Sekali dilepaskan, glutamat akan dapat bekerja pada banyak jenis reseptor yang terdapat baik di neuron pascasinaps, maupun di neuron presinaps. Di otak, glutamat sangat berperan dalam proses komunikasi antar neuron. Sebagaimana halnya neurotransmitter, maka glutamat juga memiliki mekanisme eliminasi untuk menyerapnya dari cairan ekstraseluler yang merupakan kerja dari protein transporter glutamat, termasuk salah satu peranannya untuk keperluan sintesis GABA (Gamma Amino Butyric Acid) oleh kerja enzim Glutamic Acid Decarboxylase (GAD). GABA merupakan neurotransmitter inhibitorik utama di sistem saraf pusat. Disamping kerja protein transporter glutamat, terdapat pula enzim glutamine sintetase yang memilikifungsi untuk merubah ammonia dan glutamat menjadi glutamin yang tidak berbahaya dan bisa dikeluarkan dari otak. Dengan cara ini, meski terakumulasi di otak, glutamat diusahakan untuk tetap dipertahankan dalam konsentrasi rendah dan nontoksik. Setelah dilepaskan ke celah sinaps, kelebihan glutamat ini akan diambil baik oleh neuron maupun sel glia. Telah diteliti bahwa
terdapat beberapa jenis protein transporter yang merupakan
glikoprotein yang memiliki afinitas sangat besar terhadap glutamat. Protein transporter ini banyak ditemukan di sekitar sinaps eksitatorik glutamat. Ada empat jenis transporter yang telah diidentifikasi yaitu GLAST-1/EAAT-1, GLT-1/EAAT-2, EAAC-1 dan EAAT-4. Distribusi dari transporter-transporter ini berbeda. GLAST-1 terdapat di oligodendrosit pada hipokampus dan korteks serebri, GLT-1 ditemukan pada astrosit diseluruh jaringan otak, EAAT-4 diekspresikan terutama di serebelum dan EAAC-1 juga ditemukan terutama di neuron. Transporter glutamat yang terdapat di astrosit/sel glia (GLAST-1 dan GLT-1) memiliki peran yang sangat krusial
dalam perlindungan neuron terhadap proses eksitotoksisitas yang disebabkan oleh glutamat. Aktivitas glutamat juga dapat dimodulasi oleh beberapa substansi kimia yang lain. Terdapat dua golongan utama reseptor glutamat yaitu reseptor ionotropik dan reseptor metabotropik. Reseptor ionotropik adalah : AMPA(α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionate) yang terdiri dari subtipe iGluR1 dan iGluR4, reseptor Kainate ( subtype iGLUR5, iGLUR7 dan KA1, KA2) dan reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) subtype NR1, NR2A-D dan NR3. Reseptor AMPA dan Kainate, dikenal juga sebagai reseptor non-NMDA, memediasi transmisi sinaps eksitatorik yang berhubungan dengan voltage-independent channels yang akan mendepolarisasi neuron melalui arus influx dari ion-ion khususnya ion Natrium. Aktivasi reseptor NMDA memberi efek berupa terjadinya peningkatan influx ion Kalsium yang berlangsung dalam waktu yang relatif lebih lambat namun berlangsung lebih lama. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa reseptor glutamate khususnya reseptor NMDA mempunyai peran yang sangat penting selama proses perkembangan jaringan otak. Reseptor ini memediasi fungsi survival neuron, akson dan struktur dendrit, sinaptogenesis dan plastisitas sinaps. Reseptor metabotropik adalah reseptor terkait protein G yang terdiri dari 3 kelompok yaitu : kelompok pertama (mGluR1a,b,c dan mGluR5a,b), kelompok kedua (mGluR2,3) serta kelompok ketiga mGluR4,6,7,8. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan proses transduksi yang dimediasi oleh masingmasing golongan reseptor tersebut. Reseptor sejenis untuk glutamat juga ditemukan di beberapa bagian tubuh yang lain seperti tulang, jantung, ginjal, hati, plasenta serta usus. Glutamat memediasi proses transmisi sinaps dan mempunyai peran pada hampir sepertiga dari seluruh sinaps yang terdapat di sistem saraf pusat. Bahkan disebutkan pula bahwa hampir seluruh neuron yang bersifat eksitatorik merupakan neuron glutamatergik. Konsentrasi glutamat yang tinggi ditemukan pada daerah-daerah yang berperan dalam fungsi kognisi yaitu di korteks serebri serta hipokampus girus dentatus dan striatum. Hal ini mengindikasikan bahwa glutamat memang memiliki peran yang krusial dalam fungsi kognisi termasuk pembelajaran dan memori. Akumulasi glutamat dalam jumlah yang sangat banyak di celah sinaps (celah antara sel saraf), disebutkan akan dapat bersifat eksitotoksik bagi otak. Akumulasi glutamat ini menyebabkan terjadinya overstimulasi reseptor glutamat, neuron dan otak secara keseluruhan. Stimulasi neuron dalam jangka waktu yang lama oleh asam amino/neurotransmitter eksitatorik akan menyebabkan neuron mengalami kerusakan bahkan kematian. Efek ini yang disebut dengan eksitotoksisitas. Peristiwa ini terutama didominasi oleh neuron pasca sinaps yang hilang. Peningkatan konsentrasi
asam amino eksitatorik ini di ruang ekstraseluler otak diperkirakan terjadi akibat melambatnya proses uptake oleh neuron dan sel glia. Konsentrasi ion kalsium (Ca2+) intrasel yang sangat tinggi terlibat dalam kematian neuron pada peristiwa eksitotoksisitas. Pada konsumsi MSG, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus dan selebihnya akan dilepaskan kedalam darah. Selanjutnya asam glutamat bebas ini tersebar ke seluruh tubuh, termasuk akan menembus sawar darah-otak (blood-brain barrier) dan terikat pada reseptornya. Padahal seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa asam glutamat bebas ini bersifat eksitotoksik sehingga sering dihipotesiskan akan dapat merusak neuron bila sudah melebihi kemampuan otak untuk mempertahankannya dalam kadar rendah. Mekanisme terjadinya eksitotoksisitas dapat terjadi dari berbagai macam faktor. Overstimulasi dari reseptor glutamat akan menginisiasi berbagai kaskade yang berpotensi untuk menginduksi terjadinya kerusakan dan kematian sel. Aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat menyebabkan influks ion kalsium (Ca2+) dalam jumlah besar, disertai juga oleh ion natrium melalui reseptor AMPA. Aktivasi mGlu reseptor (khususnya mGluR1) juga menyebabkan bertambahnya penglepasan ion kalsium yang keluar dari retikulum endoplasma. Pada kondisi patologis, terlalu berlebihnya influx ion calsium ke dalam neuron akan menginisiasi teraktivasinya beberapa jalur yang pada akhirnya akan dapat menyebabkan kerusakan pada sinaps serta kematian sel yang dapat berupa apoptosis maupun nekrosis. Hal ini adalah akibat dari konsentrasi ion kalsium yang berlebihan di intrasel, sehingga terjadi disfungsi dari mitokondria yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas, aktivasi jalur caspase dan degradasi protein protein intrasel. Selain itu dapat pula terjadi aktivasi neuronal NOS yang akan menyebabkan produksi yang berlebihan dari ion peroxynitrite yang bersifat toksik (ONOO-), JNK dan phospholipase. Hal penting lain adalah terstimulasinya protein MAPK p38 (mitogenactivated protein kinase p38) yang akan mengaktifkan faktor transkripsi yang menyebabkan terjadinya apoptosis neuron. Beberapa penelitian menunjukkan hasil bahwa pada pemberian glutamat dosis tinggi tidak menyebabkan perubahan pada seluruh bagian dari otak. Namun lesi di sistem saraf pusat yang diakibatkan oleh pemberian MSG pada hewan coba rodent memperlihatkan bahwa terjadi akumulasi glutamat hanya pada area-area tertentu saja. Circumventricular organ (CVO) dan area-area disekitarnya adalah daerah yang paling banyak dijumpai terjadinya lesi akibat pemberian MSG, baik pada hewan coba dewasa maupun yang masih bayi. Jurnal Neurochemistry International bulan Maret 2003 melaporkan, pemberian MSG sebanyak 4 mg/gr BB terhadap bayi tikus menimbulkan neurodegenerasi berupa jumlah neuron
yang lebih sedikit dan rami dendrit (jaringan antar sel neuron) yang lebih renggang. Kerusakan ini terjadi perlahan sejak umur 21 hari dan memuncak pada umur 60 hari. Sementara bila disuntikkan pada tikus dewasa, dosis yang sama menimbulkan gangguan pada neuron dan daya ingat atau memori. Pada pembedahan, ternyata ditemukan adanya kerusakan pada nucleus arkuatus di hypothalamus (pusat pengolahan impuls saraf). Menurut Jurnal Brain Research, disebutkan bahwa pemberian MSG 4mg/g terhadap tikus hamil hari ke 17-21 menunjukkan bahwa MSG mampu menembus plasenta dan otak janin menyerap MSG dua kali lipat daripada otak induknya. Pada 10 hari setelah kelahirannya, anak-anak tikus ini lebih rentan mengalami kejang daripada anak-anak tikus yang induknya tidak diberikan MSG. Pengamatan pada usia 60 hari juga terlihat keterampilan anak-anak tikus dari induk yang mendapat MSG lebih tertinggal dibandingkan dengan anak-anak tikus yang induknya tidak diberikan MSG. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zarate dkk, juga ditemukan terjadinya perubahan komposisi molekular dari reseptor NMDA serta peningkatan reaktivitas sel glia dari tikus-tikus neonatal yang diberikan MSG sebanyak 4 mg/g BB yang mengarah kepada kerusakan neuron-neuronnya.