PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Retinopathy of Prematurity (ROP) dikenal juga dengan istilah retrolental fibroplasia, adalah suatu keadaan dimana terjadinya perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi prematur.1 Menurut teori Campbell, ROP terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi. Pajanan oksigen konsentrasi tinggi tersebut mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga mempengaruhi perkembangan pembuluh darah retina sehingga menimbulkan daerah iskemia pada retina. Pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan memberatnya ROP, tetapi bukan merupakan faktor utama terjadinya ROP. Pembatasan pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur tidak secara langsung akan menurunkan kejadian ROP, malah akan meningkatkan komplikasi sistemik lain akibat kondisi kekurangan oksigen (hipoksia). Tetapi dewasa ini, setelah dilakukan penelitian tentang terapi oksigen terbukti bahwa oksigen bukanlah satu-satunya penyebab kausal dari ROP, faktor-faktor lain yang berperan dalam pathogenesis ROP masih belum diketahui. 2 Multicentre Trial of Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity menyatakan bahwa bayi yang memiliki risiko tinggi yaitu bayi dengan berat badan lahir < 1250 gram.3 Beberapa penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan angka kejadian ROP pada bayi prematur yaitu sekitar 30% dan umumnya sepertiga kasus memerlukan tindakan operasi. Bayi dengan berat badan lahir < 1500 gram, lebih dari 50% berkembang menjadi ROP.2 Pada penelitian di USA, ROP merupakan penyebab kebutaan tertinggi pada anak-anak dan salah satu penyebab utama kebutaan anak di seluruh dunia. Dilaporkan pada tahun 1980, sebanyak 7000 anak di USA dinyatakan buta akibat ROP.2 Retinopati prematuritas diperkirakan menyebabkan 550 kasus kebutaan baru pada bayi setiap tahunnya di Amerika Serikat. Membaiknya perawatan bayi baru lahir dapat menurunkan presentase bayi yang terkena gangguan ini, tetapi juga telah meningkatkan jumlah total yang beresiko. 4
1
1.2 Batasan Masalah Makalah ini membahas mengenai “Retinopathy of Prematurity” yang terdiri dari definisi, anatomi dan fisiologi
retina, patogenesis, klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan, komplikasi, prevensi dan prognosisnya. 1.3 Metode Penulisan Penulisan makalah ini berdasarkan metode tinjauan pustaka yang mengacu kepada beberapa literatur. 1.4 Tujuan Penulisan Makalah ini bertujuan untuk memahami definisi, anatomi dan fisiologi retina, patogenesis, klasifikasi, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan, komplikasi, prevensi dan prognosisnya dari retinopati of prematurity sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya Ilmu Penyakit Mata.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Retina Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam duapertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan berakhir di tepi ora serata.5 Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Retina berbatasan dengan koroid dan sel epitel pigmen retina. Retina terdiri atas 2 lapisan utama yaitu lapisan luar berpigmen dan lapisan dalam yang merupakan lapisan dalam saraf. Lapisan saraf memiliki 2 jenis sel fotoreseptor yaitu sel batang (Rode Cell) yang berguna untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah, tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan perifer dan orientasi ruangan sedangkan sel kerucut (Cone Cell) berguna untuk melihat warna, cahaya dengan intensitas tinggi dan penglihatan sentral. Retina memiliki banyak pembuluh darah yang menyuplai nutrien dan oksigen pada sel retina.5,6
Gambar 1. Retina dan pembesaran skematiknya Lapisan-lapisan retina dari luar ke dalam5: 1. Epitel pigmen retina. 2. Lapisan fotoreseptor, terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping dan sel kerucut yang merupakan sel foto sensitif. 3. Membran limitan eksterna yang merupakan membran ilusi. 3
4. Lapisan nukleus luar, merupakan susunan lapis nukleus kerucut dan batang. 5. Lapisan pleksiform luar, yaitu lapisan aseluler yang merupakan tempat sinapsis fotoreseptor dengan sel bipolar dan horizontal. 6. Lapisan nukleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar , sel horizontal, dan sel Muller. Lapisan ini mendapat metabolisme dari arteri retina sentral. 7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapisan aseluler tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. 8. Lapisan sel ganglion yang merupakan lapisan badan sel dari neuron kedua. 9. Lapisan serabut saraf merupakan lapisan akson sel ganglion menuju kearah saraf optik. Di dalam lapisan ini terdapat sebagian besar pembuluh darah retina. 10. Membran limitan interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan kaca.
Gambar 2. Lapisan Retina 4
a. Vaskularisasi retina Retina menerima darah dari dua sumber, yaitu arteri retina sentralis yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dan khoriokapilaris yang berada tepat diluar membrana bruch. Arteri retina sentralis memvaskularisasi dua per tiga bagian dalam dari lapisan retina (membran limitans interna sampai lapisan inti dalam), sedangkan sepertiga bagian luar dari lapisan retina (lapisan plexiform luar sampai epitel pigmen retina) mendapat nutrisi dari pembuluh darah di koroid. Arteri retina sentralis masuk ke retina melalui nervus optik dan bercabang-cabang pada pada permukaan dalam retina. Cabang-cabang dari arteri ini merupakan arteri terminalis tanpa anastomosis. Lapisan retina bagian luar tidak mengandung pembuluh darah pembuluh-pembuluh kapiler sehingga nutrisinya diperoleh malalui difusi yang secara primer berasal dari lapisan yang kaya pembuluh darah pada koroid.5,6 b. Neurosensori Retina Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6 mm. Daerah ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning. Fovea merupakan zona avaskular retina pada angiografi fluoresens yang berdiameter 1,5 mm. Ditengah makula, 4 mm lateral dari diskus optikus terdapat foveola yang berdiameter 0,25 mm. Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis dan hanya mengandung sel kerucut. Foveola merupakan bagian retina yang memberikan ketajaman visual yang optimal.5,6 2.2 Definisi Retinopathy of prematurity (ROP) adalah suatu penyakit dimana perkembangan vaskularisasi retina yang normal terganggu sehingga terbentuk vaskularisasi baru pada retina yang abnormal pada bayi-bayi kurang bulan.7 Keadaan retinopati proliferatif dimana terjadi perkembangan abnormal pada pembuluh darah retina pada bayi prematur. Keadaan ini dapat ringan tanpa adanya gangguan penglihatan, atau dapat menjadi progresif dengan terbentuknya neovaskularisasi yang berakibat retina terlepas dan kebutaan. ROP hanya terjadi pada bayi dimana pertumbuhan pembuluh darah retina secara sentrifugal dari diskus optikus ke ora serata belum selesai. Pada bayi lahir cukup bulan perkembangan retina telah sempurna sehingga tidak terjadi ROP, berbeda dengan bayi prematur perkembangan retinanya belum sempurna, prosesnya dari nervus optikus ke arah anterior selama kehamilan yang dimulai sejak umur 5
kehamilan 16 minggu. Luasnya immaturiti dari retina tergantung dari derajat prematuritasnya pada saat lahir.8 ROP seringkali mengalami regresi atau membaik tetapi dapat menyebabkan terjadinya gangguan visual berat atau kebutaan. Retinopati prematuritas secara signifikan dapat mengakibatkan cacat seumur hidup bagi penderitanya. Semakin kecil berat badan dan muda usia neonatus, maka insiden ROP semakin meningkat.
Gambar 3. Retinopati prematuritas 2.3 Epidemiologi Retinopathy of Prematurity (ROP) pertama kali ditemukan oleh Terry pada tahun 1942 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit/gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur. ROP merupakan penyebab kebutaan tertinggi pada anak-anak di Amerika Serikat dan salah satu penyebab utama kebutaan anak di seluruh dunia, hal ini dilaporkan pada tahun 1980, dimana sebanyak 7000 anak di Amerika Serikat dinyatakan buta akibat ROP. Pada tahun 1941 sampai 1953 terjadi peningkatan kejadian ROP di seluruh dunia, lebih dari 12.000 bayi menderita ROP. Pada tahun 1951, dua ahli Inggris menyatakan kemungkinan adanya hubungan antara penyakit ini dengann terapi suplemental oksigen. Pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan memberatnya ROP, tetapi bukan merupakan faktor utama terjadinya ROP. Pembatasan pemberian oksigen tambahan pada bayi prematur tidak secara langsung akan menurunkan kejadian ROP, malah akan meningkatkan komplikasi sistemik lain akibat kondisi kekurangan oksigen (hipoksia).2
6
Cryotherapi for Retinopathy of prematurity (CRYO-ROP) melaporkan insiden ROP pada bayi lahir dengan berat badan < 1251 gram adalah 65,8% dan 93% pada bayi lahir dengan berat badan <750 gram. Kira-kira 400-600 anak per tahun menjadi buta karena ROP, mempresentasikan 20% kebutaan pada anak usia prasekolah.8 Pada kebanyakan negara sedang berkembang dengan program skrining dan prevensi serta pengobatan, kasus ROP masih menyebabkan 3-11% kebutaan pada anak.9 Insidens dan derajad ROP meningkat sesuai dengan penurunan usia gestasi dan bervariasi antara 30-60% pada bayi dengan berat lahir <1500 gram. Penyakit yang berat (derajad 3 keatas) ditemukan pada bayi dengan berat lahir < 1500 gram dan usia kehamilan <31 minggu. Kebanyakan ROP terjadi pada usia kehamilan 32 – 44 minggu.6 2.4 Patogenesis Terdapat dua teori tentang parogenesis ROP. Vaskularisasi retina dimulai pada minggu ke 16 masa gestasi. Pembuluh darah retina berkembang dari diskus opticus sebagai gelombang dari spindle sel mesenkimal, dan selanjutnya proliferasi endotel dan formasi kapiler. Kapiler baru ini akan membentuk pembuluh darah retina yang matur. Pembuluh darah koroid yang sudah terbentuk pada 6 minggu masa gestasi memperdarahi seluruh bagian retina yang avaskular. Pembuluh darah retina akan lengkap mencapai bagian ora serata nasal pada usia gestasi 32 minggu, dan lengkap mencapai bagian temporal pada usia gestasi 40-42 minggu atau usia aterm. Pada bayi yang lahir prematur, terutama pada usia gestasi kurang dari 30 minggu, pembentukan pembuluh darah retina terhenti sebelum terbentuk sempurna, sehingga hal ini menyebabkan penyakit ROP muncul.4,5 Teori kedua pada pathogenesis ROP adalah spindle sel mesenkimal, terpapar oleh kondisi hiperoksigen ekstrauterin, dan membuat celah tautan (gap junction). Celah tautan ini menginterfensi formasi vaskular normal dan memicu respon pembentukan neovaskular, seperti dilaporkan oleh Kretzer dan Hittner. Menurut Ashton, terdapat 2 fase pada teori ini. Fase pertama, fase hiperoksigen, menyebabkan vasokonstriksi retina dan destruksi sel endotel kapiler yang ireversibel. Hal ini menyebabkan daerah tersebut menjadi iskemik, faktor angiogenik seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), dihasilkan oleh sel spindle mesenkimal dan retina yang iskemik untuk membuat vaskular baru. Jalur vaskular baru ini tidak matur dan tidak berespon pada regulasi yang seharusnya.4,5
7
2.5 Manifestasi Klinis Kelainan ROP ini biasanya terjadi bilateral, namun sering asimetrik. Kelainan ini juga jarang menimbulkan gejala yang mudah dikenali. Tanda awal biasanya adalah adanya keterlambatan pergerakan bola mata. Kelainan ini harus secara aktif dikenali pada bayi-bayi yang memiliki faktor resiko dengan melakukan skrining.5 The International Classification of Retinopathy of Prematurity (ICROP) membuat klasifikasi ROP pada tahun 1984 berdasarkan lokasi, luas lesi, stadium dan ada tidaknya kelainan penyerta. Lokasi dinyatakan dengan zona, luasnya lesi dinyatakan berdasarkan luas daerah dalam jam (Clock Hours), sedangkan progresifitas ( kelainan vaskuler ) dinyatakan dengan stadium (staging)2,4,5. Berdasarkan lokasi ditemukan ROP maka retina dibagi menjadi 3 zona yaitu : 1. Zona I : Retina posterior berupa lingkaran radius 60, dengan papil optik sebagai pusatnya, bila ditemukan ROP ≥ 1 jam (sektor) dalam zona 1 maka didiagnosis sebagai ROP zona 1 2. Zona II : Mulai dari tepi zona I ke arah anterior mencapai ora serata nasal, didiagnosis sebagai ROP zona 2 bila maturasi pembuluh darah retina yang terjadi belum masuk dalam radius diameter 1 diskus ora serrata dan didapatkan pada 2 jam berurutan atau ≥ 1 jam ROP pada sektor lain. 3. Zona III : Daerah retina yang tersisa di anterior zona II, didiagnosis jika ditemukan maturasi pembuluh darah retina yang terjadi masuk dalam radius diameter 1 diskus ora serata dan didapatkan pada 2 jam berurutan atau ≥ 1 jam ROP pada sektor lain.
8
Gambar 4. Zona ROP Luasnya yang terlibat ROP dinyatakan dalam clock hours. Sebagai panduan adalah pada saat pemeriksaan berhadapan dengan pasien, posisi jam 3 berada disisi kanan dan sisi nasal mata kanan pasien, serta temporal mata kanan, serta nasal mata kiri pasien. Tingkat perubahan vaskuler abnormal yang diamati dinyatakan dalam stadium (stage). Stadium 1
Ditemukan garis demarkasi tipis (gambar 5) antara area vaskular dan avaskular pada retina. Garis ini tidak memiliki ketebalan
Pada zona 1, tampak sebagai garis tipis dan mendatar (biasanya pertama kali pada nasal). Tidak ada elevasi pada retina avaskular. Pembuluh retina tampak halus, tipis, dan supel. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap minggunya.
Pada zona 2, sebaiknya dilakukan pemeriksaan setiap 2 minggu
Pada zona 3, pemeriksaan dilakukan setiap 3-4 minggu
Gambar 5. ROP stadium 1
9
Stadium 2
Tampak ridge luas dan tebal yang memisahkan area vaskular dan avaskular retina.
Pada zona 1, apabila ada sedikit saja tanda kemerahan pada ridge, ini merupakan tanda bahaya. Apabila terlihat adanya pembesaran pembuluh, penyakit dapat dipertimbangkan telah memburuk dan harus ditatalaksana dalam 72 jam
Pada zona 2, apabila tidak ditemukan perubahan vaskular dan tidak terjadi pembesaran ridge, pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan tiap 2 minggu.
Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali ditemukan adanya pembentukan arcade vaskular.
Gambar 6. ROP stadium 2 Stadium 3
Dapat ditemukan adanya proliferasi fibrovaskular ekstraretinal (neovaskularisasi) pada ridge, pada permukaan posterior ridge atau anterior dari rongga vitreous (gambar 6).
Pada zona 1, apabila ditemukan adanya neovaskularisasi, maka kondisi ini merupakan kondisi yang serius dan membutuhkan terapi.
Pada zona 2, prethreshold adalah bila terdapat stadium 3 dengan penyakit plus
Pada zona 3, pemeriksaan setiap 2-3 minggu cukup memadai, kecuali bila ditemukan adanya pembentukan arcade vaskular
10
Gambar 7. ROP stadium 3 Stadium 4
Stadium ini adalah ablasio retina subtotal yang berawal pada ridge. Retina tertarik ke anterior ke dalam vitreous oleh ridge fibrovaskular
Stadium 4A tidak mengenai fovea
Stadium 4B mengenai fovea
Gambar 8. ROP stadium 4 Stadium 5
Stadium ini adalah ablasio retina total berbentuk seperti corong
Stadium 5A merupakan corong terbuka
Stadium 5B merupakan corong tertutup
11
Gambar 9. ROP stadium 5 Plus disease (penyakit plus)
Bagian dari subklasifikasi dari stadium
Tanda dari penyakit ini adalah adanya ominous sign
Pemeriksaan untuk mengidentifikasi bayi-bayi dengan ROP harus dilakukan oleh seseorang yang terlatih dengan menggunakan oftalmoskopi indirek dan dilakukan tepat waktu sehingga progresivitas penyakit dapat dicegah. Pencegahan yang dianggap optimal adalah mencegah adanya kelahiran bayi prematur (terutama usia kehamilan < 28 minggu), bayi dengan BBL kurang atau sama dengan 1500 gram serta melakukan deteksi dini ROP pada bayi beresiko tinggi sesuai dengan deteksi dini yang direkomendasikan oleh AAP.6 American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan melakukan deteksi dini ROP sebagai berikut6 : 1. Bayi dengan berat lahir kurang dari 1500 atau umur 28 minggu, bayi bayi tertentu dengan berat 1500-2000 gram dengan perjalanan klinis tidak stabil yang diduga memiliki resiko tinggi oleh dokter anak atau ahli neonatologi, harus diperiksa fundus dengan menggunakan oftalmoskopi indirek binokuler pada pupil yang telah dilebarkan minimal 2 kali. Satu pemeriksaan dianggap cukup bila bila pemeriksaan memperlihatkan bahwa ke dua retina telah memperlihatkan vaskularisasi penuh. 2. Pemeriksaan ini harus dilakukan oleh dokter ahli mata yang berpengalaman memeriksa bayi prematur. Lokasi dan perubahan retina harus dicatat menggunakan International Classification of Retinopathy of Prematurity. 3. Pemeriksaan awal dilakukan pada usia kronologis 4-6 minggu atau usia postconceptional postmentrual 31-33 minggu 12
4. Pemeriksaan lanjutan ditentukan berdasarkan penemuan fundus pada pemeriksaan pertama. Misalnya jika ditemukan vaskulatur retina imatur dan meluas ke zone 2 tetapi tidak didapatkan retinopaty maka pemeriksaan selanjutnya direncanakan sekitar 2-3 minggu sesudahnya sampai terlihat vaskularisasi normal kearah zona 3. 5. Bila pada pemeriksaan pertama telah ditemukan memiliki resiko ROP maka disarankan untuk mengikuti jadwal berikut: A. Bayi dengan ROP yang mungkin akan segera berkembang menjadi threshold ROP harus diperiksa minimal setiap minggu termasuk : 1. Setiap bayi dengan ROP kurang dari threshold di zona I 2. Bayi dengan ROP di zona 2 termasuk : a. stadium 3 ROP tanpa kelainan plus b. stadium 2 ROP dengan kelaian plus c. stadium 3 ROP dengan kelainan plus tetapi belum terlalu ekstensif untuk dilakukan pembedahan ablasi B. Bayi dengan ROP yang kurang berat di zona II harus diperiksa tiap 2 minggu. Pada bayi tanpa ROP tetapi dengan vaskularisasi yang belum lengkap di zona I harus diperiksa tiap 1-2 minggu sampai vaskularisasi retina mencapai zona 3 atau terjadi kondisi treshold C. Jika vaskularisasi di zona 2 belum lengkap tetapi tidak terlihat ROP, pemeriksaan selanjutnya dilakukan dengan interval 2-3 minggu sampai terjadi vaskularisasi hingga zona 3 D. Retina dengan vaskularisasi inkomplit hanya di zona 3 biasanya akan mengalami maturasi. 6. Bayi dengan derajat penyakit treshold I dengan kelainan plus harus mendapatkan terapi ablasi minimal 1 mata dalam 72 jam setelah diagnosis, umumnya sebelum terjadi pelepasan retina. Stadium 3 ROP dengan vaskularisasi di zona I atau perbatasan zona 1 2 dapat terlihat berbeda dari zona 2 stadium 3 dimana proliferasi yang terjadi terlihat datar (flat) dan elevasi hanya jika ROP menjadi sangat berat. Bila ditemukan kesulitan untuk membedakan antara stadium 2 dan 3pada area posterior maka bayi-bayi yang dicurigai berada pada stadium 3 zona 1 atau perbatasan zona 1-2 dengan kelainan plus harus diperiksa dengan sangat hati-hati untuk menentukan apakah mereka termasuk dalam kelompok treshold atau tidak.
13
7. Orang tua bayi dengan ROP harus diberikan penjelasan mengenai perjalanan penyakit dan kemungkinan yang bisa terjadi pada kelainan ini selama pasien dirawat, mulai saat awal diagnosis dan berlanjut sesuai dengan progresivitas penyakit selama dirawat. 8. Tanggung jawab pemeriksaan dan tindak lanjut bayi dengan resiko ROP harus diputuskan oleh masing-masing neonatal intensive care unit (NICU). Kriteria unit khusus untuk pemeriksaan ROP harus ditetapkan untuk masing-masing NICU melalui konsultasi dan persetujuan antara ahli neonatologi dan ahli mata. Jika rumah sakit memutuskan untuk merujuk maka harus dilakukan sebelum maturasi mencapai zona 3 dan ketersediaan pelayanan di tempat rujukan harus tersedia. Skrining dilakukan rutin untuk semua bayi dengan berat lahir 1500 gr atau kurang dan bayi-bayi yang mendapat terapi oksigen tambahan jangka panjang, untuk mencari kemungkinan adanya ROP. Evaluasi pertama dilakukan sesuai usia gestasi pada saat bayi lahir. a. Jika bayi lahir pada usia gestasi 23-24 minggu,pemeriksaan pertama harus dilakukan pada usia gestasi 27-28 minggu atau sekitar 4 minggu setelah kelahiran b. Jika bayi lahir pada usia gestasi 25-28 minggu, pemeriksaan pertama harus dilakukan pada minggu ke 4-5 setelah kelahiran Selanjutnya pemeriksaan dilanjutkan sampai vaskularisasi mencapai seluruh retina, sampai tanda-tanda ROP mengalami resolusi spontan, atau sampai diberikan terapi yang tepat. 2.6 Diagnosa Skrining ROP dibutuhkan untuk diagnosa awal dan preventif sekunder mencegah kebutaan akibat ROP pada neonatus. Skrining ROP diindikasikan pada neonatus (1) berat lahir <1500 gram ; (2) Bayi yang lahir dengan usia kehamilan ≤ 32 minggu ; (3) Bayi prematur dengan berat lahir 1500 gram – 2000 gram atau lahir pada usia kehamilan ≥ 32 minggu akan tetapi memiliki penyakit kardiorespirasi, membutuhkan terapi oksigen berkepanjangan, apneau prematuritas, anemia yang membutuhkan transfusi darah dan neonatal sepsis. Pada kriteria ketiga adalah neonatus yang sangat beresiko yang sangat dianjurkan untuk dilakukan skrining. Skrining tersebut pertama sekali dilakukan pada usia kehamilan 31 minggu atau pada usia 4 minggu. Aturan yang perlu diingat adalah skrining pertama kali dilakukan ketika bayi berusia 4 minggu pada bayi yang lahir pada gestasi >26 minggu. Berikut ini adalah tabel pelaksanaan waktu skrining pertama kali berdasarkan usia gestasi bayi lahir :9,10
14
Program pemeriksaan skrining ROP bervariasi tergantung kepada usia gestasi bayi ketika lahir, apakah ROP berkembang dan jenis ROP yang berkembang. Ophtalmoskop binokuler tidak langsung merupakan salah satu pemeriksaan skrining yang dapat digunakan untuk mendeteksi ROP. Awalnya digunakan obat anestesi lokal seperti tetes mata propakain untuk membuat pasien lebih nyaman. Setelah itu pupil didilatasikan menggunakan cycopentolate 0,5% dan phenylepherine 2,5% digunakan dua sampai tiga kali sekitar 10-15 menit. Kemudian wire spekulum kelopak mata diinsersikan. Bagian perama yang diperiksa adalah segmen anterior mata untuk melihat tunika vasculosa lentis, dilatasi lensa, dan media disekitar. Kemudian dilakukan pemeriksaan pada posterior pole diikuti pemeriksaan sekuensial dari jam-jam retina perifer. 9,10 Pemeriksaan skrining ROP dengam ophtalmoskop binokuler tidak langsung memiliki beberapa keterbatasan diantaranya adalah teknik ini cukup rumit dan menantang sehingga hanya dapat dilakukan oleh ophthalmologist terlatih saja. Selain itu hasil dokumentasi pemeriksaan retina ditampilkan dengan cara deskripsi tertulis yang dilengkapi dengan sketsa diagram sehingga variasi dan subjektifitasnya tinggi pada masing-masing ophtalmologis.11 Teknologi kamera digital (RetCam) mampu melakukan evaluasi pada retina bayi. Pemeriksaan retina menggunkan teknologi kamera digital merupakan alternatif pemeriksaan menggunakan ophtalmoskop binokuler tidak langsung. Dengan pemeriksaan ini gambaran retina dapat diambil dengan kamera, dapat disimpan , ditinjau, dianalisis secara berurutan dari waktu ke waktu.11 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan fluoreseins angiografi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan semilogik yang sebenarnya tidak nyaman apabila dilakukan pada bayi, kecuali jika dilakukan dengan metode RetCam. Pemeriksaan ini memungkinkan penampakan fundus pada sudut 360o penuh dari retina perife, dengan demikian 15
iskemik dan neovaskularisasi yang terjadi pada ROP dapat didokumentasikan seluruhnya. Pewarna natrium fluoresens 20% disuntikan secara intravena dengan dosis 0,04 ml/kgBB (8 mg/ kgBB) lalu diikuti dengan sejumlah garam fisiologis. Sewaktu melakukan pemeriksaan harus sedia dengan peralatan untuk mengatasi keadaan darura yang mungkin ditimbulkan. Keuntungan utama dari pemeriksaan menggunakan angiografi fluoreseins dibandingkan dengan oftalmoskop binokuler tidak langsung dan RetCam adalah memberikan pandangan yang lebih jelas pada vaskularisasi retina perifer karena menggunakan zat pewarna intravena.12 USG dengan 10 atau 20 MHz telah bertahun-tahun rutin digunakan untuk pasien ROP stadium 4 dan 5 terutama yang sudah direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan perbaikan detasemen retina, karena dengan USG dapat mengamati detasemen retina secara anterior dan posterior. Trkasi vitreus, kekeruhan, ketebalan koroid, diameter anteroposterior bola mata diidentifikasi sangat baik dengan USG, yang mana poin-poin tersebut menentukan prognosis setelah tindakan pembedahan.12 Kecepatan aliran darah pada arteri ophtalmik dapat diukur dengan pemeriksaan doppler imaging. Dengan pemeriksaan doppler dapat memprediksi perlunya perawatan lebih lanjut untuk ROP berat. Selain itu, pemeriksaan lainnya yang dapat digunakan adalah optical coherence tomography (OCT). OCT memberikan banyak informasi terutama untuk daerah papil dan makula. Dengan informasi rinci mengenai keadaan anatomi papil dan makula dapat membantu memperkirakan prognosis ROP terkait keadaan visus.12 Follow-up pemeriksaan skrining ROP dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan pertama. Sebagian besar bayi diskrining setiap 2 minggu. Pemeriksaan follow up yang lebih sering dilakukan (setiap minggu/ kurang dari 1 minggu) dianjurkan pada bayi retinopati tahap I atau II prematuritas zona I dan retinopati tahap III prematuritas zona II. Pemeriksaan skrining dilanjutkan sampai pembuluh darah mencapai tepi anterior retina (vaskularisasi retina lengkap sekitar usia kehamilan 40 minggu) atau sampai usia postmenstrual 45 minggu tanpa penyakit prethreshold (didefinisikan sebagai retinopati stadium III prematuritas zona II, retinopati apapun di zona I) atau tidak ada retinopati yang lebih buruk.13 2.7 Diagnosa Banding Familial eksudative vitreoretinopathy merupakan penyakit herediter yang menyebabkan penurunan visus progresif. Gangguan tersebut mengenai retina terutama jaringan peka terhadap rangsangan cahaya yang melapisi bagian belakang mata. Gangguan ini menghambat 16
pertumbuhan pembuluh darah di retina sehingga mengurangi perfusi ke retina. Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi walaupun pada keluarga pada garis keturunan yang sama. Pada individu tertentu bersifat asimtomatik karena kelainan pada retina tidak terjadi, ada pula yang menimbulkan klinis akibat kekurangan perfusi oksigen ke retina yang menyebabkan retina melipat, robek, ablasio retina hingga kebutaan.13 Toxocariasisocular dengan disorganisasi vitreoretina juga merupakan diagnose banding ROP terutama ketika pembentukan lumen vitreus dan granuloma terjadi. Untuk membedakan keduanya perlu dilakuka tes ELISA.12
2.8 Penatalaksanaan
Gambar 10. Algorithma Screening dan Tatalaksana pada ROP
Terapi Medis Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Terapi –terapi lainnya yang
17
pernah dicoba dapat berupa mempertahankan level insulinlike growth factor (IGF-1) dan omega-3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal pada retina yang sedang berkembang.5 Terapi Bedah a. Terapi bedah ablatif (Ablative surgery)
Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan
Terapi ablatif saat ini terdiri dari krioterapi atau terapi laser untuk menghancurkan area retina yang avaskular
Biasanya dilakukan pada usia gestasi 37-40 minggu
Apabila ROP terus memburuk, mungkin dibutuhkan lebih dari satu tindakan.5
b. Krioterapi Krioterapi merupakan terapi utama ROP sejak era 1970an. Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat stress prosedur yang cukup tinggi, maka mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur ini selesai. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom konjunctiva, laserasi konjunctiva, dan bradikardia.5 c. Terapi Bedah Laser
Saat ini, terapi laser lebih disukai daripada krioterapi karena dipertimbangkan lebih efektif untuk mengobati penyakit pada zona 1 dan juga menghasilkan reaksi inflamasi yang lebih ringan. Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan outcome yang kurang-lebih sama dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data mengenai ketajaman visus dan kelainan refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan dibandingkan krioterapi, dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan dan lebih bisa ditoleransi oleh bayi.5
Setelah intervensi bedah, oftalmologis harus melakukan pemeriksaan setiap 1-2 minggu untuk menentukan apakah diperlukan terapi tambahan. Pasien yang dimonitor ini 18
harus menjalani pemeriksaan sampai vaskularisasi retina matur. Pada pasien yang tidak ditatalaksana, ablasio retina biasanya terjadi pada usia postmensrual 38-42 minggu.14 Selain itu, 20% dari bayi-bayi prematur menderita strabismus dan kelainan refraksi, karena itu penting untuk melakukan pemeriksaan oftalmologis setiap 6 bulan hingga bayi berusia 3 tahun. Dan juga, 10% bayi-bayi prematur juga dapat menderita galukoma dikemudian hari, maka pemeriksaan oftalmologis harus dilakukan setiap tahun.14 2.9 Prevensi Pencegahan yang benar-benar bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur. Dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP.15 Selain itu penggunaan terapi oksigen tepat indikasi dan tepat pemberian baik frekuensi, lama pemberian, maupun kualitas pemberian juga mempengaruhi angka kejadian retinopati prematuritas.5 2.10 Komplikasi Berbagai kompliksi akibat ROP dapat terjadi, terutama pada ROP dengan fase yang telah lanjut (treshold sampai cicatrical phase). Komplikasi jangka panjang meliputi myopia, strabismus, anisometropia dan amblyopia berkaitan dengan kondisi ROP akut. Kehadiran temuan ini menyebabkan peningkatan risiko ablasi retina.15 2.11 Prognosis Prognosis ROP ditentukan berdasarkan zona penyakit dan stadiumnya. Retinopati prematuritas stadium 1 dan 2 memiliki prognosis yang lebih baik karena dapat mengalami regresi spontan. Sedangkan pada stadium 3 sampai 5 yang memerlukan penanganan lebih lanjut umumnya memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan stadium awal.5
19
BAB III KESIMPULAN
Retinopati prematuritas (ROP) digambarkan untuk pertama kalinya oleh Terry pada tahun 1940 sebagai Retrolental Fibroplasia, yaitu penyakit / gangguan perkembangan pembuluh darah retina pada bayi yang lahir prematur, hal tersebut terkait dengan penyediaan oksigen yang tinggi dan tidak terkendali. Retinopati prematuritas penyebab utama kebutaan pada hayi berat lahir rendah/ berat badan lahir sangat rendah. Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan terhadap oksigen konsentrasi tinggi. Pajanan oksigen konsentrasi tinggi (hiperoksia) mengakibatkan tingginya tekanan oksigen retina sehingga memperlambat perkembangan pembuluh darah retina sehingga menimbulkan daerah iskemia pada retina Prematuritas mengakibatkan terhentinya proses maturasi dari pembuluh retina normal. Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis ROP. Sel-sel spindel mesenkimal, yang terpapar kondisi hiperoksia, akan mengalami gap junction. Gap junction ini mengganggu pembentukan pembuluh darah yang normal, mencetuskan terjadinya respon neovaskular Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Satu-satunya pencegahan yang benar-benar bermakna adalah pencegahan kelahiran bayi prematur. Dapat dicapai dengan perawatan antenatal yang baik. Semakin matur bayi yang lahir, semakin kecil kemungkinan bayi tersebut menderita ROP
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Najm N. About Kids Health Premature Babbies Retinopathy of Prematurity. http//www.AboutKidsHealth.htm [diakses pada tanggal 10 Desember 2018]. 2. Windsor L. Understanding Retinopathy of Prematurity. http//www. Retinopathy of Prematurity, respironics.htm [diakses pada tanggal 10 Desember 2018]. 3. Flynn ET, Flynn TJ, Chang S. Pediatric Retinal Examination of Disease. In:Pediatric Ophtalmology A Clinical Guide. New York. Thieme Medical Publishers. 2000;264-5. 4. Bashour M. Retinopathy of prematurity. Emedicine.http://www.emedicine.medscape.com [diakses pada tanggal 10 Desember 2018]. 5. Vaughan, D. Oftalmologi Umum. 2009. Edisi 17. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 6. American Academy of Ophtalmology. Retina and Vitreous. 2014-2015. Jilid XII. USA: AAO, 89-112. 7. British Associatio of Perinatal Medicine. Retinopathy of prematurity: Guideline for screening and treatment. 2005. 8. Gomella T. Neonatology management procedures on-call problems,diseases, and drugs.Edisi ke-6. New York: Lange medical books/McGraw Hill. 2007 9. Shah, parag. 2016. Retinopathy of prematurity : Past, present and future. India : World Journal of Clinical Pediatrics 10. Argawal, ramesh. 2008. Retinopathy of prematurity. India : The Indian Journal of Pediatric 11. Meintos, neil. 2008. Retinopathy of prematurity : Recent development. University Edinburg. UK : ReseachGate 12. Tartanaha, marcia. 2016. Retinopathy of prematurity. Brazil : e-oftalmo.cbo http://www.sp-rop.com/publicacoes/2017-e-oftalmo-rop-v-2-n4-74-928-3-pb.pdf (diakses tanggal 10 Desember 2018) 13. Siva, KN. 2015. Retinopathy of prematurity follow up. Georgetown University of Medicine. Washingtown : Medscape 14. Bashour M. Retinopathy of Prematurity. Emedicine. November 3, 2008. Cited November 16 , 2010. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1225022-diagnosis 21
15. Kretzer FL, Hittner HM. Retinopathy of prematurity: clinical implications of retinal development. Arch Dis Child. Oct 1988;63(10 Spec No):1151-67.
22