Retinal Venous Occlusive Disease

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Retinal Venous Occlusive Disease as PDF for free.

More details

  • Words: 2,159
  • Pages: 12
BAB I PENDAHULUAN Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel berpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen pemberi nutrisi, maka sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat hilangnya penglihatan. Ablasi retina merupakan salah satu penyakit yang mengancam penglihatan, terlebih jika melibatkan fovea. Beberapa survei epidemiologi menunjukkan bahwal angka kejadian ablasi retina regmatogen dalam setahun antara 7- 14 kasus per 100.000 penduduk di negara-negara barat, namun jauh lebih tinggi di Asia yang mungkin berhubungan dengan tingginya kejadian miopiapada ras asia. Lepasnya retina dapat menyerang satu dari 10.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Sebuah survei berbasis populasi mengidentifikasikejadian rata-rata dalam setahun 14,4 kasus per 100.000 penduduk di daerah pedalaman Cina, dengan kecenderungannya meningkat selama 4 tahun. Pengukuran kemampuan visual secara obyektif, seperti visus dekat dan visus jauh, digunakan untuk mengevaluasi gangguan dan rehabilitasi fungsi penglihatan yang disebabkan oleh ablasi retina dan operasi yang terkait. Pada beberapa kasus, meskipun pasien telah menjalani operasi dan retina dapat menempel kembal, pasien merasa tidak puas dengan fungsi penglihatannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI RETINA Retina adalah lembaran transparan tipis jaringan saraf yang melapisi permukaan dalam 2/3-3/4 bagian posterior bola mata, kecuali pada area optic disc. Retina beserta pembuluh darah retina (dan diskus optic) membentuk fundus okuli, yaitu bagian dalam bola mata yang terlihat melalui pemeriksaan oftalmoskopi. Pada pemeriksaan fundus atau oftalmoskopi, retina normal akan terlihat cerah dan berwarna jingga karena dibalik retina yang transparan terdapat latar belakang pigmen melanin dari lapisan epitel pigmen retina dan koroid. Pada fundus, bagian posterior retina terdapat titik bundar sirkular yang melesak yaitu optic disc, yakni tempat nervus opticus memasuki bulbus oculi. Karena pada optic disc ini hanya terdapat serabut saraf dan tidak ada reseptor cahaya, daerah ini tidak peka terhadap cahaya. Sedikit lateral dari bintik buta ini terdapat bintik berwarna kuning, yakni macula lutea. Macula lutea berwarna kekuningan ini diakibatkan memiliki pigmen luteal (xantofil) dan berdiameter sekitar 5,5mm. Macula memiliki special photoreceptor cones yang spesial untuk ketajaman penglihatan dan bertanggung jawab terhadap penglihatan sentral. Di tengah dari macula lutea terdapat bagian yang lebih dalam berdiameter 1,5mm yang disebut fovea centralis, daerah penglihatan tertajam. Fovea merupakan daerah paling tipis dari retina, bersifat avascular, dan

2

hanya terdiri dari sel kerucut. Retina memperoleh darah dari arteria centralis retinae, cabang dari arteria opthalmica. Sistem vena retina yang sesuai bersatu untuk membentuk vena centralis retinae.

HISTOLOGI RETINA Retina terdiri atas 10 lapisan, dengan lapisan sebelah “dalam” yaitu retina neurosensorik dan lapisan sebelah “luar” yaitu lapisan epitel pigmen retina. Lapisan paling dalam dari retina beraposisi dengan vitreus, sedangkan lapisan paling luar yaitu epitel pigmen retina, melekat kuat pada koroid. Berikut adalah ke-10 lapisan retina: 1. Epitel pigmen retina Lapisan paling luar dari retina yang bersinggungan dengan lapisan koroid. 2. Segmen dalam (inner segment) dan segmen luar (outer segment) sel-sel fotoreseptor 3. Membrane limitans eksterna (external limiting membrane) Lapisan ini memisahkan segmen dalam dari fotoreseptor dengan nukleusnya 4. Lapisan ini luar sel fotoreseptor (outer nuclear/layer) Lapisan ini terdiri atas badan sel dari sel-sel batang dan kerucut retina. Pada retina perifer, jumlah badan sel batang melebihi jumlah sel kerucut. Hal yang sebaliknya ditemukan pada retina sentral. 5. Lapisan pleksiform luar (outer pletiform layer) Lapisan ini terdiri dari akson sel kerucut dan batang, dendrit sel horizontal dan dendrit sel bipolar 6. Lapisan inti dalam (inner nuclear layer) Lapisan ini terdiri dari nuclei dari sel horizontal, sel bipolar dan sel amakrin. Lapisan ini lebih tebal pada area sentral dari retina dibandingkan area perifer. Pada lapisan ini ditemukan juga sel Muller. 7. Lapisan pleksiform dalam (inner plexiform layer) Lapisan ini terdiri dari sinap-sinap antara dendrit dari sel ganglion dan sel amakrin dan sel bipolar dari akson. 8. Lapisan sel ganglion (ganglion cell layer)

3

Lapisan ini terdiri dari nuclei sel ganglion, dan juga mengandung fotoreseptor non batang dan non kerucut, yaitu sel ganglion fotosensitif yang berperan penting dalam respon reflex pada cahaya terang siang hari. 9. Lapisan serabut saraf (nerve fiber layer) Lapisan ini terdiri dari akson dari sel ganglion yang bersatu menuju optic nerve 10. Membrane limitan interna (inner limiting membrane) Perbatasan antara retina dan badan vitreus. Membrane limitan interna dibentuk oleh astrosit dan footplates sel Muller dan lamina basal.

Retina Neurosensorik Retina neurosensorik memilik 3 elemen, yaitu elemen neuronal, glial dan vascular. 

Elemen neuronal Terdiri atas sel fotoreseptor, sel bipolar, sel horizontal, sel amakrin dan sel ganglion. Fotoreseptor terdiri dari sel batang (rods) dan sel kerucut (cones), dan pada setiap retina manusia terdapat sekitar 120 juta sel batang serta 6 juta sel kerucut. 4

Pada segmen luar terdapat molekul opsin yaitu rhodopsin pada sel batang dan fotopsin pada sel kerucut. Rhodopsin sangat sensitive terhadap cahaya dan memungkinkan penglihatan dalam gelap/pencahayaan rendah, sedangkan fotopsin bertanggung jawab terhadap pelinghatan warna. Dengan demikian sel batang memiliki fungsi pada

pencahayaan redup dan penglihatan hitam-putih, sedangkan sel kerucut berfungsi pada kondisi terang serta penglihatan warna. Sel batang mendominasi di retina perifer dengan hanya sedikit sel kerucut, sedangkan retina sentral didominasi hanya oleh sel kerucut, tanpa sel batang, dengan densitas sel kerucut paling tinggi pada fovea. Sel bipolar berfumgsi untuk menghubungan fotoreseptor dengan sel ganglion. Akson sel ganglion membentuk lapisan serabut saraf di dalam retina yang kemudian akan bergabung dan menjadi saraf optic yang berakhir di otak. Sel horizontal berfungsi menghubungkan sel-sel bipolar. Sel amakrin menghubungan sel bipolar dengan sel ganglion. 

Elemen glial sel penyokong pada retina Sel glial terdapat diantara akson sel ganglion di dalam retina dan nervus optikus. Sel penyokong pada retina adalah sel Muller, astrosit dan sel microglial.



Elemen vascular Retina memiliki suplai perdarahan yang bersumber dari arteri oftalmika yang merupakan cabang pertama carotid interna. 5

Epitel pigmen retina Lapisan epitel pigmen retina terdiri atas selapis sel heksagonal yang tersebar dari diskus optic hingga ora serrata. Fungsi lapisan pigmen retina adalah untuk metabolism vitamin A, menjaga sawar darah retina, transport aktif materi. Sitoplasma sel epitel pigmen retina banyak mengandung granul pigmen (melanosom).

RETINAL VEIN OCCLUSION Oklusi vena retina merupakan salah satu kelainan vaskular retina yang sering ditemukan dan potensial sebagai penyebab kebutaan peringkat kedua setelah retinopati diabetik. Oklusi vena retina lebih sering terjadi dibandingkan dengan oklusi arteri retina.

Faktor Predisposisi -

Umumnya terjadi pada lansia (diatas 65 tahun) dengan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi, arteriosclerosis, atherosclerosis dan diabetes

-

Pada wanita muda, penggunaan pil kontrasepsi merupakan asosiasi utama yang paling umum. Tidak boleh digunakan kembali setelah terdapat oklusi vena retina.

-

Peningkatan tekanan intraocular, dapat meningkatkan resiko oklusi vena retina sentral,, terutama ketika tempat obstruksi berada di pinggir dari optic cup

-

Merokok

Faktor predisposisi selanjutnya tidak umum, namun menjadi penting pada pasien dengan usia dibawah 50 tahun. 

Gangguan mieloproliferative (polisitemia, myeloma)



Keadaan hiperkoagulasi



Penyakit inflamasi yang berhubungan dengan periflebitis oklusif



Penyakit lain seperti gagal ginjal kronis, hipertensi sekunder, dan penyakit orbita.

Epidemiologi

6

Di Amerika Serikat, kebanyakan pasien dengan oklusi vena retina sentral berjenis kelamin lakilaki dan berusia lebih dari 65 tahun. Kebanyakan kasus berupa oklusi unilateral,dan kira-kira 614% kasus berupa oklusi bilateral. Oklusi vena retina cabang terjadi tiga kali lebih sering dari pada oklusi vena retina sentral. Pria dan wanita berbanding sama rata dengan usia pasien berada antara 60 hingga 70 tahun. 

Ras Oklusi vena retina jarang terjadi pada populasi Asia dan India bagian barat.



Jenis kelamin Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, oklusi vena retina sentral lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki, sementara pada oklusi vena retina cabang tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan.



Usia Oklusi vena retina sentral sering terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Pada oklusi vena retina cabang, kebanyakan oklusi terjadi setelah usia 50 tahun, pasien terbanyak pada usia 60 hingga 70 tahun.

Klasifikasi Oklusi vena retina diklasifikasikan berdasarkan lokasi terjadinya sumbatan. Sumbatan yang terdapat pada vena retina pada daerah papil saraf optic disebut oklusi vena sentral (central retinal vein occlusion/CRVO), sedangkan oklusi pada cabang dari vena retina juga diklasifikasikan secara klinis menjadi iskemik dan non iskemik.

Patogenesis Faktor predisposisi utama dari keadaan ini adalah arteriosclerosis atau aterosklerosis. Hal tersebut dikarenakan baik vena maupun arteri berbagi selubung adventitia yang sama sehingga perubahan pada arteriol ataupun arteri sentral dapat mengakibatkan kompresi pada vena retina dan dapat mengakibatkan oklusi pada vena. Apabila penekanan ini terjadi pada daerah lamina kribrosa yang sempit maka akan terjadi oklusi vena retina sentral, sedangkan apabila terjadi penekanan pada vena retina di luar daerah lamina kribrosa, akan terjadi oklusi vena retina cabang.

7

Aterosklerosis dapat menyebabkan perubahan sekunder berupa hilangnya sel endotel vena, pembentukan thrombus dan oklusi. Pada oklusi vena retina terjadi perlambatan (stagnansi) aliran darah dan peningkatan tekanan pada vena dan kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan dan kebocoran cairan/edema. Selain itu juga terjadi iskemia, maka dapat terjadi neovaskularisasi.

Central Retinal Vein Occlusion (CRVO)

CRVO disebabkan oleh adanya sumbatan pada vena retina sentral yang biasanya terjadi di area lamina kribrosa, dimana arteri dan vena saling bersilangan dalam satu selubung yang sempit. Kelainan ini secara umum dibagi menjadi dua, yaitu tipe non-iskemik ketika sumbatan terjadi secara parsial dan masih terdapat perfusi untuk retina; dan tipe iskemik ketika sumbatan terjadi secara total dan tidak terdapat lagi perfusi untuk retina. CRVO biasanya terjadi pada orang dengan usia diatas 65 tahun, tanpa predileksi jenis kelamin.

Manifestasi Klinis 

Penderita mengeluh visus turun mendadak, meskipun pada beberapa kasus penurunan visus dapat terjadi perlahan yang mengindikasikan bahwa sumbatan yang terjadi tidak parah



Tajam penglihatan pada CRVO berkisar 6/60 hingga hanya dapat melihat gerakan lambaian tangan



Mengenai satu mata



Pada pemeriksaan funduskopi kasus CRVO non iskemik akan terlihat vena retina yang berdilatasi dan berkelok-kelok (tortuous), perdarahan blot dan dot atau flame-shaped (lidah api) pada seluruh kuadran retina, disertai edema macula dan papil saraf optik. Neovaskularisasi retina jarang ditemukan. 8



Funduskopi pada kasus CRVO yang iskemik, perdarahan retina terjadi lebih ekstensif, dengan dilatasi vena yang lebih hebat serta gambaran cotton wool spots.



Angiografi fluoresen, menunjukkan gambaran keterlambatan pengisian vena, blokade oleh darah, hipofluoresensi karena non perfusi kapiler

Tata Laksana Tujuan pengobatan oklusi vena retina adalah mempertahankan visus dan mencegah timbulnya komplikasi glaucoma neovaskular. Pengobatan terhadap kelainan sistemik seperti hipertensi, DM, hiperkolesterolemia dapat mencegah oklusi pada mata sebelah atau terjadinya thrombosis pada organ lain.

Fotokoagulasi laser dilakukan pada CRVO non iskemik, bila terdapat edema macula, visus yang memburuk dan kecenderungan ke arah sistemik. Sedangkan pada CRVO iskemik, fotokoagulasi laser dilakukan untuk mencegah timbulnya neovaskularisasi, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraocular dan perdarahan vitreus. Kortikosteroid seperti triamsinolon asetat dapat diberikan untuk mengurangi edema makula yang terjadi.

Pada CRVO tipe iskemik, prognosis fungsional lebih buruk, seiring dengan meningkatnya insidensi neovaskularisasi. Pemberian anti-vascular endothelial growth factor (anti-VEGF) selain mengurangi risiko terjadinya neovaskularisasi, juga bermanfaat untuk mengurangi edema macula yang terjadi.

Virektomi dilakukan bila terdapat perdarahan vitreus yang hebat dan padat, yang tidak terserap dalam 3-6 bulan.

Komplikasi 

Glaucoma neovaskular, dikarenakan neovaskularisasi pada sudut dari bilik mata depan (rubeosis iridis)



Perdarahan vitreus



Maculopathy 9



Buta mata total

Branch Retinal Vein Occlusion (BRVO)

BRVO lebih sering terjadi dibandingkan CRVO. Sumbatan dapat terjadi pada beberapa tempat antara lain pada cabang utama di sekitar daerah diskus, pada daerah persilangan arteri-vena, serta pada sebagian kecil daerah macula. Penderita BRVO biasanya berusia diatas 50 tahun, dengan sekitar setengahnya terjadi pada usia diatas 65 tahun.

Manifestasi Klinis Penderita BRVO pada umumnya datang dengan keluhan penurunan visus mendadak tanpa disertai mata merah ataupun nyeri. Pada sebagian kasus ketika tidak terdapat keterlibatan macula, penderita BRVO dapat tidak merasakan gejala apapun.

BRVO seringkali disebabkan oleh penyakit sistemik seperti hipertensi, penyakit jantung, gangguan pembekuan darah atau dyslipidemia. Penderita hipertensi sendiri lebih sering mengalami BRVO dibandingkan dengan CRVO. Penggunaan kontrasepsi oral serta kebiasaan merokok juga dikaitkan dengan terjadinya kondisi ini.

Pada pemeriksaan funduskopi, umumnya akan ditemukan vena yang berkelok-kelok, perdarahan intraretinal yang biasanya berbentuk lidah api, cotton-wool spots, dan edema retina. Pada pemeriksaan angiografi fluoresen, akan ditemukan perpanjangan waktu sirkulasi retina. Dapat juga ditemukan area nonperfusi kapiler dalam derajat yang bervariasi bergantung keparahan sumbatan.

Tata Laksana

10

Tatalaksana

terhadap

kelainan

sistemik

yang

mendasari

seperti

hipertensi

atau

hiperkolesterolemia menjadi hal yang penting dilakukan agar dapat mencegah oklusi pada mata sebelahnya atau terjadi thrombosis pada organ lain. Kortikosteroid seperti triamsinolon asetat diberikan secara injeksi intravitreal untuk mengatasi edema macula yang terjadi. Fotokoagulasi laser dilakukan untuk mencegah timbulnya neovaskularisasi yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraocular dan perdarahan vitreus. Virektomi dapat dilakukan bila terjadi perdarahan vitreus yang akan mengganggu penglihatan penderita BRVO.

Prognosis Pada BRVO, dalam 6 bulan, tajam penglihatan pada 50% pasien mencapai 6/12 atau lebih baik. Dua komplikasi yang dapat mengancam tajam penglihatan adalah edema macula kronis dan neovaskularisasi. Pada CRVO, prognosis lebih buruk, iskemik macula mengakibatkan munculnya rubeosis iridis pada 50% kasus yang berujung pada glaucoma neovaskular.

11

DAFTAR PUSTAKA Moore Keith L., Agur Anne M.R. Anatomi klinis dasar. Jakarta: Hipokrates; 2013. Mescher, Anthony L. Histologi dasar Junqueira. Edisi ke-12. Jakarta: EGC; 2011. Sitorus, Rita S. Buku ajar oftalmologi. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2017 Jack J. Kanski, Bard Bowling. Clinical opthalmology: A systemic approach. Elsevier Health Sciences; 2011. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.

12

Related Documents