RESUME MATERI PERTEMUAN KE 3
OLEH : KELOMPOK 5 KELAS 2-04 Adityawan Rizqi Nurdianto
2302180114 / 01
Angga Wahyu Riyadi
2302180056 / 04
Dita Ayu Kurnia
2302180148 / 10
Naufal Alvana Haqiqul Ithaf
2302180024 / 22
Nina Santun Muliawati
2302180215 / 23
MATA KULIAH : PENGANTAR INVESTASI REAL ESTATE
PRODI D III PBB/PENILAI POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN 2019
A. Pajak Bumi dan Bangunan PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali karyawan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan yang dimilki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dengan kata lain, Kawasan yang digunakan untuk kegiatan lain, seperti usaha pertanian, peternakan, dan perikanan darat, termasuk dalam objek PBB, sehingga para pemilik lahan pertanian/peternakan/perikanan darat dikenakan kewajiban membayar PBB.
Yang termasuk dalam pengertian bangunan yang dapat diwajibkan objek PBB: a.) Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang meruplan suatu kesatuan Degnan kompleks bangunan tersebut. b.) Jalan tol c.) Kolam renang d.) Pagar mewah e.) Tempat olahraga f.) Galangan kapal, dermaga g.) Taman mewah h.) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak i.) Menara
Objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang: a) Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraakn pemerintahan b) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum c) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu d) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional,
e) Digunakan oleh perwakilan diplomatic dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan f) Digunakan oleh badan atau perwakilan Lembaga intrenasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp10 Juta untuk setiap wajib pajak PBB. Saat ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 67/PMK.03/2011, besaran NJOPTKP telah diubah menjadi paling rendah Rp24 Juta. Subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan Pajak PBB. Karena PBB tergolong pajak daerah, maka pengurusannya ditangani oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) melalui Dinas yang mengurusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objel Pajak (NJOP). Besarnya NJOP PBB ditetapkan setiap 3 tahun oleh Kepala Daerah, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan setiap wilayah. Tarif PBB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. PBB= Tarif PBB X (NJOP PBB-NJOPTKP)
Pendataan objek pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). SPOP. Berdasarkan SPOP itulah Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Selanjutnya, Kepala Daerah dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dalm hal-hal sebagai berikut: a) SPOP tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran. b) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keteranagn lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar daripada jumlah pajak yang dhitiung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
B. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB diatur dalam UU No. 21 Tahun 1997 dan telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 (selanjutnya hanya disebut UU BPHTB). Disebutkan bahwa BPHTB adalah bea yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Sesuai bunyi pasal 2 Undang-undang BPHTB, yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut meliputi: 1. Jual beli; 2. Tukar-menukar; 3. Hibah; 4. Hibah wasit; 5. Waris; 6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain; 7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8. Penunjukan pembeli dalam lelang; 9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10. Penggabungan usaha; 11. Peleburan Usaha; 12. Pemekaran Usaha; dan 13. Hadiah.
Syarat Mengurus BPHTB Untuk jual beli, persyaratannya antara lain sebagai berikut:
SSPD BPHTB
Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
Fotokopi KTP Wajib Pajak
Fotokopi STTS/ Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Jika untuk hibah, waris atau jual beli waris sebagai berikut:
SSPD BPHTB
Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan
Fungsi : untuk mengecek kebenaran Data NJOP pada SSPD BPHTB.
Fotokopi KTP Wajib Pajak
Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun Terakhir (Untuk tahun 2013 hanya 3 tahun terakhir yaitu tahun 2011, 2012, dan 2013)
Fungsi : untuk mempermudah melakukan penagihan, jika masih ada piutang PBB, karena Biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya sebelum tahun dialihkan.
Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter C/ atau Girik)
Fungsi : untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/ lokasi tanah dan atau bangunan, dan diketahui status tanah yang akan dialihkan.
Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah
Fungsi : dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap transaksi.
Fotokopi Kartu Keluarga
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
Rp60.000.000,- untuk semua jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan
Kecuali untuk hak karena Waris atau Hibah Wasiat sebesar Rp300.000.000,-
Catatan : NPOPTKP diberikan sekali pada setiap wajib pajak dalam satu tahun dan berbeda untuk setiap daerah. Contoh Perhitungan BPHTB Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta Selatan dengan data-data sebagai berikut : Luas = 1.000m2 NJOP = 1.000.000,-/meter NJOPTKP adalah Rp80.000.000,- (DKI Jakarta) Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp2.000.000,-/meter Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000,- = Rp2.000.000.000,Besarnya PPh dan BPHTB adalah sebagai berikut: PPh = 5 % x NPOP Besarnya PPh = 5 % x Rp2.000.000.000,- = Rp100.000.000,BPHTB = 5 % x (NPOP – NJOPTKP) Besarnya BPHTB = 5 % x (Rp2.000.000.000 – Rp80.000.000) = Rp96.000.000,-
C. PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan Pajak penghasilan final (PPh-Final) secara khusus dikenakan terhadap orang atau badan yang bertindak selaku pihak penjual aset berupa tanah dan/atau bangunan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa dalam proses jual-beli tanah dan/atau bangunan, pihak penjual dikenakan PPhFinal sedangkan pihak pembeli dikenakan BPHTB. Pemungutan PPh-Final merupakan kewewangan Pemerintah Pusat melalui Ditjen Pajak sehingga pembayarannya disalurkan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Hal tersebut berbeda dengan pemungutan PBB dan BPHTB yang merupakan pajak daerah sehingga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Wajib pajak yang melakuakn transaksi pengalihan hal atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pembayaran PPh bersifat (PPh-Final). Besarnya PPh-Final yang harus dibayar oleh pihak penjual dalam transaksi jual-beli tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 5% dari jumlah besarnya nilai pengalihan ha katas tanah dan/atau bangunan. Kecuali untuk pengalihan hak katas Rumah Sedarhana dan Rumah Susun Sederhana maka Wajib Pajak tersebut hanya dikenai PPh sebesar 1% dari jumlah bruto pengalihan. PPh-Final= 5% X Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan
Pihak-pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh-Final dalam transaksi pengalihan ha katas tanah dan/atau bangunan, meliputi: a.) Orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah b.) Orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah c.) Orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan Pendidikan, badan social. d.) Badan yang melakukan pengalihan tanah dan/aau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan Pendidikan, badan social.
e.) Pengalihan ha katas tanah dan/atau bangunan karena warisan
Nilai dari pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan bersangkutan. Sebagaimana dimaksud UU 12/1985 jo. UU 12/1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, kecuali: a.) dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan; b.) dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) didasarkan pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) tahun yang bersangkutan. Apabila, SPPT-PBB yang dimaksud belum terbit, maka NJOP didasarkan pada SPPT-PBB tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP-Pratama), maka NJOP yang dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan oleh KKP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
D. Pajak Pertambahan Nilai Secara umum produk properti baru yang dijual oleh para pengembang (developer) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%. PPN akan dikenakan kepada pihak Pembeli (konsumen) dan dipungut oleh pihak Penjual (developer) dengan catatan Penjual adalah tergolong Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan/atau tergolong pengusaha yang memiliki penghasilan dari penjualan properti melebihi Rp600 juta per tahun. PPN dipungut pada saat penerimaan uang muka maupun saat pelunasan dan harus dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
Cara menghitung PPN : Apabila harga tidak termasuk PPN, maka berlaku rumus sebagai berikut : PPN = Harga Jual x 10% Apabila harga jual termasuk PPN, maka berlaku rumus sebagai berikut, PPN = (Harga Jual Dasar Pengenaan Pajak) x 10% Dasar Pengenaan Pajak adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1 atau 110%.
Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). NJOP PBB dapat dilihat pada lembar tagihan PBB. Apabila NJOP PBB lebih besar daripada nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP PBB. Sebaliknya jika NJOP PBB lebih kecil daripada nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan nilai transaksi. Tidak semua produk properti dapat dikenakan PPN. Pemerintah mengatur adanya perkecualian terhadap produk-produk properti tertentu yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran PPN. Kebijakan khusus itu diatur dalam (PMK) Nomor 125/PMK.011/ 2012 tentang Perubahan Ketiga atas PMK 36/ PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Sesuai Pasal 2 PMK 125/PMK.011/ 2012 yang mulai berlaku 3 Agustus 2012 tersebut, Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Niiai (PPN) adalah runiall yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan : a.) luas bangunan tidak melebihi 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi) b.) harga jual tidak melebihi : 1. Rp 88 juta yang meliputi wilayah Sumatra, Jawa, dan Sulawesi tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi;
2. Rp95 juta yang meliputi wilayah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat; 3. Rp 145 juta yang meliputi wilayah Papua dan Papua Barat; 4. Rp95 juta yang meliputi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan, dan Karimun; dan c.) merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki. Pemerintah mengakui bahwa penetapan harga rumah tapak bebas PPN masih memicu penyelundupan hukum properti. Para konsumen yang membeli rumah cenderung memanipulasi transaksi agar tidak kena pajak (PPN). Hal itu bisa terjadi jika konsumen dan pengembang bekerja sama memanipulasi laporan transaksi sehingga harga rumah direkayasa agar tidak terkena PPN 10%.
E. Pajak Penjualan atas Barang Mewah Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Saat ini Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap produk properti tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103/PMK.03/2009 tentang Perubahan Ketiga atas PMK 620/ PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. PMK 103/2009 ini mulai berlaku 10 Juni 2009. Berdasarkan aturan PMK 103/2009 tersebut, produk properti berupa hunian yang tergolong mewah akan dikenakan PPnBM sebesar 20% (dua puluh persen). Hunian mewah yang dimaksud: a) Rumah mewah dan townhouse dari jenis non-strata title dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih. b) Apartemen, kondominium, townhouse dari jenis strata title dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.
Rumus perhitungan PPnBM PPNBM = Harga Jual x 20%