RESUME JURNAL SISTEM RESPIRASI
KELOMPOK IV ALFITRA SALAM
(70600 117 035)
CICIH NURCHOLISHAH
(70600 117 001)
HUSNUL KHATIMAH SANUSI
(70600 117 020)
ANDI MASYITA PUTRI
(70600 117 022)
NURUL SHAFIRA YUSUF
(70600 117 027)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR 2019
TONSILITIS Definisi : Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat (Soepardi et al.,2007). Etiologi : Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes (GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus campak merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis akut.Bakteri menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah penyebab tonsilitis bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryngology — Head and Neck Surgery, 2011). Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus alpha, Staphylococcus aureus, Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter, Streptokokus pneumonie, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005). Faktor Resiko : 1. Eksposi kepada orang yang terinfeksi; 2. Eksposi kepada asap rokok; 3. Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya; 4. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat 5. Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;
6. Stres; 7. Traveler 8. Mulut yang tidak higiene 9. Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti hayfever, alergi, kemoterapi, infeksi Epstein-barr virus (EBV), infeksi herpes simplex virus (HSV), infeksi sitomegalovirus (CMV) dan infeksi human immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS) (Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008). 10. Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010). Patomekanisme mekanisme infeksi dimulai saat antigen yang berasal dari inhalan maupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita menurun akibat peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Peradangan dapat menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan. Gejala Klinis Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis: 1. Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan. 2. Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian. 3. Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan kering di tenggorokan dan nafas berbau. Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis: Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni: 1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju. 2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan ditutup eksudat yang purulen.
Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis: 1. Sakit kepala 2. Malaise 3. Demam 4. Sakit saat menelan (Disfagia) 5. Halitosis 6. Kurangnya nafsu makan 7. Mual dan muntah 8. Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal serta sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga serta tenggorokan Diagnosis Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut: 1. Anamnesa Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:
Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.
Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju.
Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae palatal.
Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran tonsil yang obstruktif.
Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses peritonsilar.
Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005).Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior – uvula.
T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak anterior – uvula.
T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula.
T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau lebih. Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).
Pemeriksaan Penunjang Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al., 2002). Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan 9,59% di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian Kurien, et al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab tenggorokan dan 72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ). Tata Laksana a. Medikamentosa Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya
10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin (Soepardi et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf, 2014). Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014). b. Operatif Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al., 2007). Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita tonsilitis kronis yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang, ditemukan penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%), semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan sebanyak 30 orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri, 2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan untuk Sleep-Disordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren yang lebih sering terjadi pada anak –anak (Shishegar dan Ashraf, 2014). Preventif Prognosis tonsilitis umumnya baik dan dapat sembuh total dalam 5 hingga 7 hari. Meski demikian, tonsilitis dapat berulang dan menimbulkan komplikasi. Komplikasi Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu:
Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh streptokokus grup A. Paling sering terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala adalah malaise yang bermakna, odinofagia yang berat dan trismus (Mansjoer, 2000).
Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi) dan mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007).
Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel mastoid (Mansjoer, 2000).
Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa karena virus, bakteri, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih dari sinus paranasal.Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa. (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan nasopharynx (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis adalah kesulitan bernapas, kesulitan menelan ,sleep apnea, sakit tenggorokan, sakit telinga, infeksi telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses yang lebih sering terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak • Abses peritonsil • Otitis media akut • Mastoiditis akut • Laringitis • Sinusitis
• Rinitis Referensi : 1. Tunjung Sari, Layla. 2014. Faktor Pencetus Tonsilitis Pada Anak Usia 5-6 tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Bayat Kabupaten Klaten. 2. Palandeng, Andre. 2016. Penderita Tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU RSUP
Prof. DR. R. D. Kandou Manado Januari 2015-December 2016. Jurnal e-Clinic Volume 2, nomor 2, juli 2016. 3. Fakh Maulana, Ivan. 2013. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. 4. Farisa Nadhila, Nyimas. 2017. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien. 5. Made Lanang Prasetya, Sang. 2015. Stimulasi Deteksi Tonsilitis Menggunakan
Pengolahan Citra Digital Berdasarkan Warna dan Luasan pada Tonsil.
DIFTERI Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan pengangkatan. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat sebanyak 4,5 juta kematian 10,5 juta per tahun terjadi akibat infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan pengembangan program imunisasi. Sasaran program ini adalah bayi usia 2–12 bulan untuk vaksin Difteri Pertusis Tetanus (DPT) sebagai imunisasi dasar. Pada usia 6–7 tahun (Sekolah Dasar kelas 1) pemberian booster difteri toksoid (DT). Faktor predisposisi: umur, jenis kelamin, dan penyakit yang telah atau pernah diderita memberikan kepekaan terhadap agen tertentu. Umur yang sering terkena difteri adalah 2–10 tahun. Jarang ditemukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan oleh karena imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya. Juga jarang pada dewasa yang berumur diatas 15 tahun. Jenis kelamin yang sering terkena adalah wanita karena daya imunitasnya lebih rendah Faktor yang mempermudah (enabling factor): penghasilan rendah, gizi rendah, perumahan tidak sehat, akses rendah ke pelayanan kesehatan, dan hal-hal yang memungkinkan proses terjadinya penyakit. Faktor penguat (reinforcing factor) pemaparan yang berulang-ulang atau kerja keras, kehamilan akan memperberat penyakit yang sedang berproses Patomekanisme Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak
ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan gangguan pernafasan Gejala Klinis Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis, neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi (d ikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring). Gejala difteri itu sendiri dibedakan berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/ respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan) selain difteri pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang membentuk membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah
dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada orang lain. Infeksi kulit C.diphtheriae relatif jarang terjadi di daerah yang secara ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah tropis. Difteri kulit biasanya berupa ruam kulit atau terjadinya ulkus kulit yang kronis (bentuk yang paling umum), biasanya co-infeksi dengan Staphylococcus dan Streptococcus dan dapat menginfeksi luka yang sudah ada sebelumnya. Awalnya, infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma dapat menyebabkan warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya lesi terbuka. Dalam waktu singkat, luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan rasa sakit selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh pseudomembrane abu-abu atau coklat. Setelah membran lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna merah dengan rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna dan sering ditemukan adanya cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi relatif lebih ringan dan dapat dengan mudah diobati. Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada orang yang mengalami penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat meningkatkan level imunitas alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam jaringan dapat menimbulkan respon imun terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk menyebabkan kerusakan serius. Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, yaitu :
Pemeriksaan klinis Pemeriksaan klinis difteri meliputi - Pengukuran tanda vital terutama suhu - Palpasi lymph nodes - Inspeksi pada dinding faring, tonsil, uvula, antrum nasal untuk melihat membrane seperti luka dan lesi kulit Penatalaksanaan Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Bed rest total selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier. Khusus 1. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness). 2. Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari) Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari Kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM) atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 710 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae. Prognosis Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi, masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2) Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Pencegahan Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6
bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun -
DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
-
DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
-
Td untuk usia 7 tahun keatas
Referensi : -
Marsinta, Syahrial. 2018. Tonsilitis Difteri dengan Sumbatan Jalan Napas Atas. ORLI Vol 48. 2018 (1). p 95-100.
-
Alfina, Riza. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Peran Aktif Kader dalam Penjaringan Kasus Probable Difteri. Jurnal Berkala Epidemiologi Vol 3. 2015 (3), p. 353-365
-
Alfiansyah, Gamasiano. 2015. Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di Kabupaten Blitar Tahun 2015.
-
Hartoyo, Edi. 2018. Difteri Pada Anak. Sari Pediatri Vol 19. 2018 (5), p. 300306.
-
Nisak, Choirun. 2014. Gambaran Karakteristik Individu dan Lingkungan Fisik Rumah Penderita Difteri dan Kontak Erat di Kabupaten Jember. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa 2014.
-
Fitriana. 2014. Penatalaksanaan Difteri. J Indon Med Assoc Volum 64. 2014 (12), p. 541-545.
EPIGLOTITIS Croup atau juga dikenal sebagai laringotrakheobronkhitis merupakan salah satu penyakit kegawatan bidang respiratorik pada anak. Umumnya, penyakit ini
terjadi
pada anak usia 6 bulan hingga 3 tahun, dan kasus jarang pada usia 3 bulan dan diatas 15 tahun. Manifestasi klinis yang muncul pada Croup lebih merupakan gambaran dari saluran nafas bagian atas, berupa: sesak nafas, suara serak, stridor inspiratoar, batuk menggonggong, yang kadang disertai dengan distres pernafasan. Croup merupakan penyakit kegawatan pada saluran nafas yang secara anatomis melibatkan laring, infra/supraglottis, trakhea dan bronkhus (Bakhtiar, 2016) Penyakit croup (laringotrakeobronkitis) yang diakibatkan oleh infeksi virus parainfluenza virus, influenza virus tipe A atau rhinovirus. Epiglottitis yang merupakan infeksi bakteri Haemophilus influenza tipe B, Streptococcus beta haemolitikus, staphylococcus dan pneumococcus
pada epiglotis. (Elfianto &
Novialdi, 2018) A. DEFINISI Epiglottitis adalah peradangan pada epiglottis sebagai akibat dari invasi langsung oleh organisme patogen atau invasi tidak langsung sekunder akibat bakteremia. Tanpa pengobatan, epiglottitis dapat berkembang menjadi obstruksi jalan nafas yang mengancam kehidupan, terutama pada anak kecil yang diameter saluran napasnya kecil. (Zaid, Shoher MD, Nasser, Zamir, & Zaid, 2018) Epiglottitis, juga disebut supraglottitis atau epiglottiditis, adalah peradangan struktur di atas penyisipan glottis dan paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebelum vaksinasi Haemophilus influenzae tipe b (Hib) meluas, H influenzae menyebabkan hampir semua kasus epiglottitis pada anak. (Udeani, 2016) Epiglottitis akut, juga dikenal sebagai supraglottitis, adalah selulitis invasif yang melibatkan epiglottis dan struktur yang berdekatan termasuk lipatan aryepiglottic dan vallecula. Sebelum vaksinasi luas terhadap haemophilus influenzae pada 1990-an, penyakit bakteri ini terutama terlihat pada anak-anak, dengan usia puncak tiga tahun. (Ramlatchan, Kramer, & Ganti, 2018)
B. ETIOLOGI Secara historis, Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah organisme yang dominan (> 90%) dalam kasus epiglottitis pediatrik. Sejak meluasnya penggunaan vaksin Hib, kejadian dan agen penyebab epiglottitis telah berubah; namun, bahkan anak-anak yang divaksinasi dapat mengalami epiglottitis karena non influenza tipeH. (Udeani, 2016) Supraglottitis secara tradisional terkait dengan infeksi Haemophilus influenza meskipun isolasi lebih sering terjadi pada anak-anak (68-72%) daripada orang dewasa (21-23%). 8 Patogen lain telah terlibat dalam supraglottitis dewasa dan mungkin juga disebabkan oleh cedera termal yang diderita oleh merokok dan penggunaan narkoba. (Y.Cruz & A. Almazan, 2016) C. EPIDEMIOLOGI Secara historis, epiglottitis akut paling umum terjadi pada anak-anak berusia 2-4 tahun. Penggunaan vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) telah mengurangi insiden epiglottitis di Amerika Serikat, menjadikannya kondisi yang jarang terjadi pada anak-anak. Pengenalan vaksin polisakarida pada tahun 1985, diikuti oleh vaksin konjugasi yang sangat efektif, secara dramatis mengurangi kejadian epiglottitis, dengan penurunan yang bersamaan dalam penerimaan di rumah sakit. Studi telah menunjukkan tingkat kejadian tahunan 0,63 kasus per 100.000 orang, dan studi anakanak dari segala usia dengan epiglottitis melaporkan variasi musiman dalam kejadian. (Udeani, 2016) Epidemiologi H. influenzae invasif telah berubah secara dramatis setelah pengenalan vaksin. H. influenzae yang tidak dapat diketemukan sekarang menjadi penyebab utama penyakit invasif di semua kelompok umur dan menyebabkan 62,5% kasus penyakit invasif pada anak-anak di bawah 5 tahun (kejadian tahunan 1,73 per 100.000). (Zaid, Shoher MD, Nasser, Zamir, & Zaid, 2018) D. PATOFISIOLOGI Haemophilus influenzae tipe b (Hib) atau Streptococcus pneumoniae (lihat Etiologi) dapat menjajah faring anak-anak yang sehat melalui transmisi pernapasan dari kontak intim. Bakteri ini dapat menembus penghalang mukosa, menyerang aliran darah dan menyebabkan bakteremia dan pembenihan epiglotis dan jaringan di
sekitarnya. Bakteremia juga dapat menyebabkan infeksi pada meninges, kulit, paruparu, telinga, sendi, dan struktur lainnya. (Udeani, 2016) Infeksi Hib pada epiglotis menyebabkan onset akut edema inflamasi, dimulai pada permukaan lingual epiglotis di mana submukosa melekat dengan longgar. Pembengkakan secara signifikan mengurangi aperture jalan napas. Edema dengan cepat berkembang menjadi lipatan aryepiglottic, arytenoids, dan seluruh laring supraglottic. Epitel yang terikat erat pada pita suara menghentikan penyebaran edema pada level ini. Obstruksi jalan napas, aspirasi sekresi orofaringeal, atau sumbatan mukosa distal dapat menyebabkan henti napas. Peradangan non-infeksi pada salah satu struktur di sekitar epiglotis juga dapat terjadi akibat cedera termal atau kimia atau dari trauma lokal, termasuk trauma tumpul ke leher. (Udeani, 2016) E. GEJALA KLINIS Gejala klinis epiglottitis dimulai seperti banyak infeksi saluran pernapasan atas, dengan sakit tenggorokan, demam, dan malaise. Gejala awal yang paling umum adalah sakit tenggorokan ringan yang meningkatkan keparahan dari waktu ke waktu, yang mungkin disertai dengan perubahan suara atau batuk. Seiring waktu pasien dapat mengembangkan berbagai gejala yang mempengaruhi sistem pernapasan mereka, yang lebih umum adalah odinofagia, ketidakmampuan untuk menelan sekresi, dan dispnea. "Tanda cap jempol" adalah prediktor yang andal untuk obstruksi jalan napas cepat yang terlihat pada rontgen lateral leher pasien, dan tercatat hingga 88% dari waktu, dengan lebar epiglotis di dalam. orang dewasa melebihi 8 mm, dan lebar lipatan aryepiglotis melebihi 7 mm. Pemeriksaan langsung oropharynx sebagai langkah awal umumnya lebih aman pada orang dewasa daripada anak-anak, tetapi film leher lateral biasanya diperoleh pada awal evaluasi diagnostik. (Ramlatchan, Kramer, & Ganti, 2018) F. DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan Fisik Anak itu tampak beracun; syok dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit. Gelisah yang ditandai, mudah tersinggung, dan kecemasan ekstrem sering terjadi. Anak dapat duduk dengan dagu yang hiperekstensi dan badan condong ke depan (mis., Posisi tripod atau mengendus) untuk memaksimalkan udara masuk dan meningkatkan perjalanan diafragma (lihat gambar berikut).
Anak mengambil posisi mengendus dengan obstruksi jalan napas atas. Mulut mungkin terbuka lebar dan lidah bisa menonjol; seorang anak yang terkena sering ngiler, karena sulit menelan atau menyakitkan. Epiglotis merah eritematosa dan klasik yang bengkak dan sering terlihat selama pemeriksaan orofaring, meskipun pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan jika dapat mengganggu upaya pernapasan. Pada awalnya, anak mungkin mengalami respirasi yang parah, tetapi ketika penyakitnya berlanjut, suara saluran napas mungkin berkurang. Stridor dapat terjadi dengan retraksi suprasternal, subkostal, dan interkostal. Pemeriksaan leher anterior dapat mengungkapkan adenopati tender. Pada anak yang lebih besar, rasa sakit dapat dicatat pada pergerakan tulang hyoid. (Udeani, 2016) 2. Pemeriksaan penunjang
Kultur darah dan Epiglotis Biakan darah dan biakan epiglotis harus dilakukan hanya setelah jalan napas diamankan. Kultur darah dapat menunjukkan Haemophilus influenzae tipe b (Hib) antara 12-15% dan 90% kasus. Kultur permukaan epiglotis yang diperoleh selama intubasi endotrakeal positif pada 50-75% kasus. (Udeani, 2016)
Radiografi Lateral Neck Radiography Jangan pernah mendapatkan radiografi leher lateral sebelum mencapai kontrol jalan napas definitif. Jika radiografi diperlukan, prosedur teraman adalah melakukan radiografi portabel di samping tempat tidur. Pada epiglottitis klasik, radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan epiglotis bengkak yang menonjol dari dinding anterior hipofaring (yaitu, tanda sidik jari), penebalan lipatan aryepiglottic, pelebaran vallecula, dan pelebaran hipofaring ( lihat gambar berikut). Perhatikan bahwa temuan negatif pada radiografi lateral tidak mengecualikan diagnosis, terutama pada tahap awal presentasi. (Udeani, 2016)
G. PENATALAKSANAAN
1. Jalan napas, Pernafasan, dan Sirkulasi Perawatan medis dimulai dengan mengevaluasi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Pemberian oksigen tambahan, langkah awal yang tidak mengancam. Tempatkan peralatan yang dibutuhkan untuk manajemen jalan nafas yang muncul di samping tempat tidur, dan jaga agar pasien selalu terlihat. Jika henti pernapasan akut terjadi, beri ventilasi pada anak dengan oksigen tambahan 100%, gunakan alat bag-valve-mask, dan atur untuk intubasi. Ketika seorang anak mengalami gangguan pernapasan dan personel bedah yang tepat tidak tersedia, dokter yang hadir dapat melakukan intubasi. Metode alternatif untuk mendapatkan kontrol langsung jalan napas, seperti
jarum cricothyrotomy, dianggap sementara sampai prosedur yang lebih permanen (misalnya, trakeostomi) dapat dilakukan. (Udeani, 2016)
2. Farmakologi Pemberian Antibiotik : (Udeani, 2016)
Ceftriaxone (Rocephin) Ceftriaxone adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram negatif, termasuk spesies Haemophilus influenzae, Enterobacteriaceae, dan Neisseria, dan aktivitas beragam terhadap bakteri gram positif. Agen ini berikatan dengan protein pengikat penisilin dan menghambat langkah transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan, yang mengakibatkan penghancuran dinding sel dan kematian organisme.
Cefotaxime (Claforan) Sefotaksim adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga lainnya dengan aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Agen ini berikatan dengan protein pengikat penisilin dan menghambat langkah transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan, yang mengakibatkan penghancuran dinding sel dan kematian organisme.
Chloramphenicol Ketika dikombinasikan dengan ampisilin, kloramfenikol adalah agen alternatif jika sefalosporin tidak dapat digunakan. Zat ini memunculkan aktivitas melawan beberapa organisme gram positif, gram negatif, dan anaerob dengan menghambat sintesis protein melalui pengikatan reversibel ke subunit ribosom 50S. Meskipun tidak tersedia di Amerika Serikat, antibiotik ini tetap digunakan di beberapa bagian dunia.
Pemberian Analgetik-Antipiretik (Udeani, 2016)
Acetminophen Acetaminophen adalah obat pilihan (DOC) untuk mengobati rasa sakit pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), mereka yang menderita penyakit saluran cerna bagian atas, atau mereka yang menggunakan antikoagulan oral. Agen ini mengurangi demam dengan tindakan langsung pada pusat
pengatur panas hipotalamus, yang meningkatkan pembuangan panas tubuh melalui vasodilatasi dan berkeringat.
Ibuprofen Ibuprofen biasanya DOC untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang, jika tidak ada kontraindikasi. Agen ini menghambat reaksi peradangan dan nyeri, mungkin dengan mengurangi aktivitas enzim siklooksigenase, yang menghambat sintesis prostaglandin. Ibuprofen adalah salah satu dari beberapa obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang diindikasikan untuk pengurangan demam.
H. KOMPLIKASI Selama fase bakteremia penyakit, fokus infeksi lain dimungkinkan. Pneumonia adalah penyakit terkait yang paling sering dikutip, diikuti oleh otitis media. Meningitis juga telah dilaporkan terkait dengan epiglottitis. Seperti halnya penyebab obstruksi jalan nafas atas lainnya, edema paru dapat diamati setelah jalan nafas diamankan. Ekstubasi yang tidak disengaja dan henti pernapasan adalah 2 komplikasi yang paling umum, dan ekstubasi yang tidak disengaja dapat menyebabkan komplikasi tambahan. Adenitis serviks, radang amandel, dan otitis media juga telah didokumentasikan. Singkatnya, komplikasi yang terkait dengan epiglotis yang membengkak dan jaringan di sekitarnya termasuk obstruksi jalan napas, yang dapat menyebabkan henti napas dan kematian akibat hipoksia. (Udeani, 2016) I. PROGNOSIS Prognosisnya baik untuk pasien dengan epiglottitis yang saluran napasnya telah diamankan. Tingkat kematian kurang dari 1% pada pasien ini. Namun, angka kematian setinggi 10% dapat terjadi pada anak-anak yang saluran udara tidak dilindungi oleh intubasi endotrakeal. (Udeani, 2016)
Referensi Bakhtiar. (2016). Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis dan Tatalaksana Croup Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol.16 Nomor 3. Elfianto, & Novialdi. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia. Jurnal Kesehatan Andalas Vol.7. Ramlatchan, S., Kramer, N., & Ganti, L. (2018). Back to Basics: A Case of Adult Epiglottitis. Cureus. Udeani, J. (2016). Pediatric Epiglottitis. eMedicine Medscape. Y.Cruz, M. G., & A. Almazan, N. (2016). Adult Acute Epiglottitis: An Eight - Year Experience in a Philippine Tertiary Government Hospital. PhiliPPine Journal of otolaryngologyhead and neck Surgery Vol.31 No.2. Zaid, S. A., Shoher MD, S., Nasser, W., Zamir, G., & Zaid, W. A. (2018). Heamophilus Influenza-B Epiglottitis in a Vaccinated Child: A Note of Caution. IMAJ Vol.20.
ABSES PERITONSILER A. ANATOMI TONSILLA PALATINA Tonsil palatina adalah sepasang organ limfoid yang terletak di antara lipatan palatoglosal (pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior) disebut fosa tonsilaris . Dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkan tonsil dari otot konstriktor faringeus superior dan otot konstriktor faringeus bagian tengah. Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan dan belakang ruangan peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di bagian bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat longgar, infeksi yang berta dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan proses supuratif dapat meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang sekali ke basis lidah.
B. FISIOLOGI
Tonsil palatina memberikan pengakuan awal dari kedua antigen udara dan pencernaan dan bertindak sebagai garis pertahanan pertama terhadap patogen. Sel-sel dendritik dalam reticular crypt transportasi epitel antigen eksogen ke folikel sel B dan daerah T-sel extrafollicular. Mengandung sebagian besar CD4 + (pembantu) T-sel, amandel menyediakan baik respon sel T primer dan sekunder. Setelah stimulasi oleh T-sel dalam ruang extrafollicular, belum matang B-sel menjajah folikel dan berdiferensiasi menjadi sel memori dan plasma, memproduksi berbagai subtipe immunoglobulin. Sel-sel epitel amandel juga berpartisipasi dalam memproduksi peptida antimikroba, manusia β-defensin, antibiotik alami yang diproduksi oleh tubuh.
C. DEFINISI
Abses peritonsillar (quinsy) adalah kumpulan nanah antara kapsul fibrosa amandel, biasanya di bagian dan otot konstriktor superior faring, ditemukan antara kapsul dan jaringan lunak sekitarnya dan otot. Kebanyakan abses berkembang di bagian superior. Biasanya terjadi sebagai komplikasi dari tonsilitis akut atau mungkin timbul tanpa tonsilitis sebelumnya. Abses peritonsillar cenderung unilateral dan muncul karna terhambatnya kelenjar Weber.Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya. Inflamasi yang progresif dapat meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang
ke arah basis lidah. Abses peritonsil pertama kali disebut pada abad ke-14, merupakan penyakit yang
mengancam jiwa, sehingga diperlukan penanganan yang tepat dan segera. Ruangan
peritonsil dapat terinfeksi oleh bakteri Streptococcus sp. Ruangan peritonsil dibatasi di medial oleh kapsul tonsil, di lateral muskulus konstriktor faringeal superior, di inferior pilar anterior tonsil, dan di pilar posterior tonsil.
D. EPIDEMIOLOGI • Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam. • Abses peritonsil ditemukan 10 -37 per 100.000 orang. • Di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. • Usia 20 - 40 tahun. • Laki-laki : perempuan = 2 : 1
E. ETIOLOGI
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogene (Group A beta- hemolitic streptococcus) sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. • Kuman aerob: Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C, G streptococcus, Hemophilus influenza (type b and nontypeable) Staphylococcus aureus, Haemophilus parainfluenzae, Neisseria species. Mycobacteria sp. • Kuman Anaerob: Fusobacterium Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. Bacteroides. Virus : Eipsten-Barr Adenovirus Influenza A dan B, Herpes simplex, Parainfluenza.
F. PATOFISIOLOGI
Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga terjadi
peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium infiltrat, selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil. Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.
G. MANIFESTASI KLINIS • Sakit tenggorokan • Demam • Suara teredam • Disfagia dan odynophagia • Hipersalivasi • Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid. • Pembengkakan di orofaring dengan medialisation dari tonsil. • Dalam beberapa kasus, otalgia ipsilateral dan hilangnya rasa pada sepertiga posterior lidah terjadi karena edema mempengaruhi saraf glossopharingeus • Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga (otalgi). • Pemeriksaan fisik: eksudat tonsil, trismus dan limfadenopati jugulodigastric. Pasien dengan abses peritonsillar beresiko perpanjangan abses ke dalam ruang leher lebih dalam dan obstruksi jalan napas. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.
• Palpasi (jika mungkin) dapat membedakan abses dari selulitis. Palatum mole tampak membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
• Dengan headlamp, spatula dan cahaya, satu dapat menemukan eritema dan edema superior dan lateral tonsil serta di langit-langit lunak, selain medialisation dari tonsil dan kadangkadang lateralisation uvula. Kesulitan dalam menelan kadang-kadang menyebabkan air liur.
• Dalam keadaan ini tes diagnostik yang paling umum adalah computed tomography (CT) scan. CT scan dapat secara akurat mendiagnosis abses peritonsillar dengan sensitivitas 100% dan membantu untuk menentukan tingkat penyakit.
I. DIAGNOSA
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses peritonsil. Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi. Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya menunjukkan “distorsi” dari jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses, pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena, di samping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana dan noninvasif dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal abses.
J. PENATALAKSANAAN
• Antibiotik :
- Penisilin, dan betalactames lainnya Penisilin adalah kelompok antibiotik yang mencakup fenoksimetil, benzil, prokain dan benzathine penisilin; ini rentan terhadap betalactamase enzim yang dihasilkan oleh berbagai bakteri. Dari penisilin spektrum yang lebih luas, amoksisilin juga banyak digunakan dalam pengobatan PTA; itu juga dapat digunakan dalam kombinasi dengan asam klavulanat, sebuah betalactamase inhibitor.
- Metronidazol dan klindamisin Metronidazol milik kelompok nitroimidazoles, bersama dengan tinidazol dan ornidazole. Hal ini digunakan dalam pengobatan banyak parasit (misalnya trichomonas, amuba, giardia) dan bakteri anaerob. Ketika diberikan po, metronidazol ditemukan untuk didistribusikan dengan baik di seluruh jaringan tubuh. Obat ini sebagian besar dimetabolisme oleh hati dan, sesuai, metabolisme ini berkurang pada pasien dengan disfungsi hati. gagal ginjal hanya mempengaruhi ekskresi metabolitnya. Metronidazole dapat berinteraksi dengan obat lain (misalnya warfarin, fenitoin, lithium) dan menghasilkan reaksi disulfiram-seperti ketika digunakan bersama dengan alkohol. Bila diberikan dalam dosis <2g per hari, umumnya ditoleransi dengan baik; efek samping, seperti efek gastrointestinal, neutropenia dan neuropati, tampaknya berhubungan dengan dosis dan perlakuan durasi. • Aspirasi jarum. • Incision dan drainase. • Operasi amandel. REFERENSI: 1. Wiksten, Johanna. 2018. Peritonsillar abses etiologi, diagnostik dan pengobatan. Fakultas Kedokteran Universitas Helsinki. 2. Chilpa, C. 2016. Mikrobiologi dari Peritonsillar Abses: A Calon Studi. Asisten Profesor, Departemen THT, JSS Medical College dan Rumah Sakit, Mysore, Karnataka, India. 3. BA Chang, A Thamboo, dkk. 2016. aspirasi jarum dibandingkan insisi dan drainase untuk pengobatan abses peritonsillar (Ulasan). Cochrane Lybrary. 4. Marbun. Erna M. 2016 . Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Staf Pengajar Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana. 5. Gupta, Richa. Mittal, Manish. 2016. Sebuah studi klinis dan epidemiologis pada abses peritonsillar di Puskesmas tersier . Departemen THT, SS Medical College, Rewa, Madhya Pradesh, India, 2 Departemen PSM, Pacific Medical College, Udaipur, Rajasthan, India