RESUME PROBLEMATIKA PENDIDIKAN BIOLOGI Nama : Ali Mustofa NIM/OFF : 180341863024 / C Tanggal Penulisan / Pertemuan : 05-02-2019 / 08-02-2019 Tujuan : Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Problematika Pendidikan Biologi yang diampu oleh Dr. Hj. Sri Endah Indriwati, M.Pd. Topik : Prinsip Pendidikan Kesejagatan (Unesco) Serta Literasi Sains Untuk Semua Dalam Aplikasinya Di Indonesia. Prinsip Pendidikan Kesejagatan (Unesco) Serta Literasi Sains Untuk Semua Dalam Aplikasinya Di Indonesia
A. Prinsip Pendidikan Kesejagatan (Unesco) 1) Learning to know (belajar mengetahui); Learning to know adalah suatu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati dan akhirnya dapat merasakan dan dapat menerapkan cara memperoleh pengetahuan, suatu proses yang memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu dan selanjutnya menimbulkan rasa mampu untuk selalu mencari jawab atas masalah yang dihadapi secara ilmiah. Sasaran terakhir dari penerapan pilar “learning to know” adalah lahirnya suatu generasi yang mampu mendukung perkembangan IPTEK, yang menjadikan IPTEK sebagai bahan dari kebudayaannya. 2) Learning to do (belajar berbuat); Sasaran akhir dari diterapkannya pilar ini adalah lahirnya generasi muda yang dapat bekerja secara cerdas dengan memanfaatkan IPTEK. Proses pembelajaran yang sifatnya “learning to do” memerlukan suasana atau situasi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghadapi masalah untuk dipecahkan dengan menggunakan IPTEK yang secara teori telah dipelajari (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007).
3) Learning to live together (belajar hidup bersama); Latar belakang kenyataan dalam masyarakat yang digambarkan oleh Komisi diatas menuntut pendidikan ttidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, pengertian,
1
dan tanpa prasangka. Dalam kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk pada saat yang bersamaan setiap peserta didik memperoleh pengetahuan dan memiliki kesadaran bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat persamaan. Pendidikan untuk mencapai tingkat kesadaran akan persamaan atar sesama manusia dan terdapat saling ketergantungan satu sama lain, tidak dapat ditempuh dengan pendidikan pendekatan tradisional melainkan perlu menciptakan situasi kebersamaan dalam waktu yang relatif lama (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007). 4) Learning to be (belajar menjadi seseorang yang mempunyai jati diri) Tiga pilar yaitu “learning to know”, “learning to do”, dan “learning to live together” ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi atau menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dan memecahkan masalah secara cerdas dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik, hasil akhirnya adalah manusia yang mampu mengenal dirinya, dalam bahasa UU No.2 Th. 1989 adalah manusia yang berkepribadian mantap dan mandiri. Learning to be mengarahkan seseorang yang memiliki “Emotional Intellegance” yaitu manusia yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat menegndalikan dirinya, yang konsisten dan yang memiliki rasa empati (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, 2007). Empat pilar belajar yang disarankan oleh Komisi Internasional untuk Pendidikan Abad ke-21 UNESCO untuk menjadikan proses pendidikan dapat mengembangkan karakter dan kecerdasan menghadapi abad ke-21. Agar penyelenggaraan pendidikan nasional mampu mewujudkan terjadinya proses pendidikan yang menerapkan empat pilar berlajar tesebut perlu dirancang suatu sistem pendidikan yang meliputi: 1) Kurikulum; 2) Evaluasi dan promosi; 3) Pendidikan dan pembinaan guru; 4) Pembiayaan pendidikan 5) Model pengelolaan pendidikan secara nasional yang dirancang secara sistematis dan dilaksanakan secara sinergik sehingga dapat memungkinkan terjadinya proses
2
pembelajaran sebagai proses pembudayaan (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIPUPI, 2007).
B. Literasi Sains 1. Pengertian Literasi Sains Literasi sains menurut PISA sebagai kemampuan menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan, dan menarik kesimpulan berdasarkan bukti-bukti, dalam rangka memahami serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Definisi literasi sains ini memandang literasi sains bersifat multidimensional, bukan hanya pemahaman terhadap pengetahuan sains, melainkan lebih dari itu. PISA juga menilai pemahaman peserta didik terhadap karakteristik sains sebagai penyelidikan ilmiah, kesadaran akan betapa sains dan teknologi membentuk lingkungan material, intelektual dan budaya, serta keinginan untuk terlibat dalam isu-isu terkait sains, sebagai manusia yang reflektif.. National Teacher Association (1971) mengemukakan bahwa seorang yang literat sains adalah orang yang menggunakan konsep sains, keterampilan proses, dan nilai dalam membuat keputusan sehari-hari kalau ia berhubungan dengan orang lain atau dengan lingkungannya, dan memahami interelasi antara sains, teknologi dan masyarakat, termasuk perkembangan sosial dan ekonomi. C. Pemahaman Inti Literasi sains dalam Disiplin Ilmu Arti dasar literasi sains dalam disiplin ilmu melibatkan kemampuan memahami wacana yang berhubungan dengan hal ilmiah dan kemudian membangun pemahaman dari wacana untuk diterapkan sebagai pengetahuan yang bermakna. 1. Kemampuan Kognitif dan Metakognitif Pembangunan pemahaman ilmiah melibatkan berbagai ontologis asumsi dan prinsip-prinsip epistemologis yang mendefinisikan sifat ilmu pengetahuan dan bagaimana para ilmuwan melakukan sesuatu berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Tindakan diterapkan dengan benar dan efektif menghasilkan klaim pengetahuan dan penjelasan. Kemampuan kognitif dan metakognitif dan strategi termasuk di dalamnya, tetapi tidak terbatas pada: a. Peka terhadap perkembangan dunia, membangun serta mengawasi klaim pengetahuan.
3
b. Analisis kritis mengenai klaim, prosedur, kesalahan pengukuran, data, dan sebagainya. c. Pembenaran data sebagai bukti atau terhadap klaim berdasarkan jaminan. d. Perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pemecahan masalah, dan mengatur (Tan & Kim, 2012).
2. Berpikir Kritis/Penalaran yang masuk akal Memutuskan apa yang harus dipercaya atau dilakukan mengenai tantangan merupakan pusat sebagian besar deskripsi berpikir kritis. Orang Ilmiah dihadapkan dengan tantangan berharga, masalah, atau masalah yang layak dipertimbangkan untuk melakukan pembahasan bukti, kriteria, dan opini untuk membuat penilaian tentang apa yang harus dilakukan/percaya dan terbuka akan membenarkan klaim/penghakiman. (Tan & Kim, 2012).
3. Kebiasaan Berpikir Kebiasaan berpikir berhubungan terhadap penyelidikan ilmu pengetahuan dan teknologi desain mencerminkan sifat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebiasaan berpikir ini (keyakinan, nilai-nilai, sikap, sikap kritis, proses, dan keterampilan) mengenai sains meliputi disposisi, seperti skeptisisme, kesementaraan, kepastian, kepercayaan, kesediaan untuk mencari solusi, menopang klaim dengan bukti, mengevaluasi data, informasi, alasan, dan argumen; dan melihat ilmu pengetahuan dan teknologi serius, yang tidak kategoris antagonis atau tidak kritis; keterbukaan untuk membandingkan dan menghargai peran kesempatan dan kesalahan dalam hubungan (Tan & Kim, 2012).
4. Bahasa Ilmiah Orang Ilmiah berbicara-mendengar, menulis-membaca, dan mewakili-menafsirkan menggunakan bahasa alami dan bahasa matematika; mengikuti petunjuk; menyatakan tujuan untuk bertahap tata cara; menghasilkan argumen yang meyakinkan, penjelasan suara, deskripsi yang jelas, atau ekspresi matematika; dan menggunakan metabahasa ilmu dalam
yang
tepat
dan
cara yang tepat yang mencerminkan pandangan yang diterima sains. (Tan & Kim, 2012). 5. Berbicara-Mendengarkan Ilmu Literasi
4
Bahasa adalah media utama melalui mana konsep-konsep ilmiah dipahami, dibangun, dan dinyatakan. Berbicara tentang ilmu pengetahuan dengan teman sebaya dan dengan guru memberikan siswa kesempatan untuk memahami pemikiran mereka, mendengarkan ide-ide orang lain, menyadari berbagai perspektif, memikirkan kembali ide, mengevaluasi ide-ide orang lain. (Tan & Kim, 2012). 6. Menulis-Membaca Ilmu Literasi Penelitian menunjukkan bahwa membaca tentang ilmu pengetahuan atau dengan tidak membaca atau menulis adalah metode yang cukup untuk belajar konseptual yang efektif. Sedangkan menulis tentang ilmu pengetahuan akan menciptakan peluang untuk mengusulkan, memperkuat, dan merevisi konseptual pengetahuan dan untuk memodelkan genre yang berbeda dalam menulis, sehingga membangun fondasi pengalaman yang diperlukan untuk membaca berbagai modus teks informasi (deskripsi, penyebab/efek, masalah/solusi, prosedur, dll). Integrasi ilmu pengetahuan, menulis, dan membaca melalui penyelidikan otentik memungkinkan untuk lebih menarik, tujuan, reflektif, efisien, dan efektif yang meningkatkan pemahaman bacaan, pemahaman konseptual, dan menulis akademik (Tan & Kim, 2012). 7. Penggambaran dan perwakilan Ilmu Literasi Penelitian menunjukkan bahwa membangun beberapa representasi dan mengubah representasi antara modus meningkatkan kompetensi representasional, kedalaman pengolahan, dan pemahaman konseptual. Orang Ilmiah membangun dan menggunakan beberapa representasi (termasuk sketsa, diagram, model, tabel, grafik, peta, gambar, dan grafik), menggunakan tampilan visual dan tekstual untuk mengungkapkan hubungan, mencari dan mengevaluasi informasi dari berbagai sumber tekstual dan digital, memilih dan menggunakan kosakata yang tepat, menampilkan spasial, operasi numerik, dan statistik (Tan & Kim, 2012). 8. Informasi Teknologi Komunikasi Para ilmuwan memadukan ilmu dengan teknologi dan dibatasi oleh teknologi yang tersedia. ICT memungkinkan para ilmuwan untuk bekerja sama dan berbagi database dari kejauhan, membangun pengetahuan baru, dan melaporkan hasil penelitian mereka tanpa berada di ruangan yang sama. Ilmuwan dan siswa menggunakan dan membaca kalkulator, analog/meter digital, catatan digital, kamera, dan video, memecahkan masalah umum, dan menentukan penyebab potensial malfungsi. Mereka menggunakan ICT abad 21untuk
5
mengakses
instruksional,
pengolahan,
pengelolaan,
menafsirkan,
dan
mengkomunikasikan informasi, memahami, mengelola, dan menciptakan yang efektif lisan, tertulis, dan multimedia komunikasi, penalaran suara, menganalisis, dan memecahkan masalah (Tan & Kim, 2012). D. Kemampuan Literasi Sains Siswa Indonesia Kemampuan literasi sains siswa Indonesia dari hasil studi internasional PISA tahun 2006 dalam Tjalla, diperoleh hasil bahwa: 1. Kemampuan literasi sains siswa Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 57 negara. Skor rata-rata sains yang diperoleh siswa Indonesia adalah 393. Skor ratarata tertinggi dicapai oleh Finlandia (563) dan terendah dicapai oleh Kyrgyzstan (322). Kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia tidak berbeda secara signifikan dengan kemampuan literasi sains siswa dari Argentina, Brazil, Colombia, Tunisia, dan Azerbaijan. Kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kemampuan literasi sains siswa dari Qatar dan Kyrgyzstan. Dua negara yang berada dua peringkat di atas Indonesia adalah Mexico dan Montenegro. 2. Secara internasional skala kemampuan literasi sains dibagi menjadi 6 level kemampuan. Berdasarkan level kemampuan ini, sebanyak 20,3% siswa Indonesia berada di bawah level 1 (skor di bawah 334,94), 41,3% berada pada level 1 (skor 334,94 – 409,54), 27,5% berada pada level 2 (skor 409,54 – 484,14), 9,5% berada pada level 3 (skor 484,14 – 558,73), dan 1,4% berada pada level 4. Tidak ada siswa Indonesia yang berada pada level 5 dan level 6. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar (41,3%) siswa Indonesia memiliki pengetahuan ilmiah terbatas yang hanya dapat
diterapkan
pada
beberapa
situasi
yang
familiar.
Mereka
dapat
mempresentasikan penjelasan ilmiah dari fakta yang diberikan secara jelas dan eksplisit. Sebanyak 27,5% siswa Indonesia memiliki pengetahuan ilmiah yang cukup untuk memberikan penjelasan yang mungkin dalam konteks yang familiar atau membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan sederhana. Siswa-siswa dapat memberikan alasan secara langsung dan membuat interpretasi seperti yang tertulis dari hasil pengamatan ilmiah yang lebih mendalam atau pemecahan masalah teknologi.
6
3. Dibandingkan dengan kemampuan literasi sains gabungan, kompetensi siswa Indonesia dalam mengidentifikasi masalah ilmiah lebih rendah (-0,4), menjelaskan fenomena secara ilmiah lebih tinggi (1,1 poin), dan menggunakan fakta ilmiah lebih rendah (-7,8). Sementara itu, pengetahuan siswa Indonesia tentang sains lebih rendah (-6,4), bumi dan antariksa lebih tinggi (8,3), sistem kehidupan lebih rendah (-2,5), dan sistem fisik lebih rendah (-7,4). Hal ini menunjukkan bahwa siswa Indonesia memiliki kompetensi paling tinggi dalam menjelaskan fenomena secara ilmiah dan memiliki pengetahuan sains tertinggi dalam bumi dan antariksa. 4. Berdasarkan jenis kelamin, kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia lakilaki (skor 399) lebih tinggi daripada kemampuan literasi sains rata-rata siswa Indonesia perempuan (skor 387). Perbedaan skor rata-rata siswa laki-laki dan perempuan adalah 12. 5. Dibandingkan dengan hasil studi PISA tahun 2000/2001 dan 2003, kemampuan literasi sains siswa Indonesia pada tahun 2006 relatif stabil atau tidak mengalami peningkatan. Skor literasi sains rata-rata siswa Indonesia pada tahun 2000/2001 adalah 393 dan tahun 2003 adalah 395.
E. Dimensi Dalam Literasi Sains dan Rinciannya PISA 2000 dan 2003 menetapkan tiga dimensi besar literasi sains dalam pengukurannya, yakni kompetensi/proses sains, konten/pengetahuan sains dan konteks aplikasi sains. Pada PISA 2006 dimensi literasi sains dikembangkan menjadi empat dimensi, tambahannya yaitu aspek sikap siswa akan sains (OECD, 2007). 1. Aspek konteks PISA menilai pengetahuan sains relevan dengan kurikulum pendidikan sains di negara partisipan tanpa membatasi diri pada aspek-aspek umum kurikulum nasional tiap negara. Penilaian PISA dibingkai dalam situasi kehidupan umum yang lebih luas dan tidak terbatas pada kehidupan di sekolah saja. Butir-butir soal pada penilaian PISA berfokus pada situasi yang terkait pada diri individu, keluarga dan kelompok individu (personal), terkait pada komunitas (social), serta terkait pada kehidupan lintas negara (global). Konteks PISA mencakup bidang-bidang aplikasi sains dalam seting personal, sosial dan global, yaitu: (1) Kesehatan; (2) sumber daya alam; (3) mutu lingkungan; (4) bahaya; (5) perkembangan mutakhir sains dan teknologi.
7
2. Aspek konten Konten sains merujuk pada konsep-konsep kunci dari sains yang diperlukan untuk memahami fenomena alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam melalui aktivitas manusia. Dalam kaitan ini PISA tidak secara khusus membatasi cakupan konten sains hanya pada pengetahuan yang menjadi kurikulum sains sekolah, namun termasuk pula pengetahuan yang diperoleh melalui sumber-sumber informasi lain yang tersedia. Kriteria pemilihan konten sains adalah sebagai berikut: a. Relevan dengan situasi nyata, b. merupakan pengetahuan penting sehingga penggunaannya berjangka panjang, c. sesuai untuk tingkat perkembangan anak usia 15 tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, maka dipilih pengetahuan yang sesuai untuk memahami alam dan memaknai pengalaman dalam konteks personal, sosial dan global, yang diambil dari bidang studi biologi, fisika, kimia serta ilmu pengetahuan bumi dan antariksa. 3. Aspek Kompetensi/Proses Untuk membangun kemampuan inkuiri ilmiah pada diri peserta didik, yang berlandaskan pada logika, penalaran dan analisis kritis, maka kompetensi sains dalam PISA dibagi menjadi tiga aspek berikut: a. Mengidentifikasi pertanyaan ilmiah Pertanyaan ilmiah b. Menjelaskan fenomena secara ilmiah c. Menggunakan bukti ilmiah 4. Aspek Sikap Untuk membantu siswa mendapatkan pengetahuan teknik dan sains, tujuan utam dari pendidikan sains adalah untuk membantu siswa mengembangkan minat siswa dalam sains dan mendukung penyelidikan ilmiah. Sikap-sikap akan sains berperan penting dalam keputusan siswa untuk mengembangkan pengetahuan sains lebih lanjut, mngejar karir dalam sains, dan menggunakan konsep dan metode ilmiah dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, pandangan PISA akan kemampuan sains tidak hanya kecakapan dalam sains, juga bagaimana sifat mereka akan sains. Kemampuan sains seseorang di dalamnya memuat sikap-sikap tertentu, seperti kepercayaan, termotivasi, pemahaman diri, dan nilai-nilai.
8
F. Penilaian Literasi sains PISA (2006) menetapkan lima komponen proses sains dalam penilaian literasi sains, yaitu: 1. Mengenal pertanyaan ilmiah, yaitu pertanyaan yang dapat diselidiki secara ilmiah, seperti mengidentifikasi pertanyaan yang dapat dijawab oleh sains. 2. Mengidentifikasi bukti yang diperlukan dalam penyelidikan ilmiah. Proses ini melibatkan identifikasi atau pengajuan bukti yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan dalam suatu penyelidikan sains, atau prosedur yang diperlukan untuk memperoleh bukti itu. 3. Menarik dan mengevaluasi kesimpulan. Proses ini melibatkan kemampuan menghubungkan kesimpulan dengan bukti yang mendasari atau seharusnya mendasari kesimpulan itu. 4. Mengkomunikasikan kesimpulan yang valid, yakni mengungkapkan secara tepat kesimpulan yang dapat ditarik dari bukti yang tersedia. 5. Mendemonstrasikan pemahaman terhadap konsep-konsep sains, yakni kemampuan menggunakan konsep-konsep dalam situasi yang berbeda dari apa yang telah dipelajarinya.
PERTANYAAN: 1.
Bagaimana penerapan 4 pilar pendidikan UNESCO di Indonesia?
2.
Bagaimana hubungan 4 pilar pendidikan UNESCO dengan kurikulum di Indonesia?
3.
Apakah penerapan 4 pilar pendidikan Unesco sudah sesuai dengan dimensi pendidikan di Indonesia?
4.
Bagaimana meningkatkan sikap literasi sains siswa di Indonesia?
5.
Bagaimana kolaborasi siswa, guru dan pemerintah sehingga kemampuan literasi sains siswa di Indonesia rendah, apa faktor dan penyebabnya ?
9
DAFTAR RUJUKAN
PISA. 2006. Science Competencies for Tomorrow’s World Volume 1-analysis. OECD.(Online)(www.oecd.org/statistics/statlink), diakses pada 27 Januari 2018. PISA. 2015. Result From PISA 2015. Online, https://www.oecd.org/pisa/PISA-2015Indonesia.pdf di akses pada tanggal 28 Januari 2018. Tan, K. C. D. dan Kim, M., 2012. Issues and Challenges in Science Education Research. New York: Springer. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama. Tjalla, A. Potret Mutu Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Hasil-hasil Study Internasional. Artikel Pendidikan, http://repository.ut.ac.id/2609/ di akses pada 28 Januari 2018. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta: Depdiknas. UNESCO Education for Sustainable Development Toolkit. 2006. Diunduh dari (http://www.unesco.org/education/desd) pada tanggal 27 Januari 2018. UNESCO Review of Contexts and Structures for Education for Sustainable Development 2009. Diunduh dari http://www.unesco.org/education/justpublished_desd2009.pdf pada tanggal 27 Januari 2018. UNESCO Education for Sustainable Development Source Book. 2012. Diunduh dari https://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/926unesco9.pdf pada tanggal 27 Januari 2018.
10
KRITERIA PENILAIAN RESUME UNIVERSITAS NEGERI MALANG SEMESTER GASAL 2018-2019 Nama penilai : Mashuri Saputra
No.
Elemen
Skor Penilaian Maks Teman Dosen
I. Identitas Resume 1 Nama dicantumkan 2 Resume dibubuhi tanggal 3 Tema atau materi yang dikaji dicantumkan II. Sistematika Resume 4 Resume terorganisasi dengan baik dan lengkap (memuat beberapa bab atau sub-bab dari materi yang dikaji dan ada sumber rujukan) III. Isi Resume 5 Menyajikan beragam informasi penting yang dipelajari
5 5 5
5 5 5
10
8
20
16
6
Resume menggambarkan representasi materi yang dipelajari (ide-ide pokok dibahas secara tuntas)
25
19
7
Resume ditulis dengan bahasa yang komunikatif
10
8
8
Memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting
20
16
Jumlah Skor Maksimal
100
84
Instrumen penilaian dikembangkan oleh Indriwati, S.E (2014)
11