URGENSI RESTORASI FUNGSI MESJID SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL Oleh: Drs. Suprayetno W, M.A BIODATA PENULIS Suprayetno W, lahir di Medan pada tahun 1963. Menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1976 di Sekolah Dasar Islam Persatuan Amal Bakti (PAB) Medan Estate kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di tempat yang sama dan selesai pada tahun 1980. Cita-cita untuk menjadi guru direalisasikan dengan melanjut ke Sekolah Pendidikan Guru Negeri I Medan dan tamat pada tahun 1983. Program Sarjana Strata 1 ditempuh di Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara dan diselesaikan pada tahun 1990. Tahun 1997 menyelesaikan program Master di Institute of Islamic Studies McGill Univesity, Montreal, Canada. Saat ini sedang menekuni program Doktoral di Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Karyakarya tulis yang pernah dihasilkan antara lain. (1). “Robert J. Sternberg And Ibn Hazm On The Nature Of Love” dalam The Dynamic of Islamic Civilization diterbitkan oleh Titian Ilahi, Yogyakarta tahun 1998. (2) “Perlukah Anak Hukuman Badan ?” dalam Kumpulan Artikel Psikologi Anak diterbitkan oleh Intisari Mediatama, Jakarta tahun 1999. (3) “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren” dalam Pranata Islam di Indonesia yang diterbitkan Logos Wacana Ilmu, Jakarta tahun 2002. (4) “Kepribadian Individu Dan Masyarakat Muslim Dalam Tantangan” dalam Kepribadian dan Pendidikan diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2006. (5) “Tantangan Psikologis Era Reformasi Dalam Penegakan Jati Diri Muslim Indonesia” dalam Pendidikan dan Psikologi Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2007. (6) “Hubungan Interpersonal Konselor-Klien” dalam Pendidikan dan Konseling Islami diterbitkan Cita Pustaka Media, Bandung tahun 2008. Sejak tahun 1992 sampai saat ini mengabdikan diri di IAIN Sumatera Utara sebagai dosen Psikologi Agama.
Tulisan ini berusaha untuk memotivasi umat Islam untuk memfungsikan kembali mesjid sebagai institusi pendidikan non formal sebagai upaya untuk menciptakan sumber daya manusia Muslim yang handal. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, derasnya arus informasi, dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, telah banyak mengubah sistem pendidikan di dunia, dan memaksa manusia untuk menggunakan sejumlah besar sektor pendidikan non formal, sebab pendidikan formal ternyata tidak mampu menampung seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Jika pendidikan telah diterima sebagai dan semakin menjadi kebutuhan pokok setiap individu, maka pendidikan bukan saja harus dikembangkan, diperkaya, dan dilipat gandakan tetapi juga harus ditingkatkan dengan memperluas fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara keseluruhan. Fakta historis menyatakan bahwa para Nabi dan Rasul mendidik umatnya melalui institusi
1
pendidikan non formal dengan hasil yang gemilang. W. Owen Cole dalam bukunya World faiths in Education menyatakan bahwa, “since the advent of Islam, the mosque has been the centre of all activities. It was the place from which the prophet, and caliphs after him, managed affairs of state, it also served as the centre for the education of the Muslim Community”. Mesjid sekarang merupakan salah satu alternatif dalam mengembangkan pendidikan non formal dalam upaya mencapai pemerataan ilmu pengetahuan, atau dalam arti lain mencapai demokrasi pendidikan. Sebab proses dan sistem pendidikannya tidak terikat dengan lembaga apapun – kecuali dalam kasus-kasus yang khusus pada mesjid-mesjid pemerintah atau milik suatu instansi atau organisasi. Faktor lain, keterbatasan dan keketatan sistem lembaga pendidikan formal mau tidak mau harus ditembus dengan pendidikan non formal dalam usaha mencapai masyarakat Islam yang tidak saja bertaqwa, melainkan juga dinamis dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Tentu saja usaha pendidikan ini harus dianekaragamkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sebab bagaimanapun setiap sistem pendidikan merupakan komponen dari lingkungan tempat kelompok individu hidup, dan ia turut membentuk metode, isi dan program pendidikan. Usaha seperti ini tidak mudah dilakukan – setidak- tidaknya untuk saat ini – sebab saat ini mesjid tidak lagi menjadi tempat dimana dibentuk, dituntun, dikendalikan, dikembalikan jiwa atau cita dari kehidupan sosial, ekonomi, politik, ilmu, kesenian, dan filsafat. Mesjid hanya tinggal sebagai tempat ibadah. Untuk itu ada beberapa langkah yang harus dilakukan: 1. Memperbaiki sistem pengelolaan mesjid secara professional, baik untuk lingkup interen maupun eksteren. 2. Menciptakan iklim yang dapat memotivasi masyarakat untuk datang ke mesjid secara teratur dan berkesinambungan.
2
3. Sosialisasi pendidikan non formal di mesjid dengan menggerakkan umat, terutama para remaja dan pemuda untuk giat belajar. Belajar sangat diperlukan dalam Islam, sebab ia menyangkut segala sesuatu dalam hidup seseorang dan masyarakat, termasuk sumber-sumber sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Maka dengan demikian harus diupayakan perombakan sistem pendidikan kita untuk sampai pada tingkat masyarakat yang gemar belajar. Sebab inilah proporsi yang sebenarnya untuk mencapai masyarakat Islam yang dinamis dan fungsional. Ia dapat diartikan sebagai proses jalinan yang erat antara pendidikan dan struktur sosial, politik, ekonomi yang meliputi kesatuan keluarga dan kehidupan warga masyarakat Muslim. Ini berarti bahwa setiap warga masyarakat Muslim harus memiliki sarana yang dapat diperolehnya secara bebas untuk belajar, melatih dan mengembangkan diri sendiri, atau untuk belajar dan mengajar dalam keadaan apapun. Untuk itu perlu diwujudkan dan dikembangkan perpustakaan mesjid. Sebab dengan memperkaya khazanah literatur maka akan terlahir masyarakat yang dinamis dan kritis. Yang mungkin menjadi masalah adalah bagaimana memotivasi masyarakat untuk mampu menyempatkan diri melaksanakan self education ini disamping kesibukannya sehari-hari. Keberhasilan pendidikan diri sendiri (self education) telah dibuktikan hasilnya oleh sejarah, bahwa pada masa awal-awal Islam ilmu pengetahuan Islam berpusat pada individu-individu dan bukan pada sekolah-sekolah. Para ilmuwan Islam pada masa itu telah membangun disiplin ilmunya sendiri-sendiri. Reputasi keilmuwan mereka kemudian menarik orang-orang dari jauh atau dekat untuk belajar kepada mereka. Sungguh, banyak benarnya bila dikatakan bahwa, bahkan pada akhir abad pertengahan, mayoritas ilmuwan-ilmuwan yang masyhur bukanlah produk madrasahmadrasah, tetapi adalah produk pendidikan informal dari guru-guru individual. Islam menuntut agar umatnya belajar, mengamalkan dan menyebarluaskan ilmu. Sebab bagaimanapun banyaknya ilmu yang dikuasai seseorang tanpa diamalkan maka semuanya itu tidak
3
akan ada manfaatnya. Penyebaran ilmu merupakan hal yang urgen. Sejarah bangsa dan agama kita telah membuktikan bahwa tidak ada bahaya lain yang dapat meruntuhkan umat kecuali kebodohan. Sebab kebodohan merupakan pangkal kemiskinan dan kemiskinan pangkal kekafiran. Jika pemerataan pengetahuan yang sangat ditekankan dalam Islam dan masyarakat yang gemar belajar serta mengamalkan ilmunya telah tercapai, maka akan tercipta masyarakat Islam yang takwa, dinamis, dan fungsional. Hal yang telah diuraikan di atas telah terbukti pada masa keemasan Islam. Saat itu kaum Muslimin merupakan pendukung utama dari seluruh kebudayaan dan peradaban di seluruh dunia, mereka menemukan, memperkaya, serta mengantar ilmu pengetahuan filsafat hingga melahirkan renaisance di Eropa Barat pada pertengahan abad ke VIII dan permulaan abad ke XIII. Di antara para ilmuwan Islam itu adalah: Ibnu Khaldun yang Muqaddimahnya merupakan suatu karya yang bukan saja mengantarkan kepada ilmu sejarah tetapi juga merupakan peletak dasar sosiologi, ia dianggap sebagai pencipta ilmu baru dalam tujuan dan hakekat sejarah. Atau setidak-tidaknya sebagai peletak dasar Ilmu Pengetahuan Sosial, karena sebelumnya tidak ada penulis Arab dan Eropa yang mempunyai pandangan sejarah seperti dia. Dalam dunia sastra dikenal Ibnu Zaidun yang karya-karyanya menyebar ke Spanyol dan sangat mengagumkan masyarakat Kristen Spanyol dan memberikan pengaruh yang kuat bagi mereka. Dalam bidang Ilmu Bumi, Astronomi, dan Ilmu Pasti, dunia Barat menerima sejumlah sumbangan pendapat-pendapat baru, antara lain mengenai penentuan dan letak bintang dalam derajat bujur dan lintang. Jejak dalam bidang ini dapat dilihat dalam istilah-istilah astronomi yang masih digunakan sampai sekarang, seperti acrab (aqrab), azimuth (al sumut) dan lain-lain yang diadopsi dari bahasa Arab. Salah satu yang penting dalam ilmu pasti adalah penggunaan angka nol dan angka Arab untuk sistem bilangan, yang segera merombak sistem angka desimal yang rumit.
4
Dalam bidang Biologi dikenal risalah Ibnu Al Awwan dari Selvia yang membuat uraian tentang 585 jenis tanaman dan menerangkan pembiakan lebih dari 50 buah pohon buah-buahan, juga menerangkan tentang cara bercocok tanam. Dari fakta-fakta sejarah di atas, terlihat bahwa bahasa Islam memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan karena para ilmuan Islam pada masa itu bekerja dan berkarya semata-mata memenuhi tuntutan Iqra’ dengan semangat keagamaan yang besar. Untuk meraih apa yang pernah diraih oleh pendahulu-pendahulu Islam pada masa keemasan, sistem pendidikan formal yang dianut sekarang perlu dirubah. Sebab, pertama, sistem pendidikan umum (non agama) yang dianut sekarang merupakan adopsi dari sistem pendidikan negara-negara non Islam yang jelas di dalamnya tidak terdapat seruan-seruan Islam. Hal ini dapat diantisipasi dengan pendidikan non formal di mesjid, sebab mesjid merupakan tempat pertemuan umat dari segala lapisan masyarakat untuk menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah dan mengungkap hukum-hukum agama Islam. Kedua, kurikulum pendidikan formal dipenuhi oleh target-target yang sulit dijangkau. Sebaliknya pendidikan non formal di Mesjid dapat disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat. Atau dengan kata lain demokrasi pendidikan di mesjid lebih tinggi, sebab setiap orang mempunyai kesempatan untuk belajar, bebas memilih subjek, dan bebas memilih guru. Mengubah sistem pendidikan umum untuk menjadi pendidikan umum yang Islami tidaklah mudah. Sebab ia menyangkut berbagai aspek yang saling berkait satu sama lain. Usaha yang bisa dilakukan adalah menutupi kelemahan sistem pendidikan umum tersebut dengan pendidikan formal yang mengkhususkan diri dalam bidang agama Islam. Namun sekolah-sekolah yang mengkhususkan diri pada bidang agama pada umumnya memiliki kelemahan-kelemahan pula, antara lain: Pertama, pada umumnya sarana dan fasilitas yang dimiliki jauh ketinggalan jika
5
dibandingkan dengan sekolah umum. Kedua, materi yang diberikan sering sekali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern sehingga alumnusnya tidak mampu memecahkan problema aktual yang melanda masyarakat. Memperbaiki sistem pendidikan pada sekolah-sekolah umum dan agama adalah jalan keluarnya, namun ini juga hal yang sulit dilakukan, karena peranan pemerintah dalam hal ini sangat besar. Tidak bisa tidak, bahwa pendidikan non formal bagi masyarakat Islam dengan menjadikan mesjid sebagai wahananya harus digalakkan, sebab — seperti yang telah disinggung di atas— demokrasi pendidikannya sangat tinggi. Sungguh, apabila fungsi mesjid dapat direstorasi sebagaimana pada masa Rasulullah dan sahabat, maka tidak bisa tidak, masyarakat Islam yang dinamis dan fungsional akan tercapai. Selain bidang-bidang keagamaan, bidang-bidang lain yang penting untuk diberikan pada pendidikan non formal di mesjid ini adalah bahasa Arab dan keterampilan. Bahasa Arab penting bukan saja karena bahasa Arab merupakan bahasa yang digunakan dalam Alqur’an dan Hadits serta merupakan alat untuk menggali warisan-warisan intelektual Islam, namun juga untuk hubungan internasional antara umat Islam, sehingga mereka saling mengetahui keadaan masingmasing saudaranya. Dengan demikian diharapkan dapat mengukuhkan persatuan dan kesatuan umat Islam. Bidang keterampilan juga penting diberikan kepada jamaah mengingat bahwa pasaran kerja menghendaki seseorang untuk memiliki keterampilan khusus, seperti komputer dan management. Diharapkan pula dengan keterampilan yang dimiliki, para jamaah mesjid bukan saja mampu memasuki dunia pasaran kerja tetapi juga mampu menciptakan lapangan kerja. Untuk ini, salah satu hal yang dapat ditempuh oleh badan kenaziran mesjid adalah dengan bekerjasama dengan Balai Latihan Kerja maupun organisasi-organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat. Untuk mencapai ini semua diperlukan pemimpin dan pengurus mesjid yang beraktifitas tinggi, berwawasan luas, berdedikasi tinggi, dan memiliki pengendalian emosi yang tinggi.
6
Kendala dalam hal ini adalah, keuangan mesjid — yang pada umumnya diperoleh dari infaq jamaah — belum mampu untuk menggaji nadzir mesjid yang berkualitas sebagaimana tuntutan di atas. Sayangnya banyak pula mesjid-mesjid yang kemampuan finansialnya sangat tinggi terjebak pada pembangunan fisik mesjid. Dalam hal ini perlu kembali direnungkan Sabda Rasulullah saw.: “Tidak akan datang kiamat (bagi umat Islam) hingga orang-orang bermegah-megah dengan mesjid” (HR. Ahmad, Abud Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibnu Majah, dari Anas ra). Dan lebih sangat disayangkan mesjid-mesjid yang kemampuan finansialnya tinggi tersebut tidak menyalurkan dana yang ada padanya kepada mesjid-mesjid yang kemampuan finansialnya masih rendah atau sangat rendah. Atau dengan kata lain, pemerataan ekonomi antar mesjid belum tercapai. Hal ini disebabkan karena setiap pengurus dan jamaah suatu mesjid merasa bahwa kemakmuran mesjid yang lain bukanlah tanggung jawab mereka. Padahal, kesejahteraan seluruh umat Islam adalah tanggung jawab setiap pribadi Muslim tanpa mengenal batas wilayah, suku, bangsa, apalagi... perbedaan mesjid.
7