BAB I LAPORAN KASUS 1.1 Identitas Pasien Nama
: An. I.W
No. DM
: 45 77 97
Umur
: 3 bulan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: KP
Suku Bangsa
: Papua
Alamat
: Kotaraja
Pekerjaan Ayah
: Swasta
Pekerjaan Ibu
: IRT
Pendidikan
:-
Tanggal MRS
: 05 Maret 2019
1.2 Anamnesis : Anamnesis dilakukan secara heteroanamnesis (Ibu angkat pasien).
Keluhan Utama : Sesak Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang diantar oleh orang tua ke IGD RSUD Jayapura dengan keluahn sesak napas. Sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam yang cukup tinggi, dirasakan terus menerus dan turun ketika diberi obat penurun panas, demam tidak disertai dengan kejang, penurunan kesadaran, mimisan, gusi berdarah, mual, muntah maupun diare. Pada satu minggu sebelum masuk Rumah sakit pasien juga mengalami keluhan batuk disertai dengan dahak warna hijau kekuningan. Namun dahak sulit untuk dikeluarkan dan terutama dan pasien juga bernapas dengan cepat terutama bila batuk memberat. Kemudian, dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien sesak napas sehingga pasien dibawa berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat berupa penurun panas serta dilakukan terapi uap.
Selain mendapakan terapi uap sesak napas sedikit berkurang. Namun, 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien kembali sesak dan yang semakin lama terlihat semakin bertambah berat. Sesak tidak dipengaruhi cucuaca maupun aktivitas dan tidak disertai adanya suara napas yang berbunyi mengi atau menggorok, juga tidak disertai adanya bengkak pada kelopak mata atau kedua tungkai. Riwayat tersedak sebelum timbul sesak napas tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama ada. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluahan.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batuknya. Lalu keluarga pasien tidak membawa pasien untuk control lagi, dan akhirnnya sakit pasien memberat dan di bawa ke UGD RSUD jayapura.
Riwayat Imunisasi Riwayat imunisasi dasar : pasien tidak di imunisasi
Riwayat Kehamilan Ibu Kehamilan ini merupakan kehamilan ke-2 sebelumnya semua persalinan secara spontan. Pemeriksaan antenatal care tidak teratur. HPHT tidak diketahui. Diketahui ibu dengan HIV/AIDS (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat korioamnionitis disangkal.
Riwayat Persalinan Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Berdasarkan rekam medic pasien.
Riwayat Keluarga -
Ibu kandung pasien HIV/AIDS (+)
-
Tidak ada yang sakit sama seperti pasien
Riwayat Sosial Pasien tinggal bersama kedua orang tua angkat pasien sejak lahir.
1.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
: Tampak Lemas
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital
: Nadi: 148 x/menit, reguler, tegangan cukup, kuat angkat; Respirasi 60 x/menit; Suhu badan 37,9oC, SpO2 90%.
Berat Badan
: 4,5 kg
Panjang Badan
: 57 cm
- Status Generalis 1. Kepala Normosefal, ubun – ubun normal Mata cowong (-./-), Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikerik (-/-), edema palpebra (-/-) Pernapasan cuping hidung (+/+) Mulut: o Mukosa bibir lembab (+), sianosis (-) o Oral candidiasis (+) o Stomatitis daerah ujung lidah (-) o Perdarahan gusi (-) o Faring hiperemis (-/-) o Tonsil T1/T1, hiperemis (-/-) Telinga: o Sekret (-/-), lesi (-/-) 2. Leher : Pembesaran KGB regio colli (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar tiroid (-) 3. Pulmo : Inspeksi :Simetris bilateral, ikut gerak napas, retraksi (+) interkostalis, jejas (-) Palpasi : sulit dievaluasi Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara napas bronkovesikuler (+/+); Rhonki (+/+) basah halus; Wheezing (+/+) ekspirasi 4. Cor Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-) 5. Abdomen Inspeksi: Datar (+) Auskultasi: bising usus (+) Normal Palpasi: supel, nyeri tekan (-) regio epigastrium, hepar - lien (tidak teraba besar), turgor kembali cepat (+) normal Perkusi: timpani 6.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 3”, petekie (-), edema (-), anemis (-), sianosis (-), Ikterus (-), nodul (-)
7. Status Gizi berdasarkan indeks BB/Umur BB = 4,5 kg PB = 57 Kategori status gizi pasien = Gizi Kurang Pemeriksaan Laboratorium tanggal 05/03/2019 : HEMATOLOGI: -
WBC: 17.590 uL
-
Hb: 8.7 g/dL
-
PLT: 108.000 uL
-
HCT: 27.2 %
-
DDR : Negatif
HITUNG JENIS LEUKOSIT: -
Sel Basofil: 0.2%
-
Sel Eosinofil: 0.2%
-
Sel Neutrofil: 37.3%
-
Sel Limfosit: 47.7%
-
Sel Monosit: 14.6%
-
PCR DNA : tidak dilakukan
-
PCR RNA : tidak dilakukan
Pemeriksaan Radiologi : -
Rongent Thoraks tidak dilakukan
1.4 Diagnosis Kerja Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, pasien didiagnosis dengan Dyspnue ec Bronkopneumonia Berat + BIHA
1.5 Diagnosis Banding Asma bronchial Bronkilitis PCP
1.6 Penatalaksanaan 1. Perencanaan Terapi O2 nasal 2 lpm IVFD D5 ¼ NS 16 tpm mikro Injeksi Cefotaxime 3 x 160 mg Injeksi Gentamicin 1 x 24mg Injeksi Dexamethason 3x 0,8 mg Kebutuhan cairan 4,5 x 100 = 450 cc/24 jam6 tpm makro 2. Rawat Inap untuk observasi lebih lanjut di HCU
1.7 Prognosis Quo ad vitam
: dubia
Quo ad functionam
: dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: dubia
1.8 FOLLOW UP Tanggal
Subjective
06/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Objective
Assessment
Planing
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
Batuk (+)
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 16 tpm
Demam (-)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
BIHA
-Inj. Cefotaxime 3 x
Compos mentis
-
TTV: N: 120,
160 mg/iv (H2)
RR: 52, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H2)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H2)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 5cc
getah bening (-) Thorakx: Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(+) interkostal minimal,
suprasternal. Suara nafas bronkovesikule r, Rhonki (+/+) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis () 07/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
Batuk (+)
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 16 tpm
Demam (-)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
BIHA
-Inj. Cefotaxime 3 x
Compos mentis
-
TTV: N: 120,
160 mg/iv (H3)
RR: 44, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H3)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H3)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 10cc
getah bening (-) Thorakx: Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(+) interkostal minimal, suprasternal. Suara nafas bronkovesikule r, Rhonki (+/+) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis () 08/03/2019 Sesak (+) (HCU)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- O2 Nasal 2 lpm
berkurang
Tampak lemah
Bronkopneumo
- IVFD ¼ NS 12 tpm
Batuk (+)
Kesadaran:
nia Berat
(mikro)
berkurang
Compos mentis
BIHA
-Inj. Cefotaxime 3 x
-
Demam (-)
TTV: N: 110,
160 mg/iv (H4)
RR: 38, SB:
-Inj. Gentamicin 1 x
36.9, Spo2:98%
24 mg/iv (H4)
dengan O2 2
-Inj. Dexamethasone
lpm
3 x 0.8 mg (H4)
Kepala:
-Nebu Combivent 1R
Normochepal,
+ Nacl 0.9% 3cc/
OC (+)
8jam
Leher:
-Enistin 3 x 1cc
pembesaran
-Minum 8 x 20cc
getah bening (-)
-Acc pindah kamar
Thorakx:
Bayi
Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(-). Suara nafas bronkovesikuler, Rhonki (-/-) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen: Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”.
Kulit: sianosis () 09/03/2019 Sesak (-) (K.bayi)
Keadaan umum: -
Dispnue ec
- IVFD ¼ NS 10 tpm
berkurang
Tampak lemah
Bronkopneumo
(mikro)
Batuk (+)
Kesadaran:
nia Berat
-Inj. Cefotaxime 3 x
berkurang
Compos mentis
BIHA
160 mg/iv (H5)
Demam (-)
TTV: N: 125,
-Inj. Gentamicin 1 x
RR: 28, SB:
24 mg/iv (H5)
36.9, Spo2:98%
-Inj. Dexamethasone
dengan O2 2
3 x 0.8 mg (Stop)
lpm
-Nebu Combivent 1R
Kepala:
+ Nacl 0.9% 3cc/
Normochepal,
8jam
OC (-)
-Enistin 3 x 1cc
Leher:
-Cotrimoxazole syr 1
pembesaran
x ½ Cth
getah bening (-)
-Minum 8 x 30-40cc
Thorakx:
-Pulang
Simetris kiri=kanan Pulmo: Retraksi(-). Suara nafas bronkovesikuler, Rhonki (-/-) Whezing (+/+) Sonor (+) Cor : BJ I-II reguler (+) Abdomen:
-
Datar, BU (+)↑, Tympani Eksteremitas : Akral hangat, CRT <2”. Kulit: sianosis ()
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Apakah diagnosis Sudah tepat pada kasus ini? Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. Bronkopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G. Bare, 1993). Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut, retraksi sela iga.
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki
dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 23 minggu. Diagnosis 1. Anamnesis Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah. 2. Pemeriksaan Fisik Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi. Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut : Pemeriksaan
Bakteri
Virus
Mikoplasma
Umur
Berapapun, bayi
Berapapun
Usia sekolah
Awitan
Mendadak
Perlahan
Tidak nyata
Sakit serumah
Tidak
Ya, bersamaan
Ya, berselang
Batuk
Produktif
Nonproduktif
Kering
Gejala penyerta
Toksik
Mialgia, ruam,
Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa
tenggorok
Klinis < temuan
Anamnesis
Fisik Keadaan umum
Klinis > temuan
Klinis ≤ temuan
Demam
Umumnya ≥ 39ºC
Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi
Ronkhi ±, suara
Ronkhi bilateral,
Ronkhi unilateral,
Napas melemah
Difus, mengi
mengi.
Takipneu berdasarkan WHO: a. Usia < 2 bulan
: ≥ 60 x/menit
b. Usia 2-12 bulan
: ≥ 50 x/menit
c. Usia 1-5 tahun
: ≥ 40 x/menit
d. Usia 6-12 tahun
: ≥ 28 x/menit
3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil. 4. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan radiologis Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru kanan
Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia. b. C-Reactive Protein Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.
c. Uji serologis Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis. d. Pemeriksaan mikrobiologi Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus. KRITERIA DIAGNOSIS Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini : a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada b. panas badan c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles) d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)
Pada kasus di diagnosis dyspnue ec bronkopneumoni berat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang di temukan pada pasien. Pasien merupakan seorang bayi laki-laki berusia 3 bulan dengan berat badan 4,5 kg, Pasien datang diantar oleh orang tua ke IGD RSUD Jayapura dengan keluahn sesak napas. Sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami demam yang cukup tinggi, dirasakan terus menerus dan turun ketika diberi obat penurun panas, demam tidak disertai dengan kejang, penurunan kesadaran, mimisan, gusi berdarah, mual, muntah maupun diare. Pada satu minggu sebelum masuk Rumah sakit pasien juga mengalami keluhan batuk disertai dengan dahak warna hijau kekuningan. Namun dahak sulit untuk dikeluarkan dan terutama dan pasien juga bernapas dengan cepat terutama bila batuk memberat. Kemudian, dua hari sebelum masuk rumah sakit pasien sesak napas sehingga pasien dibawa berobat ke puskesmas dan mendapatkan obat berupa penurun panas serta dilakukan terapi uap.
Selain mendapakan terapi uap sesak napas sedikit berkurang. Namun, 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien kembali sesak dan yang semakin lama terlihat semakin bertambah berat. Sesak tidak dipengaruhi cucuaca maupun aktivitas dan tidak disertai adanya suara napas yang berbunyi mengi atau menggorok, juga tidak disertai adanya bengkak pada kelopak mata atau kedua tungkai. Riwayat tersedak sebelum timbul sesak napas tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita batuk lama ada. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluahan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tidak tampak sianois pada daerah bibir saat terjadi serangan sesak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu badan (37,9) disertai peningkatan respirasi (60 x/m) dan penurunan saturasi oksigen (90%). Pemeriksaan fisik lain juga ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal pada dinding dada serta pada auskultasi didapatka Rhonki basah halus dan wheezing pada kedua lapang paru. Pada pemeriksaan penunjang pemeriksaan laboratorium ditemukan WBC: 17.590 uL dan sayang tidak dilakukan pemeriksaan radiologi pada pasien ini. Pasien ini didiagnosis berdasarkan temuan klinis dan anamnesa pasien didiagnosis Bronkopneumoni sesusai dengan tinjauan pustaka pada Buku Ajar Respirologi Anak terbitan (IDAI) 2015. Pada pasien didapatkan adanya keluahan berkeringat malam, namun keluahan lain dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan tidak ditemukan bukti adanya infeksi Tuberkulusis (Uji Tuberkulin (-), skoring TB <6) sehingga infeksi tuberculosis paru sebagai diagnose banding disingkirkan. Begitu juga dengan kemungkinan ganggua traktus respiratorius lainnya yang dapat menyebabkan gejala sesak seperti, asma bronkial, diagnosa ini ddisingkirkan karena kasus tidak memenuhi kriteria asma, misalnya adanya riwayat atopi pasien atau keluarga. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan
fisik
dan
pemeriksaan
penunjang
diagnosi
dyspnue
ec
bronkopneumonia sudah tepat berdasarkan teori.
Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan pertimbangan beberapa faktor yang lebih menitik beratkan pada manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik, karena faktor lainnya hanya ditemukan bukti-bukti yang tidak spesifik, seperti pada pemeriksaan laboratorium dan radiologi. Manifestasi klinis harus didukung beberapa anamnesis yang memperkuat diagnosis penyakit ini terhadap penyakit lain yang serupa.
Beberapa hasil penelitian menyatakan, bahwa diagnosis bronkiolitis virus diperoleh dari : 1. Gambaran/gejala klinis 2. Usia anak 3. Epidemi RSV di masyarakat terutama di RS melalui petugas perawatan sebagai sumber penularan pada bayi. Gejala klinis bronkiolitis harus dibedakan dengan asma yang kadang-kadang juga timbul pada usia muda. Anak dengan asma akan memberikan respons terhadap pengobatan dengan bronkodilator, sedangkan anak dengan bronkiolitis tidak. Bronkiolitis juga harus dibedakan dengan bronkopneumonia yang disertai emfisema obstruksi dan gagal jantung. Anamnesis Gejala awal berupa gejala infeksi saluran nafas atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk, dan demam. Satu hingga dua hari kemudian timbul batuk yang disertain dengan sesak napas. Selanjutnya dapat ditemukan wheezing, sianosis, merintih (grunting), napas berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipnea, takikardi, dan peningkatan suhu di atas 38,5oC. Selain itu, dapat juga ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. Obstruksi saluran nafas bawah akibat respons inflamasi akut akan menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan nafas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi, dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia <6 minggu. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisis gas darah (AGD) diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan ventilator mekanik. Pada foto rontgen thoraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat (patchy infiltrates), tapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan gambaran atelektasis, terutama pada
saat konvalesens akibat sekret pekat bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diagfragma datar, dan peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluoresence assay dan ELISA), atau polymerase chain reaction (PCR), dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalenses. Bronkiolitis merupakan diagnosa banding yang paling mungkin pada kasus ini namun dapat di singkirkan karena ada beberapa alasan, yaitu berdasarkan anamnesa, bukan merupakan keluahan yang pertama kali, sedangkan pada bronkiolitis secara klinis akan di tandai dengan episode pertama wheezing pada bayi. Dari klinis dan pemeriksaan fisiknya yang lebih menonjol pada kasus ini adalah Rhonki dan demam pada brokiolitis umumnya berdasarkan buku ajar respirolgi (IDAI) 2015. Pada brokiolitis ada peningkatan suhu diatas 38,5 ‘C, sedang pada kasus peningkatan suhu di dapatkan 37,9’C, dan pada pemeriksaan peunjang laboratorium Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya normal pada bronkiolitis dan pada kasus di temukan leukosit tinggi yaitu 17.590 uL. sehingga bronkiolitis sebagai diagnose banding dapat disingkirkan. Sayangnya pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seprti foto thorax untuk lebih menunjang diagnosis pada kasus ini. Untuk diagnosis BIHA pada kasus ini didapatkan dari heteroanamnesis pada kasus didapatkan bahwa bahwa pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batunya. Dari riwayat imunisasi dasar pasien tidak pernah mendapat imunisasi. Dan dari riwayat kehamilan ibu pasien tidak melakukan Pemeriksaan antenatal care secara teratur. Diketahui ibu pasien dengan B20 (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat Persalinan pasien didapatkan data Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Dari anamnesa yang didapatkan sesuai dengan berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok). Berdasarkan Teori batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. Untuk selanjutnya bayi disebut BIHA (bayi dari ibu dengan HIV/AIDS). Terminologi BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedik, pekarya, diberi tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan BIHA. Tidak ada tanda-tanda spesifik HIV yang dapat ditemukan pada saat lahir. Bila terinfeksi pada saat peripartum, tanda klinis dapat ditemukan pada umur 2-6 minggu setelah lahir. Tetapi tes antibodi baru dapat dideteksi pada umur 18 bulan untuk menentukan status HIV bayi. Semua bayi yang terlahir dari Ibu resiko HIV termasuk ibu yang berasal dari daerah tinggi kejadian HIV, pengguna obat terlarang, pasangan biseksual, adalah termasuk bayi beresiko terjangkit HIV. Beberapa mekanisme masuknya virus ke bayi termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan cairan tubuh yang terkena infeksi, kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko transmisi virus ke bayi besar apabila penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+ rendah, viral load tinggi (antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui plasenta dibuktikan dengan adanya biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan jaringan janin lahir mati pada trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal dihubungkan adanya ketuban pecah dini empat jam sebelum lahir secara spontan, tindakan invasif, dan adanya chorioamnionitis. Transmisi dapat secara seksual, parenteral dan kongenital, perinatal. Resiko tercemar HIV pada Transfusi darah adalah 1 : 225.000 unit transfusi. Skrining saat ini condong kurang dilakukan,padahal penderita baru walau mengalami viremia, menunjukkan sero negatif untuk 2 sampai 4 bulan atau 5-15%.2 Penegakan Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan: 1. Dugaan infeksi HIV, gejala klinik, resiko penularan di daerah yang banyak ditemukan.
2. Tes serologi darah HIV 3. Pembuktian virus HIV dalam darah, karena pada bayi masih terdapat antibodi HIV ibu yang menetap sampai 18 bulan. Tes Diagnostik Untuk Infeksi HIV Pada Bayi 1. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya. 2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV RNA positif, BIHA positif terkena HIV. Pengujian virologi pada awal kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal, atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat diidentifikasi dari usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu. Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin), sedangkan bayi yang memiliki tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum).14 3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700-1000/ml). 4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viral load HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai
tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma. Pada kasus di diagnosis BIHA berdasarkan Anamnesis yang didapatkan bahwa bahwa pasien sudah batuk sejak usia 7 hari setelah lahir, selama sebulan pasien batuk terus menerus, dan tiap kali batuk pasien di bawa ke dokter praktek untuk mendapatkan obat. Namun 3 kali berobat dengan keluhan yang sama, tidak ada perubahan terhdap batunya. Dari riwayat imunisasi dasar pasien tidak pernah mendapat imunisasi. Dan dari riwayat kehamilan ibu pasien tidak melakukan Pemeriksaan antenatal care secara teratur. Diketahui ibu pasien dengan B20 (+), dalam pengobatan ARV tidak diketahui. Riwayat Persalinan pasien didapatkan data Bayi lahir pada tanggal 15/11/2018 secara spontan per vaginam dengan berat lahir 1750 gr, panjang 40 cm, dengan air ketuban jernih. Apgar score 5/7, dengan riwayat lahir kurang bulan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan juga oral candidiasis. Yang mana (keluhan, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga/ Ibu kandung) dan klinis pasien didiagnosa BIHA (Bayi dengan Ibu HIV/ AIDS). BIHA merupakan terminology yang dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedis, diberi tanda stiker merah pada catatan medicc, alat suntik, obat, dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Berdasakan teori anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus sudah tepat diagnosis dengan BIHA berdasarkan temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sayangnya pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan PCR HIV DNA-RNA untuk lebih menegakan diagnosis BIHA pada kasus ini. 2.2 Apakah tatalaksana pada kasus ini sudah tepat? Penatalaksanaan pada kasus diberikan: Perencanaan Terapi: O2 nasal 2 lpm IVFD D5 ¼ NS 16 tpm mikro Injeksi Cefotaxime 160 mg/ 8 jam Injeksi Gentamicin 1 x 24mg Injeksi Dexamethason 0,8 mg/ 8 jam Cotrimoxazole syr 1 x ½ Cth
Kebutuhan cairan 4,5 x 100 = 450 cc/24 jam6 tpm makro
Berdasarkan teori tatalaksanan bronkopneumonia, bronkiolitis dan BIHA adalah sebagai berikut: a. Bronkopneumonia Penatalaksaan umum -
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
-
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
-
Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
Penatalaksanaan khusus -
mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita kelainan jantung
-
pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi klinis Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari). Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis b. Berat ringan penyakit c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari Antibiotik : Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok usia. a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) : -
ampicillin + aminoglikosid
-
amoksisillin-asam klavulanat
-
amoksisillin + aminoglikosid
-
sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn) -
beta laktam amoksisillin
-
amoksisillin-amoksisillin klavulanat
-
golongan sefalosporin
-
kotrimoksazol
-
makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn) -
amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
-
tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun) Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif). b. Bronkiolitis Penatalaksanaan Anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan kelembaban udara yang tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (‘mist-tent’), tujuannya untuk mencairkan sekret bronkus yang liat dan mengatasi hipoksemia. Prinsip pengobatan di rumah sakit meliputi beberapa hal, yaitu : 1.
Suportif a. Pemberian oksigen untuk mengatasi hipoksemia, apnea, dan kegagalan pernafasan. Diberikan 1 - 2 l/menit. b. Pengaturan suhu tubuh. c. Pencairan lendir yang lengket. d. Ketepatan pemberian cairan intravena, sebagai penghindaran terhadap dehidrasi yang timbul akibat takipnea atau asidosis respiratorik. Diberikan : Neonatus D 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1, + KCl 1-2 mEq/kg BB/hari
Bayi > 1 bulan : D 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan. e. Posisi nyaman dengan duduk posisi kemiringan 30-40 atau leher pada posisi ekstensi. 2.
Pemberian kortikosteroid (masih kontroversial). Penelitian tentang pemakaian kortikosteroid, awalnya memberikan hasil yang baik terhadap angka kesakitan dan angka kematian penderita bronkiolitis. Walaupun akhir-akhir ini didapatkan hasil justru klinis semakin memberat. Sebagai terapi paliatif dan efek anti anflamasinya, kortikosteroid dapat menimbulkan masking effect.
3.
Antibiotik diberikan apabila tersangka ada infeksi bakterial dan sebaiknya dipilih yang mempunyai spektrum luas. Bila dicurigai mycoplasma pneumoniae sebagai penyebabnya, obat yang terpilih ialah eritromisin.
4.
Sedativa merupakan kontraindikasi pada penyakit bronkiolitis karena dapat menyebabkan depresi pernafasan.
5.
Tidak dianjurkan pemberian bronkodilator karena dapat memperberat keadaan anak yaitu dengan peningkatan curah jantung dan kegelisahan anak.
6.
Pemberian anti virus seperti ribavirin memperlihatkan hasil yang memuaskan, karena ribavirin menghambat sintesis protein virus. Namun sampai sekarang pemakaian anti virus belum banyak diberikan pada penderita. Indikasi pengobatan ini adalah bayi resiko tinggi, diplasia bronkopulmonar, infeksi paru kronis, defisiensi iminologi, penyakit jantung kongenital
c. BIHA Manajemen Umum 1. Bayi yang dilahirkan ibu dengan HIV positif maka : a. Hormati kerahasiaan ibu dan keluarganya, dan lakukan konseling pada keluarga; b. Rawat bayi seperti bayi yang lain, dan perhatian khususnya pada pencegahan infeksi; c. Bayi tetap diberi imunisasi rutin, ada senter yang tidak langsung memberi BCG; d. Bila terdapat tanda klinis defisiensi imun yang berat, jangan diberi vaksin hidup (BCG, OPV, Campak, MMR). Pada waktu pulang, periksa DL, hitung Lymphosit T, serologi anti HIV, PCR DNA/RNA HIV. 2. Beri dukungan mental pada orang tuanya
3. Anjurkan suaminya memakai kondom, untuk pencegahan penularan infeksi Manajemen Khusus Bayi dengan infeksi HIV mempunyai jumlah virus yang tinggi dan akan menurun seiring dengan meningkatnya imunologinya. Saran dari beberapa senter di AS, terapi pada satu tahun pertama untuk anak yang dicurigai HIV, diharapkan tumbuh imunologi secara normal, karena bila terapi menunggu umur lebih dari satu tahun berdasarkan jumlah CD4+ dan Load Virus maka hal ini dikatakan kurang spesifik. Pengobatan harus dimulai pada bayi yang menunjukkan gejala simtomatis atau yang menunjukkan jumlah sel CD4+ yang rendah, tanpa melihat umur.
Terapi Anti Retrovirus Tanpa pemberian Antiretrovirus, 25% bayi dengan ibu HIV positif akan tertular sebelum dilahirkan atau pada waktu lahir, dan 15% tertular melalui ASI : a.
Tentukan apakah ibu sedang mendapat pengobatan Antiretrovirus untuk HIV, atau mendapatkan pengobatan antiretroviral untuk mencegah transmisi dari ibu ke bayinya. Tujuan pemberian Antiretroviral terapi adalah untuk menekan HIV viral load sampai tidak terdeteksi dan mempertahankan jumlah CD4+ sel sampai mencapai lebih dari 25%.
b.
Kelola bayi dan ibu sesuai dengan protokol dan kebijakan yang ada, tujuannya untuk Profilaksis : -
Bila ibu sudah mendapat ARV(Antiretrovirus) atau Zidovudine (AZT) 4 minggu sebelum melahirkan, maka setelah lahir bayi diberi AZT 2 mg/kg berat badan per oral tiap 6 jam selama 6 minggu, dimulai sejak bayi umur 12 jam. Hal ini dapat mengurangi resiko terjadinya HIV dari 25% menjadi 8%.
-
Bila ibu sudah mendapat Nevirapine (NVP) dosis tunggal selama proses persalinan dan bayi masih berumur kurang dari 3 hari, segera beri bayi Nevirapine dalam suspensi 2 mg/kg berat badan secara oral masa usia 48-72 jam dosis tunggal.
-
Untuk mencegah PCP, berikan TMP 2,5 mg/kgBB 2x sehari, pemberian 3 kali seminggu, diberikan sejak bayi umur 6 minggu sampai diagnosis HIV dapat disangkal, karena peak onset PCP adalah pada umur 3-9 bulan.
-
Jadwalkan pemeriksaan tindak lanjut dalam 2 minggu untuk menilai masalah pemberian minum dan pertumbuhan bayi (lihat Pemeriksaan Tindak Lanjut).
Pemberian Minum Penularan HIV-1 dapat terjadi dari konsumsi susu ASI dari perempuan yang terinfeksi
HIV.
Di
Amerika
Serikat
dan
Kanada,
di
mana
formula bayi aman dan tersedia, seorang yang ibu terinfeksi harus disarankan untuk tidak menyusui bahkan jika dia menerima ART (terapi anti Retrovirus). Menghindari secara total untuk menyusui (dan susu sumbangan) oleh perempuan yang terinfeksi HIV tetap menjadi satu-satunya mekanisme dimana pencegahan
penularan HIV
melalui ASI dapat dipastikan. Salah satu rekomendasi Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi.17 AFASS merupakan kepanjangan dari: A : ACCEPTABLE
: mudah diterima
F : FEASIBLE
: mudah dilakukan
A : AFFORDABLE
: terjangkau
S : SUSTAINABLE
: berkelanjutan
S : SAFE
: aman penggunaannya
Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan
susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman. Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui dengan belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (mother-to-child transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.
Kategori
Faktor risiko
Durasi menyusui
Durasi yang lebih lama
Karakteristik Ibu
Umur muda Paritas tinggi CD4+ yang rendah Viral load darah perifer yang tinggi Abnormalitas payudara (abses payudara, mastitis, nipple lesions)
Karakteristik bayi
Candidiasis oral
Karakteristik ASI /human Viral load yang tinggi milk
Konsentrasi substansi antiviral yang rendah (contoh: lactoferin, lysozyme, SLPI, epidermal growth factor) Konsentrasi limfosit T spesifik-virus sitotoksik Sekkresi IgA yang rendah IgM yang rendah Mixed breastfeeding
ASI eksklusif Tabel 1. Faktor Risiko Potensial untuk Transmisi HIV-1 melalui ASI
Dikarenakan penularan HIV-1 melalui proses menyusui selalu ada terjadi, dan karena menghindari proses menyusui adalah sulit dilakukan dalam banyak situasi tertentu, maka penting untuk mengidentifikasi faktor risiko guna merancang rencana intervensi untuk mencegah transmisi sesuai dengan faktor risiko. Lakukan konseling pada ibu tentang pilihan pemberian minum kepada bayinya. a. Hargai dan dukunglah apapun pilihan ibu. Ijinkan ibu untuk membuat pernyataan sendiri tentang pilihan yang terbaik untuk bayinya. b. Terangkan kepada ibu bahwa menyusui dapat berisiko menularkan infeksi HIV. Meskipun demikian, pemberian susu formula dapat meningkatkan risiko kesakitan dan kematian, khususnya bila pemberian susu formula tidak diberikan secara aman karena keterbatasan fasilitas air untuk mempersiapkan atau karena tidak terjamin ketersediaannya oleh keluarga. c. Terangkan pada Ibu tentang untung dan rugi pilihan cara pemberian minum susu formula. Susu dapat diberikan bila mudah didapat, dapat dijaga kebersihannya dan selalu dapat tersedia. d. Dalam beberapa situasi, kemungkinan lain adalah untung dan rugi pilihan cara pemberian minum ASI : -
Memeras ASI dan menghangatkannya waktu akan diberikan;
-
Pemberian ASI oleh ibu susuan (”Wet Nursing”) yang jelas HIV negatif;
-
Memberi ASI peras dari Ibu dengan HIV negatif.
e. Bantu ibu menilai kondisinya dan putuskan mana pilihan yang terbaik, dan dukunglah pilihannya. -
Bila ibu memilih untuk memberikan susu formula atau menyusui, berikan petunjuk khusus (lihat bawah). Untuk Pemberian susu formula : Ajari ibu cara mempersiapkan dan memberikan susu formula dengan menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum. Anjurkan ibu untuk memberi susu formula 8 kali sehari, dan beri lagi apabila bayi menginginkan.
Beri ibu petunjuk secara tertulis cara mempersiapkan susu formula. Jelaskan mengenai risiko memberi susu formula dan cara menghindarinya. -
ASI Eksklusif dapat segera dihentikan bila susu formula sudah dapat disediakan. Hentikan ASI pada saat memberikan susu formula;
-
Rekomendasi yang biasa diberikan adalah memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan, kemudian dilanjutkan ASI ditambah makanan padat setelah umur 6 bulan.
-
Bayi akan diare apabila tangan ibu, air atau alat-alat yang digunakan tidak bersih dan steril, atau bila susu yang disediakan terlalu lama tidak diminumkan;
-
Bayi tidak akan tumbuh baik apabila : Jumlah tiap kali minum terlalu sedikit; Frekuensi pemberiannya terlalu sedikit; Susu formula terlalu encer; Bayi mengalami diare.
f. Nasihati ibu untuk mengamati apakah terdapat tanda bahaya pada bayinya, seperti : -
Minum kurang dari 6 kali dalam sehari atau minum hanya sedikit ;
-
Diare;
-
Berat badan sulit naik.
g. Nasihati ibu untuk melakukan kunjungan tindak lanjut : -
Kunjungan rutin untuk memonitor pertumbuhan;
-
Memberi dukungan cara-cara menyiapkan formula yang aman;
-
Nasihati ibu untuk membawa bayinya bila sewaktu-waktu ditemukan tanda bahaya
h. Apapun pilihan ibu, berilah petunjuk khusus : -
Apabila memberikan susu formula, jelaskan bahwa selama 2 tahun ibu harus menyediakannya termasuk makanan pendamping ASI;
-
Bila tidak dapat menyediakan susu formula, sebagai alternatif diberikan ASI secara eklusif dan segera dihentikan setelah tersedia susu formula;
-
Semua bayi yang mendapatkan susu formula, perlu dilakukan tindak lanjut dan beri dukungan kepada ibu cara menyediakan susu formula dengan benar.
-
Jangan memberikan minuman kombinasi (misal selang-seling antara susu hewani, bubur buatan, susu formula, disamping pemberian ASI), karena risiko terjadinya infeksi lebih tinggi dari pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Tatalaksana Di Ruang Perawatan Dan Setelah Pulang Pemeriksaan darah PCR DNA/RNA dilakukan pada umur 1, 2, 4, 6 dan 18 bulan. Diagnosis HIV ditegakkan apabila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV POSITIP dua kali berturut selang satu bulan, bila keadaan demikian ditemukan, mulai diberikan pengobatan Antiretrovirus. Koordinasi petugas Kesehatan Rumah Sakit dengan petugas setempat, karena bayi-bayi tersebut rawan untuk terjadinya infeksi. a.
Setelah lahir hari 1
1.) Tidak diberi ASI, berikan susu formula biasa. 2.) Pengobatan profilaksis (a.)
Bila ibu mendapat pengobatan antiretrovirus (ARV) semasa hamil dan intrapartum, AZT diberikan untuk bayi mulai usia 12 jam selama 6 minggu.
(b.)
Bila ibu mendapat pengobatan ARV intrapartum saja, atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk bayi diberi juga nevirapin (NVP) dosis tunggal dalam masa usia 48-72 jam.
(c.)
Dosis ARV untuk bayi sesuaikan dengan Tabel 2.
(d.)
Lapor tim BIHA IKA
Tabel 2. Dosis obat Antiretrovirus
Menurut laporan studi yang dilakukan Connor dkk, pada wanita hamil dengan penyakit HIV bergejala ringan dan tidak ada pengobatan sebelumnya dengan obat antiretroviral selama kehamilan, pemberian obat yang terdiri dari AZT yang diberikan ante partum dan intra partum pada ibu dan bayi baru lahir selama enam minggu mengurangi risiko penularan HIV ibu-bayi dengan sekitar dua pertiga. b. Sebelum bayi dipulangkan 1.) Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit) 2.) Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin polio hidup c. Usia = 4 minggu 1.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Enzim fungsi hati : SGOT/SGPT (b.) PCR DNA/RNA HIV pertama, bila hasil positif langsung konfirmasi dengan PCR RNA 2.) Profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian 6 minggu bila hasil PCR DNA HIV negatif. 3.) Bila PCR RNA positif berarti infeksi HIV, diberi terapi ZDV, 3TC dan NVP 4.) Pengobatan profilaksis Pneumocytis carinii dengan kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan infeksi HIV (-). Dosis lihat tabel 5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA d. Usia 2-4 bulan 1.) Pemeriksaan fisis 1 x per bulan (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA (c.) Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis 2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. e. Usia = 4 bulan 1.) Pemeriksaan laboratorium PCR DNA kedua bila sebelumnya PCR DNA negatif. Bila negatif berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif, langsung dikonfirmasi dengan PCR RNA. Bila PCR RNA konfirmasi positif, berarti terinfeksi HIV, diberikan terapi AZT, 3TC dan NVP. Pemeriksaan lain sesuai indikasi 2.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA f. Usia 6 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistemik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Faal hati : SGOT/SGPT (c.) PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA sebelumnya negatif 3.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA 4.) Bila sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA, periksa serologi HIV dengan 3 reagen yang berbeda. 5.) Bila hasil serologi HIV positif, diulang 1 bulan kemudian untuk konfirmasi. Bila keduanya negatif, maka tidak terinfeksi HIV 6.) Profilaksi kotrimoksasol dihentikan bila 2 kali pemeriksaan PCR negatif, bila salah satu hasil PCR positif, profilaksis diberikan sampai usia 12 bulan g. Usia 12 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang
(b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Serologi antiHIV 3.) Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik: dapat dianggap bukan infeksi HIV. Rencana pemeriksaan serologi anti HIV umur 18 bulan untuk konfirmasi. 4.) Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan 5.) Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi. 6.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. h. Usia 18 bulan 1.) Pemeriksaan fisis (a.) Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh kembang (b.) Bila ada kelainan klinis, rujuk ke Tim BIHA 2.) Pemeriksaan laboratorium (a.) Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit (b.) Serologi anti HIV 3.) Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV 4.) Serologi antiHIV (+) : dianggap infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA untuk pengobatan ARV 5.) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
Gambar 4. Algoritma uji HIV berdasarkan PCR DNA pada bayi dari ibu HIV+. Klasifiikasi Klinis Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Berdasarkan Kategori Klinis 1. Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A 2. Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat dua atau lebih berikut tanpa gejala kategori B dan C a) Limfadenopati (= 0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1 tempat) b) Hepatomegali c) Splenomegali d) Dermatitis e) Parotitis f) Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap 3. Kategori B (gejala klinis sedang)
Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C a) g. Anemia (<8 g/dl), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia (<100.000/mm3) menetap = 30 hari b) Meningitis bacterial, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) c) Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan d) Kardiomiopati e) Infeksi sitomegalovirus dengan onset < usia 1 bulan f) Diare berulang atau kronik g) Hepatitis h) Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun) i) Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia <1tahun j) Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau >1 dermatom k) Leiomiosarkoma l) Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hyperplasia limfoid paru m) Nefropati n) Nokardiosis o) Demam>1 bulan p) Toksoplasmosis dengan onset usia <1 bulan q) Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi) 2. Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B
Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi Berdasarkan Jumlah Dan Persentase Sel T CD4 Menurut Usia Tabel 3 Klasifikasi Infeksi HIV Pada Anak Menurut Kategori Status Imunosupresi dan rekomendasi pengobatan antiretrovirus pada anak
Indikasi pengobatan antiretrovirus pada anak 1.) Diagnosis infeksi HIV (+) 2.) Gejala klinis kategori A, B, C 3.) Imunosupresi kategori 2 atau 3 (Tabel 2) 4.) Semua bayi dengan diagnosis HIV (+) usia <12 bulan 5.) Usia = 1 tahun tanpa gejala klinis (asimtomatik) dan status imun normal a) opsi 1) beri terapi antiretrovirus b) opsi 2) terapi antiretrovirus bila risiko progresivitas klinis tinggi, bila risiko progresivitas rendah lebih baik antiretrovirus ditunda sambil memonitor status klinis, imunitas, dan virology untuk melihat perubahan risiko progresivitas klinis Faktor yang harus dipertimbangkan untuk memulai terapi ARV Pada anak dengan diagnosis infeksi HIV asimtomatik dan status imun normal harus dipertimbangkan : 1.) Jumlah kopi RNA HIV tinggi atau meningkat 2.) Jumlah atau rasio CD4 cepat menurun 3.) Perkembangan gejala klinis cepat Rekomendasi utama antiretrovirus inisial pada anak 1.) Satu inhibitor protease sangat aktif nelfinavir (NFV, Viracept®), atau ritonavir (RTV,Novir®) + dua NRTI 2.) NNRTI efavirenz (EFV, Sustiva TM) + dua NRTI, untuk anak > 3 tahun 3.) Dua NRTI + Nevirapin (NVP) Berdasarkan tatalaksan yang diberikan pada kasus ini sudah tepat sesuai teori, yang mana Berdasarkan diagnosis kasus BIHA dengan infeksi oppurtunistik bronkopneumoni dimana pasien datang dalam keadaan dipsneu sehingga terapi awal yang diberikan adalah untuk menagani dipsneu sebagai kegawatan yaitu dengan pemberian oksigenasi masker 6 liter/ menit dan selanjutnya adalah penanganan terhadap infeksi oppurtunistik yaitu
Bronkopneumoni dengan pemberian antibiotic; cefotaxime dan Gentamicin, dexamethasone, cotrimoxazole dan nebulizer combivent. Sedangkan terapi BIHA diberikan profilaksis cotrimoxazole untuk profilaksis terhadap PCP (pneumocystis carinii) 2 dosis tiga hari berturut- turut setiap minggu.
BAB III KESIMPULAN 1. Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat menjadi penyebab. 2. Bronkiolitis merupakan suatu peradangan bronkiolus yang bersifat akut, menggambarkan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan pernafasan cepat, retraksi dinding dada dan suara pernafasan yang berbunyi. Penyakit ini merupakan penyakit saluran pernafasan bagian bawah yang menggambarkan terjadinya obstruksi pada bronkiolus. 3. Batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis. 4. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tersebut didiagnosis bronkopneumoni, bronkiolitis, dan BIHA 5. Pada pasien tersebut telah dilakukan penanganan yang tepat sesuai dengan Pedoman Tata Laksana masing-masing diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rahajoe Nastiti N, Supriyanto Bambang, dkk. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. Th; 2010.hal; 351-363 2. Rahajoe, Nastiti N., dkk, 2010, Bronkiolitis, dalam Buku Ajar Respirologi, Badan Penerbit IDAI, Jakarta, hal. 333-347. 3. Alsagaff Hood, Mukty H.Abdul.Pneumonia. Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.th ; 2008. Hal ; 193-7 4. Alihbahasa, Tim Adaptasi Indonesia. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten. Jakarta : WHO Indonesia.th;2008. Hal 86-93 5. WHO. 2008. Global Action Plan for Prevention and Control Pneumonia. 6. Behrman, R.E, 2002, Bronkiolitis, dalam Ilmu Kesehatan Anak, ed. 12 bag. 2, alih bahasa Radja M.M, EGC, Jakarta, hal. 614-7. 7. Mansjoer, A., dkk, 2007. Bronkiolitis Akut, dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. ed. Ketiga jilid pertama Media Aesculapius, FK UI, Jakarta, hal. 468-9. 8. Anonim, 2005. Bonkiolitis Akut, dalam Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito, Medika, FK UGM, Yogyakarta, hal. 138-9. 9. Marcdante, dkk, 2013. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi keenam, ElsevierLocal. Jakarta 10. WHO. 2008. Pedoman Penerapan Terapi HIV Pada Anak.