RESPONSI SINDROMA MATA KERING DAN KATARAK SENILIS IMATUR
Pembimbing : dr. Fitrika Wahyu Listari, Sp.M.
Disusun Oleh : Risa Qohardita 201810401011070
SMF ILMU KESEHATAN MATA RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2018
i
LEMBAR PENGESAHAN RESPONSI SINDROMA MATA KERING DAN KATARAK SENILIS IMATUR
Responsi dengan judul “Sindroma Mata Kering dan Katarak Senilis Imatur” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di bagian Ilmu Kesehatan Mata RSU Haji Surabaya.
Surabaya, 29 November 2018 Pembimbing,
dr. Fitrika Wahyu Listari, Sp.M.
ii
KATA PENGANTAR Alhamdulillah, dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa serta berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan responsi dengan judul “Sindroma Mata Kering dan Katarak Senilis Imatur”. Begitu pula Dialah yang menyelaraskan gerakan tangan dan pikiran dalam merangkai huruf menjadi sebuah kata dan berbuah kalimat dalam penulisan responsi ini. Segala sesuatu yang benar dalam responsi ini datangnya dari Allah SWT dan segala kekeliruan dalam penulisan responsi ini datangnya dari diri penulis pribadi. Dalam penyelesaian responsi ini penulis banyak mengalami kesulitan, tetapi berkat dukungan dan bimbingan serta bantuan dari dosen pembimbing dalam rangka penyusunan responsi ini dan dorongan dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan responsi ini tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa responsi ini masih belum sempurna, sehingga masih membutuhkan saran yang membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap responsi ini dapat menjadi wujud ibadah penulis kepada Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Surabaya, 6 November 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i Lembar Pengesahan ...................................................................................... ii Kata Pengantar .............................................................................................. iii Daftar Isi........................................................................................................ iv BAB I STATUS PASIEN ............................................................................ 1 1.1
Identitas Pasien...................................................................... 1
1.2
Anamnesis ............................................................................. 1
1.3
Pemeriksaan .......................................................................... 2
1.4
Daftar Masalah ...................................................................... 4
1.5
Assesment ............................................................................. 4
1.6
Planning ................................................................................ 4
1.7
Monitoring ............................................................................ 5
1.8
Edukasi .................................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 6 2.1 Anatomi Mata ............................................................................... 6 2.2 Anatomi dan Fisiologi Air Mata ................................................... 8 2.3 Sindroma Mata Kering ................................................................. 9 2.3.1 Definisi ................................................................................ 9 2.3.2 Epidemiologi ....................................................................... 9 2.3.3 Klasifikasi ............................................................................ 10 2.3.4 Faktor Resiko ....................................................................... 11 2.3.5 Patofisiologi ......................................................................... 12 2.3.6 Manifestasi Klinis ................................................................ 14 2.3.7 Diagnosis ............................................................................. 15 2.3.7.1 Anamnesis ................................................................ 16 2.3.7.2 Pemeriksaan Slit Lamp ............................................. 16 2.3.7.3 Pemeriksaan Diagnostik .......................................... 18 2.3.8 Derajat Sindroma Mata Kering............................................ 19 2.3.9 Terapi ................................................................................... 20 2.3.10 Komplikasi ........................................................................ 22
iv
2.4 Katarak.......................................................................................... 23 2.4.1 Definisi ................................................................................. 23 2.4.2 Epidemiologi ........................................................................ 23 2.4.3 Etiologi ................................................................................. 23 2.4.4 Klasifikasi Berdasarkan Penyebab ....................................... 24 2.4.5 Klasifikasi Berdasarkan Morfologi ...................................... 25 2.4.6 Klasifikasi Katarak Senilis ................................................... 25 2.4.7 Patofisiologi ......................................................................... 26 2.4.8 Manifestasi Klinis ................................................................ 27 2.4.9 Diagnosis .............................................................................. 28 2.4.10 Penatalaksanaan ................................................................. 28 2.4.11 Komplikasi ......................................................................... 29 BAB III PEMBAHASAN KASUS ............................................................... 30 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 33
v
BAB I STATUS PASIEN RESPONSI KASUS BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSU HAJI SURABAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG Pembimbing : dr. Fitrika Wahyu Listari, Sp.M. Oleh
: Risa Qohardita (201810401011070)
1.1 IDENTITAS PASIEN 1. Nama
: Ny. S
2. Umur
: 69 Tahun
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Alamat
: Surabaya
5. Agama
: Islam
6. Suku
: Jawa
7. Pendidikan
: SLTA
8. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
9. Status
: Menikah
10. Tanggal Pemeriksaan : Kamis, 1 November 2018 1.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis) Keluhan Utama Kedua mata terasa kering Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) Pasien datang ke Poli Mata RSU Haji Surabaya pada hari kamis, 1 November 2018 untuk kontrol mata. Pasien datang dengan keluhan kedua mata terasa kering, keluhan sudah dirasakan sejak lama (pasien lupa sejak kapan). Keluhan disertai terasa seperti ada yang mengganjal, terasa seperti berpasir, dan kadang terasa perih saat beraktivitas seperti membaca atau menonton TV, serta pada pagi hari saat bangun tidur kedua mata terasa lengket. Pasien rutin kontrol ke dokter mata dan rutin memakai obat. Keluhan lain pasien juga mengeluh penglihatan kabur seperti melihat kaca buram, pandangan kabur secara perlahan-lahan sejak lama dan semakin lama semakin memberat, pasien terasa
1
silau bila terkena cahaya terutama pada malam hari. Keluhan lain (-), ngeres/nrocoh (-), keluar secret (-), mata merah (-), gatal (-), jalan nabraknabrak (-). Pasien memakai kacamata. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) -
HT (+) (mulai kapan pasien lupa), rutin kontrol ke dokter penyakit dalam
-
DM (+) (mulai kapan pasien lupa), rutin kontrol ke dokter penyakit dalam
-
Penyakit jantung (+), rutin kontrol ke dokter jantung
-
Riwayat operasi Dacryocystorhinostomy (+) di RS dr Soetomo (Pasien lupa tahun berapa)
-
Pasien pernah tes schirmer di RS dr Soetomo (hasil < 10mm) (Pasien lupa tahun berapa)
-
Riwayat trauma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) HT (-), DM (+), Katarak (-), Riwayat Kacamata (-) Riwayat Psikososial (RPSos) Pasien memiliki kebiasaan menonton TV yang lama, membaca dalam waktu yang lama di tempat yang ber-AC / Kipas angina. Pasien sehari-hari lebih banyak beraktivitas di dalam ruangan. Riwayat Alergi Alergi obat (-), alergi makanan (-) Riwayat pengobatan Pasien rutin mengonsumsi obat anti DM dan obat anti HT serta rutin kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam dan jantung. Pasien juga rutin kontrol ke dokter mata dan rutin memakai obat dari dokter mata seperti Cendo Lyteers, Conver, dan Catarlent. 1.3 Pemeriksaan a. Tajam Penglihatan -
VOD : belum diperiksa
-
VOS
-
ADD : belum diperiksa
-
PD
: belum diperiksa
: belum diperiksa
2
b. Tekanan Intra Okuli -
OD
: belum diperiksa
-
OS
: belum diperiksa
c. Gerak Bola Mata OD
OS
Bisa Segala Arah / Nyeri (-)
Bisa Segala Arah / Nyeri (-)
Terasa seperti berpasir / ada yang mengganjal dikedua mata d. Segmen Anterior dan Posterior Pemeriksaan
OD
Segmen
Gambar mata
Anterior
depan
OS
Palpebra
Normal, edema (-)
Normal, edema (-)
Konjungtiva
Hiperemi (-), sekret (-)
Hiperemi (-), sekret (-)
Kornea
Jernih
Jernih
Bilik
mata Jernih, dalam
Jernih, dalam
depan Iris
Pupil
Lensa
Warna
coklat
, Warna
coklat
permukaan rata
permukaan rata
Bulat, Ø 3mm, reflek
Bulat, Ø 3mm, reflek
cahaya langsung / tak
cahaya langsung / tak
langsung (+/+)
langsung (+/+)
Kesan keruh sebagian,
Kesan keruh sebagian,
iris shadow (+)
iris shadow (+)
Segmen
Fundus reflek
(+)
(+)
Posterior
Papil nervus II
Batas tegas, warna
Batas tegas, warna
normal, CD ratio 0,3,
normal, CD ratio 0,3,
new vessel disk (-)
new vessel disk (-)
Mikroaneurisma (-),
Mikroaneurisma (-),
eksudat (-), perdarahan
eksudat (-), perdarahan
(-), neovaskularisasi (-)
(-), neovaskularisasi (-)
Retina
3
,
Vaskuler
A:V = 2 : 3
A:V = 2 : 3
Makula
Makula edema (-)
makula edema (-)
Vitreus
Jernih
Jernih
e. Pemeriksaan Lainnya (-) 1.4 Daftar Masalah 1. Kedua mata terasa kering, terasa ada yang mengganjal, terasa seperti berpasir, kadang sedikit perih saat beraktivitas terutama saat membaca atau menonton TV dalam jangka waktu yang lama dan pada pagi hari saat bangun tidur kedua mata terasa lengket. 2. Penglihatan kabur seperti melihat kaca buram, pandangan kabur secara perlahan-lahan, silau bila terkena cahaya terutama pada malam hari. 3. Riwayat
HT
(+),
DM
(+),
Jantung
(+),
riwayat
operasi
Dacryocystorhinostomy (+). 4. Pasien memiliki kebiasaan menonton TV lama dan membaca dalam waktu lama di tempat yang ber-AC / Kipas angin. 5. Pemeriksaan segmen anterior ODS : Lensa kesan keruh sebagian, iris shadow (+). 1.5 ASSESMENT Diagnosis
: ODS Suspect Katarak Senilis Imatur ODS Suspect Sindroma Mata Kering
Diagnosis Banding
: ODS Kelainan Refraksi ODS Presbiopia ODS Glaukoma Kronis ODS Retinopati Hipertensi ODS Retinopati Diabetik
1.6 PLANNING Diagnostik
:
Pemeriksaan
Visus
dan
Koreksi
terbaik,
Pemeriksaan segmen anterior dengan pupil lebar, Pemeriksaan segmen posterior dengan pupil lebar, Pemeriksaan Tekanan Intra Okuli, Tes Schrimer, Tes TBUT, dan Tes Flouresin.
4
Terapi
: Catarlent 4 x 1 tetes ODS, terapi lebih lanjut dapat
diberikan setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut guna untuk menegakan diagnosis. 1.7 Monitoring Keluhan pasien : Kedua mata terasa kering, terasa seperti mengganjal, terasa berpasir, terasa perih saat membaca atau menonton TV lama, terasa lengket pada saat bangun tidur. Visus Segmen anterior Segemen posterior Tes schrimer TIO 1.8 Edukasi -
Menjelaskan kepada pasien bahwa harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien harus menjaga kadar gula darah dan tekanan darah agar tetap stabil dan juga menjelaskan kepada pasien tentang bahaya dari komplikasi dari hipertensi dan diabetes pada organorgan tubuh terutama mata seperti katarak, retinopati diabetik, retinopati hipertensi, glaukoma, dan dapat menyebabkan kebutaan.
-
Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi kebiasaan pasien menonton TV lama atau membaca lama diruangan ber AC atau kipas angin karena menonton TV atau membaca lama diruangan berAC atau kipas angin dapat memperburuk kondisi pasien.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa pandangan kabur seperti melihat kaca buram dan silau bila terkena cahaya merupakan gejala yang disebabkan karena pasien kemungkinan memiliki katarak pada kedua mata.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa obat anti katarak yang diberikan tidak bisa menyembuhkan pasien kembali seperti normal, tapi hanya menghambat agar penyakit kataraknya tidak bertambah parah dan juga menjelaskan kepada pasien bahwa katarak hanya bisa diobati dengan terapi operasi yaitu operasi katarak.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Mata Rongga orbita secara skematis digambarkan sebagai piramida dengan empat dinding yang mengerucut ke posterior. Volume orbita dewasa kira – kira 30 ml dan bola mata hanya menempati sekitar seperlima bagian rongga. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Batas anterior rongga orbita adalah septum orbitale, yang berfungsi sebagai pemisah antara palpebrae dan orbita. Vaskularisasi arteri utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteria ophthalmicus, yaitu cabang besar pertama arteri carotis interna bagian intrakranial. Drainase vena-vena di orbita terutama melalui vena ophthalmicus superior dan inferior, yang juga menampung darah dari vena vorticosae, vena ciliaris anterior, dan vena centralis retinae (Vaughan, 2018). Berikut merupakan bagian-bagian dari orbita: Konjungtiva Secara anatomis konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris) (Vaughan, 2018). Sklera dan Episklera Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus opticus di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastik halus yaitu espisklera yang mengandung banyak pembuluh darah yang memvaskularisasi sklera (Vaughan, 2018). Kornea Kornea merupakan membran transparan berbentuk bulat dan melekat pada limbus di sklera. Fungsi kornea sebagai pelindung dan media refraksi bagi sinar yang masuk ke dalam mata sampai ke retina (Budiono et al, 2013). Kornea memiliki 5 lapisan yaitu lapisan epitel, lapisan bowman, stroma, membran descemet, dan lapisan endotel (Vaughan, 2018).
6
Uvea Uvea terdiri atas iris, corpus ciliare, dan koroid. Bagian ini merupakan lapisan vaskuler tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Struktur ini juga memvaskularisasi retina (Vaughan, 2018) Lensa Lensa mata bersifat transparan dan berbentuk bikonveks. Lensa memiliki fungsi mempertahankan kejerrnihan, membiaskan cahaya dan berakomodasi. Lensa mata dapat mempertahankan kejernihannya karena tersusun dari surface ectoderm yang mempunyai susunan sel yang teratur sehingga bersifat transparan (Budiono et al, 2013). Retina Retina merupakan jaringan saraf semitransparan yang berlapis-lapis melapisi dua pertiga posterior dinding bola mata bagian dalam. Retina memiliki 10 lapisan yaitu membran limitans interna, lapisan serat saraf, lapisan sel ganglion, lapisan pleksiform interna, lapisan inti dalam, lapisan pleksiform eksterna, lapisan inti luar, lapisan limitans eksterna, lapisan sel batang dan kerucut, epitel pigmen retina (Budiono et al, 2013).
Gambar 2.1 Struktur anatomi bagian dalam mata (Vaughan, 2018)
7
2.2 Anatomi dan Fisiologi Air Mata Bola mata dilindungi oleh lapisan air mata yang berfungsi untuk menyediakan permukaan refraktif dalam menjaga tajam penglihatan serta menyediakan nutrisi dan oksigen untuk kornea yang avascular. Lapisan air mata melicinkan dan menjaga permukaan bola mata dari zat asing (AAO, 2014-2015). Sistem lakrimasi terlibat dalam produksi (sekresi) dan drainase (ekskresi) air mata. Komponen sekresi terdiri atas kelenjar yang menghasilkan berbagai unsur pembentuk cairan air mata yang disebarkan di atas permukaan mata saat mata berkedip. Komponen ekskresi terdiri dari kanalikuli, sakus lakrimalis, dan duktus lakrimalis, sistem ini yang mengalirkan sekret ke dalam hidung (Sullivan, 2013). Air mata terdiri dari tiga lapisan, berikut adalah lapisan-lapisan air mata: 1. Lapisan superfisial adalah lapisan lipid yang berasal dari kelenjar meibom, Lapisan ini menghambat penguapan dan membentuk sawar kedap air saat palpebra ditutup. 2. Lapisan akuos dihasilkan oleh kelenjar lakrimal mayor dan minor, mengandung substansi larut-air (garam dan protein). 3. Lapisan musin terdiri atas glikoprotein dan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva. Membran sel epitel terdiri atas lipoprotein dan karenanya relatif hidrofobik. Permukaan yang demikian tidak dapat dibasahi dengan larutan berair saja. Musin diabsorpsi sebagian pada membran sel epitel kornea dan oleh mikrovili ditambatkan pada sel-sel epitel permukaan. Ini menghasilkan permukaan hidrofilik baru bagi lapisan akuos untuk menyebar secara merata kebagian yang dibasahinya dengan cara menurunkan tegangan permukaan (Vaughan, 2018).
Gambar 2.2 Lapisan Air Mata (Vaughan, 2018)
8
Gambar 2.3. Sistem Lakrimasi (Vaughan, 2018)
2.3 Sindroma Mata Kering 2.3.1 Definisi Sindroma mata kering (SMK) adalah sebuah penyakit multifaktorial pada permukaan okuler yang dikarakteristikkan dengan hilangnya homeostasis lapisan air mata, dan disertai dengan gejala okuler, di mana film air mata tidak stabil dan terjadi peningkatan osmolaritas, inflamasi dan kerusakan permukaan okuler, dan abnormalitas neurosensory memainkan peran etiologi (Craig et al, 2017). 2.3.2 Epidemiologi Laporan angka kejadian penyakit sindroma mata kering masih bervariasi karena definisi dan kriteria diagnosis untuk penelitian masih beragam. Berdasarkan data DEWS 2007, 5-30% penduduk usia di atas 50 tahun menderita mata kering. Penelitian Women’s Health Study dan Physician’s Health Study melaporkan angka kejadian mata kering pada perempuan lebih tinggi (3,2 juta) dibandingkan dengan laki-laki (1,6 juta) usia di atas 50 tahun (Phadatare et al, 2015). Perbedaan ini telah dikaitkan dengan efek dari androgen dan estrogen, hormon hipotalamus-pituitari, glukokortikoid, insulin, dan hormon tiroid. Contohnya, androgen sangat penting pada regulasi permukaan okuler dan adneksa. Defisiensi androgen, secara bergantian, predisposisi pada disfungsi kelenjar lakrimal, faktor resiko disfungsi kelenjar meibom, dan berasosiasi dengan perkembangan Akuos Deficient Dry Eye (ADDE) dan Evaporative Dry Eye (EDE)
9
Kontras dengan androgen, estrogen kurang dijelaskan dengan baik efeknya pada jenis kelamin dan jaringan (Craig et al, 2017). Kesadaran diri tentang Dry Eye Syndrome (DED) bervariasi di antara populasi. Misalnya, dalam survei yang dilakukan di Jepang, 33% dari peserta diperkirakan mengalami DED. Wanita dari semua kelompok umur memiliki kemungkinan yang lebih besar mengalami DED daripada laki-laki, dengan prevalensi DED meningkat seiring usia. Penelitian sebelumnya memperkirakan bahwa 1,68 juta pria di atas usia 50 tahun mengalami DED di Amerika Serikat dan jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 2,79 juta pada tahun 2030. Saat ini telah ditemukan bahwa lebih dari 3,23 juta wanita menderita DED (Drew et al, 2018). 2.3.3 Klasifikasi Klasifikasi
SMK
berdasarkan
skema
dasar
yang
mendukung
patofisiologinya yaitu ADDE dan EDE. Bagian atas gambar mewakili algoritma keputusan klinis, dimulai dengan penilaian gejala, dan diikuti oleh peninjauan untuk tanda-tanda penyakit permukaan okuler. SMK menunjukkan gejala dan tanda, dan dapat dibedakan dari penyakit permukaan okuler lainnya dengan penggunaan triaging question dan pengujian tambahan. Pasien yang simtomatik tanpa adanya tanda klinis yang dapat dibuktikan tidak jatuh ke dalam kelompok SMK, tetapi dibedakan menjadi mata kering pra-klinis atau nyeri neuropatik (penyakit permukaan non-okular). Sebaliknya, tanda-tanda pasien yang tidak bergejala dibedakan menjadi pasien dengan sensitivitas kornea yang buruk, atau pasien dengan tanda-tanda prodromal, yang berisiko mengalami SMK yang nyata dengan waktu atau provokasi, misalnya setelah operasi mata (Craig et al, 2017). Bagian bawah gambar mewakili klasifikasi etiologi SMK yaitu ADDE dan EDE. ADDE menggambarkan kondisi yang mempengaruhi fungsi kelenjar lakrimal. EDE dikenali untuk menyertakan kedua hal yang terkait dengan kelopak mata (disfungsi kelenjar meibom dan kedipan mata) dan yang terkait dengan permukaan okuler (misalnya musin dan pemakaian kontak lensa) (Craig et al, 2017).
10
Gambar 2.4 Skema Klasifikasi Sindroma Mata Kering (Craig et al, 2017) 2.3.4 Faktor Resiko Faktor resiko SMK dikategorikan menjadi faktor resiko yang konsisten atau meyakinkan, faktor resiko yang memungkinkan, dan faktor resiko yang tidak meyakinkan. Faktor resiko yang konsisten atau meyakinkan antara lain seperti, usia, jenis kelamin, ras, disfungsi kelenjar meibom, sindrom Sjögren, defisiensi androgen, penggunaan komputer, pemakaian lensa kontak, terapi pengganti estrogen, transplantasi stem sel hematopoetik, kondisi lingkungan (seperti polusi, kelembaban yang rendah) dan penggunaan obat-obatan (contohnya antihistamin, antidepresan, anxiolitik, dan isotretinoin). Faktor resiko yang memungkinkan antara lain, diabetes, infeksi virus, penyakit tiroid, kondisi psikiatri, pterygium, asupan asam lemak yang rendah, bedah refraktif, konjungitivitis alergi dan penggunaan obat-obatan seperti antikolinergik, diuretik, β-bloker. Faktor resiko yang tidak meyakinkan antara lain menopause, jerawat, sarkodosis, merokok, alkohol, kehamilan, injeksi toksin botulinum, multivitamin dan kontrasepsi oral (Craig et al, 2017). Selain itu pada tabel di bawah ini akan diurutkan beberapa faktor resiko DED mulai dari faktor resiko tinggi, sedang dan rendah berdasarkan penelitian yang telah
11
dilakukan di Universitas Ludwig Maximillian oleh Prof.Dr.dr.Messmer pada tahun 2015. Tabel 2.1 Faktor Resiko DED Faktor resiko tinggi
Faktor resiko menengah
Faktor resiko rendah
- Umur
- Obat-obatan seperti
- Merokok
- Seks perempuan
antidepresan trisiklik,
- Suku Hispanik
- Terapi estrogen pasca
penghambat reuptake
- Obat antikolinergik
menopause
serotonin selektif,
seperti
- Antihistamin
diuretik, beta-blocker
anxiolytics, antipsikotik
- Penyakit vaskular
- Diabetes mellitus
- Alkohol
kolagen
- infeksi HIV
- Menopause
- Bedah pembiasan
- Kemoterapi sistemik
- Injeksi toksin
kornea
- Operasi katarak dengan Botulinum
- Iradiasi
sayatan besar
- Jerawat
- Transplantasi cangkok
- Keratoplasty
- Gout
hematopoietik
- Isotretinoin
- Kontrasepsi oral
- Kekurangan vitamin A.
- Kelembaban udara
- Kehamilan
- Hepatitis C
rendah
- Insufisiensi androgen
- Sarkoidosis - Disfungsi ovarium
(Messmer, 2015) 2.3.5 Patofisiologi Mata kering dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kelainan lain. Berdasarkan etiopatologi, mata kering dikelompokkan menjadi dua, yaitu ADDE dan EDE (Phadatare et al, 2015). ADDE disebabkan oleh kegagalan sekresi air mata lakrimal akibat disfungsi kelenjar lakrimal. Keadaan ini menyebabkan hiperosmolaritas karena evaporasi tetap berlangsung normal. Hiperosmolaritas air mata dianggap sebagai pemicu terjadinya kaskade peristiwa pensinyalan di dalam permukaan sel epitel, yang kemudian memicu pelepasan mediator inflamasi dan protease (IL-1α, IL-1β, TNF α, matriks metaloproteinase 9, MAP kinase, dan NFkβ pathway). Mediator tersebut, bersama dengan hiperosmolaritas air mata menyebabkan sel goblet dan sel epitel hilang dan rusaknya epitel glikokaliks.
12
Mediator inflamasi dari sel-T memperberat kerusakan. Hasil bersihnya adalah epiteliopati SMK dan ketidakstabilan film air mata yang mengarah pada beberapa titik awal pecahnya film air mata (Bron et al., 2017). Ada berbagai penyebab ADDE, seperti blocking sensorik ke kelenjar lakrimal yang sangat penting untuk menjaga homeostasis film air mata. Anestesi topikal bilateral dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata dan tingkat kedipan mata. SMK karena adanya blok pada refleks air mata dapat disebabkan oleh penyalahgunaan anestesi topikal kronis, kerusakan saraf trigeminal dan bedah refraktif termasuk operasi LASIK. Pengiriman air mata ke kantung air mata juga dapat berkurang karena adanya obstruksi ke duktus lakrimal. Sejumlah obat dalam penggunaan sistemik, seperti antihistamin, β-blocker, antispasmodik, diuretik dan beberapa obat psikotropika, dapat menyebabkan penurunan sekresi lakrimal (Bron et al, 2017). EDE terjadi akibat kehilangan air mata di permukaan mata, sedangkan kelenjar lakrimasi berfungsi normal. Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh faktor intrinsik (struktur kelopak mata) dan ekstrinsik (penyakit permukaan mata atau pengaruh obat topikal). EDE dikelompokkan menjadi dua subkelas, yaitu mata kering sindrom Sjogren (MKSS) dan mata kering bukan sindrom Sjogren (MKBSS). MKSS merupakan penyakit autoimun yang menyerang kelenjar lakrimal, kelenjar saliva, dan beberapa organ lain. Infiltrasi sel T pada kelenjar saliva dan lakrimal menyebabkan kematian sel asinar dan duktus serta hiposekresi air mata atau saliva. Aktivasi mediator inflamasi memicu ekspresi autoantigen di permukaan sel epitel dan retensi sel T CD-4 dan CD-8. Detail kriteria klasifikasi sindrom Sjogren berdasarkan American- European Consensus Group. MKBSS merupakan kelompok MKDA akibat disfungsi kelenjar lakrimal yang bukan bagian dari autoimun sistemik. Keadaan yang paling sering ditemukan adalah mata kering berkaitan dengan usia. Defisiensi kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat penyakit lain seperti sarkoidosis, AIDS, Graft vs Host Disease (GVHD) atau keadaan obstruksi duktus kelenjar lakrimal akibat trakoma juga berperan dalam MKBSS. Pada Beave Dam study ditemukan angka kejadian mata kering pasien DM 18,1% dibandingkan dengan pasien non-DM 14,1% (Munir SZ, 2017).
13
Cedera epitel dan glikokaliks yang rusak, hilangnya volume air mata, dan sel punca sel goblet, menyebabkan peningkatan kerusakan gesekan dan gejala terkait gesekan. Hiperosmolaritas air mata dan cedera epitel yang disebabkan oleh SMK merangsang ujung saraf kornea, yang menyebabkan gejala ketidaknyamanan, peningkatan tingkat kedipan dan berpotensi ke kompensasi yaitu peningkatan refleks sekresi air mata lakrimal. Sekresi kompensatori ini lebih mungkin terjadi pada EDE, di mana fungsi kelenjar lakrimal berpotensi normal (Bron et al, 2017). 2.3.6 Manifestasi Klinis Pasien yang menderita DED sering sekali mengeluhkan rasa sakit, sensasi terbakar, kelelahan mata, kemerahan, penglihatan kabur, intoleransi lensa kontak, kepekaan terhadap cahaya, dan perasaan benda asing hadir di wilayah okular. Tergantung pada beratnya DED, beberapa pasien mengalami masalah dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti membaca, menonton TV, menggunakan komputer, mengendarai kendaraan, dan bekerja (Drew et al, 2018). Secara garis besar manifestasi klinis pada DED dibedakan menjadi 2 yaitu: a. Gejala Visual Permukaan depan mata adalah fokus mata yang paling kuat, dengan demikian permukaan okular yang kering akan menghasilkan gejala visual. Gejala-gejala ini dapat meliputi: - Sensitivitas terhadap cahaya / fotofobia. Ini terjadi karena permukaan okular yang kering memiliki lebih banyak penyimpangan daripada permukaan yang sehat. Ketidakteraturan ini menyebarkan cahaya yang masuk ke mata dan
dapat
menyebabkan
Ketidakmampuan
untuk
ketidaknyamanan
mentoleransi
cahaya
yang dapat
signifikan. menyebabkan
menyipitkan mata dan sakit kepala. - Kesulitan dengan mengemudi di malam hari: Selama kondisi cahaya rendah, pupil membesar dan memungkinkan lebih banyak cahaya masuk ke mata. Ketika permukaan okular kering, cahaya yang masuk menjadi tidak terfokus dan tersebar. Banyak dari kelainan ini disaring oleh ukuran kecil pupil pada siang hari. Namun, pada malam hari, ukuran pupil yang lebih besar memungkinkan lebih banyak kelainan ringan untuk melewati retina.
14
b. Gejala Fisik pada Mata Permukaan depan mata kaya dengan ujung saraf. Dengan demikian, permukaan okular yang kering dapat menyebabkan gejala ketidaknyamanan yang signifikan, selain merasa kering, gejala-gejala ini termasuk: - Sensasi benda asing - Mata merah: Pembuluh darah yang membesar di permukaan mata menyebabkan mata terlihat merah. - Nyeri okular dan periokular: Nyeri pada mata kering bisa ringan atau berat. - Iritasi periokular: Menyengat, membakar, atau sensasi gatal pada permukaan mata dan kelopak mata. Ditemukan ciri paling khas yakni pada pemeriksaan slitlamp adalah tidak adanya meniskus air mata pada tepian palpebra inferior. Kadang-kadang terlihat benang-benang mukus kental kekuningan terlihat dalam forniks konjungtiva inferior. Pada konjungtiva bulbaris tidak terlihat kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema, dan hiperemis. Pada stadium SMK yang lebih berat dapat di jumpai filamen dan gumpalan mukus, penipisan kornea marginal atau parasentral dan bahkan perforasi dapat terjadi (Vaughan, 2018). 2.3.7 Diagnosis Gejala klinis dan hasil pemeriksaan merupakan pendukung untuk menegakkan diagnosis. Berdasarkan International Dry Eye Workshop 2007 klasifikasi diagnostik sindrom mata kering, yakni seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.5 Klasifikasi Diagnostik
15
2.3.7.1 Anamnesis a. Tanda dan gejala (iritasi, berair, rasa perih, sensasi terbakar, sensasi benda asing, fotosensitivitas, rasa gatal, mata merah, penglihatan kabur, keluar sekret) b. Kondisi eksaserbasi (angin, udara, upaya visual yang berkepanjangan terkait dengan penurunan tingkat berkedip seperti membaca dan menggunakan komputer) c. Durasi dari gejala d. Penggunaan obat topikal (antihistamin, vasokontriktor, kortikosteroid) e. Penggunaan kontak lensa f. Konjungtivitis alergi g. Penyakit permukaan mata h. Merokok i. Menopause j. Systemic Inflammatory Diseases (Rheumatoid Arthrtitis, Systemic Lupus Erythematosus, Sjogren Syndrome) k. Penggunaan obat sistemik (antihistamin, diuretik, antikolinergik, β blocker, antiaritmia) l. Neurological conditions (Parkinson’s diseases, Bells Palsy, trigeminal neuralgia) (AAO, 2013). 2.3.7.2 Pemeriksaan Slit Lamp Ciri khas pada pemeriksaan slit lamp adalah terputus atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus kental kekuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtiva inferior. Pada konjungtiva bulbaris tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema, dan hiperemis (Vaughan, 2018). Sebelum diagnosis, penting untuk mengecualikan kondisi yang dapat meniru SMK dengan sejumlah Triaging Question. Setelah itu, Dry Eye Questionnaire-5 (DEQ-5) atau Indeks Penyakit Permukaan Okuler (OSDI) harus dikerjakan untuk menunjukkan apakah pasien mungkin memiliki SMK, dan skor gejala positif pada salah satu dari kuesioner ini kemudian harus memicu lebih rinci pemeriksaan untuk tanda-tanda klinis SMK. Nilai positif salah satu dari tiga pemeriksaan; Non-
16
invasive Tear Breakup Time; peningkatan atau perbedaan interokuler besar dalam osmolaritas; atau pewarnaan permukaan okuler (dari kornea, konjungtiva atau batas kelopak mata) di kedua mata, dianggap mewakili homeostasis yang terganggu, yang menegaskan diagnosis SMK, jika seorang pasien memiliki gejala SMK dan tenaga kesehatan tidak memiliki akses ke semua tes ini, diagnosis masih mungkin, berdasarkan hasil positif untuk salah satu dari pemeriksaan, tetapi mungkin memerlukan rujukan untuk konfirmasi jika pemeriksaaan homeostasis yang tersedia negatif. Setelah memastikan bahwa kondisi tersebut adalah SMK berdasarkan skor gejala positif dan satu atau lebih hasil pemeriksaan homeostatik positif, selanjutnya tes klasifikasi subtipe seperti pengukuran meibografi, lipid interferometri dan volume air mata harus dilakukan untuk menentukan: 1) di mana SMK jatuh pada spektrum antara ADDE dan EDE, dan 2) tingkat keparahan SMK, untuk memandu pengobatan. (Craig et al, 2017)
Gambar 2.6 Diagnostik Rekomendasi Sindroma Mata Kering (Craig et al, 2017)
17
2.3.7.3 Pemeriksaan Diagnostik a. Uji Schirmer Uji dilakukan dengan mengeringkan film air mata dan memasukkan strip Schirmer (kertas saring Whatman) ke dalam cul-de-sac konjungtiva inferior di perbatasan anatara bagian sepertiga tengah dan temporal palpebra inferior. Bagian basah yang terpajan diukur 5 menit setelah dimasukkan. Panjang bagian basah kurang dari 10 mm tanpa anastesi dianggap abnormal (Vaughan, 2018). b. Uji Tear Film Break-up Time Tear film breakup time (TBUT) merupakan waktu yang dibutuhkan oleh tear film untuk pecah mengikuti kedipan mata. Pemeriksaan kuantitatif ini berguna untuk menilai kestabilan tear film, dan waktu normal TBUT adalah 15-20 detik, sedangkan mata kering nilainya adalah 5-10 detik (Tsubota et al, 2017). Caranya dengan meletakkan secarik kertas ber-fluorescein yang sedikit dilembabkan, pada konjungtiva bulbaris dan meminta pasien berkedip. Film air mata kemudian diperiksa dengan bantuan filter cobalt pada slitlamp, sementara pasien diminta agar tidak berkedip. Waktu sampai munculnya bintik-bintik kering yang pertama pada lapisan fluorescein kornea adalah “tear film break-up time”. Biasanya, waktu ini lebih dari 15 detik, tetapi akan berkurang secara nyata pada penggunaan anestesi lokal, manipulasi mata, atau dengan menahan palpebra agar tetap terbuka. Waktu ini lebih pendek pada mata dengan defisiensi air pada air mata dan selalu lebih singkat dari normalnya pada mata dengan defisiensi musin (Vaughan, 2018). c. Uji Ferning Mata Sebuah uji sederhana dan murah untuk menilai mukus konjungtiva dilakukan dengan mengeringkan kerokan konjungtiva di atas kaca obyek bersih. Percabangan seperti pohon berarti mata normal dan percabangan mulai mengilang atau berkurang berarti pada mata abnormal (Vaughan, 2018). d. Uji Sitologi Impresi Cara menghitung densitas sel goblet di permukaan konjungtiva. Normal ditemukan populasi sel goblet tertinggi ada di kuadran infranasal (Vaughan, 2018).
18
e. Pemulasan Fluorescein Menyentuh konjungtiva dengan secarik kertas kering ber-fluorescein adalah indikator yang baik untuk derajat basahnya mata, dan meniskus air mata bisa terlihat dengan mudah. Fluorescein akan memulas daerah-daerah erosi dan terluka selain defek mikroskopis epitel kornea (Vaughan, 2018). f. Penilaian Kadar Lisozim Air Mata Air mata ditampung pada kertas Schirmer dan dinilai kadarnya. g. Osmolalitas Air Mata Hiperosmolalitas air mata telah dilaporkan pada keratokonjungtivitis sika dan pemakaian lensa kontak, dan diduga sebagai akibat berkurangnya sensitivitas kornea. h. Lactoferrin Lactoferrin air mata akan rendah pada pasien dengan hiposekresi kelenjar lakrimal (Vaughan, 2018). 2.3.8 Derajat Sindroma Mata Kering DERAJAT DRY EYE
1
2
3
4
Kegelisahan, keparahan, dan frekuensi
Ringan dan/atau episodik; terjadi di bawah stress lingkungan
Episodik sedang atau kronis, stress atau tidak stress
Frekuensi berat atau konstan tanpa stress
Berat dan/atau kecacatan dan menetap
Gejala Visual
Tidak ada atau ada kelelahan episodik ringan
Mengganggu, menghambat aktivitas secara kronis dan/atau terus-menerus
Menetap dan/atau kemungkinan cacat
Kemerahan Konjungtiva Pewarnaan konjungtiva Pewarnaan kornea
Tidak ada sampai ringan Tidak ada sampai ringan Tidak ada sampai ringan
+/-
+/++
Bervariasi
Sedang sampai jelas
Jelas
Bervariasi
Jelas di sentral
Mengganggu dan/atau membatasi aktivitas secara episodic Tidak ada sampai ringan
Tanda pada kornea
Tidak ada sampai ringan
Debris ringan, ↓ meniscus
Keratitis filamen, gumpalan mukus, dan ↑ debris air mata
Kelenjar meibom
MGD dijumpai berubah-ubah
MGD dijumpai berubah-ubah
Sering ada
19
Erosi (bertitik) berat Keratitis filamen, gumpalan mukus, dan ↑ debris air mata, ulserasi Trikiasis, keratinisasi, simblefaron
TBUT (detik) Tes Schirmer (mm/ 5 menit)
Bervariasi
≤ 10
≤5
Segera tampak
Bervariasi
≤ 10
≤5
≤2
Tabel 2.2 Derajat Sindroma Mata Kering (Messmer, 2015). 2.3.9 Terapi Tujuan utama dari terapi DED adalah untuk mengembalikan homeostasis dari permukaan okuler dan film air mata, melalui pemecahan lingkaran setan penyakit. Sementara pengobatan tertentu mungkin secara khusus diindikasikan untuk satu aspek tertentu dari kondisi individu pasien, sejumlah terapi mungkin direkomendasikan secara tepat untuk mengobati berbagai aspek dari presentasi pasien dengan DED. Selain bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengobati sumber utama penyakit, manajemen DED biasanya melibatkan manajemen berkelanjutan untuk mengatasi gejala sisa kronis, daripada pengobatan jangka pendek (Craig et al, 2017). Algoritma terapi yang disajikan tidak diusulkan sebagai pendekatan sekuensial kaku untuk diikuti secara linier. Sebaliknya, harus dilihat sebagai alat organisasi untuk membantu memandu inisiasi pengobatan dengan intervensi yang paling mungkin bermanfaat bagi sebagian besar pasien dengan DED, dan berlanjut ke perawatan yang lebih maju dan spesifik yang ditujukan pada aspek tertentu dari patofisiologi DED (Craig et al, 2017). Algoritma terapi sering dikonstruksi untuk merekomendasikan urutan perawatan sesuai dengan stadium penyakit, tetapi konstruksi ini rumit dalam DED, karena penyakit sering bervariasi dari pasien ke pasien, baik dalam keparahan maupun dalam karakter. Jika pasien tidak menanggapi tingkat manajemen tertentu, atau harusnya pasien menunjukkan DED yang lebih parah, tingkat terapi berikutnya direkomendasikan dan dalam beberapa kasus terapi sebelumnya dapat dilanjutkan sebagai tambahan untuk terapi baru. Secara umum, pendekatan terapi dimulai dengan terapi yang diterapkan pada pasien secara konvensional, berisiko rendah dan mudah diakses seperti pelumas over-the-counter untuk penyakit tahap awal, dan pemilihan ke terapi yang lebih maju untuk bentuk DED yang lebih parah. Namun, harus dipahami bahwa ada heterogenitas yang signifikan pada populasi pasien DED. Pendekatan ini tidak dapat terlalu diformulasikan dan rekomendasi ini
20
dapat dimodifikasi dan tumpang tindih seperti yang diminta oleh tenaga kesehatan berdasarkan individu pasien (Craig et al, 2017). Durasi uji coba pengobatan yang diharapkan sebelum menyimpulkan adanya kegagalan terapi perlu melihat atau mempertimbangkan respon individu dan terapi yang diberikan. Paling umum, efek pengobatan diamati dalam satu hingga tiga bulan, meskipun beberapa terapi (misal Siklosporin A) bisa lebih lama. Secara keseluruhan, pengobatan DED adalah suatu seni. Semua tenaga kesehatan perawatan mata yang mengobati pasien dengan DED harus melatih keterampilan klinis mereka untuk menilai signifikansi masing-masing proses patogenik yang bervariasi yang dapat memanifestasikan keluhan subjektif serupa dan tanda-tanda serupa dari disfungsi permukaan okuler (Craig et al, 2017). Rekomendasi untuk manajemen bertahap dan pengobatan DED, sebagai berikut: Langkah 1:
Edukasi mengenai kondisi, manajemen, pengobatan dan prognosisnya
Modifikasi lingkungan sekitar
Edukasi mengenai modifikasi diet yang potensial (termasuk suplementasi asam lemak esensial oral)
Identifikasi dan modifikasi potensial / penghapusan obat-obatan sistemik dan topikal
Pelumas okuler dari berbagai jenis (jika terdapat MGD, kemudian pertimbangkan suplemen yang mengandung lipid)
Kebersihan kelopak mata dan kompres hangat
Langkah 2: Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
Pelumas okular yang tidak diawetkan untuk meminimalkan toksisitas yang diinduksi pengawet
Perawatan tea tree oil untuk Demodex (jika ada)
Konservasi air mata o Oklusi Punctal o Kacamata ruang kelembaban / googles
Perawatan malam (seperti salep atau ruang kelembaban)
21
Pemanasan fisik dan ekspresi kelenjar meibom (termasuk terapi yang dibantu oleh perangkat, seperti LipiFlow) yang dilakukan di tempat praktik dokter
Terapi cahaya intens untuk MGD yang dilakukan di tempat praktik dokter
Resep obat untuk mengelola DED o Antibiotik topikal atau kombinasi antibiotik / steroid diterapkan pada batas kelopak mata untuk blepharitis anterior (jika ada) o Kortikosteroid topikal (durasi terbatas) o Secretagogues topikal o Obat
imunomodulator
topikal
non-glukokortikoid
(seperti
siklosporin) o Obat antagonis LFA-1 topikal (seperti lifitegrast) o Oral macrolide atau antibiotik tetrasiklin Langkah 3: Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
Secretagogues oral
Tetes serum autologous / allogeneic
Opsi lensa kontak terapeutik
Lensa perban lembut
Lensa scleral yang kaku
Langkah 4: Jika opsi di atas tidak mencukupi, pertimbangkan:
Kortikosteroid topikal untuk durasi yang lebih lama
Cangkok membran amniotik
Pembedahan punctal oklusi
Pendekatan bedah lainnya (misalnya tarsorrhaphy, transplantasi kelenjar saliva) (Craig et al, 2017).
2.3.10 Komplikasi Pada kasus lanjut, dapat timbul ulkus kornea, terjadi penipisan kornea dan perforasi. Sesekali dapat terjadi infeksi bakteri sekunder dan berakibat parut serta vaskularisasi pada kornea yang sangat menurunkan penglihatan (Vaughan, 2018).
22
2.4 Katarak 2.4.1
Definisi Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkan gangguan
penglihatan. Katarak ditandai dengan adanya lensa yang berangsur-angsur menjadi buram yang pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan total. Penyakit katarak terutama disebabkan oleh proses degenerasi yang berkaitan dengan usia. Katarak kini masih menjadi penyakit paling dominan pada mata dan merupakan penyebab utama dari kebutaan di seluruh dunia. Paling sedikit 50% dari semua kebutaan disebabkan oleh katarak, dan 90% diantaranya terdapat di negara berkembang tidak terkecuali di Indonesia (Vaughan, 2018). 2.4.2 Epidemiologi Menurut WHO katarak adalah penyebab utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Pada tahun 2002, WHO memperkirakan katarak adalah penyebab kebutaan yang dapat dipulihkan (reversible blindness) pada lebih dari 17 juta penduduk dunia (47,8%) dari 37 juta penderita kebutaan di seluruh dunia, dan diperkirakan akan mencapai 40 juta penderita pada tahun 2020 (Budiono et al, 2013). Di Indonesia, survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran tahun 1993-1996, menunjukkan angka kebutaan 1,5%. Selain itu masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat dibandingkan penderita di daerah subtropis. Dibandingkan dengan angka kebutaan negara-negara di Regional Asia Tenggara, angka kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi (Bangladesh 1%, India 0,7%, Thailand 0,3%). Insiden katarak 0,1% (210 ribu orang) per tahun, sedangkan yang dioperasi baru lebih kurang 80.000 per tahun (Budiono et al, 2013). 2.4.3 Etiologi Katarak dapat terjadi karena beberapa penyebab yaitu : a. Usia Seiring dengan pertambahan usia, lensa akan mengalami pertambahan berat dan ketebalan dan mengalami penurunan daya akomodasi. Setiap pembentukan lapisan baru dari serat kortikal secara konsentris, nukleus lensa akan mengalami kompresi dan pengerasan (Budiono et al, 2013).
23
b. Merokok Merokok dapat menyebabkan akumulasi kadmium di lensa. Kadmium dapat berkompetisi dengan cuprum dan mengganggu homeostasis kuprum. Cuprum penting untuk aktivitas fisiologis superoksida dismutase di lensa. Sehingga hal ini menyebabkan terjadinya kerusakan oksidatif pada lensa dan menimbulkan katarak (Tana, 2007). c. Trauma dan penyakit sistemik Trauma akan mengganggu struktur lensa mata baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Hal ini diduga menyebabkan adanya perubahan struktur lensa dan gangguan keseimbangan metabolisme lensa sehingga terbentuk katarak. Penyakit sistemik seperti diabetes dapat menyebabkan perubahan metabolisme lensa. Tingginya kadar gula darah menyebabkan tingginya kadar sorbitol lensa. Sorbitol ini menyebabkan peningkatan tekanan osmotik lensa sehingga lensa menjadi sangat terhidrasi dan timbul katarak (Budiono et al, 2013). 2.4.4 Klasifikasi Berdasarkan Penyebab Klasifikasi katarak berdasarkan penyebab, adalah (Budiono et al, 2013) : 1. Katarak kongenital, yaitu katarak yang timbul sejak dalam kandungan atau timbul setelah dilahirkan, umumnya disebabkan karena adanya infeksi dan kelainan metabolisme pada saat pembentukan janin. Katarak kongenital yang sering timbul karena infeksi saat ibu mengandung, terutama pada kehamilan 3 bulan pertama. 2. Katarak senilis (ketuaan), yaitu katarak yang timbul setelah umur 40 tahun, proses pasti belum diketahui, diduga karena ketuaan. 3. Katarak traumatika, yaitu katarak yang dapat menyerang semua umur, biasanya karena pasca trauma baik tajam maupun tumpul pada mata terutama mengenai lensa. 4. Katarak komplikata, yaitu katarak yang terjadi akibat kelainan sistemik yang akan mengenai kedua mata seperti diabetes melitus atau kelainan lokal yang akan mengenai satu mata seperti uveitis dan glaukoma.
24
2.4.5 Klasifikasi Berdasarkan Morfologi 1. Katarak Subkapsular a. Katarak subkapsular anterior terletak dibawah kapsul lensa dan berhubungan dengan metaplasia fibrous dari epitel lensa b. Katarak subkapsular posterior terletak didepan kapsul posterior, karena lokasinya pada nodul point mata, opasitas subkapsular posterior lebih mempengaruhi penglihatan dibandingkan katarak kortikal atau nuklear. Penglihatan dekat lebih jelek daripada penglihatan jauh 2. Katarak nuklear Katarak nuklear cenderung berkembang lambat. Meskipun biasanya bilateral, namun mereka asimetris. Umumnya lebih berpengaruh pada penglihatan jauh daripada penglihatan dekat. Pada tahap awal, pengerasan progresif dari nukleus lensa sering menyebabkan peningkatan indeks refraktif lensa dan kemudian terjadi myopic shift refraksi. 3. Katarak kortikal Melibatkan korteks anterior, posterior dan equatorial. Gejala katarak kortikal yang paling sering adalah silau, dapat dijumpai monokuler diplopia. Tanda awal katarak ini adalah denga pemeriksaan slit lamp tampak sebagai vakuola dan celah air pada korteks anterior dan posterior. 2.4.6 Klasifikasi Katarak Senilis Menurut tebal tipisnya kekeruhan lensa, katarak senilis dibagi menurut 4 stadium, antara lain (PDT, 2006): 1. Katarak insipien Kekeruhan lensa tampak terutama di bagian perifer korteks berupa garisgaris yang melebar dan semakin ke sentral menyerupai ruji sebuah roda. Biasanya pada stadium ini tidak menimbulkan gangguan tajam penglihatan dan masih bisa dikoreksi mencapai 6/6. 2. Katarak imatur Kekeruhan terutama di bagian posterior nucleus dan belum mengenai seluruh lapisan lensa. Terjadi pencembungan lensa karena lensa menyerap cairan, akan mendorong iris ke depan yang menyebabkan bilik mata depan menjadi dangkal dan bisa menimbulkan glaukoma sekunder. Lensa yang
25
menjadi lebih cembung akan meningkatkan daya bias, sehingga terjadi proses miopisasi. 3. Katarak matur Kekeruhan sudah mengenai seluruh lensa, warna menjadi putih keabuabuan. Tajam penglihatan menurun tinggal melihat gerakan tangan atau persepsi cahaya. 4. Katarak hipermatur Apabila stadium matur dibiarkan akan terjadi pencairan korteks dan nucleus tenggelam ke bawah (katarak morgagni), atau lensa akan terus kehilangan cairan dan keriput (shrunken cataract). Operasi pada stadium ini kurang menguntungkan karena menimbulkan penyulit. 2.4.7
Patofisiologi Patogenesis katarak belum sepenuhnya dimengerti. Walaupun demikian,
pada lensa katarak secara karakteristik terdapat agregat-agregat protein yang menghamburkan berkas cahaya dan mengurangi transparansinya. Perubahan protein lainnya akan mengakibatkan perubahan warna lensa menjadi kuning atau coklat. Temuan tambahan mungkin berupa vesikel di antara serat-serat lensa atau migrasi sel epitel dan pembesaran sel-sel epitel yang menyimpang. Sejumlah faktor yang diduga turut berperan dalam terbentuknya katarak, antara lain kerusakan oksidatif, sinar ultraviolet, dan malnutrisi (Vaughan, 2018). Seiring dengan bertambahnya usia, lensa mata akan mengalami pertambahan berat dan ketebalannya dan mengalami penurunan daya akomodasi. Setiap pembentukan lapisan baru dari serat kortikal secara konsentris, nucleus lensa akan mengalami kompresi dan pengerasan (nuclear sclerosis). Perubahan lain yang berkaitan dengan pertambahan usia termasuk di dalamnya adalah penurunan konsentrasi glutation dan kalium, dan peningkatan konsentrasi natrium dan kalsium dalam sitoplasma sel lensa. Patogenesis yang multifaktorial dan tidak sepenuhnya dipahami (Budiono et al, 2013).
26
2.4.8 Manifestasi Klinis Secara subyektif gejala klinis yang dapat muncul pada penderita antara lain : a. Penurunan ketajaman penglihatan secara progresif: Visus menurun yang derajatnya tergantung pada lokalisasi dan tebal tipisnya kekeruhan lensa. Bila kekeruhan lensa tipis, kemunduran visus sedikit atau sebaliknya. Katarak pada nuklear biasanya menyebabkan kabur pada penglihatan jauh dan baik pada penglihatan dekat. Katarak pada subkapsular menyebabkan kabur yang lebih berat pada penglihtan dekat daripada penglihatan jauh. Katarak kortikal gejalanya bervariasi biasanya bilateral dengan gejala umum silau pada sumber cahaya (Ocampo, 2016). b. Glare: yaitu menurunnya sensitivitas kontras pada cahaya terang atau silau pada siang hari atau pada arah datangnya sinar pada malam hari. Gangguan seperti ini muncul utamanya pada pasien dengan katarak subkapsular posterior dan katarak kortikal (Harper, 2010). c. Miopisasi : pada stadium permulaan terjadi ”artificial myope” sehingga penderita melihat jauh kabur dan akan merasa lebih enak membaca dekat tanpa kacamata. Hal ini terjadi karena proses pembentukan katarak sehingga lensa menjadi cembung dan kekuatan refraksi mata meningkat (Ocampo, 2016). d. Gangguan penglihatan warna : lensa yang bertambah kuning atau kecoklatan akan menyebabkan gangguan diskriminasi warna, terutama pada spektrum cahaya biru (Pedoman Diagnostik dan Terapi, 2006). e. Monocular diplopia : Pasien melihat dua bayangan yang disebabkan refraksi dari lensa sehingga benda yang dilihat pasien akan menyebabkan silau. Secara objektif, gejala klinis dapat ditemukan (PDT, 2006): -
Leukoria: pupil berwarna putih pada katarak matur.
-
Tes iris shadow (bayangan iris pada lensa): yang positif pada katarak imatur dan negatif pada katarak matur.
-
Reflek fundus yang berwarna jingga akan menjadi gelap (refleks fundus negatif) pada katarak matur.
27
2.4.9 Diagnosis Dalam mendiagnosis suatu katarak, dapat dilakukan dengan (PDT, 2006): 1. Anamnesis 2. Optotip Snellen : Untuk mengetahui tajam penglihatan penderita. Pada stadium insipien dan imatur bisa dicoba koreksi dengan lensa kacamata terbaik. 3. Lampu senter : Refleks pupil terhadap cahaya pada katarak masih normal. Tampak kekeruhan pada lensa terutama bila pupil dilebarkan, berwarna putih keabu-abuan yang harus dibedakan dengan refleks senil. Diperiksa proyeksi iluminasi dari segala arah pada katarak matur untuk mengetahui fungsi retina secara garis besar. 4. Oftalmoskopi : Untuk pemeriksaan ini sebaiknya pupil dilebarkan. Pada stadium insipien dan imatur tampak kekeruhan kehitam-hitaman dengan latar belakang jingga, sedangkan pada stadium matur hanya didapatkan warna kehitaman tanpa latar belakang jingga atau refleks fundus negatif. 5. Slit lamp biomikroskopi : Dengan alat ini dapat dievaluasi luas, tebal, dan lokasi kekeruhan lensa. 2.4.10 Penatalaksanaan (PDT, 2006) 1. Pencegahan sampai saat ini belum ada 2. Pembedahan : dilakukan apabila kemunduran tajam penglihatan penderita telah mengganggu pekerjaan sehari-hari dan tidak dapat dikoreksi dengan kacamata 3. Pembedahan berupa ekstraksi katarak yang dapat dikerjakan dengan cara: a.
Intrakapsuler : massa lensa dan kapsul dikeluarkan seluruhnya
b.
Ekstrakapsuler : massa lensa dikeluarkan dengan merobek kapsul anterior dan meninggalkan kapsul bagian posterior
c.
Fakoemulsifikasi : inti lensa dihancurkan di dalam kapsul dan sisa massa lensa dibersihkan dengan irigasi dan aspirasi
4. Koreksi Afakia: a.
Implantasi intraokuler: lensa intra okuler ditanam setelah lensa mata diangkat.
b.
Kacamata: kekurangannya adalah distorsi yang cukup besar dan
28
lapang pandangan terbatas. Kekuatan lensa yang diberikan sekitar +10 D bila sebelumnya emetrop c.
Lensa kontak: diberikan pada afakia monokuler dimana penderita koperatif, terampil, dan kebersihan terjamin.
2.4.11 Komplikasi Katarak (PDT, 2006) 1.
Glaukoma sekunder (Glaukoma fakomorfik) Terjadi pada katarak intumesen/ imatur, karena pencembungan lensa.
2.
Uveitis patotoksik atau glaukoma fakolitik Terjadi pada stadium hipermatur akibat massa lensa yang keluar dan masuk ke bilik mata depan.
29
BAB III PEMBAHASAN KASUS Anamnesis dan Pemeriksaan Dari anamnesis dan identitas didapatkan bahwa pasien perempuan berusia 69 tahun datang ke Poli Mata RSU Haji Surabaya untuk kontrol mata. Pasien datang dengan keluhan kedua mata terasa kering, seperti ada yang mengganjal, terasa seperti berpasir, terasa perih saat beraktivitas seperti membaca atau menonton TV lama diruangan berAC/Kipas Angin, serta pada pagi hari saat bangun tidur kedua mata terasa lengket. Pasien rutin kontrol ke dokter mata dan rutin memakai obat cendo lyteers. Pembahasan Pasien perempuan berusia 69 tahun , pasien perempuan dan sudah berusia lanjut (menopause) merupakan salah satu dari faktor resiko dari sindroma mata kering. Hal ini didukung oleh gejala yang dialami pasien seperti kedua mata terasa kering, seperti ada yang mengganjal, seperti berpasir, dan pada pagi hari kedua mata terasa lengket. gejala tersebut disebabkan karena gangguan dari produksi kelenjar lakrimalis dalam menghasilkan air mata atau karena film air mata yang tidak stabil dikarenakan penguapan yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan permukaan bola mata kering dan dapat memicu mediator inflamasi sehingga dapat menyebabkan rasa mengganjal, rasa berpasir, dan rasa lengket pada pagi hari Pasien juga mengeluhkan terasa perih apabila pasien membaca atau menonton TV lama di dalam ruangan berAC. Hal ini sesuai teori karena pada waktu pasien membaca atau menonton TV lama maka pola kedipan akan berkurang sehingga air mata yang dihasilkan kelenjar lakrimal tidak dapat menyebar ke seluruh permukaan bola mata sehingga dapat menyebabkan mata menjadi kering, dan juga dikarenakan pasien berada pada lingkungan berAC/ kipas angin hal ini dapat meningkatkan penguapan dari air mata itu sendiri, sehingga dikarenakan permukaan mata yang kering dapat menimbulkan gejala seperti yang dialami pasien saat datang ke poli mata.
30
Pasien berusia 69 tahun juga mengeluh penglihatan kabur tanpa disertai mata merah. Dari anamnesis ini Differential Diagnosis dari mata putih dengan visus turun perlahan adalah kelainan refraksi, glaukoma kronis, katarak, retinopati hipertensi, retinopati diabetik. Pasien mengeluh penglihatan kabur seperti melihat kaca buram, pandangan kabur secara perlahan-lahan sejak lama dan semakin lama semakin memberat, pasien terasa silau bila terkena cahaya terutama pada malam hari. Pasien rutin kontrol ke dokter mata dan rutin memakai obat catarlent DM, Riwayat HT (+), DM (+). Pada pemeriksaan segmen anterior didapatkan ODS Lensa kesan keruh sebagian, iris shadow (+). Pembahasan Pasien berusia 69 tahun merupakan usia lanjut yang memiliki faktor resiko dari berbagai penyakit. Pasien mengeluhkan penglihatan penglihatan kabur seperti melihat kaca buram, pandangan kabur secara perlahan-lahan sejak lama dan semakin lama semakin memberat, pasien terasa silau bila terkena cahaya terutama pada malam hari. Sesuai teori pasien mengalami gejala penglihatan kabur seperti melihat kaca buram hal ini di karenakan lensa yang keruh, hal ini didukung juga oleh karena usia pasien yang sudah lanjut dan dapat menjadi faktor resiko dari terjadinya katarak. Pasien juga mengeluhkan fotopobia, hal ini sesuai dengan teori dimana pada waktu malam hari pasien akan sulit untuk memfokuskan dikarenakan pupil pada waktu malam hari akan lebih lebar. Dan cahaya akan masuk ke pupil lebih banyak dikarenakan media refraksi yang kurang bagus akhirnya cahaya tersebar. Sehingga penglihatan menjadi silau. Dari pemeriksaan juga didapatkan lensa pasien keruh dan didapatkan iris shadow pada kedua mata. Oleh karena itu pasien suspect katarak. Untuk differential diagnosis seperti glaukoma kronis perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk retinopati hipertensi dan retinopati diabetik disingkirkan karena pada pemeriksaan segmen posterior tidak didapatkan tanda-tanda dari retinopati hipertensi dan retinopati diabetik. Namun perlu dilakukan screening karena pasien memiliki riwayat HT dan DM.
31
ASSESMENT Diagnosis
: ODS Suspect Katarak Senilis Imatur ODS Suspect Sindroma Mata Kering
Diagnosis Banding
: ODS Kelainan Refraksi ODS Presbiopia ODS Glaukoma Kronis
PLANNING Diagnostik -
:
Pemeriksaan Visus dan Koreksi terbaik, perlu dilakukan karena pasien belum diperiksa visusnya dan juga pasien diindikasikan pemeriksaan tersebut karena kemungkinan pasien terdapat kelainan refraksi karena pasien ada riwayat memakai kacamata.
-
Pemeriksaan segmen anterior dengan pupil lebar, pada pemeriksaan ini pasien akan dilebarkan pupilnya agar pemeriksa bisa melihat lensa guna untuk menentukan posisi dari kataraknya dan dapat memastikan dengan lapang yang lebih jelas.
-
Pemeriksaan Tekanan Intra Okuli, dilakukan karena untuk menyingkirkan DD dari glaukoma kronis. Dan juga sebagai screening pasien.
-
Pemeriksaan segmen posterior dengan pupil lebar, dilakukan untuk memeriksa lebih lanjut tentang kondisi dari segemen posterior pasien
-
Tes Schrimer, Tes TBUT, dan Tes Flouresin. Dilakukan untuk menegakan diagnosis dari sindroma mata kering.
Terapi
: Catarlent 4 x 1 tetes ODS, terapi lebih lanjut dapat
diberikan setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut guna untuk menegakan diagnosis. 1.9 Monitoring Keluhan pasien : Kedua mata terasa kering, terasa seperti mengganjal, terasa berpasir, terasa perih saat membaca atau menonton TV lama, terasa lengket pada saat bangun tidur. Visus Segmen anterior Segemen posterior
32
Tes schrimer TIO 1.10 -
Edukasi Menjelaskan kepada pasien bahwa harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakan diagnosis.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa pasien harus menjaga kadar gula darah dan tekanan darah agar tetap stabil dan juga menjelaskan kepada pasien tentang bahaya dari komplikasi dari hipertensi dan diabetes pada organorgan tubuh terutama mata seperti katarak, retinopati diabetik, retinopati hipertensi, glaukoma, dan dapat menyebabkan kebutaan.
-
Menjelaskan kepada pasien untuk mengurangi kebiasaan pasien menonton TV lama atau membaca lama diruangan ber AC atau kipas angin karena menonton TV atau membaca lama diruangan berAC atau kipas angin dapat memperburuk kondisi pasien.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa pandangan kabur seperti melihat kaca buram dan silau bila terkena cahaya merupakan gejala yang disebabkan karena pasien kemungkinan memiliki katarak pada kedua mata.
-
Menjelaskan kepada pasien bahwa obat anti katarak yang diberikan tidak bisa menyembuhkan pasien kembali seperti normal, tapi hanya menghambat agar penyakit kataraknya tidak bertambah parah dan juga menjelaskan kepada pasien bahwa katarak hanya bisa diobati dengan terapi operasi yaitu operasi katarak.
33
DAFTAR PUSTAKA American Academy of Ophthalmology Staff, 2014-2015, Fundamental and Principles of Ophthalmology. United State of America: American Academy of Ophthalmology. Bron, Anthony et al, 2017, TFOS DEWS II Pathophysiology Report, The Ocular Surface, Vol. 15, pp 438-510. Budiono Sjamsu, Saleh Trisnowati T, et al, 2013, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Penerbit Airlangga University Press, Surabaya. Craig P, Jennifer, et al, 2017, TFOS DEWS II Report Executive Summary, The Ocular Surface (2017), pp 1-11 Drew JV, Tseng CL, Seghatchian J, et al ,2018, Reflections on Dry eye Syndrom Treatment: Therapeutic Role of Blood Product. Frontiers in Medicine.Vol 5 (33). Harper, A, 2010, Oftalmologi Umum. Jakarta: EGC Messmer EM, 2015, The Pathophysiology, Diagnosis AndTreatment Of Dry Eye Disease. Dtsch Arztebl International 2015; 112: 71–82. Munir SZ, Aylward J, 2017 A review of ocular graft-versus-host disease. Ophtometry and Vision Science 2017;94(5):1-11. Ocampo, Vicente Victor D, 2016, Senile Cataract. Medscape. Diakses tanggal 06 September 2017. http://emedicine.medscape.com/article/1210914 Pedoman Diagnostik dan Terapi, Bag/SMF Ilmu Penyakit Mata Edisi III Tahun 2006. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Phadatare SP, Momin M, Nighojkar P, Askarkar S, Singh KK, 2015,A comprehensive review on dry eye disease: Diagnosis, medical management, recent developments, and future challenges. Advances in Pharmaceutics 2015;1-13. Sullivan, John H, MD, 2013, Palpebra, Aparatus Lakrimalis, & Air Mata, Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Tana, Lusianawaty, 2007, Merokok dan usia sebagai faktor risiko katarak pada pekerja berusia di atas 30 tahun di bidang pertanian. Jurnal Universa dan Medicina Vol. 36 No. 3
34
Tsubota K, Yokoi N, Shimazaki J, Watanabe H, Dogru M, Yamada M, et al, 2017, New perspectives on dry eye definition and diagnosis: A consensus report by the Asia dry eye society. The Ocular Surface 2017;15(1):65-76. Vaughan D. 2018. General Ophtalmology. Nineteenth Edition. Mc-Graw Hill Education. Edisi 17. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
35