BAB I PENDAHULUAN
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi virus HIV. Seseorang yang terinfeksi virus HIV dan menderita AIDS sering disebut dengan ODHA, singkatan dari orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Pada tahun 1981 di Los Angeles California,Amerika Serikat untuk pertama kali ditemukan suatu penyakit yang kemudian dikenal sebagai Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. Penyebabnya adalah virus HIV tipe-1 yang baru dua tahun sesudahnya diindentifikasi. HIV/AIDS telah menjadi masalah dunia pada saat ini. Di Asia Tenggara pada bulan Maret 1994 dilaporkan 5700 kasus HIV yang kemudian meningkat menjadi 65,091 kasus pada bulan Juli 1997 dan 134,671 kasus pada tahun 1999.2 Selama lebih dari 15 tahun adanya pandemi AIDS kurang lebih 9000 wanita di seluruh dunia telah terinfeksi HIV-1. Sebenarnya ibu dengan HIV positif kurang begitu subur. Penelitian di Uganda dan beberapa negara maju menunjukkan bahwa infeksi HIV pada perempuan menurunkan fertilitas. Namun karena kelompok umur yang terinfeksi HIV sebagian besar adalah usia subur maka kehamilan pada wanita HIV positif merupakan masalah nyata. Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi vertikal dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu bersalin (intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI). Tidak semua ibu pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi yang dikandungnya. HIV tidak melalui barier plasenta. Dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dewasa di Indonesia, maka anak Indonesia juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi. Akan tetapi, sampai saat ini kasus yang teridentifikasi secara pasti belum banyak, sehingga besaran masalahnya belum dapat ditentukan. Beberapa keadaan yang menimbulkan kecurigaan terhadap infeksi HIV pada anak adalah adanya infeksi rekuren atau infeksi biasa yang tidak sembuh dengan pengobatan biasa, dan dapat disertai dengan malnutrisi serta gagal tumbuh. Bahkan, seringkali tanda dan gejala infeksi oportunistik merupakan presentasi pertama dari gejala klinis HIV.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi 1. BIHA (bayi dari ibu dengan HIV/AIDS) Terminologi BIHA dipakai sebagai tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedik, pekarya, diberi tanda stiker merah pada catatan medik, alat suntik, obat dan sebagainya yang ada hubungannya dengan penderita. Tim BIHA adalah tim yang ditunjuk kepala bagian Anak untuk membuat dan merancang petunjuk pelaksanaan hal yang berhubungan dengan BIHA. Empat populasi utama pada kelopok usia pediatrik yang terkena HIV:
Bayi yang terinfeksi melalui penularan perinatal dari ibu yang terinfeksi (disebut juga trasmisi vertikal); hal ini menimbulkan lebih dari 85% kasus AIDS pada anak-anak yang berusia kurang dari 13 tahun.
Anak-anak yang telah menerima produk darah (terutama anak dengan hemofilia)
Remaja yang terinfeksi setelah terlibat dalam perilaku resiko tinggi.
Bayi yang mendapat ASI ( terutama di negara-negara berkembang ). Dari penjabaran CDC diatas, kemungkinan pasien termasuk dalam kelompok pertama, yaitu transmisi vertikal sejak masa perinatal. Batasan bayi baru lahir dari ibu pengidap HIV adalah bayi baru lahir dari Ibu yang diketahui mengidap HIV selama kehamilannya. Ibu sudah diskrining menggunakan pemeriksaan serologis 2. Bronkopneumonia Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi, dan lainya). Bronkopneumonia, disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution).Umumnya, bronkopneumonia mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan benda asing yang mengakibatkan tersumbatnya alveolus dan bronkeolus oleh eksudat.
3. Malnutrisi energi protein Malnutrisi diartikan sebagai kondisi kelebihan maupun kekurangan konsumsi terhadap salah satu atau beberapa zat gizi esensial. Malnutrisi pada anak dapat berupa Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi, Kekurangan Vitamin A (KVA), serta Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Topik ini hanya akan memfokuskan pada masalah malnutrisi Kekurangan Energi dan Protein (KEP). Kekurangan Energi dan Protein (KEP) pada anak dibedakan menjadi dua macam, yaitu marasmus dan kwashiorkor. Marasmus merupakan kekurangan energi pada tingkat berat,sedangkan kwashiorkor merupakan kekurangan protein pada tingkat berat. Marasmus adalah salah satu bentuk kekurangan gizi yang buruk paling sering ditemukan pada balita usia 0 – 2 tahun yang tidak mendapatkan cukup ASI. Penyebabnya antaralain karena masukan makanan yang sangat kurang,infeksi, pembawaan lahir,prematuritas, penyakit pada masa neonatus serta kesehatan lingkungan. Sedangkan ada juga dikenal kwasiorkor marasmus atau honger oedema yang disebabkan secara bersama atau salah satu dari simptoma marasmus dan kwasiorkor adalah sebuah fenomena penyakit di Indonesia bisa diakibatkan karena kekurangan protin kronis pada anak – anak.
B. Patogenesis 1. Patogenesis BIHA BIHA atau bayi dengan ibu HIV/AIDS terjadi karena transmisi secara vertikal saat masa perinatal. Beberapa mekanisme masuknya virus ke bayi termasuk beratnya penyakit ibu, paparan dengan cairan tubuh yang terkena infeksi, kekebalan ibu yang berkurang, dan ASI. Resiko transmisi virus ke bayi besar apabila penyakit ibu berlanjut, atau jumlah CD4+ rendah, viral load tinggi (antigenemia), atau kultur darah HIV positif. Infeksi melalui plasenta dibuktikan dengan adanya biakan yang positip HIV pada darah talipusat dan jaringan janin lahir mati pada trimester awal. Sedangkan infeksi secara vertikal dihubungkan adanya ketuban pecah dini empat jam sebelum lahir secara spontan, tindakan invasif, dan adanya chorioamnionitis 2. Patogenesis bronkopneumonia Proses bronchopneumonia dimulai dari akibat inhalasi mikroba yang ada diudara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen. Selain itu juga berhasilnya kuman
pathogen seperti virus, bakteri, jamur, mycoplasma dan benda asing masuk kesaluran pernafasan yaitu ke bronkus sehingga terserap ke paru perifer yang menyebabkan reaksi jaringan berupa udema, yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadinya serbukan sel PMN (poli morfonuklear), fibrin, eritrosit, cairan edema dan kuman di alveoli. Proses ini termasuk dalam stadium hepatisasi merah, sedangkan stadium hepatisasi kelabu adalah kelanjutan proses infeksi berupa deposisi fibrin ke permukaan pleura. Ditemukan pula fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan proses fagositosis yang cepat. Dilanjutkan stadium resolusi, dengan peningkatan jumlah sel makrofag di alveoli, degenerasi sel dan menipisnya fibrin, serta menghilangnya kuman. 3. Patogenesis malnutrisi energi protein
C. Manifestasi klinis 1. BIHA Kelainan atau gejala yang muncul biasanya tampak pada umur 1 tahun (23 %) sampai dengan 4 tahun (40 %). Beberapa gejala klinik yang muncul seperti failure to thrive, infeksi saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, moniliasis berulang, hepatosplenomegali, febris yang tidak diketahui penyebabnya, ensefalopati (50%-90%) gejala ini terjadi sebelum obat anti Retrovirus dipergunakan. 2,3 Bayi yang terinfeksi tidak dapat dikenali secara klinis sampai terjadi penyakit berat atau sampai masalah kronis seperti diare, gagal tumbuh, atau kandidiasis oral memberi kesan imunodefisiensi yang mendasari.
2. Bronkopneumonia Sebagian gambaran klinis pada anak berkisar antara ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan dan mungkin terdapat komplikasi sehingga memerlukan perawatan di RS. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis bronkopenumonia pada bayi dan anak adalah imaturitas anatomik dan imunologi, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang kadang – kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Gambaran klinis tergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut:
Gejala infeksi umum; yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinel seperti mual,muntah atau diare.
Gejala gangguan respiratorik; yaitu batuk, sesak,retarksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger,merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi, suara napas melemah, dan rhonki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan. 3. Malnutrisi energi protein Gejala klinis malnutrisi energi protein berat / gizi buruk yang dapat ditemukan:
Kwasiorkor -
Adanya edema seluruh tubuh
-
Wajah bulat dan sembab
-
Pandangan mata sayu
-
Rambut tipis, kemerahan seperti rambut jagung
-
Perubahan status mental; rewel, cengeng
-
Pembesaran hati
-
Otot mengecil
-
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
-
Diare
-
Anemia
Marasmus -
Tampak kurus
-
Wajah seperti orangtua
-
Perut cekung
-
Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pants)
D. Penegakan diagnosis WHO telah menetapkan kriteria diagnosa AIDS pada anak. Seorang anak (<12 tahun) dianggap menderita AIDS bila : 1. Lebih dari 18 bulan, menunjukkan tes HIV positif, dan sekurangkurangnya didapatkan 2 gejala mayor dengan 2 gejala minor. Gejala gejala ini bukan disebabkan oleh keadaankeadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV.
2. Kurang dari 18 bulan, ditemukan 2 gejala mayor dan 2 gejala minor dengan ibu yang HIV positif. Gejala-gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan-keadaan lain yang tidak berkaitan dengan infeksi HIV. Tabel 1. Definisi Klinis HIV pada anak di bawah 12 tahun (menurut WHO). Gejala Mayor : a) Penurunan berat badan atau kegagalan pertumbuhan. b) Diare kronik (lebih dari 1 bulan) c) Demam yang berkepanjangan (lebih dari 1 bulan) d) Infeksi saluran pernafasan bagian bawah yang parah dan menetap Gejala Minor : a) Limfadenopati yang menyeluruh atau hepatosplenomegali b) Kandidiasis mulut dan faring c) Infeksi ringan yang berulang (otitis media, faringitis) d) Batuk kronik (lebih dari 1 bulan) e) Dermatitis yang menyelurh f) Ensefalitis
Tes Diagnostik untuk Infeksi HIV Pada Bayi 1. HIV Antibodi pada anak umur > 18 bulan dilakukan dengan metode ELISA IgG anti HIV Ab, dapat ditransfer melalui plasenta pada Trimester III. Bila hasil positif sebelum umur 18 bulan, mungkin antibodi dari ibunya. 2. VIRUS : HIV PCR DNA dari darah perifer pada waktu lahir, dan umur 3-4 bulan. Bila umur 4 bulan hasil negatif bayi bebas HIV, bila HIV PCV RNA positif
BIHA positif
terkena HIV. Pengujian virologi pada awal kelahiran dapat dipertimbangkan untuk bayi yang baru lahir beresiko tinggi infeksi HIV, contohnya seperti bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV yang tidak menerima perawatan prenatal, ART prenatal, atau yang memiliki viral load HIV> 1.000 copies / mL mendekati ke waktu kelahiran. Sebanyak 30% -40% dari bayi yang terinfeksi HIV dapat diidentifikasi dari usia 48 jam. Sampel darah dari tali pusar tidak boleh digunakan untuk evaluasi diagnostik karena kontaminasi dengan darah ibu. Definisi yang pasti telah diusulkan untuk membedakan didapatkannya infeksi HIV selama periode intrauterin atau dari periode intrapartum. Bayi yang memiliki tes virologi positif pada atau sebelum usia 48 jam dianggap memiliki infeksi awal (yaitu, intrauterin),
sedangkan bayi yang memiliki tes virologi negatif selama minggu pertama kehidupan dan tes positif berikutnya dianggap memiliki infeksi setelahnya (yaitu, intrapartum). 3. CD4 count rendah (normal 2500-3500/ml pada anak, Dewasa 700- 1000/ml). 4. P24 Antigen test sudah kurang dipakai untuk diagnostik, karena dipandang kurang sensitif terutama untuk bayi. Knuchel dkk membandingkan sensitivitas tes tersebut antara DBS ( dried blood spot ) dan plasma. Mereka menemukan bahwa tes tersebut mempunyai spesifisitas 100% dan tidak ada perbedaan hasil secara kuantitatif antara DBS dan plasma. Mereka juga membandingkan hasil tes antigen p24 dengan viral load HIV dan menemukan korelasi yang positif, tetapi koefisien korelasi tersebut rendah (r = 0,67). Sensitivitas tes HIV p24 dibandingkan dengan tes viralload HIV adalah kurang lebih 90%. Hal ini berarti bahwa tes untuk menskrining bayi yang terpajan HIV akan menghasilkan hampir 10% bayi yang salah didiagnosis sebagai tidak terinfeksi. Penggunaan PCR HIV DNA-RNA memiliki sensitiitas 100% pada plasma. Jika pada tes konfirmasi antibodi HIV positif, maka pemeriksaan HIV PCR DNA pada bayi harus dilakukan.
E. Diagnosis banding
F. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan BIHA Pertolongan persalinan pada bayi baru lahir dari ibu yang mengidap HIV/AIDS seperti pada pertolongan persalinan normal dengan menerapkan universal precaution. Bila obat antiretroviral tersedia dapat diberikan kepada bayi. Saat ini obat yang dianjurkan untuk mengurangi transmisi vertikal pada neonatus adalah Zidovudine selama 6 minggu atau Niverapine sebanyak satu kali pemberian. Jika HIV PCR DNA pada bayi positif, profilaksis ARV harus dihentikan dan bayi segera dirujuk ke spesialis HIV pediatrik untuk konfirmasi diagnosis dan pengobatan infeksi HIV dengan terapi kombinasi standar antiretroviral. Bayi yang terinfeksi HIV juga harus menerima kemoprofilaksis terhadap PCP dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP) oral dimulai pada usia 4-6 minggu.
Pemberian antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat antiretroviral yang dapat menyembuhkan infeksi HIV, obat yang ada hanya dapat memperpanjang kehidupan. Obat antiretroviral yang dipakai pada bayi/anak adalah Zidovudine. Obat tersebut diberikan bila sudah terdapat gejala seperti infeksi oportunistik, sepsis, gagal
tumbuh, ensefalopati progresif, jumlah trombosit < 75.000 / mm3 selama 2 minggu, atau terdapat penurunan status imunologis. Pemantauan status imunologis yang dipakai adalah jumlah sel CD4 ataun kadar imunoglobulin < 250 mg/mm3. Jumlah sel CD4 untuk umur <1 tahun,1-2, 3-6,dan >6 tahun berturut - turut adalah < 1750, <1000, <750/mm3., dan < 500/mm3. Pengobatan diberikan seumur hidup. Dosis pada bayi < 4 minggu adalah 3 mg/kg BB per oral setiap 6 jam, untuk anak lebih besar 180 mg/m2; dosis dikurangi menjadi 90-120 mg/m2 setiap 6 jam apabila terdapat tanda-tanda efek samping atau intoleransi seperti kadar Hemoglobin dan jumlah leukosit menurun, atau adanya gejala mual. Untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadi infeksi Pneumocystis carinii diberikan trimethropinsulfamethoxazole dengan dosis 150 mg/m2 dibagi dalam 2
dosis
selama
3
hari
berturut
setiap
minggu.
Bila
terdapat
hipogammaglobulinemia (IgG<250 mg/dl) atau adanya infeksi berulang diberikan Imunoglobulin intravena dengan dosis 400 mg/kg BB per 4 minggu. Pengobatan sebaiknya oleh dokter anak yang telah memperdalam tentang pengobatan AIDS pada anak.
Pemberian makanan
Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui ASI adalah sebanyak 15 %. Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat diturunkan sampai 2-4% dengan menggunakan cara pencegahan seperti pemberian antiretrovirus, persalinan secara seksio sesaria, maka sebaiknya bayi tidak mendapat ASI. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pemberian pengganti ASI jangan berdampak lebih buruk. Analisis dari data yang diperoleh membuktikan bahwa di negara yang angka kematian pascaneonatal adalah 90 per seribu, bila penggunaan susu formula mencapai 10% akan terjadi kenaikan 13% pada angka kematian bayi dan apabila penggunaan susu formula mencapai 100% angka kematian bayi naik sebanyak59%. Penelitian lain menunjukkan bahwa di daerah dengan higiene yang buruk, angka kematian karena diare pada anak usia 8 hari sampai 12 bulan adalah 14 kali pada mereka yang tidak mendapatkan ASI dibandingkan yang mendapat ASI. Apabila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu didukung.
- Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan alternatif yang baik dengan cara yang benar, misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik dibandingkan dengan pemberian melalui botol. Di negara berkembang sewajarnya makanan alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang 6 bulan. - Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat menular melalui luka. Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus dalam ASI lebih mudah masuk.
Pemberian vaksin
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons imun terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu di negara-negara berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurakan untuk tidak memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk imunisasi polio OPV (oral polio vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated polio vaccine) yang bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih dianjurkan oleh karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien ini lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak. 2. Penatalaksanaan bronkopneumonia
Penatalaksanaan medis Pengobatan diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi, tetapi
karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu secepatnya, maka biasanya yang diberikan antara lain: a. Pennicillin 50000 unit/kg/BB/hari ditambah klorqmfenikol 80-90 mg/kg/BB/hari atau diberikan antibiotic yang mempunyai spectrum luas seperti ampicillin, pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5 hari. b. Berikan oksigen dan cairan intravena.
c. Diberikan korelasi, sesuai dengan hasil analisa gas darah arteri.
Penatalaksanaan terapeutik
a. Menjaga kelancaran pernafasan. b. Istirahat. c. Nutrisi dan cairan. d. Mengontrol suhu. e. Mencegah komplikasi/gangguan rasa aman dan nyaman.
Penatalaksanaan medis umum.
a. Farmakoterapi - Antibiotik (diberikan secara intravena) - Ekspektoran. - Antipiretik. - Analgetik. b. Terapi O2 dan nebulisasi aerosol. c. Fisioterapi dada dengan postural.
3. Penatalakksanaan malnutrisi energi protein