1
A. Model Pembelajaran di Perguruan Tinggi Pembelajaran merupakan salah satu proses bagi pendidikan untuk melaksanakan fungsinya sebagai pemercepat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta penguat penyebaran nilai-nilai budaya dalam masyarakat. Fungsi tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi-fungsi pendidikan yang dikemukakan oleh Jarvis, Holford, dan Griffin: We may sum up the traditional functions of education thus: to transmit the kinds of knowledge and skills required to sustain industrial economies, especially the scientific and technical knowledge on which they were based; to reinforce prevailing cultural values in society the beliefs and attitudes to which people were expected to conform.1 Secara
implisit,
dari
pernyataan
di
atas
dapat
dipahami
bahwa
pembelajaran merupakan pengalihan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai budaya dari seorang individu kepada individu yang lain atau dari suatu kelompok individu kepada kelompok lain dalam suatu masyarakat. Dengan kata lain, pengalihan ini merupakan suatu proses yang melibatkan paling tidak dua orang atau kelompok yang bertindak sebagai pembelajar dan pengajar di mana kedua pihak memiliki peran masing-masing yang berbeda yang memudahkan terjadinya pengalihan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai budaya tersebut. Pihak pembelajar bertindak aktif mencari dan menggali apa yang sedang dipelajari dan tidak bertindak pasif menerima dan menunggu dari pihak lain; sebaliknya pihak pengajar berbuat aktif membantu dan memberikan berbagai macam kemudahan bagi pembelajar untuk mendapatkan apa yang sedang dipelajarinya. Mempertegas pengertian pembelajaran di atas, Swann
mengemukakan
bahwa pembelajaran itu merupakan suatu proses di mana seseorang itu bertindak secara aktif dan bertanggung-jawab, seperti coba-coba salah (trial and error), untuk menemukan apa yang dicarinya. Selengkapnya beliau mengatakan: Learning is a process in which the individual is always active and, in essence, responsible. Thus there is no such passive learning.
1
Peter Jarvis, John Holford, dan Colin Griffin, The Theory and Practice of Learning (London: Kogan Page Limited, 1998), h. 14.
2
Learning always involves trial and error, whether or not teachers or students (or educational policy-makers) are aware that this is so.2 Pengertian di atas mengisyaratkan bahwa pembelajaran bukan merupakan suatu proses di mana seseorang, secara pasif, hanya menunggu dan menerima informasi yang dibutuhkan dari pihak lain, tetapi merupakan suatu proses di mana seseorang bertindak aktif mencari informasi yang dibutuhkan, seperti dengan cara coba-coba salah, serta mampu mempertanggung-jawabkan secara ilmiah apa yang telah dilakukan. Berdasarkan pada keterangan di atas, dapat dikatakan pembelajaran akan terjadi
bila informasi
yang dibutuhkan dapat diterima oleh seseorang.
Penerimaan informasi itu berakibat terjadinya perubahan dalam dirinya, seperti pertambahan pengetahuan atau perubahan tingkah laku. Perubahan yang terjadi pada dua aspek tersebut juga merupakan esensi dari pembelajaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembelajaran merupakan proses perubahan tingkah laku dan atau pertambahan ilmu pengetahuan dalam diri seseorang. Menurut Rogers, pembelajaran itu tidak hanya menyangkut perubahan prilaku dan pertambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyangkut penguatan atau penekanan terhadap prilaku dan ilmu pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang. Pembelajaran dalam hal ini memiliki dua makna: yang pertama adalah perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari berprilaku kasar menjadi berprilaku sopan dan santun, dan yang kedua adalah penguatan dari tahu menjadi makin tahu/yakin atau dari berprilaku sopan santun menjadi lebih sopan dan santun.3 Rogers juga mengingatkan bahwa pembelajaran itu, di samping bersifat aktif, juga bersifat personal dan volunter atau sukarela. But recent work on learning indicates that learning is active, not the passive receipt of knowledge and skills; learning is personal, individual: we can learn from and in association with others, but in the end all learning chages are made individually; and learning is voluntary, we do it ourselves, it is not compulsory.4 Berdasarkan keterangan yang diberikan Rogers di atas, sifat personal dalam pembelajaran bermakna bahwa perubahan yang terjadi di dalam diri seseorang berbeda dengan individu lain. Merupakan hal yang sudah biasa 2 Joanna Swann, “The Logic-of-Learning Approach to Teaching: a Testable Theory,” Improving Education, Eds. Joanna Swann dan John Pratt (London: Cassell, 1999), hh. 112-3. 3 Alan Rogers, Teaching Adults (Buckingham: Open University Press, 1996), h. 77. 4 Ibid., h. 77.
3
terjadi, bila di dalam kelas dapat dijumpai seorang siswa yang memiliki nilai tertinggi, nilai terendah, dan nilai rata-rata. Adapun volunter/sukarela bermakna bahwa pembelajaran itu tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain, tetapi terjadinya berdasarkan atas inisiatif pembelajar itu sendiri. Bila terjadi atas inisiatif pihak lain, hal itu merupakan faktor pendorong saja. Artinya, kemauan seseorang untuk belajar sangat tergantung pada pribadi masing-masing. Barang siapa merasa membutuhkan tambahan pengetahuan dan informasi lain, maka ia akan berupaya untuk memperolehnya, dan sebaliknya barang siapa yang tidak menghendaki informasi baru, maka tidak akan muncul keinginan untuk meraihnya. Pertambahan ilmu pengetahuan dan perubahan tingkah laku dalam diri seseorang tidak terjadi secara sederhana, tetapi melalui suatu proses yang komplek. Proses tersebut tidak hanya melibatkan aktivitas kognitif, seperti mengingat, memahami, menerangkan, dan mengevaluasi, tetapi juga melibatkan aktivitas afektif seperti memperhatikan, membantu, menolak, dan mengikuti atau merespons suatu masalah.5 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran bukan merupakan proses yang pasif di mana seseorang hanya menerima dan menunggu masukan dari pihak lain tanpa ada upaya dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses di mana seseorang terlibat secara aktif dalam aktivitas-aktivitas kognitif dan afektif untuk melakukan perubahan yang berkaitan dengan pertambahan ilmu pengetahuan dan perubahan tingkah laku. Pembelajaran dan pengajaran pada tingkat perguruan tinggi bisa mengambil berbagai macam bentuk atau model, baik tradisional yang cenderung berorientasi pada dosen, maupun mutakhir yang relatif berorientasi pada mahasiswa; atau bentuk/model yang berorientasi pada produk/hasil maupun bentuk yang beorientasi pada proses. Penerapan model pembelajaran dan 5
Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and Professional Development (London: Kogan Page Limited, 1999), h. 103.
4
pengajaran yang beragam tersebut tentu saja dapat mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan pasar domestik dan internasional; atau menggunakan temuan-temuan penelitian teoretis dan aplikatif, sehingga tujuan yang diharapkan dapat terwujud secara baik. Pemanfaatan
penelitian
dalam
penyelenggaraan
pembelajaran
dan
pengajaran pada tingkat perguruan tinggi medorong munculnya beberapa model, seperti
pengajaran
yang
mengarah
pada
riset
(research-led
teaching);
pengajaran yang melek riset (research-informed teaching); pengajaran yang brorientasi pada riset (research-oriented teaching); dan pengajaran yang berbasis riset (research-based teaching). Model pertama merupakan model pembelajaran dan pengajaran yang kurikulumnya disusun berdasarkan subjek atau matakuliah yang harus dikuasai mahasiswa. Kegiatan pengajarannya menekankan lebih banyak pada aspek pemahaman temuan-temuan penelitian dalam bentuk transformasi informasi saja daripada proses penelitiannya. Hubungan antara dosen dan mahasiswa merupakan hubungan satu arah yang hanya didominasi oleh dosen; dan mahasiswa lebih banyak menerima daripada menggali informasi-informasi yang mereka butuhkan. Akibatnya, kegiatan belajar menjadi membosankan dan melelahkan karena mahasiswa hanya dituntut untuk menghafal dan menghafal teori-teori yang peguasaanya relatif bersifat temporer dan sesaat. Berkenaan dengan model pengajaran itu, Jenkins dan Healy mengatakan: Teaching can be research-led in the sense that the curriculum is structured around subject content, and the content selected is directly based on the specialist research interests of teaching staff; teaching is often based on a traditional information transmission model; the emphasis tends to be on understanding research findings rather than research processes. Limited
5
emphasis is placed on maximizing the potential positive impacts of teaching on research.6 Tidak berbeda jauh dengan model pertama, model kedua merupakan model yang relatif lebih baik daripada model terdahulu. Model kedua sudah mulai memasukkan unsur-unsur penelitian dalam kegiatan pengajaran meskipun belum menjadi pijakan utamanya. Model kedua disempurnakan oleh model ketiga yang telah menekankan pentingnya proses pemerolehan pengetahuan, penguasaan etos meneliti, dan pengembangan kemampuan meneliti mahasiswa. Hubungan antara dosen dan mahasiswa sudah mulai mengarah pada hubungan dua arah, meskipun masih didominasi oleh dosen. Kegiatan belajar juga berjalan lebih menarik dan mengundang keterlibatan mahasiswa di dalamnya. Berikut ini penjelasan ringkas mengenai model ketiga. Teaching can be research-oriented in the sense that the curriculum places emphasis as much on understanding the processes by which knowledge is produced as on learning the codified knowledge that has been achieved; careful attention is given to the teaching of inquiry skills and on acquiring a research ethos ; the research experiences of teaching staff are brought to bear in a more diffuse way.7 Model keempat, pengajaran berbasis penelitian, dianggap sebagai penyempurna model-model terdahulu. Model keempat memanfaatkan kegiatan penelitian sebagai dasar pengembangan kegiatan pengajaran. Pengajaran didesain secara terpadu dengan kegiatan penelitian sehingga mahasiswa tidak dijejali dengan berbagai macam pengetahuan tetapi diberikan pengalaman mencari dan menggali bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Selain itu, hubungan antara dosen dan mahasiswa bukan merupakan hubungan antara pemberi dan penerima; atau hubungan antara pemimpin dan bawahan yang kaku; tetapi merupakan hubungan dua arah (konsultatif). Dosen bertindak sebagai 6
Alan Jenkins and Mick Healey, Institutional Strategies to Link Teaching And Research (Heslington York: The Higher Education Academy, 2005), h. 21. 7 Ibid.
6
fasilitator yang terus-menerus memberikan fasilitasi pembelajaran yang dilakukan mahasiswa; dan mahasiswa dengan pengetahuan yang dikuasai sebelumnya berusaha secara aktif mencari informasi-informasi yang dibutuhkan. Teaching can be research-based in the sense that the curriculum is largely designed around inquiry-based activities, rather than on the acquisition of subject content; the experiences of staff in processes of inquiry are highly integrated into the student learning activities; the division of roles between teacher and student is minimized; the scope for two-way interactions between research and teaching is deliberately exploited.8 Jika dilihat dari peran mahasiswa dalam pembelajaran, keempat model tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: model pengajaran pertama dan ketiga termasuk dalam kelompok pengajaran terpusat pada dosen; sedangkan model kedua dan keempat termasuk dalam kelompok pengajaran terpusat pada mahasiswa. Bila dikelompokkan berdasarkan prosesnya, model pengajaran pertama dan kedua termasuk dalam kelompok pengajaran bebasis isi; dan model ketiga dan keempat termasuk dalam model pengajaran berbasis proses. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya keempat model tersebut dapat diaplikasikan secara terpisah atau terpadu sesuai dengan kompetensi yang ingin dikembangkan. Pengelompokan keempat model pengajaran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 pada halaman berikut.
B. Pembelajaran Berbasis Riset Telaah terhadap model pembelajaran berbasis riset perlu dilakukan secara komprehensif untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai apa dan bagaimana pelakasanaan pembelajaran berbasis riset di perguruan tinggi, sehingga dapat ditentukan model pembelajaran berbasis riset manakah yang
8
Ibid.
7
Students-centered Researchinformed
Researchbased
Contents-based
Process-based
Researchled
Researchoriented
Teachers-centered Gambar 1. Kaitan pengajaran dan penelititan/proses (Modifikasi dari Healy)9
cocok
untuk diterapkan pada kondisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Oleh
karena itu, paling tidak pengertian, prinsip-prinsip, rancangan pengajaran, langkah-langkah, dan peran dosen dan mahasiswa harus mendapat perhatian yang lebih banyak.
1. Pengertian Istilah Pembelajaran Berbasis Riset (selanjutnya disebut PBR) merupakan istilah ambigu yang mengandung dua makna, yakni kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan hasil-hasil penelitian sebagai dasar pengembangan disiplin keilmuan; dan metode pembelajaran yang menggunakan prinsip-prinsip dan prosedur riset dalam pengembangan disiplin keilmuan. Menguatkan pengertian tersebut, Suchada Poonpan dalam disertasinya menjelaskan bahwa PBR
9 Healey, M. Linking Research and Teaching: Disciplinary Spaces, in: R. Barnett (Ed.) Reshaping The University: New Relationships Between Research, Scholarship And Teaching (Maidenhead: McGraw-Hill/Open University Press), h. 70.
8
sebagai metode pembelajaran melibatkan mahasiswa dalam mengkonstruk pengetahuan dengan cara-cara ilmiah, seperti perumusan hipotesis, pencarian data, analisis data, dan pengambilan kesimpulan. Selengkapnya ia mengatakan: The research - based learning form consisted of two types: the first form was the teaching that included the research result and other teaching methods. The second form of research - based learning was the method that served our students to construct the knowledge by searching, setting hypothesis, collecting data, analyzing data and making the conclusion of the new data or new lessons. We had heard that there were scientific methods which were suitable for learning by doing.10 Pengertian tersebut memperjelas apa yang dimaksud dengan PBR dengan memberikan elaborasi spesifik beberapa istilah yang sering digunakan dalam penelitian, seperti setting hypothesis, collecting data, analyzing data and making the conclusion of the new data or new lesson. Pemanfaatan metode ilmiah yang merupakan salah satu ciri penting penelitian dalam pengajaran dapat mendorong mahasiswa melakukan penemuan-penemuan dan inovasi-inovasi baru dalam berbagai
disiplin
keilmuan.
Hal
itu
terjadi
karena
pengajaran
dengan
menggunakan PBR memberikan pengalaman penjelajahan dunia keilmuan, investigasi langsung ke sumber-sumber belajar, kesadaran akan pentingnya tujuan belajar, kesempatan untuk mengevaluasi kegiatan belajar yang sedang dan sudah dilakukan, dan penerapan temuan-temuan keilmuan dalam kehidupan. Mengenai hal itu, Silvia FAT mengatakan: Research-based curriculum implies instructional resources whose goal is to improve students achievement through: Experiential learning; Inquiry-based pedagogy; Direct investigations; Authentic assessments; Application of their learning; Consciousness of their own learning goals; Opportunities for selfassessment and monitoring their own learning experiences.11
10
Suchada Poonpan, Indicators of Research - Based Learning Instructional Process: A Case Study of Best Practice in a Primary School (Disertasi: Department of Research and Psychology in Education, Faculty of Education, Chulalongkorn University, 2007), h. 2. 11 Silvia FAT, “Designing the Curriculum - Transmitting Research Based Academic Knowledge” Research in Education, No. 68 Summer 2001.
9
Jika diperhatikan secara seksama, penjelasan di atas juga menggunakan istilah “inquiry-based padagogy” yaitu pengajaran yang memanfaatkan prosedurprosedur penemuan/pencarian dalam penyampaian materi ajar. Tentu saja, model pengajaran tersebut memiliki beberapa kesamaan dengan PBR; dan bahkan dapat dikatakan keduanya merupakan satu konsep dengan dua istilah berbeda. Jadi, istilah lain dari PBR adalah “inquiry-based learning (IBL)”. Menjelaskan pengertian IBL Tosey dan McDonnell mengatakan: IBL is a process of learning in which the learner has a significant influence on choice about the aim, scope, or topic of their learning; and attends intentionally to, learns about, and is guided or supported in, the process of learning. This process of learning draws upon research skills and study skills, but enquiry is not reducible to either research or study.12 Salah satu hal penting yang merupakan ciri dari IBL adalah keterlibatan penuh mahasiswa dalam penentuan tujuan, topik belajar; dan dalam proses belajar
yang
mengembangkan
keterampilan
meneliti
dan
kemampuan
menganalisis. Tentu saja kemampuan meneliti tersebut dibangun berdasarkan prosedur-prosedur penelitian yang sebenarnya. Oleh karena itu, kegiatan belajar biasanya dimulai dengan sebuah masalah atau pertanyaan-pertanyaan penelitian yang menuntut pemikiran kritis untuk merekonstruksi pemahaman. Pada saat itulah terjadi proses belajar kompleks yang tidak ditemukan pada model pengajaran lain. Ciri-ciri tersebut juga diungkapkan oleh Donovon dkk yang mengatakan: Inquiry-based learning is the heart of well-constructed student miniresearch activities. These activities must be based on asking questions that require critical thinking to construct reasoned opinions. Reading, writing, and reporting the conclusions of this thinking, helps students build essential lifetime skills. Effective inquiry is more than just asking questions. A complex process is
12
Paul Tosey & Juliet McDonnell, “Mapping Enquiry-based Learning Discourse, fractals and a bowl of cherries” Learning to Learn through Supported Enquiry (L2L), April 2006, h. 2.
10
involved when individuals attempt to convert information and data into useful knowledge.13 Melalui proses belajar kompleks tersebut, IBL membangun sebuah premis “kebutuhan atau keinginan untuk mengetahui” yang menekankan pentingnya “how we come to know” daripada “what we know”. “How we come to know” mendorong mahasiswa menggunakan kemampuan berfikir tingkat tinggi, seperti analisis, yakni mendekonstruksi konsep-konsep untuk memperoleh pemahaman komprehensif; sintesis, yakni kemampuan untuk membangun konsep baru berdasarkan konsep-konsep lain yang sudah ada; dan evaluasi, yakni kemampuan untuk menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang
berkenaan
dengan
kriteria-kriteria,
keunggulan-keunggulan,
dan
kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh pilihan-pilihan tersedia. Selain dikenal dengan IBL, pembelajaran berbasis riset juga dikenal dengan istilah pembelajaran berbasis masalah/problem (PBM) karena masalah dianggap sebagai pijakan dasar penyelenggaraan PBR; dan pembelajaran berbasis projek (PBP) karena seluruh kegiatan PBR merupakan rangkaian kegiatan yang membangun sebuah projek. 14 PBM dapat diartikan sebagai pengajaran yang terpusat pada mahasiswa yang memperdayakan mahasiswa untuk melakukan kajian, memadukan teori dan praktek, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk memecahkan masalah yang telah ditentukan.15 Secara spesifik PBM merupakan model pembelajaran yang mana isi kurikulum tidak disusun berdasarkan matakuliah tetapi berdasarkan skenario
13
M. Suzanne Donovan, et. al., editors (Committee on Learning Research and Educational Practice; National Research Council), “How People Learn” Pro-Quest company, increase student learning and achievement, June 2006, h. 7. 14 Hasil wawancara dengan Prof. Drs. Sutrisno, MSc. Ph.D., pakar Pembelajaran Berbasis Riset dan dosen pada Universitas Jambi, pada tanggal 25 Mei 2007. 15 John R. Savery, “Overview of Problem-based Learning: Definitions and Distinctions” The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. volume 1, no. 1 (Spring 2006), h. 12.
11
masalah yang harus diselesaikan oleh mahasiswa. Mahasiswa bekerja secara berkelompok mencari informasi dan keterampilan apa yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan masalah secara efektif. Jadi terdapat tiga ciri utama yang dimiliki PBM, yakni organisasi kurikulum disusun berdasarkan masalah; mahasiswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil; dan pengembangan kemampuan belajar seumur hidup. Berikut pandangan Savin-Baden mengenai PBM: The three broad areas of differentiation are as follows: 1. Essential characteristics of problem-based learning that comprised curricula organization around problems rather than disciplines, an integrated curriculum and an emphasis on cognitive skills. 2. Conditions that facilitated problem-based learning such as small groups, tutorial instruction and active learning. 3. Outcomes that were facilitated by problem-based learning such as the development of skills and motivation, together with the development of the ability to be lifelong learners.16 Berbeda dengan PBM, pembelajaran berbasis projek sebagai istilah lain dari PBR lebih menekankan pada aspek “projek”. Mahasiswa dengan kelompoknya diberikan tugas yang harus diselesaikan dengan menggunakan cara-cara ilmiah sesuai dengan karakteristik masalah yang bersifat autentik, berdasarkan kurikulum, dan seringkali multidisiplin. Mahasiswa juga dituntut secara kolaboratif untuk menentukan pendekatan yang akan digunakan, mengumpulkan informasi dan merekonstruksinya sebagai pengetahuan baru. Selain itu, pada akhir kegiatan belajar, mahasiswa menyampaikan pengetahuan yang diperoleh untuk mendapatkan masukan dari pihak lain sebagai bahan refleksi. Karena sifatnya yang terpusat pada mahasiswa, peran dosen pada PBP relatif lebih terbatas, seperti memberikan bimbingan dan nasehat atau masukan 16
Maggy Savin-Baden, Problem-Based Learning in Higher Education: Untold Stories. (Buckingham: Open University Press, 2000), h. 19-20.
12
terhadap apa yang dilakukan mahasiswa.17 Dilihat dari pengertian tersebut, PBL merupakan inti dari pengajaran yang baik
yang
mampu
melibatkan
secara
bersama-sama
pengembangan
kemampuan mencari dan meneliti (intellectual inquiry), standards dunia, dan pelibatan mahasiswa dalam kegiatan yang bermakna dan relevan. Melengkapi ciri-ciri tersebut, Solomon mendeskripsikan beberapa ciri PBP sebagai berikut. Well-crafted projects: Engage and build on student interests and passions, Provide a meaningful and authentic context for learning, Immerse students in complex, real-world problems/investigations without a predetermined solution, Allow students to take the lead, making critical choices and decisions, Connect students with community resources and experts, Require students to develop and demonstrate essential skills and knowledge, Draw on multiple disciplines to solve problems and deepen understanding, Build in opportunities for reflection and self-assessment, Result in useful products that demonstrate what students have learned, and Culminate in exhibitions or presentations to an authentic audience.18 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat digambarkan perbedaan antara pangajaran
konvensional
konvensional
dimulai
dan
dengan
pengajaran
berbasis
penyampaian
riset.
Pengajaran
pengethauan/informasi
dan
keterampilan, masalah, dan penyelesaian atau aplikasi. Sebaliknya, pengajaran berbasis
riset
berangkat
dari
masalah,
penggalian
pengetahuan
dan
keterampilan; penyelesaian masalah atau aplikasi, dan diakhiri dengan refleksi. Deskripsi tentang perbedaaan kedua bentuk pengajaran terebut ditampilkan pada Gambar 2 berikut.
17
Gwen Solomon, “Project-Based Learning: a Primer” Tech-Learning, January 15, 2003, h.
1. 18
Ibid, h. 6.
13
Pengajaran Konvensional
Knowledge Problems
Solutions/ Application
Skills
Pengajaran Berbasis Riset
Knowledge Solutions/ Application
Problems Skills
Reflections & Feedback
Gambar 2. Perbedaan antara Pengajaran Konvensional & Pengajaran Berbasis Riset Jika dilihat dari sudut pandang siapa yang melakukan apa, seperti penentuan topik, materi ajar, desain, dan pengembilan kesimpulan, diketahui bahwa seluruh kegiatan pengajaran konvensional yang berada pada satu kutub ditentukan dan dikendalikan oleh dosen; sedangkan sebagian besar kegiatan pengajaran berbasis riset yang berada pada kutub lain ditentukan dan dikendalikan oleh
mahasiswa. Di
pengajaran berbasis riset,
antara pengajaran
konvensional dan
kegiatan penagajaran ditentukan oleh dosen dan
mahasiswa. Perbedaan pengajaran konvensioanl pada satu kutub dan pengajaran berbasis riset pada kutub lain dapat dilihat pada tabel berikut.
14
Tabel 1. Perbedaan Beberapa Model Pembelajaran (Diadopsi dari Bonstetter, R.J.1998) MODEL PEMBELAJARAN ASPEK Traditional
Structured
Guided
Topic
Teacher
Teacher
Teacher
Question
Teacher
Teacher
Teacher
Materials
Teacher
Teacher
Teacher
Procedures/ Design
Teacher
Teacher
Results/ Analysis
Teacher
Conclusions
Teacher
Student Directed Teacher
Student Research Teacher/ Student
Teacher/ Student Student
Student
Teacher/ Student
Student
Student
Teacher/ Student
Student
Student
Student
Student
Student
Student
Student
Student
2. Teori-teori Belajar yang Mendasari PBR Sebenarnya,
PBR
sebagai
metode
pembelajaran
tidak
dibangun
berdasarkan satu teori belajar tertentu, tetapi merupakan sintesis dari beberapa teori belajar yang telah berkembangkan sebelumnya, yakni teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.
Teori-teori belajar tersebut
tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling melengkapi sehingga menghasilkan satu model yang sesuai dengan ciri-ciri mahasiswa sebagai peserta didik pada pendidikan tinggi.
a. Behaviorisme Teori belajar Behaviourisme memandang pembelajaran sebagai perubahan prilaku seseorang yang tampak sebagai akibat dari pengalamanya berinteraksi dengan lingkungan. Terjadinya pembelajaran di sini lebih banyak
tergantung
pada pihak luar, yakni lingkungan sekitar, bukan pada diri seseorang itu sendiri. Secara umum pembelajaran seperti ini terwujud dalam bentuk hubungan antara
15
stimulus dan respon. Salah satu tokoh teori pembelajaran ini adalah Skinner dengan teori belajar S-R (Stimulus-Respons) yang unsur utamanya adalah pemberian penguatan (reinforcement). Menurut teori tersebut, respons yang merupakan wujud dari perubahan prilaku seseorang, akan menjadi prilaku yang permanen jika hal itu diberikan penguatan (reinforcement); dan sebaliknya jika diberikan hukuman, maka respons tersebut tidak akan menjadi prilaku yang permanen.19 Teori belajar behaviorisme yang menekankan peran aspek lingkungan di luar diri individu dalam pemerolehan kompetensi mengilhami PBR pada aspek kaloborasi antara mahasiswa dengan objek kajian, mahasiswa dengan rekan sejawat, mahasiswa dengan dosen, dan mahsiswa dengan lingkungannya dalam mengkonstruksi pengetahuan. Mahasiswa berinteraksi dengan objek kajian untuk melihat gejala-gejala alam yang terjadi sehingga diperoleh suatu kesimpulan dan hipotesis sesuai dengan masalah yang sedang dibahas. Sedangkan dengan rekan sejawat dan dosen, mahasiswa bertukar-pikiran dan saling membagi ideide dan pandangannya berkenaan dengan gejala-gejala alam tersebut. Pola hubungan antara mahasiswa dengan pihak luar tersebut menunjukkan betapa besar peran aspek lingkungan dalam mempengaruhi
individu pada saat
mengkonstruksi pengetahuan. Jadi, kekuatan teori Behaviorisme terletak pada situasi di mana seseorang sudah dihadapkan pada tujuan yang jelas dan mampu memberikan respons terhadap hal-hal yang terkait erat dengan tujuan itu. Umpamanya, seorang petugas pemadam kebakaran yang sudah terbiasa untuk mengambil peralatan yang dimiliki setelah mendengar bunyi sirene,
akan
bergerak dengan cepat peralatannya jika ia mendengar bunyi yang menyerupai 19
Anonymous, Operant Conditioning, http://www.gwu.edu/tip/skinner. html., tanggal 1 Maret 2001, h. 1.
16
bunyi sirene. Sebaliknya, kelemahan teori tersebut terletak pada kemungkinan terjadinya situasi di mana stimulus untuk respons yang benar tidak muncul sehingga seseorang tidak bisa
memberikan respons yang diharapkan.
Umpamanya, seorang pegawai yang hanya dilatih untuk mengatasi kerusakan kelistrikan pada alat-alat rumah tangga, tidak mampu memberikan respons yang tepat jika terjadi kerusakan nonkelistrikan. b. Kognitivisme Tidak berbeda dengan teori behaviorisme, teori belajar kognitivisme juga memberikan andil yang besar dalam bangunan PBR. Teori belajar Kognitivisme menekankan keterlibatan aktif akal pikiran dalam kegiatan pembelajaran. Terjadinya pembelajaran di sini tidak banyak tergantung pada stimulus dari luar, tetapi lebih banyak melibatkan akal pikiran dan inisiatif seseorang itu sendiri. Akal pikiran, dalam hal ini perkembangan kognitifnya, merupakan pijakan utama di dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Biasanya, pembelajaran dibedakan berdasarkan tinggi rendahnya perkembangan kognitif: dari tingkatan yang terendah sampai dengan tingkatan kognitif yang tertinggi. Salah satu tokoh teori pembelajaran ini adalah R. Gagne yang membedakan pembelajaran menjadi lima kategori: informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif (cognitive strategies), keterampilan motorik (motor skills), dan sikap (attitudes) di mana masing-masing kategori membutuhkan bentuk pembelajaran tersendiri.20 Menurut teori itu, dalam upaya penguasaan pengetahuan dan keterampilan seseorang dituntut untuk aktif berusaha memberikan makna terhadap berbagai informasi dan data yang diperolehnya.21 Pengetahuan dan informasi lainnya tidak 20
Anonymous, Conditions of Learning, http://www.gwu.edu/-tip/gagne. html., tanggal 1 Maret 2001, h. 1. 21 Ibid.
17
diperoleh individu secara pasif menunggu dan menerima, tetapi secara aktif berusaha mencari dengan melibatkan kemampuan kognitif untuk memberikan makna melalui berbagai keterampilan kognitif, seperti analisis, sintesis, atau evaluasi. Tentu saja, hal tersebut merupakan bukti kuat bagaimana kemampuan 22
kognitif seseorang berperan dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Terdapat beberapa konsep penting yang lazim digunakan pada teori belajar kognitivisme, yakni skema dan model pengolahan informasi tiga tahap: register, ingatan jangka pendek, dan ingatan jangka panjang. Skema merupakan struktur pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang yang biasa digunakan untuk melakukan asosiasi dengan pengetahuan baru. Pengolahan informasi terjadi pertama ketika register mengenali masukan yang diterima; selanjutnya, masukan tersebut diproses dalam ingatan jangka pendek; dan lalu dialihkan ke ingatan jangka panjang untuk disimpan untuk digunakan pada masa yang akan datang.23
c. Kontruktivisme Teori belajar ketiga yang memiliki andil besar dalam bangunan PBR adalah teori belajar konstruktivisme yang merupakan bagian dari teori belajar kognitivisme. Newby-Fraser and Clayton sebagaimana dikutip oleh Sarah Cornelus mengatakan
A constructivist approach, where it is argued that
knowledge is actively constructed by the cognizing subject and not passively received from the external environment led to an approach that included reflection and tasks based activities involving learning by doing. This ensured that
22 Good, T. L., Brophy, J. E. Educational psychology: A realistic approach. (New York: Longman, 1990), hal. 187. 23 Brenda Mergel, Instructional Design & Learning Theory, University of Saskatchewan May, 1998, hal. 6.
18
participants were involved in activities that were relevant and meaningful. 24 Pandangan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi secara aktif oleh akal pikiran, bukan diterima dari lingkungan sekitar secara pasif. Mahasiswa terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan yang relevan dan bermakna yang mengarahkan pada upaya-upaya merekonstruksi pengetahuan,
seperti
refleksi
dan
asosiasi
pengetahuan
baru
dengan
pengetahauan yang sudah dimiliki. Pentingnya refleksi, asosiasi, dan konteks yang
relevan
dengan
kehidupan
dan
pengalaman
mahasiswa
dalam
penjelajahan dunia pengetahuan juga tekankan oleh Bates melalui pandangan berikut: The basis of constructivist learning theory is that knowledge can be constructed personally, through reflection and relating new knowledge to prior experience, or socially, through interaction and discussion with others, such as teachers, other learners or family and friends. Either way, knowledge becomes personal and embedded within a context that is relevant to the learner s own life and experience.25 Berdasarkan konstruktivisme
penjelasan
di
atas,
dapat
dikatakan
teori
belajar
lebih menekankan aspek proses kontruktif yang dilakukan
individu; sedangkan toeri kognitivisme lebih mengarah pada peran kognisi dalam merekonstruksi pengetahuan. Teori belajar konstruktivisme memiliki empat ciri utama, yakni: 1) mahasiswa merekonstruksi pemahamannya sendiri-sendiri; 2) pengetahuan
baru
dibangun
berdasarkan
pemahaman
dan
pengetahuan sebelumnya; 3) pemahaman diperoleh melalui interaksi sosial yang dilakukan individu;
24 Sarah Cornelus, Learning Online: Models and Style (Edinburght: Heriot-Watt University, 2001), h. 2-11. 25 Bates, A.W. Technology, e-learning, and distance education 2nd ed. (Abingdon, Oxon: Routledge, 2005), h. 55-6.
19
4) belajar melalui pengalaman untuk membangun pengetahuan yang bermakna.26 Salah satu aspek penting dari teori belajar konstruktivisme yang perlu mendapat perhatian adalah belajar melalui pengalaman (expriental leaning) yang juga disebut sebagai learning by doing. ‘Experiental leraning’ merupakan kegiatan belajar yang relatif lebih banyak memberikan pengalaman nyata bagi individu dalam pemerolehan pengetahuan, sehingga apa yang diperoleh menjadi lebih bermakna. Dengan kata lain, individu merekonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang diperolehnya melalui interaksi yang dibangun bersama lingkungannya. Tentu saja model pembelajaran tersebut lebih cocok dan dapat diterapkan pada mereka yang telah memiliki pengetahuan yang cukup atau mereka yang berusia dewasa. Mengenai hal ini, Lauirillard sebagaimana dikutip oleh Sarah Cornelus mengatakan Experiential learning, the gaining of knowledge and learning through experience is particularly applicable to adult learners, many of whom will appreciate the opportunity to put their new knowledge into practice in the workplace
27
Pada kegiatan belajar melalui pengalaman, biasanya terjadi empat fase yang membentuk siklus belajar, yaitu pengalaman nyata, observasi dan refleksi, pembentukan konsep abstrak, dan aplikasinya dalam situasi lain.28 Dalam proses rekontruksi pengetahuan, keempat fase belajar tersebut berproses berulangulang sehingga ditemukan pemahaman yang mantap. Fase pengalaman nyata merupakan tahapan belajar di mana mahasiswa mendapatkan pengalaman konkrit sesuai dengan masalah yang diidentifikasikan. Beranjak dari masalah 26
Suchada Poonpan, Loc.cit. Sarah Cornelus, Loc.cit. 28 David Kolb, On Experiential Learning diakses dari situs www.infed.org/thinkers//etluwin.action research tanggal 20 Februari 2008. 27
20
tersebut mahasiswa berusaha untuk menemukan berbagai informasi terkait untuk penyelesaiannya.
Pada fase kedua, mahasiswa memanfaatkan pengetahuan
yang telah direkonstruksi sebagai dasar untuk pengamatan dan refleksi, sehingga dapat ditarik benang merah antara teori dan kondisi nyata yang dialaminya. Fase ketiga merupakan tahapan belajar yang digunakan mahasiswa untuk membuat kesimpulan dan generalisasi; sedangkan, fase keempat merupakan tahapan belajar di mana mahasiswa mencoba mengaplikasikan apa yang telah ditemukan pada situasi-situasi baru. Keempat fase belajar tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Pengalaman Nyata (1)
Observai dan Refleksi (2)
Aplikasi Situasi Baru (4)
Konsep abstrak (3)
Gambar 3. Siklus Experiental Learning (Modifikasi David Kolb) Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat beberapa asumsi dasar mengenai teori belajar konstrutivisme, yaitu: 1) pengetahuan dibangun atas dasar pengalaman; 2) belajar merupakan penafsiran personal terhadap dunia; 3) belajar merupakan proses aktif di mana makna dibangun berdasarkan pengalaman; 4) pertumbuhan konseptual berasal dari negosiasi makna, pertukaran perspektif, dan belajar kolaboratif;
21
5) belajar harus terjadi pada latar yang realistis; dan tes harus terpadu dengan tugas-tugas.29 3. Prinsip-prinsip PBR Sesuai dengan pengertian PBR; teori-teori belajar yang mendasari PBR; dan hakikat pengajaran pada umumnya, penyelenggaraan PBR yang efektif perlu memperhatikan beberapa prinsip dasar yang membedakannya dari model-model pembelajaran dan pengajaran lain. Boud dan Feletti menyebutkan enam prinisip yang harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan PBR, yaitu: keberagaman (multiplicity), keaktivan (activeness), akomodasi dan adaptasi (accomodation and adaptation), autentitas (authenticity), artikulasi (aticulation), dan tak ada batas waktu (termlessness). 30 Melengkapai prinsip-prinsip tersebut, Wee Keng Neo juga menyebutkan enam prinsip dengan menggunakan istilah yang berbeda, yakni konstruktivisme (constuctivism), teori belajar kontekstual (contextual learning theory), teori belajar penemuan (discovery learning theory), belajar memproses informasi (information-process learning orientation), teori belajar kooperatif
(cooperative
learning
theory),
dan
teori
kemandirian
(self-
determination theory).31 1) Keberagaman (Multiplicity) Prinsip itu mengacu pada pandangan bahwa tidak ada dua orang yang memandang suatu fenomena dengan cara yang sama karena tidak banyak isuisu di dunia ini yang memiliki kebenaran yang tunggal. Dalam PBR prinsip
29
Brenda Mergel, Instructional Design & Learning Theory (University of Saskatchewan: May, 1998), hal. 8. 30 David Boud dan Grahame I Feletti, The Challenge of Problem Based Learning (London: Kagan Page, 1997), h. 128-130. 31 Lynda Wee Keng Neo, Jump Start Authentic Problem Based Learning (Singapore: Pearson Printice Hall, 2004), h. 22-24.
22
tersebut menekankan pentingnya dialog antara mahasiswa dengan pihak lain melalui pembelajaran kolaboratif dalam kelompok-kelompok kecil. 2) Keaktivan (Activeness) Belajar merupakan sebuah proses aktif yang melibatkan kostruksi mental pada diri mahasiswa yang terlibat secara aktif dengan berbagai tugas yang ditetapkan. Mahasiswa didorong untuk mengembangkan masalah-masalah yang disampaikan dosen menjadi lebih spesifik dan jelas; dan berusaha mencari jawaban yang tepat untuk penyelesaiannya. 3) Akomodasi dan Adaptasi (Accommodation and Adaptation) Prinsip ini berhubungan erat dengan konsep skema dalam proses pemerolehan
pengetahuan
atau
konstruksi
pengetahuan.
Konstruksi
pengetahuan yang dilakukan mahasiswa harus melibatkan penarikan hubungan antara pengalaman/pengetahuan sekarang dengan pengetahuan sebelumnya; dan membangun hubungan di antara konsep-konsep tersebut. 4) Autentisitas (Authenticity) Prinsip tersebut berusaha untuk memberikan pengalaman nyata bagi mahasiswa bagaimana melihat hubungan antara apa yang dipelajari dengan fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan. Mahasiswa tidak lagi dihadapkan pada situasi-situasi imaginatif, tetapi pada situasi-situasi yang memungkinkan mahasiswa menerapkan apa yang telah dipelajarinya. 5) Artikulasi (Articulation) Artikulasi merupakan proses belajar di mana mahasiswa diberikan kesempatan yang luas untuk menjelas kepada pihak lain pengetahuan yang baru dikuasainya yang mencakup unsur-unsur deklaratif dan prosedural. Apa yag
23
sudah dikuasai mahasiswa secara mandiri (self-directed learning) disampaikan kepada rekan sejawat lainnya untuk membangun pemahaman kolektif. 6) Tidak Ada Batas Waktu (Termlessness) Menjelajahi dan mempelajari dunia keilmuan merupakan kegiatan yang tidak ada batasan waktunya. Pemahaman terhadap sesuatu yang kompleks tidak mengenal kata sempurna, tetapi hanya memperkaya pemahamannya saja, dan merupakan komitmen sepanjang hidup untuk mengembangkan pengetahuan seseorang. Jika mahasiswa merekonstruksi pengetahuan baru tentang isu-isu yang
sedang digali, mereka akan menemukan banyak peluang untuk
mengembangkan diri menjadi lebih efisien dan efektif dalam pembelajaran seumur hidup. 7) Pembelajaran Konstekstual Materi pelajaran akan dikuasai mahasiswa secara baik bila disampaikan berdasarkan konteks bagaimana meteri tersebut akan digunakan. Hal tersebut akan mendorong terjadinya pembelajaran yang mendalam dan kemampuan menggunakan pengetahuan sesuai dengan kebutuhannya. Melalui pembelajaran konstektual
itu,
mahasiswa
diharapkan
dapat
menjadi
individu
yang
menghasilkan pengetahuan, bukan individu yang menerima pengetahuan dari pihak lain. 8) Pembelajaran Inquiry Pembelajaran inquiry mengundang keterlibatan mahasiswa secara aktif dalam peroses pemerolehan pengetahuan baru yang dapat disimpan dalam periode yang lebih lama. Pembelajaran tersebut dikembangkan berdasarkan masalah-masalah, bukan berdasarkan materi yang harus dikuasai mahasiswa. Melalui problem yang harus diselesaikan, mahasiswa diharapkan mampu
24
merekonstruksi berbagai macam informasi menjadi pengetahuan baru yang dibutuhkan untuk penyelesaian masalah. 9) Berorientasi pada Pengolahan Informasi Terdapat tiga prinsip penting dalam pengolahan informasi yang dibutuhkan oleh
mahasiswa.
Pertama,
pengetahuan
baru
dikonstruksi
berdasarkan
pengetahuan-pengetahuan yang sudah dikuasai mahasiswa. Kedua, makin dekat hubungan antara situasi di mana pengetahuan baru dipelajari dengan situasi di mana pengetahuan itu akan digunakan, makin mudah pula penguasaan pengetahuan baru tersebut dilakukan. Ketiga, pengetahuan baru akan dipahami dan dikuasai secara lebih baik jika terdapat banyak kesempatan untuk melakukan elaborasi, seperti refleksi dan diskusi kelompok. 10) Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran di mana mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan ketika mereka bekerja bersama-sama dengan mahasiswa lain dalam sebuah kelompok kerja. Pada kegiatan belajar tersebut mahasiswa saling tukar menukar informasi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam yang dapat digunakan untuk menyelesaikan problem-problem yang akan dihadapi secara efektif. 11) Belajar Mandiri Belajar mandiri merupakan model pembelajaran di mana mahasiswa memiliki kesempatan dan kebebasan yang luas untuk memperoleh pengetahuan baru sesuai dengan kebutuhannya. Pada model belajar tersebut, mahasiswa termotivasi untuk belajar jika menemukan hal yang menarik dan penting bagi pengembangan diri mereka. Mereka tidak berada pada suasana yang penuh tekanan dan
kecemasan, tetapi
berada pada
25
suasana
kondusif yang
memungkinkan terjadinya penguasaan pengetahuan yang lebih alamiah. Model pembelajaran tersebut sangatlah identik dengan model pembelajaran autonomus.
4. Proses PBR Menurut Mathews-Aydinli, ditinjau dari sisi mahasiswa terdapat empat langkah dalam penyelenggaraan PBR yang meliputi mahasiswa: dihadapkan pada masalah; mengeksplorasi apa yang mereka dan tidak ketahui dari masalah tersebut; pencarian solusi-solusi yang memungkinkan penerapannya; dan mempertimbangkan seluruh konsekuensi dari masing-masing solusi dan penentuan solusi yang paling tepat.
This process generally includes four main steps, under Process for Students : (1) being introduced to the problem, (2) exploring what they do and do not know about the problem, (3) generating possible solutions to the problem, and (4) considering the consequences of each solution and selecting the most viable solution.32 Berdasarkan ciri-ciri umum PBR dan proses di atas, dapat disusun sebuah proses umum penyelenggaraan PBR dalam kegiatan perkuliahan. Proses tersebut melibatkan lima langkah utama yang dimulai dengan penyampaian masalah yang akan dikaji mahasiswa, identifikasi pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, belajar mandiri melalui penjelahan dunia keilmuan agar diperoleh pengetahuan baru dan strategi penyelesaian masalah yang tepat, penyelesaian masalah, serta refleksi dan umpan balik agar diperoleh generalisasi dan kesimpulan yang bisa berlaku umum. Seluruh langkah tersebut dapat dideskripsikan kembali sebagai berikut.
32
Julie Mathews-Aydinli, “Problem-Based Learning and Adult English Language Learners” Center for Adult English Language Acquisition, Center for Applied Linguistics, April 2007, hal. 1
26
Knowledge Problem s
Self-directed Learning
Skills
Solutions/ Application
Reflections & Feedback
Gambar 4. Proses PBR Karena sifatnya yang masih umum, proses PBR di atas masih dapat dikembangkan menjadi lebih spesifik seperti yang telah dilakukan oleh Kurzel dan Rath. Dalam pandangan keduanya, penyelenggaraan PBR mencakup tujuh langkah, yakni: a) pemaparan
tujuan
(goal
description)
yang
dimaksudkan
untuk
penyampaian masalah yang harus diselesaikan, dan penetapan tujuan yang akan diraih; b) penentuan
kriteria
(specify
criteria),
yang
dimaksudkan
untuk
menjelaskan kriteria rinci yang harus dipenuhi; aspek-aspek mana yang perlu ditekankan; dan bagaimana dapat diketahui tujuan itu sudah tercapai; c) latar
belakang
pengetahuan
(background
knowledge)
yang
dimaksudkan untuk identifikasi pengetahuan yang diperlukan, salingtukar menukar informasi, dan pendalaman dengan para ahli; d) penemuan gagasan (generate ideas) yang dimaksudkan untuk penjelajahan gagasan-gagasan dan penyusunan hipotesis; e) implementasi solusi (implement solution) yang dimaksudkan untuk penggalian solusi, penerapannya, dan penemuan solusi dengan membandingkan dengan solusi yang lain;
27
f) refleksi
(reflect) yang dimaksudkan untuk mengevaluasi solusi,
mengkaji ulang produk, dan proses; dan g) generalisasi (generalize) yang dimaksudkan untuk konseptualisasi temuan, membuat generalisasi, dan penyusunan teori baru (Perhatikan tabel di bawah ini).33
NO 1 2
PHASE Goal Description Specify Criteria
3
Background Knowledge
4
6
Generate Ideas Implement Solution Reflect
7
Generalize
5
PURPOSES Present problem to be solved. Set ultimate Goal Specify one or more criteria your solution should meet. What aspects do you want to focus on? How do you know you reached your goal? Identify knowledge needed. Sample and share knowledge. Ask experts. Generate ideas. Draft provisional hypothesis. Generate and develop solution. Implement. Compare different solutions Evaluate solution, reflect solution, reflect product, reflect process. Conceptualize, integrate, and generalize your knowledge. Exchange from example into theory
5. Peran Dosen dan Mahasiswa Pembelajaran berbasis riset yang lebih berorientasi pada pembelajaran mandiri menuntut perubahan peran, baik dari pihak mahasiswa maupun dosen. Mahasiswa dituntut untuk bertindak lebih aktif mencari dan merekonstruksi pengetahuan baru, dan dosen harus mengurangi dominasinya secara total. Oleh
33
Frank Kurzel and Michelle Rath, “Project Based Learning and Learning Environments,” Issues in Informing Science and Information Technology, Volume 4, 2007, hal. 505.
28
karena itu, menjadi sangat penting jika kajian peran ini dibahas secara komprehensif. Menurut Rogers, peran merupakan bagian yang harus dimainkan mahasiswa dan dosen agar pembelajaran berjalan secara baik.34 Bagian dalam pengertian tersebut dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh seluruh anggota kelas agar aktivitas belajar dapat berlangsung secara baik. Konsep yang sama tetapi dengan bentuk bahasa yang berbeda juga dikemukakan oleh beberapa ahli. Salah satu di antara pengertian-pengertian tersebut berbunyi bahwa peran merupakan tindakan atau perbuatan yang dilakukan seseorang dalam konteks kegiatan pembelajaran. 35 Tindakan atau perbuatan tersebut dapat berbentuk mengingat pengetahuan yang terdahulu, menerima pelajaran baru, menggerakkan dan menyemangati orang lain, atau memfasilitasi pembelajaran. Berdasarkan kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peran merupakan tindakan atau perbuatan yang dimainkan mahasiswa, dosen, atau bahan pelajaran agar aktivitas belajar berjalan secara baik. Tidak berbeda dengan model pengajaran lainnya, PBR juga membedakan peran mahasiswa dari peran dosen. Karena PBR merupakan model pengajaran yang berorientasi pada mahassiswa dan proses maka peran yang dapat dilakukan mahasiswa menjadi jauh lebih variatif daripada peran yang dimainkan dosen. Dalam kegiatan belajar, mahasiswa dapat berperan sebagai penyelesai masalah, yakni orang yang menyelesaikan/menuntaskan masalah dan tugas yang dihadapi; pembuat keputusan, yakni orang yang menentukan pengetahuan dan strategi mana yang digunakan untuk penyelesaian masalah; investigator, yakni orang yang menggali berbagai sumber informasi untuk merekonstruksi 34
Alan Rogers, Teaching Adults (Buckingham: Open University Press, 1996), h. 158. Duncan Harris dan Chris Bell, Evaluating and Assessing for Learning (London: Kogan Page Ltd., 1996), h. 129. 35
29
pengetahuan baru atau melakukan tindakan tertentu untuk penyelesaian masalah; dan dokumentator, yakni orang yang merekam seluruh kegiatan belajar dalam bentuk portofolio atau bentuk-bentuk penyimpanan data lainnya. Mengenai peran mahasiswa itu, dalam sebuah laporan dinyatakan “Projects grow out of challenging questions that cannot be answered by rote learning. Projects put students in an active role--problem solver, decision maker, investigator, documentarian. Projects serve specific, significant educational goals; they are not diversions or adds-ons to the "real" curriculum.”36 Jadi, dapat dipahami bahwa peran-peran yang dimainkan mahasiswa tersebut merupakan peran yang menuntut keterlibatan langsung mahasiswa dalam penyelesaian masalah secara penuh. Berbeda dengan mahasiswa, peran yang dapat dimainkan dosen dalam PBR relatif bersifat fasilitatif, konsultatif, monitoring; dan tidak lagi memiliki kewenangan yang besar untuk mengendalikan kelas. Peran fasilitatif dilakukan dengan memberikan berbagai macam kemudahan yang diperlukan mahasiswa dalam penyelesaian masalah yang dikerjakan. Peran konsultatif dilakukan manakala mahasiswa menyampaikan kendala dan kesulitan yang tidak dapat diatasi. Adapun peran monitoring dilakukan dosen untuk melihat perkembangan penyelesaian tugas yang dilakukan mahasiswa. Peran-peran yang dimainkan dosen tersebut dapat dielaborasikan menjadi tindakan-tindakan yang lebih spesifik seiring dengan apa yang dilakukan mahasiswa selama berlangsungya kegiatan belajar, baik di dalam maupun di luar kelas. Umpamnya, pada saat mahasiswa mengeksplorasi apa yang diketahui dan tidak diketahui, dosen memainkan salah satu perannya dengan meyakinkan 36
Unit and Project Plans, harnessing the power of Project based Learning, Intel Innovation in education, diakases pada 23 July 2008, hal 1.
30
mereka bahwa tidak ada jawaban tunggal untuk menyelesaikan sauatu masalah.37
C. Kesimpulan Model pembelajaran berbasis riset sebagai model pengajaran dan pembelajaran mahasiswa terbentuk oleh tiga komponen: pendekatan, desain, dan prosedur. Pada tataran pendekatan, RBR mengadopsi beberapa teori belajar yang mendorong kemandirian mahasiswa, seperti kognitivisme (konstruktivisme), behaviorisme dan humanisme. Pada tataran desain, penyelenggaraan
perkuliahan
membutuhkan
Model PBR dalam
perencanaan
yang
matang
mengenai elaborasi pokok bahasan dalam bentuk indikator-indikator, penetapan pengetahuan awal, deskripsi problem, pertanyaan penelitian, kegiatan belajar, evaluasi, sumber-sumber informasi, fasilitas dan sarana, dan peran dosen. Pada tataran implementatif di kelas dan di luar kelas, model PBR membutuhkan pemantapan skenario ideal yang meliputi pemaparan tujuan, identifikasi masalah, penetapan indikator (spesifikasi), penelusuran latar pengetahuan, penggalian ide dan gagasan, penyelesaian masalah, refleksi, generalisasi, dan pelaporan. Model PBR merupakan model yang mengembangkan kemampuan berfikir tingkat tinggi mahasiswa, seperti analisis, sintesis, evaluasi, kreatif, dan rekonstruksi yang jarang sekali dikembangkan oleh model konvensional. Model PBR dianggap merupakan model yang dapat mengembangkan kemampuan belajar mandiri yang merupakan esensi dari belajar seumur hidup. Model PBR dianggap mampu mengembangkan kemampuan kolaboratif dalam pemerolehan
37
Mathews-Aydinli, Op. Cit. Hal. 2.
31
pengetahuan, dan artikulatif dalam penyampaian hasil-hasil rekonstruksi pengetahuan.
DAFTAR REFERENSI
Alan Jenkins and Mick Healey, Institutional Strategies to Link Teaching And Research. Heslington York: The Higher Education Academy, 2005. Alan Rogers, Teaching Adults, Buckingham: Open University Press, 1996. Anonim, Profil 2006 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta: UIN Jakarta, 2006. Anonymous, Conditions of Learning, http://www.gwu.edu/-tip/gagne. html., tanggal 1 Maret 2001. Bates, A.W. Technology, e-learning, and distance education 2nd ed. Abingdon, Oxon: Routledge, 2005. Bransford, J., Brown, A., & Cocking, R. How people learn: Brain, mind, experience, and school Washington, DC: National Academy Press, 2000. Brenda Mergel, Instructional Design & Learning Theory, University of Saskatchewan Center for Adult English Language Acquisition, Center for Applied Linguistics, April 2007. David Boud dan Grahame I Feletti, The Challenge of Problem Based Learning. London: Kagan Page, 1997.. David Kolb, On Experiential Learning diakses dari situs www.infed.org/thinkers //et-luwin. action research tanggal 20 Februari 2008. Duncan Harris dan Chris Bell, Evaluating and Assessing for Learning. London: Kogan Page Ltd., 1996. Frank Kurzel and Michelle Rath, “Project Based Learning and Learning Environments,” Good, T. L., Brophy, J. E. Educational psychology: A realistic approach. New York: Longman, 1990. Gwen Solomon, “Project-Based Learning: a Primer” Tech-Learning, January 15, 2003. Anonymous, Operant Conditioning, http://www.gwu.edu/tip/skinner. html., tanggal 1 Maret 2001. Healey, M. Linking Research and Teaching: Disciplinary Spaces, in: R. Barnett (Ed.) Reshaping The University: New Relationships Between Research, Scholarship And Teaching. Maidenhead: McGraw-Hill/Open University Press. Husein H Bahti, Riset Multidisiplin Dan Terpadu Untuk Pelaksanaan Tridharma Di Unpad Sebagai (Calon) Perguruan Tinggi BHPMN Dengan Visi Research University, Makalah, 2006. Issues in Informing Science and Information Technology, Volume 4, 2007 Jennifer A. Moon, Reflection in Learning and Professional Development. London: Kogan Page Limited, 1999. Joanna Swann, “The Logic-of-Learning Approach to Teaching: a Testable Theory,” Improving Education, Eds. Joanna Swann dan John Pratt. London: Cassell, 1999.
32
John R. Savery, “Overview of Problem-based Learning: Definitions and Distinctions” Julie Mathews-Aydinli, “Problem-Based Learning and Adult English Language Learners” Klingner, J.K.& others. Examining the schoolwide ”spread” of research-based practices. Learning Disability Quarterly 24, 2001. Lynda Wee Keng Neo, Jump Start Authentic Problem Based Learning. Singapore: Pearson Printice Hall, 2004. M. Suzanne Donovan, et. al., editors (Committee on Learning Research and Educational Practice; National Research Council), “How People Learn” ProQuest company, increase student learning and achievement, June 2006. Maggy Savin-Baden, Problem-Based Learning in Higher Education: Untold Stories. Buckingham: Open University Press, 2000. Paul Tosey & Juliet McDonnell, “Mapping Enquiry-based Learning Discourse, fractals and a bowl of cherries” Learning to Learn through Supported Enquiry (L2L), April 2006. Peter Jarvis, John Holford, dan Colin Griffin, The Theory and Practice of Learning. London: Kogan Page Limited, 1998. Sarah Cornelus, Learning Online: Models and Style. Edinburght: Heriot-Watt University, 2001. Silvia FAT, “Designing the Curriculum - Transmitting Research Based Academic Knowledge” Research in Education, No. 68 Summer 2001. Silvia FAT, “Designing the Curriculum - Transmitting Research Based Academic Knowledge” Research in Education, No. 68 Summer 2001. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning. volume 1, no. 1. Spring 2006. uchada Poonpan, Indicators of Research - Based Learning Instructional Process: A Case Study of Best Practice in a Primary School. Disertasi: Department of Research and Psychology in Education, Faculty of Education, Chulalongkorn University, 2007. Unit and Project Plans, harnessing the power of Project based Learning, Intel Innovation in education, diakases pada 23 July 2008.
33