REGULASI YANG TERKAIT DENGAN AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK Makalah Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Akuntansi Sektor Publik Dosen Pembina: Daniel Nababan, S.E., M.Acc.
Disusun oleh: Dicky Nugroho
0116101320
Rima Agustini
0116101322
Gerri Muhammad G 0116101325 Muhammad Ilham F 0116101327 Syifa Refianti
0116101328
Dian Weningsih
0116101351
Kelompok 1 Kelas H FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI AKUNTANSI S1 UNIVERSITAS WIDYATAMA KOTA BANDUNG 2019
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas semua rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Regulasi yang Terkait Dengan Akuntansi Sektor Publik”. Banyak kesulitan dan hambatan yang kami hadapi dalam penyusunan makalah ini, akan tetapi berkat bantuan, dorongan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka makalah ini dapat diselesaikan sebagimana adanya. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Dr. Islahuzzaman, S.E., M.Si., Ak., C.A. selaku rektor Universitas Widyatama. 2. Bapak Daniel Nababan, S.E., M.Acc. selaku dosen Akuntansi Sektor Publik yang telah membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna baik dalam kajian maupun penyajiannya mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, tetapi kami berusaha untuk memberikan yang terbaik.
Bandung, Februari 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1 1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................................. 1 BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 2 2.1 Definisi Audit Kecurangan.................................................................................................... 2 2.2 Mendeteksi Kecurangan (Fraud Auditing) ........................................................................... 2 2.3 Teknik Mendeteksi Kecurangan............................................................................................ 7 BAB 3 PENUTUP ........................................................................................................................ 34 3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 36
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Melihat realita saat ini perkembangan zaman terutama dibidang teknologi informasi yang semakkin berkembang. Hal ini berdampak juga dibidang ekonomi termasuk dalam ruang lingkup auditing. Teknologi seakan-akan digunakan sebagai alat untuk mempermudah cara untuk melakukan kecurangan yang didukung oleh tiga keadaan yakni insentif atau tekanan, kesempatan, dan sikap rasionalisasi. Disinilah terlihat bahwa perkembangan tekonologi yang semakin canggih akan mempersulirt pendektisi kecurangan dalam dunia bisnis. Dan tanggung jawab seorang auditor akan semakin berat untuk mendeteksi kecurangan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam makalah ini akan dibahas lebih detail lagi tentang bagaimana sikap auditor saat menemukan suatu kecurangan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa saja jenis-jenis kecurangan? 2. Bagaimana cara mendeteksi kecurangan? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Ingin mengetahui lebih dalam tentang apa itu jenis-jenis kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan klien auditor 2.
Ingin mengetahui secara jelas tanggung jawab auditor terhadap kecurangan
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Regulasi Publik Regulasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu regulation yang artinya peraturan. Dalam kamus bahasa Indonesia kata “peraturan” mengandung arti kaidah yang dibuat untuk mengatur, petunjuk yang dipakai untuk menata suatu dengan aturan, dan ketentuan yang harus dijalankan serta dipatuhi. Jadi, regulasi publik merupakan ketentuan yang harus dijalankan dan dipatuhi dalam proses pengelolaan organisasi publik, baik pada organisasi pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, partai politik, yayasan, LSM, organisasi keagamaan/ peribadatan, maupun organisasi sosial masyarakat lainnya. 2.2 Sejarah Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Indonesia 2.2.1 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Pra Reformasi Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam era pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi propinsi dan daerah tingkat II yang meliputi kotamadya atau kabupaten. Disamping itu, ada beberapa peraturan pelaksanaan yang diturunkan dari perundang-undangan, antara lain: 1. Peraturan
Pemerintah
Nomor
5
Tahun
1975
tentang
Pengurusan,
Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah 2. Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD 3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD 5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah 6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan APBD
2
2.2.2 Regulasi Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi Reformasi politik di Indonesia telah mengubah sistem kehidupan negara. Tuntutan good governance diterjemahkan sebagai terbebas dari tindakan KKN. Pemisahan kekuasaan antareksekutif, yudikatif, dan legislatif dilaksanakan. Selain itu, partisipasi masyarakat akan mendorong praktik demokrasi dalam pelaksanaan akuntabilitas publik yang sesuai dengan jiwa otonomi daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua undang-undang yang berupaya mewujudkan etonomi daerah yang lebih luas. Sebagai penjabaran otonomi daerah tersebut di bidang administrasi keuangan daerah, berbagai peraturan perundangan yang lebih operasional dalam era reformasipun telah dikeluarkan. Beberapa regulasi yang relevan antara lain: 1.
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851)
2.
Peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan 4. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 202, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4022) 5. Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah 6. Peraturan
Pemerintah
Nomor
108
Tahun
2000
Pertanggungjawaban Kepala Daerah
C. Paradigma Baru Akuntansi Sektor Publik di Era Reformasi
3
tentang
Tata
Cara
Paradigma baru dalam “Reformasi Manajemen Sektor Publik” adalah penerapan akuntansi dalam praktik pemerintah guna mewujudkan good governance. Landasan hukum pelaksanaan reformasi tersebut telah disiapkan oleh Pemerintah dalam suatu Paket UU Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang pada saat ini telah disahkan oleh DPR. Terdapat empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yang telah dirumuskan dalam 3 Paket UU Bidang Keuangan Negara tersebut, yaitu : 1. Akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja 2. Keterbukaan dalam setiap prinsip transaksi 3. Pemberdayaan manajer professional 4. Adanya lembaga pemeriksa internal yang kuat, profesional, dan mendiri serta dihindarinya duplikasi dalam pelaksanaan pemerintahan Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan demikian, pelaksanaan tiga UU Bidang Keuangan Negara tersebut nantinya, selain menjadi acuan dalam pelaksanaan reformasi manajemen pemerintah, diharapkan akan memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di NKRI. Paradigma baru regulasi Akuntansi Sektor Publik 1. UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara 2. UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara 3. UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara 4. UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan dan Pembangunan Nasional 5. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah 6. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah 7. PP No. 24 Tahun 2005 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 8. PP No. 71 Tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
D. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Sebagai Regulasi Terkini di Indonesia
4
Dalam UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16, dapat dilihat bahwa definisi pendapatan dan belanja negara/daerah berbasis akrual karena disana disebutkan bahwa : Pendapatan negara/daerah dalah hak pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dan Belanja negara/daerah adalah kewajiban pemerintah pusat/daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Namun kita diperkenankan untuk transisi karena saat itu praktik yang ada adalah dengan menggunakan basis kas, dimana pendapatan dan belanja diakui saat uang masuk/keluar ke/dari kas umum negara/daerah. Dispensasi ini tercantum dalam Pasal 36 ayat 1 UU 17 Tahun 2003 yang intinya ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun, artinya sampai dengan tahun 2008. Untuk masa transisi itulah PP 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah terbit, dimana kita memakai basis Kas Menuju Akrual (Laporan Realisasi Anggaran berdasarkan basis kas, Neraca berdasarkan basis Akrual). Dalam pelaksanaan PP 24 Tahun 2005 tersebut hingga Laporan Keuangan Pemerintah tahun 2008 selesai diaudit di tahun 2009, ternyata opini yang didapat pemerintah saat itu masih menyedihkan. Untuk itulah, Pemerintah akhirnya berkonsultasi dengan Pimpinan DPR, dan disepakati bahwa basis akrual akan dilaksanakan secara penuh mulai tahun 2014. Pada tahun 2010 terbit PP 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah sebagai pengganti PP 24 tahun 2005. Diharapkan setelah PP ini terbit maka akan diikuti dengan aturanaturan pelaksanaannya baik berupa Peraturan Menteri Keuangan untuk pemerintah pusat maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri untuk pemerintah daerah. Ada yang berbeda antara PP 71 tahun 2010 ini dengan PP-PP lain. Dalam PP 71 tahun 2010 terdapat 2 buah lampiran. Lampiran I merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Akrual yang akan dilaksanakan selambatlambatnya mulai tahun 2014, sedangkan Lampiran II merupakan Standar Akuntansi Pemerintah berbasis Kas Menuju Akrual yang hanya berlaku hingga tahun 2014. Lampiran I berlaku sejak tanggal ditetapkan dan dapat segera diterapkan oleh setiap entitas (strategi pentahapan pemberlakuan akan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri), sedangkan Lampiran II berlaku selama masa transisi bagi entitas yang belum siap untuk menerapkan SAP Berbasis Akrual. Dengan kata lain, Lampiran II merupakan lampiran yang memuat kembali seluruh aturan yang ada pada PP 24 tahun 2005 tanpa perubahan sedikit pun. Perbedaan mendasar dari sisi jenis laporan keuangan antara Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut: 5
Lampiran I Laporan Anggaran (Budgetary Reports): Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih Laporan Keuangan (Financial Reports): Neraca, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan Lampiran II Laporan terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan Dengan perbedaan jenis Laporan Keuangan yang akan dihasilkan, otomatis penjelasan pada setiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) yang terkait dengan masingmasing Laporan Keuangan akan mengalami perubahan. Perbedaan daftar isi pada Lampiran I dan Lampiran II adalah sebagai berikut: Lampiran I Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan; PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran Berbasis Kas; PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas; PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan; PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan; PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi; PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap; PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan; PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban; PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Operasi yang Tidak Dilanjutkan; PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian. PSAP Nomor 12 tentang Laporan Operasional. Lampiran II Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan; PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran; 6
PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas; PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan; PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan; PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi; PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap; PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan; PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban; PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa; PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian; a) Kedua daftar isi hampir serupa karena memang kebijakan yang diambil oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintah saat mengembangkan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual ini adalah dengan beranjak dari PP 24 tahun 2005 yang kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap PP 24 tahun 2005 itu sendiri. Dengan strategi ini diharapkan pembaca PP 71 tahun 2010 nantinya tidak mengalami kebingungan atas perubahan-perubahan tersebut karena lebih mudah memahami perubahannya dibandingkan jika langsung beranjak dari penyesuaian atas International Public Sector of Accounting Standards (IPSAS) yang diacu oleh KSAP. 2.3 2.3 TEKNIK PENYUSUNAN REGULASI PUBLIK
Peraturan publik disusun dan ditetapkan terkait dengan beberapa hal, di mana yang pertama, adalah regulasi publik dimulai dengan adanya berbagai isu yang terkait dengan isu tersebut. Kedua, tindakan yang diambil terkait dengan isu yang ada adalah bentuk regulasi atau aturan yang dapat diinterpretasikan sebagai wujud dukungan penuh organisasi publik. Ketiga, peraturan adalah hasil dari berbagai aspek dan kejadian.
Pendahuluan
Mengapa diatur ? mengaturnya? Permasalahan Dengan apa diatur? dan Misi Diskusi/Musyawarah Catatan Bagaimana 7
Tahapan dalam Penyusunan Regulasi Publik
Tahapan di atas menunjukkan teknik penyusunan regulasi publik yang berupa rangkaian alur tahapan, sehingga regulasi publik tersebut siap disusun dan kemudian ditetapkan serta diterapkan.
Pendahuluan Perancangan regulasi publik wajar mampu mendeskripsikan latar belakang perlunya disusun regulasi publik. Sebuah regulasi publik disusun karena adanya permasalahan atau tujuan yang ingin dicapai.
Mengapa Diatur? Sebuah regulasi publik disusun karena adanya berbagai isu terkait yang membutuhkan tindakan khusus dari organisasi publik. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawaban atas pertanyaan mengapa isu tersebut harus diatur mengapa regulasi publik perlu disusun.
Permasalahan dan Misi Sebuah regulasi publik disusun dan ditetapkan jika solusi alternatif atas suatu permasalahan telah dirumuskan. Selain itu, penyusunan dan penetapan regulasi publik juga dilakukan dengan misi tertentu sebagai wujud komitmen serta langkah organisasi publik menghadapi rumusan solusi permasalahan yang ada.
Dengan Apa Diatur? Ada berbagai jenjang regulasi publik yang sudah dikenal luas. Di setiap jenjang struktur pemerintahan dikenal regulasi tersendiri, seperti peraturan daerah atau keputusan kepala daerah sebagai aturan di daerah, Bentuk aturan lainnya adalah Udang-udang Dasar, Udang8
undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Udang-udang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden.
Bagaimana Mengaturnya ? Substansi regulasi publik yang disusun harus bisa menjawab pertanyaan bagaimana solusi atas permasalahan yang ada akan dilaksanakan. Dengan demikian, regulasi publik yang disusun benar-benar merupakan wujud kebijakan organisasi publik dalam menghadapi berbagai permasalahan publik yang ada.
Diskusi/Musyawarah Materi regulasi publik harus disusun dan dibicarakan melalui mekanisme forum diskusi atau pertemuan khusus publik yang membahas regulasi publik. Materi tersebut harus dipersiapkan melalui proses penelitian yang menggambarkan aspirasi publik yang betul. Karena itu, materi yang dibahas akan benar-benar menggambarkan permasalahan yang ada dan aspirasi masyarakat.
Catatan Catatan yang dimaksud adalah hasil dari proses diskusi yang dilakukan sebelumnya. Hasil catatan ini akan menjadi wujud tindakan lanjut dari keputusan organisasi publik menyangkut bagaimana regulasi publik akan dihasilkan dan dilaksanakan terkait isu atau permasalahan yang dihadapi.
Dalam istilah teknik, tahapan penyusunan regulasi publik diatur dengan aturan masing-masing organisasi publik. Aturan tersebut dapat mengatur cara penyusunan draft regulasi maupun tahapan mulai dari penyusunan, pembahasan, analisis, hingga penetapan regulasi. 2.3. REGULASI DALAM SIKLUS AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK Setiap organisasi publik pasti menghadapi berbagai isu dan permasalahan. Baik yang berasal dari luar (lingkungan) maupun dari dalam organisasi. Oleh karena itu, setiap organisasi publik pasti mempunyai regulasi publik sebagai wujud kejadian organisasi dalam menghadapi isu dan permasalahan yang ada. Dalam akuntansi sektor publik tahapan organisasi selalu terjadi di semua organisasi publik. Semua proses tersebut terangkai mulai dari perencanaan, pengagaran, realisasi anggaran, realisasi anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelaporan keuangan, audit, serta pertanggungjawaban 9
publik. Pada setiap tahapan tersebut, isu dan permasalahan sering kali melingkupi, baik yang fungsional maupun prosedural hingga pada tataran pelaksanaannya sehingga hasil akhir dari setiap tahap dapat dipengaruhi. Dalam menghadapinya, organisasi publik pun menggunakan regulasi publik sebagai alat untuk memperlancar jalannya siklus akuntansi sektor publik agar tujuan organisasi dapat tercapai.
Regulasi Laporan Pertanggungjawaban Publik
Regulasi Perencanaan Publik
Regulasi Perencanaan Publik
Akuntansi Sektor Publik
Regulasi Pengadaan Barang dan Jasa Publik
Regulasi tentang Pelaksanaan Realisasi Anggaran Publik
Regulasi Tahapan dalam Siklus Contoh Hasil Regulasi Publik Akuntansi Sektor Publik
10
Regulasi Perencanaan Publik
Peraturan Pemerintah No.7/2005 mengenai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Regulasi Anggaran Publik
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2006 tentang anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007
Regulasi tentang Pelaksanaan
-
Realisasi Anggaran Publik
Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 93 Tahun 2006 tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat Anggaran 2007
-
Otoritas Kepala Daerah Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA)
Regulasi Pengadaan Barang dan SK Gubernur tentang pemenang dalam Jasa Publik Regulasi
pengadaan barang dan jasa Laporan Peraturan Daerah tentang penerimaan Laporan
Pertanggungjawaban Publik
Pertanggungjawaban Gubernur/Bupati/Walikota
Sebagai contoh, berikut adalah siklus dan tabel regulasi pada masing-masing proses akuntansi sektor publik di organisasi pemerintahan.
11
Siklus Regulasi yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik
Contoh Regulasi Publik yang Mengatur Akuntansi Sektor Publik Tahapan
dalam
Siklus Contoh Regulasi Publik
Akuntansi Sektor Publik Perencanaan Publik
- UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional - Surat Edaran Bersama No 0295/M.PPN/I/2005050?166?SJ tentang Tata cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan tahun 2005
Penganggaran Publik
- UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Daerah - UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah 12
- Permendagri
No
13
tahun
2006
tentang
Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah - Permendagri No 69 tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah Realisasi Anggaran Publik
UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Pengadaan Barang dan Jasa Peraturan Presiden No 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Publik
Kedua Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah Pelaporan Keuangan Sektor PP No 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Publik
Instansi Pemerintah
Audit Sektor Publik
- UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara - SK BPK No 1 Tahun 2008 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Pertanggungjawaban Publik
Peraturan Pemerintah No 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah
Sebagai sebuah siklus, tahapan dalam akuntansi sektor publik saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai contoh, hasil perencanaan yang tidak baik akan mengakibatkan buruknya tahapan penyusunan anggaran. Karena itu, peran regulasi publik pada siklus akuntansi sektor publik ini sangatlah besar. Peran itu akan menjadi dasar pendukung utama bagi berhasil tidaknya perjalanan siklus akuntansi sektor publik. 2.4 2.4 Penyusunan Regulasi Publik
Regulasi dalam akuntansi sektor publik adalah instrument aturan yang secara sah ditetapkan oleh organisasi publik ketika menyelenggarakan perencanaan, penganggaran, realisasi anggaran, pengadaan barang dan jasa, pelaporan keuangan, audit, serta pertanggungjawaban publik. Perumusan Masalah 13
Penyusunan regulasi publik diawali dengan merumuskan masalah yang akan diatur. Untuk itu kita harus menjawab pertanyaan “Apa masalah publik yang akan diselesaikan?” Seorang perancang regulasi publik mampu mendeskripsikan masalah publik tersebut. Salah satu cara untuk menggali permasalah ini adalah melakukan penelitian. Untuk masalah publik yang ada dalam masyarakat, observasi atas objek permasalahan tu harus dilakukan. Perumusan masalah publik meliputi hal-hal berikut: a. Apa masalah publik yang ada! b. Siapa masyarakat yang perilakunya bermasalah! c. Siapa aparat pelaksana yang perilakunya bermasalah! d. Analisis keuntungan dan kerugian atas penerapan regulasi publik! e. Tindakan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah publik! Terkait dengan akuntansi sektor publik, masalah-masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
Tabel Contoh masalah Publik tentang Akuntansi Sektor Publik Tahapan Siklus ASP
Permasalahan
Pihak Terkait
Perencanaan publik
Ketimpangan pelayanan publik Bagan perencanaan, bagian (kesehatan, pendidikan)
Penganggaran publik
Alokasi
anggaran
pelayanan Bagian
publik minimal Realisasi anggaran publik
program, stakeholder anggaran,
bagian
anggaran,
bagian
keuangan
Jumlah pencairan dana tidak Bagian sesuai dengan anggaran 14
keuangan
Pengadaan barang dan jasa Informasi tidak transparan
Bagian pengadaan, organisasi
publik
penyedia layanan barang dan jasa
Pelaporan keuangan sektor Ketidaktepatan waktu pelaporan
Bagian keuangan
publik Audit sektor publik
Kurangnya bukti
Pertanggungjawaban
Keterbatasan
publik
informasi
Audit internal, audit eksternal pendistribusian Kepala organisasi, legislatif
Hasil analisis akan menjelaskan signifikansi keberhasilan atau kegagalan penerapan regulasi publik dalam organisasi publik.
15
Perumusan Draft Regulasi Publik Draft regulasi public pada dasarnya merupakan kerangka awal yang dipersiapkan untuk mengatasi masalah public yang hendak diselesaikan. Terkait dengan jenis regulasi public yang akan dibentuk, rancangan regulasi public tersebut harus secara jelas mendeskripsikan penataan wewenang bagi lembaga pelaksana dan perilaku bagi organisasi public atau masyarakat yang harus mematuhinya. Secara sederhana, draft regulasi public harus dapat menjelaskan siapa organisasi public pelaksana aturan, kewenangan apa yang diberikan padanya, perlu tidaknya memisahkan antara organ pelaksana peraturan dan organ yang menetapkan sanksi atas ketidakpatuhan, persyaratan apa yang mengikat organisasi public pelaksana, serta aoa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada apparat pelaksanan jika menyalahgunakan wewenang. Rumusan permasalahan dalam masyarakat akan berkisar pada siapa yang berperilaku bermasalah, jenis pengaturan apa yang proporsional untuk mengendalikan perilaku bermasalah tersebut, dan jenis sanksi yang akan dipergunakan untuk memakakan kepatuhan. Penataan jenis perilaku itu akan menghasilkan regulasi public tentang larangan atau izin dan kewajiban melakukan hal tertentu atau dispensasi. Penyusun draft harus menjeaskan pilihan norma kelakuan yang dipilihnya dengan tujuan yang hendak dicapai. Norma larangan akan menghasilkan bentuk pengaturan yang rinci tentang perbuatan yang dilarang. Jika menginginkan perkecualian, maka norma izin juga harus dirumuskan. Konsekuensinya adalah berupa perumusan sistem dan syarat perizinannya.
Prosedur Pembahasan 16
Terdapat tiga tahap penting dalam pembahasan draft regulasi publik, yaitu dengan lingkup tim teknis pelaksana organisasi publik (eksekutif), dengan lembaga legislative (dewan penasehat, dewan penyantun and lain – lain), dan dengan masyarakat. Pembahasan pada lingkup tim teknis adalah yang lebih merepresentasi kepentingan eksekutif (manajemen). Setelah itu, dilakukan public hearing (pengumpulan pendapat masyarakat). Pembahasan pada lingkup legislative (DPR/D misalnya) dan masyarakat biasanya sangat sarat dengan kepentingan politis. Pengesahan dan Pengundangan Perjalanan terakhir dari perancangan draft regulasi publik adalah tahap pengesahan yang dilakukan dalam bentuk penandatanganan naskah oleh pihak organisasi publik (pimpinan organisasi). Dalam konsep hukum, regulasi publik tersebut telah mempunyai kekuatan hukum materiil terhadap pihak yang menyetujuinya. Sejak ditandatangani, rumusan hukum yang ada dalam regulasi publik sudah tidak dapat diganti secara sepihak. Sebagai contoh, di lembaga pemerintah daerah, pengundangan dalam Lembaran Daerah adalah tahapan yang harus dilalui agar rancangan regulasi publik mempunyai kekuatan hukum yang mengikat kepada publik. Dalam konsep hukum, draft rancangan regulasi publik sudah menjadi regulasi publik yang berkekuatan hukum formal. Secara teoretis, “Semua orang dianggap mengetahui regulasi publik” mulai diberlakukan dan seluruh isi/muatan regulasi akuntansi sector publik dapat diterapkan. Pandangan sosiologi hukum dan psikologi hukum menganjurkan agar tahapan penyebarluasan (sosialisasi) regulasi publik harus dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi komunikasi hukum antara regulasi publik dan masyarakat yang harus patuh. Pola ini diperlukan agar terjadi internalisasi nilai atau norma yang diatur dalam regulasi akuntansi sector publik. Karena itu, ada tahap pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Perancang regulasi akuntansi sector publik adalah orang yang secara substansial meguasai permasalahan publik di daerah/lokasi tersebut. Permasalahan yang akan diselesaikan harus dirumuskan dengan jelas agar dapat dipilih instrument hukum yang tepat. Selain itu, perancang adalah orang yang juga menguasai sistem hukum yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar produk 17
hukum regulasi akuntansi sector publik tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi, atau bahkan menimbulkan persoalan hukum dalam penerapannya. 2.5. REVIEW REGULASI AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK Di Indonesia, produk lembaga legislative bersama – sama eksekutif yang berupa Undang dinilai tidak dapat diuji (judicial review) oleh cabang kekuasaan kehakiman. Jika hal itu hendak dilakukan, pengujian itu akan dilakukan oleh lembaga yang membuat aturan itu sendiri. “Judicial Review” (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya jual produk- produk hokum yang dihasilkan oleh eksekutif, legislative, serta yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadao oriduk cabang kekuasaan legislative dan cabang kekuasaan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip check and balances, berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan. Amandemen ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview undang – undang yang terdapat di Mahkamah Konstitusi, sedangkan kewenangan mereview peraturan perundang – undangan di bawah UU diserahkan ke MA. Hal ini berpotensi menimbulkan masalah, seperti kemungkinan munculnya persengketaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, atau di antara Pemerintah Daerah karena adanya keputusa – keputusan yang bersifat mengatur ataupun keputusan – keputusan penetapan administrative yang dianggap merugikan salah satu pihak. Keputusan hokum tersebut dapat berbentuk keputusan Gubernur, keputusan Bupati, ataupun peraturan daerah, padahal tingkatannya jelas berada di bawah Undang – Undang yang seharusnya menjadi objek pengujian oleh Mahkamah Agung, bukan Mahkamah Konstitusi. Akibatnya, sangat mungkin terjadi disharmonisasi dalam putusan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi menyangkut hal – hal yang berkaitan, namun dengan yurusdiksi berbeda. Jika keduanya dibedakan secara teoretis dapat saja terjadi di mana untuk satu perkara yang Konstitusi. Sebagai contoh, oleh Mahkamah Agung suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan bertentangan dengan Undang – undang, tetapi oleh Mahkamah Konstitusi Undang – undang yang bersangkutan justru dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi. Dalam melakukan proses judicial review, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, setelah mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai regulasi terkait, surat
18
permohonan judicial review dapat diajukan kepada Ketua Mahkama Agung/Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan kepada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang – undangan yang dimaksud batal demi hokum. Putusan yang dibacakan di siding yang terbuka untuk umum merupakan putusan yang mengikat. Jadi, dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu undang – undang, baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) maupun pasal – pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka undang – undang tersebut otomatis batal demi hokum. Kurang lebih ada dua alternative yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional, maka akan kehilangan pengaruhnya sejak hari di mana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hokum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian, dapat saja dibuka kembali persidangan mengingat tuduhannya didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional. Alternative kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing – masing putusan, apakah berdampak terhadap peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan atau berdampak retroaktif (ex tunc). Jika pencabutan putusan dilakukan secara ex tunc, pengaduan individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian, peraturan yang berlaku bagi individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku. Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara criminal harus dapat dibuka
19
kembali oleh peradilan biasa berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar putusan tersebut. 2.6 2.6 DASAR HUKUM KEUANGAN SEKTOR PUBLIK DI INDONESIA
Penyelenggaraan pemerintahan ditujukan untuk mengoordinasikan pelaksanaan hak dan kewwajiban warga negara dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara, baik keuangan negara dan keuangan daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang Dasar 1945 perlu dilaksanakan secara professional, terbuka, dan bertanggung jawab untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat. 2.6.1 Jenis-Jenis Organisasi Sektor Publik Dalam prakteknya, definisi organisasi sektor publik di Indonesia adalah organisasi yang menggunakan dana masyarakat. Di Indonesai jenis organisasi sektor publik yang dikenal antara lain: a. Organisasi Pemerintah Pusat b. Organisasi Pemerintah Daerah c. Organisasi Partai Politik d. Organisasi LSM e. Organisasi Yayasan f. Organisasi Tempat Peribadatan Jadi, organisasi sektor publik dapat dikarakteristikan seperti terlihat pada tabel dibawah: TABEL 1.3 Karakteristik Organisasi Sektor Publik Tujuan Aktivitas
Untuk mensejahterakan masyarakat secara bertahap, baik dalam kebutuhan dasar, dan kebutuhan lainnya baik jasmani maupun rohani. Pelayanan publik (public servies) seperti dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, penegakan hukum, transportasi publik, dan penyediaan pangan
20
Sumber Pembiayaan Pola Pertanggungjawaban
Kultur Organisasi Penyusunan Anggaran
Stakeholder
Berasal dari dana masyarakat yang berwujud pajak dan retribusi, laba perusahaan negara, pinjaman pemerintah, serta pendapatan lain-lain yang sah dan tidak bertentangan dengan perundangan yang berlaku. Bertanggung jawab kepada masyarakat melalui lembaga perwakilan masyarakat, seperti dalam organisasi pemerintahan yang meliputi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta dalam yayasan dan LSM seperti dewan pengampu Bersifat birokratis, formal, dan berjenjang. Dilakukan bersama masyarakat dalam perencanaan program. Penurunan anggaran program publik dipublikasikan untuk dikritisi dan didiskusikan oleh masyarakat. Dan, akhirnya, disahkan oleh wakil masyarakat di DPR, DPD, DPRD, majelis syuro partai, dewan pengurus LSM, atau dewan pengurus yayasan. Dapat dirinci sebagai masyarakat Indonesia, para pegawai organisasi, ara kreditor, para investor, lembaga-lembaga internasional termasuk lembaga Donor Internasional (seperti Bank Dunia (World Bank), International Monetari Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), United Nation Development Program (UNDP), USAID, dan pemerintah luar negeri.
2.6.1. Dasar Hukum Keuangan Negara Keuangan negara dapat diinterpretasikan sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban warga yang bisa dinilai dengan uang dalam kerangka tata cara penyelenggaraan pemerintahan. Wujud pelaksanaan keuangan negara tersebut dapat diidentifikasi sebagai segala bentuk kekayaan, hak, dan kewajiban negara yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN serta laporan pelaksanaannya. Tabel 2.5 Hak dan Kewajiban Negara Hak
– hak
Negara yang
dimaksud, Kewajiban
Negara
adalah
berupa
pelaksanaan tugas – tugas pemerintah
mencakup:
sesuai dengan pembukaan UUD 1945, yaitu: (1) Hak
monopoli
mencetak
dan
mengedarkan uang
(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
21
(2) Hak untuk memungut sumber – sumber
(2) Memajukan kesejahteraan umum;
keuangan seperti pajak, bead an cukai;
(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa;
(3) Hak untuk memproduksi barang dan jasa
yang
dapat
dinikmati
(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia
oleh
khalayak umum, yang dalam hal ini
yang
berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan social.
pemerintah dapat memperoleh (kontra prestasi) sebagai sumber penerimaan negara
Pelaksanaan kewajiban atau tugas – tugas pemerintah dilakukan dalam bentuk pengeluaran dan diakui sebagai belanja negara. Da;am UUD 1945 Amandemen III, hal Keuangan Negara secara khusus diatur, yaitu pada BAB VIII Pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka secara bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. 2. Rancangan Undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwskilsn Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwkilan Daerah. 3. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyutujui rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.
Pasal 23 A: Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undangundang. Pasal 23 B: Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 23 C: 22
Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang. Pasal 23 D: Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk tahun anggaran yang bersangkutan akan ditetapkan. Penyusunan APBN bukan hanya untuk memenuhi ketentuan konstitusional yang dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga sebagai dasar rencana kerja yang akan dilaksanakan oleh pemerintah dalam tahun anggran yang bersangkutan. Karena itu, penyusunannya didasarkan atas Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan pelaksanaannya dituangkan dengan undang-undang yang harus dijalankan oleh Presiden/Wakil Presiden serta para Menteri dan pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Setelah pengesahan undang-undang APBN, APBN dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dalam bentuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
Undang-Undang No. 17 tahun 2003 (Tentang Keuangan Negara) Sebelumnya, pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih menggunakan ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan colonial Hindia Belanda. Undangundang No. 17 Tahun 2003 adalah tonggak sejarah yang penting yang mengawali reformasi keuangan negara menuju pengelolaan keuangan yang efisien dan modern. Beberapa hal penting yang diatur dalam undang-undang ini adalah: a.
Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara Presiden selaku kepala pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai bagia dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut:
Dikuasakan kepada Menteri keuangan, selaku pengelola fiscal dan wakil pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan. 23
Dikuasakan kepada Menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggran atau pengguna barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
Diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Tidak termasuk kewenangan di bidang moneter, yang antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang yang diatur dengan undang-undang.
b. Penyusunan dan Penetapan APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. APBN harus sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah negara dan kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Hal penting yang ditetapkan dalam undang-undang ini adalah penyusunan RAPBN yang harus berpedoman pada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Jika anggran diperkirakan akan mengalami deficit, sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN. Jika anggaran diperkirakan mengalami surplus, pemerintah pusat dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada DPR. Undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting dalam penyusunan APBN yang diawali dengan penyampaian pokok-pokok kebijakan fiscal dan kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada DPR selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Dilanjutkan dengan pembahasan RUU tentang APBN, sementara nota keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada bulan Agustus. Pengambilan keputudan oleh DPR menyangkut RUU tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. c. Penyusunan dan Penetapan APBD Seperti APBN, undang-undang ini juga menjabarkan tahapan penting dalam penyusunan Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD (KUA) sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan. Berdasarkan kebijakan umum,
24
APBD disepakati oleh DPRD. Pemerintah Daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran yang dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). d. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah, serta Pemerintah/Lembaga Asing
Pemerintah Pusat dan Bank Sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan fiscal serta moneter.
Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan hibah kepada pemerintah daerah atau sebaliknya. Pemberian pinjaman dan hibah tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan DPR.
e. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta, serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan modal dan menerima pinjaman/
hibah
dari
perusahaan
negara/daerah.
Pemberian
pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu dalam APBN/APBD.
Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
Gubernur/Bupati/Walikota
melakukan
pembinaan
dan
pengawasan
kepada
perusahaan daerah.
Pemerintah pusat dapat melakukan penjualan dan privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.
Pemerintah daerah dapat melaukan penjualan dan privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan APBD Presiden dan para Kepala Daerah mempunyai kesempatan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa:
Laporan Realisasi Anggaran 25
Neraca
Laporan Arus Kas
Catatan atas Laporan Keuangan
Laporan tersebut dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya (Deddi Nordiawan, 2006).
Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 (tentang Perbendaharaan Negara) Penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara akan menimbulkan hak dan kewajiban negara yang harus dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, harus deilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Sebelum lahir undang-undang tentang perbendaharaan negara, kaidah-kaidah hukum administrasi keuangan negara masih didasarkan pada ketentuan dalam undang-undang Perbendaharaan Indonesia (indische Comptabiliteitswet-ICW) Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, dimana yang terakhir dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860). Undang-undang Perbendaharaan Indonesia tersebut tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan keuangan negara yang sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi. Karena itu, undang-undang tersebut harus diganti dengan undang-undang yang baru yang mengatur kembali ketentuan dibidang perbendaharaan negara, sesuai dengan tuntutan perkembangan demokrasi, ekonomi, dan teknologi modren. Disini yang dimaksud dengan perbendaharaan negara dalam undang-undang ini adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi serta kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Berdasarkan pengertian tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ini diatur mengenai:
Ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara
Kewenangan pejabat perbendaharaan negara 26
Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara/daerah
Pengelolaan uang negara/daerah
Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah
Pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah
Penatausahaan dan pertanggungjawaban APBN/APBD
Pengendalian internal pemerintah
Penyelesaian kerugian negara/daerah
Pengelolaan keuangan badan layanan umum
Undang-undang ini, selain menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan refoemasi penglolaan keuangan negara pada tingkat pemerintah pusat, juga berfungsi untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dalam kerangka NKRI.
Undang-undang No. 15 Tahun 2004 (Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara) Pemeriksaan keuangan negara meliputi pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaksanakan pemerikasaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pemeriksaan atas pengelolaan dan tangguang jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi seluruh unsur keuangan negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jika pemeriksaan dilaksanakan oleh akuntan publik berdasarkan ketentuan undang-undang, laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan keuangan (pemeriksaan atas laporan keuangan, pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi, serta pemeriksaan aspek efektivitas), dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Ketiga jenis pemeriksaan tersebut dilaksanakan berdasarkan standar pemeriksaan yang disusun oleh BPK, setelah berkonsultasi dengan pemerintah. Pelaksana Pemeriksaan:
27
Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelaksanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh BPK. Dalam perencanakan tugas pemeriksaan BPK memperhatikan permintaan saran, dan pendapat lembaga perwakilan. Dan, untuk melaksanakan hal itu, BPK atau lembaga perwakilan dalat mengadakan pertemuan konsultasi. Dalam merencanakan tugas pemeriksaan, BPK dapat mempertimbangkan informasi dari pemerintah, bank sentral, dan masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan internal pemerintah. Karena itu, laporan hasil pemeriksaan internal pemerintah wajib disampaikan kepada BPK. (Deddi Nordiawan, 2006).
Undang-undang No. 25 Tahun 2004 (Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah suatu kesatuan dari tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dana jangka tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara serta masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk: mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah, maupun antarruang, antarfungsi pemerintah maupun antar Pusat dan Daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat, serta menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Perencanaan Pembangunan Nasional menghasilkan : a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah c. Rencana Pembangunan Tahunan
28
Proses perencanaan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dalam undang-undang ini mencakup lima pendekatan dari seluruh rangkaian perencanaan, yaitu : 1. Politik 2. Teknokratik 3. Parsitipasif 4. Atas-bawah (top-down) 5. Bawah-atas (bottom-up)
Pendekatan politik memandang bawah pemilihan Presiden/Kepala Daerah merupakan proses penyusunan rencana, karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan programprogram pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/Kepala Daerah Pendekatan Politik memandang bahwa pemilihan Presiden/Kepala daerah merupakan proses penyusunan rencana,karena rakyat pemilih menentukan pilihannya berdasarkan programprogram pembangunan yang ditawarkan masing-masing calon Presiden/kepala Daerah.Karna itu,rencana pembangunan adalah penjabaran dari agenda-agenda pembangunan yang ditawarkan calon presiden/kepala daerah pada saat kampanye ke dalam rencana pembangunan jangka menengah. Perencanaan dengan pendekatan teknokratik, dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berfikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja secara fungsional bertugas untuk itu. Perencanaan memalui partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (Stakeholders) terhadap pembangunan. Perlibatan tersebut adalah untuk mendapatkan
aspirasi
dan
menciptakan
rasa
memiliki.
Sementara itu,pendekatan atas-bawah dan bawah-atas dalam perencanaan dilaksanakan menurut jenjang pemerintahan. Rencana hasil proses atas-bawah dan bawah atas di selaraskan melalui musyawarah yang dilaksanakan baik tingkat Nasional ,Provinsi ,Kabutapet/Kota ,Kecamatan ,maupun desa. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 32 Tahun 2005 Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Presiden Nomer 80 Tahun 2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
Pengumuman pemilihan penyedia barang /jasa harus dapat memberikan informasi yang 29
luas kepada masyarakat dunia usaha,baik pengusaha daerah setempat maupun pengusaha daerah lainnya. Dalam peraturan Presiden ini,masalah pengadaan barang dan pendistribusian logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelanggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan juli 2005,juga di atur berdasarkan peraturan perundang-undangan. 2.6.2 Dasar Hukum Keuangan Daerah Pembangunan daerah sebagian bagian integral dari menbangunan nasional, didasarkan pada prinsip otonomi daerah dalam pengelolaan sumber daya. Prinsip otonomi daerah memberikan kewenangan yang luas dan tanggung jawab yang nyata kepada pemerintah daerah secara proporsional. Dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, baik yang berupa uang maupun sumber daya alam, pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan mengembangkan suatu sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang adil. Sistem ini dilaksanakan untuk mencerminkan pembagian tugas kewenangan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara transparan. Kriteria keberhasilan pelaksanaan sistem ini adalah tertampungnya aspirasi semua warga, dan berkembannya pasrtisipasi masyarakat dalam prosoes pertanggungjawaban eksplorasi sumber daya yang ada serta pengembangan sumber-sumber pembiayaan. Pada Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, disebutkan bahwa negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi itu dibagu atas kabupaten dan kota, dimana setiap privinsi,kabupaten,dan kota itu mempunyai pemerintah daerah yang di atur dengan Undang-undang. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi serta tugas pembantuan. 2.6.3 Dasar Hukum Keuangan Organisasi Publik Lainnya Di Indonesia, beberapa upaya untuk membuat standar yang relavan dengan praktek-praktek akuntansi di organisasi sektor publik telah dilakukan baik oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) maupun oleh pemerintah sendiri. Untuk organisasi nirlaba, IAI menerbitkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 (PSAK No 45) tentang organisasi nirlaba. PSAK ini berisi akidah-
30
akidah atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh organisasi nirlaba dalam membuat laporan keuangan. a. Yayasan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 yang diubah menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan yang mengatur masalah organisasi publik yang berbentuk yayasan. Yayasan diwajibkan menyusun laporan tahunan yang terdiri dari dua komponen, yaitu Laporan Kegiatan dan Laporan Keuangan. b. LSM UU No. 17 Tahun 2013 yang diubah menjadi PP No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. c. Partai Politik Regulasi publik terkait dengan partai politik seperti Undang-undang No 2 tahun 2008 tentang partai politik, dan Peraturan Pemerintahan No. 5 Tahun 2009 (29 Tahun 2005) tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Juga dijelaskan Permendagri No. 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Parpol. d. Tempat Peribadatan yang menjadi acuan dasar penggunaan sistem akuntansi dalam organisasi ini adalah QS. An-Nisa (4) ayat 6 dan QS. Qaf (50) ayat 18 yang memberikan prinsip tentang pengawasan dalam hal organisasi masjid. Untuk organisasi gereja acuannya adalah Matius 10:10 dan Lukas 10:7 yang menjelaskan bahwa pelayanan mempunyai hak menerima sokongan. 2.7.
PERMASALAHAN
REGULASI
KEUANGAN
PUBLIK
DI
INDONESIA
Permasalahan regulasi keuangan publik di Indonesia dapat disebutkan sebagai berikut : 1. Regulasi yang Berfokus pada Manajemen Organisasi publik didirikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perwujudan ini dicapai melalui pelayanan publik yan menjadi muara dari seluruh proses 31
pengelolaan organisasi publik. Segala proses yang dilakukan organisasi publik, baik keuangan maupun nonkeuangan,diatur dengan regulasi publik. Dalam hal ini,salah satu permasalahan yang ada dalam regulasi keuangan pubolik adalah regulasi yang berfokus pada menejemen organisasi publik. Regulasi yang hanya terfokus pada pengaturan wilayah menejemen sering kali mengaburkan proses pencapaian kesejahteraan masyarakat. Jadi,regulasi publik harus fokus pada tujuan pencapaian organisasi publik yaitu kesejahteraan publik. Dengan demikian,menejemen akan menata dirinya dalam segala situasi dan kondisi mengikuti regulasi yang berfokus pada tujuan kesejahteraan publik tersebut. 2. Regulasi Belum Bersifat Teknik Banyak regulasi publik di Indonesia yang tersusun dengan sangat baik untuk tujuan kesejahteraan publik. Namun,banyak di antaranya tidak dapat diaplikasikan dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena regulasi tersebut tidak menjelaskan atau tidak disertai dengan regulasi lain yang membahas secara lebih teknis bagaimana mengimplementasikan regulasi tersebut. Selain itu, di Indonesia juga ada beberapa regulasi setingkat undangundang yang tidak diikuti peraturan pelaksanaan dibawahnya,sehingga pemerintah di tingkat daerah tidak dapat melaksanakan undang-undang tersebut. Bahkan hal ini dapat menimbulkan pertentangan antara undang-undang yang bersangkutan dan peraturan pelaksanaan tingkat daerah. 3. Perbedaan Interpretasi antara Undang-undang dan Regulasi di Bawahnya Regulasi ditetapkan untuk dilaksanakan dalam masyarakat. Regulasi yang baik harus bersifat aplikatif,karena ergulasi yang tidak jelas dan tidak aplikatif akan menimbulkan multiinterpretasi dalam pelaksanaannya. Multiinterpretasi ini selanjutnya dapat menimbulkan berbagai penyimpangan dari tujuan regulasi semula. Dalam kasus ini,salah satu permasalahan regulasi di Indonesia adalah perbedaan interpretasi
antara
Undang-undang
dan
regulasi
dibawahnya.
Dalam
banyak
kajian,beberapa ayat atau pasal dari undang-undang atau regulasi terkait sering menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda dalam pelaksanaannya. Ditingkat daerah,substansi dari isi undang-undang terkait tidak dapat diturunkan dalam peraturan daerah. Kondisi ini membuat tujuan peraturan pemerintah tidak dapat tercapai sesuai konsep awalnya. 32
4. Pelaksanaan Regulasi yang Bersifat Transisi Berdampak Pemborosan Anggaran Seiring dengan era reformasi yang tengah melanda Indonesia,berbagai regulasi pun juga mengikuti perubahan yang ada. Sejumlah besar revisi atau penyusunan regulasi yang baru telah dilakukan oleh pemerintah atau organisasi publik lainnya. Sebagai contoh, di bidang keuangan publik reformasi di tingkat regulasi dimulai dengan lahirnya UU No 17 tahun 2003, yang diikuti dengan lahirnya Permendagri No 13 Tahun 2006,yang direvisi kembali menjadi Permendagri No 59 tahun 2007. Walaupun telah direvisi,berbagai friksi terkait dengan materi peraturan tersebut tetap masih ada. Fenomena perbaikan regulasi yang tak kunjung berakhir ini telah membuat para aparat keuangan di tingkat daerah menjadi bingung. Selain itu. Untuk mengaplikasikan sebuah regulasi,kapasitas tertentu juga harus ada sehingga wajar jika pergantian regulasi pasti akan diikuti dengan pengeluaran lain sebagai dampak dari bagian pelaksanaan regulasi tersebut. Saat ini,banyak regulasi yang bersifat transisi telah dilaksanakan secara bertahap dan membutuhkan kapasitas tertentu untuk melaksanakannya. Hal ini akan mempengaruhi anggaran yang senantiasa meningkat dan cenderung boros. Pemborosan anggaran akan menurunkan kapasitas organisasi dalam menjalanka roga organisasi sehingga pencapaian tujuan organisasi semakin menurun. 5. Pelaksanaan Regulasi Tanpa Sanksi Kelemahan lain dari regulasi di Indonesia adalah pelaksanaan regulasi yang tanpa sanksi. Dalam kasus ini, sanksi yang dimaksud adalah hukuman jika organisasi publik tidak melaksanakn regulasi tersebut. Dengan tidak adanya sanksi,organisasi akan seenaknya melaksanakan atau tidak melaksanakan regulasi tersebut. Sebuah regulasi disusun dan disahkan dengan tujuan tertentu,yang dalam konteks ini sudah tentu sejahteraan publik. Jika organisasi tidak melaksanakan regulasi tersebut,secara otomatis tujuan kesejahteraan publik tidak dapat tercapai. Karna itu, sanksi terhadap organisasi yang tidak melaksanakan regulasi hendaknya dicantumkan dalam setiap regulasi publik.
33
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan Kecurangan didefinisikan sebagai salah saji dalam laporan keuangan yang dilakukan dengan sengaja. Dua kategori utama kecurangan adalah kecurangan dalam laporan keuangan dan penyalahgunaan asset. Kecurangan dalam laporan keuangan merupakan salah saji atau penghapusan terhadap jumlah ataupun pengungkapan yang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk mengelabui para penggunanya. Penyalahgunaan aset merupakan kecurangan yang melibatkan pencurian atas aset milik suatu entitas. Dengan menerapkan program-program dan pengendalian antikecuragan, manajemen dapat mencegah kecurangan dengan mengurangi kesempatan yang memungkinkan terjadinya kecurangan. Untuk membantu manajemen dan dewan direksi dalam menjalankan usaha antikecurangan, AICPA, bekerja sama dengan beberapa organisasi profesi terkait, menerbitkan Program dan Pengendalian Antikecurangan bagi Manajemen: Panduan untuk Membantu Mencegah, Mengantisipasi, dan Mendeteksi Kecurangan. Panduan tersebut mengidentifikasi adanya 3 elemen untuk mencegah, mengantisipasi dan mendeteksi kecurangan, yaitu Budaya kejujuran dan etika yang bernilai tinggi, Tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi resiko-resiko kecurangan dan pengawasan dari komite Audit. 1. Mengubah Keseluruhan Pelaksanaan Audit Pelaku kecurangan seringkali memiliki pengetahuan yang baik dalam prosedur audit. Untuk alasan itu maka PSA 70 mengharuskan auditor untuk menerapkan rencana audit yang tidak dapat diprediksi. 2. Merancang dan Melakukan Prosedur Audit untuk Menghadapi Resiko Kecurangan 3. Auditor merancang prosedur audit yang tepat digunakan untuk mengatasi resiko audit spesifik sesuai dengan akun yang sedang diaudit dan jenis resiko kecurangan yang teridentifikasi. Sepanjang pengauditan, auditor terus-menerus mengevaluasi apakah bukti-bukti yang didapatkan dan pengamatan-pengamatan lainnya mengindikasikan adanya salah saji material yang disebabkan oleh kecurangan. 34
-
Jenis teknik-teknik wawancara
-
Tanya jawab informal
-
Tanya jawab evaluasi
-
Tanya jawab interogatif
-
Mengevaluasi respons tanya jawab
-
Teknik mendegarkan
-
Mengamati tanda-tanda perilaku
35
DAFTAR PUSTAKA
Arens, A. A., Elder, R. J., & Beasley, M. S. (2012). Auditing and Assurance Services An Integrated Approach. Tuanakotta, Theodorus M. 2015. Audit Kontemporer. Jakarta: Salemba Empat.
36