Refreshing Typhoid Fever - Mutya.docx

  • Uploaded by: Syahrial
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refreshing Typhoid Fever - Mutya.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,333
  • Pages: 20
REFRESHING DEMAM TIFOID

Pembimbing :

dr. Toton Suryotono, Sp.PD Disusun Oleh : Nabila Nitha Alifia (2013730158)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CIANJUR FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2018

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan refreshing ini. Refreshing berjudul “Demam Typhoid” ini dibuat dengan tujuan sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur. Dalam pembuatan tinjauan pustaka dari refreshing ini, saya mengambil referensi dari literatur dan jaringan internet. Saya

mengucapkan

terimakasih

yang

sebesar-besarnya

kepada

dokter

pembimbing, dr. Toton Suryotono, Sp.PD yang telah memberikan bimbingannya dalam proses penyelesaian refreshing ini, juga untuk dukungannya baik dalam bentuk moril maupun dalam mencari referensi yang lebih baik. Penulis sadar bahwa dalam pembuatan refreshing ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis menghimbau agar para pembaca dapat memberikan saran dan kritik yang membangun dalam perbaikan refreshing ini. Penulis berharap agar refreshing ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmu pengetahuan bagi pihak yang memerlukan khususnya bagi Penulis sendiri.

Cianjur, Mei 2018

Penulis

TINJAUAN PUSTAKA DEMAM TIFOID

A. DEFINISI Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif Salmonella enterik serotype typhi atau paratyphi. Perbandingan antara Salmonella typhi dengan Salmonella paratyphi adalah 10:1. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Demam Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis, Typhoid fever atau Enteric fever.1,2

B. ETIOLOGI Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.2 Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu,

bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.2 Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.2

C. EPIDEMIOLOGI Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Di Indonesia, demam tifoid banyak dijumpai pada populasi usia 3-19 tahun. Demam tifoid menempati urutan ketiga penyakit terbanyak pada pasien ranap di RS di Indonesia.2 Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no.6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-Undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui secara pasti.3,4 Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai dalam bentuk epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhii : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109-1011 kuman per gram tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam

kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.2,3,4 Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Angka kejadian demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal musim hujan. Hal ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih merupakan masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup tinggi berkisar antara 354-810 / 100.000 penduduk pertahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan adanya anggota keluarga yang memiliki riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan dan tidak tersedianya tempat buang air besar di dalam rumah.3,4 Di daerah endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.4 Epidemi adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju “ekspektasi” ( dugaan ), yang didasarkan pada pengalamaan mutakhir. Dengan kata lain epidemik adalah wabah yang terjadi secara cepat daripada yang diduga. Endemik adalah penyakit yang umum yang terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi. Sporadik adalah wabah kecil yang meningkat dengan tetap sampai terjadi wabah besar.4

D. KLASIFIKASI Klasifikasi demam tifoid berdasarkan WHO (2011)1 : 1. Confirmed Case a. Seorang pasien dengan demam terus-menerus (38°C atau lebih) yang bertahan 3 hari atau lebih, dengan organisme S. typhi yang dikonfirmasi laboratorium (darah, sumsum tulang, cairan usus) b. Kasus klinis yang sesuai yang dikonfirmasi laboratorium

2. Probable Case a. Seorang pasien dengan demam persisten (38°C atau lebih) yang berlangsung selama 3 hari atau lebih, dengan tes deteksi serodiagnosis atau antigen yang positif namun tidak ada isolasi S. typhi. b. Kasus klinis yang kompatibel secara epidemiologis dengan kasus yang dikonfirmasi dalam wabah 3. Chronic Carrier a. Seorang individu mengeluarkan S. typhi di tinja atau air kencing selama lebih dari satu tahun setelah onset demam tifoid akut b. Karier jangka pendek juga ada, namun peran epidemiologisnya tidak sepenting karier kronis. c. Beberapa pasien yang mengekskresikan S. typhi tidak memiliki riwayat demam tifoid

E. PATOFISIOLOGI Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Usus yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).2

Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organorgan ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.2 Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid, karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.2 Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. Typhi

intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung, empedu mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.2

Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).2

Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid2 : 1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada akhirnya juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus. 2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator, dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya yang kurang begitu penting. 3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear. 4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.

Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan kapsuler Vi yang menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri sehingga fagositosis terganggu. Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding bakteri, menyebabkan prolonged fever dan gejala-gejala toksik dari demam tifoid, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejala ini disebabkan oleh sitokin yang dihasilkan leukosit terhadap rangsangan endotoksin.2

Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal. Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri, disusul minggu kedua terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi plaque peyeri dan selanjutnya dalam minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.2 Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, serta nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa membesar.2 Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman.2 Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.2

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis, v. safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.2 Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum, iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.2

F. GAMBARAN KLINIS Menurut WHO (2011), berikut beberapa manifestasi dari tifoid : 1. Pola demam step ladder atau demam onset berbahaya 2. Anoreksia 3. Diaphoresis (keringat dingin), rose spot 4. Malaise 5. Confusion/ delirium 6. Sakit kepala bagian frontale 7. Coated tongue (lidah berwarna putih atau kuning) 8. Batuk, suara nafas Rales 9. Konstipasi 10. Nyeri perut, kembung, Gastrointestinal hemorrhage, Jaundice

Pada minggu pertama terdapat demam yang berangsur makin tinggi dan hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari, pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual, muntah. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.2 Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas, demam umumnya tetap tinggi dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Gejala fisik lain berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak dapat pula ditemukan. Perbaikan dapat mulai terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi sampai dua atau tiga kali.2 Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten), sore dan malam lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi, kadangkadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3 suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.2 Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.2 Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada

kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi dan demam.2

G. LANGKAH DIAGNOSTIK Anamnesis2 Demam meningkat perlahan-lahan terutama saat sore hingga malam hari, nyeri kepala, pusing, batuk , nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, epistaksis. Pemeriksaan fisik2 Pada pemeriksaan fisik ditemukan : 

Tampak toksik



Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang ditemukan pada orang Indonesia).



Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.



Bradikardia relatif.



Hepato-splenomegali.



Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan peritoneum.



Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.



Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah  pemeriksaan radiologi

menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

Pemeriksaan penunjang Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. LED pada demam tifoid dapat meningkat.2 Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik, leukopenia

dengan

hilangnya

sel

eosinofil

dan

penurunan

jumlah

sel

polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak daripada wanita.2 Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka

semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.2 1. Leukosit. Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadangkadang dapat ditemukan leukositosis.2 2. SGOT dan SGPT. SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.2 3. Biakan darah. Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah tergantung pada beberapa faktor2, yaitu : a. Teknik pemeriksaan laboratorium. b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit. c. Vaksinasi di masa lampau. d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal. Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.2

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu : a. Aglutinin O. Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O yang berasal dari tubuh kuman.2 b. Aglutinin H. Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H yang berasal dari flagela kuman.2 c. Aglutinin Vi. Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi yang berasal dari simpai (pelindung) kuman.2 Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer antibodi O mencapai ≥ 1/200, titer antibodi H 1/640, atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan , sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.2

Interprestasi uji Widal, yaitu : • Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. • Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid. • Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan diagnosis demam tifoid. • Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain. • Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama. • Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama.

5. Tubex Tf Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

H. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaannya yaitu : 1. Tirah baring Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubahubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila tidak ada indikasi.2

2. Nutrisi - Cairan Dehidrasi jarang terjadi pada demam tifoid; Namun, ketidakseimbangan elektrolit, hipoglikemia dan hipokalemia dan hiponatremia sering terjadi dan perlu dikoreksi dengan menggunakan larutan elektrolit yang tepat. Pemeliharaan Cairan IV juga mungkin diperlukan. Dalam kasus di mana perforasi usus diduga nutrisi parenteral mungkin diperlukan.1 - Diet Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.2

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.2

3

Pemberian obat animikroba1

I.

KOMPLIKASI2 Komplikasi intestinal



Perdarahan

intestinal,

perforasi

usus, peritonitis

Komplikasi ekstra-intestinal



Kardiovaskular sirkulasi

perifer,

:

gagal miokarditis,

tromboflebitis. •

Darah

: anemia hemolitik,

trombositopenia, thrombosis. Pankreas

: pankreatitis

J.

PENCEGAHAN Pencegahan infeksi Salmonella typhi juga dapat dilakukan dengan Perbaikan sanitasi lingkungan, Peningkatan higiene makanan dan minuman, Peningkatan higiene perorangan, Pencegahan dengan imunisasi, tetapi imunisasi tifoid tidak 100% efektif, dan demam tifoid masih bisa terjadi.1 Indikasi vaksinasi1 Imunisasi tidak direkomendasikan secara rutin di Zimbabwe kecuali untuk pelancong ke daerah dimana Tifoid bersifat endemik. Vaksin Ty21a tidak boleh digunakan pada pasien yang menerima antimikroba. Jenis Vaksin1,2 Dua vaksin tersedia saat ini: Ty21a (vaksin oral) dan ViCPS (vaksin parenteral / intra muskular). Baik vaksin polisakarida maupun vaksin Ty21a dilisensikan untuk anak di bawah usia 2 tahun. Efek Samping Vaksinasi2 Yaitu demam 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi , nyeri dada, dan syok

K. PROGNOSIS2  Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan.  Hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk apabila timbulnya komplikasi.  Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak sepenuhnya sembuh dari infeksi.

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2011. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. WHO: 2011. 2. Sjaifullah Noer, Prof. Dr. H.M. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2014. 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Kemkes: 2014.

4. Ditjen PP & PL. Depkes RI. 2008. Data Surveilans Epidemiologi Tahun 2007. Jakarta.

Related Documents

Typhoid Fever
July 2020 12
Typhoid Fever
June 2020 11
Typhoid Fever
June 2020 10
Typhoid Fever
June 2020 9
Typhoid Fever
June 2020 13

More Documents from "buddy557"