Refreshing Dermatoterapi.docx

  • Uploaded by: Rebecca Bailey
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refreshing Dermatoterapi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 14,514
  • Pages: 75
PENDAHULUAN

Penyakit kulit dapat diobati dengan bermacam – macam cara, ialah 1: a. Topikal b. Sistemik c. Intralesi

Jika cara pengobatan di atas belum memadai, maka masih dapat dipergunakan cara-cara lain, yaitu1 : 

Radioterapi



Sinar Ultraviolet



Pengobatan Laser



Krioterapi



Bedah listrik



Bedah skalpel

Dengan adanya kemajuan-kemajuan yang pesat dalam bidang farmasi, maka pengobatan penyakit kulit juga ikut berkembang pesat. Yang menarik perhatian ialah kemajuan dalam bidang pengobatan topikal yang berupa perubahan dari cara pengobatan non spesifik dan empirik menjadi pengobatan spesifik dengan dasar yang rasional. 1

1

TINJAUAN PUSTAKA

PENGOBATAN TOPIKAL Kegunaan dan khasiat pengobatan topikal didapat dari pengaruh fisik dan kimiawi obat-obat yang diaplikasi di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik antara lain ialah mengeringkan, membasahi

(hidrasi), melembutkan, lubrikasi,

mendinginkan, memanaskan, dan melindungi (proteksi) dari pengaruh buruk dari luar. Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan homeostasis, yaitu mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke keadaan fisiologik stabil secepat-cepatnya. Di samping itu untuk menghilangkan gejala-gejala yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas.1 Dalam jangka waktu 20 tahun terakhir ini telah dikembangkan preparat – preparat topikal yang mempunyai khasiat kimiawi yang spesifik terhadap organisme di kulit atau terhadap kulit itu sendiri. Secara ideal maka pemberian obat topikal harus berkhasiat fisis maupun kimiawi. Jika obat topikal di gunakan secara rasional, maka hasilnya juga optimal, sebaliknya kalau digunakan secara salah obat topikal menjadi tidak efektif dapat menyebabkan penyakit iatrogenik.1

Prinsip obat topikal secara umum terdiri atas 2 bagian : 

Bahan dasar (vehikulum)



Bahan aktif

BAHAN DASAR (VEHIKULUM) Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topical merupakan langkah awal dan terpenting yang harus diambil dalam pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan dermatosis yang membasah dipakai bahan dasar yang membasah dipakai bahan dasar yang cair/basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat/kering, misalnya salep. Secara sederh ana bahan dasar dibagi menjadi : 1

2

1. Cairan 2. Bedak 3. Salap

Di samping itu ada 2 campuran atau lebih bahan dasar, yaitu : 4. Bedak kocok (lotion), yaitu campuran cairan dan bedak. 5. Krim, yaitu campuran cairan dan salap 6. Pasta, yaitu campuran salap dan bedak 7. Linimen (pasta pendingin), yaitu campuran, cairan, bedak, dan salap. 1

Bedak

Bedak Kocok

Cairan

Krim

Pasta Pendingin

Pasta Berlemak

Salap Gambar Bagan Vehikulum1 1. Cairan Cairan terdiri atas : a. Solusio artinya larutan dalam air b. Tingtura artinya larutan dalam alkohol Solusio dibagi dalam : 1. Kompres 2. Rendam (bath), misalnya rendam kaki, rendam tangan 3. Mandi (full bath) Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan sisa–sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan dan pecahnya vesikel, bula, dan pustul. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi

3

kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parastesi oleh bermacam–macam dermatosis. 1 Harus

diingat

bahwa

pengobatan

dengan

cairan

dapat

menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus di pantau secara teliti, jika keadaan sudah mulai kering pemakainnya di kurangi dan bila perlu di hentikan untuk diganti dengan bentuk pengobatan lain. Cara kompres lebih di sukai dari pada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendingin dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. 1 Bahan aktif yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersifat astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. 1 Dikenal dua macam cara kompres, yaitu : a. Kompres terbuka Dasar: Penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus. Indikasi: 

Dermatosis madidans



Infeksi kulit dengan eritema yang mencolok, misalnya erisipelas



Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta.

Efek pada kulit 

Kulit yang semula eksudatif menjadi kering



Permukaan kulit menjadi dingin



Vasokontriksi



Eritema berkurang

Cara Digunakan kain kasa yang bersifat absorben dan non-iritasi serta tidak terlalu tebal (3 lapis). Balutan jangan terlalu ketat, tidak perlu steril dan jangan menggunakan kapas karena lekat dan menghambat penguapan. 1

4

Kasa dicelup ke dalam cairan kompres, diperas, lalu di balutkan dan didiamkan, biasanya sehari dua kali selama 3 jam. Hendaknya jangan sampai terjadi maserasi. Bila kering basahi lagi. Daerah yang di kompres luasnya 1/3 bagian tubuh agar tidak terjadi pendinginan. 1 b. Kompres tertutup 

Sinonim : Kompres impermeabel



Dasar : Vasodilatasi, bukan untuk penguapan.



Indikasi: Kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium.



Cara : Digunakan pembalut tebal dan di tutup dengan bahan impermeabel, misalnya selofan atau plastik. 1

2. Bedak Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat erat sehingga penetrasinya sedikit sekali. Yang diharapkan dari bedak terutama ialah efek fisis. Bahan dasarnya ialah talkum venetum. Biasanya bedak dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersifat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah. 1 a. Efek bedak ialah : 

Mendinginkan



Anti-inflamasi ringan karena ada sedikit efek vasokontriksi



Anti-pruritus lemah



Mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat ( intertrigo )



Proteksi mekanis1

b. Indikasi pemberian bedak ialah : 

Dermatosis yang kering dan superficial



Mempertahankan vesikel/bula agar tidak pecah, misalnya pada varicela dan herpes zoster. 1

c. Kontraindikasi : Dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan infeksi sekunder. 1

5

3. Salap Salap ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. 1 a. Indikasi pemberian salap ialah : 

Dermatosis yang kering dan kronik



Dermatosis yang dalam dan kronik, karena daya penetrasi salap paling kuat jika dibandingkan dengan bahan dasar lainya.



Dermatosis yang bersisik dan berkrusta

b. Kontraindikasi ialah : dermatitis madidans, jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salap tidak dianjurkan dan salap jangan dipakai di seluruh tubuh. 1

4. Bedak kocok Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak, yang biasanya di tambah dengan gliserin sebagai bahan perekat. Supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi kering, maka jumlah zat padat maksimal 40% dan jumlah gliserin 10 – 15%. Hal ini berarti bila beberapa zat aktif padat ditambahkan, maka persentase tersebut jangan dilampaui. 1 a. Indikasi bedak kocok ialah : 

Dermatosis yang kering, superficial dan agak luas, yang diinginkan ialah sedikit penetrasi.



Pada keadaan subakut

b. Kontraindikasi : 

Dermatitis madidans



Daerah badan yang berambut1

5. Krim Krim ialah campuran W (water, air), O (oil, minyak) dan emulgator. Krim ada dua jenis : a. Krim W/O : air merupakan fase dalam dan minyak fase luar.

6

b. Krim O/W : minyak merupakan fase dalam dan air fase luar. Selain itu dipakai emulgator, dan biasanya ditambah bahan pengawet, misalnya paraben dan juga dicampur dengan parfum. Berbagai bahan aktif dapat di masukan di dalam krim. Indikasi penggunaan krim ialah : 

Indikasi kosmetik



Dermatosis yang subakut dan luas, yang dikehendaki ialah penetrasi yang lebih besar daripada bedak kocok.



Krim boleh digunakan di daerah yang berambut.



Kontraindikasi ialah dermatitis madidans. 1

6. Pasta Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersifat protektif dan mengeringkan. 

Indikasi pengguanaan pasta ialah dermatosis yang agak basah.



Kontraindikasi : dermatosis yang eksudatif dan daerah yang berambut. Untuk daerah genital eksterna dan lipatan – lipatan badan pasta tidak dianjurkan karena terlalu melekat.1

7. Linimen Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salap. 

Indikasi : dermatosis yang subakut



Kontraindikasi : dermatosis madidans1

8. Gel Terdapat vehikulum lain yang tidak termasuk dalam “bagan vehikulum” ialah gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidrofilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel diantaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat -zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim.1

7

BAHAN AKTIF Memilih obat topical selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimaksudkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisiko – kimia permukaan kulit, disamping komposisi formulasi zat yang dipakai.1 Di dalam resep harus ada bahan aktif dan vehikulum. Bahan aktif dapat berinteraksi satu sama lain. Yang penting ialah, apakah bahan yang kita campurkan itu dapat tercampurkan atau tidak, sebab ada obat/zat yang sifatnya O.T.T (obat tidak tercampurkan).1 Asam salisilat misalnya dapat dicampur dengan asam lainya, contohnya asam benzoate atau denga ter, resorsinol tidak tercampur dengan yodium, garam, besi atau bahan yang bersifat oksidator.1 Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk konsentrasi obat, kelarutanya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan efek vehikulum terhadap kulit.1 Bahan aktif yang digunakan di antaranya ialah : 1. Aluminium asetat Contohnya ialah larutan Burowi yang mengandung alumunium asetat 5%. Efeknya ialah astrinen dan antiseptik ringan.1

2. Asam asetat Dipakai sebagai larutan 5% untuk kompres, bersifat antiseptik pada infeksi pseudomonas.1 Produk-produk asam asetat mencakup: 

Asam kloroasetat (monochloroacetic acid, MCA), asam dikloroasetat (sebagai produk sampingan), dan asam trikloroasetat. MCA digunakan dalam fabrikasi pewarna indigo.



Asam bromoasetat, yang jika diesterifikasi menghasilkan pereaksi etil bromoasetat.



Asam trifluoroasetat, merupakan pereaksi umum dalam sintesis organik.

8

3. Asam benzoate Mempunyai sifat antiseptik terutama fungisidal.1

4. Asam borat Konsentrasinya 3% tidak dianjurkan untuk dipakai sebagai bedak, kompres atau dalam salap berhubung untuk antiseptiknya sangat sedikit dan dapat bersifat toksik, terutama pada kelainan yang luas dan erosif terlebih pada bayi.1

5. Asam salisilat Merupakan zat keratolitik yang tertua yang dikenal dalam pengobatan topikal. Efeknya ialah mengurangi proliferasi epitel dan menormalisasi keratinisasi yang terganggu. Pada konsentrasi yang rendah (1-2%) mempunyai efek keratoplastik, yaitu menunjang pembentukan keratin yang baru. Pada konsentrasi yang tinggi (3-20%) bersifat keratolitik dipakai untuk keadaan dermatosis yang hiperkeratolitik. Pada konsentrasi yang sangat tinggi (40%) dipakai untuk kelainan–kelainan yang dalam, misalnya kalus dan veruka plantaris. Asam salisil konsentrasi 1% dipakai sebagai kompres, bersifat antiseptik. Penggunaanya, misalnya untuk dermatitis eksudatif, asam salisilat 3% - 5% juga bersifat mempertinggi absorbsi per kutan zat – zat aktif.1

6. Asam undersilenat Bersifat antimitotik dengan konsentrasi 5% salap atau krim. Dicampur dengan garam seng 20%.1

7. Asam vit.A ( tretonin,asam retinoat ) 

Efek : memperbaiki keratinisasi menjadi normal jika terjadi gangguan, meningkatkan sintesis D.N.A dalam epithelium germinatif, meningkatkan laju mitosis, menebalkan staratum granulosum, menormalkan parakeratosis. 9



Indikasi : penyakit dengan sumbatan folikular, penyakit dengan hiperkertaosis, pada proses menua kulit akibat sinar matahari1

8. Benzokain Bersifat anastesia, konsentrasinya ½-5%, tidak larut dalam air,lebih larut dalam minyak (1:35), dan lebih larut lagi dalam alkohol. Dapat digunakan dalam venikulum yang lain. Sering menyebabkan sensitisasi.1

9. Benzyl benzoate Cairan berkhasiat sebagai skabisid dan pedikulosid. Digunakan sebagai emulsi dengan konsentrasi 20% dan 25%.1

10. Camphora Konsentrasinya 1-2%. Bersifat anti-pruritus berdasarkan penguapan zat tersebut sehingga terjadi pendinginan. Dapat dimasukan ke dalam bedak atau bedak kocok yang mengandung alkohol agar dapat larut. Juga dapat di pakai dalam salap dan krim.1

11. Kortikosteroid topikal Mempunyai khasiat yang sangat luas, yaitu : anti inflamasi, anti alergi, anti pruritus, anti mitotik, dan vasokontriksi. Zat–zat ini pada konsentrasi 0.025% sampai 0.1% memberikan pengaruh anti inflamasi yang kuat, yang termasuk dalam golongan ini ialah : betametason valerat, betametason benzoate, fluinolon, setonid dan triamnisolon asetonid.1 a. Penggolongan Kortikosteroid topical dibagi menjadi 7 golongan besar, diantaranya berdasarkan anti-inflamasi dan anti mitotik. Golongan 1 yang paling kuat daya anti–inflamasinya dan anti mitotiknya (superpoten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).1 b. Indikasi KT mempunyai kemampuan menekan inflamasi/peradangn dengan cara menghambat fosfolipase A dan menekan IL-1∝. Sebagai obat

10

imunosupresan,

kortikosteroid

dapat

menghambat

kemotaksis

neutrophil, menurunkan jumlah sel Langerhans dan menekan pengeluaran sitokin, menekan reaksi alergi-imunologi, serta menekan proliferasi/antimitotik. KT juga menyebabkan vasokonstriksi dan efek ini sejalan dengan daya antiinflamasi.2

11

Tabel Responsif Dermatoterapi Kortikosteroid3

c. Pemilihan jenis KT Dipilih KT yang sesuai, aman, efek samping sedikit dan harga murah : disamping itu ada beberapa faktor yang perlu di pertimbangkan, yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dakangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi. Perlu juga di pertimbangkan umur penderita.1 d. Aplikasi klinis 1. Cara aplikasi Pada umumnya dianjurkan pemakaian salap 2-3x/hari sampai penyakit tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis, ialah menurunya respon kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang berulang – ulang. : berupa toleransi akut yang berarti efek vasokontriksinya akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokontriksi akan timbul lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.1 2. Lama pemakaian steroid topikal Lama pemakain steroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4 – 6 minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi kuat.1

12

e. Efek samping Efek samping, baik lokal maupun sistemik, lebih sering terjadi pada bayi dan anak, pada pemakaian KT jangka panjang, potensi kuat, dan pada pengolesan lesi yang luas.2 1. Efek samping lokal Pemakaian KT jangka panjang atau potensi kuat menginduksi atrofi kulit, striae, telengiektaksi, purpura, hipopigmentasi, akneiformis, dermatitis perioral, hipertrikosis, dan moonface (table efek samping KT).Pada pemakaian KT tidak terkontrol dan jarang dilaporkan adalah adiksi KT. Beberapa contoh adiksi KT, yaitu lesi eritematosa di wajah setelah peeling, kulit skrotum tipis dan merah, vulvodynia, atrofi perianal, dan dermatitis atopic rekalsitrans. Pemakaian KT jangka panjang di wajah dapat menyebabkan topical corticosteroid-induces rosacea-like dermatitis (TCIRD) atau topical steroid-dependent face (TSDF).2 2. Efek samping sistemik KT berpotensi kuat dan sangat kuat dapat diabsorbsi dan menimbulkan efek sistemik, di antaranya sindrom Cushing, supresi kelenjar

hypothalamic-pituitary-adrenal,

gangguan

metabolik,

misalnya hiperglikemi, gangguan ginjal/elektrolit, contohnya hipertensi, edema hipokalsemi. Pada umumnya efek samping tersebut bersifat reversible, membaik setelah obat dihentikan, kecuali atropik striae yang lebih sulit diatasi karena telah terjadi kerusakan sawar kulit.2 3. Reaksi hipersensitivitas Dermatitis kontak akibat KT umumnya jarang terjadi. Prevalensi diperkirakan 0,2-6%, umumnya lebih sering disebabkan oleh KT non-fluorinated.

Perlu

diperhatikan

respons

KT

kurang

memuaskan bila terdapat infeksi yang tidak terdiagnosis. Dermatitis kronik sulit diatasi, karena adanya fenomena adiksi terhadap KT. Perlu dibedakan antara reaksi hipersensitif terhadap KT atau reaksi hipersensitif terhadap vehikulum atau bahan

13

pengawet pembuktian dapat dengan uji tempel. Vehikulum yang berpotensi menyebabkan alergi di antaranya adalah propilen glikol, sorbitan sesquoleate, lanolin, paraben, formldehid, dan pewangi.2

f. Gejala efek samping :

Tabel Efek Samping Kortikosteroid2

g. Pencegahan efek samping Efek samping jarang sekali terjadi, agar aman dosis yang dianjurkan ialah, tidak melebihi 30 gram sehari tanpa oklusi. Pada bayi kulit masih tipis, hendaknya di pakai KT yang lemah. Pada kelainan sub akut digunakan KT sedang. Jika kelainan kronis dan tebal dipakai KT kuat. Bila telah membaik pengolasan dikurangi, yang semula dua kali sehari menjadi sehari sekali untuk mencegah efek samping. Jika hendak menggunakan cara oklusi jangan melebihi 12 jam sehari dan pemakainan terbatas pada lesi yang resisten. Pada daerah lipatan (inguinal, ketiak) dan wajah digunakan KT lemah/sedang. KT jangan digunakan untuk infeksi bakterial, infeksi mikotik, infeksi virus dan skabies. Disekitar mata hendaknya berhati–hati untuk menghindari timbulnya glaukoma dan katarak. Terapi intralesi dibatasi 1 mg pada satu tempat, sedangkan dosis maksimum perkali 10 mg.

14

Tabel Klasifikasi Pontensi Kortikosteroid Topikal2

15

Table Klasifikasi Kortiko Steroid4 Nama

Konsentrasi dan Bentuk

Dosis

Sediaan Potensi Sangat Tinggi Clobetasol Propionate

0,05% krim, salep, aplikasi kulit

1 – 2 x/hari

kepala 0,1% krim, solution

2 – 3 x/hari

Amcinonide

0,1% krim

2 -3 x/hari

Beclometasone dipropionate

0,025% krim

2 x/hari

Betamethasone dipropionate

0,05% krim, salep, cair 0,064%

1 – 3 x/hari

Halcinonide Potensi Tinggi

krim, salep, solution Betamethasone valerate

0,025% krim

2 – 3 x/hari

Betamethasone valerate

0,1% krim, gel, lotion, salep,

1 – 3 x/hari

solution Desoximetasone

0,05% gel, 0,025% krim, salep

1 – 3 x/hari

Difluocortolone valerate

0,3% salep berlemak

2x/ hari

Difluocortolone valerate

0,1% krim, salep berlemak, salep

1 – 3 x/hari

Fluclorolone acetonide

0,025% krim

2 x/hari

Fluocinolone acetonide

0,025% krim, gel, salep 0,03%

1 – 3 x/hari

salep Fluocinolone acetonide

0,2% krim

2 – 3 x/hari

Fluocinolone acetonide

0,005% krim 0,01% krim, salep

1 – 3 x/hari

0,0125% krim Fluocinonide

0,05% krim, salep

2 – 3 x/hari

Fluocortolone/ fluocortolone

0,25%/0,25% krim

1 – 3 x/hari

0,25%/0.25% salep

1 – 3 x/hari

Fluticasone propionate

0,05% krim, 0,005% salep

1 – 2 x/hari

Hydrocortisone aceponate

0,127% krim

1 – 2 x/hari

Methylprednisolone aceponate

0,1% krim, salep berlemak, salep

1 – 2 x/hari

caproate Fluocortolone pivalate/ fluocortolone caproate

16

Mometasone furoate

0,1% krim, salep, lotion

1 x/hari

Prednicarbate

0,25% krim

1 – 2 x/hari

Alclometasone dipropionate

0, 05% krim, salep

2 – 3 x/hari

Clobetasone butyrate

0,05% krim, salep

Sampai 4

Potensi Sedang

x/hari Desonide

0,05% krim, salep, lotion

2 x/hari

Fluprednidene acetate

0,1% krim, solution

2 x/hari

Triamcinolone acetonide

0,1% krim, salep, lotion 0,2%

2 – 3x/hari

krim, 0,02% krim Potensi Rendah Hydrocortisone

0,5% krim, 1% lotion, gel, krim

2 – 3 x/hari

2,5% krim Hydrocortisone acetate

1% krim, salep 2,5% krim

2 – 3 x/hari

Table Klasifikasi Kortikosteroid4 Nama merek dagang

Nama Generik

CLASS 1—Potensi sangat kuat Clobex Lotion/Spray/Shampoo, 0.05%

Clobetasol propionate

Cormax Cream/Solution, 0.05%

Clobetasol propionate

Diprolene Ointment, 0.05%

Betamethasone dipropionate

Olux E Foam, 0.05%

Clobetasol propionate

Olux Foam, 0.05%

Clobetasol propionate

Temovate Cream/Ointment/Solution, 0.05%

Clobetasol propionate

Ultravate Cream/Ointment, 0.05%

Halobetasol propionate

Vanos Cream, 0.1%

Fluocinonide

Psorcon Ointment, 0.05%

Diflorasone diacetate

Psorcon E Ointment, 0.05%

Diflorasone diacetate

CLASS 2—Potensi Kuat Diprolene Cream AF, 0.05%

Betamethasone dipropionate

Elocon Ointment, 0.1%

Mometasone furoate

17

Florone Ointment, 0.05%

Diflorasone diacetate

Halog Ointment/Cream, 0.1%

Halcinonide

Lidex Cream/Gel/Ointment, 0.05%

Fluocinonide

Psorcon Cream, 0.05%

Diflorasone diacetate

Topicort Cream/Ointment, 0.25%

Desoximetasone

Topicort Gel, 0.05%

Desoximetasone

CLASS 3—Potensi Sedang Kuat Cutivate Ointment, 0.005%

Fluticasone propionate

Lidex-E Cream, 0.05%

Fluocinonide

Luxiq Foam, 0.12%

Betamethasone valerate

Topicort LP Cream, 0.05%

Desoximetasone

CLASS 4—Potensi Sedang Kuat Cordran Ointment, 0.05%

Flurandrenolide

Elocon Cream, 0.1%

Mometasone furoate

Kenalog Cream/Spray, 0.1%

Triamcinolone acetonide

Synalar Ointment, 0.03%

Fluocinolone acetonide

Westcort Ointment, 0.2%

Hydrocortisone valerate

CLASS 5—Potensi Sedang Lemah Capex Shampoo, 0.01%

Fluocinolone acetonide

Cordran Cream/Lotion/Tape, 0.05%

Flurandrenolide

Cutivate Cream/Lotion, 0.05%

Fluticasone propionate

DermAtop Cream, 0.1%

Prednicarbate

DesOwen Lotion, 0.05%

Desonide

Locoid Cream/Lotion/Ointment/Solution, 0.1%

Hydrocortisone

Pandel Cream, 0.1%

Hydrocortisone

Synalar Cream, 0.03%/0.01%

Fluocinolone acetonide

Westcort Cream, 0.2%

Hydrocortisone valerate

CLASS 6—Potensi Sedang Aclovate Cream/Ointment, 0.05%

Alclometasone dipropionate

Derma-Smoothe/FS Oil, 0.01%

Fluocinolone acetonide

Desonate Gel, 0.05%

Desonide

18

Synalar Cream/Solution, 0.01%

Fluocinolone acetonide

Verdeso Foam, 0.05%

Desonide

CLASS 7—Potensi Lemah Cetacort Lotion, 0.5%/1%

Hydrocortisone

Cortaid Cream/Spray/Ointment

Hydrocortisone

Hytone Cream/Lotion, 1%/2.5%

Hydrocortisone

Micort-HC Cream, 2%/2.5%

Hydrocortisone

Nutracort Lotion, 1%/2.5%

Hydrocortisone

Synacort Cream, 1%/2.5%

Hydrocortisone

12. Mentol Bersifat antipruritik seperti campora. Pemakainnya seperti pada campora, konsentrasinya ¼ - 2%.1

13. Pedofilin Dammar podofilin digunakan dengan konsentrasi 25% sebagai tingtur untuk kondiloma akuminata. Setelah 4-6 jam hendaknya di cuci.1

14. Selenium disulfide Digunakan sebagai sampo 1% untuk dermatitis seboroik pada kepala dan tinea versikolor. Kemungkinan terjadinya efek toksik rendah.1

15. Sulfur Merupakan unsur yang telah digunakan selama berabad–abad dalam dermatologi. Bersifat antiseboroik, anti-akne, anti scabies, antibakteri positif, gram dan anti jamur.1

16. Ter Preparat golongan ini di dapat sebagai hasil destilasi kering dari batubara kayu dan fosil. Preparat ter yang kami gunakan ialah likuor karbonis detergen karena tidak berwarna hitam seperti yang lain dan tidak begitu berbau. Konsentrasinya 2-5%. Efeknya antipruritus, anti radang, anti

19

ekzem, anti kantosis keratoplastik, dapat digunakan untuk psoriasis dan dermatitis kronik dan salap. Cara pengolesan digilir, tubuh dibagi 3, hari 1 : kepala dan ekstremitas atas, hari II : batang tubuh dan hari III ekstremitas bawah. Efek sampingnya pada pemakaian ter perlu diperhatikan adanya reaksi fototoksik, pada ter yang berasal dari batubara dapat juga terjadi folikulitis dan ter akne. Efek karsinogen ter batubara dapat terjadi pada pemakaian yang lama. Pada pemakaian dalam waktu yang singkat efek samping tidak pernah terjadi.1

17. Urea Dengan konsentrasi 10% dalam krim mempunyai efek sebagai emolien, dapat dipakai untuk iktiosis atau xerosis kutis. Pada konsentrasi 40% melarutkan protein.1

18. Zat antiseptik Zat ini bersifat antiseptik / dan bakteriostatik. Golongan : a. Golongan alkohol Etanol 70% mempunyai potensi antiseptik yang optimal. Efek sampingya menyebabkan kulit menjadi kering.1 b. Golongan fenol 

Fenol : pada konsentrasi tinggi, misalnya fenol likuifaktum yang berkonsentrasi jenuh mempunyai efek kaustik, sedangkan pada konsentrasi rendah bersifat bakteriostatik dan anti pruritik ( ½-1% )



Timol : bersifat desinfektan pada konsentrasi 0.5% dalam bentuk tingtur.



Resorsinol : efek ialah antibakterial, antimikotik, keratolitik, antiseboroik, konsentrasi 2-3%



Heksaklorofen

:

senyawa

ini

mengandung

klor.

Bersifat

bakteriostatik.1 c. Golongan halogen Yodium.Bersifat bakteriostatik.1

20

d. Zat pengoksidasi Zat pengoksidasi dipakai sebagai desinfektan pada dermatoterapi topikal. 

Permanganas kalikus Zat ini mempunyai efek antiseptik lemah dalam larutan encer dalam air.1



Benzol-peroksida Zat ini merupakan zat pengoksidasi kuat pada konsentrasi 2.5% 10%.Bersifat antiseptic, merangsang jaringan dranulasi dan bersifat keratoplastik.1

e. Senyawa logam berat 1. Merkuri 2. Perak 

Larutan perak nitrat



Sulfadiazine perak1

f. Zat warna Zat warna masih sering dipakai dalam pengobatan topikal. Efeknya ialah astringen dan antiseptik.Misalnya : c. Zat warna akridin, umpamanya ekridin laktat (rivanol) di pakai untuk kompres dengan konsentrasi 1 %.1

19. Obat imunomodulator topikal Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam riset obat yang bersifat imunomodulator yaitu yang tercakup dalam terapi imun. Salah satu obat imunomodulator adalah takrolimus (TKL) suatu calcinerin inhibitors (CnLs) yaitu suatu makrolactam yang pertama-tama diisolasi dari streptomyces. TKL dapat diberikan secara oral, topikal, dan intravena. TKL di metabolisasi di hati dan mempunyai bioavailabilitas lebih tinggi. Formulasi topikal mempunyai konsentrasi 0,03% dan 0,1% dalam bentuk salap. TKL terutama diindikasikan untuk dermatitis atopik dan mencegah sel T, dengan demikian mencegah sintesis IL2-IL3-IL4, IL5 dan sitokin yang lain misalnya CSF, TNFa dan TFNy.

21

TKL tidak menyebabkan atrofikulit dan tidak berpengaruh pada sintesis kolagen kulit. Pimekrolimus juga dikenal sebagai ASM981 adalah derivat gugusan asli ascomycin yang semula diisolasi dari hasil fermentasi S.Higroscopicus ascomyticus. Pimekrolimus mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan CnLs yang lain. Pimekrolimus diformulasi dalam bentuk krim 0,1%, 0,6%, dan 1,0%.1

20. Kortikosteroid Sistemik Pendahuluan Kortikosteroid sistemik (Ks) banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat tersebut mempunyai efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Sejak KS digunakan dalam bidang dermatologi, obat tersebut sangat menolong pasien. Berbagai penyakit dapat dipersingkat masa penyembuhannya, bahkan penyakit berat yang dahulu banyak menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan KS. Pada bab ini dibicarakan mengenai cara kerja KS, indikasi, cara penggunaan serta efek samping KS.5 Cara Kerja Kortikosteroid Sistemik Sebagian besar efek KS terjadi melalui ikatan dengan reseptor glukokortikoid yang terdapat didalam sitoplasma, yang kemudian akan memengaruhi ekspresi gen pada inti sel. Efek KS terhadap ekspresi gen ini akan mengurangi pembentukan prostaglandin dan leukotrien, mengurangi sintesis berbagai molekul peradangan, termasuk sitokin, interleukin, molekul adesi dan protease. KS juga dapat bekerja langsung tanpa memengaruhi ekspresi gen, yaitu melalui reseptor pada membran sel dan atau interaksi fisikokimia dengan membran sel. 5

22

Indikasi5 Penyakit-penyakit berikut ini merupakan indikasi penggunaan KS : 1. Penyakit vesikobulosa autoimun (pemfigus, pemfigoid bulosa) 2. Reaksi anafilaksis (akibat sengatan, alergi obat) 3. Penyakit jaringan ikat dan gangguan vascular autoimun (lupus eritematosus sistemik, dermatomiositis, vaskulitis) 4. Reaksi kusta tipe 1 5. Urtikaria yang luas atau rekalsitran dan angioedema 6. Lain-lain: pioderma gangrenosum, sarkoidosis, penyakit Behçet Sebagai tambahan, KS jangka pendek dapat diberikan pada berbagai dermatitis yang berat, termasuk dermatitis kontak, dermatitis atopik dan eritroderma. KS juga sering diberikan pada kasus eritema multiforme dan SSJNET walaupun belum terbukti keunggulannya melalui uji klinis. Jenis KS

Dosis Potensi GK Equivalen

Potensi MK

WPP (Menit)

WPB (Jam)

Kortison

25

0,8

2+

30-90

8-12

Kortisol

20

1

2+

60-120

8-12

Prednison

5

4

1+

60

24-36

Metilprednisolon

4

5

0

180

24-36

Triamsinolon

4

5

0

78-188

24-36

0,75

20-30

0

100-300

36-54

Masa Kerja singkat

Masa Kerja Sedang

Masa Kerja Panjang Deksametason

23

Cara Penggunaan KS dapat diberikan secara intralesi, oral, intramuskular atau intravena bergantung pada penyakit yang akan diobati. Terdapat 3 kelompok KS sesuai dengan masa kerjanya (lihat tabel 57.1), yang memiliki perbedaan potensi glukokortikoid (GK) dan dan waktu paruh biologis (WPB). 5 Prednison merupakan KS yang telah lama digunakan. Bila terdapat gangguan hepar, dianjurkan untuk menggunakan metilprednisolon karena prednison dimetabolisme hepar menjadi metilprednisolon. Pada pasien dengan hipertensi, gangguan jantung atau keadaan lain dengan masalah retensi garam. Pada tabel dibawah dicantumkam berbagai penyakit yang dapat diobati dengan KS serta dosis awalnya, dipilih KS yang memiliki efek mineralokor tikoid kecil atau tidak ada. Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan Ks, perbaikan, dosis diturunkan berangsur-angsur (apering off agar penyakit tidak mengalami eksaserbasi dan tidak tanadi sindrom putus obat. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah, lelah, anoreksia dan demam ringan. Tapering off juga diperlukan untuk pemulihan sumbu (HPA axis) yang mengalami supresi dengan pemberian KS selama lebih dari 3-4 minggu. Pada supresi HPA axis, terjadi supresi korteks kelenjar adrenal sehingga tubuh pasien tidak dapat mengatasi berbagai stres. Supresi HPA axis juga dapat dikurangi dengan pemberian KS dosis tunggal pada pagi hari jam 08.00 sesuai dengan siklus diurnal produksi alamiah kortikosteroid.5 Sebelum memulai pengobatan dengan KS jangka panjang, diperlukan evaluasi tentang: predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dalam keluarga, pengukuran berat badan, tekanan darah dan bila memungkinkan juga pengukuran densitas tulang belakang. Selama pengobatan Ks jangka panjang, perlu dilakukan pemeriksaan berkala terhadap berbagai samping Ks yang mungkin terjadi.5

24

Nama penyakit

Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari

Dermatitis

Metilprednisolon 16-24 mg dosis terbagi

Erupsi alergi obat ringan

Metilprednisolon 24-32 mg dosis terbagi

SJS berat dan NET

Metilprednisolon 1-3x62,5 mg

Eritrodermia

Metilprednisolon 40-62,5 mg dosis terbagi

Reaksi lepra

Metilprednisolon 24-48mg

Pemfigoid bulosa

Motilprednisolon 32-62,5 mg dosis terbagi

Pemfigus vulgaris

Motilprednisolon 40-125 mg dosis terbagi

Efek Samping5 Pada umumnya efek samping pada penggunaan KS meningkat sesuai dengan peningkatan dosis. Namun osteoporosis dan katarakjuga terjadi pada penggunaan KS selang sehari dan nekrosis dapat timbul pada terapi singkat KS. Berbagai efek samping KS pada tabel di bawah ini. Tempat

Macam efek samping

1. Saluran cerna

Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.

2. Otot

Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.

3. Susunan pusat

4. Tulang

saraf Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh diri), nafsu makan bertambah.

Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang panjang. Hirsutisme,

hipotropi,

strie

atrofise,

dermatosis

25

5. Kulit

akneiformis, purpura, telangiektasis.

6. Mata

Glaukoma dan katarak subkapsular posterior

7. Darah

Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit

8. Pembuluh darah

Kenaikan tekanan darah

9. Kelenjar adrenal Atrofi, tidak bisa melawan stres bagian kortek 10. Metabolisme protein, KH dan Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi, obesitas, buffalo hump, perlemakan hati. lemak 11. Elektrolit

12.Sistem immunitas

Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia kor) Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes simplek, keganasan dapat timbul.

Contoh kortikosteroid intravena : -

Dexametason 1 ampul 5 mg

-

Metilprednisolon 125 mg

26

GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK KELOMPOK ANTIJAMUR AZOL Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol berperanan penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12

Kedua kelompok ini memiliki

spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 6

Mekanisme kerja obat golongan azol Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-αdemethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 6

1.

Ketokonazol Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan

imidazol pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini pertama untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.7

27

Gambar 4 . Struktur kimia ketokonazol7

Aktivitas spektrum Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.7 Farmakokinetik Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis 200,400, dan 800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 µg/ml. Waktu paruh tergantung dari peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien, dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat di plasma.6 Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik seperti rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol. Konsentrasi ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin, midazolam, triazolam, indinavir, dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum, maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong.7

28

Dosis Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea

kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida

vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.7 Efek samping Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.6 Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat

human adrenal

synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten.6

2. Itrakonazol Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol. Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies nondermatofita lainnya.7

Gambar 5 . Struktur Itrakonazol 5

29

Aktivitas spektrum Itrakonazol

mempunyai

aktifitas

spektrum

yang

luas

terhadap

Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus

neoformans,

Histoplasma

capsulatum,

Malassezia

furfur,

Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.7 Farmakokinetik Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%) tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan. Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. 7 Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju keratinosit dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat sampai 24 jam setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan

urin. Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang

merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu setelah terapi dihentikan.7 Dosis Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan

30

onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan gastrointestinal.6,7 Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol7 Dewasa Onikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1 minggu/bulan , 2 dosis pulse Kuku kaki : 200 mg/harix12 minggu Atau 200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan, 3 dosis pulse Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu

Tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis Pitiriasis versikolor

200 mg 2xseharix1 minggu

Anak-anak Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 2 dosis pulsea Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 3 dosis pulse

Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari x 2-4 minggu Infeksi Mikrosporum : 5 mg/kg/hari x 4-8 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4 minggu Tidak ada penelitian

200 mg/hari x 5-7 hari, untuk pencegahan rekuren dengan 200 mg 2xsehari dosis tunggal/bulan a Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200 mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi. Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun

1991

terhadap 189 pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah (10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase (5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.6

31

3. Flukonazol Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).7 Mekanisme kerja Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan bersifat fungistatik.7

Gambar 6. Struktur Flukonazol5

Aktifitas spektrum Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral).7 Farnakokinetik Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi dan tidak tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar 80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.7

32

Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan

sebanding

dengan

konsentrasi

dalam

plasma.

Gangguan

farmakokinetik flukonazol berupa penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.7 Dosis 7 Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan.5 Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada infeksi Mycoplasma canis. Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada anak-anak <6 bulan. Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama. Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui.

Efek samping Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.7 33

4.

Varikonazol Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol

dan tersedia dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan derivat flukonazol.6

Gambar 7. Struktur varikonazol

Mekanisme kerja Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α- demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi membran jamur.6 Aktifitas spektrum Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus

neoforams,

Fusarium

sp.,

Histoplasma

capsulatum,

dan

Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap Zygomycetes.8 Farmakokinetik Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas oral

vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan

protein. Asam lambung dapat menghambat absorpsi vorikonazol. Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam setelah pemberian oral.Vorikonazol dapat

34

mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi 1-3 μg/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.8 Dosis Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.

Efek samping Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.8 5.Posakonazol Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur kimia serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin furan dengan cincin dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase. Deplesi ergosterol menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur..6

Gambar 8. Struktur kimia posakonazol.

35

Aktivitas spektrum Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis. Dosis Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.6

KELOMPOK ANTIJAMUR ALILAMIN TERBINAFIN Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat diberikan secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan dermatofit, tetapi kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983, digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.7

Gambar 9. Struktur kimia terbinafin

36

Mekanisme kerja Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan pada membran sel jamur (efek fungisidal).7

Aktifitas spektrum Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds.7 Farmakokinetik Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak di serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal. Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5 Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis, epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di dalam dermis-epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata 24-28 hari 6,7,8 Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara oral akan menetap di dalam kulit dengam

37

konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-3 minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4 minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit tidak aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.6

Dosis Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita, pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. 7 Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300 µmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.7 Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen Onikomikosis

Tinea kapitis

Dewasa Kuku tangan : 250 mg/hr x 6 minggu Kuku kaki : 250 mg/hr x 12 minggu 250 mg/hr x 2-8 minggu

Anak-anak 3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua

Infeksi Trichophyton : 3-6 mg/kg/hr x 2-4 minggua Infeksi Microsporum : 3-6 mg/kg/hr x 6-8 minggua 3-6 mg/kg/hr x 1-2 minggu

Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu b Tinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu b Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu a Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih. b Tidak ada penelitian.

38

Efek samping Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.

Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit

hepar kronik atau aktif.10

KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN 1.

Amfoterisin B Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces

nodosus, diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di tahun 1960.8 Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan

infeksi

deep

mycoses,

pemberian

secara

parenteral

sering

menimbukkan efek toksik terutama pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom. (2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil, Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk potongan lemak kecil.7,8

Gambar 10. Struktur Amfoterisin B

Mekanisme kerja Amfoterisin

B

(AMB)

berikatan

dengan

ergosterol

sehingga

mengakibatkan fungsi barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.8

39

Aktifitas spektrum Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.8

Farmakokinetik Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavailibilitasnya < 5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara intravena.10 Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB akan menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10% dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6% dari dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di

cairan serebrospinal (CSF) < 5 % konsentrasi darah. Formula

konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan waktu paruh fase ketiga 2 minggu.8 Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama. Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35 mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B

± 100-200

jam.8

40

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks ± 170 jam. Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.8

Dosis Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8 Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu

41

pemberian dapat dipersingkat menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari. Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam

dan jika dibutuhkan dosis dapat

ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek samping toksik yang signifikan.

Efek samping Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis

lebih dari 0,5/kgBb/hari.

Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan normositik sedang.10,18 Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi

42

koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula konvensional sebanyak 30-50%.8 Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar

transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum

bilirubin. Pasien yang mendapat pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-50%, tetapi biasanya tidak menetap.8,10,18

2.Nistatin Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml.10

KELOMPOK ANTIJAMUR EKINOKANDIN 1.

Kaspofungin Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0 yang

merupakan fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis. Kaspofungin efektif melawan jamur yang resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas sangat baik dan lebih aman diberikan pada infeksi Candida.10 Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi esofagitis dan orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan bahwa kaspofungin memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional untuk penatalaksanaan kandidiasis mukosa dan sistemik namun kaspofungin dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh.3,6,10,15 kaspofungin juga telah disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal diterapi dengan terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari terjadi fungemia resisten.15 Mekanisme kerja Kaspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glukan yang merupakan komponen dinding sel jamur.10 43

Gambar 11. Struktur Kaspofungin8

Aktifitas spektrum Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus. Kaspofungin mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan Candida krusei

kurang efektif, dan

resisten terhadap Cryptococcus neoformans.15

Farmakokinetik Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan menetap di dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein. Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa ada perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).9,10,15

44

Dosis Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin diturunkan menjadi 35 mg.8

Efek samping Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah.7,18

2. Mikafungin Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada pasien HIV.12 Dosis Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi aspergilosis invasif.14 Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas mikafungin dengan flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien yang menjalani transplantasi stem sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur profilaksis lebih baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog. 8 3. Anindulafungin Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen disebabkan kandida.12

45

Dosis Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk menerima sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria efikasi primer yang dinilai adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik pada populasi saat pengamatan lanjut dan dua minggu setelah selesai terapi. Saat pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%, 85%, dan 83% pada kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan adalah 84%, 90%, dan 89%.14 Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan kandida yang resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin tidak dimetabolisme di hati dan tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450. Karena itu, penggunaan anindulafungin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien insufisien renal atau hepar, juga pada pasien yang menggunakan obat lain.14

KELOMPOK ANTIJAMUR LAIN 1.Flusitosin Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral.10

Gambar 12. Struktur Flusitosin8

Mekanisme kerja Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung ke dalam RNA jamur sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA.10

46

Aktifitas spektrumD Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa.10 Farmakokinetik Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal sekitar 70-80 µg/ml, tercapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis dieksresikan di urin tanpa mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 µg/ml. Waktu paruh 3-6 jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama 200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus.10 Dosis Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.10

Efek samping Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10

2.Griseofulvin Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita

47

pada hewan. Griseofulvin digunakan sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan dermatofitosis.5,8,9,10

Gambar 13. Struktur griseofulvin8

Mekanisme kerja Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase. 5 Aktifitas spektrum Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.10 Farmakokinetik Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.10 Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat meningkatkan absorpsi mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi, griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan

48

digantikan dengan lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam.5,10 Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan akan dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10

Dosis Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5 Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama 6-8 minggu.5 Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari (microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal atau terbagi.

10

Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris

selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10 Efek samping Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian pasien.5

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, serta infeksi pada stratum korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.

49

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antijamur topikal lebih sedikit dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal

memiliki

beberapa keuntungan yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain, pengobatan terlokalisir pada tempat yang sakit, dan biaya yang murah. 4 Jenis obat topikal yang sering digunakan yaitu : (1) azol-imidazol : ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol, oksikonazol, terkonazol, tiokonazol, sertakonazol (2) alilamin dan benzilamin : naftifin, terbinafin, butenafin (3) polien: nystatin Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam

golongan ini namun dapat

digunakan untuk terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik (gentian violet), siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. 4

GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL Merupakan kelompok anti jamur azol yang memiliki dua nitrogen pada cincin azol. Ditemukan setelah tahun 1960.

Mekanisme kerja Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat pembentukan 14 – α-sterol demethylase, suatu enzim

sitokrom

P450 (CYP). Hal ini mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan menyebabkan akumulasi 14 – α- metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid sehingga mengganggu fungsi enzim pada membran jamur seperti ATP ase dan enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme ini yang mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. 7 1.

Klotrimazol

Gambar 14. Struktur Klotrimazol

50

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Ekonazol

Gambar 15. Struktur Ekonazol8

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurutturut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan cepat di stratum korneum. Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3% pasien mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal.8

3. Mikonazol

Gambar 16. Struktur mikonazol

51

Mikonazol

digunakan

untuk

pengobatan

dermatofitosis,

pitiriasis

versikolor, serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi kurang dari 1,3% di vagina.8 Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200 selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi 7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada kehamilan trimester pertama.8

4. Ketokonazol Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan. Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu.8

52

5. Sulkonazol Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.8

6. Terkonazol Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus dan genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan vaginal supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.6

7. Tiokonazol Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis dan kandidiasis kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali sehari selama 2 minggu dan untuk pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4 minggu.6

8.

Sertakonazol Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan

candida sp, digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.6

53

GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas

squalene

epoksidase.

Dengan

berkurangnya

ergosterol

akan

menyebabkan penumpukan squalene pada sel jamur sehingga mengakibatkan kematian sel jamur.

Alilamin dan benzilamin bersifat fungistatik terhadap

Candida albicans. 1.

Naftifin Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida

sp., Untuk pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu.7

2.

Terbinafin

Gambar 17. Struktur Terbinafin

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu.8

3.

Butenafin Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama

dengan golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan

54

dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu.7

GOLONGAN POLIEN Nistatin Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria (100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.

GOLONGAN ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN 1.

Asam Undesilenat Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila

terpapar lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim, bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap

asam

undesilenat mengandung 5% asam undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi. Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan pada ruam popok, dan tinea kruris.6,8

2.

Salep Whitefield Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang

mengandung 12% asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara sistemik dapat

55

terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya pada pasien yang mengalami gagal ginjal. Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris. 6,8

3.

Amorolfin Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara

menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6 bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan. Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 60-76% dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.6.

4.

Siklopiroks olamin

Gambar 18. Struktur Siklopiroks olamin8

Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisidal, sporisida dan memiliki penetrasi

yang baik pada kulit dan kuku.

Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.21 Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%. Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke

56

dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±0,25 mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang berefek fungisidal.

10,21

Konsentrasi obat yang

berefek fungisidal ditemukan di setiap lapisan kuku.8 Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan. 6

5.

Haloprogin

Gambar 19. Struktur haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4 minggu.8

6.

Timol Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk

tingtur untuk mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat alkohol menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol ke dalam larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan tekanan

57

permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak menyenangkan.

7.

Castellani’s paint Castellani’s paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan

antibacterial. Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata.Efek sampingnya adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol.

8. Alumunium Chloride Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellani’s paint pada terapi tinea pedis.8

9. Gentian Violet Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang dipasarkan mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal violet. Solusio gentian violet

dengan konsentrasi 0,5-2%

digunakan pada infeksi jamur mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial.8

10. Potassium Permanganat Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran 1:5000 sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.6

11. Selenium Sulphide Losio 2,5% selenium sulphide

untuk terapi pitiriasis versikolor dan

dermatitis seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak terjadi absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo dapat menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral griseofulvin.6

58

12. Zinc Pyrithione Zinc pyrithione

adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan

mengatasi pitiriasis sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap hari selama 2 minggu.6

13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor.6

14. Prophylen Glycol Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis versikolor. Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, yang secara in vitro bersifat fungistatik terhadap Malassezia furfur kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio

propylene glycol-urea- asam laktat juga telah

digunakan untuk onikomikosis.6

59

ANTI HISTAMIN DALAM BIDANG DERMATOLOGI

Histamin merupakan mediator utama yang berperan terhadap terjadinya reaksi alergi, reaksi inflamasi, sekresi asam lambung, neurotransmitter dan modulator. Aktivitas histamin diperantarai oleh 4 tipe reseptor yaitu reseptor histamine 1 (H1) , reseptor hismatin 2 (H2) , reseptor histamine 3 (H3) dan reseptor histamin 4 (H4). Reseptor histamin merupakan sistem kompleks dengan fungsi dan ekspresi berbeda pada tiap reseptornya. Histamin mempunyai pengaruh fisiologik maupun patologik, sehingga diperlukan obat yang bekerja antagonis terhadap efek histamine tersebut yaitu AH. 9

ANTIHISTAMIN Antihistamin banyak digunakan pada berbagai penyakit kulit eksematosa demikian juga pada penyakit alergi karena keluha pruritusnya. Antihistamin bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah kerja histamine pada organ sasaran. Antihistamin digolongkan menjadi 3 kategori yaitu histamine penghambat reseptor H1(AH1) , anti histamine penghambat reseptor H2(AH2) dan antihistamin penghambat reseptor H3(AH3) . antihistamin H1 merupakan golongan AH yang terbanyak digunakan , menyusul AH2, sedangkan AH3 tidak digunakan khususnya dalam bidang dermatologi. 9

Antihistamin H1 Mekanisme Kerja Antihistamin H1 Generasi Pertama, Sedating. Antihistamin H1 merupakan inverse agonist yang secara reversibel mengikat dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor H, sehingga tetap pada bentuk inaktif. Aktivasi reseptor H1 yang terdapat di endotel, sel otot polos dan ujungujung saraf, biasanya menyebabkan peningkatan hidrolisis fosfoinositol dan peningkatan kadar kalsium intrasel. AH1 menurunkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi sel dan kemotaksis eosinofil. Antihistamin H1 juga mengurangi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil melalui inhibisi

60

kanal ion kalsium. Selain bekerja sebagai AntiHistamin, AH1 generasi pertama dapat bekerja pada reseptor muskarinik, α-adrenergik dan reseptor serotonin serta kanal ion kardiak. Beberapa efek samping serius berhubungan dengan AH1 generasi pertama, misalnya retensi urin, hipotensi, aritmia jantung. Berdasarkan struktur kimianya, AH1 generasi pertama dibagi dalam enam kelompok, yaitu: etilenediamin, etanolamin, alkilamin, fenotiazin, piperazin, dan piperidin. Terdapatnya cincin aromatik atau heterosiklik multipel dan alkyl substituents meningkatkan lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak.10

Antihistamin H1 Generasi Kedua, Low Sedating. Beberapa AH1 generasi kedua atau low sedating merupakan devirat generasi AH1 generasi pertama, misalnya cetirizin merupakan metabolit hydroxyzin. Antihistamin H1 generasi kedua berikatan non competitively dengan reseptor H1. Ikatan AH1 generasi kedua dengan reseptor H1 tidak mudah digantikan oleh histamin, terurai secara lambat, dan memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan AH1 generasi pertama. Oleh karena selektivitas obat generasi kedua dan kurangnya lipofilik, AH1 generasi kedua memiliki efek sedasi yang jauh lebih rendah dan keamanan yang berbeda dibandingkan dengan obat generasi pertama.10 Beberapa AH1 low sedating bekerja melalui modulasi pelepasan mediator inflamasi dan ekspresi molekul adhesi. Pemberian cetirizin menurunkan influks eosinofil setelah pajanan terhadap alergen. Antihistamin H1 dapat memodulasi molekul adhesi selular, misalnya antigen-induced intercellular adhesion molecule pada keratinosit, sel langerhans, dan endotelium serta mempengaruhi pelepasan mediator inflamasi dari leukosit.10 Farmakokinetik Antihistamin H1 Generasi Pertama, Sedating. Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1 (AH1) diabsorpsi secara baik. Pemberian AH1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal

61

setelah 1-2 jam, mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Pemberian oral antihistamin H1 biasanya diberikan dengan pembagian dosis pada interval 4-8 jam. Pemberian topikal untuk kulit bisa digunakan tetapi efektivitasnya berkurang dan sering dikaitkan dengan terjadinya reaksi kontak tipe lama (delayed contact reaction). Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 7899%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar AH1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Waktu paruh AH1 sangat bervariasi. Misalnya pada orang dewasa, pemberian per-oral dosis tunggal bromfeniramin, chlorfeniramin, dan hydroxyzin memiliki waktu paruh serum lebih dari 20 jam. Sebelum dieksresi melalui urin setelah 24 jam, AH1 dimetabolisir oleh hepatic cytochrome P450 (CYP) enzym 3A4 membentuk glukoronida.10

Antihistamin H1 Generasi Kedua, Low Sedating. Secara umum obat ini mencapai konsentrasi lebih tinggi dikulit dibandingkan obat generasi petama, dan pemberian dosis tunggal dapat menekan reaksi urtika dan eritema selama 1 sampai 24 jam. Penggunaan reguler memperpanjang efek ini, misalnya penggunaan cetirizin setiap hari selama 6 hari menyebabkan supresi respon urtika dan eritema selama 7 hari. Terfenadin, astemizol, loratadin, acrivastin, mizolastin, ebastin, dan oxatomid dimetabolisir dihati melalui hepatic enzyme CYP 34A. Cetirizin, fexofenadin, levocetirizin, dan desloratadin mengalami metabolisme hepatik minimal sehingga mengurangi kemungkinan interaksi dengan obat lain.10 Pada orang dewasa sehat, cetirizin mencapai konsentrasi puncak kisaran 1 jam setelah pemberian, dengan eliminasi waktu paruh kisaran 8 jam. Dosis lebih rendah digunakan pada pasien gangguan fungsi ginjal atau hati. Fexofenadin umumnya mencapai konsentrasi puncak 2 sampai 3 jam setelah pemberian, dengan eliminasi waktu paruh 14 jam. Penyesuaian dosis direkomendasikan pada pasien dengan penurunan klirens kreatinin termasuk orang tua, namun pasien dengan penyakit hati tidak memerlukan penyesuaian dosis karena fexofenadin 62

hampir tidak mengalami metabolisme hepatik. Waktu paruh loratadin kisaran 8 sampai 24 jam bergantung fungsi hepar. Farmakogenetik dapat juga mempengaruhi metabolisme dan klirens obat. Pada penelitian farmakokinetik serial, kisaran 20% orang Afrika Amerika mengalami metabolisme desloratadin yang lambat.10

Indikasi dalam Dermatologi Antihistamin H1 merupakan terapi lini pertama pada pengobatan urtikaria idiopatik kronik dan urtikaria fisik serta bermanfaat untuk terapi penyakit lain dengan gambaran utama pruritus yang diinduksi histamin, terapi pruritus dengan berbagai etiologi (Tabel 1). Antihistamin H1 secara khusus efektif untuk terapi urtikaria fisik, dermatografisme dan urtikaria idiopatik kronik. Antihistamin H1 tidak efektif untuk terapi sindrom angioedema akuisita dan herediter serta urtikaria vaskulitis. Pada beberapa penelitian acak, dengan kontrol plasebo atau paralel, AH1 generasi kedua terfenadin, astemizol, cetirizin, loratadin, fexofenadin, desloratadin, acrivastin, mizolastin, azelastin, ebastin, dan oxatomid lebih unggul dibandingkan plasebo untuk terapi urtikaria dan angioedema.10 Kedua AH1 generasi pertama dan kedua digunakan untuk terapi pruritus pada pasien dermatitis atopik, namun efikasinya belum dibuktikan melalui uji klinik yang tepat. Penelitian tentang pegobatan awal selama 18 bulan terhadap anak dengan atopik, melaporkan cetirizin bermanfaat sebagai steroid-sparing pada anak dengan dermatitis atopik berat, namun tidak selalu bermanfaat pada anak dermatitis atopi derajat sedang.10 Antihistamin H1 juga bermanfaat untuk mengobati pruritus yang berhubungan dengan kondisi lain seperti dermatitis kontak alergi dan dermatitis eksematosa lain, liken planus, mastositosis sistemik, gigitan nyamuk, dan pruritus sekunder akibat penyakit medis yang mendasari atau pruritus idiopatik. Pada kondisi ini, AH1 generasi pertama lebih bermanfaat karena efek sedatifnya karena menyebabkan pasien dapat tidur lebih nyaman. Antihistamin H1 juga digunakan

63

sebagai pre-treatment sebelum tindakan tertentu pada pasien dengan riwayat reaksi transfusi dan media radiokontras.10

Tabel 1. Indikasi Dermatologik Terapi Antihistamin H1 10 Indikasi AH1 dalam dermatologi 

Urtikaria akut



Urtikaria idiopatik kronik



Urtikaria fisik dan dermatografisme



Dermatitis atopik



Mastositosis sistemik

Regimen Dosis Dosis penggunaan AH1 berbeda antara dewasa dan anak-anak. Regimen dosis AH1 (tabel 2).10

Tabel 2. Regimen Dosis Antihistamin AH1 10 Nama Obat

Formulasi

Dosis

Kondisi

yang

memerlukan penyesuaian dosis AH1 Generasi Pertama Klorpeniramin

2,4, 8, 12 mg Dewasa: 3-4x4 mg/hari

Gangguan

tablet

fungsi hati

Sirup 2mg/5ml

Usia 6-11 th: 2 mg tiap 4-6 jam

64

Siproheptadin

Tablet 4 mg

Dewasa: 3-4x4 mg/hari

Sirup 2 mg/5 ml

Usia 7-14 th: 2-3x4

Gangguan Fungsi hati

mg/hari Usia

2-6

th:

2-3x2

mg/hari Difenhidramin

Tablet 25, 50 mg Sirup 12,5 mg/5 ml Sirup 50 mg/5 ml Sirup 6,25, 12,5 mg/5 ml

Hidroksizin

Dewasa: 25-50 mg tiap Gangguan 4-6 jam

fungsi hati

Usia 6-12 th: 12,5-25 mg tiap 4-6 jam Usia <6 th: 6,25-12,5 mg tiap 4-6 jam.

Tablet 10, 25, 50, Usia >6 th: 25-50 mg Gangguan 100 mg Sirup 10 mg/5 ml

tiap

6-8 jam/sebelum fungsi hati

tidur malam tiap hari Usia

<6

th:

25-50

mg/hari Tripelennamin

Tablet 25, 50, 100 Dewasa: 25-50 mg tiap Gangguan mg

4-6 jam

fungsi hati

Tablet 8 mg

Dewasa: 3x8 mg/ hari

Gangguan

AH1 Generasi Kedua Acrivastin

fungsi ginjal Azelastin

Tablet 2 mg

Dewasa: 2x2-4 mg/hari Usia 6-12 th: 2x1-2

0,1% nasal spray

mg/hari

Gangguan fungsi ginjal dan hati

65

2x2 spray/nostril/hari Cetirizin

Tablet 5, 10 mg

Usia

>6

th:

5-10 Gangguan

mg/hari

Sirup 5 mg/ml

fungsi ginjal dan hati

2-6 th: 5 mg/hari 6 bl-2 th: 2,5 mg/hari Desloratadin

Tablet 2,5-5 mg

>12 th: 5 mg/hari

Sirup 5 mg/ml

6-12 th: 2,5 mg/hari

Gangguan fungsi ginjal dan hati

1-6 th: 1,25 mg/hari 6 bl-12 bl: 1 mg/hari Ebastin

Tablet 10 mg

>12 th: 10-20 mg/hari

Gangguan fungsi ginjal

6-12 th: 5 mg/hari 2-5 th: 2,5 mg/hari Fexofenadin

Tablet

30,

60, >12

120, 180 mg

th:

60

2x/hari,

mg

1- Gangguan

120-180 fungsi ginjal

mg/hari 6-12 th: 30 mg 12x/hari Levocetirizin

Tablet 5 mg

>6 th: 5 mg/hari

Gangguan fungsi ginjal dan hati

Loratadin

Mizolastin

Tablet 10 mg

>6 th: 10 mg/hari

Suspensi 5 mg/ml

2-9 th: 5 mg/hari

Tablet 10 mg

Dewasa: 10 mg/hari

Gangguan fungsi ginjal dan hati Gangguan

66

fungsi hati

Dosis efektif terendah dipilih berdasarkan dosis dengan efek samping minimal, misalnya sedasi. Setelah beberapa hari terapi, dosis dapat ditingkatkan dan dititrasi. Terkadang peningkatan gradual dosis menyebabkan toleransi terhadap sedasi sehingga dosis lebih tinggi dapat digunakan untuk terapi pada kondisi tertentu, misalnya urtikaria kronik refrakter. Pemberian obat secara oral bersama makanan dapat mengurangi keluhan gastrointestinal, namun pasien disarankan untuk menghindari penggunaan fexofenadin bersamaan dengan antasida karena dapat memperngaruhi absorpsi obat. Individu dengan penyakit penyerta, misalnya penyakit hati dan ginjal memerlukan dosis yang lebih rendah oleh karena gangguan metabolisme obat ini.10

Efek Samping Antihistamin H1 generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan . Efek samping dari AH1 dan AH2 (tabel 3 dan tabel 4). Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibandingkan generasi kedua. Sementara itu, Generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Efek sedasi lebih menonjol pada kelompok yang menggunakan etanolamin serta fenotiazin dan lebih sedikit pada kelompok yang menggunakan alkylamin. Efek sedatif dapat berkurang setelah beberapa hari penggunaan AH1 secara terus menerus. Penggunaan AH1 berhubungan dengan peningkatan insiden kecelakaan kerja dan kecelakaan saat berkendara. Efek SSP lain meliputi pusing, tinitus, gangguan koordinasi, tidak mampu berkonsentrasi, pandangan kabur, dan diplopia. Efek SSP yang distimulasi terutama oleh kelompok alkylamine meliputi gelisah, iritabilitas, insomnia dan tremor.10

67

Keluhan gastrointestinal yaitu anoreksia, nausea, vomitus, epigastric distress, diare dan kontipasi merupakan efek samping yang sering dikeluhkan, terutama pada kelompok etilenediamin. Keluhan dapat dikurangi dengan pemberian obat bersama makanan.10 Efek antikolinergik meliputi membran mukosa kering, retensi urin dan hipotensi postural, pusing, disfungsi ereksi dan konstipasi. Efek ini sering berhubungan dengan kelompok etanolamin, fenotiazin, dan piperazin sehingga tidak boleh digunakan pada pasien glukoma sudut sempit dan harus dipantau ketat pada pasien dengan hipertrofi prostat.10 Aritmia terutama pemanjangan interval QT dan torsades de pointes merupakan efek toksik terhadap jantung yang paling serius. Efek ini bergantung dosis dan dimediasi oleh blokade kanal ion potasium yang tidak berhubungan dengan reseptor H1. Hipotensi transien dapat terjadi setelah terapi intravena, terutama bila obat diberikan secara cepat.10 Kejadian reaksi kutan setelah pemberian oral AH1 jarang terjadi. Reaksi yang dilaporkan meliputi dermatitis eksematosa, dermatitis konta alergi, urtikaria, petekie, fixed drug eruptions, dan fotosensitivitas. Beberapa reaksi ini mungkin akibat sekunder dari excipients in the drug.10 Oleh karena selektivitas AH1 low sedating terhadap reseptor H1 perifer, maka kurang memiliki efek samping sedatif maupun efek kolinergik yang biasanya berhubungan dengan obat AH1 generasi pertama. Pada Kelompok AH1 generasi kedua, sedasi paling sering dilaporkan pada pasien yang menggunakan cetirizin dan acrivastin. Walaupun efek sedasi jauh lebih rendah, hidroksizin, certirizin menyebabkan sedasi pada kisaran 10 sampai 15 persen pengguna obat. Efek ini bergantung dosis dan biasanya dapat dikurangi dengan penyesuaian dosis. Penggunaan acrivastin dilaporkan 15 sampai 35 persen menyebabkan somnolen. Berbeda

dengan

penggunaan

fexofenidin,

loratadin,

dan

desloratadin

menyebabkan sedasi yang tidak begitu berarti.10

68

Tabel 3. Efek Samping Antihistamin H1 Generasi Pertama 10 Efek samping AH1 Generasi Pertama 

Alergi

: Fotosensitivitas, syok anafilaksis, ruam, dan

dermatitis 

Kardiovaskuler

: Hipotensi postural, palpitasi, refleks takikardia,

trombosis

vena pada sisi injeksi (IV prometazin)



Sistem Saraf Pusat : Mengantuk, sedasi, pusing, gangguan koordinasi, lelah,

bingung, reaksi extrapiramidal bisa saja terjadi pada dosis

tinggi 

Gastrointestinal

: Epigastric distress, anoreksia, rasa pahit (nasal spray)



Genitourinari

: Urinary frequency, dysuria, urinary retention



Respiratori

: Dada sesak, wheezing, mulut kering, epitaksis dan

nasal

burning (nasal spray)

Tabel 4. Efek Samping Antihistamin H1 Generasi Kedua 10 Efek samping AH1 Generasi Kedua 

Alergi

: Fotosensitivitas, syok anafilaksis, ruam, dan

dermatitis 

Sistem Saraf Pusat



Respiratori



Gastrointestinal

: Mengantuk, sakit kepala, lelah, sedasi ringan : Mulut kering : Mual, muntah, abdominal distress (cetrizin,

fexofenadin)

69

Antihistamin H2 Mekanisme Kerja Antihistamin H2 merupakan inverse agonist yang mengikat reseptor histamin 2 (H2) diseluruh tubuh meliputi sel epitel dan endotel. Terdapat bukti terbaru bahwa reseptor H2 diekspresikan pada sel mast dan dendritik dermal. Melalui ikatan dengan reseptor ini, AH2 dapat memediasi permeabilitas vaskuler kulit, pelepasan lokal mediator inflamasi dan cellular recruitment, serta presentasi antigen.10 Farmakokinetik Antihistamin H2 diabsobsi cepat di traktus gastrointestinal dengan kadar puncak terjadi pada kisaran 1 sampai 2 jam setelah pemberian. Obat ini mengalami metabolisme hepatik dengan klirens ginjal. Hanya sebagian kecil simetidin yang diabsobsi dilambung, sebagian besar diabsopsi diusus halus. Waktu paruh simetidin dalam plasma adalah 2 jam. Kisaran 69 persen diekskresikan diurin. Pada orang dewasa sehat, waktu paruh ranitidin dalam plasma adalah 2 sampai 3 jam, lebih lama pada individu dengan gangguan ginjal, hati dan orang lanjut usia. Obat dan metabolitnya terutama diekskresi di urin. Waktu paruh famotidin dalam plasma adalah 3 sampai 8 jam. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh dapt lebih dari 20 jam. Waktu paruh nizatidin dalam plasma adalah 1 sampai 2 jam dan lama kerja lebih dari 10 jam. Nizatidin terutama dieliminasi melalui ginjal dalam waktu 16 jam. Bioavailabilitas nizatidin peroral tidak dipengaruhi makanan. Obat ini raltif lipofilik dengan penetrasi terbatas pada sawar darah otak.10 Simetidin meningkatkan kadar warfirin dan dapat menyebabkan bahaya peningkatan protrombin time dan risiko pendarahan. Simetidin juga berinteraksi dengan beberapa obat jantung, yaitu beberapa beta blocker, penghambat kana ion kalsium, amiodarone, obat anti aritmia dan lain-lain. Penggunaan simetidin dikontraindikasikan pada pasien yang menggunakan dofitilide. Obat lain yang biasanya berinteraksi dengan simetidin adalah fenitoin, beberapa benzodiazepin, metformin, sulfonilurea, dan selective serotonin re-uptake inhibitor. Walaupun 70

interaksi ranitidin dengan obat lain lebih jarang dibandingkan simetidin, interaksi bermakna dilaporkan terhadap fentanil, metoprolol, midazolam, nifedipin, teofilin, dan warfirin. Ranitidin dapat menurunkan absorpsi diazepam dan mengurangi 25 persen konsentrasi dalam plasma. Femotidin dan nizatidin lebih sedikit berhubungan dengan interaksi obat.10

Indikasi dan Dermatologi Dalam dermatologi, AH2 umumnya digunakan bersama dengan AH1 dan biasanya diberikan setelah dengan terapi AH1 saja tidak berhasil. Terdapat beberapa data penelitian terkontrol yang mendukung penggunaan AH2 untuk terapi dermatologi (Tabel 5). Obat ini lebih sering digunakan sebagai tambahan AH1 pada kasus urtikaria kronik dan angioderma. Pada penelitian silang acak, ukuran, jumlah dan keparahan urtika lebih banyak berkurang pada penggunaan kombinasi hidroksizin dan simetidin dibandingkan dengan hidroksizin tunggal. Tetapi kombinasi AH1 dan AH2 juga mengurangi pruritus dan urtika yang berhubungan dengan mestositosis sistemik dan urtikaria pigmentosa. Penelitian silang acak terhadap klorfeniramin dan simetidin menunjukan bahwa kombinasi tersebut efektif mengurangi pruritus dan urtika.10

Tabel 5. Indikasi Dermaologi Terapi Antihistamin H2 10 Indikasi AH2 Dalam Dermatologi 

Reaksi alergi akut



Urtikaria kronik



Urtikaria pigmentosa dan mestositosis sistemik



Pruritus yang berhubungan dengan kondisi lain

71

Regimen Dosis Dosis penggunaan antihistamin H2 berbeda antara dewasa dan anak-anak. Regimen dosis untuk AH2 (tabel 6).1 0 Tabel 6. Regimen dosis untuk antihistamin H2 10 Nama Obat

Sediaan

Dosis

Kondisi

yang

memerlukan penyesuaian dosis Simetidin

Tablet 100, 200, Dewasa: 300, 400, 800 mg

2x400- Gangguan

800 mg/hari

fungsi

ginjal dan hati.

Sirup 300 mg/5 ml Sirup

200

mg/20ml Ranitidin

Tablet

75,

150, Dewasa: 2x75-150 Gangguan

300 mg

mg/hari

Sirup 15 mg/5ml

Anak:

Granul 150 mg

fungsi

ginjal 5-10

mg/kg/hari terbagi dalam 2 dosis

Famotidin

Tablet 10,20, 40 Dewasa: mg

mg/hari

Sirup 40 mg/5 ml

Usia1-16

2x20-50 Gangguan

fungsi

ginjal th:

1

mg/kb/hari Nizatidin

Kapsul 150, 300 Usia diatas 12 th: Gangguan mg

1-2 x 150 mg/hari

fungsi

ginjal

Sirup 15 mg/5 mg

72

Efek Samping Antihistamin H2 memiliki efek samping (tabel 7). Efek samping ini tampaknya berhubugan dengan pemakaian dosis.10

Tabel 7. Efek samping Antihistamin H2 10 Efek Samping AH2 

Gangguan sistem saraf pusat o Kebingungan o Sakit kepala o Pusing o Mengantuk



Efek gastrointestinal o Mual dan muntah o Diare atau konstipasi o Nyeri perut o Peningkatan transaminase dan hepatitis (jarang)



Ginekomastia



Peningkatan kerentanan terjadinya pneumonia



Hematologi (jarang) o Trombositopenia o Anemia



Efek jantung (dengan pemberian bersama dofetilide, oleh karena itu penggunaan dofetilide merupaka kontraindikasinya)

Antihistamin H2 dapat memfasilitasi infesi oral dan meningkatkan resiko pneumonia pada individu dengan gaya tahan tubuh rendah, termasuk pasien diabetes, lanjut usia, dan immunodefisiensi. Hal ini dikarenakannya supresinya terhadap sekresi asam lambung. Obat ini dapat menutupi gejalah kanker lambung.10

73

Ranitidin dan simetidin menghambat aktivitas dehidrogenase alkohol, sehingga menyebabkan piningkatan kadar alkohol, dalam darah. Efek samping simetidin yang jarang terjadi, meliputi ginekomastia dengan atau tanpa peningkatan kadar prolaktin pada pria, galaktore dengan peningkatan kadar prolaktin pada wanita dan hilangnya libido, impotensi serta penurunan jumlah sperma pada pria muda. Peningkatan moderat dilaporkan kadar kreatinin serum dan transaminase hepatik, peningkatan ini bersifat reversibel setelah penggunaan obat dihentikan. Dilaporkan pula efek samping dermatologis yang jarang, yaitu alopesia dan urtikaria vaskulitis.10 Ranitidin

tidak

berikatan

dengan

reseptor

androgen

dan

tidak

meningkatkan Cell Mediated Immune Responses (CMI). Ranitidin dapat mempengaruhi kontrol otonom fisiologis sistem kardiovaskuler melalui perubahan fungsi kontrol parasimpatis dan simpatis. Famotidin dan nizatidin berhubugan dengan sedikit efek samping, obat ini juga sedikit menghambat sistem CYP sehingga lebih sedikit terlibat dalam interaksi obat.10

74

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : FKUI ; 2016.p. 426-35. 2. Johan R. Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. CDK-227 Vol. 42 No.4.Dalam:[http://www.kalbemed.com/Portals/6/25Penggunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat.pdf] ; 2015. 3. Lipworth DA, Saavedra AP, Weinberg AN dan Johnson, RA. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine 8th Edition. United States: McGraw-Hill Companies; 2012.p.2714-20.. 4. Berth-Jones J. Topical therapy. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s textbook of dermatology. 8th ed. UK: Wiley-Blackwell; 2010.p.73. HARUSNYA : High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-2121 5. Djuanda A, Effendi EH. Editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : FKUI ; 2016.p. 408-12. 6. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008. 7. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217 8. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196 9. Wisesa TW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 7. Jakarta : FKUI ; 2016.p. 411. 10. Limb SL, Wood RA. Antihistamines. In: Wolff K, GoldsmithI.A, Kaatz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Volume II, 8th Ed. San Fransisco: McGraw-Hill Co. 2012. p 2767-2775.

75

Related Documents


More Documents from "Syahrial"