1
BAB I LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien Nama Lengkap
: Tn. W
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Umur
: 41 tahun
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: SLTP
Alamat
: Gedang kulut, RT 03, RW 01, Kec. Cerme, Gresik
Tgl Periksa
: 22 Januari 2019
Jam periksa
: 06.30
B. Anamnesa Keluhan Utama
: Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengatakan sesak sejak ± 1 minggu yang lalu, sesak bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat tidur telentang. Pasien juga mengeluh batuk ± 2 minggu yang lalu, dahak (+), warna putihkekuningan, konsistensi kental, darah (-) disertai nyeri dada kanan (+) kadang-kadang saat batuk, rasa kurang enak badan (+), nafsu makan menurun (+), berat badan turun (+), berkeringat pada malam hari meskipun tanpa kegiatan (+), demam (-), keluhan penyerta berulang dan sudah lebih dari sebulan. Riwayat Penyakit Dahulu
TB paru (-)
Asma (-)
DM (-)
Riwayat Pengobatan
:
:
Pasien belum berobat
2
Riwayat sosial:
Pasien perokok (+)
Kontak TB (-)
C. Pemeriksaan Fisik GCS
: 456
Keadaan umum
: Kesan lemah
BB
: 50kg
1. Vital Sign Tekanan Darah
: 115/80 mmHg
Nadi
: 88 x/menit
Pernafasan
: 24 x/menit
Suhu
: 36,5 ˚C
2. Status Generalis a. Kepala
: Konjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikterus (-/-) Dispneu (+) Sianosis (-)
b. Leher
: Pembesaran KGB (-) Pembesaran tiroid (-) Retraksi alat bantu nafas (+) Trakea deviasi (-)
c. Thorax 1) Cor Inpeksi
: Ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V midclavikula S
Perkusi
: -Batas jantung kanan atas ICS II PSL dekstra, bawah ICS IV PSL dekstra. -Batas jantung kiri atas ICS II PSL sinistra, bawah ICS V MCL sinistra.
3
Auskultasi : S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
2) Pulmo Inspeksi
: Pergerakan dada simetris, retraksi (+/+)
Palpasi
: Fremitus raba + + + + + +
Perkusi
: Hiper Sonor + +
Auskultasi : Bronkial +
Redup
+ +
- -
+ +
- -
+
+ + + +
Ronkhi
+ + + + -
-
Wheezing - - - -
d. Abdomen Inspeksi
: Soepel
Auskultasi
: BU (+) meningkat
Palpasi
: Nyeri tekan (-), Hepar (-), Lien (-)
Perkusi
: Timpani (+)
e. Pemeriksaan Ekstremitas Superior
: Akral hangat +/+ Oedem -/-
- -
4
CRT <2detik Inferior
: Akral hangat +/+ Oedem -/CRT <2detik
3. Pemeriksaan Penunjang a. Hasil laboratorium tanggal 21 Januari 2019 HB
17,5
11.4 g% - 15.1 g%
Leukosit
15.400
4500
–
11000/mm3 Trombosit
282.000
150000
–
450000/mm3 Hematokrit
51
37-47% LFT
SGOT
29.3
0-31
SGPT
31,2
0-32 RFT
BUN
10.9
4.8-23 mg/dl
Serum
1.18
0.7-1.2 mg/dL
Creatinin Elektrolit Natrium
132
135145mmo/L
5
Kalium
4,38
3,5-5,5
Cl
91.3
98-108 mmo/L
b. Hasil pemeriksaan dahak tanggal 21 Januari 2019
TCM (+)
c. Hasil pemeriksaan foto thoraks tanggal 21 Januari 2019
Dinding thorak o Jarak intercostal : bilateral melebar o Tulang vertebra : scoliosis o Soft tissue dinding thoraks : kesan normal
Trachea : tidak deviasi
6
Sinus costoprenicus : bilateral tajam
Diafragma : bilateral letak rendah (>6 costa anterior)
Cor : jantung tear drop
Corakan bronkovaskuler: bilateral meningkat (>1/3 lapangan paru)
Lesi parenkim paru o Fibroinfiltrat pada segmen apikalis lobus superior dan segmen superior lobus medius, paru desktra. o Fibroinfiltrat pada segmen apikalis dan segmen posterior lobus superior dan segmen superior lobus inferior, paru sinistra.
Kesimpulan: Kesan COPD+TB paru
4. Penatalaksanaan Problem List
Initial
TPL
PPL
Assesment
Tn. W (41th), BB 50kg Anamnesa: Sesak sejak ± 1 minggu
Planning
Planing diagnosis: •Sesak sejak ± 1
COPD
-
minggu yang lalu.
eksaserbasi akut
Planing terapi:
yang lalu.
osesak
-Combivent nebul
o sesak bertambah dengan
bertambah
3x1
aktivitas dan berkurang
dengan aktivitas
-Drip. Aminofilin
saat tidur telentang.
dan berkurang
3 ampul/24 jam
saat tidur
-Levofloxacin 1 x
telentang.
500mg
kekuningan, konsistensi
Foto thorak :
-OBC 3x1
kental.
•Jarak intercostal
Batuk ± 2 minggu yang lalu. o dahak (+), warna putih-
Nyeri dada kanan (+)
: bilateral melebar
Monitoring:
kadang-kadang saat batuk,
•Sinus
Keluhan dan TTV
rasa kurang enak badan (+),
costoprenicus :
nafsu makan menurun (+),
bilateral tajam
berat badan turun (+),
•Diafragma : bilateral letak
7
berkeringat pada malam hari
rendah (>6 costa
meskipun tanpa kegiatan (+)
anterior)
o keluhan penyerta
•Cor : jantung tear
berulang dan sudah lebih
drop
dari sebulan.
•Corakan
RPD:
bronkovaskuler :
•TB paru (-)
bilateral
•DM (-)
meningkat (>1/3
•Asma (-)
lapangan paru)
Pemeriksaan fisik: •Kesan lemah •TD 115/80mmHg •Nadi 88x/menit
•Batuk ± 2
•RR 24x/menit
minggu yang lalu.
TB paru
Planing diagnosis: -Ujian biakan
•Suhu 36,5˚C
odahak (+)
•Dispneu (+)
•Nyeri dada
Planing terapi:
•Retraksi (+)
kanan (+) kadang-
-RHZE 1 x 3
•Hipersonor (+/+)
kadang saat batuk,
tablet (setiap hari
•Bronkial (+/+)
rasa kurang enak
selama 56 hari)
•Ronkhi (+/+)
badan (+), nafsu
Hasil lab:
makan menurun
•HB 17g%
(+), berat badan
•Hematokrit 51%
turun (+),
•leukosit 15.400
berkeringat pada
•Natrium 132 (mnrun)
malam hari
•TCM (+)
meskipun tanpa
Pemeriksaan foto thorak:
kegiatan (+).
•Jarak intercostal : bilateral
•TCM (+)
melebar
Foto thorak: Lesi
•Sinus costoprenicus : bilateral
parenkim paru:
tajam
oFibroinfiltrat
•Diafragma : bilateral letak
pada segmen
rendah (>6 costa anterior)
apikalis lobus
•Cor : jantung tear drop
superior dan
•Corakan bronkovaskuler :
segmen superior
bilateral meningkat (>1/3
lobus medius,
lapangan paru)
paru desktra.
•Lesi parenkim paru
oFibroinfiltrat
sputum
8
o Fibroinfiltrat pada segmen
pada segmen
apikalis lobus superior dan
apikalis dan
segmen superior lobus
segmen posterior
medius, paru desktra.
lobus superior dan
o Fibroinfiltrat pada segmen
segmen superior
apikalis dan segmen
lobus inferior,
posterior lobus superior
paru sinistra.
dan segmen superior lobus
Natrium 132
inferior, paru sinistra.
Hiponatremia
Planing diagnosis: -SE ulang stl 1x24 jam Planing terapi: -Inf. NaCl 0.9% 14tpm
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif.9 Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.10
2.2. Klasifikasi 2.2.1. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam : 1) Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
10
2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkann tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced” atau milier), dan/atau keadaan umum penderita buruk. 2.2.2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu : 1) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelnjar adrenal 2) TB Ekstra Paru Berat Misalnya : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin Catatan :
Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB dari parenchyma paru. Sebab itu, TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologis paru, dianggap sebagai penderita TB ekstra paru.
Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, penderita tersebut hanya dicatat sebagai penderita TB paru.
Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
2.3. Kuman Tuberkulosis Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm.7
11
Gambar berikut ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam
lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).9
Gambar 2.1. Mycobacterium Tuberculosis Pada Pewarnaan Tahan Asam9
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.4
2.4. Cara Penularan Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.10
12
Gambar 2.2. Penularan Tuberkulosis
2.5. Resiko Penularan Resiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya di antara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis.10
2.6. Patogenesis Tuberkulosis 2.6.1. Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
13
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh
tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan.10 2.6.2. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis) Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.10
2.7. Diagnosis Tuberkulosis Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis. 2.7.1. Diagnosis Klinis Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah 1) Gejala Respiratorik : Batuk kronis, terus menerus selama 3 minggu atau lebih Batuk berdahak Batuk darah Sesak nafas Nyeri dada 2) Gejala Sistemik : Badan lemah Nafsu makan menurun Berat badan turun Rasa kurang enak badan (malaise)
14
Berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan Demam subfebris/meriang lebih dari sebulan.10 2.7.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.
Gambar 2.3. Letak Lobus Paru Kiri dan Kanan Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.4
15
2.7.3. Pemeriksaan Radiologis Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarangsarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.10 Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema.4 Pada gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif yakni fibrotik, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen dada di bawah ini :
16
Gambar 2.4. Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada4
Gambar 2.5. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru ( tampak gambaran infiltrat dan kalsifikasi pada daerah apex paru )
17
Gambar 2.6. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Dengan Gambaran Fibroinfiltrat di Lobus Kanan Paru
Gambar 2.7. Gambaran Radiologi Tuberkulosis Paru Aktif
18
2.7.4. Jenis Pemeriksaan Tuberkulosis 2.7.4.1. Pemeriksaan Bakteriologis Bahan pemeriksaan : dahak (sputum), cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, bilasan bronkoalveolar (bronkoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan jaringan biposi (termasuk Biopsi Jarum Halus/BJH) 1) Sputum Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif.10 Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen positif Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB. Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI,10 sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :
19
Tersangka Penderita TB (suspek TB) Periksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS) Hasil BTA +++ ++-
Hasil BTA +--
Periksa Rontgen Dada
Hasil Mendukung TB
Hasil BTA ---
Beri Antibiotik Spektrum Luas
Hasil Tidak Mendukung TB
Tidak Ada Perbaikan
Ada Perbaikan
Ulangi Periksa Dahak SPS Penderita Tuberkulosis BTA Positif
Hasil BTA ---
Hasil BTA +++ ++-
Periksa Rontgen Dada
Hasil Mendukun g TB
Hasil Rontge n Negatif
TB BTA Negatif Rontgen Positif
Bukan TBC, Penyakit Lain
Gambar 2.8. Alur Diagnosis TB Paru
20
Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien TB paru menjadi : Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.4 2) Biopsi Jarum Halus / BJH Bahan pemeriksaan hasil Biopsi Jarum Halus dapat dibuat sediaan apius kering di glass object, atau untuk kepentingan kultur dan uji kepekaan dapat ditambahkan NaCl 0,9 % 3-5 mL sebelum dikirim ke labooratorium mikrobiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain dapat dilakukan dengan cara : Pemeriksaan mikroskopis Mikroskopis biasa
: pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopis fluoresens
: pewarnaan auramin-rhodamin
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD), yakni : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+)
21
Pemeriksaan biakan kuman Egg base media : Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh Agar base media : Middle Brook Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)
Gambar 2.9. Basil Tahan Asam Mycobacterium Tuberculosis
2.7.4.2. Pemeriksaan Laboratorium Darah Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom
normositer, gama
globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun.10 2.7.4.3. Tes Tuberkulin Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya.10 Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi
22
persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 4
Gambar 2.10. Penyuntikan Tes Tuberkulin4 Berdasarkan indurasinya maka hasil tes Mantoux dibagi dalam: 4 Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi humoral masih menonjol Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang Indurasi > 15 mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol. Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi Mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux ± 5 mm, dinilai positif.4
23
2.8. Komplikasi Tuberkulosis Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul : Hemaptoe (batuk darah) Pleuritis Efusi pleura Empiema Pneumotoraks Laringitis Usus Poncet’s arthropathy Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, amiloidosis, karsinoma paru, gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB), dan gagal jantung/kor pulmonal.4
2.9. Tipe Penderita Tuberkulosis Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu: 1) Kasus baru Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian) 2) Kambuh (relaps) Kambuh
(relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif 3) Pindahan (transfer in) Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09) 4) Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian
24
datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif 5) Gagal Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan 6) Kasus kronis Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik 7) Tuberkulosis resistensi ganda Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya.10
2.10. Pengobatan Tuberkulosis Paru 2.10.1. Prinsip Pengobatan Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif). Aktivitas
bakterisid
biasanya
diukur
dari
kecepatan
obat
tersebut
membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah.5
25
2.10.2. Kemoterapi TB Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol (E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap obat tersebut dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai efektifitas terkecil Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten.5
Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 1824 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih
26
sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.5.10 2.10.3. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan
lapis
pertama
terdiri
dari
Isoniazid,
Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin Obat-obatan lapis dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol.5 Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Jenis dan Sifat OAT Jenis OAT
Isoniazid (H)
Sifat
Keterangan
Bakterisid
Obat ini sangat efektif terhadap kuman
terkuat
dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang
sedang
kerjanya
berkembang.
adalah
Mekanisme
menghambat
cell-wall
biosynthesis pathway
Rifampisin (R)
Bakterisid
Rifampisin dapat membunuh kuman semidormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh
oleh
Isoniazid.
Mekanisme
kerjanya adalah menghambat polimerase
27
DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis
Pirazinamid
Bakterisid
Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Obat
(Z)
ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.
Streptomisin
Bakterisid
Obat ini adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida
(S)
dan
bekerja
mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol (E)
Bakteriostatik
-
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
2.10.4. Regimen Pengobatan (Metode DOTS) Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini:5
28
Tabel 2.2. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Paduan Pengobatan TB Alternatif Kategori
Pasien TB
Fase Awal (setiap hari / 3 x
Fase Lanjutan
seminggu) I
Kasus baru TB paru dahak
2 RHZE (RHZS)
6 HE
positif;
2 RHZE (RHZS)
4 RH
kasus baru TB paru dahak
2 RHZE (RHZS)
4 R3H3
Kambuh, dahak positif;
2 RHZES / 1 RHZE
5 RHE
pengobatan gagal;
2 RHZES / 1 RHZE
5 RHE
pengobatan setelah terputus
2 RHZES / 1 RHZE
5 R3H3E3
Kasus baru TB paru dahak
2 RHZE
4RH / 4H
negatif (selain dari kategori
2 RHZE
4R3H3 / 4H
I); kasus baru TB ekstra-
2 RHZE
6HE
negatif
dengan
kelainan
luas di paru; kasus
baru
TB
ekstra-
pulmonal berat II
III
pulmonal yang tidak berat IV
Kasus kronis (dahak masih
TIDAK DIPERGUNAKAN
positif setelah menjalankan
(merujuk ke penuntun WHO guna pemakaian
pengobatan ulang)
obat lini kedua yang diawasi pada pusat-pusat spesialis)
Atau, Kronik : RHZES/OAT Lini 2 (minimal 18 bulan) MDR TB : OAT Lini 2 / H (seumur hidup) (Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)
29
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah :5 Kategori I : 2RHZE / 4RH atau 2RHZE(S) / 6HE Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2RHZE(S) setiap hari selama 2 bulan obat R, H, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4RH atau 4R3H3 atau 6HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak. Kategori II : 2RHZES / 1RHZE/ 5RHE atau 2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3 Pengobatan fase inisial terdiri dari 2RHZES / 1RHZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5R3H3E3 atau 5RHE. Kategori III : 2RHZE / 4RH / 4H atau 2RHZE / 4R3H3 / 4H atau 2RHZE / 6HE Fase intensif 2RHZE dan dilanjutkan dengan fase lanjutan 4RH atau 4R3H3. Bila lesi di paru lebih luas dari 10 cm2 atau penderita TB di luar paru dimana remisi belum sempurna maka dilanjutkan dengan H saja selama 4 bulan. Panduan alternatif untuk fase lanjutan adalah 6HE yang tentunya merupakan panduan yang amat lemah. Kategori IV : Rujuk ke ahli paru untuk mendapatkan obat sekunder, tindakan bedah atau menggunakan INH seumur hidup Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB). Untuk negara yang kurang mampu dapat diberikan INH
30
saja seumur hidup. Untuk negara yang mampu dapat dicoba obat berdasarkan hasil tes resistensi. Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (RHZE). Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif.10 2.10.5. Dosis Obat Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien :5
Tabel 2.3. Dosis Obat Yang Dipakai Di Indonesia
JENIS
DOSIS Harian = Intermiten : 10 mg/kgBB
Rifampisin (R) Isoniazid ( H )
Pirazinamid (Z)
Streptomisin (S)
Etambutol (E)
Harian : 5mg/kg BB
Intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Harian : 25mg/kg BB
Intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Harian = Intermiten : 15 mg/kgBB
Usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
Usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Harian : 15mg/kg BB
Intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
2.10.6. Kombinasi Obat Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet
31
OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:10
Tabel 2.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3 Berat
Tahap Intensif tiap hari
Tahap Lanjutan 3x seminggu
badan
selama 56 hari
selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
2 tablet 4KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
3 tablet 4KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
4 tablet 4KDT
> 71 kg
5 tablet 4KDT
5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)
Tabel 2.5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(RH)3E3 Berat
Tahap Intensif tiap
Tahap Lanjutan3x seminggu
badan
hari RHZE
RH (150/150) + E (400)
(150/75/400/275) + S Selama 58 hari 30 – 37 kg
2 tab 4KDT + 500mg
Selama 28 hari 2 tab 4KDT
Streptomisin inj 38 – 54 kg
3 tab 4KDT + 750mg
3 tab 4KDT
3 tab 2KDT + 3 tab Etambutol
4 tab 4KDT + 1000mg
4 tab 4KDT
Streptomisin inj > 71 kg
2 tab 2KDT + 2 tab Etambutol
Streptomisin inj 55 – 70 kg
Selama 2 Minggu
4 tab 2KDT + 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT + 1000mg
5 tab 4KDT
Streptomisin inj
5 tab 2KDT + 5 tab Etambutol
(Depkes RI, 2006)
32
Tabel 2.6. Dosis OAT Untuk Sisipan Berat Badan
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg
2 tablet 4KDT
38 – 54 kg
3 tablet 4KDT
55 – 70 kg
4 tablet 4KDT
≥ 71 kg
5 tablet 4KDT (Depkes RI, 2006)
2.10.7. Efek Samping Pengobatan Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain.5 Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan Dengan OAT Jenis Obat Rifampisin (R)
Ringan Gatal-gatal
Berat
kemerahan
Hepatitis, sindrom respirasi
kulit, sindrom flu, sindrom
yang ditandai dengan sesak
perut
nafas, dengan
kadang kolaps
disertai atau
renjatan (syok), purpura, anemia
hemolitik
akut, gagal ginjal Isoniazid (H)
Tanda-tanda
keracunan
pada syaraf tepi, kesemutan, nyeri otot dan gangguan kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai defisiensi
Hepatitis, ikhterus
yang
33
piridoksin (pellagra) dan kelainan
kulit
yang
bervariasi antara lain gatalgatal Pirazinamid (Z)
Reaksi hipersensitifitas :
Hepatitis,
demam,
serangan arthritis gout
mual
dan
nyeri
sendi,
kemerahan
Etambutol (E)
Gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya
Buta warna untuk warna merah dan hijau
ketajaman penglihatan Streptomisin (S)
Reaksi demam,
hipersensitifitas sakit
:
kepala,
Kerusakan saraf VIII yang berkaitan
muntah dan eritema pada
keseimbangan
kulit
pendengaran
dengan dan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)
Untuk mencegah terjadinya
efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti :5 Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
2.10.8. Pengobatan Supportif / Simptomatis 1) Pasien Rawat Jalan Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan pengobatan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau
34
supportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. Terdapat banyak bukti bahwa perjalanan klinis dan hasil akhir penyakit infeksi termasuk TB sangat dipengaruhi kondisi kurangnya gizi. Makanan sebaiknya bersifat tinggi kalori dan protein. Secara umum protein hewani lebih superior dibanding dalam merumat imunitas. Selain itu bahan mikro nutrien seperti Zink, vitamin-vitamin D, A, C, dan zat besi diperlukan untuk mempertahankan imunitas tubuh terutama imunitas seluler yang berperan penting dalam melawan TB. Peningkatan pemakaian energi dan penguraian jaringan yang berkaitan dengan infeksi dapat meningkatkan kebutuhan mikronutrien seperti vitamin A, E, B6, C, D, dan folat. Beberapa rekomendasi pemberian nutrisi untuk penderita TB adalah : Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6x per hari lebih diindikasikan menggantikan porsi biasa 3x per hari. Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati, mentega, kacang, telur dan bubuk susu kering non lemak dapat dipakai untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging, atau minuman berbahan susu untuk menambah kandungan kalori dan protein tanpa menambah besar ukuran makanan. Minimal 500-750 mg per hari susu atau yoghurt yang dikonsumsi untuk mencukupi asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat. Minimal 5-6 porsi buah dan sayuran dikonsumsi setiap hari. Sumber terbaik vitamin B6 adalah jamur, terigu, liver sereal, polong, kentang, pisang dan tepung haver Alkohol harus dihindarkan karena hanya mengandung kalori tinggi dan memperberat fungsi hepar. Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas per hari) Prinsipnya pada pasien TB tidak ada pantangan Bila demam dapat diberikan obat penurun panas atau demam Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas dan keluhan lain
35
2.10.9. Terapi Pembedahan Indikasi operasi pada penderita TB adalah : 1) Indikasi mutlak Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 2) Indikasi relatif Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan Sisa kaviitas yang menetap
2.10.10. Penatalaksanaan Lain 1) Bronkoskopi 2) Punksi pleura 3) Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD)
2.11. Hasil Pengobatan Tuberkulosis World Health Organization14 menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi : 1) Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya 2) Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan 3) Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan. Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terakhir masih positif. Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari pengobatan. 4) Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif
36
5) Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab kematiannya.
2.12. Evaluasi Pengobatan Bayupurnama6 menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa digunakan untuk evaluasi pengobatan TB paru : 1) Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat dll. 2) Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh mulai kambuh lagi. 3) Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali.6
2.13. Prognosis Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 014% yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di
37
negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
38
BAB III KESIMPULAN
1) Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya. 2) Tuberkulosis
paru
disebabkan
oleh
infeksi
bakteri
Mycobacterium
tuberculosis. 3) Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri menyebar ke udara dalam bentuk droplet. 4) Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masingmasing individu. 5) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 6) Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan. 7) Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB) 8) Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kronis dan tuberkulosis resistensi ganda. 9) Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
39
yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan Etambutol (E) 10) Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap, gagal, putus berobat, dan meninggal. 11) Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan radiologis.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta : Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia. 2. Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419 3. Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 110, 1996 15. 4. Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994. 5. Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 9951000. 6. Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474. 7. Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick & Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika. 8. Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika. 9. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808 10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta. 11. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit, Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC. 12. Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 13. Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC.
41
14. World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National programmes. Geneva : 3-15