REFERAT EFUSI PLEURA PEDIATRI
Disusun Oleh: Mitta Nurfitri Saridewi 1710211072
Pembimbing: dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A (K)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2018
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT EFUSI PLEURA PEDIATRI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Disusun Oleh: Mitta Nurfitri Saridewi
1710211072
Mengetahui,
Pembimbing Tanggal
: dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A (K) : Oktober 2018
2
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Efusi Pleura Pediatri”. Referat ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memenuhi penilaian pada kepaniteraan klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Penyusunan referat ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang turut membantu terselesaikannya referat ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Tjatur Kuat Sagoro, Sp.A (K) selaku pembimbing dan seluruh temanteman kepaniteraan klinik Bagian Departemen Ilmu Kesehatan Anak atas dukungan selama penyusunan laporan ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.
Jakarta, Oktober 2018
Penulis
3
BAB I PENDAHULUAN Efusi pleura pediatrik adalah suatu keadaan abnormalitas yang berkembang akibat terkumpulnya cairan di ruang pleura dan biasanya disebabkan oleh fenomena primer maupun sekunder karena beberapa keadaan penyakit seperti infeksi streptococus pneumonia yang merupakan penyebab paling sering, atau faktor non infeksi seperti limfoma maupun gagal jantung kongestif. Akumulasi cairan ini dapat berasal dari filtrasi cairan yang banyak (produksinya meningkat) atau proses absorpsinya yang terhambat. Gejala mulai dari ringan hingga dapat menjadi gagal nafas akibat akumulasi cairan masif, septikemia, fistula bronkopleura, pneumothorax dan penebalan pleura. Efusi pleura pediatrik lebih sering muncul pada anak laki laki dari pada perempuan. Insidensi serta distribusi efusi pleura semakin meningkat di negara industri berdasarkan studi populasi. Prognosis penyakit ini berkaitan dengann penyakit yang mendasarinya begitu juga dengan pendekatan pengobatan. Drainase cairan lebih dini dapat secara dramatis menurunkan angka mortalitas serta morbiditas pada pasien. Manifestasi klinisnya bervariasi tergantung penyakit yang mendasari, ukuran, serta lokasi efusi. Dapat berupa demam persisten, batuk, anorexia, malaise, takipnea, dispena, nyeri dada, seperti pada pneumonia infeksi, hingga abdominal pain, distensi dan muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gesekan pleura/pleural rub pada fase awal radang selaput pleura. Sejumlah besar cairan mengurangi pergerakan dada dan mengenai salah satu dada sehingga menggeser mediastinum dan menggeser trakea serta apex jantung ke sisi kontralateral secara unilateral. Diagnosis awal untuk menyingkirkan berbagai diagnosis banding yang sebabkan efusi pleura adalah analisis cairan pelura secara biokimiawi dan fisik. Pemeriksaan menggunakan pencitraan juga diperlukan seperti rontgen dada untuk memastikan apakah benar ada efusi pleura. USG dan CT scan juga bermanfaat untuk penilaian yang akurat. Pada kebnyakan pasien sembari menyingkirkan berbagai diangosis dan menerapkan pengobatan suportif sangat dibutuhkan untuk menyembuhkan
efusi,
mulai
dari
pemberian
terapi
antibiotik
hingga
4
menggunakan fibrinolisis pada drainase chest tube. Terapi pembedahan pada pasien dengan efusi pelura apabila terapi dengan obat obatan tidak mampu mengurangi gejala pasien masih kontroversial. Oleh karena itu, pendekatan dalam pemilihan tatalaksana dapat mempengaruhi outcome pasien dan secara signifikan menurunkan angka mortalitas serta morbiditas pada pasien dengan efusi pleura.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Anatomi Pleura Permukaan dalam dari dinding dada dan permukaan parenkim paru ditutupi oleh pleura parietal dan viseral. Sejumlah kecil cairan (<1ml) antara parietal dan pleura viseral pada manusia membentuk lapisan tipis sebesar 10µL. Konsentrasi protein di pleura mirip dengan yang ada di cairan interstisial. Dibandingkan dengan cairan interstisial pada manusia, cairan pleura memiliki kadar bikarbonat yang lebih banyak, natrium yang lebih sedikit, dan protein berberat molekul rendah (laktat dehidrogenase, serta kadar glukosa yang mirip dengan cairan interstisial.
Gambar 1. Anatomi lapisan pleura
Sel di cairan pleura pada manusia yang sehat sangatlah kecil jumlahnya dan kebanyakan terdiri dari makrofag serta beberapa limfosit dan sel darah merah. Pada keadaan sakit, perubahan parameter ini dan banyaknya cairan dapat berakumulasi di ruang pleura. Sejumlah cairan di ruang pleura diregulasi melalui prinsip keseimbangan antara tekanan onkotik dan hidrostatik pada ruang pleura serta kompartment intravaskular kapiler dan drainase pleurolifatik. Dinding dada
6
dan pergerakan diafragma meningkatkan absorpsi pada cairan pleura, partikel besar, dan sel melalui stoma. Efusi pleura, yang biasanya terjadi pada pasien anak akibat infeksi, merupakan terkumpulnya cairan abnormal di ruang pleural. Efusi pleura berkembang karena banyaknya infiltrat atau defek pada proses absorpsi serta akumulasi cairan. Efusi pleura mungkin merupakan akibat primer dari komplikasi sekunder atau akibat penyakit lain. (Moore, 2014)
II.2 Fisiologi Pleura Fisiologi cairan pleura rongga pleura terisi cairan dari pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, saluran limfatik intratoraks, pembuluh kapiler intratoraks dan rongga peritoneum. Neergard mengemukakan hipotesis bahwa aliran cairan pleura sepenuhnya bergantung perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik kapiler sistemik dengan kapiler pulmoner. Perpindahan cairan ini mengikuti hukum Starling berikut:
5 Jv = Kf × ([P kapiler – P pleura] - σ [π kapiler – π pleura]) Keterangan : Jv : aliran cairan transpleura Kf : koefisien filtrasi yang merupakan perkalian konduktivitas hidrolik membran dengan luas permukaan membran P : tekanan hidrostatik, σ : koefisien kemampuan restriksi membran terhadap migrasi molekul besar π : tekanan onkotik. Perkiraan besar perbedaan tekanan yang memengaruhi pergerakan cairan dari kapiler menuju rongga pleura ditunjukkan pada Gambar 2.
7
Gambar 2. Jumlah tekanan pada masing masing lapisan pleura
Tekanan hidrostatik pleura parietal sebesar 30 cmH2O dan tekanan rongga pleura sebesar -5 cmH2O sehingga tekanan hidrostatik resultan adalah 30 – (-5) = 35 cmH2O. Tekanan onkotik plasma 34 cmH2O dan tekanan onkotik pleura 5 cmH2O sehingga tekanan onkotik resultan 34 – 5 = 29 cmH2O. Gradien tekanan yang ditimbulkan adalah 35 – 29 = 6 cmH2O sehingga terjadi pergerakan cairan dari kapiler pleura parietal menuju rongga pleura. Pleura viseral lebih tebal dibandingkan pleura parietal sehingga koefisien filtrasi pleura viseral lebih kecil dibandingkan pleura parietal. Koefisien filtrasi kecil pleura viseral menyebabkan resultan gradien tekanan terhadap pleura viseral secara skematis bernilai 0 walaupun tekanan kapiler pleura viseral identik dengan tekanan vena pulmoner yaitu 24 cmH2O. Perpindahan cairan dari jaringan interstitial paru ke rongga pleura dapat terjadi seperti akibat peningkatan tekanan baji jaringan paru pada edema paru maupun gagal jantung kongestif. Hipotesis Neergard tidak sepenuhnya menjelaskan eliminasi akumulasi cairan pleura karena tidak menyertakan faktor jaringan interstitial dan sistem limfatik pleura. Jaringan interstitial secara fungsional mengalirkan cairan ke sistem penyaliran limfatik. Cairan pleura yang difiltrasi pada bagian parietal mikrosirkulasi sistemik masuk ke jaringan interstitial ekstrapleura menuju rongga pleura dengan gradien tekanan (aliran cairan) yang lebih kecil (Gambar 3).
8
Gambar 3. Gradien tekanan pada rongga pleura
Rongga pleura secara fisiologis terbagi menjadi lima ruang yaitu sirkulasi sistemik parietal, jaringan interstitial ekstrapleura, rongga pleura, jaringan interstitial paru dan mikrosirkulasi viseral. Membran endotel sirkulasi viseral membatasi mikrosirkulasi viseral dengan jaringan interstitial paru dan membran endotel sirkulasi sistemik parietal membatasi sirkulasi sistemik dengan jaringan interstitial rongga pleura. Rongga pleura dibatasi oleh pleura viseral dan pleura parietal yang berfungsi sebagai membran. Penyaliran limfatik di lapisan submesotel pleura parietal bercabang-cabang serta berdilatasi dan disebut lakuna. Lakuna di rongga pleura akan membentuk stoma. Aliran limfatik pleura parietal terhubung dengan rongga pleura melalui stoma dengan diameter 2 – 6 nm. Stoma ini berbentuk bulat atau celah ditemukan pada pleura mediastinal dan interkostalis terutama pada area depresi inferior terhadap tulang iga bagian inferior dengan kepadatan 100 stomata/cm2 di pleura interkostalis dan 8.000 stomata/cm2 di pleura mediastinal. Jumlah cairan pleura tergantung mekanisme gaya Starling (laju filtrasi kapiler di pleura parietal) dan sistem penyaliran limfatik melalui stoma di pleura parietal. Senyawa senyawa protein, sel-sel dan zat-zat partikulat dieliminasi dari rongga pleura melalui penyaliran limfatik ini. Menurut Stewart (1963), nilai rerata aliran limfatik dari satu sisi rongga pleura adalah 0,4 mL/kg berat badan/jam pada tujuh orang normal, sementara Leckie dan Tothill (1965) menemukan bahwa nilai rerata alisan listrik limfatik sebesar 0,22 mL/jam pada tujuh pasien dengan gagal jantung kengestif. Dalam kedua penelitian ini, 9
variabilitas yang mencolok dijumpai antar-pasien. Bila hasil pada pasien dengan gagal jantung kongestif diekstrapolasi ke individu normal, seseorang dengan berat badan 60 kg akan memiliki nilai aliran limfatik dari masing-masing sisi rongga pleura sebesar 20 mL/jam atau 500 mL/hari. Peningkatan volume tidal maupun frekuensi respirasi meningkatkan eliminasi limfatik pleura. Kapasitas eliminasi limfatik pleura secara umum 20 – 28 kali lebih besar dibandingkan pembentukan cairan pleura. Akumulasi berlebih cairan pleura hingga 300 mL disebut sebagai efusi pleura, terjadi akibat pembentukan cairan pleura melebihi kemampuan eliminasi cairan pleura. Faktor-faktor dan keadaan-keadaan penyebab peningkatan pembentukan cairan pleura atau penurunan eliminasi cairan pleura pada keadaan efusi pleura dirangkum dalam Tabel 1.
Efusi pleura umumnya dibagi menjadi cairan transudat dan eksudat. Efusi pleura transudatif terjadi saat faktor sistemik berperan dalam perubahan pembentukan atau eliminasi cairan pleura. Efusi pleura eksudatif terjadi saat faktor permukaan pleura atau pembuluh kapiler di pleura mengalami perubahan. Kriteria Light menyatakan bahwa efusi pleura eksudatif bila minimal satu hal berikut terpenuhi : perbandingan kadar protein cairan pleura dengan kadar protein serum > 0,5, perbandingan kadar laktat dehidrogenase (LDH) cairan pleura dengan kadar LDH serum > 0,6 dan/atau kadar LDH cairan pleura > 0,6 atau lebih tinggi 2/3 kali dibandingkan nilai ambang atas kadar LDH serum. Langkah diagnostik selanjutnya lebih ditekankan pada efusi cairan eksudatif. Efusi pleura
10
menyebabkan perubahan parameter spirometri. Penelitian Spyratos dkk. yang melibatkan 21 pasien efusi pleura yang menjalani spirometri sebelum dan sesudah pungsi pleura (cairan pleura dikeluarkan sebanyak 1.581 ± 585 mL) mendapatkan peningkatan kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1 ) dan kapasitas inspirasi (KI) setelah pungsi pleura. Jumlah cairan yang dikeluarkan tidak berkorelasi dengan peningkatan volume paru dan aliran udara paru. (sharma, 2018)
II.3 Etiologi Mekanisme etiologi yang melibatkan sebagian besar pembentukan efusi pleura termasuk infeksi (empiema), permeablitas kapiler abnormal (eksudat), peningkatkan tekanan hidrostatik dan penurunan tekanan onkotik dalam keadaan kapiler yang normal (transudat), bersihan limfatik abnormal (eksudat), dan darah di ruang pleura (hemothorax). Pada anak, infeksi merupakan penyebab utama efusi pleura. Gagal jantung kongestif merupakan akibat kedua yang paling sering, diikuti dengan keganasan. Pada sebuah penelitian di kanada yang meneliti 127 anak dengan efusi pleura, sekitar 50% efusi merupakan parapnuemonik, 17% nya disebabkan oleh gagal jantung kongestif, 10% disebabkan oleh keganasan, 9% disebabkan oleh gagal ginjal, 7% trauma, dan 6% nya karena sebab lain. Di negara bagian Amerika Utara yang melaporkan 210 anak dengan efusi pleura, Hardie dan rekan menunjukkan bahwa efusi merupakan akibat dari parapneumonik (50 dari 143 berkaitan dengan empiema), 11% disebabkan oleh penyakit jantung kongenital, 5% disebabkan oleh keganasan, dan 3% disebabkan oleh sebab lain. 1. Infeksi Efusi pleura disebabkan oleh infeksi non bakteri dari pada infeksi bakterial. Efusi virus biasanya asimptomatik dan sembuh tanpa terapi. Efusi parapneumonik dan empiema adalah komplikasi paling parah dari pnuemonia bakterial. Selama beberapa tahun, agen etologi menjadi semakin berbeda beda, dan sensitifitas mereka terhadap berbagai antibiotik pun ikut berbeda. Di negara industri, streptokokus pneumonia masih menjadi patogen utama yang
11
menyebabkan efusi parapneumonik dan empiema pada anak. Lebih dari 46 serogrup pnuemonokokus yang dikenal, 10 diantaranya bertanggung jawab terhadap penyakit pada anak. Serotipe 1 merupakan serotipe paling dominan pada anak dengan empiema. Di negara berkembang, Staphylococus aureus mungkin penyebab tersering infeksi yang membuat empiema pada anak anak. Meskipun begitu, S. aureus yang memproduksi toksin (panon-valentine lukocidin) semakin marak pada patogen di beberapa pusat kesehatan amerika. Haemophilus influenzae tipe B merupakan etiologi predominan untuk kejadian empiema pada anak di tahun 1980 an. Namun data terbaru menyatakan H. influenza semakin menurun jumlahnya karena semakin maraknya imunisasi. Beberapa
penyebab
yang
paling
sering
dari
empiema
diantaranya
Staphylococus koagulase-negatif, spesies streptokokus lain (Streptococus viridans, streptococus group A, streptococus alfa hemolitik) actinoyces, dan fungi. Hemolitik-beta grup A dengan efusi pleura dan shock sindrom streptococus toksik berkaitan dnegan infeksi varisela pada anak anak. Spesies ananerob, termasuk bakteriodes dan fusobakterium, khususnya pada empiema berkaitan dengan pneumonia aspirasi pada anak anak dengan gangguan neurologi. Pnuemositis jirovici (sebelumnya disebut sebagai P. Carinii) adalah infeksi tersering pada anak anak dengan AIDS dan berhubungan dengan efusi pluera, insidensinya sebesar 5%. Efusi pleura terjadi pada 2-38% pada semua kasus tb pulmo anak. Efusi pleura Tb dapat primer atau karena penyakit reaktivasi. Efusi pleura tb primer merupakan akibat dari invasi hematogen pada ruang pleura oleh mycobakterium tuberkulosis, biasanya unilateral dan tanpa mengenai parenkim paru. Efusi pleura juga pernah dilaporkan terjadi akibat adenovirus. Dalam sebuah studi kasus pada anak usia 16 bulan yang dirujuk akibat pneumonia yang tidak membaik setelah dirawat selama 5 minggu menggunakan antibiotik sprektum luas. Riwayat perinatalnya menyatakan bahwa pasien telah diberikan imunisasi lengkap termasuk PCV13. Pasien alami demam (suhu hingga 38 derajat celcius), takipnea (RR 64x/menit), dan hipoksik dengan
12
retraksi interkosta dan subkostal. Terdapat perkusi pekak dan penurunan suara nafas pada daerah kanan bawah paru, konsisten dengan efusi pleura yang besar. Pasien alami hepatomegali sebesar 4 cm. Efusi pleura dikonfirmasi menggunakan usg dan dilakukan drainase dengan kateter pleura pigtail. Cairan pleura dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pemeriksaan sitologi, analisis biokimiawi, pemeriksaan kultur bakteri dan mikobakterial, PRC dan pemeriksaan geneExpert. Hasil pemeriksaan darah dan mikrobiologinya menunjukkan tidak ada tanda laboratorium yang kuat ke arah infeksi bakteri, hanya saja kadar limfositnya meningkat, sedangkan pemeriksaan lainnya negatif. Demam dan gejala menetap walau pasien sudah terpasang drainase dan diberikan antibiotik lini kedua (ertapenem dan klarithomisin). Terapi antituberkulosis pun diberikan namun akhirnya diberhentikan karena tidak ada bukti yang menyatakan bahwa pasien alami tuberkulosis. Pasien menunjukkan perbaikan bertahap secara klinis dan radiologi dan oleh karena itu, drainase pleura dilepas setelah 4 hari dipasang. Semua kultur bakteri dan invesigasi TB nya negatif. Setelah dilakukan isolasi adenovirus dari cairan pleura dan sputum, dinyatakanlah bahwa pasien terinfeksi adenovirus.
Keterangan gambar 4 : rontgen dada menunjukkan adanya opasifikasi pada paru kanan dengan efusi pleura
13
2. Gagal jantung kongestif Gagal jantung kongestif adalah penyebab yang sering dari efusi pleura pada anak dari pada dewasa. Terjadi akibat tingginya tekanan wedge kapiler pada pulmo atau atrium kiri. Efusi biasanya bilateral dan bersifat transudat. 3. Efusi terkait keganasan Limfoma merupakan penyebab tersering pada keganasan anak dan berkaitan dengan efusi pleura. Keganasan pada anak anak lainnya ,seperti leukimia, neuroblastoma, dan sarkoma pada dinding dada, tumor wilms, hepatoma, jarang sebabkan efusi. Pada keganasan, efusi terjadi karena invasi langsung pada pleura oleh karena tumor, obstruksi pada aliran limfatik, atau penumonia dan ateletaksis akibat obstruksi bronkial baik oleh karena tumor atau limfadenopati. Efusi pluera biasanya unilateral dan berdarah serta ciklous. 4. Ciklothorax Efusi siklous merupakan hal yang jarang sebabkan efusi pleura pada anak. Meskipun paling sering sebabkan efusi pleura pada minggu pertama kehidupan. Siklothorax mungkin akibat kongenital atau didapat. Terjadi akibat kebocoran chyle ke ruang pleura karena rusaknya duktus thorasik oleh ruptur, laserasi, robekan atau kompresi.
Keterangan gambar 5: gambaran anteroposterior pada dinding dada menunjukkan siklothorax yang besar pada bagian kanan dada neonatus.
14
Keterangan gambar 6: gambaran anteroposterior pada neonatus menunjukkan rekumulasi silothorax pada hemithorax kanan setelah tube dada dicabut.
Insidensi siklothorax lebih tinggi tampak pada anak down syndrome, sindrom noonan, sekuestrasi ekstralobar, hernia diafragmatika, hidrops fetalis, dan atau pulmo hipoplasia. 3. Hemothorax Hemothorax harus dicurigai bila hematokrit cairan pleura lebih dari 50% darah perifer. Kebanyakan terjadi akibat trauma. Penyebab lain hemothorax adalah keganasan, infark pulmo, ruptur atau sekuestrasi pulmo dan malformasi arteriovenosa, ruptur pembuluh darah intrathorax spontan, dan sindrom posperikardiotomi. 5. Sebab lain Penyebab lain dari efusi transudative adalah hipoalbuminemia, nefrosis, sirosis hepatik, dan iatrogenik (central line yang salah posisi atau komplikasi ventrikulopleura shunt). Penyebab lain adalah pankreatitis (efusi biasanya hemoragik, unilateral , dan ada dibagian kiri), sindrom lemiere (sepsi anaerob posfaringitis dengan tromboplebitis pada vena jugularis interna). (yuehshih & hua-Chang, 2010)
II.4 Epidemiologi Efusi parapuemonik dan empiema paling sering terjadi pada anak laki laki dari pada perempuan. Selain itu, efusi parapnuemonik dan empiema paling sering mengenai bayi dari pada anak kecil dan anak yang berusia lebih tua. Pada sebuah 15
penelitian di spanyol menyatakan bahwa anak yang lebih muda dari 5 tahun memiliki insidensi lebih tinggi untuk alami empiema dari pada anak usia 5-17 tahun. Diamerika serikat, empiema memegang peran sebesar 0,6-2% kejadian pada anak dengan pnuemonia bakterial. Prevalensi infeksi pleura terjadi lebih besar di negara negara industri. Di amerika sendiri, empiema berkaitan dengan tingginya angka dirawat di rumah sakit hingga 70% antara tahun 1997 (2,2 per 100.000) dan 2006 (3,7 per 100.000 penduduk). (Sharma, 2018)
II.5 Patofisiologi Akumulasi cairan pada kavitas pleura ketika terjadi peningkatan infiltrasi yang rasionya melebihi mekanisme penyerapan cairan atau bisa karena gangguan proses absorpsi. Ketidak seimbangan ini mungkin terjadi akibat gangguan pada hukum starling yang mengatur proses absorpsi dan filtrasi cairan pleura, gangguan pada drainase limfatik, atau keduanya. Gangguan pada starling force mungkin terjadi akibat : -
Peningkatan
permeabilitas
kapiler
(Kf),
seperti
pada
infeksi
pleuropulmoner, SLE, toksin di sirkulasi maupun tumor. -
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler (Pc), seperti pada CHF maupun perikarditis.
-
Penurunan tekanan hidrostatik dan interstisial (Pis), seperti pada posthorasentesis atau paru yang terperangkap (trapped lung).
-
Penunan tekanan onkotik plasma (Pi), sepeti pada keadaan hipoalbumin, nefrosis, dan sirosis hepatik.
-
Peningkatan tekanan onkotik di ruang interstisial sepeti pada infark pulmonal. Akumulasi cairan pleura jika drainase limfatik tidak adekuat seperti pada
fibrosis pleura parietal (ex: tuberkulosis), limfadenopati mediastinal, atau obstruksi pada duktus thorasik maupun limfatik yang hipoplastik (ex : limfangiektasis pulmoner). Pada anak anak, efusi parapneumonik akibat infeksi pnuemonia infeksius subpleuratik merupakan penyebab paling sering efusi pleura. Terdapat tiga tahap yang berkaitan dengan efusi parapneumonik yang ketiga tahap ini bisa saja tumpang tindih.
16
Diantaranya : -
Tahap eksudatif (tahap efusi yang tidak ada komplikasi). Infeksi parenkim dan saluran nafas dapat memudahkan proses aspirasi mikroorganisme ke alveoli subpleura, yang sebabkan migrasi serta perlekatan PMN seperti neutrofil ke endotelium sekitar. Metabolit oksgien dan produk yang diaktivasi oleh PMN dapat sebakan cedera endotel dan cedera pada pembuluh darah subplera serta pleura dan peningkatan permeabilitas kapiler. Bocornya cairan yang kaya akan protein nantinya akan meningkatan tekanan interstisial, sehingga membuat gradien yang mendorong cairan dari interstisium ke dalam rongga pleura. Cairan parapnemonik yang awal biasanya jernih, dan didominasi oleh eksudat PMN. Kimiawi pleura dalam batas normal.
-
Tahap fibropurulent (tahap invasi bakteri atau sekunder) Pada pneumonia yang dibiarkan tidak diobati, cedera endotel akan semakin parah dan terjadilah peningkatan penumpukan cairan pleura. Bakteri akan terus bermultipikasi dan menginvasi ruang pleura. Tahap ini dicirikan dengan peningkatan jumlah PMN dan penurunan kadar glukosa (akibat peningkatan glikolisis oleh PMN dan metabolisme bakteri). Karena produk akhir dari metabolisme glukosa adalah CO2 dan asam laktat, akumulasi zat ini dia ruang pleura akan sebabkan turunnya nilai PH. Laktat dehidrogenase akan meningkat, hingga lebih dari 1000 U/L, akibat lisis PMN (efusi komplikata) dan peningkatan kadar interleukin 8, faktor kemotaktik utama dari PMN ke lokasi infeksi. Pada tahap ini, cairan pleura akan mengental karena ada prokoagulan darah yang pindah ke rongga pleura dan aktivitas fibrinolitik mungkin berkurang karena ada cedera pada mesotelial. Proses ini akan meningkatkan deposisi lapisan fibrin pada permukaan pleura. Fibroblas akan pindah ke ruang pleura dan mulai mensekresikan kolagen. Baik fibrin maupun kolagen akan mengisi rongga pleura membuat suatu lokulasi pada celah antara kedua permukaan pleura. Tanpa terapi, tahap ini akan berlanjut ke tahap yang ketiga.
17
-
Tahap organisasi (tahap ketiga dari empiema) Cairan empiema akan menjadi tebal, koagulum purulen dengan ciri khas adanya koagulabilitas pada cairan pleura, banyaknya debris seluler (bakteri dan PMN), meningkatnya jumlah fibrin, serta deposisi kolagen. Hasil "peel" pleura inelastik merusak drainase cairan pleura dan menghambat ekspansi paru. Empiema yang tidak diobati dapat mengalir melalui dinding dada (empyema necessitatis) atau ke paru-paru (fistula bronkopleural). Insiden empiema steril telah meningkat karena terapi antibiotik yang efektif sebelum thoracentesis. (lynn, abrahamson, cohen, king, & parikh, 2015)
II.6 Pendekatan Diagnosis Pemeriksaan
tertentu
mungkin
dibutuhkan
untuk
menyingkirkan
kemungkinan ada disfungsi imun atau penyakit sistemik serta paru yang mendasari dan sebabkan empiema. Analisis terhadap cairan pleura merupakan metode terbaik untuk menentukan penyebab efusi pleura. Torasentesis harus dilakukan ketika cairannya cukup untuk melalukan tindakan tersebut secara aman, kecuali bila efusi yang ditemukan jelas akibat sekunder dari suatu penyakit (CHF, nefrotik sindrom, asites, dialisis peritoneal). Observasi sederhana pada gambaran kasar cairan mungkin dapat menjadi petunjuk sebab dari efusi pleura tersebut, diantaranya : -
Cairan purulent mengindikasikan ada empiema
-
Bau busuk menunjukkan empiema anaerobik
-
Cairan kuning pucat yang jernih, mengindikasikan ada transudat
-
Cairan yang seperti susu mengindikasikan chylothorax
-
Cairan pluera yang ada darah biasanya tampak pada trauma, keganaasan, tuberkulosis, uremia, dan empiema akibat streptokokus grup A.
-
Infeksi Aspergillus Nigrans akan membuat cairan pleura berwarna hitam. Pada keadaan klinik tertentu, penilaian kadar trigliserida cairan pluera (efusi
siklosa), amilase (pankreatitis, ruptur esofagus), dan hematokrit cairan pleura (hemothorax) mungkin bermanfat.
18
Pemeriksaan darah lengkap dengan berbagai pemeriksaan lain, kultur darah, CRP mungkin dapat membantu menentukan adanya infeksi. Hitung sel darah putih dan CRP mungkin bermanfaat dalam memantau perkembangan pengobatan efusi yang infeksius. Kultur darah yang positif mungkin dapat membantu menentukan pemilihan antibiotik pada empiema steril (sekitar 10-22% anak anak dengan efusi parapneumonik yang komplikasi memiliki hasil kultur darah yang positif). Penilaian titer mungkin dapat membantu menentukan organisme spesifik, seperti spesies myocaplasma, spesies legionella, atau adenovirus. Meskipun begitu, penggunaan berbagai pemeriksaan ini terbatas karena membutuhkan titer kovalensen. Jika terdapat faktor resiko tuberkulosis, sputum (aspirasi gaster) untuk basili asam cepat dan protein derivatif yang dimurnikan (PPD) harus dilakukan. Protein serum, LDH, amilase, glukosa, dan konsentrasi ion hidrogen (PH) mungkin dapat membantu menginterpretasikan hasil analisis cairan pleura. Jika efusi siklosa ditemukan, kolesterol serum dan kadar trigliserida harus dicari. (cohen, mahani, dell, & jeffrey, 2012)
19
Diagram 1: alur tatalaksana efusi pleura pediatrik
Eksudat versus Transudat Secara konvensional, evaluasi awal cairan pleura dilakukan untuk menentukan apakah cairannya eksudat atau transudat. Klasifikasi ini berdasarkan kriteria biokimiawi sederhana yang diajukan oleh Light dkk. Meskipun begitu, kriteria Light Dkk berkembang dan diuji cobakan pada pasien dewasa, oleh karena itu keakuratannya pada pasien anak masih dipertanyakan. Berdasarkan kriteria light, cairan pleura didefinisikan sebagai eksudat jika memenuhi setidaknya 3 kriteria. Jika tidak ada dari kriteria ini yang ditemukan, maka cairan tersebut adalah transudat. Kriteria nya antara lain : -
Rasio laktat dehidrogenasi serum dengan cairan pluera >0,6
-
Rasio protein serum dengan cairan pleura > 0,5
-
Kadar LDH cairan pleura adalah 2/3 diatas nilai normal
Pada umumnya, eksudat memiliki konsentrasi protein yang lebih tinggi 2,9 g/dl dengan kadar kolesterol cairan pleura yang lebih besar dari 45 mg/dl. Analisis 20
biokimiawi dari cairan pleura memberikan informasi lebih lanjut yang mungkin berguna dalam membedakan diagnosis banding efusi eksudat, antara lain : -
Rendahnya kadar glukosa pleura (<60 mg/dl) atau rasio cairan pleura dengan glukosa serum <0,5- dapat dilihat dalam beberapa kondisi seperti efusi parapneunonik, tuberkulosis, keganasan, ruptur esofageal, dan efusi rheumatoid.
-
Kadar LDH lebih dari 1000IU/L- dapat ditemukan pada empiema dan efusi rheumatoid.
-
Rasio LDH serum terhadap cairan efusi pleura adalah 1 dan rasio protein serum terhadap cairan pleura adalah <0,5-mengisyaratkan telah terjadi efusi karena pneumonia J. Jiroveci.
-
PH cairan pleura <7.3 (dengan PH arteri yang normal) tampak pada efusi parapneumonik, tuberkulosis, keganasan. Ruptur esofagus, asidosis sistemik, urinothorax, memiliki PH sekitar 7,3-7,45, dimana transudat memiliki PH pleura disekitar 7,4 hingga 7.5. (PH normal cairan pleura adalah sekitar 7,6). (cohen, mahani, dell, & jeffrey, 2012)
Glukosa >40 mg/dl
protein
LDH
PH
appearance
Diagnosis
<3 g/dl
<1000 IU/L
>7,45
Bersih/jernih Transudat
Atau <2/3 batas atas nilai normal ≥ 3g/dl
<40 mg/dl
>1000
IU/L <7,3
opaque
Eksudat
>2/3 batas atas nilai normal. Tidak
butuh
pemeriksaan ini
Tidak
butuh <7
pemeriksaan ini
Pus
yang Empiema
tampak jelas
Tabel 2. Kimiawi cairan pleura antara transudat dan eksudat
21
Hitung Sel Hitung sel cairan pleura, meskipun rutin dilakukan, namun tidak begitu membantu dalam menentukan setiap diagnosis yang terjadi pada anak anak. Meskipun begitu, pada keadaan tertentu, tipe sel predominan mungkin dapat membantu menentukan etiologi efusi pleuranya. Sel polimorfonukelar yang lebih dominan menandakan efusi nya akut, sedangkan limfosit menandakan bahwa efusinya berlangsung kronik. -
Predominansi neutrofilik-etiologi bakteri, pankreatitis (cairan, terkadang hemoragik), ruptur esofagus (PH yang sangat rendah), dan fase awal dari tuberkulosis pleura.
-
Predominansi limfositik (85-95% total sel nuklease)—tuberkulosis, keganasan, uremia, dan penyakit jaringan ikat, serta infeksi mikotik.
-
Efusi monositik—pneumonia virus dan mikoplasma.
-
Efusi eosinofilik (>10% eosinofil)-pleuritik eosinofilik reaktif (baru alami pnuemothorax atau ada darah di ruang pleura), obat obatan (dantrolene dan nitrofurantoin), uremia, infeksi jamur atau parasit.
Analisis Mikrobiologis Analisis mikrobiologi pada cairan pleura harus dilakukan pada pasien dengan efusi pleura eksudatif yang tidak terdiagnosis. Beberapa analisis yang diperlukan diantaranya : -
Pewarnaan gram, basilus asam, dan jamur (KOH)
-
Kultur bakteri (baik aerob dan non aerob), mikobakteria, serta jamur
-
Kultru organisme aerobik dan anaerobik secara langsung atau enrichment bakteri, selain mengirimkan beberapa sampel cairan pleura didalam botol kultur darah anaerob.
Alur diagnosis penyebab mikrobial dari efusi pada anak membutuhkan beberapa jenis pemeriksaan lain dalam rangka mendeteksi antigen bakteri. Diantaranya konteriimunelektroforesis, aglutinasi latex, PRC, PRC Assay. Uji ini akan sangat berguna terutama pada pasien yang mendapatkan antibiotik sebelum tindakan torasentesis.
22
Diagnosis pleuritis Keganasan dan tuberkulosis. Pleuritis tuberkulosis Adenosin deaminasi cairan pleura dan kadar interferon gamma biasanya meningkat pada semua pasien dengan pleuritis tuberkulosis. Penilaian kadar deaminase adenosin atau interferon gamma mungkin bermanfaat menentukan diagnosis. Teknik molekular seperti PRC assay dalam rangka mendeteksi DNA mikobakterial spesifik cairan pleura, sekarang ini telah tersedia untuk membantu proses diangosis TB pleuritis. Meskipun selama ini adenosin dianggap sebagai pemeriksaan yang paling baik dalam mendeteksi efusi pleura TB, beberapa penelitian menyatakan bahwa penilaian ini masih belum akurat karena tingginya aktifitas adenosin dapat juga terjadi pada pasien empiema, limfoma, broselosis pleura, penumonia mikoplasma.
Pleuritis Keganasan Sitologi dapat dilakukan jika ada kecurigaan ke arah keganasan. Meskipun begitu, sitologi yang negatif tidak berarti kita dapat menyingkirkan diagnosis keganasan. Pada sebuah penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Chaignaud dkk, menemukan bahwa diagnosis dengan sitologi dan imunotyping sel di cairan pleura merupakan penanda diagnosis pada 71% anak anak dengan limfoma limphoblastik.
Pencitraan (rontgen dada) Rontgen dada merupakan pemeriksaan yang paling sederhana dan mudah, tidak mahal dan dapat mengidentifikasi telah terjadi efusi pleura pada pasien tersebut. Radiografi dada mungkin dapat membantu mengungkapakn bahwa pada pasien terjadi penumonia terlebih dahulu yang memicu akumulasi cairan di ruang pleura.
23
Keterangan gambar 7 : foto rontgen anak 3 tahun dengan dispnea dan demam 1 hari sebelum terjadinya efusi pluera menunjukkan adanya penumonia pada bagian paru kiri pasien.
Keterangan gambar 8 : foto rontgen anak usia 3 tahun dengan dispneu dan demam menunjukkan adanya opasitas yang besar pada bagian iri, dengan obliterasi di sudut kostofrenikus kiri serta adanya cairan.
24
Keterangan gambar 9: bagian posteroanterior pada pasien yang terjadi reakumulasi efusi pleura di bagian kiri paru.
Keterangan gambar 10: radiografi dekubitus lateral kanan pada anak dengan efusi pleura dibagian paru kanan.
Ukuran cairan efusi meningkat, dengan gambaran khas tanda meniskus (meniscus sign). Efusi yang sangat banyak biasanya akan ada gambaran opasitas di hemithorax, dengan pergeseran mediastinal.
25
Ultrasonografi Ultrasonografi pleura dapat membantu dokter menentukan karakteristik efusi pleura, membantu membedakan antara udara dengan efusi pleura lokulata dan membedakan antara cairan pleura dengan penebalan pleura serta massa solid, mengidentifikasi lokasi yang tepat untuk torakosintesis atau lokasi yang tepat untuk memasukkan tube torakotomi. Keterbatasan utama dari USG adalah pengalaman pemeriksa yang harus handal dalam mengunakan USG tersebut.
Keterangan gambar 11 : ultrasonogram dari efusi pleura pada anak usia 3 tahun dengan dyspena dan demam menunjukkan banyaknya septa (panah hitam) dan beberapa porsi lokulasi cairan yang besar (panah putih).
CT Scan Cairan pleura dapat mudah ditemukan dengan CT scan. Namun CT scan lebih mendiagnosis abnormalitas pada parenkim paru pasien dari pada cairan pleura, namun hal ini tidak membuat temuan CT scan mempengaruhi keputusan penatalaksanaan pasien. CT scan meningkat penggunaannya dalam rangka mendiagnosis empiema. Selain itu ct scan juga dapat membantu proses intervensi yang mana efusinya sulit diakses. Meskipun begitu, modalitas pencitraan ini mahal, invasif, dan memakan waktu. (ajudani, 2015)
26
Thorakosentesis, biopsi pleura, dan bronkoskopi Thorakosentesis Torakosentesis sangat direkomendasikan untuk kebanyakan efusi pluera dengan jumlah yang banyak. Torakosentesis sebaiknya tidak dilakukan bila kecurigaan ke arah keganasan atau empiemanya rendah. Sebaiknya dilakukan pada pasien yang alami gangguan nafas akibat efusi pleura, pasien dengan empiema atau keganasan, maupun bayi baru lahir.
Biopsi pleura Biopsi pleura mungkin dibutuhkan dalam kasus efusi imflamasi yang belum jelas penyebabnya, misalkan tuberkulosis atau keganasan. Dua komplikasi utama dari biopsi pleura adalah perdarahan dan pneumothorax.
Bronkoskopi Bronkoskopi fleksibel rutin tidak diindikasikan pada anak anak dengan efusi pleura. Aspirasi benda asing pada anak anak dibawah umur sangatlah memungkinkan dan merupakan indikasi dari bronkoskopi. (yuehshih & huaChang, 2010)
II.7 Gejala Klinis Anamnesis Gambaran klinis dan gejala dari efusi pleura tergantung pada penyebab yang mendasarai dan ukuran serta lokasi efusi. Gejala yang berkaitan dengan penyebab Anak anak dengan efusi akibat komplikasi pneumonia (efusi parapneumonia atau empiema) sering memiliki riwayat infeksi saluran nafas atas sebelumnya, bronkitis, atau pnuemonia. Anak anak ini biasanya alami gejala berikut : -
Demam persisten
-
Batuk
-
Anorexia
-
Malaise
-
Takipnea
27
-
Dispneu
-
Nyeri dada
Anak anak dengan tuberkulosis efusi pluera juga mungkin dapat alami gejala berikut : -
Batuk
-
Nyeri dada pleuritik
-
Dispnea
-
Keringat malam
-
Demam
-
Hemoptisis
-
Penurunan berat badan Efusi akibat keganasan mungkin akan tampak lemah dan hanya sebabkan
gejala batuk atau demam derajat ringan. Efusi pleura akibat limfoma keganasan mungkin ada disertai dengan gagal nafas, karena ukuran efusi, massa mediastinum, atau keduanya. Pada efusi yang transudatif (CHF, sindrom nefrotik), penyebab yang mendasari nya biasanya dapat menentukan gejala yang ada. Kadang-kadang anak mungkin asimtomatik sampai akumulasi menjadi cukup besar untuk menimbulkan gejala. Meskipun efusi terjadi dan dapat berkaitan dengan SLE (sistemik lupus eritematosa) dan penyakit autoimun lain, namun hal ini jarang menimbulkan manifestasi klinik.
Gejala terkait ukuran dan lokasi efusi Pleura Akumulasi sejumlah kecil cairan mungkin tidak akan menimbulkan gejala. Namun bila cairan sudah banyak bisa sebabkan dispneu, distress pernafasan, nyeri, dan batuk. Gejal gejala ini mungkin bervariasi dengan perubahan posisi tubuh. Terkumpulnya cairan subpulmonik dapat berkaitan dengan muntah, nyeri peru, dan distensi abdomen karena ileus paralitik parsial.
Nyeri Dada Nyeri dada biasanya berasal dari pleuritik. Pasien dengan efusi eksudatif mungkin akan lebih rasakan nyeri dari pada pasien dengan efusi transudatif. Nyeri
28
dapat terlokalisasi atau menjalar ke daerah
bahu dan abdomen. Nyeri ini
biasanya tajam atau seperti menusuk dan memburuk dengan inspirasi. Intensitas nyeri berkurang biasanya bila ukuran efusinya meningkat, karena hal ini dapat memisahkan membran pelura dan nyeri nya seolah olah hilang atau tumpul (maher, et al., 2014).
Pemeriksaan Fisik Pasien mungkin tampak dispnea dan cemas karena rasa nyeri, tidak nyaman, atau hipoxemia. Gesekan pleura mungkin adalah gejala awal selama fase awal pleurisy. Gesekan pleura berkurang bila cairan terakumulasi diantara permukaan pleura. Terkumpulnya cairan pleura yang banyak pada ruang interkosta dan ekskursi dada berkurang pada daerah yang terkena. Banyaknya akumulasi cairan unilateral akan menggeser mediastinum dan seolah menggeser trakea serta apex jantung ke daerah kontralateral. Tumpul saat perkusi, menurunnnya taktil dan fokal fremitus, suara egofoni didaerah efusi mungkin ada namun sulit ditemukan pada anak kecil.
II.8 Tatalaksana dan Pengobatan Efusi Pleura Efusi pleura non imflamasi (transudat) ditatalaksana dengan mengobati penyebab yang mendasarinya dan mengatasi segala gangguan fungsional pada pasien tersebut. Pengobatan efusi pleura tuberkulosis mirip dengan pengobatan pnuemonia tuberkulosis. Tujuan pengobatan empiema termasuk sterilisasi cairan pleura, re ekspansi paru, dan restorasi fungsi paru normal. Penelitian prospektif pada empiema pediatrik masih sangat kurang. Berimbas pada tatalaksana empiema anak anak yang masih kontroversial; dengan sedikitnya bukti yang tersedia, tidak ada konsesus yang mengatur peran pengobatan medis VS pembedahan pada pasien ini. Efusi parapneumonik biasanya akan berkembang melalui
beberapa
tahap
selama
beberapa
waktu,
termasuk
eksudatif,
fibrinopurulent, dan tahap lainnya. Pemilihan pengobatan yang tersedia untuk efusi parapneumonik dan empiema termasuk antibiotik atau kombinasi antibiotik dengan torakosentesis, drainase tube dada dengan atau tanpa pemberian agen fibrinolitik, serta pembedahan (dengan bantuan torakoskopi video atau
29
tokakosotomi terbuka dengan dekortikasi) (cohen, mahani, dell, & jeffrey, 2012). Beberapa dokter yang terlibat dalam penanganan efusi pleura pediatrik antara lain: -
Pulmonologi pediatrik
-
Ahli bedah pediatrik
-
Ahli radiologi intervensi
-
Spesialis penyakit infeksi pediatrik.
Terapi Antibiotik Pada fase awal pembentukan efusi parapneumonik (gejala ringan, durasi singkat), pemberian antibiotik empiris berdasarkan usia pasien dan organisme serta uji sensitifitas mungkin dapat membantu efusi tersebut berkembang menjadi efusi parapneumonik yang berat. Ketika memungkinkan, sampel cairan pleura haruslah diambil untuk inisiasi antibiotik. Bila organisme kausatifnya telah diketahui, pemilihan antibiotik harus dipandu sesuai dengan pola sensitifitas dari organisme tersebut. Beberapa kelompok antibiotik (penisilin, cephalosporin, aztrenonam, klindamisin, ciprofloxasin), menunjukan penetrasi pada cairan pleura yang lebih baik dari pada obat lainnya (aminoglikosida). Pada pasien yang dirawat dengan efusi parapneumonik komplikasi, anbtibiotik biasanya diberikan secara intravena ketika tube torakostomi tersedia dan pasien dalam keadaan demam. Banyak pusat pengobatan yang memberikan antibiotik intravena selama setidaknya 48 jam sampai pasien tidak demam lagi dan drain pada dada dilepas. Setelah itu, pemberian antibiotik oral dilanjutkan selama 2-4 minggu.
30
Tabel 3. Jenis bakteri dan pemilihan antibiotiknya.
Golongan antibiotik untuk penatalaksanaan efusi pleura antara lain : -
Nafcilin : merupakan penisiline sprektum luas. Digunakan untuk menghadapi S aureus yang sensitif terhadap metisilin dan merupakan terapi awal bila ada kecurigaan infeksi oleh streptokokus atau staphylococus yang resisten penisilin G. Pada infeksi yang berat, mulailah dengan terapi parenteral, lalu ganti ke oral setelah kondisinya membaik. Karena adanya resiko tromboflebitis, khususnya pada orang tua, pemberian secara parenteral hanya untuk 1-2 hari saja.
-
Oxaciline : merupakan antibiotik yang bekerja dengan menghambat sintesis dinding bakteri. Digunakan untuk mengobati infeksi akibat staphylococus yang membentuk penisilinase. Oksasiklin dapat digunakan ketika infeksi staphylococus dicurigai.
-
Vankomisin (vancocin) : dapat digunakan untuk S aureus yang resisten terhadap methicilin dan untuk S pneumoniae. Merupakan antibiotik yang potens terhadap organisme gram positif dan aktif melawan spesies enterokokus. Untuk mengindari resiko toksisitas, selalu periksa apakah ada gangguan ginjal dengan melakukan pemeriksaan klirens kreatinin.
31
-
Penisilin G aqueous (pfizerpen) Penisilin G digunakan untuk mengobati infeksi S penumoniae dan bakteri anaerob. Obat ini menggangu sintesis dinding bakteri mukopeptide selama proses multipikasi bakteri sehingga mengganggu aktifitas bakterisidal mikroorganisme.
-
Cefotaxime Merupakan sefalosporin generasi ketiga dapat digunakan untuk mengatasi S penumoniae dan infeksi H influenzae. Cetriaxone memerangkap pertumbuhan bakteri dengan berikatan pada 1 atau lebih PBP (penisiline binding protein).
-
Klindamisin Digunakan untuk mengatasi infeksi S pneumonia dan bakteri anaerob. Efektif juga untuk streptokokus aerob dan anerob. Klindamisin menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara memblok disosiasi transfer RNA dari ribosom sehingga sebabkan gangguan pada sintesis protein yang dependen RNA. Golongan obat antituberkulosis untuk mengatasi infeksi efusi pluera akibat
Tb antara lain : isoniazid, rifampin, pyrazinamide, dan streptomisin. (sharma,2018) (maher, et al., 2014)
Drainase Tube dada (chest tube drainge) Efusi yang sangat banyak dan sangat memanggu fungsi nafas pada pasien yang afebril lebih baik diberikan drainase. Konsesus BTS (british thoracic society) menganjurkan penggunaan tube dada berukuran kecil (termasuk kateter pigtail) ketika memungkinkan untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien. Ketika dikombinasikan dengan terapi fibrinolitik, penggunaan tube dada yang kecil dapat memberikan manfaat yang lebih banyak dari pada menggunakan tube dada berukuran lebih besar. Pada kebanyakan kasus, chest tube disingkirkan ketika cairan pleura nya minimal (<10-15 ml/24 jam) dan cairan peluranya jernih atau kuning.
32
Drainase Tube dada (chest tube drainge) yang dikombinasikan dengan agen fibrinolitik Bila cairan efusi menjadi semakin fibrinopurulen, tube dada sering tidak efektif karena serat fibrin dan lokulasi akan memisahkan cavitas pleura menjadi sebuah kompartmen. Oleh karena itu fibrinolitik yang diberikan dikavitas pleura mungkin akan memafasilitasi drainase dengan cara melisiskan serat fibrin dan membersihkan pori pori limfatik. Tiga agen fibrinolitik yang sering digunakan : streptokinase, urokinase, dan alteplase (atau akvitator plasminogen jaringan). Angka kesuksesan rata rata adalah sebesar 80-90% tanpa membutuhkan intervensi pembedahan. Efek samping dari agen fibrinolitik adalah ketidaknyamanan selama injeksi intrapleura, adanya pewarnaan darah transient pada cairan drainase, dan masive bleeding. Fibrinolitik sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan fistula brokopleural atau adanya gelembung pada chest tube (berati ada kebocoran udara).
Penatalaksanaan Bedah Apakah pembedahan harus dijadikan pilihan pertama atau ditunda sementara pasien diberikan terapi obat obatan juga masih belum diketahui. Anak dengan empiema dan efusi parapneumonik yang tidak membaik dengan terapi antibiotik (dengan atau tanpa pemasangan drainase) nantinya akan menjalani pembedahan. Indikasi lain dari pembedahan diantaranya sepsis persisten yang berkaitan dengan terkumpulnya cairan pleura persisten (walaupun sudah diberiikan antibiotik, drainase dada, dan fibrinolitik), empiema komplek dengan patologi paru yang signifikan, dan fistula bronkopneumoni dengan pyopneumothorax. Ada tiga pilihan pembedahan untuk tatalaksan efusi parapneumonik pada anak, diantaranya: -
VATS
-
Minithorakotom
-
Torakotomi terbuka dengan dekortikasi.
VATS VATS sebagai pilihan dalam mengobati pasien empiema dan penggunaanya semakin meluas sebagai pilihan terapi yang utama. VATS tidak terlalu invasif dari
33
pada torakotomi terbuka dan berkaitan dengan outcome pasien yang lebih baik. Penggunaan VATS berkaitan dengan durasi penggunaan analgesik yang lebih cepat, lama menetap di rumah sakit yang lebih singkat, waktu untuk menjadi normotermianya dan penggunaan tube dada yang lebih singkat. Beberapa penulis menyatakan bahwa penggunaan VATS merupakan tindakan yang aman dan efektif serta mempercepat lama rawat inap di rumah sakit pada empiema anak dan dewasa.
Gambar 12. Hasil VATS pasien dengan efusi pleura.
Mini-Thorakotomi Minitorakotomi dapat membantu proses debridemen dan evakuasi cairan efusi yang kerjanya mirip VATS, namun dengan prosedur yang terbuka (lebih invasif).
Dekortikasi Dekortikasi merupakan pembedahan thorax mayor yang membutuhkan torakotomi total. Melibatkan torakotomi terbuka postolateral dan membantu menyingkirkan semua jaringan fubrosa dari lapisan viseral pleura, dengan semua PUS di pleura dievakuasi. Pedoman BTS menyarankan bahwa dekortikasi harus dilakukan pada anak anak dengan empiema yang ekspansi parunya teretriksi dan lapisan fibrosanya sangatlah tebal dan sebabkan sepsis kronik serta demam. (tiva, zampoli, & vanker, 2015).
34
Diet dan Aktifitas Diet Pola diet harus dikonsulkan lebih dini pada pasien dengan siklothorax dan efusi pelura komplikasi serta empiema. Siklothorax mungkin dapat merespon perubahan pola diet dengan pemberian lemak yang MCT (tigliserida rantai medium), yang mana nanti efusi siklosanya akan berkurang dalam kurun waktu 2 minggu. Jika siklothoraxnya menetap, pemberian makanan via intravena selama 4-5 minggu mungkin dapat dipertimbangkan. Anak anak dengan efusi pleura komplikata dan empiema mungkin secara signifikan tampak anorexia dan membutuhkan kalori yang banyak, protein tinggi dan harus diberikan sejak dini. Tabung NGT harus dipertimbangkan pada anak anak yang masih kecil.
Aktivitas Nyeri dan penempatan tabung dada mungkin membatasi motilitas pasien. Analgesik dapat membantu pasien untuk batuk dan mengeluarkan dahak dari saluran nafasnya, khususnya bila penyebab yang mendasarinya adalah pneumonia.
II.8 Prognosis Efusi pleura transudatif, siklous, dan hemoragik sangat berespon terhadap pengobatan, dan prognosis nya indetik dengan penyebab yang mendasarinya. Efusi virus dan mikoplasma biasanya sembuh spontan, sedangkan pada kebanyakan pasien sembuh dengan cepat dari efusi parapneumonik atau empiema bila diobati dengan baik. Empiema akan berujung pada komplikasi yang fatal bila tidak segera diobati atau didrainase dini. Khususnya pada anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada kajian sistemik, avansino dkk melaporkan tingginya angka mortlitas untuk anak anak yang diobati dnegna antibiotik dan tube dada (3,3%) dibadingkan pada mereka yang diobati dengan terapi fibrinolitik, VATS, atau thokotomi. Angka kematian lebih tinggi pada anka anak berusia kurang dari 2 tahun. Kebanyakan efusi tb akan sembuh dengan sempurna bila menggunakan agen antituberkulosis dengan tepat. Penebalan pleura residual dapat terjadi pada 50% pasien. Penyebab Keganasan dapat memperburuk prognosis pasien ini, tergantung seberapa parahnya tumor. Empiema dapat sebabkan morbiditas akut
35
yang signifikan. Meskipun begitu, kematian akibat emiema pada anak yang sehat sebelumnya di negara negara industri sangatlah jarang terjadi. Angka mortalitas lebih tinggi pada anak anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada 74 anak dengan empiema pnuemokokal, 5% alami kematian, 5,5% alami sindrom uremia hemolitik, 38% alami bakterimia, dan 51% masuk ke ICU. (efrarti & barack, 2017)
II.9 Komplikasi Gagal nafas akibat banyaknya cairan, septikemia, fistula bronkopleural, penumothorax, dan penebalan pelura.
II.10 Diagnosis Banding -
Ateletaksis
-
Abses paru
-
Pneumonia pediatrik
36
DAFTAR PUSTAKA Ajudani. (2015). Pleural Effusion in Children: A Review Article and Literature Review. international journal of medical riviews, 3(1), 365-370. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/304540772 Cohen, mahani, dell, & jeffrey. (2012, November ). the long term outcomes of pediatric pleural empyema. ARCH PEDIATDIC ADOLESC MED, 166(12). Retrieved from www.archpediatric.com Efrarti, & barack. (2017, oktober ). pleural effuison in the pediatric population. article of respiratory pleural effusion in pediatric, 23(12). Retrieved from http://pedsinreview.aappublications.org/ Lynn, abrahamson, cohen, king, & parikh. (2015). BTS guidelines for the management of pleural infection in children. BTS GUIDELINE, 6. doi:0.1136/thx.2004.030676 Maher, farshi, bilan, binazar, dershki, & abdinia. (2014, august ). Evaluation and Outcomes of Pediatric Pleural Effusions in Over 10 Years in Northwest, Iran. international journal of pediatric, 2(8), 41-45. Retrieved from http:// ijp.mums.ac.ir Moore KL, Dalley AF, Agur AMR eds. Clinically Oriented Anatomy, 6th ed. Ch. 1, Thorax. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2014. p. 72–180. MS-wang. (2015). Pleural effusion adenosine deaminase is not accurate in diagnosis of pediatric tuberculous pleural effusion: a retrospective study. europian review for medical and pharmacological science, 19, 1706-1710. Sharma, G. D. (2018, april 30). medscape. Retrieved from medscape pediatric pelural
effusion:
https://emedicine.medscape.com/article/1003121-
medication#showall Tiva, zampoli, & vanker. (2015). Pleural effusion in children associated with adenovirus infection. case report of pleural effusion, 21(3), 78-85. Retrieved from
[email protected] Yuehshih, & hua-Chang. (2010, september 17). Common Etiologies of Neonatal Pleural Effusion. elsevier , 252-255. doi:10.1016/j.pedneo.2011.06.002
37