Refrat Demam.docx

  • Uploaded by: yusma
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refrat Demam.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,449
  • Pages: 27
BAB I PENDAHULUAN Manusia biasanya tinggal di lingkungan yang lebih dingin daripada suhu tubuh mereka, tetapi mereka terus menerus menghasilkan panas secara internal, yang membantu mempertahankan suhu tubuh. Produksi panas akhirnya bergantung pada oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari makanan. Perubahan suhu tubuh di kedua arah mengubah aktifitas sel dan peningkatan suhu mempercepat reaksi reaksi kimia sel, sedangkan penurunan suhu memperlambat reaksi reaksi tersebut. Karena fungsi sel sensitive terhadap fluktuasi suhu internal, manusia secara homeostasis mempertahankan suhu tubuh pada tingkat yang optimal agar metabolism sel berlangsung stabil. Panas berlebihan berakibat lebih serius daripada pendinginan. Bahkan peningkatan moderat suhu tubuh mulai menyebabkan malfungsi saraf dan denaturasi protein irreversibel.sebagian besar orang mengalami kejang ketika suhu tubuh internal mencapai sekitar 41 – 43 derajat celcius dianggap sebagai batas atas yang memungkinkan kehidupan.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Sebagai respon terhadap masuknya mikroba, sel sel fagositik tertentu mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Ketika bakteri atau parasit menginfeksi tubuh akan merespon dengan pengaktifan makrofag.beberapa senyawa kimia yang dilepaskan oleh makrofag, yaitu interleukin 1, interleukin 6 dan Tumor necrosis factor secara bersama bertindak untuk menghasilkan efek yang beragam baik secara local maupun ke seluruh tubuh, semuanya dipersiapkan untuk mempertahankan tubuh melawan infeksi atau kerusakan jaringan. Mereka memacu inflamasi dan bertanggung jawab terhadap manifestasi sistemik yang menyertai infeksi. Trio sitokin yang sama berfungsi bersama sebagai pirogen endogen yang memicu terjadinya demam (endogen berarti “dari dalam tubuh”; piro artinya “panas”; gen artinya “produksi”). Respon ini terjadi terutama jika organisme penginvasi telah menyebar kedalam darah. Pirogen endogen menyebabkan pengeluaran prostaglandin didalam hipotalamus, yaitu perantara kimiawi lokal yang ”menyalakan termostat”. Fungsi peningkatan suhu tubuh dalam melawan infeksi belum diketahui pasti. Demam merupakan manifestasi sistemik umum peradangan, mengisyaratkan bahwa peningkatan suhu memiliki peran menguntungkan yang penting dalam respon peradangan. Suhu yang lebih tinggi tampaknya meningkatkan fagositosis, meningkatkan kecepatan berbagai aktivitas peradangan dependen enzim dan menghambat perkembangbiakan bakteri dengan meningkatkan kebutuhan bakteri terhadap besi. Menyelesaikan masalah kontroversial mengenai apakah demam dapat bermanfaat merupakan hal yang sangat penting, karena luasnya pemakaian obat yang menekan demam. Meskipun demam ringan mungkin bermanfaat, tidak diragukan lagi bahwa demam yang sangat tinggi dapat membahayakan, terutama dengan merusak system saraf pusat. Anak, yang

2

mekanisme pengatur suhu nya belum sestabil seperti orang dewasa, kadang – kadang mengalami kejang ketika demam tinggi.1,2 INFEKSI ATAU PERADANGAN

MAKROFAG PIROGEN ENDOGEN

PROSTAGLANDIN  TITIK PATOKAN HIPOTALAMUS "RESPON DINGIN"  PRODUKSI PANAS,  PENGELUARAN PANAS  SUHU TUBUH = DEMAM

Hipertermia dapat terjadi tanpa infeksi, dapat ditimbulkan dengan cara berbeda seperti produksi panas berlebihan dalam kaitannya dengan peningkatan kadar hormone tiroid atau epinefrin darah masing masing akibat disfungsi kelenjar tiroid atau medulla adrenal.kedua hormone ini meningkatkan suhu inti dengan meningkatkan laju keseluruhan aktifitas metabolik dan produksi panas. Hipertermia juga dapat terjadi akibat malfungsi pusat kontrol hipotalamus. Lesi otak tertentu, misalnya, mengurangi kemampuan regulatorik normal thermostat hipotalamus. Jika mekanisme termoregulasi tidak berfungsi, dapat cepat terjadi hipertermia yang mematikan. Metabolisme normal menghasilkan cukup panas untuk mematikan seseorang dalam waktu kurang dari lima jam jika mekanisme pengeluaran panas sama sekali berhenti. Pajanan ke stress panas yang tinggi dan terus menerus juga dapat mengganggu fungsi termoregulasi hipotalamus.1,2

3

Beberapa tipe demam yang sering kita jumpai, antara lain : 1. Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik. 2. Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik. 3. Demam intermiten : pada tipe demam intermiten, suhu badan turun ke tingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana. 4. Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhuh sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia. 5. Demam siklik : pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.1,2

DEMAM BELUM TERDIAGNOSIS Adalah suatu keadaan dimana seorang pasien mengalami demam terus menerus selama 3 minggu dengan suhu badan di atas 38,3 derajat dan tetap belum ditemukan penyebabnya walaupun sudah di teliti selama satu minggu secara intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan penunjang medis lainnya. Demam ini dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu : FUO KLASIK Penderita telah diperiksa di rumah sakit atau klinik selama 3 hari berturut turut tanpa dapat ditetapkan penyebab demam. Definisi lain yang juga digunakan adalah demam 4

untuk lebih dari 3 minggu dimana telah diusahakan diagnostic non invasive maupun invasive selama 1 minggu tanpa hasil yang dapat meentapkan penyebab demam. FUO NOSOKOMIAL Penderita yang awal mula dirawat tanpa infeksi di rumah sakit dan kemudian menderita demam > 38,3 derajat dan sudah diperiksa secara intensif untuk menentukan penyebab demam tanpa hasil yang jelas. FUO NEUTROPENIK Penderita yang memiliki hitung jenis neutrofil < 500 ul dengan demam > 38,3 derajat dan sudah diusahakan pemeriksaan intensif selama 3 hari tanpa hasil yang jelas. FUO HIV Penderita HIV yang menderita demam > 38,3 derajat selama 4 minggu pada rawat jalan tanpa dapat menetukan penyebabnya atau pada penderita yang dirawat di rumahsakit yang mengalami demam selama lebih dari 3 hari dan telah dilakukan pemeriksaan tanpa hasil yang jelas. DEMAM OBAT Diperkirakan bahwa efek samping pengobatan berupa demam obat terjadi pada 3 – 5 % dari seluruh reaksi obat yang dilaporkan. Obat yang mengakibatkan demam dapat dikelompokkan menjadi; 1)obat yang sering mengakibatkan demam, 2) obat yang kadang kadang dapat mebglkibatkan demam dan 3) obat yang secara insidentil sekali dapaty mengakibatkan demam. Salah satu cirri demam obat adalah bahwa demam akan timbul tidak lama setelah pasien mulai pengobatan. Tipe demam obat dapat berupa remiten, intermiten, hektik ataupun kontinu. Demam dapat cepat menghilang bila pengobatan dihentikan dan merupakan sebuah tanda patognomonis untuk demam ini. Berbagai mekanisme dapat mendasari demam obat ini yang saling umum adalah karena reaksi imunologis. DEMAM DIBUAT BUAT Kadang seorang pasien dengan sengaja berusaha dengan berbagai cara agar suhu badan yang akan dicatat lebih tinggi daripada suhu badan sesungguhnya. Keadaan suhu badan yang sengaja dibuat tinggi ini dikenal sebagai demam faktisius. Bila 5

diduga bahwa seseorang berpura pura demam maka sewaktu dilakukan pencatatan suhu harus diawasi dengan ketat. Dalam keadaan terpaksa dapat dilakukan pengukuran suhu rutin yang biasanya tidak dapat dimanipulasi. 1,2

Demam Tifoid Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella entericaserovar typhi (S typhi). Salmonella enterica serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat me-nyebabkan infeksi yang disebut demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam tifoid..Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya. Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses.1 Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia 3-19 tahun.1 Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat 6

terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.1,2

PATOGENESIS Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa tahapan. Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler. Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah melalui sistem limfatik. Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar

ke

seluruh

tubuh

dan

berkolonisasi

dalam

organ-organ

sistem

retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier. 7

GEJALA KLINIS Setelah 7-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang ber-variasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya, rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya. Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang dewasa. Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat di-jadikan indikator demam tifoid. Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulo-papular (rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat pada dada bagian bawah dan abdo-men pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari. Sekitar 1015% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah sakit selama lebih dari 2 minggu. Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis, perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen. Bila tidak terdapat komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.

DIAGNOSIS Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan 8

pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan (limfositosis relatif ). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya eosinofil). Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada 3 prinsip, yaitu: • Isolasi bakteri • Deteksi antigen mikroba • Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien dewasa). Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi). Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibodi terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit. Pada orang yang telah sembuh, antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan. Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibodi IgM. Hasil pemeriksaan yang positif menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D. Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG. Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus akut dan kasus 9

dalam masa penyembuhan. Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi tetap harus disertai gambaran klinis sesuai yang telah dikemukakan sebelumnya.1,2

TERAPI Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat. Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotik yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim-sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi

(NARST

)

merupakan

petanda

berkurangnya

sensitivitas

terhadap

fluoroquinolone. Terapi antibiotik yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplika-si berdasarkan WHO tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1. Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten terhadap fl uo-roquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%. Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levoloxacin. Studi komparatif, acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap 10

obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan ciprofl oxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat diban-ingkan ciprofl oxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofl oxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberi-kan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efi kasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping yang minimal. Dari studi ini juga terdapat tabel perbandingan rata-rata waktu penurunan demam di antara berbagai jenis fluoroquinoloneyang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin paling cepat, yaitu 2,4 hari. Sebuah metaanalisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enterik dewasa, fluoroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan. Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gang-guan pertumbuhan dan kerusakan sendi. Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicoladalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberi-annya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO tahun 2003 dapat dilihat di tabel 2. Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan cefotaxime. Selain 11

pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik.1,2 Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.1,2

MALARIA Malaria adalah penyakit yang menyebar melalui gigitan nyamuk yang sudah terinfeksi parasit. Infeksi malaria bisa terjadi hanya dengan satu gigitan nyamuk. Jika tidak ditangani dengan benar, penyakit ini bisa menyebabkan kematian. Malaria jarang sekali menular secara langsung dari satu orang ke orang lainnya. Penyakit ini bisa menular jika terjadi kontak langsung dengan darah penderita. Janin di dalam kandungan juga bisa terinfeksi malaria karena tertular dari darah sang ibu.

Gejala klinis Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam akut (paroksismal) yang didahului oleh stadium dingin (menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada penderita non imun (berasal dari daerah non endemis). Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal, dan nyeri otot . Gejala tersebut biasanya terdapat pada orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun). Keluhan utama yang khas pada malaria disebut “trias malaria” yang terdiri dari 3 stadium yaitu : 1. Stadium menggigil Pasien merasa kedinginan yang dingin sekali, sehingga menggigil. Nadi cepat tapi lemah, bibir dan jari-jari tangan biru, kulit kering dan pucat. Biasanya pada anak didapatkan kejang. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.

12

2. Stadium puncak demam Pasien yang semula merasakan kedinginan berubah menjadi panas sekali. Suhu tubuh naik hingga 41oC sehingga menyebabkan pasien dehidrasi. Muka kemerahan, kulit kering dan panas seperti terbakar, sakit kepala makin hebat, mual dan muntah, nadi berdenyut keras.Stadium ini berlangsung 2 sampai 6 jam. 3. Stadium berkeringat Pasien berkeringat banyak sampai basah, suhu turun drastic bahkan mencapai dibawah ambang normal. Penderit a biasanya dapat tidur nyenyak

dan saat bangun merasa lemah tapi sehat. Stadium ini

berlangsung 2 sampai 4 jam.

Pemeriksaan fisik yang ditemukan lainnya yang merupakan gejala khas malaria adalah adanya splenomegali,

hepatomegali dan anemia. Anemia terjadi bisa

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : Sel darah merah yang lisis karena siklus hidup parasit Hancurnya eritrosit baik yang terinfeksi ataupun tidak di dalam limpa Hancurnya eritrosit oleh autoimun Pembentukanhemeberkurang Produksi eritrosit oleh sumsum tulang juga berkurang Fragilitas dari eritrosit meningkat

Penyebab Malaria Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu: Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi. Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak dilaporkan di Indonesia.

13

Jenis Malaria 1. Malaria Falsiparum Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala demam timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang menyebabkan kematian. 2. Malaria Vivaks Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam berulang dengan interval bebas demam 2 hari. Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang disebabkan oleh Plasmodium vivax. 3. Malaria Ovale Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi klinis biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti pada malaria vivaks. 4. Malaria Malariae Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala demam berulang dengan interval bebas demam 3 hari. 5. Malaria Knowlesi Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala demam menyerupai malaria falsiparum

Kriteria diagnosis A. Anamnesis Pada anamnesis sangat penting diperhatikan: a. Keluhan :demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau pegal-pegal. b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria. c. Riwayat berkunjung kedaerah endemis malaria. d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.

14

B. Pemeriksaan fisik a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat c. Sklera ikterik d. Pembesaran limpa (splenomegali) e. Pembesaran hati (hepatomegali) C. Pemeriksaan laboratorium a.

Pemeriksaan

dengan

mikroskop

Pemeriksaan

sediaan

darah

di

Puskesmas/rumahsakit/laboratorium klinik untuk menentukan: a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif). b) Spesies dan stadium plasmodium. c) Kepadatan parasit. b. Pemeriksaan dengan uji diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test) Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan metoda imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal kadaluarsanya. Pemeriksaan

dengan

RDT

tidak

digunakan

untuk

mengevaluasi

pengobatan.

MALARIA BERAT Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO, 2015): 1. Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3) 2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) 3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam 4. Distres pernafasan

15

5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg) 6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000) 7. Hemoglobinuria 8. Perdarahan spontan abnormal 9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%

Gambaran laboratorium : 1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%) 2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L). 3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis sedangrendah), pada dewasa Hb<7gr% atau hematokrit <15%) 4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi) 5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)6. Hemoglobinuria7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI 1) Malaria falsiparum dan Malaria vivaks Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini menggunakan ACT ditambah primakuin. Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan malaria vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum hanya diberikan pada hari pertama saja dengan dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB. Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6 bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini:

16

2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh)diberikan dengan regimen ACT yang sama tapi dosis Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari. 3) Pengobatan malaria ovale Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambah dengan Primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan untuk malaria vivaks. 4) Pengobatan malaria malariae Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin 5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum + P. vivax/P.ovale Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25 mg/kgBB/hari selama 14 hari.

17

Algoritma tatalaksana malaria

18

Algoritma malaria berat

DEMAM BERDARAH Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis, dan menjangkit luas di banyak negara di Asia Tenggara. Etiologi Disebabkan oleh virus dengue family flaviviridae genus flavivirus. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk-nyamuk sebagai berikut 1. Aedes aegypti 2. Aedes albopticus 3. Aedes scuttelaris 4. Aedes niveus 5. Aedes polynesiensis

19

Di Indonesia Aedes aegypti dan Aedes albopticus merupakan vector utama.

Patogenesis Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui gigitan. Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya seperti makrofag, monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah putih dan jaringan limfatik. Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah.di tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. 4 Nyamuk kedua akan menghisap virus yang ada di darah manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ lain yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali kepada manusia lainnya Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk kedalam tubuh manusia, virus dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limpaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus kedalam sel dengan bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.4

20

Kriteria diagnosis Bertempat tinggal di /bepergian kedaerah endemic dengue Demam disertai 2 dari hal berikut :           

Mual, muntah Ruam Sakit dan nyeri Uji torniket positif Leukopenia Nyeri perut Muntah berkepanjangan Terdapat akumulasi cairan Perdarahan mukosa Letargi, lemah Pembesaran hati> 2 cm Syok, ditandai nad icepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan

tekanan nadi( 20 mmHg), hipotensi sampai tidak terukur, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak gelisah Laboratorium 

Trombositopenia (100 000/μl atau kurang)



Adanya kebocoran plasma karena peningkatan permeabilitas kapiler, dengan manifestasi sebagai berikut:



o

Peningkatan hematokrit ≥ 20% dari nilai standar

o

Penurunan hematokrit ≥ 20%, setelah mendapat terapi cairan

o

Efusi pleura/perikardial, asites, hipoproteinemia.

Dua criteria klinis pertama ditambah satu dari criteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.4

21

Derajat Penyakit Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)

Derajat I

Derajat II

Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung. Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan

Derajat III

lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan anak tampak gelisah.

Derajat IV

Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

22

Penatalaksanaan

23

24

25

BAB III KESIMPULAN Demam merujuk kepada peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Sebagai respon terhadap masuknya mikroba, sel sel fagositik tertentu mengeluarkan suatu bahan kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat. Dari ketiga jenis penyakit diatas, dapat disimpulkan bahwa demam dapat ditemukan berbeda beda tergantung dari etiologi penyakit tersebut. Masing masing etiologi dapat menyebabkan demam yang berbeda beda mulai dari durasi, tingkat perbedaan suhu, dan siklus demam dari masing masing penyakit.

26

DAFTAR PUSTAKA

1.buku ajar Interna Publishing ilmu penyakit dalam edisi VI 2014. 2. Sherwood, Laurale., 2011 Fisiologi Manusia edisi VI,Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC 3. www.pdpersi.co.id/kanalpersi/data/elibrary/bukusaku_malaria.pdf

27

Related Documents

Refrat Fisiologi.docx
December 2019 46
Refrat Caca.docx
June 2020 28
Refrat Paru.docx
May 2020 24
Refrat Delirium
May 2020 23
Refrat Paru.docx
May 2020 25
Leptospirosis Refrat
May 2020 35

More Documents from "ginong pratitdya"