Refrat Amniosintesis.docx

  • Uploaded by: AndiTiws
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refrat Amniosintesis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,308
  • Pages: 18
MAKALAH AMNIOSENTESIS, AMNIOINFUSI DAN AMNIOREDUKSI

UNIVERSITAS ANDALAS

Oleh : dr. Wiwin Suhandri Peserta PPDS OBGIN

Pembimbing : Dr. dr. H. Defrin , SpOG(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS) OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UN IVERSITAS ANDALAS RS Dr. M. DJAMIL PADANG 2019 i

DAFTAR ISI

HALAMAN MUKA DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................3 2.1 Amniosentesis .............................................................................................3 2.1.1. Pengertian ............................................................................................3 2.1.2. Tujuan . ...............................................................................................4 2.1.3. Prosedur ..............................................................................................4 2.1.4. Pemeriksaan .......................................................................................7 2.1.5. Hasil tes ..............................................................................................8 2.1.6. Risiko .................................................................................................8 2.2 Amnioinfusi ................................................................................................11 2.2.1. Pengertian ..........................................................................................11 2.2.2. Indikasi umum . ................................................................................12 2.2.3. Kontraindikasi ..................................................................................12 2.2.4. Prosedur ...........................................................................................13 2.2.5. Komplikasi .......................................................................................14 2.3 Amnioreduksi .............................................................................................14 2.3.1. Pengertian ..........................................................................................14 2.3.2. Kontraindikasi . ................................................................................15 2.3.3. Prosedur ............................................................................................15 2.3.4. Komplikasi ......................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..18

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Banyak kasus bayi kembar siam, bayi dengan usus terburai atau tanpa tempurung kepala merupakan kasus kelainan bayi akibat tidak sempurnanya pembentukan organ sewaktu janin masih dalam kandungan ibu. Faktornya sangat kompleks mulai dari kekurangan gizi, kelainan genetik, faktor dari ibu maupun janin itu sendiri. Namun kelainan-kelainan pada bayi biasanya terlambat untuk diketahui. Bahkan meski sudah dilakukan pemeriksaan USG secara rutin, kelainan yang dialami janin masih saja ada yang tidak terdeteksi. Kini sudah ada teknologi untuk mengetahui kelainan bayi sejak dini bahkan ketika organ bayi belum terbentuk. Nama teknologi tersebut adalah pemeriksaan prenatal diagnosis terintegrasi dimana nama pemeriksaannya di sebut Amniocentesis atau pemeriksaan air ketuban untuk mengetahui kelainan kromosom pada janin. Pemeriksaan tersebut bisa dilakukan pada umur kandungan 12-14 minggu dimana pada waktu ini organ bayi bahkan belum terbentuk. Dengan pemeriksaan air ketuban ini, para ibu bisa mengetahui lebih awal apakah janinnya mengalami kelainan atau tidak. Dalam berbagai situasi obstetrik di mana kurangnya cairan ketuban dianggap sebagai masalah, infus cairan ke dalam rongga amnion merupakan hal yang sederhana dan logis, pendekatan yang telah menarik banyak perhatian beberapa tahun terakhir. Amnioinfusion adalah prosedur yang relatif baru diperkenalkan di antara teknik kedokteran janin.11 Polihidramnion didefinisikan sebagai lebih dari 2 liter cairan ketuban. Diagnosis ultrasound dilakukan baik dengan pengukuran kantong vertikal terdalam lebih dari 8 cm, atau dengan menggunakan indeks cairan ketuban (AFI) melebihi 25 cm. Komplikasi potensial dari polihidramnion adalah persalinan prematur, ketuban pecah

dini,

perubahan

perfusi

utero-plasenta,

dan

ketidaknyamanan

ibu.

Amnioreduksi telah menjadi teknik yang mapan untuk meningkatkan kenyamanan ibu dan mengurangi risiko polihidramnion berat pada kehamilan tunggal dan kembar, menurunkan kontraktilitas uterus, serta terlalu melarutkan membran dan uterus. Ini juga bertindak pada proses patologis sindrom transfusi kembar ke kembar.

1

Beberapa teknik digunakan untuk mengurangi polihidramnion bergejala. Drainase gravitasi pasif panjang, tidak memungkinkan untuk mengevakuasi cairan amnion dalam jumlah yang lebih besar dan pemantauan ibu dan janin yang terus menerus adalah sulit. Teknik syringe standar sering menjadi sumber ketidaknyamanan bagi pasien dan operator. Aspirasi yang terus-menerus lebih cepat dan membatasi ketidaknyamanan pasien.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amniosentesis 2.1.1. Pengertian Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan amniosintesis dini, yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena potensial tinggi untuk menjadi PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan pendarahan, sehingga amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than 1500 gr). Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya.1

A. Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama) Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya sama dengan teknik

amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran

ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami, amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen setelah amniosintesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi menawarkan amniosintesis sebelum 15 minggu.3

3

B. Amniosintesis Trimester Kedua Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis pranatal dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22 kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5 persen atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2 prsen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita diperiksa. Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi.3 2.1.2. Tujuan Amniosentesis.2 Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu: 1. Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan. Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap kecuali terdapat penyakit hemolitik. Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl. Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate) lebih dari atau sama dengan 15%. 2. Monitoring penyakit hemolitik. 3. Determinasi seks. 4. Diagnosis kelainan genetik. 2.1.3. Prosedur amniosentesis.6 1. Persiapkan alat dan bahan a. Kassa steril b. Cairan antiseptik c. Penutup probe steril d. Gel steril e. Jarum 20-22 G f. 2 buah vaccutainer 10 ml 4

2. Ibu hamil pada posisi horizontal 3. Lakukan evaluasi USG sebelum amniosentesis dengan meletakkan probe di perut ibu secara horizontal untuk menentukan lokasi plasenta, maximum vertical pocket (MVP), posisi janin, dan pergerakan janin. Gambar pada layar USG harus mencakup kulit perut ibu sehingga perlu dilakukan pembesaran gambar dengan menurunkan kedalaman dari pada menggunakan Zoom.

4. Persiapan : operator dan asisten menggunakan mencuci tangan dan menggunakan gaun steril. Perut ibu di bersihkan dengan cairan antiseptik seperti povidone. Probe USG dituutp dengan tutup plastik steril. 5. Prosedur amniosentesis dilakukan dengan panduan USG. Bisa dilakukan oleh 1 orang (one-operator technique) atau dibantu oleh asisten ((two-operator technique). Probe diletakkan tegak lurus di perut ibu untuk mendapatkan potongan transversal dari perut ibu. Probe dapat dimiringkan hingga 45o menjauh terhadap tempat insersi jarum.

5

6. Jarum diinsersi ke perut ibu dengan sudut 45o terhadap mid-sagital ibu, dan kontralateral dari probe ssehingga antar probe dan jarum membentuk sudut 90o. Setelah memasuki rongga amnion, insersi dihentikan setelah masuk kira-kira 2 cm sebelum mencapai dinding posterior uterus untuk mencegah kontraktur dari dinding anterior dari kesalahan pencabutan atau kesalahan peetakan jarum, dan untuk mencegah janin tertusuk.

7. Setelah jarum berada pada lokasi yang benar, pasang syringe atau vaccutainer untuk mengambil 20 ml cairan amnion. Untuk mencegah kontaminasi darah ibu 2 ml cairan amnion pertama di buang atau digunakan untuk pengukuran kadar alfa fetoprotein.

6

2.1.4. Pemeriksaan Amniosintesis Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai berikut: a. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500. Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan yang jelas. b. Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang minim intervensi, yaitu melalui USG. c. Menilai maturasi paru dengan menilai ratio lestin: spingomielin. d. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil yang cepat. e. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%. Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21 pada

7

kariotip dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome (kelainan genetik yang paling sering terjadi).1

2.1.5. Hasil Tes Amniosentesis Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat penanganan lebih serius.5

2.1.6. Resiko Amniosentesis 1. Keguguran Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan berpengalaman. Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur. Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis. Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis. 2. Infeksi Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik. Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal: a. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik. b. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga perut atau rahim. 8

c. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga perut. Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun, infeksi biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan dengan benar. 3. Cedera pada janin Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah apapun dan sembuh dengan sendirinya. 4. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna mencegah hal ini.4

2.2.Amnioinfusi 2.2.1. Pengertian Amnioinfusi adalah prosedur di mana larutan Ringer saline atau laktat normal diinfuskan ke dalam rongga uterus untuk

menggantikan cairan ketuban.

Amnioinfusion adalah prosedur yang relatif baru diperkenalkan di antara teknik kedokteran janin. Aplikasinya fokus pada dua metode yang berbeda: transervikal dan transabdominal.

Prosedur

pertama

biasanya

dilakukan

selama

"intrapartum

amnioinfusion" untuk mencegah atau mengobati deselerasi denyut jantung janin (FHR) terkait dengan oligohidramnion atau untuk mengencerkan pewarnaan mekonium tebal dari cairan ketuban. Metode terakhir yang digunakan selama "antepartum amnioinfusion" biasanya diindikasikan untuk oligohidramnion yang berat untuk menghindari komplikasi yang terkait seperti hipoplasia pulmonal, efek deformasi oligohidramnion, deselerasi FHR variabel dan perdarahan intraventrikular. Antepartum amnioinfusi, juga digunakan untuk meningkatkan visualisasi ultrasound pada oligohidramnion, kurang digunakan dibandingkan dengan intrapartum amnioinfusi, oleh karena risikonya tidak sepadan.8 9

2.2.2. Indikasi umum Amnioinfusi.9 

Deselerasi variabel berulang - Ini digunakan secara efektif pada kasus deselerasi variabel berulang yang terkait dengan kompresi tali pusat.



Cairan amnion mengandung mekonium - Amnioinfusi dilakukan untuk mengurangi insiden sindrom aspirasi mekonium (MAS) di antara bayi baru lahir dan untuk meminimalkan kasus mereka yang memiliki mekonium tepat di bawah pita suara; ini tidak efektif dalam mencegah MAS.



Oligohidramnion berat - Amnioinfusi diagnostik transabdominal membantu dalam menunjukkan pencitraan sonografi janin pada kasus oligohidramnion berat.



Gagal versi cephalic eksternal (ECV) - Rute amnioinfusi transabdominal digunakan untuk memfasilitasi ECV.



Ketuban pecah dini - Sepertiga dari kasus telah menunjukkan bahwa cairan amnion yang memadai dapat dipertahankan dengan amnioinfusi.

Efektifitas dan keamanan prosedur amnioinfusi belum pasti, sehingga sebaiknya disarankan untuk melakukan pada pengaturan klinis, di mana para profesional perawatan kesehatan khusus melakukan prosedur invasif di kedokteran janin dengan pendekatan multidisiplin tim. 2.2.3. Kontraindikasi10 

Chorioamnionitis



Polihidramnion



Hipertonus uterus



Kehamilan multipel



anomali janin



anomali uterus



Distres janin berat



Presentasi Nonvertex



PH kulit kepala janin <7,20



Gangguan placenta atau plasenta previa

10

2.2.4. Prosedur:7 1. Siapkan NaCL atau RL 1000ml dengan tabung IV dengan cara yang sama seperti untuk infus intravena. 2. Sebuah kateter tekanan intrauterin (IUPC) akan ditempatkan oleh operator 3. Tinggikan cairan 3-4 kaki di atas ujung IUPC untuk infus cepat. Masukkan 250500ml larutan selama 20-30 menit diikuti dengan infus dosis pemeliharaan 60-180ml / jam. Jumlah seluruh volume yang diinfuskan tidak boleh melebihi 1000ml kecuali seseorang memiliki akses ke ultrasound dan dapat mentitrasi ke indeks cairan amnion (AFI) 8-12 cm untuk mencegah polihidramnion dan hipertonus. 4. Jika deselerasi variabel terulang atau pola FHR yang baru tidak meyakinkan berkembang, Prosedur ini dapat diulangi jika diperlukan. 5. Tonus istirahat uterus akan meningkat selama infus tetapi seharusnya tidak meningkat> 15mmHg dari baseline sebelumnya. Jika ini terjadi, infus harus berhenti sampai kembali ke baseline sebelumnya. Peningkatan baseline selama pemberian infus adalah kontraindikasi. 6. Pantau aliran infus keluar. Jika terjadi penghentian tiba-tiba, kepala janin mungkin telah masuk pintu atas panggul (engagement), jika ini terjadi akan meningkatkan risiko polihidramnion.

11

2.2.5. Komplikasi Komplikasi

amnioinfusi

jarang

terjadi

tetapi

dapat

mencakup

iatrogenik

polihidramnion, hipertonus uterus, korioamnionitis,ruptur uteri, abrupsi plasenta, dan emboli pulmonal ibu.7

2.3.Amnioreduksi 2.3.1. Pengertian Amnioreduksi adalah Pengangkatan sejumlah besar cairan amniotik dari kantung kehamilan. Amnioreduksi dibutuhkan saat kehamilan dipersulit oleh polihidramnion. Polihidramnion adalah peningkatan jumlah cairan amnion yang dapat ditemukan pada sekitar 1% kehamilan. Karena tekanan ketuban meningkat dengan polihidramnion, kehamilan ini berisiko tinggi untuk ibu dan janin. Penyebab Polihidramnion dalam banyak kasus (sekitar 50%), penyebab pastinya tidak dapat diidentifikasi.12 

Diabetes mellitus ibu, yang menyebabkan kadar glukosa janin meningkat yang menyebabkan peningkatan output urin (urine janin merupakan sumber utama cairan ketuban).



Anomali janin yang mengganggu kemampuan janin untuk menelan cairan ketuban (seperti kelainan gastrointestinal, sumbing wajah, massa leher, fistula trakeoesofagus, hernia diafragma dan kelainan neurologis).



Kelainan kromosom seperti sindrom Down (Trisomi 21) dan sindrom Edwards (Trisomi 18).



Infeksi intrauterin.



Twin-twin transfusion syndrome (TTTS) - mempengaruhi kembar identik yang berbagi satu plasenta (kembar monokorion). Dasar pemikiran di balik amnioreduksi adalah mengembalikan volume dan tekanan

cairan ketuban normal. Pengurasan mengurangi ketidaknyamanan ibu, meningkatkan perfusi ke uterus dan plasenta, dan memperpanjang kehamilan dengan membatasi risiko persalinan prematur dan pecahnya membran.13

12

2.3.2. Kontraindikasi 13 

Gangguan pendarahan ibu atau janin



Persalinan prematur



Dugaan korioamnionitis

2.3.3. Prosedur12 1. Pendidikan dan Persetujuan Pasien Persetujuan tertulis harus diperoleh dari pasien. Ringkasan yang jelas tentang risiko, manfaat, dan alternatif harus disediakan, dan pasien harus menyuarakan pemahaman. Khususnya, risiko seperti persalinan prematur (dan persalinan), infeksi (misalnya, korioamnionitis), abrupsi plasenta (perdarahan), dan kematian janin harus dijelaskan kepada pasien. Risiko keseluruhan 1,5-3,1% dicatat dalam literatur. 2. Perencanaan Praprosedural Langkah-langkah kenyamanan subjektif rutin harus digunakan. Jika kehamilan viabel, sumber daya yang akan memungkinkan kelahiran sesar jika perlu harus segera tersedia. Persiapan ini harus mencakup menempatkan pasien pada nil per os (NPO) dan, berpotensi, pemberian kortikosteroid antenatal seperti yang ditunjukkan dan sesuai dengan pedoman standar. Ahli anestesi harus standby (untuk dukungan mulai dari sedasi intravena [IV] hingga anestesi umum). 3. Peralatan Prosedur ini dapat dilakukan secara manual atau dengan perangkat yang dibantu vakum (misalnya, tabung vakum dan botol vakum). Bahan yang diperlukan untuk amnioreduction termasuk yang berikut : 

Beberapa kontainer evakuasi 500 mL



Baki Amniosentesis



Tubing arteri berdinding keras dengan penghenti 3 arah (3 way-tap)



Wadah penampung spesimen



Jarum, biasanya 18 atau 20 gauge



Syringe, 50 mL



Duk steril



Anestesi lokal



Sarung tangan dan handuk steril



Peralatan pemantauan janin dan USG 13

4. Persiapan Pasien Sedasi ibu dengan benzodiazepin dapat mengurangi gerakan dan meningkatkan kenyamanan. Anestesi lokal (misalnya, lidocaine) disuntikkan ke kulit dan jaringan subkutan untuk mengurangi rasa sakit yang terkait dengan penyisipan jarum. Posisi pasien yang tepat dan mekanisme pengeringan akan mengurangi komplikasi. Pasien harus terlentang dalam posisi miring lateral kiri untuk mengurangi kompresi vena cava, dan bantal pendukung harus digunakan untuk meningkatkan kenyamanan ibu. 5. Ultrasonografi Penempatan jarum dipandu dengan ultrasound adalah standar untuk amnioreduction. Prosedur transplasental harus dihindari jika memungkinkan. Situs bedah dibuat dengan scrub kulit yang tepat duk steril. Biasanya, lokasi yang dipilih untuk amnioreduction adalah ventral ke janin — yaitu antara lutut dan siku. Sebelum penyisipan jarum, kaliper sonografi dapat digunakan untuk menghitung kedalaman perkiraan di mana jarum harus ditingkatkan. Praktek saat ini adalah melakukan penempatan jarum di bawah bimbingan ultrasonografi langsung, dengan jarum yang berdekatan dengan ultrasound transduser dan penutup steril (lihat gambar di bawah). Jarum diamati dalam gambar 2-dimensi yang dihasilkan oleh transduser ketika bergerak ke lokasi target.

Cairan amnion dikeluarkan dengan kecepatan 100-125 ml/menit. Volume cairan yang dikeluarkan tergantung pada operator dan kondisi klinis (misalnya aktivitas uterus maternal, posisi janin), namun secara umum dibatasi tidak melebihi 2000-2500 ml per prosedur.

14

Amnioreduksi

mungkin

berguna

pada

kehamilan

tunggal

dengan

polihidramnion. Jika sejumlah besar cairan harus dibuang, pengurangan ukuran uterus mungkin cukup untuk mengubah orientasi anatomi. Sebagai langkah prefentif dalam keadaan ini, memasukkan jarum ke arah cephalic mungkin bijaksana. Sewaktu drainase berlanjut, jarum akan diarahkan ke arah kaudal dan dengan demikian akan lebih kecil kemungkinannya untuk keluar dari rongga ketuban. Jika kehamilan viabel, tes nonstress dapat dilakukan pada saat penyelesaian amnioreduksi untuk mendokumentasikan kesejahteraan janin. Pengujian dapat terus dilakukan mingguan atau dua kali seminggu sesudahnya, termasuk profil biofisik yang sesuai, tergantung pada indikasi untuk prosedur. Jika amnioreduksi dilakukan untuk sindrom transfusi kembar-kembar (TTTS), prosedur amnioreduksi tambahan mungkin diperlukan. Dalam kasus sindrom cermin yang terkait dengan TTTS, amnioreduksi sendiri atau dengan feticide selektif dapat menyebabkan komplikasi seperti eksaserbasi anemia dan hemodilusi yang dapat menyebabkan komplikasi maternal yang parah.12 Dalam meta-analisis database Cochrane intervensi pengobatan untuk meningkatkan luaran ibu-janin pada TTTS, peneliti tidak menemukan perbedaan antara amnioreduction dan koagulasi laser endoskopi pembuluh anatomi dan antara amnioreduction dan septostomy pada keadaan berikut: kematian keseluruhan, kematian pada setidaknya satu bayi per kehamilan, atau kematian kedua bayi per kehamilan. Antara amnioreduksi dan septostomy, juga tidak ada perbedaan dalam usia kehamilan saat lahir. Dalam jangka panjang, meskipun bayi yang lebih bertahan secara neurologis utuh pada usia 6 tahun pada kelompok laser dibandingkan pada kelompok amnioreduksi, tidak ada perbedaan signifikan yang terlihat antara bayi yang bertahan hidup pada 6 tahun yang memiliki kelainan neurologis utama yang diobati dengan intervensi ini. (laser atau amnioreduksi).12 2.3.4. Komplikasi Amnioreduksi :13 a. Kontraksi b. Persalinan prematur c. Ketuban pecah dini spontan d. Abrupsi plasenta yang mungkin hadir sebagai pendarahan vagina e. Chorioamnionitis (infeksi pada selaput janin)

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Irianti, Bayu, Dkk. 2014. Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung Seto. 2. Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Fitra Maya. 3. Leven, Kenneth J, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. http://dokter.legawa.com/?p=290 (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl 16 Februari 2016 pukul 16:25 WIB) 5. http://www.infosehatkeluarga.com/amniosentesis-diagnosa-kelainan-dan-gangguankesehatan-janin-dalam-kandungan/ ((Summase, S.pd) (Diakses pada tanggal 16 Februari 2016 pukul 16:40 WIB) 6. m. cruz-Lemini, et al. 2014. How to perform an amniocentesis. Ultrasound in Obstetrics and Gynecology/ volume 44, issue 6. https://obgyn.onlinelibrary.iley.com. 7. https://anmc.org/wp-content/uploads/ANMCWomensHealthGuidelines3-13-2018/115/Amnioinfusion.pdf. Guideline and Procedure for Amnioinfusion. 8. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11424764.

[Amnioinfusion:

techniques,

indications, and controlled retrospective study of 55 cases]. Gramellini D1, Fieni S, Piantelli G, Faiola S, Kaihura C, Verrotti C, Cavallotti D, Viola P, Bacchini G, Vadora E.2000 9. https://medicalfoxx.com/amnioinfusion.html. Amnioinfusion 10. https://www.aafp.org/afp/1998/0201/p504.html.

Transcervical

Amnioinfusion.

DAVID G. WEISMILLER, M.D., SC.M 11. G. Justus Hofmeyr*, A. Metin Gulmezoglu, V. Cheryl Nikodem, Marinda de Jager. 1995.. Amnioinfusion. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 64 (1996) 159-165 12. Jenny E Halfhill, DO, Ronald Lee Thomas, MD, 2015. Amnioreduction. https://emedicine.medscape.com/article/2047080-overview 13. http://womensandinfantshealth.ca/treatments_therapies/amnio-reduction/. Amnioreduction

16

Related Documents

Refrat Fisiologi.docx
December 2019 46
Refrat Caca.docx
June 2020 28
Refrat Paru.docx
May 2020 24
Refrat Delirium
May 2020 23
Refrat Paru.docx
May 2020 25
Leptospirosis Refrat
May 2020 35

More Documents from "ginong pratitdya"

Bab1 (1)ppp.docx
November 2019 17
Bookshelf_nbk222075.pdf
November 2019 17
Px. Kehamilan.ppt
November 2019 22
Refrat Amniosintesis.docx
November 2019 23