REFLEKSI KASUS
Februari 2018
MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN APPENDISITIS PERFORASI
Disusun Oleh: Frilia Elri Botilangi N 111 17 137
Pembimbing Klinik: dr. Salsiah Hasan, Sp.An, KIC
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RUMAH
SAKIT UMUM
DAERAH
UNDATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran atau ilmu pengetahuan yang meliputi pemberian tindakan anestesi, perawatan dan terapi intensif pada pasien tertentu di ruang perawatan intensif (intensive care unit, ICU), terapi dan perawatan nyeri pada pasien dengan nyeri passcaoperasi atau pasien nyeri kanker, dan terapi inhalasi seperti pemberian gas oksigen untuk bantuan pernapasan. Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang meliputi sensasi sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif, sedangkan analgesia yaitu hilangnya sensasi sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada. Pemilihan
1
jenis anestesi sangat bergantung pada kemampuan dan
pengalaman, peralatan dan obat-obatan yang tersedia dan keadaan klinis. Selain itu, pemilihan teknik anestesi juga ditentukan oleh kondisi klinis pasien, waktu, tidakan gawat darurat, keadaan lambung. 2 Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun yang terjadi. Anestesi umum biasanya dihasilkan oleh kombinasi obat intravena dan gas yang dihirup (anestesi). "Tidur" pasien yang mengalami anestesi umum berbeda dari tidur seperti biasa. Otak yang dibius tidak merespon sinyal rasa sakit atau manipulasi bedah. 3 Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran pernapasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial. 4 Apendiks atau yang lebih dikenal masyarakat dengan istilah usus buntu, adalah salah satu organ visceral pada sistem gastrointestinal yang sering menimbulkan masalah kesehatan. Adanya peradangan pada apendiks vermiformis
disebut dengan apendisitis. Peradangan akut pada apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Peradangan pada apendiks merupakan kausa laparotomi tersering pada anak dan orang dewasa. Appendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.5 Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien appendisitis perforasi dengan tindakan laparatomi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA I.
APPENDISITIS PERFORASI Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.5 Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya obstruksi lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan pembentukan abses. Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.5 Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu7: Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia
coli
Viridans
streptococci
Pseudomonas
aeruginosa
Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species.5 Definisi dari laparotomi adalah salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan organ dalam abdomen yang mengalami masalah, misalnya kanker, pendarahan, obstruksi, dan perforasi. Laparotomi merupakan salah satu tindakan bedah abdomen yang berisiko 4,46 kali terjadinya komplikasi infeksi pasca operasi dibanding tindakan bedah II.
lainnya.5 GENERAL ANESTESI ENDOTRAKEAL
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi. Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal.6 Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan
cuff,
sehingga
ujung
distalnya
berada
kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. 7 Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut : a.
Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
c.
karbondioksida di arteri. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
d.
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk
e.
menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan.
f.
Operasi intra-torakal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan pengontrolan pernapasan dan
g.
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
h.
intestinal. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme. 3
III. CARA PEMBERIAN ANESTESI a. Premedikasi Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obatobat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik, antasida, antiautonomik, dan analgesia. 2 Pasien yang akan di operasi biasanya diberikan premedikasi karena a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas (meskipun ini tidak diperlukan pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun) b. Diberikan sedatif untuk mempermudah konduksi anestesi. c. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau dengan latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi. d. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine (dipakai atropine, yang dapat digunakan untuk aktifitas vagus dan mencegah bradikardia, khususnya pada anak-anak). e. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan diragukan, misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan antasida peroral). 2 b. Induksi Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita
dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.
2
Persiapan
induksi STATICS : S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope. T= Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed). A=Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa
hidung
faring(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas. T =Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut. I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah dimasukkan. C =Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia. S = Suction. Penyedot lendir dan ludah. Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini :
Usia
Diameter (mm)
Skala French
Jarak Sampai
Prematur Neonatus 1-6 bulan ½-1 tahun 1-4 tahun 4-6 tahun 6-8 tahun 8-10 tahun 10-12 tahun 12-14 tahun Dewasa
2,0-2,5 2,5-3,5 3,0-4,0 3,0-3,5 4,0-4,5 4,5-,50 5,0-5,5* 5,5-6,0* 6,0-6,5* 6,5-7,0 6,5-8,5
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28-30 28-30
Bibir 10 cm 11cm 11 cm 12 cm 13 cm 14 cm 15-16 cm 16-17 cm 17-18 cm 18-22 cm 20-24 cm
wanita Dewasa pria 7,5-10 32-34 *Tersedia dengan atau tanpa kaf
20-24 cm
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya hipertensi. 2 a. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit. b. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,
sufentanil
0,25-
0,5
mikrogram/kgbb,
atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb). c. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea. d. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg). e. Menggunakan anestesia topikal pada airway. 3 1) Induksi Intravena Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Jenis Induksi intravena: a) Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan
kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi. b) Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil. c) Ketamin (ketalar) Kurang
digemari
karena
sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfat atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg). d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mcg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. 2) Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur. 3) Induksi inhalasi a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida). Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan. b) Halotan (fluotan) Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah. c) Enfluran (etran, aliran) Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding halotan. d) Isofluran (foran, aeran) Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi. f) Sevofluran (ultane) Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. 9 4) Induksi perektal Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam. 3, 9 c. Rumatan Anestesi (Maintainance) Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul : a) Gerakan lengan atau kaki b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai pipa endotrakeal c) Adanya lakrimasi d) Pernafasan tidak teratur,
menahan
nafas, stridor
laryngeal,
broncospasme e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah cepat, f) tekanan darah meningkat, berkeringat Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesi. Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan. 3 8
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita. 3 Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini disebut balance anestesi.3 Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena itu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau control respiration. 3 Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa,
tetapi
pasien
ditidurkan
dengan
infuse
propofol
4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2. 3 d. Pemulihan anestesi Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi dalam darah. 2 8 Bagi
penderita
yang
mendapat
anestesi
intravena,
maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar. 2 Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan reserve, yaitu memberikan obat antikolinesterase. 2 Skor Pemulihan Pasca Anestesi Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score Nilai Warna - Merah muda, 2 - Pucat, 1 - Sianosis, 0 Pernapasan - Dapat bernapas dalam dan batuk, 2 - Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1 - Apnoea atau obstruksi, 0 Sirkulasi - Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2 - Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1 - Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0 Kesadaran - Sadar, siaga dan orientasi, 2 - Bangun namun cepat kembali tertidur, 1 - Tidak berespons, 0 Aktivitas - Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2 - Dua ekstremitas dapat digerakkan,1 - Tidak bergerak, 0 Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
BAB III LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama Jenis Kelamin Umur
B.
: : :
An. R Perempuan 7 tahun
Berat badan Tinggi Badan
: :
15 kg 110 cm
Alamat Agama Diagnosa Pra Anestesi Jenis Pembedahan
: : : :
BTN Pengawu Islam Appensisitis perforasi Laparotomy
Tanggal Operasi Jenis Anestesi
: :
01/02/2018 General Endotracheal Anesthesia (GETA)
PERSIAPAN PRE OPERASI Anamnesis Pasien masuk RS dengan keluhan nyeri pada perut kanan bawah yang dialami sejak + 5 jam SMRS. Awalnya nyeri pada daerah ulu hati kemudian pindah dan menetap di perut kanan bawah. mual (+), muntah (+) + 5 kali, demam (+), batuk (-), sesak (-) Buang air kecil lancar, Buang air besar (BAB) lancar seperti biasa.
Riwayat :
Alergi : tidak ada
Asma : tidak ada
Hipertensi : tidak ada
DM : tidak ada
Obat-obatan : tidak ada
Peny. Jantung : tidak ada
Riwayat anestesi/operasi : tidak ada
B1 (Breath) Airway
bebas,
gurgling/snoring/crowing:-/-/-,
RR:
24
x/menit,
Mallampati: I, Riwayat asma (-) alergi (-), batuk (-), sesak (-) leher pendek (-), pergerakan leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-), pernapasan vesikular (+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-) B2 (Blood) Akral hangat,TD : 110/80 mmHg, HR : 88x/menit irama reguler, CRT < 2 detik. masalah pada sistem cardiovaskuler (-). B3 (Brain) Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm, Refleks Cahaya +/+ B4 (Bladder) BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6 kali sehari , Masalah pada sistem renal/endokrin (-) B5 (Bowel) Keluhan mual (+), muntah (+). Abdomen: Inspeksi tampak cembung, kesan normal, Auskultasi peristaltik (+), kesan menurun, Palpasi nyeri tekan (+), tidak teraba massa, Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang abdomen. B6 Back & Bone
Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas deformitas (-)
Pemeriksaan penunjang Hasil
Rujukan
Satuan
HEMATOLOGI Hemoglobin
11.8
L: 14-18, P: 12-16
g/dl
Leukosit
18.1
4.000-12.000
/mm3
Eritrosit
4.1
L: 4.5-6.5 P: 3.9-5.6
Juta/ul
Hematokrit
32,4
L: 40-46 P: 35-47
%
Trombosit
434
150.000-450.000
/mm3
7.00
4-12 menit
m.det
2.30
1-4 menit
m.det
Waktu pembekuan/CT Waktu perdarahan/BT
Kesimpulan : PS. ASA II E : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang dengan status emergensi. Rencana teknik anestesi : General Endotracheal Anesthesia (GETA) C. PERSIAPAN PRE OPERATIF Di Ruangan a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 6 jam pre operasi c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm Di Kamar Operasi Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah: a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya c. Alat-alat resusitasi (STATICS) d. Obat-obat anestesia yang diperlukan. e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat dan lain-lainnya. f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya. g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang. h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse Oxymeter” i. Kartu catatan medic anestesia. Tabel Komponen STATICS S
Scope
Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
T A
Tubes Airways
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang. Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan
T I
Tapes Introducer
napas. Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut. Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak digunakan introducel
C S
Connector Suction
atau stilet. Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia. Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
D. PROSEDUR GENERAL ANESTESI
a.
Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kiri dengan cairan
b.
RL 20 tpm Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate, saturasi
c.
oksigen dan laju respirasi. Diberikan obat premedikasi yaitu Midazolam 3 mg/iv, ondancentron 4
d. e. f.
mg/iv, Fentanyl 70 µg/iv, dexamethason 5 mg/iv Diberikan obat induksi yaitu propofol 100 mg/iv Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher Memberikan oksigenasi kepada pasien melalui masker yang melekat pada
g. h.
wajah dengan aliran 5 lpm selama 3 menit Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv tunggu 3 menit. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara lembut
i.
hingga pita suara sudah terlihat Memasukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara dengan kedalaman pipa ET ±
j.
20 cm , pada pasien ini menggunakan ETT dengan ukuran 4 Mengangkat laringoskop dan mengisi balon dengan udara 10 ml. Waktu
k.
intubasi ± 20 detik. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke esofagus. Kemudian mengecek
pada
paru
kanan
dan
kiri
sambil memperhatikan
pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan pengembangan paru yang l.
simetris kiri dan kanan. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di
sebelah kanan mulut pasien. m. Maintenance selama operasi diberikan: Sevoflurans 3 vol % O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT) n. Operasi selesai, pasien bernafas spontan, adekuat dan hemodinamik stabil. Dilakukan ekstubasi dengan pasien dalam keadaan sadar o. Diberikan ketorolac 30 mg/iv p. Pasien di transfer recovery room MONITORING ANESTESI
Keterangan : = mulai anestesi = mulai operasi = selesai operasi = selesai anestesi = obat premedikasi Midazolam 3 mg/iv = obat premedikasi Ondancentron 4 mg/iv = obat premedikasi Fentanyl 70 mg/iv = obat premedikasi Dexamethason 5 mg/iv = obat induksi Propofol 100mg/iv = obat relaksan Atracurium 25 mg/iv = obat Ketorolac 30 mg/iv = cairan masuk 850 cc = cairan keluar perdarahan 510 cc + urin 150cc = 660 cc
TERAPI CAIRAN o
o
Cairan masuk : Pre operatif
: Kristaloid RL 200 cc
Durante operatif
: Kristaloid RL 650 cc
Total input cairan : 850 cc Cairan keluar : Perdarahan : kasa 4x4 (14 buah) 15 x 14 = 210 cc
Tabung suction +300 cc Urin : ± 100 cc Total output cairan : Perdarahan 510 cc, Urin± 150 cc = 660 cc E. POST OPERATIF 1. Nadi, pernapasan, aktivitas motorik. 2. Memasang O2 2 L/menit nasal kanul. 3. Analgetik. o Nadi : 88 x/menit o RR: 22 x/menit o TD: 108/68 o VAS Score: 6 Skor Pemulihan Pasca Anestesi Aldrette score Pergerakan: gerak bertujuan
2
Pernafasan: teratur
2
Warna kulit: merah muda
2
Tekanan darah: tidak menyimpang 20%2 Kesadaran: mengantuk (Somnolen)
1
Skor Aldrette
9
BAB III PEMBAHASAN Sebelum dilakukan operasi pada pasien ini telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan sebagai ASA II E karena padaini dijumpai adanya leukositosis (18.1), tetapi pasien tidak memiliki penyakit lain selain penyakit yang akan dioperasi dan tidak ada keterbatasan fungsional. Pada kasus ini jenis anestesi yang dipilih adalah anastesi umum. Anastesi umum
adalah
suatu tindakan
medis
dimana
tujuan
utamanya
adalah
menghilangkan nyeri. Bedanya dengan anestesi regional pasien tidak merasakan nyeri tapi masih sadar. Selain itu, karakteristik anastesi umum adalah reversible
yang artinya akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping dan juga dapat diprediksi lama durasinya dengan menyesuaikan dosisnya. Anastesi umum yang dipilih pada kasus ini adalah dengan intubasi. Intubasi adalah memasukkan suatu pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan napas bagian atas atau trachea. Tujuan intubasi adalah mempermudah pemberian anestesi, mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar), mempermudah pengisapan sekret dan mengatasi obstruksi laring akut. Setelah memasukan obatan obatan premedikasi, induksi dan relaksasi, dilakukan pemasangan intubasi. Pemasangan ini bertujuan untuk mempermudah pemberian anestesi, mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan, dan mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung. Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan pemberian cairan parenteral yaitu kristaloid untuk mensubtitusi, darah dan cairan yang keluar selama pembedahan. Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan intravena terdiri dari cairan kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Larutan kristaloid adalah larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan oncotic plasma dan sebagian besar ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular. Terapi cairan dimaksudkan untuk maintenence, mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-lainnya. 1. Kebutuhan cairan maintenance Pada waktu intake oral tidak ada, defisit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut: Tabel 4. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan Berat badan
Kebutuhan
10 kg pertama
4 ml/kg/jam
10-20 kg kedua
2 ml/kg/jam
masing-masing kg > 20 kg
1 ml/kg/jam
Pada kasus didapatkan berat badan pasien 15 kg sehingga kebutuhan cairan pemeliharaannya (4x10) + (2x5) = 50 ml/jam sedangkan cairan pemeliharaannya selama 1 jam 50 menit : 1,5 x 50 = 75 ml 2.
Cairan pengganti Operasi Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis laparatomy, dimana operasi
laparatomy ini merupakan operasi yang besar, sehingga perlu juga kita mengetahui cairan yang hilang berdasarkan jenis operasinya, sebagaimana rumus yang bisa kita gunakan adalah : Tabel 5. Redistribution and Evaporative Surgical Fluid Losses
Sehingga, pada pasien ini didapatkan 4-8 ml/kg = (4-8 ml) x 15 kg = 60 sampai 120 ml. Sedangkan cairan pengganti operasi selama 1 jam 50 menit adalah 1,5 x (60 – 120 ) = 90 sampai 180 ml Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan kristaloid (asering, RL) dengan perhitungan perbandingan 3:1. 3.
Cairan pengganti puasa
Lama puasa x maintenance = 6 x 75 ml = 450 ml – 300 ml (cairan yang masuk saat puasa) = 150 ml 4.
Pengganti Perdarahan Tabel 6. Volume Darah
Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah sebagai berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :
EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien : EBV = 65 ml/kg x BB kg = 65 ml/kg x 15 kg = 975 ml Jumlah perdarahan: ± 510 cc % perdarahan : 510 / 975 x 100% = 52, 30 % MABL :
MABL = 536,2 ml
Defisit darah selama 1 jam 50 menit= 510 ml sedangkan pada pasien ini tidak dilakukan transfusi darah karena kehilangan darahnya tidak mencapai MABL nya. Sehingga pada pasien ini hanya perlu diberikan cairan kristaloid sesuai dengan kebutuhan cairannya. •
Total kebutuhan cairan selama 110 menit operasi Kebutuhan cairan operasi = M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin = 75 + 450 + 120 + 150 = 795 ml
Keseimbangan cairan / Fluid Balance: Cairan masuk – Cairan keluar =
850 ml – 660 ml = 190 ml Pada akhir proses pembedahan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan melanjutkan
oksigenasi 2 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital.
Kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan karena pada pemeriksaan Aldrette Score didapatkan hasil 9 : Skor Pemulihan Pasca Anestesi Aldrette score Pergerakan: gerak bertujuan
2
Pernafasan: teratur
2
Warna kulit: merah muda
2
Tekanan darah: tidak menyimpang 20%2 Kesadaran: mengantuk (Somnolen)
1
Skor Aldrette
9
BAB V KESIMPULAN Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan : 1.
Pada kasus dilakukan operasi laparatomy pada pasien appendisitis perforasi pada anak usia 7 Tahun, dan setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status fisik ASA II dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan teknik Intubasi
2.
endotrakeal. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra
3.
operatif serta post operatif. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu cairan pemeliharaan (maintenance), cairan pengganti puasa, cairan pengganti operasi dan pengganti perdarahan. Kebutuhan cairan pemeliharannya pada kasus 75 ml/jam Cairan pengganti operasi adalah 90 – 180 ml Cairan pengganti puasa 450 ml Total kebutuhan cairan selama operasi 1 jam 50 menit adalah 795 ml Keseimbangan cairan pada kasus terdapat kelebihan cairan 190 ml
4.
Setelah menjalani operasi pasien dipindahkan ke ruang pemulihan kemudian dipindahkan ke ruang perawatan karena aldrette score 9.
DAFTAR PUSTAKA 1. Pramono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2014. 2. Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 3. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan Anestesi. Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius;2010. 4. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools. Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins. 5. Thomas G, Lahunduitan I, 2016. Angka Kejadian Appendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012-September 2015. Jurnal e-clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016 6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine. Diakses dari: http://emedicine.medcape.com 7. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 8. Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta 9. FKUI, 2012. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta