Refleksi Kasus Dr Ardi.docx

  • Uploaded by: Muhammad mukram
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refleksi Kasus Dr Ardi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,791
  • Pages: 31
REFLEKSI KASUS

FEBRUARI 2019

BURST FRACTURE VERTEBRAE THORACAL 12 KLASIFIKASI FRANKLE C

OLEH : NAMA

: DIKI PRANATAL R.S

NIM

: N 111 17 006

PEMBIMBING KLINIK dr. Muh. Ardi Munir M.Kes, Sp.OT, FICS, M.H

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU 2019

1

BAB I LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN 1.

Identitas Nama

: Tn. LA

Umur

: 30 Tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Tanggal masuk

: 2 Januari 2019

Tanggal Pemeriksaan

: 11 Januari 2019

Ruangan

: Mawar kelas 3

Alamat

: Jl. S.Parman

II. ANAMNESIS Keluhan Utama : Nyeri pada punggung Anamnesis Terpimpin : Pasien masuk Rumah sakit dengan keluhan nyeri pada punggung yang diraskan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Awalnya pasien operasi Tulang Belakanya di RS di Kalimantan pada tanggal 4 Desember 2018. Pada saat kejadian pasien tertimpa pohon yang ia tebang, pohon tersebut mengenai belakangnya, pasien sempat pingsan (+). Pasien masih dapat berkomunikasi dengan baik dan ingat kejadian, pasien mengeluh suli menggerakkan kedua kaki, tetapi dapat menggerakkan kedua tangannya.. Pasien juga mengeluh sulit menahan BAKnya dan biasa BAK keluar dengan sendirinya.. pasien tidak ada riwayat mual (-), muntah (-), demam (-), BAB (+) Biasa.

Riwayat penyakit sebelumnya: Pasien riwayat Post operasi Laminektomi di rumah sakit Tarakan Kalimantan Utara 4 Desember 2018.

2

Riwayat penyakit dalam keluarga : Tidak ada riwayat hipertensi (-), diabetes mellitus (-) atau alergi (-) dalam keluarga, tidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal serupa.

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan Pasien dulunya bekerja sebagai Penebang Pohon di Tarakan Kalimantan, pasien tinggal di rumah yang cukup bersih dan pasien menggunkan BPJS.

III. STATUS GENERALISATA Keadaan umum : Sakit Sedang Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan Darah

: 120/70 mmhg

Nadi

Pernafasan : 20x/menit

: 88x/menit

Suhu : 36,7C

IV. PEMERIKSAAN FISIK Kepala

: Normocephali

Konjungtiva : Anemis -/-, sklera ikterik -/Pupil

: isokor +/+

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening -/-

Thoraks Paru-paru Inspeksi : pergerakan simetris bilateral, tidak ada jejas

3

Palpasi

: vocal fremitus sama bilateral

Perkusi

: sonor +/+

Auskultasi

: bunyi nafas vesikuler +/+, Rh-/-, wh-/-

Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra Perkusi : redup Auskultasi : bunyi jantung S1/S2 reguler Abdomen Inspeksi

: bentuk kesan cembung

Auskultasi

: Peristaltik (+) kesan normal

Perkusi

: timpani diseluruh kuadran abdomen

Palpasi

: nyeri tekan epigastrium(-)

Ekstremitas Superior : akral hangat +/+, edema -/Inferior : akral hangat +/+, edema -/Pemeriksaan Lokalis Look : Luka bekas operasi pada tulang belakang Feel : Nyer tekan pada tulang belakang, massa (-), krepitasi (-) Move : Kelemahan pada ektremitas bawah

4

Pemeriksaan Neurologis : a. Sistem Motorik 1.

2.

Kekuatan Otot : Ekstremitas

Dextra

Sinistra

Atas

5

5

Bawah

3

3

Myotome

Spinal Level L2

Myotome Flexor panggul

+

(iliopsoas) L3

Ekstensor lutut

+

(m.quadriceps) L4

Dorsofleksi

+

pergelangan kaki (m. tibialis anterior) L5

Ekstensor jari kaki II

+

(Ekstensor halucis longus) S1

Fleksi pergelangan kaki

+

(m. gastrocnemius)

3.

Refleks a) Biceps : positif b) Triceps : positif c) Patella : Positif d) Achilles : Positif

b. Sistem Sensorik Pemeriksaan sensorik tidak mengalami gangguan

5

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium : tanggal 2/1/2019 Pemeriksaan

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

Leukosit

8,1

103/ul

4,5-13

Eritrosit

4,15

106/ul

3,8-5,2

Hemoglobin

12,4

g/dl

12,8-16,8

Hematokrit

37,1

%

35-47

Trombosit

273

103/ul

154-442

Clothing Time

-

menit

4-12

Bleeding Time

-

menit

1-4

Glucose Sewaktu

115

mg/dl

80-199

Ureum

14,3

mg/dl

18-55

Creatinin

0,77

mg/dl

0,70-1,30

Kimia klinik:

Non reaktif

Darah rutin :

HbsAg

6

2. Foto lumbosacral 10/11/2018) a. Pasien Tn.A

Kesan : Tampak fraktur Kompresi Thorakal 12

7

b. Foto Lumbosacral Normal

8

3. Foto Thorax PA 6/12/2018)

Kesan : Terpasang fiksasi internal setinggi T10-L1

9

4. CT-Scan Thoracolumbal (20/11/2018)

Kesan : fractur kompresi pada T XII

10

Kesan : burst fracture pada T XII VI. RESUME Pasien laki-laki usia 30 tahun masuk Rumah sakit dengan keluhan nyeri pada punggung yang diraskan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Paraparese (+). Post operasi laminectomy dan stabilisasi Posterior di RS di Kalimantan pada

11

tanggal 4 Desember 2018. Pada saat kejadian tertimpa kayu pada bagian punggungnya, penurunan kesadaran (+). Inkontinensia urin (+) BAB (+) Biasa. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos Mentis, tekanan darah : 120/70 mmhg, pernafasan : 20x/menit, Nadi: 88x/menit, Suhu : 36,7C. Pada pemeriksaan motorik pasien didapatkan kekuatan otot pasien pada ekstremitas atas dextra 5, sinistra 5, ekstremitas bawah dextra 3, sinistra 3. Pada pemeriksaan motorik didapatkan paraparese pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan refleks didapatkan refleks biceps, triceps, patellae, Achilles normal. Pada pemeriksaan sensorik pasien mengalami hipoastesi setinggi dermatome T 12, Refleks bulbokavernosus (+). Hasil Laboratorium (leukosit 8,1 , Eritrosit 4,15, hb 12,4. Pada pemeriksaan foto

Ct Scan Cerviko

Thoracal kesan fraktur kompresi pada level T XII VII. DIAGNOSIS AKHIR Burst Fracture Vertebrae Thoracal XII Klasifikasi Frankle C post laminectomy + Stabilisasi posterior VII. PENATALAKSANAAN a. Medikamentosa 1. Ciprofloxacin tab 2x500 mg 2. Neurodex tab 2 x 1 b. Non Operatif 1. Mobilisasi 2. Pemasangan kateter 3. Bladder Training

12

Follow up Hari/ta nggal

Subjektif Pasien

Objektif

Assesment

mengeluh TD: 120/70

Burst

Ciprofloxa

Fracture

cin

belakang

Vertebrae

2x500 mg

Thoracal XII 2.

Neurodex

Klasifikasi

tab 2 x 1

daerah R: 20x/m operasi, S: 36,7°C

BAB (+) 1x sejak 1 hari yang lalu, Kakuatan dapat

otot Frankle

tab

C

merasakan ekstremitas atas post

BAK (+).

19

1.

nyeri pada bagian N: 80x/m

bekas

11/1/20

Penanganan

:5/5

laminectomy

Ekstremitas

+ stabilisasi

bawah : 3/3

posterior

Kateter : Hematuria

(-),

warna

urin

kekuningan, tidak keruh. Produksi

urin

24 jam : +1300 cc Pada

bladder

training pasien masih

dapat

merasakan BAK (+)

13

BAB II PEMBAHASAN Pasien laki-laki usia 30 tahun masuk Rumah sakit dengan keluhan nyeri pada punggung yang diraskan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu dan memberat sejak 3 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Paraparese (+). Post operasi laminectomy dan stabilisasi Posterior di RS di Kalimantan pada tanggal 4 Desember 2018. Pada saat kejadian tertimpa kayu pada bagian punggungnya, penurunan kesadaran (+). Inkontinensia urin (+) BAB (+) Biasa. Keadaan umum sakit sedang, kesadaran compos Mentis, tekanan darah : 120/70 mmhg, pernafasan : 20x/menit, Nadi: 88x/menit, Suhu : 36,7C. Pada pemeriksaan motorik pasien didapatkan

kekuatan otot pasien pada

ekstremitas atas dextra 5, sinistra 5, ekstremitas bawah dextra 3, sinistra 3. Pada pemeriksaan motorik didapatkan paraparese pada ekstremitas bawah. Pada pemeriksaan refleks didapatkan refleks biceps, triceps, patellae, Achilles normal, Refleks bulbokavernosus (+). Hasil Laboratorium (leukosit 8,1 , Eritrosit 4,15, hb 12,4. Pada pemeriksaan foto Ct Scan Cerviko Thoracal kesan fraktur kompresi pada level T XII Vertebra dimulai dari cranium sampai pada apex coccigeus, membentuk skeleton dari leher, punggung dan bagian utama dari skeleton (tulang cranium, costa dan sternum). Fungsi vertebra yaitu melindungi medulla spinalis dan serabut syaraf, menyokong berat badan dan berperan dalam perubahan posisi tubuh. Vertebra pada orang dewasa terdiri dari 33 vertebra dengan pembagian 5 regio yaitu 7 cervical, 12 thoracal, 5 lumbal, 5 sacral, 4 coccigeal

14

Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar, annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra, di depan medula spinalis.1

Berdasarkan kestabilannya fraktur vertebra terdapat dua tipe, yaitu: 1. Cedera stabil : jika bagian yang terkenatekanan hanya bagian medulla spinalis anerior, komponen vertebra tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. 2. Cedera tidak stabil: cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek.3 Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiografi, pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri.

15

Pada pasien ini didapatkan hasil CT Scan Cervico Thorakal Didapatkan cedera pada vertebra thorakal 12 tanpa melewati ligament posterior vertebra. Manifestasi klinis berdasarkan lokasi cidera: 4 a. Antara C1 sampai C5 Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal b. Antara C5 dan C6 Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis c. Antara C6 dan C7 Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep d. Antara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan e. C8 sampai T1 Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki f. Antara T1 dan T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut g. T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut h. Cauda equina Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1 Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total

Penyebab tersering cedera torakolumbal adalah jatuh dari ketinggian serta kecelakaan lalu lintas. Jatuh dari ketinggian dapat menimbulkan patah tulang vertebra tipe kompresi. Pada kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi dan tenaga besar sering didapatkan berbagai macam kombinasi gaya, yaitu fleksi, rotasi, maupun ekstensi sehingga tipe frakturnya adalah fraktur dislokasi.6

16

Terdapat dua tipe berdasarkan kestabilannya, yaitu: -

Cedera stabil : jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis

anterior,

komponen

vertebral

tidak

bergeser

dengan

pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. -

Cedera tidak stabil : cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek. Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior).6

Pembagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut : 1. kolumna anterior yang terbentuk dari ligament longitudinal dan 2/3 bagian anterior dari corpus vertebra, diskus dan annulus vertebralis. 2. kolumna media yang terbentuk dari 1/3 bagian posterior dari corpus vertebralis, diskus dan annulus vertebralis. 3. kolumna

posterior

permukaan,

arkus

yang tulang

terbentuk posterior,

dari

pedikulus,

ligamen

sendi-sendi

interspinosa

dan

supraspinosa.7

17

Berdasarkan mekanisme cederanya, dapat dibagi menjadi: 7 1. Fraktur kompresi (Wedge fractures) Adanya kompresi pada bagian depan corpus vertebralis yang tertekan dan membentuk patahan irisan. Fraktur kompresi adalah fraktur tersering yang mempengaruhi kolumna vertebra. Fraktur ini dapat disebabkan oleh kecelakaan jatuh dari ketinggian dengan posisi terduduk ataupun mendapat pukulan di kepala, osteoporosis dan adanya metastase kanker dari tempat lain ke vertebra kemudian membuat bagian vertebra tersebut menjadi lemah dan akhirnya mudah mengalami fraktur kompresi. Vertebra dengan fraktur kompresi akan menjadi lebih pendek ukurannya daripada ukuran vertebra sebenarnya. 7

18

2. Fraktur remuk (Burst fractures) Fraktur yang terjadi ketika ada penekanan corpus vertebralis secara langsung, dan tulang menjadi hancur. Fragmen tulang berpotensi masuk ke kanalis spinalis. Terminologi fraktur ini adalah menyebarnya tepi korpus vertebralis kearah luar yang disebabkan adanya kecelakaan yang lebih berat dibanding fraktur kompresi. Tepi tulang yang menyebar atau melebar itu akan memudahkan medulla spinalis untuk cedera dan ada fragmen tulang yang mengarah ke medulla spinalis dan dapat menekan medulla spinalis dan menyebabkan paralisis atau gangguan syaraf parsial. Tipe burst fracture sering terjadi pada thoraco lumbar junction dan terjadi paralysis pada kaki dan gangguan defekasi ataupun miksi. Diagnosis burst fracture ditegakkan dengan x-rays dan CT scan untuk mengetahui letak fraktur dan menentukan apakah fraktur tersebut merupakan fraktur kompresi, burst fracture atau fraktur dislokasi. Biasanya dengan scan MRI, fraktur ini akan lebih jelas mengevaluasi trauma jaringan lunak, kerusakan ligamen dan adanya perdarahan.7

19

3. Fraktur dislokasi Terjadi ketika ada segmen vertebra berpindah dari tempatnya karena kompresi, rotasi atau tekanan. Ketiga kolumna mengalami kerusakan sehingga sangat tidak stabil, cedera ini sangat berbahaya. Terapi tergantung apakah ada atau tidaknya korda atau akar syaraf yang rusak. Kerusakan akan terjadi pada ketiga bagian kolumna vertebralis dengan kombinasi mekanisme kecelakaan yang terjadi yaitu adanya kompresi, penekanan, rotasi dan proses pengelupasan. Pengelupasan komponen akan terjadi dari posterior ke anterior dengan kerusakan parah pada ligamentum posterior, fraktur lamina, penekanan sendi facet dan akhirnya kompresi korpus vertebra anterior. Namun dapat juga terjadi dari bagian anterior ke posterior. kolumna vertebralis. Pada mekanisme rotasi akan terjadi fraktur pada prosesus transversus dan bagian bawah costa. Fraktur akan melewati lamina dan seringnya akan menyebabkan dural tears dan keluarnya serabut syaraf.7

20

Stable

Tipe fraktur

Bagian yang terkena

Wedge fractures

Hanya Anterior

Stable

Burst fractures

Anterior dan middle

Stable/Unstable

Fracture/dislocation

Anterior,

injuries

posterior

Seat belt fractures

Anterior, posterior

middle,

middle,

vs

Unstable

Unstable

Unstable

Tabel 1. Klasifikasi Fraktur Stabil dan Tidak Stabil

4. Cedera pisau lipat (Seat belt fractures) Sering terjadi pada kecelakaan mobil dengan kekuatan tinggi dan tiba-tiba mengerem sehingga membuat vertebra dalam keadaan fleksi, dislokasi fraktur sering terjadi pada thoracolumbar junction.10

21

Klasifikasi Magerl Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of failure):11 1. Type A Compressive loads 2. Type B Distraction forces 3. Type C Multidirectional forces and translation11

CEDERA MEDULLA SPINALIS Antara Vertebra Th I dan Th X Segmen korda lumbal pertama pada orang dewasa berada pada tingkat vertebra T10. Akibatnya, transeksi korda pada tingkat itu akan menghindarkan korda toraks tetapi mengisolasikan seluruh korda, lumbal dan sakral, disertai paralisis tungkai bawah dan visera. Akar toraks bagian bawah juga dapat mengalami transeksi tetapi tak banyak pengaruhnya.7

22

Di Bawah Vertebra Th X Korda membentuk suatu tonjolan kecil (konus medularis) di antara vertebra T I dan LI, dan meruncing pada ruang di antara vertebra LI dan L2. Akar saraf L2 sampai S4 muncul dari konus medularis dan beraturan turun dalam suatu kelompok (cauda equina) untuk muncul pada tingkat yang berurutan pada spina lumbosakral. Karena itu, cedera spinal di atas vertebra T10 menyebabkan transeksi korda, cedera di antara vertebra T10 dan LI dapat menyebabkan lesi korda dan lesi akar saraf, dan cedera di bawah vertebra Ll hanya menyebabkan lesi akar saraf. 7

Akar sakral mempersarafi: (1) sensasi dalam daerah "pelana", suatu jalur di sepanjang bagian belakang paha dan tungkai bawah, dan dua pertiga sebelah luar telapak kaki (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pergelangan kaki dan kaki (3) refleks anal dan penis, respons plantar dan refleks pergelangan kaki (4) pengendalian miksi.7

Akar lumbal mempersarafi: (1) sensasi pada seluruh tungkai bawah selain bagian yang dipasok oleh segmen sakral (2) tenaga motorik pada otot yang mengendalikan pinggul dan lutut (3) refleks kremaster dan refleks lutut. 7

Bila cedera tulang berada pada sambungan torakolumbal, penting untuk membedakan antara transeksi korda tanpa kerusakan akar saraf dan transeksi korda dengan kerusakan akar saraf. Pasien tanpa kerusakan akar saraf jauh lebih baik.7

Lesi Korda Lengkap Paralisis lengkap dan tidak ada sensasi di bawah tingkat cedera menunjukkan transeksi korda. Selama stadium syok spinal, bila tidak ada refleks anal

23

(tidak lebih dari 24 jam pertama) diagnosis tidak dapat ditegakkan dan jika refleks anal pulih kembali dan defisit saraf terus berlanjut, lesi korda bersifat lengkap. Setiap lesi korda lengkap yang berlangsung lebih dari 72 jam tidak akan sembuh.7 Tabel 2. Incomplete Cord Syndromes Sindrom Anterior cord

Deskripsi Lesi yang mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensitivitas terhadap nyeri, temperature namun fungsi propioseptif masih normal

Brown-Sequard

Proposeptif ipsilateral normal, motorik hilang dan kehilangan sensitivitas nyeri dan temperatur pada sisi kontralateral

Central cord

Khusus pada regio sentral, anggota gerak atas lebih lemah dibanding anggota gerak bawah

Dorsal cord

Lesi

terjadi

pada

bagian

sensori

terutama

(posterior cord)

mempengaruhi propioseptif

Conus medullaris

Cedera pada sacral cord dan nervus lumbar dengan kanalis neuralis ; arefleks pada vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Cauda equina

Cedera pada daerah lumbosacral dengan kanalis neuralis yang mengakibatkan arefleksia vesika urinaria, pencernaan dan anggota gerak bawah

Lesi Korda Tidak Lengkap Adanya sisa sensasi apapun di bagian distal cedera (uji menusukkan peniti di daerah perianal ) menunjukkan lesi tak lengkap sehingga prognosis baik. Penyembuhan dapat berlanjut sampai 6 bulan setelah cedera. Penyembuhan paling sering terjadi pada sindroma korda centra. Di bawah vertebra Th X, diskrepansi antara tingkat neurologik dan tingkat rangka adalah akibat transeksi akar yang turun dari segmen yang lebih tinggi dari lesi korda.7

24

Grading system pada cedera medulla spinalis :10 1. Klasifikasi Frankel : Grade A : motoris (-), sensoris (-) Grade B : motoris (-), sensoris (+) Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot 2 atau 3, sensoris (+) Grade D : motoris (+) dengan kekuatan otot 4, sensoris (+) Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+) 7 2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association).10 Grade

Description

A

Lengkap: tidak ada sensorik maupun motorik dibawah level defisit neurologi

B

Tidak lengkap : sensorik baik namun motorik nya menurun di bawah level defisit neurology

C

Tidak lengkap : sensorik baik dan

fungsi motorik

dibawah defisit neurology memiliki kekuatan otot dibawah 3 D

Tidak lengkap : sensorik baik namun kekuatan otot motoriknya lebih dari 3 atau sama dengan 3

E

Fungsi sensorik dan motorik normal Tabel 3. ASIA Impairment Scale 10 Terapi pada fraktur vertebra diawali dengan mengatasi nyeri dan

stabilisasi untuk mencegah kerusakan yang lebih parah lagi, semuanya tergantung dari tipe fraktur.7 Perawatan patah tulang belakang yang tidak stabil menggunakan prinsip yang sama seperti pada kondisi stabil patah tulang belakang mungkin menunjukkan hasil yang kurang menguntungkan dalam hal pengurangan fraktur, pemeliharaan reduksi dan kebocoran.9

25

Penatalaksanaan pada pada kasus fraktur vertebra dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1.

Braces dan Orthotics Ada tiga hal yang dilakukan yakni:4 a. Mempertahankan kesejajaran vertebra (aligment) b. Imobilisasi vertebra dalam masa penyembuhan c. Mengatasi rasa nyeri yang dirasakan dengan membatasi pergerakan.

Fraktur yang sifatnya stabil membutuhkan stabilisasi, sebagai contoh: brace rigid collar untuk fraktur cervical, cervical-thoracic brace untuk fraktur pada punggung bagian atas, thoracolumbal-sacral orthosis untuk fraktur punggung bagian bawah, dalam waktu 8 sampai 12 minggu brace akan terputus, umumnya fraktur pada leher yang sifatnya tidak stabil ataupun mengalami dislokasi memerlukan traksi, halo ring dan vest brace untuk mengembalikan kesejajaran.4,23

2. Medikamentosa Obat yang diberikan pada pasien cedera vertebra adalah golongan kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat menurunkan

respon

inflamasi

dengan

menekan

migrasi 26

polymorphonuclear (PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam. 4 Skema ini telah dianggap masalah banyak kontroversi. Tidak ada cukup bukti untuk mendukung kebijakan pengobatan juga tidak ada pedoman bagaimana sumsum tulang belakang pengobatan harus dilakukan. Penelitian selanjutnya telah memberikan bukti dari ketidakefektifan methylprednisolone (MP) sebagai pengobatan di dekade terakhir. Saat ini, dosis tinggi MP tidak dapat direkomendasikan sebagai perawatan standar; Namun, itu masih menjadi pilihan sampai diganti dengan terapi masa depan berdasarkan bukti klinis. Itu administrasi MP tidak disetujui sebagai standar perawatan juga tidak dianggap sebagai pengobatan yang direkomendasikan. Tes untuk efisiensi obat ini dan pengaruhnya lemah dan bisa mewakili efek karena faktor acak.8

3.

Bedah Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya dislokasi baik parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi4. Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis progresif akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan mengurangi kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit, penebalan ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan operasi segera. Terdapat 3 indikasi utama untuk melakukan tindakan

27

operasi yaitu untuk dekompresi elemen saraf, koreksi deformitas, dan stabilisasi segmen 5 Berdasarakan pada data- data tersebut diatas, maka pada pasien ini didapatkan paraparese pada kedua kaki

(frankle C) , dengan diawali

dengan adanya trauma medulla spinalis. Trauma medulla spinalis pada kasus ini diakibatkan oleh adanya kompresi pada tulang vertebrae Thorakal 12. Kompresi pada kasus ini menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis yang jenisnya adalah transeksi medulla spinalis, karena adanya gejala yang sesuai dengan lesi jenis ini yaitu hilangnya kemampuan motorik dibawah tingkat lesi, maka terjadi gangguan pada fungsi neurologis dibawah tingkat lesinya yaitu paraparese pada kedua kaki hilangnyak fungsi miksi. Pada pasien ini telah dilakukan tindakan dekompresi laminektomi dan stabilisasi posterior pada tulang spinalis. Dekompresi laminektomi adalah tindakan pembedahan dengan cara mengurangi penekanan pada lamina agar gejala yang ditimbulkan karena stenosis spinal berkurang dan tidak terjadi lagi. Ada lima tindakan dekompresi, yaitu: diskektomi (membuang diskus), flavektpmi (membuang ligamentum flavum), laminektomi (membuang sebagian atau seluruh lamina), foraminatomi (membebaskan foramen syaraf), dan facetektomi (membuang sendi facet).

28

-

Dekompresi Laminectomy

-

-

Stabilitasi Posterior

Terapi latihan yang digunakan disini adalah Jenis-jenis terapi latihan yang dipergunakan adalah (1) Breathing Exercise dengan teknik Deep breating exercise, (2) change position, (3) latihan gerak pasif, (4) latihan gerak aktif, (5)

29

transfer ambulasi, (6) bladder training. Latihan pernapasan Breathing Exercise dengan teknik Deep breating exercise bertujuan untuk meningkatkan kondisi umum serta mengatasi komplikasi paru akibat tirah baring (bed rest). Pemberian change position tiap 2 jam untuk mengatasi timbulnya decubitus. latihan gerak pasif bertujuan untuk mencegah adanya keterbatasan lingkup gerak sendi dan atrofi serta kontraktur. Untuk meningkatkan kekuatan otot angota gerak atas dengan menggunakan latihan gerak aktif. Selain itu juga diperlukan bladder training yang dilakukan untuk menjaga kontraktilitas otot detrusor. Sedangkan untuk masalah functional limitation, fisioterapi berperan dalam memberikan latihan fungsional dasar dan latihan menggunakan kursi roda. Dengan menggunakan modalitas-modalitas fisioterapi di atas diharapkan bisa mengatasi permasalahan yang timbul pada paraplegi.12

30

DAFTAR PUSTAKA 1.

Noor, Zairin. 2012. Gangguan Muskuloskeletal. Salemba Medika . Jakarta

2.

Fenstermaker RA. 2015. Acute Neurologic Management of the Patient with Spinal Cord Injury. Urologic Clinic of NorthAmerica 20:413-421.

3.

Alexander R, Proctor H. Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. 2014; 21-22.

4.

Patel Pradip R. Lecture Notes Radiologi, Edisi kedua. Jakarta : Erlangga. 2007

5.

Florian, et al. 2018. From ISNCSCI to outcomes: Exploring topics in injury and dysfunction of the spinal cord. The Journal of Spinal Cord Medicine. http://www.tandfonline.com/loi/yscm20. Viewed 16 desember 2018.

6.

De Jong. 2017. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.

7.

Melianti A. Fraktur Vertebra

Thorakolumbalis. Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara. 2012 8.

Cahueque A, Andre S Cobar A, Carlos Z, Caldera G. Management of burst fractures in the thoracolumbar spine Journal of Orthopaedics. Elsevier. 2016

9.

Eschler A, Ender SA, Schiml K, Mittlmeier T, Gradl G. Bony Healing of Unstable

Thoracolumbar

Burst

Fractures

in

the

Elderly

Using

Percutaneously Applied Titanium Mesh Cages and a Transpedicular Fixation System with Expandable Screws. Plos One Journal. 2015 10.

Sujana IBG, Mahardika IG. Trauma Vertebra. FK UNUD RSUP Sanglah: Denpasar. 2016

11.

Hanafiah H. Penatalaksanaan Trauma Spinal. Divisi Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.2007

12.

Insani TQ. Penatalaksanaan Terapi Latihan Pada Post Operasi Fraktur Kompresi Vertebra Thorakal Xii – Lumbal 1 Dengan Frankle A. Jurusan Fisioterapi Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2009.

31

Related Documents


More Documents from ""