REFLEKSI KASUS SEORANG BAYI DENGAN BBLR, HIPOGLIKEMI, SGNN, NEONATUS PRETERM, dan HIPERBILIRUBINEMIA Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Sunan Kalijaga Demak
Disusun Oleh: Septiani Ratna Hapsari 30101407323
Pembimbing: dr. Budi Nur Cahyani, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Nama
: Septiani Ratna
NIM
: 30101407323
Fakultas
: Kedokteran
Universitas
: Universitas Islam Sultan Agung ( UNISSULA )
Tingkat
: Program Pendidikan Profesi Dokter
Bagian
: Ilmu Kesehatan Anak
Judul
: Seorang Bayi Dengan BBLR, Hipoglikemi, SGNN, Neonatus Preterm, dan Hiperbilirubinemia
Demak, November 2018 Mengetahui dan Menyetujui Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Sunan Kalijaga Kab. Demak
Pembimbing,
dr. Budi Nur Cahyani, Sp.A
STATUS PASIEN
2
A.
IDENTITAS 1. IDENTITAS PASIEN a.
Nama
: By. Ny. R
b. Umur
: 0 hari
c.
: Perempuan
Jenis Kelamin
d. Tanggal dan Jam Masuk
: 6 November 2018, 01.30 WIB
e.
Ruang
: Perinatologi
f.
No. RM
: KLJG01200xxxxxx
g. No. Reg
: RG00xxxxxx
h. Status Pasien
: BPJS
2. IDENTITAS ORANG TUA i. Ayah a. Nama
: Tn. A
b. Umur
: 24 tahun
c. Pekerjaan
: Wiraswasta
d. Alamat
: Wedung tempel RT 03/3 Demak
ii. Ibu
B.
a. Nama
: Ny. R
b. Umur
: 20 tahun
c. Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
d. Alamat
: Wedung tempel RT 03/3 Demak
ANAMNESIS Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 6 November 2018 jam 16.00 WIB yang dilakukan di ruang Bougenvile RSUD Sunan Kalijaga Demak serta didukung catatan medik. 1. Keluhan Utama : Berat badan lahir rendah
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien perempuan By. Ny. R, 0 hari, dengan keluhan bayi kecil yaitu 1940 gram dan panjang badan 42 cm disertai dengan sesak. Bayi lahir spontan dari ibu G2P0A1 Hamil 34 minggu dengan Partus Prematorus Iminens, pada tanggal 5 November 3
2018 jam 22.30 WIB di bidan desa. APGAR score 9-10-10, berat badan lahir 1940 gram, panjang badan 42 cm lingkar kepala 24 cm, dan lingkar dada 25 cm, Plasenta Lengkap, terdapat meconium, BAK (+). Tidak ada kelainan bawaan dan anus (+). Riwayat ibu mempunyai penyakit berat (DM, jantung, penyakit kuning, tekanan darah tinggi, kelainan darah) tidak ada. Keadaan bayi yang kecil dengan (APGAR Score 9-10-10) maka diharuskan dirawat di ruang perawatan bayi dengan risiko tinggi.
3. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus, pneumonia, gagal napas, hipotensi/hipertensi dan alergi pada ibu disangkal. Bapak merupakan perokok aktif. 4. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan anak kedua, tinggal bersama kedua orangtua, ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta, dan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga. Ibu dan Pasien merupakan pasien BPJS. Kesan: ekonomi cukup. 5. Riwayat Pemeliharaan Prenatal Penderita lahir dari seorang ibu yang pernah melahirkan (G2P0A1) hamil 34 minggu. Anak pertama keguguran disebabkan perdarahan pada 10 bulan yang lalu. Ibu memeriksakan kandungannya secara teratur sejak usia kehamilan 4 minggu. Mulai usia kehamilan 6 bulan hingga mendekati persalinan, pemeriksaan dilakukan 1 kali tiap bulan di dokter spesialis kandungan, mendapatkan tablet besi dan calk 95 dan mendapatkan imunisasi TT. Pada minggu ke-30 dilakukan USG dengan hasil janin tunggal intrauterine, usia kehamilan, letak plasenta normal, Berat badan ibu penderita sebelum hamil 44 kg dengan tinggi badan 152 cm. Ibu makan dengan nasi, lauk dan pauk cukup, serta minum kurang lebih 1500 ml air/hari. 4
Selama hamil ibu tidak mengalami anemia ataupun perdarahan saat hami. Saat hendak memeriksakan usia kehamilan 34 minggu di bidan,ibu mengalami perutnya kenceng-kenceng terasa mulas. Saat tiba di bidan sudah bukaan 2. Ibu penderita menyangkal telah di pijat atau melakukan coitus sehingga anak kedua lahir spontan jam 22.00 pada tanggal 5/11/2018 Riwayat Pemeliharaan Postnatal Pemeliharaan postnatal dilakukan di ruang Perinatologi RSUD Sunan Kalijaga Demak.
6. Riwayat Pertumbuhan Bayi Penilaian berat badan dan usia kehamilan dengan kurva Fenton
5
Kesan: Kehamilan (34 minggu) dan berat badan bayi (1940 gram) = Sesuai Masa Kehamilan. 6
Kehamilan (34 minggu) dan panjang badan bayi (42 cm) = Sesuai Masa Kehamilan Kehamilan kurang bulan (34 minggu) dan lingkar kepala bayi (24 cm) = Kecil Masa Kehamilan
7. Riwayat Perkembangan Bayi Penilaian perkembangan bayi dengan Ballard & Dubowitz Score
Skor : 26 kehamilan 34 minggu
8. Riwayat Imunisasi : Hepatitis B : Belum dilakukan BCG : Belum dilakukan Polio : Belum dilakukan 7
DPT Campak Kesan
C.
: Belum dilakukan : Belum dilakukan : Imunisasi dasar belum lengkap
PEMERIKSAAN FISIK Tanggal 6 September 2018 jam 17.00 WIB di ruang Perinatologi Status Present JenisKelamin
: Perempuan
Usia
: 0 hari
Berat Badan
: 2000 gram
Panjang Badan
: 42 cm
Lingkar kepala
: 24 cm
Lingkar dada
: 25 cm
o Tanda Vital Nadi
: 137 x/menit, irama regular, tegangan kuat
Suhu
: 37,1ºC (aksilla)
Pernapasan
: 56 x / menit, reguler, kedalaman cukup
Saturasi
: 98% dengan Headbox 7lpm
o Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum Gerakan kurang aktif, tangisan kurang aktif, bayi tampak kecil dan sesak nafas
Kepala Sutura tidak lebar, ubun-ubun teraba, ukuran fontanela tidak lebar dan datar, rambut hitam dan distribusi merata, caput (-), sefal hematoma (-). Wajah Simetris, tampak kuning (-), penampakan sindrom down (-). Mata Jumlah 2 ditengah, strabismus (-/-), glaukoma kongenital (-/-) katarak kongenital (-/-), koloboma (-/-), sekret (-/-), epichantus tidak melebar. 8
Telinga Jumlah 2, bentuk normal, aurikel (-/-) Hidung Bentuk normal, pernafasan hidung (+), nafas cuping hidung (-), sekret (-/-) Mulut Sianosis sentral (-), Simetris, ukuran normal, labiopalatoskisis (-), ranula (-), Leher Simetris, gerakan tak terbatas, leher pendek (-), pembesaran kelenjar tyroid dan vena jugularis (-) Thorax Simetris, retraksi suprasternal (-) intercostal (+) subcostal (+),
Paru-paru Inspeksi
: Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi suprasternal (-) intercostal (+) subcostal (+),
Palpasi
: Stem fremitus kanan dan kiri sama.
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: Suara dasar : Bronkovesikuler (+), Suara tambahan : wheezing (-), ronkhi(-)
Jantung Inspeksi
: Iktus kordis tak tampak
Palpasi
: Iktus kordis teraba di sela iga ke V, linea midclavicularis sinistra, 2 cm ke medial, tidak kuat angkat, tidak melebar
Perkusi
: Tidak dilakukan
Auskultasi
: Reguler, Bunyi jantung I-II reguler , gallop (-), bising (-)
Abdomen Inspeksi
: Datar,simetris
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Supel, turgor kembali cepat, massa (-), hepar dan lien tidak teraba.
Genitalia 9
Perempuan, labia mayor (+), labia minor (+), klitoris (+), ostium vagina (+), OUE (+) labia mayor menutup klitoris dan labia minor. Anus (+) Ekstremitas Pemeriksaan
Superior
Inferior
Jari lengkap
+/+
+/+
Kelainan kongenital
-/-
-/-
Akral Dingin
-/-
-/-
Capillary refill
<2
<2
Sianosis
-/-
-/-
Lanugo
Tipis
Tipis
Ikterik
-/-
-/-
DOWNE SKOR
SKOR 1 gangguan nafas ringan Reflek Primitif
Reflek moro
: (+)
Tonic neck
: (+)
Sucking reflek : (-)
Rooting reflek : (-)
Palmar reflek : (+) 10
D.
Plantar reflek : (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu Tanggal 6 November 2018 Parameter Hasil Nilai normal Gula Sewaktu Stik 45-120 mg/dL Jam 01.30 41 mg/dl/dL Kesan : Hipoglikemi Parameter Darah Rutin Hb Ht Leukosit Trombosit
Hasil
Nilai Normal
18 gr% 44,3% 25.1 168
14 – 24 g/dL 35 - 47 % 3,6 – 11 103/ul 150 – 400 103/ul
Kesan : Leukositosis E. PROBLEM Problem aktif
F.
•
Berat badan lahir rendah
•
Sesak
•
Hipoglikemi
•
Hiperbilirubinemia
Problem pasif - Imunisasi dasar belum lengkap
DIAGNOSA KERJA o Diagnosis utama
: BBLR
o Diagnosis komorbid
: Hipoglikemi , SGNN, Neonatus Preterm,
Hiperbilirubinemia o Diagnosis komplikasi
:-
o Diagnosis sosial ekonomi
: Cukup
o Diagnosis Imunisasi
: Imunisasi belum lengkap
o Diagnosis Pertumbuhan
: Berat badan dan usia (SMK), panjang badan
dan usia (SMK), Lingkar kepala dan usia (mikrosephal) o Diagnosis Perkembangan
: Sesuai Masa Kehamilan 11
G.
TERAPI - O2 Headbox 7 lpm - Inf. D10% 8 tpm mikro - Inj. Cefotaxim 2 x 100 mg - Inj. Bolus D10% 4cc - Inj. Gentamicin 2 x 7 mg iv - Inj. Vit K 1x1 mg - Diit adlib - Fototerapi
H.
EDUKASI
Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien mengalami sesak jadi perlu diberikan alat bantu.
Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien akan dilakukan observasi untuk menilai sesak dan komplikasinya
Meminta kepada ibu pasien bahwa untuk sementara bayinya tidak boleh disusui dahulu.
I. INITIAL PLAN a. IP. Dx IP. Dx. Objektif : Foto Rontgen Thorax AP dan Analisis Gas Darah b. IP. Tx
O2 Headbox 7 lpm
Inf. D10% 8 tpm mikro
Inj. Cefotaxim 2 x 100 mg
Inj. Gentamicin 2 x 7 mg iv
Diit : adlib
Fototerapi
c. IP. Mx
Awasi Keadaan umum, kesadarn, tanda vital ( HR, RR, suhu) Monitoring hasil Laboratorium GDS Monitoring kebutuhan nutrisi tiap 2 jam
12
d. IP. EDUKASI o Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien mengalami sesak jadi perlu diberikan bantuan dengan menggunakan oksigen. o Memberitahukan kepada ibu pasien bahwa pasien akan dilakukan observasi untuk menilai sesak dan komplikasinya o Meminta ibu pasien untuk cuci tangan sebelum dan setelah memegang bayinya
J.
PROGNOSIS Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : dubia ad bonam Quo ad sanationam : dubia ad bonam
K. Progres Note
13
Nama :
Usia Perawatan H + P+
Usia Perawatan H + P+
Usia Perawatan H + P+
Nama : By. Ny. R
Usia 0 Perawatan H + 1
Usia 1 hari Perawatan H +2
Usia 2 hari Perawatan H +3
Keluhan
Sesak nafas (+)
+
+ Kuning
137 x/menit 37,1 C 56 x/menit 2000 gr Kurang aktif (+) Tangisan kurang Kuat (+) Tampak kecil (+) Napas Cuping (-) Sianosis (-) Simetris Retraksi suprasternal (-) Retraksi intercostal (+) Retraksi subcostal (+) SDV BJ 1 dan II reguler Datar,supel, BU (+)
132 x/m 36,8 C 60 x/m
Ekstremi tas
Skore Downe
TTV Nadi Suhu RR BB Kesan Umum
Hidung Mulut Thorax
Cor Abdomen
Laborat
Usia Perawata nH+ P+ Usia 3 hari Perawata nH+ 4 Kuning +
Usia Perawata nH+ P+ Usia 4 hari Perawata nH+ 5 Kuning +
Usia 5 hari Perawata nH+ 6 Kuning +
130 x/m 37,2 C 54 x/m
136 x/m 38,3 C 48 x/m
132 x/m 36,9 C 42 x/m
160 x/m 36,8 C 40 x/m
+ + +
+ + +
Cukup Cukup +
+ + +
+ + +
+ +
aktif Tangisan kuat + + +
aktif Tangisan kuat + + +
+ Datar,supel, BU (+)
+ Datar,supel, BU (+)
+ Datar,supe l, BU (+)
+ Datar,supe l, BU (+)
+ Datar,supe l, BU (+)
AD -/OE -/Sianosis -/-
-/-/-
-/-/Kramer 4
-/-/Kramer 4
-/-/Kramer 4
-/-/Kramer 4
RR : 0 Retraksi : 1 Merintih : 0 Sianosis :0 Air entry : 0 Skore : 1 Hb : 18 Ht : 44,3 Lk : 25.100 Tr : 168.000 GDS : 41
0 1 0 0 0 1
0 1 0 0 0 1 Bilirubin T : 14.60 D : 0,37 I : 14,23
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 Bilirubin T : 13.59 D : 0,62 I : 12,97
0 0 0 0 0 0
14
GDS ulang : 89 GDS ulang : 55 GDS ulang : 73 Diagnosis
BBLR Hipoglikemi SGNN N.Preterm
BBLR Hipoglikem i SGNN N.Preterm
Terapi
Inf. D 10% 8 tpm O2 HB 7lpm Inj vit K 1x1 mg Inj cefotaxim 2x100mg Inj. Bolus D10% 4cc
+ + + Inj. Genta 2x7 mg Adlib
Diit
Nama : By. Ny. R
Nama : By. Ny. R Keluhan TTV Nadi Suhu RR Kesan Umum
Hidung Mulut
BBLR Hipoglikem ia SGNN, , N.Preterm Hiperbilirub inemia + O2 nasal 2lpm + + Fototerapi +
+ Hiperbilir ubinemia
+ Hiperbilir ubinemia
+ Hiperbilir ubinemia
+ aff + + +
+ + + +
+ + + +
Oral
Oral
Netek
Usia 0 Perawatan H + 1 Usia 6 hari Perawatan H + 7 Kuning (+) 152 x/menit 36,7 C 40 x/menit Cukup aktif (+) Tangisan Cukup Kuat (+) Tampak kecil (+) Napas Cuping dbn Sianosis (-)
15
Thorax
Cor Abdomen
Simetris Retraksi suprasternal (-) Retraksi intercostal (-) Retraksi subcostal (-) SDV +/+ BJ 1 dan II reguler Datar,supel, BU (+)
Ekstremit AD -/OE -/as Sianosis -/Kramer 4 Skore Downe
Laborat
Diagnosis
Terapi
Diit
RR : 0 Retraksi : 0 Merintih : 0 Sianosis :0 Air entry : 0 Skore : 0 Bilirubin T : 12.61 D : 0.70 I : 11.91 TSH : 2.13 FT4 : 14.82
BBLR Hipoglikemi SGNN N.preterm Hiperbilirubinemia Inf. D 5% 6 tpm Inj. Cefotaxime 2x100 mg Inj. Gentamicin 2x7 mg Fototerapi Netek
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BAYI BERAT LAHIR RENDAH DAN SANGAT RENDAH Definisi Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (< 37 minggu) atau pada bayi cukup bulan (intrauterine growth restriction) (Pudjiadi, dkk., 2010). Klasifikasi Ada beberapa cara dalam mengelompokkan BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) : a. Menurut harapan hidupnya 1) Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan berat lahir 1500-2500 gram. 2) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) dengan berat lahir 1000-1500 gram. 3) Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER) dengan berat lahir kurang dari 1000 gram. b. Menurut masa gestasinya 1) Prematuritas murni yaitu masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk masa kehamilan (NKB-SMK). 2) Dismaturitas yaitu bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa gestasi itu. Bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan merupakan bayi kecil untuk masa kehamilannya (KMK).
Faktor Penyebab Beberapa penyebab dari bayi dengan berat badan lahir rendah (Proverawati dan Ismawati, 2010). a. Faktor ibu 1) Penyakit a) Mengalami komplikasi kehamilan, seperti anemia, perdarahan antepartum, preekelamsi berat, eklamsia, infeksi kandung kemih. b) Menderita penyakit seperti malaria, infeksi menular seksual, hipertensi, HIV/AIDS, TORCH, penyakit jantung. c) Penyalahgunaan obat, merokok, konsumsi alkohol. 2) Ibu
17
a) Angka kejadian prematitas tertinggi adalah kehamilan pada usia < 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. b) Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun). c) Mempunyai riwayat BBLR sebelumnya. 3) Keadaan sosial ekonomi a) Kejadian tertinggi pada golongan sosial ekonomi rendah. Hal ini dikarenakan keadaan gizi dan pengawasan antenatal yang kurang. b) Aktivitas fisik yang berlebihan c) Perkawinan yang tidak sah b. Faktor janin Faktor janin meliputi : kelainan kromosom, infeksi janin kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan), gawat janin, dan kehamilan kembar. c. Faktor plasenta Faktor plasenta disebabkan oleh : hidramnion, plasenta previa, solutio plasenta, sindrom tranfusi bayi kembar (sindrom parabiotik), ketuban pecah dini. d. Faktor lingkungan Lingkungan yang berpengaruh antara lain : tempat tinggal di dataran tinggi, terkena radiasi, serta terpapar zat beracun.
Permasalahan pada BBLR BBLR memerlukan perawatan khusus karena mempunyai permasalahan yang banyak sekali pada sistem tubuhnya disebabkan kondisi tubuh yang belum stabil (Surasmi, dkk., 2002). a. Ketidakstabilan suhu tubuh Dalam kandungan ibu, bayi berada pada suhu lingkungan 36°C- 37°C dan segera setelah lahir bayi dihadapkan pada suhu lingkungan yang umumnya lebih rendah. Perbedaan suhu ini memberi pengaruh pada kehilangan panas tubuh bayi. Hipotermia juga terjadi karena kemampuan untuk mempertahankan panas dan kesanggupan menambah produksi panas sangat
terbatas
karena
pertumbuhan
otot-otot
yang
belum
cukup
memadai,
ketidakmampuan untuk menggigil, sedikitnya lemak subkutan, produksi panas berkurang akibat lemak coklat yang tidak memadai, belum matangnya sistem saraf pengatur suhu tubuh, rasio luas permukaan tubuh relatif lebih besar dibanding berat badan sehingga mudah kehilangan panas. b. Gangguan pernafasan 18
Akibat dari defisiensi surfaktan paru, toraks yang lunak dan otot respirasi yang lemah sehingga mudah terjadi periodik apneu. Disamping itu lemahnya reflek batuk, hisap, dan menelan dapat mengakibatkan resiko terjadinya aspirasi. c. Imaturitas imunologis Pada bayi kurang bulan tidak mengalami transfer IgG maternal melalui plasenta selama trimester ketiga kehamilan karena pemindahan substansi kekebalan dari ibu ke janin terjadi pada minggu terakhir masa kehamilan. Akibatnya, fagositosis dan pembentukan antibodi menjadi terganggu. Selain itu kulit dan selaput lendir membran tidak memiliki perlindungan seperti bayi cukup bulan sehingga bayi mudah menderita infeksi. d. Masalah gastrointestinal dan nutrisi Lemahnya reflek menghisap dan menelan, motilitas usus yang menurun, lambatnya pengosongan lambung, absorbsi vitamin yang larut dalam lemak berkurang, defisiensi enzim laktase pada jonjot usus, menurunnya cadangan kalsium, fosfor, protein, dan zat besi dalam tubuh, meningkatnya resiko NEC (Necrotizing Enterocolitis). Hal ini menyebabkan nutrisi yang tidak adekuat dan penurunan berat badan bayi. e. Imaturitas hati Adanya
gangguan
konjugasi
dan
ekskresi
bilirubin
menyebabkan
timbulnya
hiperbilirubin, defisiensi vitamin K sehingga mudah terjadi perdarahan. Kurangnya enzim glukoronil transferase sehingga konjugasi bilirubin direk belum sempurna dan kadar albumin darah yang berperan dalam transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar berkurang. f. Hipoglikemi Kecepatan glukosa yang diambil janin tergantung dari kadar gula darah ibu karena terputusnya hubungan plasenta dan janin menyebabkan terhentinya pemberian glukosa. Bayi berat lahir rendah dapat mempertahankan kadar gula darah selama 72 jam pertama dalam kadar 40 mg/dl. Hal ini disebabkan cadangan glikogen yang belum mencukupi. Keadaan hipotermi juga dapat menyebabkan hipoglikemi karena stress dingin akan direspon bayi dengan melepaskan noreepinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi paru. Efektifitas ventilasi paru menurun sehingga kadar oksigen darah berkurang. Hal ini menghambat metabolisme glukosa dan menimbulkan glikolisis anaerob yang berakibat pada penghilangan glikogen lebih banyak sehingga terjadi hipoglikemi. Nutrisi yang tak adekuat dapat menyebabkan pemasukan kalori yang rendah juga dapat memicu timbulnya hipoglikemi. 19
Diagnosis Anamnesis
Umur ibu
Hari pertama haid terakhir
Riwayat persalinan sebelumnya
Paritas, jarak lahir sebelumnya
Kenaikan berat badan selama hamil
Aktivitas, penyakit yang diderita, dan obat yang diminum selama hamil
Pemeriksaan fisik
Berat badan <2500 gram
Tanda prematuritas (bila bayi kurang bulan)
Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil untuk masa kehamilan )
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan skor ballard
Tes kocok dianjurkan untuk bayi kurang bulan
Darah rutin, glukosa darah
Bila perlu, dan fasilitas tersedia, diperiksa kadar elektrolit dan analisis gas darah
Foto rontgen diperlukan pada bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang bulan dan mengalami sindrom gangguan napas
USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan <35 minggu dimulai pada umur 3 hari dan dilanjutkan sesuai hasil yang didapat.
Tata Laksana Pemberian vitamin K1
Injeksi 1 mg IM sekali pemberian ; atau
Per oral 2 mg 3 kali pemberian (saat lahir, umur 3-10 hari dan umur 4-6 minggu).
Mempertahankan suhu tubuh normal Gunakan salahs atu cara menghangatkan dan mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit ke kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang tersedia di fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan dingin Ukur suhu tubuh sesuai jadwal 20
Pemberian minum Asi merupakan pilihan utama Apabila bayimendapat asi, pastikan bayi menerima jumlah yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara pemberian asi dan nilai kemampuan bayi menghisap paling kurang sehari sekali Apabila bayi sudah tidak mendapatkan cairan IV dan beratnya naik 20g/hari selama 3 hari berturut turut, timbang bayi 2 kali seminggu Pemberian minum minimal 8x/hari. Apabila bayi masih menginginkan dapat diberikan lagi (ad libitum) Indikasi nutrisi parenteral yaitu status kardiovaskular dan respirasi yang tidak stabil, fungsi usus belum berfungsi/terdapat anomali mayor saluran cerna. NEC, IUGR berat, dan berat lahir <1000g. Pada bayi sakit, pemberian minum tidak perlu dengan segera ditingkatkan selama tidak ditemukan tanda dehidrasi dan kadar natrium serta glukosa normal.
Panduan pemberian minum berdasarkan BB : a. Berat lahir <1000 g
Minum melalui pipa lambung
Pemberian minum awal <10 mL/kg/hari
Asi perah
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik : tambahan 0,5-1 mL, interval 1 jam setiap >24 jam
Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000g
b. Berat lahir 1000-1500 g
Pemberian minum melalui pipa lambung
Pemberian minum awal < 10 mL/kg/hari
Asi perah
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik: tambahan 1-2ml, interval 2 jam setiap >24 jam
Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000 g
c. Berat lahir 1500-2000 g
Pemberian minum melalui pipa lambung 21
Pemberian minum awal <10 mL/kg/hari
Asi perah
Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik : tambahan 2-4 ml, interval 3 jam setiap 12-24 jam
Setelah 2 minggu : asi perah + HMF sampai berat badan mencapai 2000 g
d. Berat lahir 2000-2500 g
Apabila mampu sebaiknya diberikan minum per oral
Asi perah
Bayi sakit : Pemberian minum awal <10ml/kghari Selanjutnya minum ditingkatkan jika memberikan toleransi yang baik, tambahan 3-5 mL, interval 3 jam, setiap >8 jam
2.2 HIPOGLIKEMIA Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang paling sering ditemukan pada neonatus dan anak. Srinivasan dkk menyatakan yang disebut hipoglemia pada bayi cukup bulan apabila kadar glukosa < 35mg/dl pada umur 0-3jam, <40mg/dl pada umur 3-24 jam. Sementara pada neonatus, hipoglikemia adalah kondisi dimana glukosa plasma kurang dari 30 mg/dL pada 24 jam pertama kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL setelahnya (Cranmer, 2013). Insidensi Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi diestimasikan sebanya 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, 8% neonatus BMK umumnya berasal dari ibu diabetik (IDM) dan 15% bayi preterm dan bayi IUGR dilaporkan mengalami hipoglikemia; insidensi pada seluruh populasi risiko tinggi diperkirakan sebesar 30%. (McGowen, 2003).
22
Kesuluruhan insidensi hipoglikemia simtomatis pada neonatus bervariasi, antara 1.33 kejadian dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi tersebut bervariasi tergantung dengan definisi yang digunakan, populasi, metode, dan waktu pemberian asuan, dan tipe penilaian glukosa. Insidensi hipoglikemia meningkat pada kelompok neonatus risiko tinggi. Pemberian asupan nutrisi lebih awal dapat menurunkan insidensi hipoglikemia. Kelainan metabolisme yang dapat mengakibatkan hipoglikemia pada neonatus jarang ditemui, tetapi dapat dideteksi sejak masa neonatus. Insidensi dari kondisi-kondisi ini adalah :
Carbohydrate metabolism disorders (>1:10,000)
Fatty acid oxidation disorders (1:10,000)
Hereditary fructose intolerance (1:20,000 to 1:50,000)
Glycogen storage diseases (1:25,000)
Galactosemia (1:40,000)
Organic acidemias (1:50,000)
Phosphoenolpyruvate carboxykinase deficiency (rare)
Primary lactic acidosis (rare)
Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% neonatus yang masuk ke NICU, penyebabnya adalah apnea atau hipoglikemia pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan 35-36 minggu (Cranmer, 2013).
Manifestasi Klinis
Walaupun hipoglikemia sering diklasifikasikan dalam simtomasis dan asimtomatis, penggolongan tersebut sebenarnya merefleksikan ada atau tidaknya tanda-tanda fisik yang menyertai kadar glukosa darah yang rendah. Berbagai tanda dapat terlihat pada kasus hipoglikemia berat atau berkepanjangan dan pada bayi yang mengalami hipoglikemia ringan 23
sampai sedang yang berkepanjangan serta pada bayi yang mengalami stres fisiologis. Tandatanda klinis yang ditemukan merupakan tanda nonspesifik dan merupakan akibat dari gangguan pada lebih dari satu aspek fungsi sistem saraf pusat. Meliputi pola pernapasan abnormal, seperti takipnea, apnea, atau distress napas; tanda-tanda kardiovaskuler, seperti takikardia atau bradikardia, dan manifestasi neurologis seperti jitteriness, letargis, kemampuan mengisap yang lemah, instabilitas suhu tubuh, dan kejang. Banyak dari tandatanda tersebut merupakan akibat dari gangguan neonatus yang lain, seperti sepsis, hypokalemia, dan pendarahan intracranial. Hipoglikemia harus dipertimbangkan pada bayi yang menunjukkan satu atau lebih dari gejala-gejala tersebut, karena hipoglikemia yang tak segera diatasi dapat mengakibatkan konsekuensi serius, dan penatalaksanaan hipoglikemia pun cepat, relatif mudah, dan memiliki efek samping minimal. Tetapi, pada standar penatalaksanaan neonatus yang ada saat ini, sebagian besar kasus hipiglikemia terdiagnosis selama pemeriksaan rutin pada bayi yang dipertimbangkan berisiko namun dalam evaluasi tampak normal secara fisiologis (McGowen, 2003). Lucile Packard Children’s Hospital, 2013, memaparkan bahwa tanda-tanda hipoglikemia pada neonatus meliputi :
jitteriness
cyanosis (blue coloring)
apnea (stopping breathing)
hypothermia (low body temperature)
poor body tone
poor feeding
lethargy
seizures 24
Etiologi Penyebab hipoglikemia pada neonatus, meliputi : 1.
Persistent Hyperinsulinemic Hypoglicemia of Infancy.
2.
Penyimpanan glikogen yang terbatas ( misalnya pada prematur dan IUGR)
3.
Peningkatan penggunaan glukosa ( seperti pada kasus hipotermia, polisitemia, sepsis,
defisiensi hormon pertumbuhan ). 4.
Penurunan glikogenolisis, gluokoneogenesis, atau penggunaan substrat alternatif (
misalnya pada gangguan metabolisme dan insufisiensi adrenal). 5.
Penurunan penyimpanan glikogen ( seperti pada stress akibat asfiksia perinatal, dan
starvation). Pada hipoglikemia ketotik, penyimpanan glikogen mudah berkurang, dan dikombinasi dengan produksi glukosa melalui gluconeogenesis yang tidak adekuat, berakibat pada terjadinya hipoglikemia. Jadi, oksigenasi asam lemak diperlukan dalam menyediakan substrat untuk gluconeogenesis dan ketogenesis. Keton, yang merupakan hasil samping dari metabolisme asam lemak, diekskresikan melalui urin dan menunjukkan kondisi kelaparan (starved state) (Cranmer, 2013). Patogenesis 1. Prematuritas dan IUGR Penyebab hipoglikemia pada neonatus dapat dikategorikan berdasarkan gangguan yang menyertai pada satu atau lebih proses yang diperlukan untuk produksi glukosa hepatic normal. Penyimpanan glikogen hepatik jumlahnya terbatas baik pada bayi preterm yang belum mengalami periode akumulasi glikogen cepat selama masa akhir gestasi, dan bayi kecil 25
masa kehamilan (KMK/SGA) yang belum memiliki suplai persediaan substrat yang adekuat untuk sintesis glikogen, yang akan berakibat pada timbulnya risiko hipoglikemia. IUGR yang disebabkan oleh insufisiensi plasenta dengan ukuran lingkar kepala bayi yang normal menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa pada bayi yang sudah dalam kondisi penyimpanan glikogen rendah karena tingginya brain-to-bidyweight ratio. Bayi postterm dan gestasi ganda juga berisiko hipoglikemia karena adanya insufisiensi plasenta relatif. Penelitian yang dilakukan pada kelompok bayi preterm dan IUGR menemukan adanya perubahan pola sekresi insulin, metabolisme substrat, dan respons hormonal terhadap perubahan konsentrasi glukosa darah dibandingkan dengan bayi yang sesuai masa kehamilan (SMK/AGA) (McGowen, 2003). Bayi yang mengalami stress perinatal karena asfiksia atau hipotermia atau mengalami peningkatan kerja otot pernapasan disebabkan oleh distress napas mungkin memiliki penyimpanan glikogen normal, tetapi jumpah glikogen yang tersedia tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan tinggi dengan adanya tingkat penggunaan glukosa yang lebih tinggi dari normal. Hipoglikemia dapat terjadi pada bayi dalam kondisi ini ketika glikogen yang tersedia telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan metabolik postnatal inisial, terutama jika telah ada periode hipoksemia dengan disertai konsumsi glukosa cepat melalui metabolisme anaerob(McGowen, 2003). Konsentrasi precursor gluconeogenesis yang tidak adekuat umumnya tidak menjadi faktor yang membatasi produksi glukosa hepatik pada neonatus karena bayi preterm memiliki persediaan asam lemak, gliserol, asam amino, laktat, dan piruvat cukup. Selain itu, produksi badan keton secara relatif berkurang pada respon tehadap hipoglikemia. Bayi aterm dapat mengalami penurunan rilis badan keton ketika glukosa dalam darh menurun. akibatnya, kontribusi gluconeogenesis pada produksi gula hepatik terbatas pada beberapa neonatus (McGowen, 2003). 26
2. Bayi dari Ibu Diabetik (Infants of Diabetic Mother) Beberapa kelompok bayi
memiliki risiko tinggi untuk mengalami hipoglikemia
karena adanya perubahan pada fungsi enzim hepatik sehingga mengganggu glikogenolisis, gluconeogenesis, atau keduanya. Fungsi hepatik dapat dipengaruhi oleh sejumlah gangguan endokrin dan metabolik, yang paling umum terjadi adalah hiperinsulinisme. IDM memiliki sekresi insulin pancreas yang tinggi karena paparan glukosa maternal dalam konsentrasi tinggi selama di dalam uterus. Transportasi glukosa plasenta meningkat, berakibat pada hiperglikemia janin, yang pada akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin oleh pancreas janin. Sekeresi insulin pancreas pada IDM jaug lebih tinggi dibandingkan dengan nonIDM. Perubahan-perubahan yang diinduksi oleh diabetes pada metabolisme maternal, seperti perubahan pada asam amino serum, berperan pada perubahan metabolik yang terjadi pada IDM . Setelah lahir, konsentrasi glukosa darah yang tinggi sudah tidak ada, tetapi kondisi hiperinsulinemia menetap, sehingga mengakibatkan rasio insulin:glucagon tinggi pada postnatal. Akibatnya, glikogenolisis dan lipolysis terhambat, enzim glukoneogenik tidak terinduksi, dan glukosa hepatik tetap pada kadar yang rendah dalam kondisi glukosa darah yang rendah. Insulin juga meningkatkan penggunaan glukosa perifer pada jaringa-jaringan sensitif insulin, seperti otot rangka, yang berkontribusi pada penurunan glukosa secara cepat. Kombinasi efek dari peningkatan penggunaan glukosa dan terbatasnya produksi glukosa hepatik mengakibatkan hipoglikemia, yang dapat menetap selama 24-72 jam sebelum pola sekresi insulin ternormalisasi (McGowen, 2003). 3. Eritroblastosis Fetalis dan Agen Tokolitik Beta Agonis Walaupun ibu diabetes merupakan penyebab utama hiperinsulin pada neonatus, sekresi insulin postnatal dapat menjadi abnormal karena penyakit-penyakit lainnya. Bayi yang 27
menderita eritroblastosis fetalis memiliki kadar insulin yang tinggi dan jumlah sel betapankreas yang banyak. Mekanisme terjadinya hal ini masih belum jelas, tetapi salah satu hipotesis menjelaskan bahwa glutation yang dirilis dari sel darah merah terhemolisis akan mengaktivasi insulin dalam sirkulasi, dan kemudian memicu sekresi insulin serta upregulation sel beta. Transfusi tukar dapat mengeksaserbasi masalah karena darah yang ditransfusikan biasanya diawetkan dengan kombinasi dekstrosa dan agen lain. Selama transfusi tukar, bayi mendapatkan tambahan glukosa yang signifikan, dengan respon insulin berlebih dari pancreas yang hyperplasia. Di akhir transfusi tukar, laju pemberian glukosa dikembalikan pada keadaan normal, (baseline) tetapi kadar insulin tetap tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya hipoglikemia (McGowen, 2003). Penggunaan agen tokolitik beta agonis seperti terbutalin juga menyebabkan hiperinsulinemia pada neonatus, terutama jika agen tersebut digunakan selama lebih dari 2 minggu dan dihentikan pada waktu kurang dari 1 minggu sebelum persalinan. Neonatus yang berada dalam kondisi ini akan memiliki penyimpanan glikogen rendah, yang akan menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia serta efek-efek yang timbul karena rendahnya kadar glukosa (McGowen, 2003). 4. Hiperinsulinisme Hipoglikemia yang menetap lebih dari 5-7 hari jarang terjadi dan paling sering disebabkan oleh hiperinsulinisme. Beberpa neonatus yang IUGR atau asfiksia akan mengalami hiperinsulinemia yang menetap selama 4 minggu, tetapi kasus seprti ini relatif jarang terjadi. Beberapa tipe hiperinsulinisme kongenital disebutkan merupakan penyebab utama hipoglikemia yang menetap sampai melebihi 1 minggu pertama kehidupan. Bentuk autosomal resesif dari hiperinsulinisme kongenital dihubungkan pada adanya defek reseptor sulfonylurea atau kanal K+-ATP. Sebuah mutasi pada lengan pendek 28
kromosom 11 banyak terjadi populasi Yahudi Ashkenazi, tetapi kasus yang sama pada kelompok etnis yang lain juga dilaporkan disertai oleh adanya mutasi pada lokasi yang sama. Telah dilaporkan juga adanya bentuk autosomal dominan dari hiperinsulinisme. Mutasi yang menyebabkan terjadinya bentuk autosomal dominan dari hiperinsulinisme belum dapat diidentifikasi, tetapi kelainan ini berbeda dengan bentuk autosomal resesif yang dicurigai merupakan akibat dari abnormalitas fungsi reseptor sulfonylurea. Sindrom hiperinsulinemia kongenital dan hiperammonemiadisertai dengan adanya mutasi gen glutamat dehydrogenase. Sindrom Beckwith-Weidemann disertai dengan adanya hyperplasia organ multipel., termasuk pancreas,
dengan
konsekuensi
dari
peningkatan
sekresi
insulin.
Jarang
terjadi
hiperinsulinemia yang merupakan akibat suatu adenoma lokal sel pulau pancreas pada pancreas yang normal (McGowen, 2003). 5. Kelainan Metabolisme pada Neonatus Kelainan metabolisme pada neonatus akan mempengaruhi ketersediaan prekursor glukoneogenik atau fungsi enzim yang dibutuhkan untuk produksi glukosa hepatik. Defek metabolik yang menyebabkan hipoglikemia meliputi berbagai bentuk kelainan penyimpanan glikogen, galaktosemia, defek oksidasi asam lemak, defisiensi karnitin, beberapa bentuk asidemia amino, intoleransi fruktosa herediter (fructose-1,6-diphos-phatase deficiency), dan defek enzim glukoneogenik lainnya. Gangguan endokrin lainnya seperti kegagalan hipopituitari dan adrenal juga dapat berakibat pada terjadinya hipoglikemia karena tidak adanya respon hormonal yang sesuai terhadap hipoglikemia dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan aktivasi produksi glukosa hepatik. Tetapi kondisi ini sangat jarang dan harus dipertimbangkan adanya etiologi lainnya.
29
Tatalaksana Hipogilkemi simptomatik Pengobatan neonatus dengan bolus glukosa 10% sebanyak 2-4ml/kg secara intravena dengan kecepatan 1ml/menit, kemudian diikuti dengan infus glukosa 10% terus menerus dengan kebutuhan 8-10mg/kg/menit. Ternyata cara ini akan menyebabkan terjadinya hiperglikemi terutama pada bayi prematur yang kecil yang menyebabkan diuresis osmotik dan dehidrasi dan berhubungan dengan angka kematian yang tinggi serta diikuti oleh rebound hipoglikemia pada bayi hiperinsulinisme. Jika kebutuhan glukosa melebihi 12mb/kg/menit
segera
lakukan
pemeriksaan
kadar
gula
darah,insulin,growth
hormon,laktat, TSH dan FT4 untuk mendeteksi gangguan hormon
2.3 SINDROMA GAWAT NAPAS PENGERTIAN Sindrom gawat nafas ( respiratory distress syndroma, RDS ) adalah:
Kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperpnea dengan frekuensi pernafasan besar 60 x/i, sianosis, merintih waktu ekspirasi dan retraksi didaerah epigastrium, suprosternal, interkostal pada saat inspirasi. ( Ngatisyah.2005 hal 23 ) 30
Kumpulan gejala yang terdiri dari frekuensi nafas bayi lebih dari 60x/menit atau kurang dari 30x/menit dan mungkin menunjukan satu atau lebih dari gejala tambahan gangguan nafas sebagai berikut: 1. Bayi dengan sianosis sentral ( biru pada lidah dan bibir ) 2. Ada tarikan dinding dada 3. Merintih 4. Apnea ( nafas berhenti lebih dari 20 detik ) ( PONED,2004 )
Istilah yang digunakan untuk disfungsi pernafasan pada neonatus. ( Surasmi, asrining,dkk. 2003 hal 70 )
Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan perkembangan maturitas paru ( Whalley dan wong, 1995 )
ETIOLOGI
Kelainan paru: pneumonia
Kelainan jantung: penyakit jantung bawaan, disfungsi miokardium
Kelainan susunan syaraf pusat akibat: Asfiksia, perdarahan otak
Kelainan metabolik: hipoglikemia, asidosis metabolik
Kelainan bedah: pneumotoraks, fistel trakheoesofageal, hernia diafragmatika
Kelainan lain: sindrom Aspirasi mekonium, penyakit membran hialin
Bila menurut masa gestasi penyebab gangguan nafas adalah : -
Pada bayi kurang bulan 1. penyakit membran hialin 2. pneumonia 3. asfiksia 4. kelainan atau malformasi kongenital
-
Pada bayi cukup bulan 1. Sindrom Aspirasi Mekonium 2. pneumonia 3. asidosis 4. kelainan atau malformasi kongenital
Gangguan traktus respiratorius: 31
Hyaline Membrane Disease(HMD),
Berhubungan dengan kurangnya masa gestasi ( bayi prematur )
Transient Tachypnoe of the Newborn(TTN),
Paru-paru terisi cairan, sering terjadi pada bayi caesar karena dadanya tidak mengalami kompresi oleh jalan lahir sehingga menghambat pengeluaran cairan dari dalam paru.
Infeksi(Pneumonia),
Sindroma Aspirasi,
Hipoplasia Paru,
Hipertensi pulmonal,
Kelainan kongenital(Choanal Atresia, Hernia Diafragmatika, Pierre- robin syndrome),
Pleural Effusion,
Kelumpuhan saraf frenikus,
Luar traktus respiratoris:
kelainan jantung kongenital, kelainan metabolik, darah dan SSP
PATOFISIOLOGI Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi 32
matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). MANIFESTASI KLINIS Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat gejala klinis yang ditujukan. Menurut Surasmi, dkk (2003) tanda dan gejala yang muncul adalah sebagai berikut : 1. Takhipneu (> 60 kali/menit) 2. Pernafasan dangkal 3. Mendengkur 4. Sianosis 5. Pucat 6. Kelelahan 7. Apneu dan pernafasan tidak teratur 8. Penurunan suhu tubuh 9. Retraksi suprasternal dan substernal 10. Pernafasan cuping hidung
KLASIFIKASI Secara klinis gangguan nafas dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Gangguan nafas berat 2. Gangguan nafas sedang 3. Gangguan nafas ringan
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan takhipneu (> 60 kali/menit), pernafasan mendengkur, retraksi subkostal/interkostal, pernafasan cuping hidung, sianosis dan pucat, hipotonus, apneu, gerakan tubuh berirama, sulit bernafas dan sentakan dagu. Pada awalnya suara nafas mungkin
33
normal kemudian dengan menurunnya pertukaran udara, nafas menjadi parau dan pernapasan dalam. Pengkajian fisik pada bayi dan anak dengan kegawatan pernafasan dapat dilihat dari penilaian fungsi respirasi dan penilaian fungsi kardiovaskuler. Penilaian fungsi respirasi meliputi: 1. Frekuensi nafas
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik seperti pada syok, diare, dehidrasi, ketoasidosis, diabetikum, keracunan salisilat, dan insufisiensi ginjal kronik. Frekuensi nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik. 2. Mekanika usaha pernafasan
Meningkatnya usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan mekanik usaha pernafasan. 3. Warna kulit/membran mukosa
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin. Penilaian fungsi kardiovaskuler meliputi: 4. Frekuensi jantung dan tekanan darah
Adanya sinus tachikardi merupakan respon umum adanya stress, ansietas, nyeri, demam, hiperkapnia, dan atau kelainan fungsi jantung. 5. Kualitas nadi
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak adekwat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis. Pemeriksaan pada pengisian kapiler dapat dilakukan dengan cara: 1. Nail Bed Pressure( tekan pada kuku) 2. Blancing
Skin
Test,caranya
yaitu
dengan
meninggikan
sedikit
ekstremitas
dibandingkan jantung kemudian tekan telapak tangan atau kaki tersebut selama 5 34
detik, biasanya tampak kepucatan. Selanjutnya tekanan dilepaskan pucat akan menghilang 2-3 detik. 3. Perfusi pada otak dan respirasi
Gangguan fungsi serebral awalnya adalah gaduh gelisah diselingi agitasi dan letargi. Pada iskemia otak mendadak selain terjadi penurunan kesadaran juga terjadi kelemahan otot, kejang dan dilatasi pupil.
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik meliputi pemeriksaan darah, urine, dan glukosa darah ( untuk mengetahui hipoglikemia ). Kalsim serum ( untuk menentukan hipokalsemia ), analisis gas darah arteri dengan PaO2 kurang dari 50 mmHg dan PCO2 diatas 60 mmHg, peningkatan kadar
kalium
darah,
pemeriksaan
sinar-X
menunjukkan
adanya
atelektasis,
lesitin/spingomielin rasio 2 :1 mengindikasikan bahwa paru sudah matur, pemeriksaan dekstrostik dan fosfatidigliserol meningkat pada usia kehamilan 33 minggu.
PENATALAKSANAAN Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi : 1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekwat. 2. Mempertahankan keseimbangan asam basa. 3. Mempertahankan suhu lingkungan netral. 4. Mempertahankan perfusi jaringan adekwat. 5. Mencegah hipotermia. 6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
Penatalaksanaan secara umum : a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan
bila bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
Pantau selalu tanda vital
Jaga patensi jalan nafas
Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan 35
c.
Lakukan penilaian lanjut
Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah e.
Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau menajemen lanjut: 1. Gangguan nafas ringan
Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN). Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus. Gangguan napas ringan merupakan tanda awal dari infeksi sistemik. 2. Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup
Bayi jangan diberi minukm
Jika ada tanda berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis. -
Suhu aksiler > 39˚C
-
Air ketuban bercampur mekonium
-
Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C tangani untuk masalah suhu abnormal dan nilai ulang setelah 2 jam: -
Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis
-
Jika suhu normal, teruskan amati bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas.
Bila tidak ada tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam
Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis
36
Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi o2secara bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu, berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
Bila dalam pengamatan ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan besar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit rujukan.
Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak berikan ASI peras dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman.
Kurangi pemberian O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30-60 kali/menit.
Penatalaksanaan medis: Gangguan nafas ringan Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
Fenobarbital
Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
Metil santin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS adalah pemberian surfaktan eksogen (derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan)
37
2.4 NEONATUS PRETERM Definisi Bayi preterm atau bayi prematur atau BKB adalah bayi yang dilahirkan ibu pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan variasi berat lahir, dapat di golongkan kecil untuk masa kehamilan, sesuai untuk masa kehamilan atau besar untuk masa kehamilan. Tetapi pada umumnya BKB lahir sebagai bayi berat lahir rendah (BBLR) (Campbell, 2003). Terdapat 3 subkategori usia kelahiran prematur berdasarkan kategori World Health Organization (WHO), yaitu: 1) Extremely preterm (< 28 minggu) 2) Very preterm (28 hingga < 32 minggu) 3) Moderate to late preterm (32 hingga < 37 minggu). Etiologi dan Faktor Risiko Hal hal lain yang sering dihubungkan dengan persalinan preterm yang berkaitan dengan kesehatan ibu adalah (Smith, 2005) : a. Riwayat persalinan preterm sebelumnya b. Kadar alfafetoprotein yang tinggi yang tidak diketahui sebabnya pada trimester ke dua c. Penyakit atau infeksi yang tidak diobati dengan baik ( misalnya Infeksi Saluran Kemih infeksi kulit ketuban / amnionitis ) d. Abnormalitas uterus dan serviks e. Ketuban pecah dini f. Plasenta previa atau antepartum hemoragik (Chan & To, 1999) g. Persalinan Preterm iatrogenik (Goldenberget al., 2008) h. Abnormalitas volume amnion (Bundgaard, et al., 2007) i. Multipara ((Blickstein, 2006) j. Usia Maternal (Shrim, 2011)
Faktor risiko terjadinya persalinan preterm antara lain perawatan antenatal yang tidak baik, status nutrisi ibu yang buruk, ibu muda ( umur kurang dari 18 tahun) dan penyalahgunaan obat (Smith, 2005).
38
Patofisiologi Secara umum, penyebab persalinan prematur dapat dikelompokan dalam 4 golongan yaitu (Iams, 2003) : 1) Aktivasi prematur dari pencetus terjadinya persalinan 2) Inflamasi/infeksi 3) Perdarahan plasenta 4) Peregangan yang berlebihan pada uterus Mekanisme pertama ditandai dengan stres dan anxietas yang biasa terjadi pada primipara muda yang mempunyai predisposisi genetik. Adanya stres fisik maupun psikologi menyebabkan aktivasi prematur dari aksis Hypothalamus-Pituitary-Adrenal (HPA) ibu dan menyebabkan terjadinya persalinan prematur. Aksis HPA ini menyebabkan timbulnya insufisiensi uteroplasenta dan mengakibatkan kondisi stres pada janin. Stres pada ibu maupun janin akan mengakibatkan peningkatan pelepasan hormon Corticotropin Releasing Hormone (CRH), perubahan pada Adrenocorticotropic Hormone (ACTH), prostaglandin, reseptor oksitosin,
matrix
metaloproteinase
(MMP),
interleukin-8,
cyclooksigenase-2,
dehydroepiandrosteron sulfate (DHEAS), estrogen plasenta dan pembesaran kelenjar adrenal. Mekanisme kedua adalah decidua-chorio-amnionitis, yaitu infeksi bakteri yang menyebar ke uterus dan cairan amnion. Keadaan ini merupakan penyebab potensial terjadinya persalinan prematur. Infeksi intraamnion akan terjadi pelepasan mediator inflamasi seperti pro-inflamatory sitokin (IL-1β, IL-6, IL-8, dan TNF-α ). Sitokin akan merangsang pelepasan CRH, yang akan merangsang aksis HPA janin dan menghasilkan kortisol dan DHEAS. Hormon-hormon ini bertanggung jawab untuk sintesis uterotonin (prostaglandin dan endotelin) yang akan menimbulkan kontraksi. Sitokin juga berperan dalam meningkatkan pelepasan protease (MMP) yang mengakibatkan perubahan pada serviks dan pecahnya kulit ketuban (Snegovskikh, 2006). Mekanisme ketiga yaitu mekanisme yang berhubungan dengan perdarahan plasenta dengan ditemukannya peningkatan hemosistein yang akan mengakibatkan kontraksi miometrium. Perdarahan pada plasenta dan desidua menyebabkan aktivasi dari faktor pembekuan Xa (protombinase). Protombinase akan mengubah protrombin menjadi trombin dan pada beberapa penelitian trombin mampu menstimulasi kontraksi miometrium. Mekanisme keempat adalah peregangan berlebihan dari uterus yang bisa disebabkan oleh kehamilan kembar, polyhydramnion atau distensi berlebih yang disebabkan oleh kelainan 39
uterus atau proses operasi pada serviks. Mekanisme ini dipengaruhi oleh IL-8, prostaglandin, dan COX-2.
Masalah Bayi Kurang Bulan Masalah yang ditemukan pada BKB adalah akibat imaturitas sistem organ. Berikut adalah masalah bayi kurang bulan pada berbagai organ (Smith, 2005): 1. Pernapasan: bayi kurang bulan kurang dapat beradaptasi dengan pergantian gas dan terjadi depresi perinatal di ruang bersalin. Respiratory Distress Syndrome (RDS) dapat disebabkan karena defisiensi surfaktan dan apne dapat disebabkan karena kurang matangnya mekanisme pengaturan napas. Salah satu penyulit pada BBLR adalah asfiksia karena faktor paru yang belum matang pada bayi BBLR yang prematur, atau karena distres respirasi (gangguan napas ) pada BBLR yang kecil untuk masa kehamilannya; sehingga BBLR mempunyai dua risiko yang mengancam kehidupannya yaitu berat lahir rendah dan asfiksia. 2. Neurologik: bayi kurang bulan (BKB) berisiko mempunyai masalah neurologi akut, seperti perdarahan intra kranial, dan depresi perinatal. Penyebab utama kelainan atau gangguan neurologis pada bayi baru lahir adalah ensefalopati iskemik hipoksik (EIH), di samping perdarahan periventrikular dan intraventrikular yang menyebabkan kelainan neurologis terutama pada bayi kurang bulan. 3. Kardiovaskular: gangguan yang sering mengalami adalah hipotensi akibat hipovolemia, misalnya kehilangan volume karena memang volumenya yang relatip kecil atau gangguan 40
fungsi jantung dan vasodilatasi akibat sepsis. Kejadian PDA ( patent ductus arteriosus) sering terjadi dan dapat mengakibatkan terjadi nya gagal jantung Kongestif. 4. Hematologik: khususnya anemia akibat berbagai macam penyebab dan hiperbilirubinemia. 5. Metabolik: sering terjadi gangguan metabolisme glukosa dan kalsium, terutama pada BKB dengan gangguan nutrisi, sakit berat atau gangguan intrauterin. 6. Nutrisi: bayi kurang bulan memerlukan perhatian khusus tentang jenis, jumlah dan cara pemberiannya. 7. Gastrointestinal: prematuritas merupakan risiko terbesar untuk enterokolitis nekrotikans. 8. Ginjal: imaturitas ginjal ditandai dengan kecepatan filtrasi glomerulus yang rendah dan ketidak mampuan untuk mengatasi beban air, kepekatan dan keasaman. Dapat terjadi kesulitan dalam manajemen cairan dan elektrolit. 9. Pengaturan suhu: BKB cenderung untuk terjadi hipotermi dan hipertermi. 10. Imunologik: akibat defisiensi respons imun seluler dan humoral, BKB mempunyai risiko terjadi nya infeksi lebih besar dibanding bayi cukup bulan. 11. Oftalmologik: ROP = retinopathy of prematurity (retinopati akibat prematuritas ) dapat terjadi akibat retina imatur.
Manajemen Hal yang paling penting adalah mencegah persalinan preterm dengan upaya semaksimal atau optimal mungkin dengan cara (Smith, 2005) : • Melaksanakan pengawasan antenatal yang baik dan teratur • Meningkatkan status gizi ibu • Menganjurkan menikah pada usia matang (tidak terlalu muda) • Mencegah dan mengobati secara tuntas infeksi intrauterin
Bila bayi sudah lahir atau hampir lahir, maka dilakukan manajemen sebagai berikut: 1. Manajemen intrapartum, dengan menerapkan prinsip Pelayanan Neonatal Esensial yaitu, a. Pertolongan persalinan yang bersih dan aman, kemudian sesuai dengan berat badan bayi dirawat di bangsal bayi risiko tinggi (BBRT). b. Tindakan resusitasi dan stabilisasi : dilakukan resusitasi segera dengan baik dan benar. Tindakan resusitasi sebaiknya dilakukan oleh tenaga yang mempunyai kualifikasi, di tempat fasilitas yang memadai. Oksigen yang adekuat dan suhu yang stabil merupakan salah satu tujuan perawatan pasca natal 41
2. Manajemen bayi baru lahir a. Stabilisasi suhu b. Terapi oksigen dan bantuan ventilasi mekanik c. Bila terjadi patent ductus arteriosus,: diperlukan terapi konservatif yaitu, • Oksigenasi yang cukup, restriksi cairan, diuresis intermitten. • Pada kasus yang bergejala, pemberian obat antagonis prostaglandin seperti indometasin mungkin diperlukan • Pada beberapa kasus memerlukan terapi pembedahan berupa ligasi. 3. Terapi cairan dan elektrolit: harus diperhatikan kemungkinan terjadinya kehilangan insensible water loss yang tinggi dan harus memperhatikan dengan benar hidrasi, kadar glukosa darah, kadar elektrolit plasma. 4. Asupan gizi: pada BKB kemampuan menghisap dan menelan sangat terbatas, di samping adanya intoleransi beberapa minuman, mungkin diperlukan pemberian minum melalui pipa lambung atau bahkan pemberian nutrisi parenteral. 5. Hiperbilirubinemia: sangat sering terjadi pada bayi yang sangat kecil. Biasanya dapat dikelola dengan efektip dengan cara memantau kadar bilirubin dan terapi sinar /fototerapi. Pada beberapa kasus mungkin diperlukan transfusi tukar. 6. Infeksi dan sepsis: BKB sangat rentan untuk terjadinya infeksi dan sepsis. Pada BKB dengan BBLR yang dicurigai mengalami sepsis perlu diberikan antibiotik dengan spektrum yang luas. Bagi bayi yang sering mengalami beberapa prosedur klinik, cara asepsis perlu ditingkatkan. 7. Manajemen mencegah gejala sisa A. Pengelolaan yang utama adalah pencegahan. Tujuan utama adalah mengidentifikasi janin yang mudah atau cenderung mengalami iskemik-hipoksik oleh karena proses persalinan dan kelahiran. B. Resusitasi segera. Semua bayi baru lahir yang mengalami apne saat lahir harus diresusitasi segera karena tidak dapat ditentukan apakah bayi mengalami apne primer atau sekunder.
Rekomendasi manajemen dan intervensi pada neonatus preterm (WHO, 2015) : 1. Manajemen kangaroo mother care (KMC) pada bayi 2000 gram atau kurang yang secara klinis stabil. Bayi dengan berat 2000 gram atau kurang dengan kondisi tak stabil atau bayi baru lahir dengan kondisi stabil dengan berat kurang dari 2000 gram 42
yang tidak bisa menjalankan KMC, harus dirawat di lingkungan dengan suhu stabil dibawah penghangat atau inkubator. Meskipun penggunaan plastik termasuk tidak efektif, nemum penggunaannya selama transfer menuju bangsal merupakan suatu alternatif. 2. Penggunaan Continuous positive airway pressure (CPAP) pada bayi dengan respiratory distress syndrome (RDS) segera setelah diagnosis ditegakkan. 3. Surfaktan untuk bayi prematur dengan RDS pada fasilitas yang memenuhi kriteria. Penggunaan terapi pengganti surfaktan yang berasal dari hewan atau protein direkomendasikan pada bayi yang diintubasi dan ventilasi dengan RDS.
Tidak
direkomendasikan menggunakan surfaktan profilaksis sebelum terdiagnosis RDS. Pada neonatus preterm dengan RDS, surfaktan harus diberikan dalam 2 jam pertama setelah dilahirkan dan tidak menunggu gejala memburuk. 4. Mulai terapi oksigen dengan 30% oksigen atau udara (jika oksigen campuran tidak tersedia) selama ventilasi pada bayi prematur yang lahir ≤32 minggu. Penggunaan oksigen konsentrasi tinggi secara progresif harus dipertimbangkan pada neonatus yang menjalani terapi oksigen jika HR <60 kali/menit setelah 30 detik ventilasi adekuat dengan oksigen 30%. Tidak direkomendasikan memulai oksigen 100% selama ventilasi pada neonatus preterm yang lahir usia ≤32 minggu
Komplikasi Bayi kurang bulan sangat rentan untuk terjadi beberapa jenis kesakitan. Meskipun beberapa gangguan pada suatu populasi terhitung kecil, akan tetapi prevalensinya belum jelas. Beberapa penelitian multisenter yang komprehensip menyajikan beberapa data sebagai berikut (Snyder, 1998),
Gangguan perkembangan o cacat mayor: palsi serebral, retardasi mental o gangguan sensori: gangguan pendengaran dan gangguan penglihatan o disfungsi otak minimal: gangguan bahasa, gangguan kemampuan belajar, hiperaktivitas, kurangnya perhatian, gangguan perilaku.
Retinopathy of prematurity
Penyakit paru kronik
Gangguan pertumbuhan
Frekuensi hospitalisasi dan kesakitan pascanatal meningkat 43
Frekuensi anomali kongenital meningkat
Risiko anak terlantar dan ruda paksa pada anak meningkat
2.5 HIPERBILIRUBINEMIA Definisi Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan (Mansjoer, 2008). Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani (Etika et al, 2006).
Gambar 1
Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani
44
Gambar 2
Kurva risiko ikterus berdasarkan American Academy of Pediatrics
Etiologi Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi: 1. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolysis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis 2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak. 45
4. Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. (Hassan et al.2005)
46
Metabolisme bilirubin pada neonatus
Metabolisme Bilirubin digambarkan dalam beberapa tahap. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organlain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk membentuk hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang diekskresi kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin atau enzim biliverdin reduktase. Biliverdin besifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengekskresikan , diperlukan mekanisme transpot dan eliminasi bilirubin. Pada masa transisi setelah lahir , hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi tidak terjadi secara optimal. Keadaan ini menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat toksik. 47
Ikatan bilirubin-albumin menuju membran plasma hepatosit, albumin terikat dengan reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin di transfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin. Bilirubin tak terkonjugasi dikonversi menjadi bilirubin yang terkonjugasi yang larut dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl transferase (UDPG-T) menjadi bilirubin monoglukoronidase yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini selanjutnya akan diekskresikan kedalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retukulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Bilirubin didalam kanalikulus empedu akan diekskresikan kedalam kantung empedu yang kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses. Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang tak terkojugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika dikonversi kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim βgukoronidase yang berada dalam usus. Pada neonatus mukosa usus halus dan feses neonatus
mengandung
enzim
β-glukoronidase
yang
dapat
menghidrolisa
monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali dan lumen usus halus neonatus yang steril menyebabkan bilirubin konjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin ( suatu produk yang tidak dapat di absorbsi). Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna akan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali (sirkulasi enterohepatik ).
Klasifikasi Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis. 1. Ikterus fisiologi Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut : a. Timbul pada hari kedua dan ketiga b. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan. c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari. d. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. e. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. f. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
48
2. Ikterus Patologi Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tandatandanya sebagai berikut : a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama. b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan. c. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik. (Arief ZR, 2009. hlm. 29) Manifestasi Klinis Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kirakira 6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuningkehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson, 2007). Gambaran klinis ikterus fisiologis: 1. Tampak pada hari 3,4 2. Bayi tampak sehat (normal) 3. Kadar bilirubin total <12mg% 4. Menghilang paling lambat 10-14 hari 5. Tak ada faktor resiko 6. Sebab: proses fisiologis(berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994) Gambaran klinik ikterus patologis: 1. Timbul pada umur <36 jam 2. Cepat berkembang 3. Bisa disertai anemia 4. Menghilang lebih dari 2 minggu 5. Ada faktor resiko 6. Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994) 49
Diagnosis Anamnesis a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi(obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal) b. Riwayat persalinan dengan tindakan/komplikasi c. Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya d. Riwayat inkompatibilitas darah e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa (Etika et al, 2006). Pemeriksaan fisik Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006). Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya (Mansjoer et al, 2007).
Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer Derajat Ikterus I II III IV V
Daerah Ikterus Kepala dan Leher Sampai badan Atas (diatas umbilikus) Di bawah umbilikus dan diatas lutut Sampai pada lengan dan tungkai bawah lutut Sampai telapak tangan dan kaki
Perkiraan Kadar Bilirubin 5 mg/dL 9 mg/dL 11,4 mg/dL 12,4 mg/dL 16 mg/dL 50
Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Etika et al, 2006).
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayibayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan ‘Coombs test’, darah lengkap dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar (Etika et al, 2006).
Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya:
Tabel Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya
51
Penatalaksanaan Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut: 1. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan icterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi. 2. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar. 3. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini 4. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air. 5. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al, 2007). Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut: Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek ≤20mg% Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs direct positif (Hassan et al, 2005). 6. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan competitor inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan secara rutin. 7. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena (5001000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi oleh antibody (Cloherty et al, 2008).
52
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit. Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar, yang perlu diperhatikan sebagai berikut : 1. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan membuka pakaian bayi. 2. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi. 3. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal. 4. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh. 5. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam. 6. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam. 7. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
Komplikasi Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.
53
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan R.I. 2005. Rencana Strategi Departemen Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Departemen Kesehatan RI. 2009. Program kesehatan ibu, bayi baru lahir dan Anak HSPHealth Service Program. Jakarta: Depkes RI Ghai,O.P., Paul,V.K, Bagga, A., 2010. Essential Pediatrics. Seventh edition. 96-140. Mochtar, R. 2008.Sinopsis Obstetri. Jakarta: EGC Prambudi, R. 2013. Penyakit pada Neonatus. Dalam; Neonatologi Praktis. Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 57 - 62. Prambudi, R. 2013.Prosedur Tindakan Neonatusi. Dalam; Neonatologi Praktis.Anugrah Utama Raharja. Cetakan Pertama. Bandar Lampung, hal. 115 – 31. Saifuddin, AB. 2009. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam; Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Cetakan Kelima. Jakarta, hal. 347 – 54. Cranmer, H. Neonatal Hypoglycemia. 2013. Emedicine Medscape. Hay, W. 2008. The Newborn Infant. Lange Current Diagnosis and Treatment of Pediatrics. McGraw-Hill : Denver-Colorado. Lucille Packard Children’s Hospital at Stanford. 2013. Hypoglycemia in the Newborn. McGowan,J. 2003. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review. American Associaton of Pediatrics Publication. Sperling, Mark. A, 20011. Hypoglycemia. Nelson Pediatrics 19th edition. Elsevier Saunders : Philadelphia.
54