Refka-ispa-ikm.docx

  • Uploaded by: Nur evayanti
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refka-ispa-ikm.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,823
  • Pages: 21
REFLEKSI KASUS

JANUARI 2018

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Disusun Oleh : EVYDELINE CHRISTY KARSITA N 111 16 065

Pembimbing : dr. H. SYAHRIAR, M.Kes dr. DIAH MUTIARASARI, MPH

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian balita pada rentang waktu antara 1990-2015. Tujuan dari MDGs yang belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). (Dewi,2012) Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting untuk diperhatikan, karena merupakan penyakit akut dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada balita di berbagai negara berkembang termasuk negara Indonesia. (Sofia,2017) Menurut laporan WHO, angka kesakitan akibat infeksi saluran pernapasan akut mencapai 8,2%. Kunjungan kesehatan akibat infeksi saluran pernapasan akut dilaporkan sebanyak 20% di negara berkembang. Angka kematian akibat infeksi saluran pernapasan akut di negara berkembang sebanyak 20% dimana 1/3 – 1/2 merupakan kematian pada balita. Di Indonesia, infeksi saluran pernapasan akut menempati urutan pertama pada tahun 2008, 2009 dan 2010 dari 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas 2007 proporsi kematian balita karena pneumonia menempati urutan kedua (13,2%) setelah diare. (Suryani dkk,2015) Berdasarkan laporan seksi P2 Dinas Kesehatan Kota Palu, Jumlah penderita ISPA pada tahun 2014 adalah 30.665 dan meningkattahun 2015 menjadi 33.651 penderita yang diantaranya 92,14% terjadi pada balita dan 7,86% terjadi pada golongan umur > 5 tahun.Menurut data dari puskesmas donggala, jumlah penderita ISPA mencapai 1.871 penderita pada tahun 2016 yang menunjukkan posisi ISPA sebagai peringkat pertama dalam 10 penyakit terbanyak yang tercatat dalam 2 tahun terakhir. (Puskesmas Donggala,2016) Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan

1

meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya. Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah seperti asap rokok, asap dari dapur karena memasak dengan kayu bakar serta kebiasaan menggunakan obat nyamuk bakar didalam rumah. (Sofia,2017)

.

2

BAB II KASUS IDENTITAS Nama

: An. A

Umur

: 3 Tahun 6 Bulan

Jenis kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Alamat

: Desa Loli Oge

Tanggal Pemeriksaan : 12 Desember 2017

ANAMNESIS Keluhan Utama

:Batuk berlendir

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan batuk berlendir yang dialami sejak 5 hari yang lalu, lendir berwarna putih, yang disertai pilek. Pasien tidak mengalami sesak napas maupun mual-muntah. Pasien juga mengalami demam yang naik turun sejak 1 hari yang lalu tanpa disertai menggigil maupun kejang. Nafsu makan berkurang. BAB lancar, biasa. BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sudah beberapa kali mengalami keluhan yang sama.

Riwayat Penyakit Keluarga

:

Ibu kandung pasien mengalami keluhan yang sama.

3

Genogram

:

Keterangan :

= Laki-laki = Perempuan = Pasien

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan:  Pasien makan 3 kali sehari dengan lauk seadanya, namun terkadang pasien makan tidak teratur dan menjadi malas makan terutama saat sakit. Pasien lebih suka mengkonsumsi makanan jajanan disekitar lingkungan rumah terutama jajan snack. Pasien mulai diajarkan ibunya untuk mencuci tangan sebelum makan, dan setelah pasien bermain diluar rumah. Ayah dan kakek pasien adalah seorang perokok aktif, keduanya dapat merokok dimana saja, bahkan saat berkumpul dengan anak – anaknya.  Pasien tinggal bersama orang tua dan kedua neneknya di rumah milik pribadi yang berada di pinggir jalan poros. Rumah pasien berupa sebuah rumah tipe semi-permanen. Rumah terdiri dari ruang tamu, 3 kamar tidur, ruang keluarga, dapur, ruang makan, tempat cuci piring, dan tempat menjemur pakaian. Untuk keperluan mandi dan BAB, keluarga pasien menggunakan kamar mandi pribadi. Lantai rumah terbuat dari semen, dinding rumah sebagian dari batako yang sudah

4

diplester dan ada yang masih berdinding kayu, dan atap rumah terbuat dari seng tanpa plafon. Ruang tamu, kamar, dan dapur memiliki jendela dan pencahayaan yang cukup. Ruang keluarga tempat utama berkumpulnya seluruh anggota. Jarak rumah pasien dengan rumah tetangga + 2-3 m.  Sumber air yang dipakai untuk sehari – hari adalah dari gunung yang dihubungkan dengan pipa air (air PDAM), sedangkan untuk minum, keluarga pasien menggunakan air dari pipa tersebut yang telah dimasak.  Sumber listrik dari PLN. Sampah dibuang pada tempat sampah di halaman depan rumah. Sampah sebagian besar diangkut oleh tukang sampah keliling yang disediakan desa dan sebagian kecil dibakar di halaman depan rumah, dimana asap yang ditimbulkan sering masuk ke dalam rumah pasien melalui ventilasi ruang tamu.. Tetangga pasien masih menggunakan kayu bakar untuk memasak dimana asap yang ditimbulkan terkadang masuk ke dalam rumah pasien melalui ventilasi dapur  Ayah dan kakek Pasien memiliki kebiasaan sering merokok dalam rumah dan di sekitarnya biasa ada anak-anak meraka yang sedang bermain.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan: Riwayat Antenatal : Ibu rutin memeriksakan kehamilannya ke pelayanan kesehatan saat mengandung pasien. Riwayat Natal : Pasien lahir normal dengan berat badan lahir 2800 gram, ditolong bidan, di Puskesmas. Usia kehamilan cukup bulan.

Riwayat Neonatal : Tidak ada kelainan

5

Asupan Makanan: Asi sejak lahir sampai pasien berumur 1 tahun tanpa susu formula Nasi dan lauk pauk mulai usia 6 bulan sampai sekarang

Riwayat Imunisasi: Ibu pasien rutin membawa pasien untuk mendapatkan imunisasi.

Riwayat Sosial Ekonomi : Keluarga berasal dari ekonomi menengah Ayah pasien sebagai tulang punggung keluarga, dengan penghasilan yang tidak menetap.

PEMERIKSAAN FISIK KondisiUmum

: Sakit ringan

Tingkat Kesadaran : Compos Mentis Status Gizi

BeratBadan

: 11 kg

TinggiBadan

: 103cm

: Gizi kurang

Tanda Vital Nadi

: 96 kali/menit (kuat angkat, isi cukup, reguler)

Suhu

: 36.70C

Pernapasan

: 24 kali/menit

Kulit

: Warna sawo matang, lapisan lemak di bawah kulit cukup.

Kepala

: Normosefal, rambut berwarna hitam, tipis dan tidak mengkilap, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus, pupil bulat isokor (diameter 3 mm). Terdapat sekret pada hidung (warna bening keputihan), tidak terdapat pernapasan cuping hidung. Tidak ada sekret pada telinga, bibir tidak sianosis. : Tonsil dan faring sulit dinilai. Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening. : : permukaan dada simetris, penggunaan : Inspeksi

Tenggorokan-Leher Thoraks Paru

6

Palpasi Perkusi Auskultasi

Jantung

: Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi

Abdomen

Ekstremitas Atas Bawah

: Inspeksi Auskultasi Perkusi Palpasi

otot-otot bantu pernapasan (-). : massa (-), nyeri tekan (-) taktil fremitus kiri = kanan. : sonor pada kedua lapang paru : bunyi napas brokovesikuler +/+, wheezing (-/-), ronkhi (-/-).

: iktus kordis tampak : iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra : pekak : bunyi jantung I dan II murni, reguler, bising jantung (-). : permukaan datar, seirama gerak napas : peristaltik kesan normal : timpani : massa (-), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.

: Akral hangat, edema (-) : Akral hangat, edema (-)

Pemeriksaan Penunjang Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

Diagnosis Kerja ISPA non pneumonia

Diagnosis Banding ISPA pneumonia

AnjuranPemeriksaan 1) Pemeriksaan darah rutin 2) Pemeriksaan foto thoraks

7

Terapi  Medikamentosa : Ambroxol 5 mg  Nonmedikamentosa : 

Menganjurkan ibu untuk melakukan kompres untuk membantu menurunkan demam



Memberikan perasan jeruk nipis dengan madu atau kecap untuk membantu mengurangi batuk



Memberi makanan bergizi pada anak secara teratur untuk membantu meningkatkan daya tahan tubuh anak.



Mengurangi minum yang dingin-dingin, dan memperbanyak minum air putih ataupun sari buah untuk membantu mengencerkan dahak.



Istirahat yang cukup.



Menganjurkan kedua orang tua untuk berhenti merokok, dan jika sulit, sebaiknya merokok diluar rumah dan tidak disekitar anak kecil.

8

BAB III PEMBAHASAN

Aspek Klinis Pada kasus ini, pasien anak laki-laki berumur 3 tahun 6 bulan dibawa oleh Ibunya dengan keluhan utama batuk berlendir yang dialami sejak 5hari yang lalu, lendir berwarna putih, yang disertai pilek. Pasien tidak mengalami sesak napas maupun mual-muntah. Pasien juga mengalami demam yang naik turun sejak 1 hari yang lalu tanpa disertai menggigil maupun kejang. Nafsu makan berkurang. BAB lancar, biasa. BAK lancar. Pada pemeriksaan fisik didapatkan status gizi pasien tergolong gizi kurang, tampak sekret pada hidung pasien (berwarna bening keputihan) dan pada pemeriksaan bunyi pernapasan tidak terdpat bunyi tambahan di kedua paru. Selain itu tidak didapatkan abnormalitas lainnya sehingga berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien ini didiagnosis dengan ISPA non pneumonia. Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik, namun demikian anak akan menderita pneumonia dan bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibat kematian. (Deasy, 2009) Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. (Kemenkes RI,2015) Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan apusan sekret maupun foto thoraks pada kasus ini belum perlu dilakukan karena berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien tergolong penderita ISPA non pneumonia sehingga untuk kunjungan awalnya dapat diberikan terapi awal berupa terapi simptomatik dan pemberian vitamin tanpa pemberian antibiotik karena etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus sehingga tidak dibutuhkan

9

terapi antibiotik. Terapi awal dapat dievaluasi 3 hari kemudian untuk menentukan langkah selanjutnya yang perlu diambil. Pasien ini diberikan terapi simptomatik, yaitu

ambroksol. Ambroksol

merupakan suatu metabolit bromheksin yang diduga sama cara kerja dan penggunaannya. Ambroksol merupakan mukolitik yaitu obat yang dapat mengencerkan sekret saluran napas dengan jalan memecah benang-benang polisakarida dan mukoprotein dari sputum. (Goldman, 2015; Rubin, 2015) Pada pasien anak ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene, untuk itu penting menginformasikan tanda-tanda bahaya yang harus diperhatikan ibu dengan bahasa yang mudah dipahami oleh ibu sehingga ibu pasien dapat segera membawa anaknya ke layanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan lanjutan jika ditemukan tanda bahaya tersebut. Pada kasus ini, pasien tidak memerlukan rawat inap, sehingga ibu pasien perlu diberikan edukasi mengenai hal-hal yang dapat dilakukan untuk menunjang kesembuhan saat anak menjalani perawatan di rumah. Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA, antara lain : (Rasmaliah, 2004)  Mengatasi panas (demam) Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam dapat diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam selama anak mengalami demam. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih kemudian celupkan pada air (tidak perlu air es).  Mengatasi batuk Dianjurkan memberi obat batuk yang mudah ibu dapatkan yaitu dengan menggunakan perasan jeruk nipis ½ sendok teh dicampur dengan kecap atau

10

madu ½ sendok teh, diberikan tiga kali sehari. Pemberian madu tidak untuk anak berusia kurang dari 1 tahun.  Pemberian makanan Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan. Berikan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral.  Pemberian minum Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.  Lain-lain Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat, lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah. Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan tidak berasap. Apabila selama perawatan di rumah keadaan anak memburuk maka dianjurkan untuk membawa ke dokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali ke petugas kesehatan untuk pemeriksaan ulang. Cara penularan ISPA dapat melalui kontak langsung atau tidak langsung dari benda yang telah dicemari virus dan bakteri penyebab ISPA (hand to hand transmission) dan dapat juga ditularkan melalui udara tercemar (air borne disease) pada penderita ISPA yang kebetulan mengandung bibit penyakit melalui sekresi berupa saliva atau sputum. Pencegahan ISPA dapat dilakukan dengan menjaga keadaan gizi agar tetap baik, Immunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan, serta mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

11

Aspek Ilmu Kesehatan Masyarakat Suatu penyakit dapat terjadi oleh karena adanya ketidak seimbangan faktorfaktor utama yang dapat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Paradigma hidup sehat yang diperkenalkan oleh H. L. Bloom mencakup 4 faktor yaitu faktor genetik (keturunan), perilaku (gaya hidup) individu atau masyarakat, faktor lingkungan (sosial ekonomi, fisik, politik) dan faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan dan kualitasnya), namun yang paling berperan dalam terjadinya ISPA adalah faktor perilaku, lingkungan serta pelayanan kesehatan. ISPA menjadi masalah di mayarakat disebabkan oleh karena faktor-faktor berikut : Faktor resiko timbulnya ISPA pada anak pada kasus ini, antara lain : (Sofia, 2017) 1.

Faktor host (diri) a. Usia Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia dibawah 5 tahun, hal ini terjadi karena system kekebalan tubuh balitamasih sangat kurang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut. Hal tersebut sesuai dengan kasus ini dimana pasien adalah pasien anak berusia 3 tahun 6 bulan. b. Status gizi Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lainnya. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi patogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak. Pada kasus ini pasien tergolong gizi kurang sehingga lebih rentan menderita infeksi. c. Status imunisasi Pada sebuah penelitian mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat memberikan peranan yang cukup berarti dalam mencegah kejadian ISPA. Pasien ini mendapatkan imunisasi lengkap.

12

d. Pemberian air susu ibu (ASI) ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi terutama pada bulan-bulan pertama kehidupannya. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi bagi bayi tetapi juga sebagai sumber zat anti mikroorganisme yang kuat, karena adanya beberapa faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem imunologis. ASI dapat memberikan imunisasi pasif melalui penyampaian antibodi dan sel-sel imunokompeten ke permukaan saluran pernafasan atas. Pasien ini mendapatkan ASI ekslusif selama 6 bulan pertama kehidupannya, kemudian tetap mendapatkan ASI hingga pasien berusia 1 tahun yang disertai dengan pemberian makanan pendamping. 2.

Faktor lingkungan a. Rumah Rumah sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari tiga komponen (rumah, sarana sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Minimum yang memenuhi kriteria sehat pada masingmasing parameter adalah sebagai berikut : (Wahyono, 2008)  Minimum dari kelompok komponen rumah adalah langit-langit, dinding,

lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.  Minimum kelompok fasilitas pendukung rumah sehat adalah sarana

air bersih, jamban (sarana pembuangan kotoran), sarana pembuangan air limbah (SPAL) dan sarana pembuangan sampah.  Perilaku. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat untuk

menitikberatkan pada pengawasan terhadap strukur fisik yang digunakan sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sanitasi rumah sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan penyakit menular, terutama ISPA. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya dan tersebarnya ISPA.

13

Pada kasus langit-langit rumah dilapisi oleh terpal sehingga debu atau kotoran dapat mudah hinggap dan mengendap di terpal tersebut sehingga setiap saat dapat dihirup dan masuk ke sistem pernapasan. Ruang tamu tidak memiliki ventilasi sehingga pencahayaan kurang dan aliran udara tidak maksimal masuk ke dalam rumah. Dinding rumah pasien terbuat dari kayu, dimana debu akan mudah menumpuk pada ruas-ruas dinding yang terbuat dari papan kayu debu pada ruas-ruas kayu yang bisa menjadi tempat perkembangbiakan kuman penyakit. b. Kepadatan hunian (crowded) Kepadatan hunian seperti luas ruang per orang, jumlah anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Penelitian oleh Koch et al (2003) membuktikan bahwa kepadatan hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat. Pada kasus jarak rumah passion ke rumah yang lain hanya sekitar 2-3 meter. c. Status sosioekonomi Telah

diketahui

bahwa

kepadatan

penduduk

dan

tingkat

sosioekonomi yang rendah mempunyai hubungan yang erat dengan kesehatan masyarakat dimana pasien ini tinggal di daerah dengan penduduk padat dan tergolong ekonomi lemah. Pasien tinggal ditempat peduduk padat penghuni, dimana rumah saling berdekatan dan berhadapan. d. Kebiasaan merokok Pada keluarga yang merokok, secara statistik anaknya mempunyai kemungkinan terkena ISPA 2 kali lipat dibandingkan dengan anak dari keluarga yang tidak merokok. Selain itu dari penelitian lain didapat bahwa episode ISPA meningkat 2 kali lipat akibat orang tua merokok. Di tempat tinggal pasien 2 anggota keluarga, yaitu ayah dan pamannya adalah perokok aktif sehingga pasien lebih mudah terserang ISPA. e. Polusi udara Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun

14

diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA anak. Pada kasus pasien bertempat tinggal di pinggir jalan dan jalanan depan rumah pasien sangat berdebu akibat terletak pada daerah konstruksi sehingga sering lewat

angkutan besar. Tetangga pasien masih

menggunakan kayu bakar untuk memasak. 3. Faktor Perilaku Faktor perilaku yang dapat diambil dari kasus ini adalah ayah dan kakek pasien merupakan perokok aktif dan terkadang merokok didekat pasien. Dari pemaparan ibunya, pasien mendapatkan ASI eksklusif saat bayi 6 bulan pasien diberikan MPASI. Kemudian, perilaku keluarga yang mengumpulkan sampah di depan rumah untuk dibakar sehingga asap yang ditimbulkan sering masuk ke dalam rumah terutama ruang tamu dan ruang keluarga. Hal tersebut juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di lingkungan tempat tinggal pasien. Kurangnya pengetahuan tentang makanan yang bergizi untuk mencegah penyakit ISPA. Pasien sering jajan snack dan sehari tidka teratur makan nasi. Pasien terpapar dari ibunya yang juga menderita ISPA. 4.

Faktor Pelayanan Kesehatan Faktor pelayanan kesehatan yang dapat diambil dari kasus ini adalah masih kurangnya sosialisasi mengenai penyakit ISPA, faktor resiko penyakit ISPA, pencegahan, serta penangnan sederhana tentang ISPA. Kemudian belum optimalnya peran serta tim posyandu dan kader desa dalam mengevaluasi dan memotivasi ibu-ibu untuk rutin membawa anaknya ke posyandu.

Pelayanan

kesehatan

merupakan

faktor

ketiga

yang

mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan dan keperawatan serta kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat dijangkau atau tidak. Yang kedua

15

adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh perlayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memerlukan. Pada Puskesmas Donggala pasien yang didiagnosis menderita ISPA akan diberikan terapi simptomatik serta edukasi dari dokter. Setiap pasien yang menderita ISPA akan dilakukan pencatatan identitas. Jumlah pasien ISPA didapatkan dari kunjungan pasien langsung ke Puskesmas ataupun informasi dari bidan desa setempat. Pasien yang menderita ISPA pneumonia akan dilakukan kunjungan rumah untuk melihat faktor resiko apa saja yang menjadi penyebab pneumonia tersebut, pasien juga akan diberikan edukasi saat dilakukan kunjungan tersebut. Berdasarkan data dari puskesmas faktor resiko yang paling banyak yaitu masalah lingkungan yang berdebu karena daerah konstruksi sehingga banyak kendaraan berat yang memuat pasir lalulalang serta masih banyak prilaku masyarakat yang menggunakan kayu bakar untuk memasak dan menggunakan obat nyamuk bakar. Target yang diberikan dinas kabupaten untuk penyakit ISPA adalah sebesar 80 %., pada Puskesmas Donggala telah mencapai bahkan melebihi target tersebut hanya saja desa loli tidak mencapai 100 % karena masyarakat lebih memilih untuk berobat langsung ke kota Palu atau dokter spesialis mengingat jarak desa tersebut dengan puskesmas yang jauh. Gambar 1 Alur pelayanan pasien di Puskesmas Donggala

Pasien datang

Pendaftaran di loket

ukur TB, BB,Tanda Vital,

Apotik Memberikan obat sesuai resep dokter

Edukasi & pencatatan pasien (jika ISPA penumonia dilakukan Home Visite)

Poli (anamnesis penatalaksanaan)

16

BAB IV KESIMPULAN I.

Kesimpulan Angka kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas donggala masih tinggi sebagai peringkat pertama dari sepuluh penyakit terbanyak dalam 2 tahun terakhir, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko yaitu : 1.

Perilaku masyarakat yang masih kurang terhadap kebersihan diri dan lingkungannya.

2.

Lingkungan fisik (perumahan) maupun sosial (kondisi masyarakat sekitar pasien) yang masih kurang guna mendukung pencapaian kondisi sehat dari masyarakat.

3.

Pelayanan kesehatan yang belum maksimal dan kurang menjangkau masyarakat akan terpenuhinya kesadaran dan kemauan masyarakat untuk merubah pola pikir serta perilakunya dalam hal kesehatan pribadinya maupun keluarganya.

II. Saran Upaya

pencegahan

(preventif)

terhadap

penyakit

ISPA

dapat

dilaksanakan dengan mengaplikasikan lima tingkat pencegahan penyakit (five level prevention), sebagai berikut : 1.

Promosi kesehatan Promosi kesehatan dalam mencegah terjadinya ISPA dapat dilakukan dengan cara : a.

Meningkatkan penyuluhan mengenai kebutuhan nutrisi anak terutama pemberian ASI eksklusif.

b.

Meningkatkan penyuluhan mengenai tumbuh kembang anak.

c.

Meningkatkan penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat.

d.

Meningkatkan penyuluhan mengenai ISPA

17

2.

Perlindungan khusus Perlindungan khusus dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan cara : a.

Perbaikan status gizi perorangan/masyarakat seperti mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi seimbang.

b. 3.

Pemberian ASI eksklusif kepada bayi yang baru lahir.

Diagnosis dini dan pengobatan segera Diagnosis dini dan pengobatan segera dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyakit yang lebih berat. Upaya yang dapat dilakukan, yaitu :

4.

a.

Mencari kasus sedini mungkin.

b.

Penatalaksanaan yang tepat pada puskesmas melalui MTBS

Pambatasan Cacat Pembatasan cacat merupakan pencegahan untuk terjadinya kecatatan atau kematian akibat ISPA. Adapun upaya yang dapat dilakukan, yaitu : a.

Melakukan pengobatan dan perawatan sesuai pedoman sehingga penderita sembuh dan tidak terjadi komplikasi.

b.

Meningkatkan

fasilitas

kesehatan

sebagai

penunjang

untuk

memungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif. 5.

Rehabilitasi Rehabilitasi dalam mencegah ISPA dapat dilakukan dengan cara : a.

Rehabilitasi fisik/medik apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat ISPA

b.

Pemberantasan, seperti : -

Penyuluhan kesehatan,terutama kepada ibu-ibu.

-

Pengobatan dan perawatan kasus dengan tepat.

-

Mendapatkan imunisasi dasar yang lengkap.

18

DAFTAR PUSTAKA

Dewi A.C. 2012. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Gayamsari Kota Semar4ang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol.1,No.2 Sofia.2017. Environmental risk factors for the incidence of ARI in infants in the working area of the Community Health Center Ingin Jaya District of Aceh Besar. Aceh Nutrition Journal, Vol.2,No.1 Suryani I, Edison, Nazar J. 2015. Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya. Jurnal Kesehan Andalas, Vol.4,No.1 Kemenkes RI. 2015. Buku Bagan Menejemen Terpadu Balita Sakit. Kemenkes RI, Jakarta Deasy, JoAnn and Werner, Karen. 2009. Acute Respiratory Tract Infections ; When Are Antibiotics Indicated?. Cited 17 Desember 2017. Available from: www.jaapa.com. Goldman, Lee and Aussielo, Dennis.2015. Cecil Medicine . USA : Elsevier Inc. Rasmaliah.

2004.

Infeksi

Penanggulangannya.

Cited

Saluran 17

Pernapasan

Desember

2017.

Akut

(ISPA)

Available

dan

from

:

http://library.usu.ac.id/ Rubin, Michael A, et al. 2015. Harrison’s Principle of Internal Medicine. USA : McGraw Hill. WHO. 2009. Acute Respiratory Infections. Cited 17 Desember 2017. Available from : www.who.int/vaccine_research/diseases/ari/en/print.html

19

DOKUMENTASI

Gambar 1. Halaman

Gambar 2. Rumah depan

Gambar 3 kamar tidur

Gambar4 tempat cuci dan dapur

Gambar 5 selokan samping rumah

Gambar 6 kamar mandi

20

More Documents from "Nur evayanti"