REFLEKSI KASUS
NOVEMBER 2018
FRAKTUR PELVIS + OPEN FRAKTUR PEDIS SINISTRA
DI SUSUN OLEH : NAMA
: Musyarafa
NIM
: N 111 17 058
PEMBIMBING: dr. MUH. ARDI MUNIR, M.Kes., Sp.OT, FICS, M.H
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH UNIVERSITAS TADULAKO FAKULTAS KEDOKTERAN PALU 2018
1
BAB I LATAR BELAKANG
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan epifisis dan atau tulang rawan sendi baik yang bersifat total maupun yang parsial. Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik). Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Fraktur dapat disebabkan trauma langsung atau tidak langsung. Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu. Trauma tidak langsung bila titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.1 Fraktur pelvis merupakan 5 % dari seluruh fraktur. 2/3 trauma pelvis terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai trauma pada alatalat dalam rongga panggul seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah.2 Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada ramus pubis , perdarahan peritoneum atau saluran kemih.2 Fraktur pelvis merupakan cedera yang membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur ramus pubis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera ramus pubis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur ramus pubis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% .3
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi 1. Tulang-Tulang Panggul Terdiri dari: a. Os coxae, terdiri dari: ilium,iskium,pubis. Coxae Terletak di sebelah depan dan samping dari Pelvis wanita. Os Coxae terdiri dari 3 buah tulang penyusun, yaitu OsIlium, Os Ischium, dan Os Pubis.1 1) Os Ilium Merupakan tulang terbesar dari panggul dan membentuk bagian atas dan belakang panggul. Memiliki permukaan anterior berbentuk konkaf yang disebut fossa iliaca.Bagian atasnya disebut Krista iliaca. Ujungujung disebut Spina Iliaca anterior superior dan spina Iliaca posterior superior.Terdapat tonjolan memanjang di bagian dalam os ilium yang membagi pelvis mayor dan pelvis minor disebut linea innominata (linea terminalis).1 2) Os Ischium Terdapat disebelah bawah os ilium.Merupakan tulang yang tebal dengan tiga tepi di belakang foramen obturator. Os
Ichium
merupakan
bagian
terendah
dari
Os
Coxae.Memiliki tonjolan di bawah tulang duduk yang sangat tebal disebut Tuber Ischii berfungsi penyangga tubuh sewaktu duduk.1
3
3) Os Pubis Terdapat disebelah bawah dan depan os ilium.Dengan tulang duduk dibatasi oleh foramen obturatum.Terdiri atas korpus (mengembang ke bagian anterior).2 Os Pubis terdiri dari ramus superior (meluas dari korpus ke asetabulum) dan ramus inferior (meluas ke belakang dan berat dengan ramus ischium). Ramus superior os pubis berhubungan dengan dengan os ilium, sedangkan ramus inferior kanan dan kiri membentuk arkus pubis. Ramus inferior berhubungan dengan os ischium.1 b. Os sacrum Tulang ini berbentuk segitiga dengan lebar dibagian atas dan mengecil dibagian bawahnya. Tulang kelangkang terletak di antara kedua tulang pangkal paha yang terdiri dari dan mempunyai ciri :Os sacrum berbentuk baji, terdiri atas 5 vertebra sacralis.Vertebra pertama paling besar, mengahadap ke depan. Pinggir atas vertebra ini dikenal sebagai promontorium, merupakan suatu tanda penting dalam penilaian ukuran-ukuran panggul.Di kanan dan kiri, garis tengah terdapat lubang yang akan dilalui saraf: foramina sacralis anterior.1 c. Os coccygis Berbentuk segitiga dengan ruas 3 sampai 5 buah bersatu.Pada saat persalinan, Os Coccygis dapat didorong ke belakang sehingga dapat memperluas jalan lahir.Yang ketiganya saling berhubungan, didepan: simfisis pubis, dibelakang artikulasio sakroiliaka, dibawah artikulasio sakrokoksigea. Yang memungkinkan pergeseran untuk memperbesar sedikit ukuran panggul saat persalinan.1 Secara fungsional panggul terdiri dari 2 bagian:1 a. Pelvis mayor/ False Pelvis: diatas linea terminalis. b. Pelvis Minor/ True Pelvis: dibawah linea terminalis, yang bentuknya menyerupai saluran bersumbu melengkung kedepan / sumbu carus.
4
Sumbu
carus
adalah
garis
yang
menghubungkan
titik-titik
persekutuan antara diameter transversa dan conjugata vera pada Pintu Atas Panggul (PAP) dengan titik-titik sejenis di H II,III,IV. Bidang atas saluran ini normalnya berbentuk hampir bulat disebut Pintu Atas Panggul/ Pelvic inlet. Bidang bawah saluran ini terdiri 2 bagian disebut Pintu Bawah Panggul/ Pelvic outlet. Diantara kedua pintu ini terdapat ruang panggul/ Pelvic cavity; yang menyempit dibagian tengah disebabkan oleh adanya spina iskiadika yang kadang menonjol ke dalam ruang panggul.2 Kapasitas pintu atas panggul (pelvic inlet capacity, IC) dan pintu tengah panggul (midpelvic capacity, MC) dapat dihitung dengan rumus :adalah kapasitas inlet panggul dihitung dalam gram adalah 95% x 4000 g=3800 g, dan kapasitas midpelvis adalah 80% x 4000 g=3200 g. Maka kapasitas terkecil panggul itu adalah 3200 g, karena jika lebih dari itu bayi tidak akan dapat melewati midpelvis. Nilai ini disebut sebagai Daya Akomodasi Panggul (DAP).2 Daya akomodasi panggul adalah Kemampuan suatu panggul untuk dapat dilewati oleh anak terbesar, nilainya sama dengan kapasitas terkecil bidang panggul tersebut.Bentuk dan ukuran panggul pada wanita dewasa umumnya tetap seumur hidup, kecuali jika ada pengaruh trauma, infeksi panggul, atau tumor. Begitu pula daya akomodasi panggul wanita tersebut akan tetap. Sehingga jika ada riwayat pemeriksaan panggul dengan radiologi (Roentgen, CT scan atau ultrasonografi), jika tidak ada kecurigaan
yang
memungkinkan terjadi perubahan tersebut, pemeriksaan tidak perlu diulangi lagi.2 PINTU ATAS PANGGUL (PAP) Pintu atas panggul adalah suatu bidang yang dibentuk oleh promontorium, korpus vertebrae sacral 1, linea terminalis, pinggir atas simfisis.Jarak dari pinggir atas simfisis ke promontorium (conjugata vera) adalah 11cm.Jarak terjauh garis melintang (diameter transversa) adalah
5
12,5–13 cm.Dari artikulasio sakroiliaka ke titik persekutuan diameter transversa dan conjugata vera ke linea terminalis (diameter oblique) adalah 13 cm. Jarak bagian bawah simfisis ke promontorium (conjugata diagonalis) secara statistik diketahui Conjugata Vera=Conjugata Diagonal–1,5cm Jarak dari bagian dalam tengah simfisis ke promontorium (conjugata obstetrica).1 Dalam obstetric dikenal 4 jenis panggul: a. Ginekoid (45%) Jenis yang paling baik, dimana bentuk PAP hampir bulat. b. Android (15%) PAP berbentuk segitiga. Umumnya bentuk ini dimiliki pria. Dimana diameter anterior-posterior hampir sama dengan diameter transversa, mendekati sakrum. c. Antropoid (35%) PAP agak lonjong seperti telur. Panjang diameter anterior-posterior lebih besar. d. Platipelloid (15%) Sebenarnya jenis ginekoid yang menyempit pada arah mukabelakang. Untuk mengetahui ukuran pelvis secara tepat dengan pelvimetri rontgen, namun hanya untuk indikasi tertentu seperti: a. Feto-pelvic disproportion b. Ada riwayat trauma c. Penyakit tuberkulosa tulang panggul d. Bekas SC dan rencana partus pervaginam pada letak sungsang, presentsi muka, kelainan letak lain. PINTUBAWAH PANGGUL (PBP) Terdiri dari 2 bidang datar, yaitu bidang yang dibentuk oleh garis antara kedua tuber ossis iskii dengan ujung os sacrum dan segitiga lainnya dengan bagian bawah simfisis. Pinggir bawah simfisis berbentuk
6
melengkung ke bawah membentuk sudut (arkus pubis) normalnya kurang lebih 900. Jarak antara kedua tuber ossis iskii (distansia tuberum) kurang lebih 10,5 cm. pinggir bawah simfisis berbentuk lengkung ke bawah dan merupakan sudut (arkus pubis).dalam keadaan normal besarnya sudut ini ± 900 atau lebih sedikit. Bila kurang sekali dari 900 ,maka kepala janin akan lebih sulit dilahirkan karna memerlukan tempat lebih banyak ke dorsal. Dalam hal ini perlu di lihat, apakah ujung os sacrum tidak menonjol ke depan hingga kepala janin tidak dapat dilahirkan. Jarak antara kedua tuber ossis iskii (distansia tuberum) tengah-tengah distansia tuberum ke ujung sacrum (diameter sagitalis posterior) harus cukup panjang agar bayi normal dapat dilahirkan.1 RUANG PANGGUL (PELVIC CAVITY) Di panggul tengah penyempitan dipanggul tengah setinggi spina iskiadika (distansia interspinarum) kurang lebih 10,5 cm. Bidang terluas pada pertengahan simfisis dengan os sacral. 2-3.1 BIDANG HODGE Kegunaannya untuk menentukan sampai mana bagian terendah janin turun dalam panggul pada persalinan.1 a. Hodge I: dibentuk oleh PAP (setinggi tepi atas simfisis sampai promontorium) b. Hodge II: sejajar HI dibagian bawah simfisis ( sejajar hodge 1setinggi tepi bawah simfisis) c. H III: setinggi spina iskiadika (sejajar hodge 1setinggi spina ischiadika) d. H IV: setinggi os koksigeus (sejajar hodge 1setinggi tepi bawah os. coccigys UKURAN LUAR PANGGUL a. conjugate vera→perbatasan dari tepi atass simfisis sampai ke promontorium tidak dapat di ukur secara klinis, ukuran normal ±11 cm
7
b. conjugate diagonalis→tepi bawah simfisis sampai ke promontorium, ukuran normal ± 12-13 c. diameter oblique→menyilang yaitu dari articulation saccroiliaka sampai tuber pubicum, ukuran normal 12,5 d. Distansia intertrokanterika e. diameter tranversal→jarak antara linea terminalis kiri dan kanan, ukuran normal ±13,5 2. Bagian Lunak Jalan Lahir Pada kala II yang ikut membentuk jalan lahir adalah segmen bawah uterus dan vagina. Otot dasar panggul dibagi: a. Bagian luar: - m. Sfingter ani externus. - m.Bulbokavernosus (mengelilingi vagina). - m. Perinei tansversus superfisialis b. Bagian tengah: - m.Sfingter uretra, - m, iliokoksigeus, m.Iskiokoksigeus, - m. Perinei transversus profundus c. Bagian dalam: - diagfrahma pelvis, terutama m.levator ani. Didalamnya berjalan n.pudendus masuk ke rongga panggul melalui canalis Alcock (antara spina iskiadika dan tuber iskii) penting untuk anestesi blok n.pudendus. Otot-otot yang melingkari uretra (muskulus sfingter uretrae), otototot yang melingkar vagina bagian tengah dan anus, antara lain profundus, dan muskulus levator ini adalah sedemikian rumah, sehingga bagian depan muskulus coccigeous. Patokan yang dipakai adalah ukuran panggul rata-rata perempuan normal, yaitu: a. Pintu atas panggul (pelvic inlet) minimal memiliki diameter 22 cm. b. Pintu tengah panggul (mid pelvic) diameter minimalnya adalah 20 cm. c. Pintu bawah panggul, panjang diameter normalnya rata-rata minimal 16 cm. Bila ukuran rata-rata pintu panggul tersebut kurang, maka panggul yang bersangkutan kurang sesuai untuk proses persalinan normal. Namun,
8
bisa saja dokter tetap mengusahakan agar bayi bisa keluar secara alamiahBatas bawah pintu bawah panggul berbentuk segi empat panjang, di sebelah anterior dibatasi oleh arkus pubis, di lateral oleh tuber ischii, dan di posterior oleh os coccygeus dan ligamen sacrotuberosum. Pada panggul normal besar sudut (arkus pubis) adalah kurang lebih 90o, lahirnya kepala janin lebih sulit karena ia memerlukan lebih banyak tempat ke posterior. Diameter anteroposterior pintu bawah panggul diukur dari aspeks arkus pubis ke ujug os coccygeus.1
Gambar 1. Anatomi os pelvis.3
2.1 Definisi Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasanyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur adalah terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Sehingga fraktur pelvis dapat dikatakan sebagai trauma tulang rawan pada pelvis yang disebabkan oleh ruda paksa, misal: kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, dan lain-lain.3
9
Fraktur pelvis merupakan 5% dari seluruh fraktur. 2/3 trauma pelvis terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah.3 Fraktur pelvis berhubungan dengan injuri arteri mayor, saluran kemih bagian bawah, uterus, testis, anorektal dinding abdomen, dan tulang belakang. Dapat menyebabkan hemoragic (pelvis dapat menahan sebanyak ±4 liter darah) dan umumnya timbul manifestasi klinis seperti hipotensi, nyeri dengan penekanan pada pelvis, perdarahan peritoneum atau saluran kemih. 3 Fraktur
pelvis
berkekuatan-tinggi
merupakan
cedera
yang
membahayakan jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kirakira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar. 3 2.2 Etiologi4 1.
Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.
2.
Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
3.
Proses penyakit: kanker dan riketsia.
4.
Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.
5.
Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).
10
2.3. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.2 Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Hal inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.2 Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis.2
2.4. Jenis-jenis fraktur Jenis fraktur dapat dibagi menjadi:4 a. Fraktur komplit Patah pada seluruh garis tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi normal. b. Fraktur inkomplit Patah tulang yang terjadi pada sebagian garis tengah tulang. c. Fraktur tertutup Patah tulang yang tidak menyebabkan robekan pada kulit. Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. d. Fraktur terbuka/fraktur komplikata
11
Patah tulang dengan luka pada pada kulit dan atau membran mukosa sampai patahan tulang. Fraktur terbuka dibagi menjadi :4 1. Grade I : fraktur terbuka dengan luka bersih kurang dari 1 cm 2. Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan extensif sekitarnya. 3. Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif dan sangat terkontaminasi. Menurut Feldman (1999), fraktur terbuka grade III dibagi lagi menjadi:
Grade IIIA: terjadi kerusakan soft tissue pada bagian tulang yang terbuka.
Grade IIIB: trauma yang menyebabkan kerusakan periosteum ekstensif dan membutuhkan teknik bedah plastik untuk menutupnya.
Grade IIIC: fraktur terbuka termasuk rusaknya pembuluh darah besar.
Gambar 3. Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo and Anderson.4
Jenis fraktur yang khusus lain seperti:5 1. Greenstick: salah satu sisi tulang patah dan sisi lainnya membengkok. 2. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang 3. Oblik: garis patahan membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
12
4. Spiral: fraktur yang memuntir seputar batang tulang 5. Kominutif: tulang pecah menjadi beberapa bagian 6. Kompresif: tulang mengalami kompresi/penekanan pada bagian tulang lainnya seperti (pada tulang belakang) 7. Depresif: fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (pada tulang tengkorak) 8. Patologik: fraktur pada tulang yang berpenyakit seperti penyakit Paget, Osteosarcoma.
Gambar 4. bentuk garis fraktur.5
2.5. Klasifikasi Fraktur Pelvis Menurut Marvin Tile disruption of pelvic ring dibagi : 1. Stable (Tipe A) 2. Unstable (Tipe B) 3. Miscellaneous (Tipe C) Fraktur Tipe A : pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis. Fraktur Tipe B dan C: pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat
13
bersifat lokal tetapi sering meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri.6
2.6. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna.6 a) Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi. b) Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang normal. c) Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur. d) Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. e) Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
2.7. Penatalaksanaan Fraktur Selama pengkajian primer dan resusitasi, sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft tissue pada area yang cedera.6 Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi
semula
(reposisi)
dan
mempertahankan
posisi
itu
selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi).6 a) Reposisi Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang
14
berarti seperti pada fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan
terus-menerus
beberapa
minggu,
selama masa
kemudian
tertentu,
diikuti
misalnya
dengan imobilisasi.
Tindakan ini dilakukan pada fraktur yang bila direposisi secara manipulasi
akan
terdislokasi
kembali
dalam
gips.
Cara
ini
dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur. Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur
kolum femur.
dengan meja traksi, prosthesis secara
Fragmen
direposisi
setelah tereposisi,
operatif pada
secara
non-operatif
dilakukan pemasangan
kolum femur. Reposisi
diikuti
dengan imobilisasi dengan fiksasi luar (ORIF) dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang, dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, pasien dengan cedera multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat,
atau
yang terkait
dengan cedera kepala, fraktur dengan
infeksi.6 Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi. a) Reduksi fraktur Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.6
15
Reduksi tertutup Reduksi
tertutup
dilakukan
dengan
mengembalikan
fragmen tulang kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual Reduksi terbuka Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, plat sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan solid terjadi. Traksi Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:6
Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.
b) Imobilisasi fraktur Setelah
fraktur
direduksi,
fragmen
tulang
harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam.6
16
c) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas seharihari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.6
2.8. Penatalaksanaan fraktur pelvis Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga
1.
panggul 2.
Stabilisasi fraktur panggul, misalnya: a. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic sling b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF Berdasarkan klasifikasi Tile: 1.
Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.
2.
Fraktur Tipe B: a. Fraktur tipe open book Jika
celah
kurang
dari
2.5cm,
diterapi
dengan
cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis. Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii. b. Fraktur tipe close book Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
17
3.
Fraktur Tipe C Sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
2.9. Komplikasi 1. Komplikasi segera a. Trombosis vena ilio femoral : sering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik. b. Robekan kandung kemih : terjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam. c. Robekan uretra : terjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa. d. Trauma rektum dan vagina e. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok. f. Trauma pada saraf : 1) Lesi saraf skiatik : dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi. 2) Lesi pleksus lumbosakralis : biasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf. 2. Komplikasi lanjut a. Pembentukan tulang heterotrofik : biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis. b. Nekrosis avaskuler : dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
18
c. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunder : apabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari. d. Skoliosis kompensator
B. DISLOKASI Anatomi Pedis
Gambar 7. Anatomi pedis.7 Ossa tarsalia Tarsus atau pangkal kaki tersusun oleh:7
Talus Os talus bersendi diatas dengan tibia dan fibula, dibawah dengan os calcaneus, dan didepan dengan os naviculare. Tulang ini mempunyai caput, collum dan corpus.
Calcaneus
19
Adalah tulang besar dari kaki dan membentuk tumit yang menonjol. Tulang ini bersendi dengan talus di atasnya dan dengan os cuboideum didepannya. Calcaneus memiliki enam fascies.
Naviculare Tuberositas ossis navicularis bisa dipalpasi pada pinggir medial kaki lebih kurang 1 inci di inferomedial malleolus medialis dan merupakan tempat perlekatan tendo m. Tibialis posterior.
Cuneiforme Ketiga tulang berbentuk baji yang bersendi dengan os naviculare pada bagian proksimalnya dan pada bagian distal bersendi dengan ketiga ossa metatarsalia yang pertama.
Cuboideum Terdapat alur yang dalam pada aspek inferior-nya sebagai tempat untuk perlekatan m. peroneus longus.
Ossa metatarsalia Ossa metatarsalia dan phalanges masing masing mempunyai caput di distal, corpus dan basis di proksimal. Kelima ossa metatarsalia diberi nomor dari sisi medial ke lateral.7 a. Ossa Metatarsale I Paling pendek dan paling tebal. Pada basis dari aspek plantar kita jumpai tonjolan yang disebut tuberositas ossis metatarsalis I. Corpus-nya berisi tiga. b. Ossa Metatarsale II, III, IV Corpus disini pipih dari sisi ke sisi c. Ossa Metatarsale V Pipih dari atas ke bawah. Pada sisi ke arah lateral kita jumpai penonjolan disebut tuberositas ossis metatarsalis V.
20
Sendi Sendi merupakan hubungan antar tulang sehingga tulang dapat digerakkan. Dimana hubungan dua tulang disebut persendian (artikulasi). Beberapa komponen penunjang sendi:8
Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi sendi. Di bagian dalamnya terdapat rongga.
Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang mengikat luar ujung tulang yang saling membentuk persendian. Ligamentum juga berfungsi mencegah dislokasi.
Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan tulang rawan yang menutupi kedua ujung tulang. Berguna untuk menjaga benturan.
Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.
Ada 5 macam sendi berdasarkan karakteristik masing-masing:8 1) Sindesmosis : adalah sendi dimana dua tulang ditutupi oleh jaringan fibrosa. Misalnya sutura pada tulang tengkorak. 2) Sinkondrosis : adalah sendi dimana kedua tulang ditutupi oleh tulang rawan. Misalnya lempeng epifisis yang merupakan suatu sinkondrosis yang bersifat sementara yang menghubungkan antara epifisis dan metafisis dan memberikan kemungkinan pertumbuhan memanjang pada tulang. 3) Sinostosis : adalah bila sendi mengalami obliterasi dan terjadi penyambungan antara keduanya. Beberapa sindesmosis dan semua sinkondrosis bergabung, menjadi sinostosis. 4) Simfisis : adalah suatu jenis persendian dimana kedua permukaannya ditutupi oleh tulang rawan hialin dan dihubungkan oleh fibrokartilago dan jaringan fibrosa yang kuat. Misalnya pada simfisis pubis dan sendi intervertebra. 5) Sendi sinovial : adalah sendi dimana permukaannya ditutupi oleh tulang rawan hialin dan pinggirnya ditutupi oleh kapsul sendi berupa jaringan fibrosa dan di dalamnya mengandung cairan sinovial.
21
Dislokasi 2.1 Definisi dislokasi Dislokasi adalah perpindahan suatu bagian. Dislokasi sendi atau disebut juga luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk persendian terhadap tulang lainnya. Dislokasi dapat berupa lepas komplet atau parsial , atau subluksasio.9
2.2 Penyebab dislokasi Dislokasi disebabkan oleh :9 1) Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur dislokasi.
Cedera olahraga. Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
Trauma
yang
tidak
berhubungan
dengan
olah
raga.
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
Terjatuh Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
2) Kongenital Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi pangkal paha. Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai yang satu lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian kiri serta kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat bilateral (dua sisi). Adanya kecurigaan yang paling kecil pun terhadap kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan klinik yang cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena tindakan dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan dengan reposisi dan
22
pemasangan bidai selama beberapa bulan, jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan jauh sulit dan diperlukan pembedahan. 3) Patologis Akibatnya destruksi tulang, misalnya tuberkolosis tulang belakang. Dimana patologis: terjadinya ‘tear ligament dan kapsul articuler yang merupakan kompenen vital penghubung tulang.
2.3 Patofisiologi Dislokasi biasanya disebabkan karena faktor fisik yang memaksa sendi untuk bergerak lebih dari jangkauan normalnya, yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik pada komponen tulang sendi, ligamen dan kapsula fibrous, atau pada tulang maupun jaringan lunak. Struktur-struktur tersebut lebih mudah terkena bila yang mengontrol sendi tersebut kurang kuat.9 2.4 Klasifikasi Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:9 1. Dislokasi
kongenital
:
Terjadi
sejak
lahir
akibat
kesalahan
pertumbuhan. 2. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi, misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. 3. Dislokasi traumatik : merupakan kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan di sekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa.
23
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi:
Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi.
Dislokasi Kronik
Dislokasi Berulang : Jika suatu trauma dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.
2.5 Diagnosis Anamnesis : perlu ditanyakan tentang :10
Rasa nyeri
Adanya riwayat trauma
Mekanisme trauma
Ada rasa sendi yang keluar
Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini dapat terjadi pada dislokasi rekurrens.
Pemeriksaan klinis10 a. Deformitas
Hilangnya penonjolan tulang yang normal
Pemendekan
Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
b. Bengkak c. Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal (6,7)
24
Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur. Pemeriksaan diagnostik dengan cara pemeriksaan sinar –X (pemeriksaan X-Rays). 2.7Komplikasi Komplikasi yang dapat menyertai dislokasi antara lain :10 Komplikasi Dini : 1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut 2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak 3) Fraktur disloksi Komplikasi lanjut : 1) Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi 2) Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoidrobekataukapsulterlepasdaribagiandepanleherglenoid 3) Kelemahanotot(2,8) 2.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut :10 o
Lakukan reposisi segera.
o
Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian tanpa anestesi, misalnya : dislokasi siku, dislokasi bahu, dislokasi jari pada fase syok), sislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anestesi loca; dan obat penenang misalnya valium.
o
Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anestesi umum.
25
o
Dislokasi
reduksi:
dikembalikan
ketempat
semula
dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat. o
Kaput
tulang
yang
mengalami
dislokasi
dimanipulasi
dan
dikembalikan ke rongga sendi. o
Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi
o
Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa penyembuhan.(9,10)
26
BAB III STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. E
Umur
: 44 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: parigi
No RM
: 83-71-58
Tanggal masuk RS: 20-09-2018
II. ANAMNESIS Keluhan Utama
: nyeri pada pinggul
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien masuk dengan keluhan nyeri pada pinggul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor sekitar pukul 14.00 siang atau sekitar 1 minggu yang lalu. Pasien mengalami kecelakaan bertabrakan dengan mobil truk, pasien berboncengan dengan suami pasien dengan kecepatan tinggi namun pasien bertabrakan dengan mobil truk sejara berlawanan, dan pinggul pasien terinjak mobil truk. Pasien tetap sadar setelah kecelakaan, riwayat mual atau muntah tidak ada, tidak ada pusing dan sakit kepala. Pasien rujukan rumah sakit morowali. Riwayat peyakit terdahulu : pasien mengaku belum pernah mengalami penyakit yang membuatnya dirawat di rumah sakit sebelumnya. Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma.
27
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada keluarga yang menderita kejadian yang sama. Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, asma pada anggota keluarga. Pemeriksaan fisik : Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentis
Tanda – tanda vital
: 100/60 mmHg
Nadi
: 74 x/menit
Pernapasan
: 20x/menit
Suhu
: 36,70C
Tinggi badan
: 160 cm
Berat Badan
: 50 kg
Keadaan gizi
: baik
Kepala
: normocephal
Mata
: conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (-/-) raccon eye (-/-)
Hidung
: nafas cuping (-), sekret (-), septum deviasi (-), rhinorrea(-)
Telinga
: discharge (-/-), ottorhea(-),
Mulut
: bibir sianosis (-), parrese
Tenggorokan
: T1-T1, faring hiperemis (-).
Leher
: simetris, trakhea ditengah, pembesaran limfonodi (-)
Thorax Pulmo inspeksi
: simetris statis dan dinamis, retraksi sela iga (-/-), jejas (-), oedem (-), hematom (-), deformitas (-). 28
Palpasi
: vocal fremitus simetris kiri dan kanan , nyeri tekan (-/-)
Perkusi
: sonor di kedua lapang paru
Auskultasi
: suara napas veikular kanan dan kiri, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung Auskultasi
: bunyi jantung I-II murni reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi
: datar, jejas (-), hematom (-), oedem (-)
Auskultasi
: bising usus (+)
Palpasi
: nyeri tekan dinding perut (-), defans muskular (-)
Perkusi
: timpani, shifting dullnes (-)
Genital Tidak ada jejas, tidak terdapat nyeri Ekstremitas atas -
Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Ekstremitas bawah -
Akral hangat (+/+), edema (-/-)
Status lokalis: Regio pelvis: LOOK : o Tampak jejas pada region pelvis dengan ukuran yang tidak beraturan, deformitasi (+), bone exposure (-), edema(+), hematoma(+), perdarahan aktif(-) FEEL: o Nyeri tekan (+) o teraba hangat (+) ROM: o ROM knee dan hip terbatas karena nyeri NVD o A. Dorsalis pedis (+) o Sensorik dan motorik dalam batas normal
29
Status lokalis: Regio pedis dextra: LOOK : o Tampak vulnus laceratum dengan ukuran 10 x 10 cm, hematom(+), deformitas(+), edema(+), FEEL: o Nyeri tekan (+) ROM: o ROM metatarsophalangeal joint terbatasa karena nyeri NVD o Capirally refill time < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG Lab. Darah (tanggal 19-09-2018) Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai normal
Darah rutin : Leukosit
11,1
103/ul
4,5-13
Eritrosit
3,55
106/ul
3,8-5,2
Hemoglobin
9,7
g/dl
12,8-16,8
Hematokrit
31,3
%
35-47
MCV
88
Fl
80-100
MCH
27,3
Pg
26-34
MCHC
31,0
g/dl
32-36
Trombosit
388
103/ul
154-442
Eosinofil
4,0
%
0,09
Basofil
0,6
%
0,03
Netrofil
70,2
%
50-70
Limfosit
19,0
%
25-50
Monosit
6,2
%
0,20
Diff count :
Kimia klinik: HbsAg
Non reaktif
30
Foto X-Ray
Gambar 9. Foto Rontgen Regio Pedis Dextra AP/Lateral
Resume Pasien perempuan umur 44 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada pinggul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor sekitar pukul 14.00 siang atau sekitar 1 minggu yang lalu. Pasien mengalami kecelakaan bertabrakan dengan mobil truk, pasien berboncengan dengan suami pasien dengan kecepatan tinggi namun pasien bertabrakan dengan mobil truk sejara berlawanan, dan pinggul pasien terinjak mobil truk. Pasien tetap sadar setelah kecelakaan, riwayat mual atau muntah tidak ada, tidak ada pusing dan sakit kepala. Pasien rujukan rumah sakit morowali. Dari
31
pemeriksaan fisik pada regio pelvis tampak jejas pada dengan ukuran tidak beraturan, deformitas (+), edema (+), hematoma(+), disertai nyeri tekan, ROM knee dan hip terbatas karena nyeri, arteri dorsalis pedis sinistra teraba, sensorik dan motorik dalam batas normal. Pada regio pedis dextra tampak vulnus laceratum dengan ukuran 10 x 10 cm, hematom (+), deformitas (+), edema (+), nyeri tekan (+), ROM metatarsophalangeal joint terbatas karena nyeri, capirally refill time < 2detik. Pada pemerikaan Foto Rontgen Regio Pedis Dextra AP/Lateral tampak dislokasi pada MTP I pedis dextra.
Diagnosis Fracture Pelvis + Open Fraktur Pedis dextra + Anemia
Penatalaksanaan: a.
Medikamentosa IVFD Ringer Lactat 20 tpm Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv Inj. Ketorolac 30mg/8 jam/iv Inj. Ranitidin 50mg/8 jam/iv
b.
-
Pro debridement
-
Skin traksi
Non medikamentosa Diet bebas Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa pasien mengalami patah tulang pelvis dan dislokasi/ pergeseran tulang telapak kaki kanan. Konsul dokter bedah ortopedi untuk menangani lebih lanjut Menjelaskan pada keluarga pasien bahwa diperlukan tindakan operasi untuk penanganan lebih lanjut.
32
Follow up pasien Tanggal 24/09/2018
Keluhan dan Pemeriksaan
Instruksi Dokter
S : nyeri pada panggul (+), Nyeri pada kaki kiri (+), demam (-), BAK (+)
- Ivfd RL 20 tpm
perkateter, BAB biasa
- Cefobactam
O: T : 110/70 mmHg N : 82 x/i
1gr/12jam/iv - Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
P : 20 x/i
- Ranitidin 50
S : 36,5ºC
mg/12jam
Hasil Foto belum ada A : Susp. Close fraktur pelvis
25/09/2018
S : nyeri pada panggul (+), Nyeri pada
- Ivfd RL 20 tpm
kaki kiri (+), demam (-), BAK (+)
- Cefobactam
perkateter, BAB biasa O: T : 110/70 mmHg
1gr/12jam/iv - Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
N : 88 x/i
- Ranitidin 50
P : 22 x/i
mg/12jam
S : 36,8ºC A: Susp. Close fraktur pelvis
26/09/2018
S : nyeri pada panggul (+), Nyeri pada
- Ivfd RL 20 tpm
kaki kiri (+), demam (-), BAK (+)
- Cefobactam
perkateter, BAB biasa O: T : 110/70 mmHg
1gr/12jam/iv - Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
33
N : 88 x/i
- Ranitidin 50
P : 22 x/i
mg/12jam
S : 36,8ºC A: Susp. Close fraktur pelvis
27/09/2018
S : nyeri pada panggul (+), Nyeri pada
- Ivfd RL 20 tpm
kaki kiri (+), demam (-), BAK (+)
- Cefobactam
perkateter, BAB biasa O: T : 110/70 mmHg
1gr/12jam/iv - Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
N : 88 x/i
- Ranitidin 50
P : 22 x/i
mg/12jam
S : 36,8ºC A: Susp. Close fraktur pelvis
28/09/2018
S : nyeri pada panggul (+), Nyeri pada
- Ivfd RL 20 tpm
kaki kiri (+), demam (-), BAK (+)
- Cefobactam
perkateter, BAB biasa O: T : 110/70 mmHg
1gr/12jam/iv - Ketorolac 30 mg/12 jam/iv
N : 88 x/i
- Ranitidin 50
P : 22 x/i
mg/12jam
S : 36,8ºC A: Susp. Close fraktur pelvis
34
BAB IV PEMBAHASAN
Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam. Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang lepas dari sendi). Atau dislokasi adalah suatu keadaan keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila terjadi patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi. Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). (2) Pasien perempuan umur 44 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri pada pinggul sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengalami kecelakaan sepeda motor sekitar pukul 14.00 siang atau sekitar 1 minggu yang lalu. Pasien mengalami kecelakaan bertabrakan dengan mobil truk, pasien berboncengan dengan suami pasien dengan kecepatan tinggi namun pasien bertabrakan dengan mobil truk sejara berlawanan, dan pinggul pasien terinjak mobil truk. Pasien tetap sadar setelah kecelakaan, riwayat mual atau muntah tidak ada, tidak ada pusing dan sakit kepala. Pasien rujukan rumah sakit morowali. Dari pemeriksaan fisik pada regio pelvis tampak jejas pada dengan ukuran tidak beraturan, deformitas (+), edema (+), hematoma(+), disertai nyeri tekan, ROM knee dan hip terbatas karena nyeri, arteri dorsalis pedis sinistra teraba, sensorik dan motorik dalam batas normal. Pada regio pedis dextra tampak vulnus laceratum dengan ukuran 10 x 10 cm, hematom (+), deformitas (+), edema (+),
35
nyeri tekan (+), ROM metatarsophalangeal joint terbatas karena nyeri, capirally refill time < 2detik. Penanganan awal pada kasus ini dilakukan debridement pada open fraktur femur sinistra dan closed reduction pada dislokasi MTP I dextra. Khusus pada fraktur terbuka, harus diperhatikan bahaya terjadi infeksi, baik infeksi umum maupun infeksi lokal pada tulang yang bersangkutan. Empat hal penting yang perlu adalah antibiotik profilaksis, debridement urgent pada luka dan fraktur, stabillisasi fraktur, penutupan luka segera secara definitif. Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut : 1. Pertolongan pertama Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril. 2. Resusitasi Penatalaksanaan sesuai dengan ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangn banyak darah pada frkatur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan resusitasi dilakukan dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan nafas atau denyut jantung karena fraktur terbukaseringkali bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau transfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah pasien stabil. 3. Penilaian awal
36
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri. 4. Terapi antibiotik dan anti tetanus serum (ATS) Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas, yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kgBB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru. Bila dalamperawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk penyesuaian ualng pemberian antibiotik yang digunakan. Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gemaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa, 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unit dengan tes subkutan0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskular. 5. Debridement Operasi bertujuan untuk membersihkan luka dari benda asing dan jaringan mati, memberikan persediaan darah yang baik di seluruh bagian itu. Dalam anestesi
umum,
pakaian
pasien
dilepas,
sementara
itu
asisten
mempertahankan traksi pada tungkai yang mengalami cedera dan menahannya agar tetap ditempat. Pembalut yang sebelumnya digunakan
37
pada luka diganti dengan bantalan yang steril dan kulit di sekelilingnya dibersihkan dan dicukur. Kemudian bantalan tersebut diangkat dan luka diirigasi seluruhnya dengan sejumlah besar garam fisiologis. Irigasi akhir dapat disertai obat antibiotika, misalnya basitrasin. Turniket tidak digunakan karena akan lebih jauh membahayakan sirkulasi dan menyulitkan pengenalan struktur yang mati. Jaringan itu kemudian ditangani sebagai berikut :
Kulit Hanya sesedikit mungkin kulit dieksisi dari tepi luka, pertahankan sebanyak mungkin kulit. Luka perlu diperluas dengan insisi yang terencana untuk memperoleh daerah terbuka yang memadai. Setelah diperbesar, pembalut dan bahan asing lain dapat dilepas.
Fasia Fasia dibelah secara meluas sehingga sirkulasi tidak terhalang.
Otot Otot yang mati berbahaya, ini merupakan makanan bagi bakteri. Otot yang mati ini biasanya dapat dikenal melalui perubahan warna yang keungu-unguannya, konsistensinya yang buruk, tidak dapat berkontraksi bila dirangsang dan tidak berdarah. Semua otot mati dan yang kemampuan hidupnya meragukan perlu dieksisi.
Pembuluh darah Pembuluh darah yang banyak mengalami perdarahan diikat dengan cermat, tetapi untuk meminimalkan jumlah benang yang tertinggal dalam luka, pembuluh darah yang kecil dijepit dengan gunting tang arteri dan dipilin.
Saraf Saraf yang terpotong biasanya terbaik dibiarkan saja. Tetapi, bila luka itu bersih dan ujung-ujung saraf tidak terdiseksi, selubung
38
saraf dijahit dengan bahan yang tidak dapat diserap untuk memudahkan pengenalan di kemudian hari.
Tendon Biasanya, tendon yang terpotong juga dibiarkan saja. Seperti halnya saraf, penjahitan diperbolehkan hanya jika luka itu bersih dan diseksi tidak perlu dilakukan.
Tulang Permukaan fraktur dibersihkan secara perlahan dan ditempatkan kembali pada posisi yang benar. Tulang, seperti kulit, harus diselamatkan dan fragmen baru boleh dibuang bila kecil dan lepas sama sekali.
Sendi Cedera sendi terbuka terbaik diterapi dengan pembersihan luka, penutupan sinovium dan kapsul, dan antibiotik sistemik : drainase atau irigasi sedotan hanya digunakan kalau terjadi kontaminasi hebat.
Debridement dapat juga dilakukan dengan :
Pembersihan luka Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridement) Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang lepas.
Pengobatan fraktur itu sendiri
39
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu traksi skeletal atau reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna tulang. Fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan fiksasi eksterna.
Penutupan kulit Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini tidak dilakukan apabila penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih dari 10 hari. Kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu mendapat perhatian
adalah
penutupan
kulit
tidak
dipaksakan
yang
mengakibatkan sehingga kulit menjadi tegang.
Pemberian antibiotik Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan seudah tindakan operasi.
Pencegahan tetanus Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
6. Penanganan jaringan lunak Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau falap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
40
7. Penutupan luka Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridement dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5 – 7 hari dan luka bebas dan infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis
yaitu
kerusakan
epiphyseal
plate
akibat
infeksi.
Penyambungan tulang pada anak relatif lebih cepat, maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegahnya deformitas. 8. Stabilitas fraktur Dalam melakukan stabilitas fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif. Pemasangan fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan luka baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah perawatan luka harian.
Reduksi harus bertujuan untuk aposisi yang adekuat dan keselarasan normal fragmen tulang. Semakin besar luas permukaan yang berkontak antara fragmen semakin besar kemungkinan penyembuhan terjadi. Celah antara ujung fragmen adalah penyebab umum dari tertundanya penyatuan atau tidak menyatu. Di sisi lain, asalkan ada kontak dan fragmen yang benar sejajar, beberapa tumpang tindih di permukaan fraktur diperbolehkan. Reduksi terbagi menjadi 2:
Reduksi tertutup5
41
Di bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 manuver: (1). bagian distal dari ekstremitas ditarik di garis tulang; (2) sebagai fragmen melepaskan diri, mereka direposisi (dengan membalik arah) dan (3) keselarasan disesuaikan disetiap latar. Ini adalah yang paling efektif ketika periosteum dan otot di satu sisi fraktur tetap utuh; ikatan jaringan lunak mencegah over-reduksi dan menstabilkan fraktur setelah direduksi. Pada umumnya, reduksi tertutup digunakan untuk seluruh fraktur displaced minimal, untuk kebanyakan fraktur pada anak, dan untuk fraktur yang tidak stabil setelah reduksi dan bias digunakan bidai atau gips. Fraktur tidak stabil juga bias direduksi dengan reduksi tertutup untuk distabilkan dengan fiksasi interna maupun eksterna. Ini menghindari manipulasi langsung dari lokasi fraktur dengan reduksi terbuka, yang mana berisiko terjadinya kerusakan suplai darah local dan memperlama waktu penyembuhan.
Reduksi terbuka Indikasi reduksi terbuka: 1). Ketika reduksi tertutup gagal, 2). Adanya fragmen articular yang luas yang butuh pengembalian posisi yang akurat, 3). Untuk traksi fraktur.
Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali dengan maksimal.2,3
Pada pasien terapi yang dilakukan tidak sesuai dengan teori, pasien belum mendapatkan terapi operatif di karenakan kejadian luar biasa pada tanggal 28 september 2018, sehingga pasein hanya dilakukan terapi konservatif. Pasien memilih untuk di pulangkan karaena kondisi rumah sakit tidak kondusif.
Prognosis Qua at vitam
: ad bonam
Qua at fungsionam
: dubia ad bonam
Qua at sanationam
: dubia ad bonam
42
BAB V KESIMPULAN
1. Fraktur terbuka adalah fraktur dimana terdapat hubungan fragmen fraktur dengan dunia luar, baik ujung fragmen fraktur tersebut yang menembus dari dalam hingga kepermukaan kulit atau kulit dipermukaan yang mengalami penetrasi suatu objek yang tajam dari luar hingga kedalam. 2. Dislokasi adalah perpindahan suatu bagian. Dislokasi sendi atau disebut juga luksasio adalah tergesernya permukaan tulang yang membentuk persendian terhadap tulang lainnya. Dislokasi dapat berupa lepas komplet atau parsial atau subluksasio. 3. Dasar diagnosis pada kasus ini didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang serta sesuai teori 4. Penanganan lanjut dari pasien ini adalah dilakukan debridement serta skin traksi pada open fraktur femur sinistra dan closed reduction pada dislokasi MTP I dextra.
43
DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, A. dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius. Jakarta 2. Cole, Warren H and Zollinger Robert M. Textbook of Surgery, Ninth Edition. New York: Meredith Corporation. 3. Salter Robert bruce. 2009. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal System, 3rd-ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 4. Rasjad Chairuddin, 2007, Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi ketiga, Jakarta: PT.Yarsif Watampone (Anggota IKAPI). 5. Reksoprojo, S.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara. Jakarta 6. Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit Buku Kedoktern EGC. Jakarta 7. Appley A Graham
& Salomon Louis, 2015. Orthopedi dan Fraktur
Sistem, Edisi ketujuh, cetakan pertama. Jakarta : Widya Medika. 8. Greene, Walter B, Netter’s Orthopaedics, North Carolina, 9. Weinsterin Stuart L, Turek’s Orthopaedics, Lippincot Wililiams & Wilkins. 10. Shwartz Seymor I. Principles of Surgery, fifth edition. New York, McGraw-Hill, Information Services Company.
44