Refka Aulia.docx

  • Uploaded by: Ancha Noermansyah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Refka Aulia.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,754
  • Pages: 29
Refleksi Kasus

November 2015

“ANESTESI UMUM PADA ANAK YANG MENJALANI OPERASI VP SHUNT e.c. HIDROSEFALUS”

Disusun Oleh: AULIA SALMAH TANDAYU N 111 14 024

Pembimbing Klinik: dr. FARIDNAN, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2015

BAB I PENDAHULUAN

Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan.

Definisi

anestesiologi

berkembang

terus

sesuai

dengan

perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat ini adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi. Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia, relaksasi. Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anesthesia pada orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus diketahui betul sebelum dapat melakukan anestesia karena itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman. Hidrosefalus diambil dari bahasa Yunani hydro (air) dan cephalos (kepala), adalah terdapatnya akumulasi abnormal/berlebihan LSS dalam ventrikel,

1

sehingga terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Kondisi ini bisa terjadi pada semua umur. Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbs cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubunubun (DeVito EE et al, 2007:328). Teknik operasi hidrosefalus dibagi menjadi ventriculoperitoneal shunt dan endoscopic third ventriculostomy. Pada operasi ventrikuloperitoneal shunt diperlukan manajemen anestesi umum yang spesifik terkait dengan keadaan pada pasien hidrosefalus yang mengalami peningkatan tekanan intracranial.

 FAKTOR-FAKTOR

YANG

MENDASARI

PERBEDAAN

DALAM

MELAKUKAN ANESTESI PADA PEDIATRIK DIBANDINGKAN DENGAN ORANG DEWASA

1. Sistem Respirasi Frekuensi pernapasan pada bayi dan anak lebih cepat dibanding orang dewasa. Pada neonatus dan bayi antara 30-40x per menit. Tipe pernapasan neonatus dan bayi ialah abdominal, lewat hidung, sehingga gangguan pada kedua bagian ini memudahkan timbulnya kegawatan pernapasan. Paru-paru lebih mudah rusak karena tekanan ventilasi yang berlebihan, sehingga

2

menyebabkan pneumotoraks atau pneumomediastinum. Laju metabolisme yang tinggi menyebabkan cadangan oksigen yang jauh lebih kecil sehingga kurangnya kadar oksigen yang tersedia pada udara inspirasi dapat menyebabkan terjadinya bahaya hipoksia yang lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa. Neonatus tampaknya lebih dapat bertahan terhadap gangguan hipoksia daripada anak yang besar dan orang dewasa, tetapi hal ini bukan alasan untuk mengabaikan hipoksia pada neonatus. Ada 5 perbedaan anatomi mendasar dari airway pada anak-anak dan dewasa, yaitu : 1. Pada anak-anak, kepala lebih besar, dan lidah juga lebih besar 2. Laring yang letaknya lebih anterior 3. Epiglotis yang lebih panjang 4. Leher dan trakea yang lebih pendek daripada dewasa 5.Cartilago tiroid yang terletak berdekatan dengan jalan napas.

2. Sistem Kardiovaskuler Frekuensi jantung/nadi bayi dan anak berkisar antara 100-120x/menit. Hipoksia menimbulkan bradikardia, karena parasimpatis yang lebih dominan. Kadar hemoglobin neonatus tinggi (16-20 gr%), tetapi kemudian menurun sampai usia 6 bulan (10-12gr%), karena pergantian dari HbF (fetal) menjadi HbA (adult). Jumlah darah bayi secara absolute sedikit, walaupun untuk perhitungan mengandung 90 miligram berat badan, karena itu perdarahan dapat menimbulkan gangguan system kardiosirkulasi dan juga duktus

3

arteriosus dan foramina pada septa interatrium dan interventrikel belum menutup selama beberapa hari setelah lahir.

3. Cairan tubuh Bayi lahir cukup bulan mengandung relatif banyak air yaitu dari berat badan 75%, setelah berusia 1 tahun turun menjadi 65% dan setelah dewasa menjadi 55-60%. Cairan ekstrasel neonatus ialah 40% dari berat badan, sedangkan pada dewasa ialah 20%. Pada Tabel 1. Dapat dilihat perbedaan EBV (Estimated Blood Volume) pada pediatrik berdasarkan umur.

Tabel 1. Perbedaan EBV (Estimated Blood Volume) pada pediatrik berdasarkan umur

3

Umur

EBV

Premature

90-100 cc/kg

Baru lahir

80-90 cc/kg

bulan – 1 tahun

70-80 cc/kg

>1 tahun

70 cc/kg

Dewasa

55-60 cc/kg

4. Pengaruh Terhadap Farmakologi 

Biotransformasi hepar dan ginjal belum sempurna



Penurunan ikatan protein



Induksi dan pemulihan cepat

4



MAC (minimal alveolar concentration) lebih tinggi



Volume distribusi lebih besar pada obat dengan pelarut air



Neuromuskular junction belum sempurna

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hidrosefalus Hidrosefalus merupakan penumpukan cairan serebrospinal (CSS) secara aktif yang menyebabkan dilatasi system ventrikel otak dimana terjadi akumulasi CSS yang berlebihan pada satu atau lebih ventrikel atau ruang subarachnoid. Keadaan ini disebabkan oleh karena terdapat ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi dari CSS.

B. Epidemiologi Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11% 43% disebabkan olehstenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).

C. Etiologi Penyebab terjadinya hidrosefalus pada bayi dan anak dibagi menjadi 2, yaitu :

6

 Penyebab bawaan (kongenital) : Stenosis akuaduktus silvii (10%), Malformasi Dandy-Walker (2-4%), Malformasi Arnold-Chiari tipe 1 dan 2, Agenesis Foramen Monro, Toksoplasmosis kongenital dan Sindroma Bickers-Adams.  Penyebab dapatan : (1) Tumor (20%), misalnya meduloblastoma, astrositoma, kista, abses atau hematoma, (2) Perdarahan intraventrikular, (3)

Meningitis

bacterial,

(4)

Peningkatan

tekanan

sinusvenosus

(akondroplasia, kraniostenosis atau trombosis venous), (5) Iatrogenik : Hipervitaminosis A dapat menyebabkan peningkatan sekresi cairan serebrospinal atau meningkatkan permeabilitas sawar darah otak, sehingga menimbulkan hidrosefalus.

D. Klasifikasi Hidrosefalus 1) Non-communicating : Adanya obstruksi disepanjang saluran CSF (cairan serebrospinal dari ventrikel ke-3 di kepala hingga ruang subarachnoid. Obstruksi tersebut menghalangi penyerapan CSF di subarachnoid space dan arachnoid vili. Contohnya yaitu : sumbatan yang diakibatkan karena aqueductal

stenosis,

ventriculitis,

pembekuan

akibat

perdarahan

interventricular. 2) Communicating : Cairan serebrospinal dapat melalui seluruh lajur foramen termasuk yang didasar otak. Walaupun demikian, tidak terjadi penyerapan ke vena akibat adanya hambatan di arachnoid vili. Keadaan ini dapat

7

disebabkan karena adanya meningitis atau perdarahan subarachnoid yang parah.

E. Penatalaksanaan Hidrosefalus -

Terapi medikamentosa Ditujukan

untuk

membatasi

evolusi

hidrosefalus

melalui

upaya

mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorpsinya. Dapat dicoba pada pasien yang tidak gawat, terutama pada pusat-pusat kesehatan dimana sarana bedah saraf tidak ada. Obat yang sering digunakan adalah: a. Asetasolamid Cara pemberian dan dosis ; Peroral 2-3 x 125 mg / hari, dosis ini dapat ditingkatkan sampai maksimal 1.200 mg/hari b. Furosemid Cara pemberian dan dosis ; Peroral 1,2 mg/kgBB/hari atau injeksi intravena 0,6 mg / kgBB / hari. Bila tidak ada perubahan setelah satu minggu pasien diprogramkan untuk operasi.

8

-

Terapi Pembedahan Ada beberapa jenis Terapi Operatif pada pasien Hidrosefalus, yaitu : a) Third Ventrikulostomi/Ventrikel III Lewat kraniotom, ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS dari ventrikel III dapat mengalir keluar. b) Operasi pintas/Shunting Ada 2 macam : -

Eksternal CSS dialirkan dari ventrikel keluar tubuh, dan bersifat hanya sementara. Misalnya : pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus tekanan normal.

-

Internal a. CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain : ~Ventrikulo-Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna (ThorKjeldsen) ~Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke atrium kanan. ~Ventrikulo-Sinus, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior. ~Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronkhus. ~Ventrikulo-Mediastinal, CSS dialirkan ke mediastinum. ~Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum.

9

b. Lumbo Peritoneal Shunt CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.

F. Manajemen Anestesi Pada Pasien Anak Secara Umum  Persiapan Pre Operatif -

Pemeriksaan riwayat neurologis

-

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) Infeksi sebelum anestesi dapat meningkatkan resiko komplikasi pulmo (hipersekresi, wheezing, laringospasme, hipoksemia, dan atelektasis) sehingga harus diobati dulu. Bila terpaksa dilakukan operasi : Pemberian antikolinergik, ventilasi masker, kelembaban udara pernapasan, pengawasan yg lebih lama di RR.

-

Berat badan yang tepat untuk estimasi cairan pengganti dan dosis obat.

-

Laboratorium dan rontgen

-

Puasa pre operasi. Bayi < 6 bulan : 4 jam Anak < 5 tahun : 6 jam

-

Premedikasi Midazolam (0,07-0,2 mg/kgBB) Ketamin 2-3 mg/kgBB

10

Atropin menurunkan insiden hipotensi pd anak < 3 bln, mengurangi secret -

Monitoring blok neuromuscular.

-

Induksi anestesi:

-



Inhalasi : agen inhalasi



Intravena : ketamin, propofol, pentotal



Intramuskuler : ketamin, midazolam,



Per rektal : ketamin, pentotal

Induksi intravena 

Thiopental (3 mg/kg neonate, 5-6 mg/kg untuk infant dan anakanak).

-



Ketamin1-2 mg/kgBB



Propofol 2-3 mg/kg.



Midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB



Diazepam1-2mg/kgBB

Induksi inhalasi anestesi : a. Alternatif, bila iv line belum terpasang b. Sevoflurane dan Halothan: Sevoflurane : induksi baik, iritasi minimal Halothan : bronkodilatasi, aritmogenik Desflurane dan isofluran : batuk, iritasi jalan napas, laringospasme meningkat.

11

 Induksi -

Induksi harus berjalan dengan baik.

-

Barbirturat merupakan agen yang ideal untuk menurunkan ICP (intracranial pressure), CBF (cerebral blood flow), dan metabolism basal.

-

Pada pasien dengan anomali craniofascial lebih baik diinduksi inhalasi atau awake intubasi.

-

Halotan meningkatkan CBF tapi dapat diminimalisasi dengan hiperventilasi.

-

Isofluran menurunkan konsumsi O2 cerebral tapi bila dihiperventilasi bisa terjadi penurunan CBF.

-

Atracurium menyebabkan pelepasan histamin.

 Intubasi -

Untuk anak <6 tahun digunakan ETT non cuff untuk mencegah trauma subglotis.

-

Gastric tube digunakan untuk mencegah distensi lambung.

-

Lidokain1-1,5 mg/kg digunakan untuk mencegah reflek simpatis dan mencegah peningkatan ICP.

 Maintanance dan pelayanan post operasi -

Isofluran dosis rendah berguna jika diperlukan hipotensi terkontrol.

12

-

N2O harus dihindari pada pembedahan intracranial dan apabila membuka vena besar

 Manajemen Cairan Perioperatif -

Defisit cairan diganti harus tepat 

Aturan 4 : 2 : 1 (4 ml/kg/jam untuk 10 kg pertama, 2 ml/kg/jam untuk 10 kg kedua dan 1 ml/kg/jam untuk sisanya).



Larutan D5 ½ NS dengan 20 mEq/L NaCl → dextrose + elektrolit seimbang.



Larutan D5 ¼ NS → cocok untuk neonatus, karena kemampuan mengatasi Na terbatas.

-

Blood loss / Kehilangan darah 

EBV = Neonatus premature (100 mL/kg), neonatus aterm (85-90 mL/kg), infants (80 mL/kg).



Perdarahan > 10% EBV  berikan darah (Pilihan PRC).

 Maintenance durante operasi. Jaga hemodinamik dan oksigenasi yang baik. Agen inhalasi maintenance durante op : a. Sevoflurane : onset cepat, iritasi kurang. b. Halotan : bronkodilator, tidak iritasi jalan napas.

13

 Emergency dan pelayanan post operasi -

Tujuan utama anestesi pada bedah saraf anak adalah pasien bangun dengan halus untuk mencegah peningkatan ICP.

-

Anestesi inhalasi dapat dieliminasi dengan cepat tanpa efek sisa sehingga cocok untuk anestesi anak yang ICP nya tidak naik.

-

Post operasi anak sering timbul hipoksemia sehingga perlu suplemen O2.

14

BAB III TINJAUAN KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA 

Nama

: An. AP



Umur

: 1 tahun 10 bulan



Alamat

: Biromaru



Agama

: Islam



Ruangan

: Teratai



Tanggal Pemeriksaan

: 2 November 2015



No.Rek.Medis

: 110-101/TR-02

2. ANAMNESIS 

Keluhan Utama

: Lingkar kepala semakin membesar.



Riwayat Penyakit Sekarang

:

Pasien rujukan dari RS. Tora Belo Biromaru dengan diagnosa Hidrocephalus. Kepala yang semakin membesar telah dialami sekitar 3 bulan setelah lahir. Awalnya ibu pasien tidak menyadarinya, tetapi semakin lama kepala dari pasien semakin membesar hingga sekarang. Pasien setiap hari rewel namun daya hisap tidak terganggu. Nafsu makan dan minum juga baik. Demam (-), batuk (-), sesak (-), muntah (-), Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) lancar seperti biasa.

15



Riwayat Penyakit Sebelumnya o Riwayat alergi (-) o Riwayat asthma (-) o Riwayat penyakit jantung (-) o Riwayat operasi sebelumnya (-)

3. PEMERIKSAAN FISIK 





Status Generalis Keadaan Umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Composmentis (GCS E4 V5 M6)

Berat Badan

: 15 kg

Status Gizi

: Gizi Baik

Primary Survey Airway

: Paten

Breathing

: Respirasi 34 kali/menit

Circulation

: Nadi : 108 kali/menit, regular, kuat angkat

Secondary Survey Kepala -

:

Bentuk

: makrocephal (+), sutura melebar (+), fontanela meregang (+)

-

Rambut

: Warna hitam, rontok (-)

-

Kulit kepala

: dilatasi vena (+)

-

Wajah

: Simetris, paralisis facial (-), afek ekspresi serasi,

16

deformitas (-) -

Kulit

Mata

: sianosis (-), massa (-), turgor < 2 detik.

: Sunset phenomenon (+), eksoftalmus (-), enophtalmus (-), palpebra edema (-), ptosis (-), kalazion (-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-). Pupil : Bentuk isokor, bulat, diameter ± 2mm/2mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+).

Hidung & Sinus : Deviasi septum nasi (-), rhinorrhea (-), epistaksis (-). Mulut &Faring : Bibir Lidah

: sianosis (-), pucat (-) : deviasi lidah (-), lidah kotor (-), tremor (-)

Malampati : grade I Leher

:Inspeksi : Jaringan parut (-), massa (-) Palpasi

`

: Pembengkakan kelenjar limfe dan tiroid (-)

Trakhea : Deviasi trakhea (-) Thorax 

Inspeksi

: Normochest, retraksi (-), massa (-), cicatrix (-)



Palpasi

: Ekspansi paru simetris kiri dan kanan, fremitus taktil kesan normal.



Perkusi



Auskultasi : bronkhovesicular +/+, bunyi tambahan (-).

: Sonor (+) diseluruh lapang paru

Jantung 

Inspeksi

: lctus cordis tidak tampak

17



Palpasi

: lctus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula (s)



Perkusi

: Batas atas

: SIC II linea parasternal dextra et sinistra

Batas kanan : SIC V linea parasternal dextra Batas kiri 

: SIC V linea midclavicula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler murni, murmur (-), gallop (-)

Abdomen 

Inspeksi



Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal, Bruit (-).



Perkusi

: Timpani (+) diseluruh kuadran abdomen.



Palpasi

: Organomegali (-), Nyeri tekan (-)

Genitalia

: Bentuk datar, massa (-).

: Dalam batas normal.

Ekstremitas : Atas : Edema (-), Akral dingin (-/-), refleks fisiologis normal, kekuatan 5/5, tonus normal. Bawah : Edema (-), Akral dingin (-/-), refleks fisiologis normal, kekuatan 5/5, tonus normal.

18

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium tanggal 1 November 2015 Hematologi Rutin Parameter

Hasil

Satuan

Range Normal

RBC

4, 51

106/mm3

3,80-5,80

Hemoglobin (Hb)

12,1

gr/dl

11,5-16,0

Hematokrit

36,4 ↓

%

37,0-47,0

PLT

215

103/mm3

150-500

WBC

14,7

103/mm3

4,0-10,0

5. RESUME 

Pasien bayi ♀ usia 1 tahun 10 bulan rujukan dari RS. Tora Belo Biromaru dengan diagnosa

Hidrocephalus. Kepala yang semakin membesar telah

dialami sekitar 3 bulan setelah lahir. Awalnya ibu pasien tidak menyadarinya, tetapi semakin lama kepala dari pasien semakin membesar hingga sekarang. Pasien setiap hari rewel namun daya hisap tidak terganggu. Pemeriksaan Fisik Airway

: Paten

Breathing

: Respirasi 34 kali/menit

Circulation

: Nadi : 108 kali/menit, reguler, kuat angkat

Pemeriksaan Lab WBC ASA

: 14,7. 103/mm3 : II

19

6. DIAGNOSIS KERJA

:

Hdrocephalus

7. TINDAKAN

:

Ventrikulo-Peritoneal Shunt / VP-Shunt

 Persiapan di Kamar Operasi 1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent 2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan 3. Persiapan alat-alat, obat resusitasi 1. Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda vital, tiang infus, pulse oxymetri 2. Evaluasi ulang status present pasien : - Nadi: 108 x/menit - Respirasi: 34 x/menit

 Data Anestesia 1. Jenis anestesi

: Anestesi umum (General Anestesi)

2. Teknik anestesi

: Intubasi

3. Obat

: Sevoflurane

4. E.T.T No.

: 4,5

5. Lama anestesi

: 2 jam 50 menit

6. Lama operasi

: 1 jam 15 menit

20

a. Pre-operatif -

Pasien puasa 6 jam pre-operatif

-

Infus NaCl 500 ml

-

Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal

-

Skin test Anbacim (Cefuroxime acetyl)  cocok (+)

b. Intraoperatif

160 140 120

range

100 80

Nadi

60 40 20 0 9:40 9:55 10:10 10:25 10:40 10:55 11:10 11:25 11:40 11:55 12:10 12:30

Keterangan:

mulai operasi,

mulai anastesi

-

Perdarahan selama operasi: ± 250 cc.

-

Jumlah cairan yang diberikan selama pembedah : NaCL 500 cc.

21

c. Post operatif - Nadi: 104 x/menit - RR: 44 x/menit - GCS E4M3V2, KU Jelek - Terapi: -

NaCl 0,9% 500cc/24 jam

-

Inj. Anbacim 2 x 250 mg / iv / 24 jam

-

Inj. Antrain 3 x 250 mg / iv / 24 jam

-

02 3 lpm

-

Rawat ICU

7. Jumlah medikasi - Sedacum 20 mg - Fentanyl 5 mcg - Recovol 50 mg - Tramus 10 mg - Sevoflurane - Anbacim 750 mg - Dexamethason 2,5 mg - Ketorolac 10 mg.

22

BAB IV PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan intubasi. Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik ASA II dan diputuskan untuk dilakukan anestesi umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut dilakukan di region capitis, termasuk operasi mayor, sehingga dengan teknik tersebut diharapkan jalan napas dapat dikendalikan dengan baik. Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi. Medikasi pre-operatif masih kontroversi. Sulfat Atropin diberikan secara bolus intramuskuler 0,03 mg/kgBB pada periode pre-operative atau intravena pada saat induksi. Atropin sulfat berfungsi sebagai vagolitik dan antisekresi. Sulfat Atropin bekerja sebagai antisekresi pada reseptor post neuro-muscular junction dengan cara melakukan hambatan di reseptor muskarinik secara spesifik sehingga transmisi asetilkolin pada reseptor tersebut dapat digagalkan. Sulfat Atropin bekerja sebagai vagolitik dengan cara mengganggu system kolinergik pada jantung, tujuannya adalah untuk meningkatkan frekuensi denyut ventrikel agar curah jantung meningkat. Jika succinylcholine dibutuhkan ulangan selama operasi, maka diperlukan juga sulfat atropin ulangan untuk mencegah bradikardia. Namun, pada pasien ini tidak diberikan premedikasi sulfat atropin. 23

Pasien juga diberikan premedikasi berupa sedacum yang berisi midazolam termasuk golongan benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk mengurangi respon terhadap stress hormone endogen, mengurangi obat induksi maupun rumatan. Penggunaan midazolam untuk premedikasi pada anak-anak maupun orang usia lanjut memberikan hasil yang baik. Premedikasi mengurangi stres hormone terutama pada anak-anak. Dosis yang aman untuk premedikasi iv/im 0,05 mg/kgBB atay dosis maksimal 2,5 mg. Pada pasien kali ini diberi midazolam dengan dosis 1 mg. Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 µg secara intravena serta

sevofluran 2% secara inhalasi. Fentanil 5 µg bolus intravena

digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan dan distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk lama kerja 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca bedah. Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolism otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial

24

ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Selain itu pasien juga diberikan Recovol 50 mg. Larutan emulsi dengan konsentrasi 1%, metabolism sangat cepat terutama karena biotransformasi. Dalam waktu 30 menit setelah pemberian didapatkan kurang dari 20% propofol yang berada pada sirkulasi. Onset dan pemulihan cepat seperti halnya pentothal, tetapi tidak ada hangover dan gangguan psikomotor. Insidens mual dan muntah yang rendah menyebabkan penderita lebih cepat imobilisasi. Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni bisa digunakan golongan non depolarisasi seperti yang diberikan pada pasien ini yaitu Tramus yang berisi Atracurium besylate 10 mg/ml. non-depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5 – 0,6 mg/kg. Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher bayi dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa endotrakeal tanpa cuff. Dalam beberapa referensi sebaiknya digunakan ETT tanpa cuff karena penampang trakea bayi dan anak kecil berbeda dengan dewasa, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hamper bulat. Apabila digunakan 25

cuff pada bayi dapat mengakibatkan trauma selaput lender trakea yang nantinya dapat menimbulkan edema disekitarnya, dan apabila terjadi edema akan mengakibatkan spasme laring dan dilanjutkan dengan apneu. Namun pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff dengan nomor 4,5. Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni kristaloid untuk mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan. Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan analgetik bias digunakan golongan opioid maupun non-opioid. Pada pasien ini diberikan obat Antrain yang merupakan obat anti nyeri dan anti demam yang mengandung natrium metamizole 500 mg. Metamizole atau dipiron merupakan anti nyeri kuat dan anti demam, metamizole dapat memberikan efek dua hingga empat kali lebih efektif dibandingkan ibuprofen atau parasetamol. Pengunaan metamizole dapat menurunkan demam secara signifikan dan dapat mempertahankan suhu tubuh dalam waktu yang lebih lama dibandingkan ibuprofen. Natrium metamizole merupakan turunan dari metansulfonat yang berasal dari aminoprin. Cara kerja natrium metamizole adalah dengan menghambat rangsangan nyeri pada susunan saraf pusat dan perifer. Penggunaan natrium metamizole diindikasikan pada pasien dengan rasa nyeri hebat, seperti pasien yang baru menjalankan operasi, pasien dengan nyeri kolik.

26

Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada pemeriksaan fisik nadi 102 x/menit, dan laju respirasi 44 x/menit. Maintenance pasien dengan NaCl 0,9% 500 cc/24 jam. Pasien diberikan antibiotik Anbacim 2 x 250 mg/iv/hari IV untuk mencegah infeksi post-operatif. Selain itu juga diberikan analgetik Antrain 3 x 250 mg/iv/hari. Pasien terpasang kanul oksigen 3 lpm. GCS E4M3V2 dan kondisi umum pasien kurang baik. Setelah perhitungan menggunakan skor pemulihan pasca anesthesia skor Steward, didapatkan : -

Pergerakan : gerak tak bertujuan

(1)

-

Pernapasan : Perlu bantuan

(0)

-

Kesadaran : bereaksi terhadap rangsangan

(1)

Skor tidak melebihi 5 sehingga tidak dapat dipindahkan ke bangsal. Setelah dari ruang operasi, pasien dipindahkan di ruang perawatan intensif / ICU.

27

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus,PediatricAnesthesiolgy:TheBasics.http://www.anesthesia.wisc.edu/med3/P eds/pedshandout.html. Diakses pada tanggal 15 November 2015. Bissonette, B., Dalens, B.J., Pediatric Anesthesia : Principles And Practice. McGrawHill. Medical Publishing Division. NewYork.2002:405-413,483-503. Boulton TB. Anestesiologi. Alih Bahasa : Oswari J. Editor: Wulandari WD. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1994 : 134-141. Garne, E., Loane, M., Addor, M.C., Boyd, P.A,. Barisic,I., Dolk H. 2009. Congenital hydrocephalus – prevalence, prenatal diagnosis and outcome of pregnancy in four European regions.Eur J Paediatri Neurol. Apr,30,2009. Rath, Dash, 2012. Anaesthesia for Neurosurgical Procedures in Pediatric Patients. Indian Journal Of Anesthesia, Vol.56, Issue 5. Sainte-Rose,C., Hydrocephalus in childhood. In:Youmans, J.R., ed. Neurological Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company; 1996:890-926.

28

Related Documents

Refka Dka.docx
June 2020 19
Refka Omfalokel.docx
May 2020 18
Refka Peb.docx
October 2019 30
Refka Aulia.docx
May 2020 16
Refka Mollahilatidosa.docx
November 2019 23

More Documents from "Angelia Tikumali Pirade"