Refleksi Kasus
Desember 2018
“TERAPI CAIRAN INTRAOPERATIF PADA PASIEN
FRAKTUR FEMUR SINISTRA”
Disusun Oleh: Siti Rahma Mansur N 111 16 099
Pembimbing Klinik: dr. Faridnan, Sp.An
DEPARTEMEN ILMU ANASTESI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2018
BAB I PENDAHULUAN
Sebagian besar komponen utama yang terdapat dalam tubuh manusia adalah air, di mana jumlahnya sekitar 60% dari total berat badan orang dewasa. Cairan yang terdapat di dalam tubuh manusia tidak hanya berkumpul di satu tempat, melainkan di distribusikan ke dalam ruangan utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstraseluler (CES). Cairan ekstraseluler terbagi di dua bagian yaitu intravaskuler dan interstisial. Cairan dan elektrolit sangat dibutuhkan oleh sel-sel dalam tubuh agar dapat menjaga dan mempertahankan fungsinya sehingga dapat tercipta kondisi yang sehat pada tubuh manusia. Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan suatu hubungan yang erat dan bergantung satu dengan yang lainnya. Cairan merupakan salah satu bagian utama dalam tubuh manusia dengan distribusi sebesar 60% dari berat badan dibandingkan dengan zat padat yaitu 40% dari berat badan. Jumlah total cairan tubuh seseorang bervariasi antara 55-70% dari berat badannya. Variasi ini tergantung dari banyaknya lemak yang dikandung tubuhnya.Semakin gemuk seseorang semakin kurang air yang dikandungnya, sebab lemak kurang mengandung air.Rata-rata kandungan air pada laki-laki sebesar 60% berat badan sedangkan pada perempuan sebesar 55% berat badan Zat cair (60%) terdiri dari cairan intrasel 40% berat badan, cairan ekstrasel 20% berat badan, dan cairan transelular 1-3% berat badan. Cairan ekstrasel dibagi lagi menjadi cairan intravascular dan cairan interstisial. Pada bayi cairan jumlah ekstrasel lebih besar dari intrasel. Perbandingan ini akan berubah sesuai dengan perkembangan tubuh, sehingga pada dewasa cairan intrasel 2 kali cairan ekstrasel. 1. Cairan Intrasel Merupakan cairan yang terkandung didalam sel. 2.
Cairan Ekstrasel Merupakan cairan yang berada diluar sel. Jumlah relative cairan ekstraseluler
berkurang seiring usia, dibagi menjadi:
-
Cairan Intravaskular Cairan yang terkandung dalam pembuluh darah. Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter dimana 3 liternya merupakan plasma dan sisanya terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit.
-
Cairan Interstisial Cairan yang mengelilingi sel, rata-rata volumenya adalah 11-12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe juga termasuk dalam kategori ini.
-
Cairan Transeluler Merupakan cairan yang terkandung di antara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal, perikordial, pleura, sendi synovial, intraocular, dan sekresi saluran pencernaan. Terapi cairan perioperatif mencakup penggantian kehilangan cairan
ataudefisiensi cairan yang ada sebelumnya, dan kehilangan darah pada tindakan bedah seperti pada sebelum tindakan pembedahan, selama, dan pasca pembedahan. Tujuan dari pemberian cairan selama operasi adalah sebagai koreksi kehilangan cairan melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui organ eksresi. Idealnya, perdarahan seharusnya diatasi dengan penggantian cairan dengan kristaloid atau koloid untuk menjaga volume intravascular (normovolemia) sehingga resiko terjadinya anemia dapat diatasi. Tindakan pembedahan, terutama yang memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran pernapasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial. Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur. Fraktur femur dapat disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang
paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha. Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien fraktur femur dengan tindakan Open Reduction Internal Fixation.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. TERAPI CAIRAN Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intervena. Keseimbangan cairan merupakan sebuah istilah dalam mendeskripsikan keseimbangan input dan output dari carian di dalam tubuh untuk menjalankan fungsi proses metabolik secara benar. Air sangat penting untuk kehidupan. Menjaga dan mengoreksi keseimbangan cairan di dalam tubuh juga penting untuk kesehatan. Terapi cairan resusitasi adalah pemberian cairan untuk menolong jiwa pasien yang mengalami syok hipovolemik karena dehidrasi akut dan berat atau perdarahan. Koreksi cairan intravena dapat diberikan dengan cepat dan dalam jumlah cairan yang besar sesuai dengan derajat dehidrasi Sementara itu pada pasien dengan perdarahan sampai sekitar 20% EBV (EBV =
Estimated Blood Volume/ taksiran volume darah), akan
menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekananvena sentral. Penggantian cairan pada perdarahan dihitung berdasarkan volume perdarahan yang hilang dan kebutuhan tubuh. Total Body Water (TBW) Air merupakan komponen utama dalam tubuh yakni sekitar 60% dari berat badan pada laki-laki dewasa. Persentase tersebut bervariasi bergantung beberapa faktor diantaranya:
TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini tergantung pada tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya mengandung sedikit air.
TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang sama, karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak.
TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan jumlah kandungan total air tubuh TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstra seluler (CES) seperti terlihat pada gambar Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki-laki
dewasa dengan berat 70 kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah yang berada di dalam intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada. Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh lainnya. Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan umum antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang merupakan komponen utama intra seluler. Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan stabil namun tetap ada pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang mana tidak membutuhkan energi sebagaimana transport aktif. Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu seluruh cairan di luar sel. Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui celah-celah membrane kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat terlarut dalam cairan ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya,cairan ekstraseluler terus bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma
Gambar 1. Total Body Water.
Jaringan (40%) Tubuh (100%) Cairan Tubuh (60%) 100
Cairan Intraselular (40%) 60 Cairan Ekstraselular (20%) 40
Plasma darah (5 %) 10 Cairan Interstitial (15 %) 30
Penanganan Medis Terhadap Terapi Cairan 1. Restriksi cairan preoperative Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar 300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya kehilangan abnormal cairan.
7,8
Defisit cairan yang telah ada sebelumnya Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi. 2. Faktor-faktor intraoperative 1) Induksi anestesi. Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan
hipovolemia
preoperatif
karena
hilangnya
mekanisme
kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi. 7,8,9,10 2) Kehilangan darah yang abnormal Idealnya, kehilangan darah harus diganti dengan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan intravaskular volume (normovolemia) sampai bahaya anemia melebihi risiko transfusi. Pada saat itu, Kehilangan darah diganti dengan transfusi merah sel darah untuk mempertahankan konsentrasi hemoglobin(atau hematokrit) pada tingkat itu. Tidak ada keharusan pemicu transfusi. Poin di mana manfaat dari transfusi lebih besar daripada risikonya harus dipertimbangkan secara individual. Di bawah konsentrasi hemoglobin 7 g / dL, output jantung istirahat meningkat untuk mempertahankan pengiriman oksigen normal. Peningkatan hemoglobin konsentrasi mungkin sesuai untuk yang lebih tua dan pasien yang sakit dengan penyakit jantung atau paru-paru, terutama ketika ada bukti klinis (misalnya, a mengurangi saturasi oksigen vena campuran dan per- sisting tachycardia) bahwa transfusi akan berguna. Dalam pengaturan selain trauma masif, kebanyakan dokter mengelola solusi Ringer laktat atau Plasmalyte kira-kira tiga sampai empat kali lipat volume darah yang hilang, atau koloid dalam rasio 1: 1, sampai titik transfusi tercapai. Pada waktu itu, darah diganti unituntuk-unit karena hilang, dengan menyusun kembali sel darah merah. 2
Gambar 2. Perkiraan volume darah (EBV).2 Hematokrit menurun hingga 30% dapat dihitung sebagai berikut:
Perkirakan volume darah.
Perkirakan volume sel darah merah (RBCV) di hematokrit pra operasi (RBCV preop).
Perkirakan RBCV pada hematokrit 30% (RBCV 30%), dengan asumsi volume darah normal terawat.
Hitung RBCV yang hilang saat hematokrit adalah 30%; RBCV hilang = RBCV preop - RBCV 30%.
Kehilangan darah yang diijinkan = RBCV hilang × 3. 2
3) Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi). 2 4) Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan).2
3. Faktor-faktor postoperative 2,10,11 1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi 2. Peningkatan katabolisme jaringan 3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif 4. Risiko atau adanya ileus postoperati
B. GENERAL ANESTESI ENDOTRAKEAL 1) Intubasi Endotrakeal a.
Defenisi
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal)
dan
intubasi
nasotrakeal.
Intubasi
endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing.
b. Tujuan Tujuan dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut: a.Mempermudah pemberian anestesi. b.Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernapasan. c.Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d.Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial. e.Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
c. Indikasi Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut : a. Untuk patensi jalan napas, intubasi endotrakeal di indikasikan untuk menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan napas. b. Operasi daerah kepala, leher atau jalan napas atas. c. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran secret pulmo d. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau depresi reflex muntah. e. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas ( tumor supraglotis dan subglotis. f. Aplikasi pada ventilasi tekanan positif
c.
Kontraindikasi Beberapa
kontra
indikasi
bagi
dilakukannya
intubasi
endotrakheal antara lain : 1. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. 2. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Dalam prediksi kesulitan intubasi sering di pakai 8T yaitu : Teeth, Tongue, Temporo mandibula joint, Tonsil, Torticolis, Tiroid notch/TMD, Tumor, Trakea
Mnemonic "LEMON" adalah Metode yang bermanfaat untuk fokus pada evaluasi untuk jalan napas yang berpotensi sulit.
L = Look. Untuk setiap pasien yang mungkin membutuhkan intubasi, dokter harus selalu melihat, karakteristik yang mungkin memprediksi napas berpotensi sulit. Ini termasuk, antara lain, obesitas, micrognathia, bukti operasi kepala dan leher sebelumnya atau iradiasi, kehadiran rambut wajah, kelainan gigi (gigi yang buruk, gigi palsu, gigi besar), wajah sempit, langit-langit tinggi dan melengkung, leher pendek atau leher yang tebal, dan trauma wajah atau leher.
E = Evaluasi 3-3-2 rule. 3-3-2 rule menyatakan bahwa pada pasien dengan anatomi relatif normal berlaku: pembukaan mulut normal adalah tiga (dari pasien) fingerbreadths; dimensi rahang yang normal juga akan memungkinkan tiga fingerbreadths antara mentum dan tulang hyoid; dan kedudukan dari kartilago tiroid harus dua fingerbreadths bawah tulang hyoid.
M = Mallampati. Mallampati menyatakan bahwa ada hubungan antara apa yang dilihat pada visualisasi faring peroral dan yang terlihat dengan laringoskopi. Untuk melakukan evaluasi Mallampati, dengan pasien duduk, pasien memperpanjang lehernya, membuka mulutnya penuh, menonjolkan lidahnya, dan berkata "ah." Visualisasikan jalan napas, mencari lidah, langit-langit lunak dan keras, uvula, dan pilar tonsil.
O = Obstruksi. Evaluasi untuk stridor, benda asing, dan bentuk lain dari obstruksi sub dan supraglottic harus dilakukan pada setiap pasien sebelum laringoskopi.
mobilitas N = Neck. Pasien dengan artritis degeneratif atau arthritis mungkin memiliki gerakan leher terbatas, dan ini harus dinilai untuk menjamin kemampuan untuk extensi leher selama laringoskopi dan intubasi.Pasien yang dicurigai cedera tulang belakang leher traumatis , dan mereka yang memakai neck collar,gerakannya akan terbatas
d. Persiapan intubasi Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan pasien.ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah ketegangan pinggang selama laringoskopi.Persiapan untuk induksi dan intubasi juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan oksigen 100 %. Persiapan alat untuk intubasi antara lain : STATICS Scope Yang dimaksud scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: a. Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa. b. Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa. Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.
Tube Yang dimaksud tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea dan postintubation croup. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya pembukaan mulut atau
dapat
menghalangi
akses
bedah.
Namun
penggunaan nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini : Usia
Diameter (mm)
Skala French
Jarak Sampai Bibir
Prematur
2,0-2,5
10
10 cm
Neonatus
2,5-3,5
12
11cm
1-6 bulan
3,0-4,0
14
11 cm
½-1 tahun
3,0-3,5
16
12 cm
1-4 tahun
4,0-4,5
18
13 cm
4-6 tahun
4,5-,50
20
14 cm
6-8 tahun
5,0-5,5*
22
15-16 cm
8-10 tahun
5,5-6,0*
24
16-17 cm
10-12 tahun
6,0-6,5*
26
17-18 cm
12-14 tahun
6,5-7,0
28-30
18-22 cm
Dewasa
6,5-8,5
28-30
20-24 cm
7,5-10
32-34
20-24 cm
wanita Dewasa pria
*Tersedia dengan atau tanpa kaf Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil: Diameter dalam pipa trakea (mm)
= 4,0 + ¼ umur
(tahun) Panjang pipa orotrakeal (cm)
= 12 + ½ umur
(tahun) Panjang pipa nasotrakeal (cm)
= 12 + ½ umur
(tahun) Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan
patensi,
mencegah
mempermudah ventilasi, oksigenasi dan pengisapan
aspirasi
serta
Gambar Pipa endotrakeal
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optic. Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil
tekanan
tinggi
hendaknya
tidak
dipakai
karena
dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun). Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan lebih dini Size PLAIN
Size CUFFED
2,5 mm
4,5 mm
3,0 mm
5,0 mm
3,5 mm
5,5 mm
4,0 mm
6,0 mm
4,5 mm
6,5 mm
5,0 mm
7,0 mm
5,5 mm
7,5 mm
Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal
Airway Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya
jalan
napas
yaitu
pipa
mulut-faring
(Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasotracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
Tape Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
Introducer Introducer yang dimaksud adalah mandrin atau stilet dari kawat yang dibungkus plastik (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
Gambar Stylet Connector Connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask ataupun peralatan anesthesia.
Suction Suction yang dimaksud adalah penyedot lender, ludah dan cairan lainnya.
Gambar Alat-alat Intubasi Endotrakeal
TEKNIK PEMASANGAN INTUBASI ENDOTRAKEAL a. Beritahukan
pada
penderita
atau
keluarga
mengenai prosedur
tindakan yang akan dilakukan, indikasi dan komplikasinya, dan mintalah
persetujuan
dari
penderita atau keluarga ( informed
consent) b. Cek alat yang diperlukan, pastikan semua berfungsi dengan baik dan pilih pipa endotrakeal ( ET) yang sesuai ukuran. Masukkan stilet ke dalam pipa ET. Jangan sampai ada penonjolan keluar pada ujung balon, buat lengkungan pada pipa fungsi
balon
dan
stilet
dan
cek
dengan mengembangkan dengan udara 10 ml.
Jika fungsi baik, kempeskan balon. Beri pelumas pada ujung pipa ET sampai daerah cuff. c. Letakkan bantal kecil atau penyangga handuk setinggi 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala sedikit ekstensi. (jika resiko fraktur cervical dapat disingkirkan) d. Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring . e. Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik melalui bag masker dengan Fi O2 100 %. f.
Buka
memegang
mulut
dengan
cara
cross
finger
dan
tangan
kiri
Laringoskop. g. Masukkan bilah laringoskop dengan lembut menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah ke kiri. Masukkan demi
sedikit
sampai
bilah
sedikit
ujung laringoskop mencapai dasar lidah,
perhatikan agar lidah atau bibir tidak terjepit di antara bilah dan gigi pasien. e. Angkat
laringoskop
ke
kemiringan 30 samapi 40
atasdan
ke
depan
dengan
sejajar aksis pengangan. Jangan sampai
menggunakan gigi sebagai titik tumpu. f.
Bila pita suara sudah terlihat tahan tarikan atau posisi laringoskop dengan menggunakan kekuatan siku dan pergelangan tangan. Masukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut
ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara ± 1 –2 cm atau pada orang dewasa atau kedalaman pipa ET ±19 -23 cm g. Angkat laringoskop dan stilet pipa ET dan isi balon dengan udara 5 –10 ml. Waktu intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik. h. Hubungan pipa ET dengan ambubag dan lakukan ventilasi sambil melakukan
auskultasi
(
asisten),
kemudaian pada paru kanan dan
pertama
pada lambung,
kiri sambil memperhatikan
pengembangan dada.Bila terdengar gurgling
pada
lambung
dan
dada tidak mengembang, berarti pipa ET masuk ke esofagus dan pemasangan pipa harus diulangi setelah melakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik. Berkurangnya bunyi nafas di atas dada kiri biasanya
mengindikasikan
pergeseran
pipa
ke
dalam bronkus
utama kanan dan memerlukan tarikan beberapa cm dari pipa ET. i. Setelah bunyi nafas optimal dicapai, kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 10 cc. j. Lakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut k. Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit pipa ET jika mulai sadar.
l. Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % ( aliran 10 sampai 12 liter per menit)
Komplikasi 1. Selama intubasi a) Trauma gigi geligi b) Laserasi bibir, gusi, laring c) Merangsang saraf simpatis (hipertensi-takikardi) d) Intubasi bronkus e) Intubasi esophagus f) Aspirasi g) Spasme bronkus 2. Setelah ekstubasi a) Spasme laring b) Aspirasi c) Gangguan fonasi d) Edema glottis-subglotis e) Infeksi laring, faring, trakea
Ekstubasi Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan ataupun pasca ekstubasi ada risiko aspirasi. Ekstubasi dikerjakan umumnya pada anesthesia sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari secret dan cairan lainnya.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score Nilai Warna -
Merah muda, 2
-
Pucat, 1
-
Sianosis, 0
Pernapasan -
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
-
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
-
Apnoea atau obstruksi, 0
Sirkulasi -
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
-
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal, 1
-
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0 Kesadaran
-
Sadar, siaga dan orientasi, 2
-
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
-
Tidak berespons, 0
Aktivitas -
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
-
Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
-
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.
BAB III LAPORAN KASUS
4.1. Identitas Pasien Nama
: An. T
Jenis Kelamin
:Perempuan
Umur
: 15 tahun
Berat Badan
: 40 kg
Tinggi Badan
: 149 cm
Alamat
: Dusun II Kerogokan
Pekerjaan
: Pelajar
Agama
: Islam
Diagnosa Pra Anestesi
:Fraktur femur sinistra
Jenis Pembedahan
: ORIF Femur
Tanggal Operasi
: 10 desember 2018
Jenis Anestesi
: General Anestesi
Teknik Anestesi
: Intubasi ETT
4.2. Anamnesis a. Keluhan Utama Sakit pada paha kiri. b. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien masuk RS dengan keluhan sakit pada paha sebelah kiri, pasien mengeluhkan sakit saat berjalan. Keluhan dirasakan sejak pasien mengalami kecelakan pada hari jumat tanggal 7 desember 2018. Pasien belum pernah berobat ke dokter. c. Riwayat Penyakit Sebelumnya -
Riwayat alergi (-)
-
Riwayat asthma (-)
-
Riwayat penyakit jantung (-)
-
Riwayat operasi sebelumnya (-)
4.3.
Pemeriksaan Fisik Pre Operasi a. B1 ( Breath) Airway paten, nafas spontan, reguler, simetris, RR 20x/m, pernapasan cuping hidung (-), snoring (-), stridor (-), buka mulut lebih 3 jari, Mallampati score class I. Auskultasi : Suara napas bronchovesiculer, rhonki (-/-), wheezing (-/-). b. B2 (Blood) Akral hangat, nadi reguler kuat angkat 78 x/m, CRT 2 detik , ictus cordis teraba di SIC 5, S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-). c. B3 ( Brain) Kesadaran composmentis, GCS 15 (E4V5M6), refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm. d. B4 (Bladder) BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, frekuensi 5-6 kali sehari, masalah pada sistem renal/endokrin (-). e. B5 (Bowel) Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen : inspeksi tampak cekung, kesan normal. Auskultasi peristaltik (+), kesan normal. Palpasi nyeri takan (-), massa (-). Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang abdomen. f. B6 (Bone) Nyeri tekan pada paha kiri (+), krepitasi (-), ekstremitas deformitas (+), edema (-).
4.4 Pemeriksaan Penunjang Darah Rutin WBC
: 7,1 x 106/mm3
RBC
: 5,41 x 106/mm3 (H)
Hb
:14,0 g/dL
PLT
: 278 x 103/mm3
HCT
: 42,3 %
LED
: 6 mm/jam
Clotting time
: 7 menit 30 detik
Bleeding time
: 3 menit 30 detik
HbsAg
: Non reaktif
4.5 PERSIAPAN PRE OPERATIF 1. Di Ruangan - Surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+) - Puasa: (+) 8 jam preoperasi - Persiapan Whoole blood (+) 2 bag , Packed Red Cell (+) 1 bag - IVFD RL 16 tpm 2. Di Kamar Operasi -
Assistant yang terlatih
-
STATICS: Scope → stetoskop, laringoskop Tubes → ETT (cuffed) size 6,0 mm Airway → orotracheal airway Tape → plester untuk fiksasi Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan Connector → penyambung antara pipa dan ventilator Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction
-
Peralatan monitor : tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut
-
Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi : atropin sulfat, lidokain, adrenalin, dan efedrin.
3.6 Durante Operatif Laporan Anestesi Durante Operatif -
Jenis anestesi
: Anestesi umum
-
Teknik anestesi
: Intubasi Endotrakeal
-
Obat
: Isofluran
-
E.T.T No.
: 6.0
-
Lama anestesi
: 10.40- 12.25 ( 1 jam 45 menit)
-
Lama operasi
: 10.55 – 12.15 ( 1 jam 20 menit)
-
Anestesiologi
: dr. Ajutor Donny, Sp.An
-
Ahli Bedah
: dr. Sri Sikspiriani, Sp.OT
-
Posisi
: Supinasi
-
Infus
: 1 line di tangan kiri
-
Premedikasi
:
o Midazolam 3 mg o Fentanyl 60 mcg o Atracurium 4 mg -
Jumlah medikasi
:
o Propofol 60 mg - Medikasi lainnya o Ondansetron 4 mg o Dexametason 5 mg o Ketorolac 10 mg o Petidine 20 mg -
Maintanance o Isoflurane maintenance 0,5-2,5 Vol %
- Jumlah cairan
4.6
:
o Input
: 2150 cc
o Output
: 1300 cc
Post Operatif Skor Pemulihan Pasca Anestesi (15 menit di Recovery Room) Aldrette Score Sirkulasi : TD ± 20 mmHg dari normal
2
Kesadaran : sadar penuh
2
Oksigenasi : SpO2>92% (dengan udara bebas)
2
Pernapasan : bisamenarik napas dan batuk bebas
2
Aktivitas : menggerakkan 4 ekstremitas
2
Total
10
Steward Score Pergerakan : Gerak bertujuan
2
Pernapasan : Batuk, menangis
2
Kesadaran : Menangis
2
Total
6
Monitoring Anestesi 160 140 120
Sistol
Nadi
100 80
Diastol
60 Nadi
40 20 0
Tekanan Darah
4.7 Terapi Cairan 1. Berat Badan : 40 kg 2. Jumlah Cairan yang masuk : 2150 cc -
Preoperatif (RL 300 cc)
-
Durante operatif RL : 1500 cc NaCl: 300 cc WB: 350 cc
3. Jumlah cairan keluar : a.
Darah = 900 cc - Perdarahan dari kasa uk 4x4 = 10 buah (15 x 10 = 150 cc) - Kasa lipat 1 buah (2 x 150 = 300 cc) - Tabung suction + 450 cc.
b. Urin = 400 cc - Cairan keluar berupa urin ± 400 cc. 4. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 40 kg
BB (Kg) x 70 ml/kgBB = 70 cc/kg BB x 40 kg = 2.800 cc
% Perdarahan
= Jumlah Perdarahan : EBV x 100% = 900 : 2800 x 100% = 32 %.
5. Perhitungan Cairan a. Input yang diperlukan selama operasi o Cairan Maintanance (M) = (4x10) + (2x10) + (1x20) = 40+ 20 + 20 =80 ml/jam o Cairan defisit pengganti puasa (P) = lama puasa x maintenance = Lama puasa x maintenance = 8 x 80 = 640 ml Cairan yang masuk saat puasa : 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠𝑎𝑛 (𝑡𝑝𝑚)𝑥𝑙𝑎𝑚𝑎𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎 (𝑚) 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙) = ⌊ ⌋ (20) 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙) = ⌊
16 𝑥 480 ⌋= (20)
384 mL
(cairan yang masuk saat puasa) = 384 ml -
Cairan defisit puasa 640-384 = 256 ml
o Stress operasi (operasi besar) : = 8 cc x BB = 8 x 40 = 320 ml/jam o Defisit darah selama 1 jam 20 menit = 900 ml -
Jika diganti dengan cairan koloid atau darah 1:1
-
Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1
Mengganti kehilangan darah = Transfusi + 3x Cairan Kristaloid= Volume darah = 350 + 3x = 900
3x= 900-350 x= 550 x 3 = 1.650 cc Jadi, untuk mengganti kehilangan darah 900 cc diperlukan ± 1.650 cc cairan darah o Total kebutuhan cairan selama 1 jam 20 menit operasi : = Cairan maintenance + Cairan defisit puasa + Stres operasi + perdarahan = 80 + 256 + 320 + 1.650 = 2.306 ml Keseimbangan kebutuhan: = Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 2.150 ml – 2.306 ml = - 156 ml
BAB IV PEMBAHASAN Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik (ASA), serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Yaitu general anestesi dengan intubasi endotrakeal. Pada kasus ini, pasien anak perempuan usia 15 tahun dengan diagnosis malunion fraktur femur dengan rencana tindakan open reduction internal fixation. Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang serta dari pertimbangan usia disimpulkan keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik ASA I. Pada pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis general anastesi. Adapun indikasi dilakukan general anastesi adalah karena waktu operasi yang lama. Selain itu juga untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta
mempertahankan
kelancaran
pernafasan,
mempermudah
pemberian
anestesia, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk) dan pemakaian ventilasi mekanis yang lama, serta mengatasi obstruksi laring akut. Teknik anestesinya semi closed inhalation dengan pemasangan endotrakeal tube. Posisi pasien untuk tindakan intubasi adalah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini di sebut sebagai sniffing position. Secara umum indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain : a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal. b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi. d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah. e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan. f. Operasi intra-torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal. g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal. h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
Selain itu, terdapat juga indikasi intubasi nasal antara lain : a. Bila oral tube menghalangi pekerjaan dokter bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada lidah. b. Pemakaian laringoskop sulit karena keadaan anatomi pasien. c. Bila direct vision pada intubasi gagal. d. Pasien-pasien yang tidak sadar untuk memperbaiki jalan nafas.
Beberapa kontraindikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain: a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus. b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi. Pada pasien ini, sebelumnya telah dilakukan informed consent terkait tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan hematologi untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan. Pada pasien ini,
pemeriksaan fisik ataupun laboraturium tidak menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan. Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat-obat anastesi yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Pasien diberikan premedikasi berupa midazolam termasuk golongan benzodiazepine. Telah diketahui bahwa tujuan pemberian premedikasi ialah untuk mengurangi respon terhadap stress hormone endogen, mengurangi obat induksi maupun rumatan. Penggunaan midazolam untuk premedikasi pada anak-anak maupun orang usia lanjut memberikan hasil yang baik. Premedikasi mengurangi stres hormone terutama pada anak-anak. Dosis yang aman untuk premedikasi iv 0,1-0,2 mg/kgBB. Pada pasien kali ini diberi midazolam dengan dosis 4 mg. Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.Induksi pada pasien ini dilakukan dengan anastesi intravena yaitu Propofol 60 mgI.V (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik. Pemberian fentanyl yang merupakan obat opioid yang bersifat analgesic dan bisa bersifat induksi. Penggunaan premedikasi pada pasien ini betujuan untuk menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian analgesia dan mempermudah induksi dengan menghilangkan rasa khawatir. Injeksi fentanyl 60 mcg pada awalnya sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 2-150 mcg/kgBB. Opioid dosis tinggi yang
deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut. Pemberian Injeksi atracurium 4 mg sebagai pelemas otot untuk mempermudah pemasangan Endotracheal Tube. Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang mempunyai struktur benzilisoquinolin. Pada umumnya mulai kerja atracurium pada dosis 0,1-0,5 mg/Kg iv 2-3 menit untuk intubasi, sedang lama kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit. Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam
keadaan lurus
barulah dimasukkan pipa endotrakeal. Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 6.0. Pemasangan ETT pada pasien ini 1 kali dilakukan dalam keadaan pasien tidak sadar atau dalam kondisi teranestesi. Setelah pasien di intubasi dengan mengunakan endotrakheal tube, maka dialirkan isoflurane 0,5-2,5 vol%, oksigen sekitar 3 L/menit sebagai anestesi rumatan.Isoflurane suatu obat anestesi volatile yang induksinya cepat dan pemulihannya cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran, Isoflurane berefek bronkhodilator, tidak menimbulkan mualmuntah. Isoflurance 1,15 % dalam oksigen murni, dosis isofluran untuk anak usia 11-15 tahun dalam konsentrasi oksigen 100
% adalah 1,16 %. Isoflurane
memiliki bau yang sedikit menyengat maka bila digunakan sebagai induksi sebaiknya dimulai dengan konsentrasi 0,5%. Dalam terapi cairan, jumlah cairan yang masuk adalah 2150 cc dari durante operatif (RL 1500 cc + NacL 300 cc + WB 350 cc) dan jumlah cairan keluar adalah 1300 cc berupa perdarahan yaitu dari kasa 4x4 10 buah (15 x 10 = 150 cc), kasa lipat 1 buah (2 x 150 = 3000 cc) dan tabung suction + 450 cc serta urin ± 400 cc. Estimated Blood Volume (EBV) dengan BB pasien 40 kg. 70 ml/kg BB x 40 kg = 2.800cc, sehingga di didapatkan % perdarahan : 900/2.800 x 100% = 32 %.
Perhitungan Cairan b. Input yang diperlukan selama operasi o Cairan Maintanance (M) : (4x10) + (2x10) + (1x20) = 80 ml/jam o Cairan defisit pengganti puasa (P) : lama puasa x maintenance = Lama puasa x maintenance = 8 jam x 80 = 640 ml Cairan yang masuk saat puasa : 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙) = ⌊ 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑐𝑎𝑖𝑟𝑎𝑛 (𝑚𝑙) = ⌊
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ𝑡𝑒𝑡𝑒𝑠𝑎𝑛 (𝑡𝑝𝑚) 𝑥𝑙𝑎𝑚𝑎𝑝𝑢𝑎𝑠𝑎 (𝑚) ⌋ (20)
16 𝑥 480 ⌋= (20)
384 mL
(cairan yang masuk saat puasa) = 384 ml Cairan defisit puasa 640-384 = 256 ml o Stress operasi (operasi sedang) : 8 cc x BB = 8 x 40 = 320 ml/jam o Defisit darah selama 1 jam 20 menit = 900 ml -
Jika diganti dengan cairan koloid atau darah 1:1
-
Jika diganti dengan cairan kristaloid 3:1
Mengganti kehilangan darah = Transfusi + 3x Cairan Kristaloid= Volume darah = 350 + 3x = 900
3x= 900-350 x= 550 x 3 = 1.650 cc Jadi, untuk mengganti kehilangan darah 900 cc diperlukan ± 1.650 cc cairan darah o Total kebutuhan cairan selama 1 jam 20 menit operasi : = Cairan maintenance + Cairan defisit puasa + Stres operasi + perdarahan = 80 + 256 + 320 + 1.650 = 2.306 ml b. Keseimbangan kebutuhan:
= Cairan masuk – cairan dibutuhkan = 2.150 ml – 2.306 ml = - 156 ml Menjelang operasi hampir selesai, diberikan medikasi berupa ondansetron 4 mg yang berfungsi untuk mencegah mual-muntah pasca operasi, dexamethason 5 mg sebagai kortikosteroid untuk mencegah terjadinya proses inflamasi dan reaksi alergi yang mungkin dapat terjadi, dan penambahan ketorolac 10 mg sebagai analgetik. Ketorolac 30 mg mempunyai efek analgetik yang setara dengan 50 mg pethidin atau 12 mg morphin, tetapi memiliki durasi kerja yang lebih lama serta lebih aman daripada analgetik opioid karena tidak ada evidence depresi nafas. Serta diberi medikasi tambahan berupa petidine 20 mg sebagai analgesik opioid dan juga dapat menghambat batuk. obat angesik dapat digunakan bersamaan (ketorolac dan petidine) yang mungkin diperlukan untuk mendapatkan efek analgesik optimal pada periode pasca bedah awal bila nyeri bertambah berat. Setelah operasi selesai, dilakukan ekstubasi pada pasien. Ekstubasi dapat dilakukan pada stadium anestesi yang dalam dan pernapasan. Pada pasien ini, ekstubasi dilakukan pada stadium anestesi. Sebelum ekstubasi dilakukan terlebih dahulu membersihkan rongga mulut, efek obat pelemas otot sudah tidak ada, dan ventilasi sudah adequate. Melakukan pembersihan mulut sebaiknya dengan kateter yang steril. Walaupun diperlukan untuk membersihkan trachea atau faring dari sekret sebelum ekstubasi, hendaknya tidak dilakukan secara terus menerus bila terjadi batuk dan sianosis. Sebelum dan sesudah melakukan pengisapan, sebaiknya diberikan oksigen. Apabila plester dilepas, balon sudah dikempiskan, lalu dilakukan ekstubasi dan selanjutnya diberikan oksigen dengan sungkup muka. Pipa endotrakheal jangan dicabut apabila sedang melakukan pengisapan karena kateter pengisap bisa menimbulkan lecet pita suara, perdarahan, atau spasme laring. Sesudah dilakukan ektubasi, pasien kembali diberikan oksigen dengan sungkup muka dan kembali dilakukan pembersihan rongga mulut dengan menggunakan suction.
Beberapa saat setelah pasien dikeluarkan dari ruang operasi, didapatkan pada pemeriksaan fisik tekanan darah 120/ 72 mmHG, nadi 96 x/menit, dan laju respirasi 20 x/menit. Pembedahan dilakukan selama 1 jam 20 menit dengan perdarahan ± 900 cc. Pasien kemudian dibawa ke ruang pemulihan (Recovery Room). Aldrete score 10 dan Steward Score 6 maka dapat dipindah ke ruangan.
BAB IV KESIMPULAN
Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan : 1.
Pada kasus dilakukan operasi Pro ORIF pada anak perempuan usia 15 Tahun, dan setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ditentukan status fisik ASA I dan dilakukan jenis anestesi dengan General Anestesi dengan teknik Intubasi endotrakeal.
2.
Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra operatif serta post operatif.
3.
Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Setelah menjalani operasi pasien dikembalikan keruangan.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
2.
Dobson, M. Penuntun Klinis Praktis Anastesi .EGC:Jakarta; 2015.
3.
Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools. Philadelphia: LippincoETT, Williams, and Wilkins.
4.
Morgan GE et al. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Lange Medical Book. 2006.
5.
Catharina, W. 2011, Pemasangan Endotracheal Tube, Pendidikan Profesi Dokter Universitas jenderal Soedirman, Purwokerto Jawa Tengah.
6.
Mansjoer A, Suprohaita, dkk. Ilmu Anestesi.dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta: Media Aesculapius. 2002.
7.
Farmakologi FKUI. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012.
8. Gwinnu ETT CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit EGC: Jakarta 9. Dobson MB. 2012. Penuntun Praktis Anestesi. Penerbit EGC: Jakarta Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. 10. Latief AS, dkk. 2007. Petunjuk praktis anestesiologi: Terapi cairan pada pembedahan. Ed. Ketiga. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI