ANALISIS EFEKTIVITAS WADUK CIAWI MENGGUNAKAN MODEL SWAT SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN BANJIR DAS CILIWUNG
LUTFHI ADHYTIA PUTRA
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul "Analisis Efektivitas Waduk Ciawi Menggunakan Model SWAT Sebagai Upaya Pengendalian Banjir DAS Ciliwung" adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015 Lutfhi Adhytia Putra NIM F44100047
ABSTRAK LUTFHI ADHYTIA PUTRA. Analisis Efektivitas Waduk Ciawi Menggunakan Model SWAT Sebagai Upaya Pengendalian Banjir DAS Ciliwung. Dibimbing oleh YULI SUHARNOTO. Pengelolaan DAS bagian hulu merupakan faktor penting dalam suatu DAS, karena memiliki peran sebagai daerah peresapan air untuk mengurangi aliran permukaan dan timbulnya kejadian banjir. DAS Ciliwung termasuk DAS yang banyak mendapatkan perhatian karena pusat pemerintahan Indonesia, yakni Jakarta yang terletak di hilir DAS tersebut sering mengalami banjir. Program pembangunan Waduk Ciawi pada bagian hulu DAS Ciliwung diharapkan dapat membantu mengatasi masalah tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis efektivitas Waduk Ciawi melalui respon hidrologi yang dihasilkan dengan mengaplikasikan model SWAT. Skenario pemodelan waduk dilakukan pada simulasi hidrologi yang telah terbentuk, sehingga diketahui perubahan respon hidrologi yang terjadi sebelum dan setelah skenario model waduk diterapkan. Hasil yang diperoleh terdapat 28 subbasin dan 516 HRU dengan 9 jenis tutupan lahan, 3 jenis tanah, dan 5 kelas kelerengan pada Sub DAS Ciliwung Hulu. Hasil pemodelan waduk dengan 15 skenario menunjukkan perubahan debit aliran yang secara khusus diamati pada titik outlet 1 (Katulampa). Penurunan jumlah total debit tertinggi yaitu sebesar 158.626 m3 s-1 (34%), penurunan debit puncak terbesar yaitu sebesar 27.07 m3 s-1 (47.79%), dan nilai KRS terbaik yang diperoleh sebesar 28.326 dengan hasil kategori baik. Berdasarkan hasil yang diperoleh, skenario pemodelan waduk berhasil meminimalkan laju debit aliran yang terjadi, sehingga dapat dikatakan pembangunan Waduk Ciawi dianggap cukup efektif. Kata kunci: banjir, DAS Ciliwung Hulu, debit aliran, SWAT, Waduk Ciawi
ABSTRACT LUTFHI ADHYTIA PUTRA. The Analysis of Ciawi Reservoir Effectiveness Using SWAT Model As Ciliwung Watershed Flood Control Effort. Supervised by YULI SUHARNOTO. Management of the upstream watershed was significant factor because it had a role as the water catchment area to decrease the surface flow and potential flood. Ciliwung watershed had been gaining attention because the Indonesia central government, which is Jakarta, was located in the downstream of that watershed frequently flooded. The Ciawi Reservoir construction program on the upstream watershed was expected could help to recover that issue. The aim of this research was to analyse the effectiveness of Ciawi Reservoir by hydrology response that obtained by apply the SWAT model. The scenario of reservoir modelling was made on the hydrology simulation that had been formed, so the alteration of hydrology response that happened before and after the reservoir model applied could be known. There were 28 subbasins and 516 HRUs with 9 types of landuse, 3 soil types, and 5 slope classes on Sub Ciliwung Hulu watershed. The reservoir modelling with 15 scenarios indicated the alteration of flow discharge that specifically observed on
outlet point 1 (Katulampa). The highest total discharge derivation was 158.626 m3 s-1 (34%), while the highest peak discharge derivation was 27.07 m3 s-1 (47.79%), and the best KRS value was 28.326 with good category. Based on the obtained result, the scenario of reservoir modelling managed to minimize the flow rate, so it could be said that the construction of Ciawi Reservoir was considered effective enough. Keywords: Ciawi Reservoir, Ciliwung Hulu Watershed, flood, flow out, SWAT
ANALISIS EFEKTIVITAS WADUK CIAWI MENGGUNAKAN MODEL SWAT SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN BANJIR DAS CILIWUNG
LUTFHI ADHYTIA PUTRA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah bangunan air, dengan judul Analisis Efektivitas Waduk Ciawi Menggunakan Model SWAT Sebagai Upaya Pengendalian Banjir DAS Ciliwung. Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan skripsi ini, diantaranya adalah: 1. Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, solusi, saran, dan seluruh bantuannya mulai dari awal penelitian hingga karya ilmiah ini selesai. 2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS dan Dr. Yudi Chadirin, S.TP selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Bapak Gunadi Firdaus, S.Hut, M.Si dari Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Citarum-Ciliwung yang telah banyak memberikan saran dan membantu selama pengumpulan data dan proses pembelajaran software. 4. Ayah, ibu, adik, serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan baik berupa moral maupun material. 5. Teman-teman seperjuangan mahasiswa Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 47 IPB yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi berjuang selama menjalani masa perkuliahan. Kepada pihak yang ikut membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini dan tidak bisa disebutkan satu-persatu diucapkan juga terima kasih. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saran dan kritik sangat diharapkan guna memperbaiki kualitas dari karya ilmiah ini.
Bogor, Maret 2015 Lutfhi Adhytia Putra
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
x
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Debit Aliran Penggunaan Lahan (Land Use) Gejala Banjir DKI Jakarta Waduk Ciawi Geographic Information System (GIS) Soil and Water Assessment Tool (SWAT)
4 4 6 6 7 8 9 10
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Analisis Data Pengolahan Data Menjalankan Program SWAT Pemodelan Waduk
12 12 12 13 13 16 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Biofisik Penggunaan Lahan Jenis Tanah Kemiringan Lahan Analisis Hidrologi Model SWAT Delineasi Sub DAS Pembentukan dan Definisi HRU Pembentukan Data Iklim Run SWAT Kalibrasi Validasi
27 27 27 28 29 30 31 31 32 34 35 38
Analisis Hidrologi Pemodelan Waduk Skenario Waduk Fluktuasi Debit Aliran
39 40 41
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
44 44 45
DAFTAR PUSTAKA
47
LAMPIRAN
51
RIWAYAT HIDUP
73
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Profil Waduk Ciawi Parameter input iklim bulanan pada weather generator data File data input analisis hidrologi pada SWAT Variable output model SWAT pada subbasin Variable output model SWAT pada outlet sungai Kriteria nilai statistik Nash-Sutcliffe (NS) Parameter input waduk Sebaran tutupan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu Klasifikasi jenis tanah Sub DAS Ciliwung Hulu Kelas kelerengan Sub DAS Ciliwung Hulu Kondisi iklim Sub DAS Ciliwung Hulu Nilai statistik hasil kalibrasi dan validasi Volume dan luas permukaan waduk Input parameter skenario waduk Penurunan jumlah total debit aliran skenario pemodelan waduk Penurunan debit maksimum dan peningkatan debit minimum skenario pemodelan waduk 17 Nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) skenario pemodelan waduk
9 14 18 19 20 21 24 28 29 30 34 39 40 41 42 43 43
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Upstream, middlestream, dan downstream DAS Ciliwung Skema representasi siklus hidrologi model SWAT Tampilan pengolahan data menggunakan pivot table Tampilan program pcpSTAT Tampilan menu delineasi DAS Tampilan menu pembentukan dan definisi HRU
5 11 15 15 16 17
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Tampilan menu pembentukan data generator iklim Tampilan menu pengaturan dan simulasi model SWAT Tampilan kalibrasi parameter menggunakan menu Edit SWAT Input Lokasi desa dan perkiraan Waduk Ciawi pada Google Earth Transformasi dan identifikasi titik koordinat waduk Pembentukan polygon DEM model waduk Input data parameter waduk Diagram alir penelitian Peta tutupan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu Peta jenis tanah Sub DAS Ciliwung Hulu Peta kelerengan Sub DAS Ciliwung Hulu Peta delineasi Sub DAS Ciliwung Hulu Peta HRU (Hydrology Response Unit) Sub DAS Ciliwung Hulu Rataan curah hujan bulanan tahun 1979-2010 Perbandingan debit harian observasi dengan hasil simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu Perbandingan debit bulanan observasi dengan hasil simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu Fluktuasi debit harian observasi dan hasil simulasi terkalibrasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu Fluktuasi debit bulanan observasi dan hasil simulasi terkalibrasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu Fluktuasi debit bulanan observasi dan hasil validasi simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu
18 19 21 22 23 24 25 26 28 29 30 31 32 33 35 35 37 37 38
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Pembagian DAS Ciliwung berdasarkan administrasi daerah Pembagian zona UTM wilayah Indonesia Peta DEM (Digital Elevation Model) Jawa Barat Peta lokasi stasiun cuaca Peta lokasi Waduk Ciawi Pembagian subbasin Sub DAS Ciliwung Hulu Data Generator Iklim (Weather Generator Data) Data debit bulanan tahun 2008-2009 pada titik outlet 1, titik outlet 6, dan titik outlet 7 hasil 15 skenario pemodelan waduk 9 Fluktuasi debit aliran pada masing-masing titik outlet hasil skenario pemodelan waduk 10 Fluktuasi debit aliran masing-masing skenario pemodelan waduk
51 52 53 54 55 56 57 58 61 64
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang dibatasi punggung bukit dimana hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan dialirkan pada satu outlet yang sama. Pengelolaan DAS dibagi atas tiga bagian yaitu DAS bagian hulu, tengah, dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah penting dalam suatu DAS, karena memiliki peran sebagai daerah peresapan air dengan tujuan untuk mengurangi aliran permukaan dan timbulnya kejadian banjir. Kondisi hidrologis suatu DAS dapat dilihat dari kemampuan DAS tersebut dalam menyerap, menahan, menyimpan, dan mengalirkan air sehingga tercipta keseimbangan air. Kondisi hidrologis suatu DAS dikatakan baik jika pada DAS tersebut tidak terjadi banjir pada musim penghujan dan tidak terjadi kekeringan pada musim kemarau (Carolina 2012). Terganggunya salah satu komponen di dalam DAS akan menyebabkan terjadinya perubahan kondisi hidrologis DAS tersebut. Pemanfaatan DAS secara intensif mengakibatkan terjadinya konversi lahan di bagian hulu yang membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kualitas sumberdaya air. Konversi lahan pada umumnya terjadi pada penggunaan lahan hutan menjadi daerah perkebunan dan pertanian, daerah perkebunan menjadi lahan pertanian dan permukiman, daerah pertanian menjadi permukiman dan industri. Tidak jarang terdapat daerah hutan dan perkebunan yang berubah menjadi tanah kosong, terlantar, dan gundul yang kemudian menjadi lahan kritis (Yustika 2013). Perubahan tata guna lahan yang terjadi pada suatu kawasan menyebabkan terjadinya perubahan kondisi kawasan catchment area dan dapat menyebabkan perubahan aliran permukaan. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi debit sungai di outlet Sub DAS dan DAS tersebut. Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama tingginya runoff dibandingkan dengan faktor lainnya. Apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah aliran sungai diubah menjadi pemukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara 6 sampai 20 kali. Angka tersebut tergantung dari jenis hutan dan jenis pemukiman (Kodoatie et al. 2008). Pertambahan penduduk yang mempunyai kecenderungan meningkat seiring bertambahnya waktu, menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan termasuk di DAS bagian hulu. Peningkatan kebutuhan lahan ini berbanding lurus dengan perubahan fungsi lahan. Perubahan fungsi lahan dapat mempengaruhi fungsi hidrologis DAS. Ketika musim penghujan air tidak terserap sepenuhnya oleh lahan dan mengakibatkan limpasan air yang berlebihan, yang tidak termanfaatkan, dan mengakibatkan kerusakan lingkungan seperti erosi dan sedimentasi. Sedimentasi akan mempengaruhi umur bangunan-bangunan penampung air seperti waduk. Dengan semakin besarnya volume sedimen, beban waduk akan semakin berat (Oeurng et al. 2011). DAS memiliki komponen-komponen hidrologi yang kompleks dan mungkin sulit untuk dipahami secara keseluruhan. Proses hidrologi yang terjadi di suatu wilayah merupakan faktor penting dalam menentukan besarnya debit aliran pada outlet sungai seperti curah hujan, infiltrasi, limpasan, evapotranspirasi, retensi permukaan, dan air tanah. Selanjutnya faktor kemiringan lahan, jenis tanah, dan
2 vegetasi di atasnya sangat berperan dalam menentukan besarnya limpasan yang terjadi dan air yang dapat disimpan ke dalam tanah melalui proses infiltrasi. Pengelolaan DAS merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas sumberdaya alam dan ekosistem DAS. DAS Ciliwung Hulu termasuk kedalam DAS yang banyak mendapatkan perhatian karena di bagian wilayah hilir DAS Ciliwung yaitu ibukota negara (Jakarta) sering mengalami kejadian banjir. Tekanan pembangunan yang tinggi pada Sub DAS Ciliwung Hulu menyebabkan DAS ini tergolong salah satu DAS yang mengalami degradasi. Kondisi ini dicirikan oleh pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air, serta perubahan pola penggunaan lahan bervegetasi (Yustika 2013). Pemerintah DKI Jakarta saat ini memiliki program untuk membantu mengatasi banjir dan mengurangi beban air yang masuk dari hulu ke Jakarta. Program tersebut adalah pembangunan beberapa unit waduk di beberapa lokasi sepanjang aliran DAS Ciliwung dan salah satunya di bagian hulu sungai. Keberadaan waduk tersebut dapat menampung air dari hulu dan dapat menjadi potensi sumber air baku di wilayah tersebut. Waduk yang direncanakan adalah Waduk Ciawi yang berlokasi di Desa Cipayung, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Suatu pemodelan hidrologi yang dapat bekerja dengan cepat dan hasil yang akurat diperlukan untuk mengetahui kondisi tutupan lahan dan kondisi biofisik lainnya pada suatu DAS yang cukup luas, serta untuk mengetahui respon hidrologi berupa fluktuasi debit aliran dan sedimentasi sebagai akibat kondisi biofisik tersebut. Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) menurut Gassman et al. (2007), merupakan salah satu model hidrologi yang dianggap paling efektif dalam simulasi hidrologi dan pengelolaan DAS dan dianggap sebagai model yang paling banyak digunakan saat ini. Model ini dapat melakukan proses secara cepat dalam mengkaji hubungan input, proses, dan output dari suatu sistem hidrologi, sehingga dapat mengetahui karakteristik dan respon hidrologi suatu DAS yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Model ini juga dapat digunakan dalam memprediksi kondisi hidrologi DAS berdasarkan perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah, dan terjadinya perubahan iklim global (Neitsch et al. 2011). Berdasarkan kondisi tersebut, penelitian ini mencoba mengaplikasikan model SWAT untuk melihat respon hidrologi dari kondisi biofisik suatu Sub DAS terutama kondisi tutupan lahannya, serta untuk menganalisis respon hidrologi dari penerapan teknik konservasi bangunan air pada Sub DAS yang sama agar dapat direkomendasikan penerapannya di lapangan. Perumusan Masalah Pengelolaan lahan DAS Ciliwung bagian hulu pada saat ini dapat dikatakan masih belum berkelanjutan. Hal ini antara lain dicirikan oleh terjadinya konversi lahan dari lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, peningkatan aliran permukaan dari tahun ke tahun, semakin tingginya perbedaan debit sungai antara musim penghujan dan musim kemarau dan terjadinya peningkatan erosi. Berdasarkan hasil evaluasi Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung (2002), nilai erosi pada tahun 2001 sebesar 247.28 t ha-1 tahun-1 dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 443.21 t ha-1 tahun-1. Hasil penelitian Singgih (2000) dengan menggunakan
3 simulasi model HEC-1 terhadap debit, volume banjir, dan kontribusi terhadap banjir di bagian hilir, menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan tahun 1981 dan tahun 1999 di DAS Ciliwung Hulu mengindikasikan terjadi peningkatan debit sebesar 67%, volume banjir 59%, dan kontribusi banjir di bagian hilir 8%. Program pembangunan waduk yang telah direncanakan sejak tahun 2003 dan membutuhkan anggaran dana yang besar menjadi pertanyaan apakah akan dapat bekerja secara efektif dan mampu membantu mengatasi permasalahan banjir yang terjadi di bagian hilir Sungai Ciliwung. Penggunaan model sebagai suatu penyederhanaan dari realitas yang sebenarnya diperlukan untuk membantu dalam memprediksi proses yang terjadi di dalam DAS. SWAT (Soil and Water Assessment Tool) merupakan suatu model yang dapat memperkirakan kondisi hidrologi berbasis proses fisik (physical based model), sehingga memungkinkan sejumlah proses fisik yang berbeda untuk disimulasikan pada suatu DAS (Neitsch et al. 2011). Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka untuk kepentingan penelitian ini dirumuskan permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi kondisi biofisik (tutupan lahan, jenis tanah, dan kelerengan) Sub DAS Ciliwung Hulu. 2. Respon hidrologi yang berupa debit aliran sungai berdasarkan kondisi biofisik Sub DAS Ciliwung Hulu. 3. Skenario pemodelan waduk untuk mengetahui respon hidrologi setelah dilakukan pemodelan waduk dengan menggunakan SWAT. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis respon hidrologi berdasarkan kondisi biofisik Sub DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan model SWAT sebelum dilakukan penerapan skenario model waduk. 2. Menganalisis efektivitas pembangunan Waduk Ciawi berdasarkan hasil perbandingan respon hidrologi sebelum dan setelah dilakukan penerapan skenario model waduk dengan menggunakan SWAT. Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini diharapkan akan dapat: 1. Memberikan informasi mengenai pengaruh pembangunan Waduk Ciawi sebagai salah satu upaya dalam penanganan kejadian banjir DAS Ciliwung. 2. Memberikan rekomendasi penanganan bencana banjir yang sesuai dengan kondisi lokasi kajian DAS Ciliwung Hulu. 3. Memberikan masukan bagi pemangku kepentingan utamanya pembuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam merencanakan pengelolaan DAS Ciliwung Hulu.
4 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini dibatasi secara kewilayahan hanya membahas DAS Ciliwung bagian hulu. 2. Secara teknis, permasalahan yang diangkat dalam lingkup penelitian ini hanya dilakukan pada aspek biofisik (tutupan lahan, jenis tanah, dan kelerengan) dari Sub DAS Ciliwung Hulu dan tidak dilakukan kajian pada aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan. 3. Respon hidrologi yang diteliti dibatasi hanya pada debit aliran sungai. Adapun data yang digunakan sebagai parameter dalam SWAT merupakan data-data sekunder seperti data tata guna lahan, data jenis tanah, data kelerengan, data debit, data curah hujan, dan sebagainya. Data-data tersebut diolah dengan menggunakan program ArcSWAT.
TINJAUAN PUSTAKA DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Daerah aliran sungai (DAS) adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung sehingga air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung dan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama (Asdak 1995). Menurut Chow et al. (1988), DAS dipandang sebagai suatu sistem hidrologi dimana curah hujan merupakan input dan aliran sungai serta evapotranspirasi adalah output sistem. Secara operasional DAS dapat didefinisikan sebagai wilayah yang terletak di atas suatu titik pada sungai yang oleh batas-batas topografi mengalirkan air yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama pada sungai tersebut. DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS besar yang mengalir melintasi dua propinsi serta kabupaten/kota dan memiliki fungsi penting bagi masyarakat sekitar yaitu sebagai sumber air baku, penggelontoran, jalur transportasi, dan lain-lain. Sungai Ciliwung merupakan bagian dari Satuan Wilayah Sungai (SWS) CiliwungCisadane. Sebagai bagian dari SWS Ciliwung-Cisadane, Sungai Ciliwung mempunyai daerah tangkapan ±337 km2, mengalir sepanjang 117 km bermata air di Gunung Pangrango dan bermuara di wilayah perairan Laut Jawa. Sungai Ciliwung mengairi sekitar 3,853 ha sawah dari bendung Katulampa. Daerah hulu Sungai Ciliwung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air dan melindungi daerah di bawahnya sangat sensitif terhadap resiko serius pada kerusakan lingkungan. Kawasan resapan air merupakan kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akuifer) yang bermanfaat sebagai sumber air. Kondisi DAS Ciliwung saat ini sangat mengkhawatirkan, karena selain banjir yang sering terjadi, juga karena tingkat erosi dan sedimentasi yang terjadi terlalu tinggi (BPDAS Ciliwung-Cisadane 2004). Menurut Pawitan (2002), DAS Ciliwung dibagi kedalam tiga bagian berdasarkan toposekuensinya, yaitu hulu, tengah, dan hilir, masing-masing dengan stasiun pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok, dan Pintu Air Manggarai Jakarta Selatan. Berdasarkan wilayah administrasi, DAS
5 Ciliwung (dari hulu sampai hilir) dibagi menjadi enam segmen yang melingkupi Kabupaten Bogor, Kotamadya Bogor, Kota Administratif Depok, dan Propinsi DKI Jakarta dengan delineasi wilayah sebagai berikut. a. Bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). b. Bagian tengah DAS Ciliwung termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojong Gede, dan Cimanggis), Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah Sareal), dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya, dan Beji). c. Bagian hilir sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Madya Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai, termasuk saluran buatan Kanal Barat, Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Madya Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Gambar 1 Upstream, middlestream, dan downstream DAS Ciliwung (jakarta.go.id) Secara umum wilayah DAS Ciliwung terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa batuan satuan breksi tufaan) dan Gunung Salak (berupa aluvium/kpal dan kipas aluvium/kpal). Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang relatif subur. Jenis tanah yang dominan ialah latosol coklat kemerahan, andosol cokelat, dan aluvial kelabu. Keadaan DAS Ciliwung yang semakin rusak telah semakin nyata dapat kita lihat bersama. Beberapa indikator kerusakan DAS diantaranya tingginya persentase alih fungsi lahan, tingginya tingkat pencemaran sungai dan lingkungan, yang secara perlahan merusak kultur tanah DAS dan pada akhirnya menyebabkan penurunan kemampuan resap tanah pada DAS Ciliwung (BPDAS Citarum-Ciliwung 2002).
6 Debit Aliran Arsyad (2010) menyatakan bahwa aliran permukaan (surface runoff) adalah air yang mengalir di atas pemukaan tanah dan merupakan bentuk aliran yang penting sebagai penyebab erosi karena mengangkut bagian-bagian tanah. Aliran permukaan mempunyai sifat yang dinyatakan dalam jumlah, kecepatan, laju, dan gejolak aliran permukaan. Sifat-sifat ini mempengaruhi kemampuan dalam menimbulkan erosi. Faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan adalah: (1) curah hujan: jumlah, intensitas, dan distribusi; (2) temperatur udara; (3) tanah: tipe, jenis substratum, dan topografi; (4) luas DAS; (5) tanaman/tumbuhan penutup tanah; dan (6) sistem pengelolaan tanah. Pengaruh faktor-faktor tersebut sedemikian kompleksnya, sehingga meskipun semuanya dapat diketahui, keadaan aliran permukaan yang terjadi hanya mungkin dapat dihitung sampai mendekati keadaan sebenarnya (Arsyad 2010). Aliran permukaan akan mengalir ke dalam saluransaluran yang kecil dan masuk ke aliran sungai yang lebih besar terakumulasi menjadi debit aliran sungai. Dalam proses hidrologi, aliran air sungai terbentuk dari beberapa sumber air yang berada pada bukit atau gunung. Bukit dan gunung merupakan daerah penyerap dan penyimpan cadangan air yang berasal dari air hujan. Cadangan air yang diserap tersebut masuk ke dalam tanah dan batuan. Karena volume air tersimpan dalam jumlah besar, air keluar ke permukaan melalui tekuk lereng. Air yang keluar tersebut kemudian mengalir pada permukaan yang kemudian menjadi sungai. Aliran ini mengalir ke permukaan yang memiliki ketinggian lebih rendah, sesuai dengan sifat air yang mengalir dari tempat dengan tempat tinggi ke rendah. Saat dilakukan pengukuran tinggi permukaan air oleh alat ukur, diperoleh debit aliran sungai. Debit aliran sungai merupakan laju aliran air (volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, di mana satuan besaran debit dalam satuan internasional adalah meter kubik per detik (m3 s-1) (Rau 2012). Fluktuasi debit yang didefinisikan sebagai perbandingan antara debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin) atau yang disebut Koefisien Regim Sungai (KRS) dapat memberikan gambaran tingkat kesehatan suatu DAS. Semakin kecil nilai KRS suatu DAS maka DAS tersebut kondisinya semakin sehat (Dirjen RLPS 2009). Debit aliran kecil menunjukkan kecenderungan meningkat dan tidak terjadi fluktuasi debit yang mencolok antara musim hujan dan musim kemarau adalah kondisi DAS yang dianggap normal (Asdak 1995). Penggunaan Lahan (Land Use) Penggunaan lahan (land use) merupakan campur tangan manusia terhadap kondisi lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan kedalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar kedalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu, dikenal berbagai macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan, dan hutan.
7 Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan menjadi penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi, dan sebagainya (Arsyad 2010). Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO 1976). Perubahan penggunaan lahan ialah adanya pertambahan/pengurangan luas suatu jenis penggunaan lahan akibat dari adanya pertambahan/pengurangan penggunaan lahan yang lain. Perubahan penggunaan lahan memberikan pengaruh nyata terhadap kualitas DAS yang ada di sekitarnya. Hasil penelitian di banyak negara telah memberikan informasi mengenai pengaruh komposisi vegetasi terhadap kondisi aliran air. Menurut Asdak (1995), secara umum kenaikan aliran air disebabkan oleh penurunan penguapan air oleh vegetasi (transpiration) dan dengan demikian aliran air permukaan maupun air tanah semakin besar. Pemanfaatan DAS secara intensif mengakibatkan terjadinya konversi lahan di bagian hulu yang membawa dampak negatif terhadap keseimbangan dan kualitas sumberdaya air. Konversi lahan pada umumnya terjadi pada penggunaan lahan hutan menjadi daerah perkebunan dan pertanian, daerah perkebunan menjadi lahan pertanian dan permukiman, daerah pertanian menjadi permukiman dan industri. Tidak jarang terdapat daerah hutan dan perkebunan yang berubah menjadi tanah kosong, terlantar dan gundul yang kemudian menjadi lahan kritis. Fakhrudin (2003) mengemukakan bahwa, berdasarkan hasil analisis penggunaan lahan, luas permukiman di Sub DAS Ciliwung meningkat secara subtansial dari 1990 sampai 1996 (meningkat 67.88%). Penurunan luas lahan pertanian dan hutan, dan peningkatan luas lahan terbangun tersebut telah meningkatkan debit puncak hidrograf pada Stasiun Katulampa dari 150 m3 s-1 menjadi 205 m3 s-1. Gejala Banjir DKI Jakarta Banjir di DKI Jakarta bukan merupakan hal baru, tetapi hampir terjadi setiap tahun dengan skala dan intensitas yang bervariasi. Kasus banjir di DKI yang menimbulkan kerugian besar telah terjadi pada setiap periodenya dan puncaknya pada tahun 2007. Pada besaran curah hujan yang sama dengan saat kejadian banjir tersebut, DKI Jakarta akan tetap mengalami kebanjiran ulang, terutama bila tata lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang memiliki aliran sungai melewati DKI Jakarta tidak diperbaiki secara serius. Dalam konteks ini, banjir di DKI Jakarta yang telah terjadi secara berulang-ulang merupakan gejala (symptom) dari terlampauinya kapasitas DAS-DAS untuk meregulasi debit yang aliran sungainya melewati DKI Jakarta, dan salah satunya yaitu Sungai Ciliwung (BPDAS CitarumCiliwung 2007). Kejadian banjir yang diartikan sebagai luapan air hujan dari penampungan merupakan fenomena alam sebagai akibat hujan tidak tertampung oleh tanah dan penampungan permukaan baik dalam bentuk kolam, danau/situ, badan sungai dan saluran drainase. Faktor yang berpengaruh terhadap fenomena alam banjir ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor bentukan alam yang dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi lokal tetapi juga kondisi global (iklim, pasang surut muka laut, morfologi) dan faktor bentukan manusia (penggunaan lahan, saluran drainase buatan). Bencana banjir yang terjadi pada akhir Januari dan awal
8 Februari 2002 di Jakarta merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan, atau pola penutupan lahan dalam suatu DAS dapat mempengaruhi besar-kecilnya air yang dihasilkan dari DAS (BPDAS CitarumCiliwung 2002). DAS Ciliwung termasuk dalam DAS Prioritas Nasional (Kemenhut 2009). Pelanggaran terhadap tata ruang, penegakkan hukum yang lemah, dan kerusakan hutan yang terletak di hulu-hulu sungai secara langsung merupakan penyebab terjadinya bencana yang terjadi dewasa ini. Permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak bisa lepas dari keberadaan 13 sungai yang bermuara di bagian Utara Jakarta. Ketiga belas sungai itu adalah Mookervaart, Kali Angke, Kali Pasangrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Keramat, dan Kali Cakung (Singgih 2000 dalam Pawitan 2002). Ketiga belas sungai tersebut ada yang bermula dari daerah Serpong, Parung, Depok, dan Sungai Ciliwung yang merupakan sungai terpanjang yang melalui DKI Jakarta berhulu di daerah Bogor, Puncak dan berasal dari Gunung Pangrango. Berdasarkan peta administratif dan batas DAS/Sub DAS, Ciliwung 58% (85,650 ha) berada diluar wilayah DKI Jakarta serta 42% (62,730 ha) berada di wilayah administratif DKI Jakarta, sehingga dengan demikian membahas permasalahan banjir di DKI Jakarta tidak terlepas dengan perkembangan pembangunan dan perubahan tataguna lahan dan penutupan lahan yang ada di dalam dan di luar DKI Jakarta. Kapasitas sistem pengendalian banjir DKI Jakarta yang masih rendah menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah yang sangat rawan terhadap banjir, baik dari limpahan hujan lokal maupun dari limpahan hujan daerah Bopunjur. Rendahnya kapasitas tersebut antara lain karena rendahnya hidrotopografi (terutama wilayah sepanjang pantai Jakarta dan wilayah tengah), keterbatasan lahan untuk saluran dan tampungan, kurang tepatnya prediksi beban banjir, dan kurang efektifnya pengelolaan sistem pengendalian yang ada (BPDAS Ciliwung-Cisadane 2004). Upaya untuk mengatasi banjir di DKI Jakarta sudah banyak dilakukan melalui beberapa program dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang. Respon atas kejadian banjir Jakarta telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan program yang sasarannya adalah memecahkan masalah pengelolaan DAS terpadu dan pengendalian banjir. Sebagian besar rekomendasi dan program masih bersifat makro dan belum dikaitkan dengan tapak dimana masalah tersebut terjadi, serta belum dipertimbangkannya secara mendalam karakteristik hulu, tengah, dan hilir DAS. Akibatnya, implementasi program dan kegiatan belum terfokus pada upaya penyelesaian masalah riil di lapangan. Waduk Ciawi Waduk menurut pengertian umum adalah tempat pada permukaan tanah yang digunakan untuk menampung air saat terjadi kelebihan air atau musim penghujan sehingga air tersebut dapat dimanfaatkan pada musim kering. Waduk dapat terjadi secara alami maupun buatan yang dibangun oleh manusia. Sumber air waduk terutama berasal dari aliran permukaan ditambah dengan air hujan langsung. Air yang ditampung di dalam waduk dapat digunakan untuk keperluan irigasi, air
9 minum, industri, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sehingga fungsi utama waduk adalah bangunan untuk mengatur air dengan cara menampung air pada saat terjadi surplus di sumber air agar dapat dipakai sewaktu-waktu saat terjadi kekurangan air dan digunakan dalam berbagai keperluan. Informasi dari UPT Pengairan Wilayah Ciawi menyebutkan kurang lebih empat desa akan dijadikan lokasi pembangunan waduk di dua kecamatan, yakni Kecamatan Ciawi dan Kecamatan Megamendung. Desa-desa itu adalah Desa Cibogo, Desa Gadog, dan Desa Cipayung (Datar dan Girang) di Kecamatan Megamendung. Pintu masuk air melalui Ciawi sehingga dikenal dengan nama Waduk Ciawi. Profil dari Waduk Ciawi adalah sebagai berikut. Tabel 1 Profil Waduk Ciawi Waduk Ciawi Lokasi waduk Total daya tampung (m3) Luas catchment area DAS (km2) Luas lahan dibutuhkan (ha) Luas kapasitas genangan waduk (ha) Volume tampung (m3) Tinggi bendungan (m) Kedalaman (m)
Cibogo, Katulampa 35.67 juta 105 200 137.08 35.67 juta 90 85
Sumber: Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta
Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta menyatakan bahwa tujuan pembangunan Waduk Ciawi adalah sebagai berikut. 1. Mereduksi debit puncak banjir Sungai Ciliwung sekitar 370 m3 s-1. 2. Menyediakan air baku wilayah Bogor dan DKI Jakarta sebanyak 5.22 m3 s-1. 3. Meningkatkan intensitas tanam daerah irigasi Katulampa dan Cibanon seluas 1.103 ha. 4. Menyediakan air untuk penggelontoran ke Bogor dan DKI Jakarta. 5. Sebagai objek pariwisata. 6. Sebagai wadah konservasi sumberdaya air. Geographic Information System (GIS) Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem yang memberikan banyak bantuan terhadap informasi keruangan. GIS merupakan suatu sistem yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, mengubah, memanipulasi, menganalisis, menampilkan, dan mengeluarkan data yang berhubungan dengan fitur-fitur geografis. Sistem ini tidak hanya meliputi penggunaan perangkat lunak dan keras, tetapi juga database yang diperlukan atau dikembangkan dan personal yang mengerjakan (Bettinger dan Wing 2004). Software Sistem Informasi Geografis (SIG) banyak digunakan karena penggunaannya lebih mudah dan akurat jika dibandingkan dengan metode konvensional. Aplikasi GIS digunakan dalam berbagai keperluan informasi keruangan, selama data yang digunakan memiliki referensi geografi. Pada pelaksanaannya, GIS digunakan untuk melakukan pengolahan data peta digital yang memiliki sistem
10 koordinat sendiri. Sistem koordinat merupakan pendefinisian suatu titik awal dari pembuatan peta. Sistem koordinat di Indonesia terdiri dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat Universal Transverse Mecator (UTM). Kedua sistem koordinat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pada koordinat geografis, bumi dibagi menurut garis khayal yang biasa disebut dengan garis lintang (latitude/paralell) dan garis bujur (longitude/meridian). Pada sistem koodinat UTM permukaan bumi dibagi kedalam 60 bagian zona bujur dan setiap zona dibatasi oleh 2 meridian selebar 6° yang memiliki meridian tengah sendiri. Zona 1 sampai 60 dimulai dari 180°-174°, 174°-168° BB dan seterusnya, sampai 174°-180° BT. Pada wilayah Indonesia terdapat sembilan zona, yaitu zona 46-54 (Gandasasmita et al. 2003). GIS memiliki dua jenis data yang berbeda, yaitu data vektor dan data raster. Data vektor merupakan data yang tidak memiliki bentuk dan ketentuan, di mana data ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu point, line, dan polygon. vektor menggunakan koordinat x dan y dalam menampilkan data spasial (Chang 2003). Data raster merupakan informasi data yang terdiri dari satuan piksel yang memiliki kolom serta baris tertentu, seperti data hasil citra satelit maupun Digital Elevation Model (DEM). Data raster merupakan hal penting dalam penerapan GIS. GIS terdiri atas 4 komponen, yaitu hardware, software, brainware, dan data spasial. Tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan GIS dengan tujuan apapun sangat bergantung dari interaksi keempat komponen ini. ArcGIS adalah salah satu perangkat lunak yang dikembangkan oleh ESRI (Environment Science & Research Institute) yang merupakan kompilasi fungsi-fungsi dari berbagai macam perangkat lunak GIS yang berbeda, seperti GIS desktop, server, dan GIS berbasis web. Produk utama dari ArcGIS adalah ArcGIS desktop, dimana ArcGIS desktop merupakan perangkat lunak GIS profesional yang komprehensif dan dikelompokkan atas tiga komponen, yaitu ArcView (komponen yang fokus pada penggunaan data yang komprehensif, pemetaan, dan analisis), ArcEditor (lebih fokus ke arah editing data spasial), dan ArcInfo (lebih fokus pada penyajian fungsi-fungsi GIS termasuk untuk keperluan analisis geoprocessing). Software ArcGIS inilah yang akan digunakan dalam proses pemetaan. Soil and Water Assessment Tool (SWAT) SWAT adalah model yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-an untuk pengembangan Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Model tersebut dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak jangka panjang dari manajemen lahan pertanian terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang lama. SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model, diantaranya adalah Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB), Chemical, Runoff, and Erosion from Agricultural Management System (CREAMS), Groundwater Loading Effect an Agricultural Management System (GREAMS), dan Erosion Productivity Impact Calculator (EPIC) (Neitsch et al. 2012). Model SWAT berbasis fisik, efisien secara komputerisasi, dan mampu membuat simulasi untuk jangka waktu yang panjang. Komponen utama model adalah iklim, tanah, tutupan lahan termasuk pola tanam dan pengelolaan tanaman,
11 kelerengan, suhu, dan curah hujan. Dalam SWAT, DAS dibagi menjadi beberapa subbasin, yang kemudian dibagi lagi kedalam unit respon hidrologi (Hydrologic Response Units = HRU) yang memiliki karakteristik tutupan lahan, kelerengan, dan tanah yang homogen. HRU didistribusikan pada subbasin secara spasial dalam simulasi SWAT (Neitsch et al. 2011). Untuk prediksi secara akurat terhadap debit dan sedimen, siklus hidrologi yang disimulasikan oleh model harus dikonfirmasikan dengan proses yang terjadi di dalam DAS. Simulasi hidrologi DAS dapat dipisahkan menjadi dua bagian utama. Bagian pertama adalah siklus hidrologi dari fase lahan (Gambar 2), yang mana fase lahan pada siklus hidrologi mengontrol jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida yang bergerak menuju saluran utama pada masing-masing Sub DAS. Bagian kedua adalah fase air atau penelusuran dari siklus hidrologi yang dapat didefinisikan sebagai pergerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan sungai dalam DAS menuju ke outlet (Neitsch et al. 2011).
Gambar 2 Skema representasi siklus hidrologi model SWAT (Neitsch et al. 2012) Model SWAT memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai analisis serta simulasi suatu DAS, sehingga agar menghasilkan output yang baik, model SWAT melakukan simulasi berdasarkan beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Menjalankan proses secara fisik, yaitu menghasilkan output berdasarkan informasi yang spesifik mengenai iklim, karakteristik tanah, topografi, vegetasi, dan manajemen lahan pada suatu DAS. Hal ini memungkinkan model SWAT dalam memodelkan DAS walaupun tanpa data observasi, serta dapat menghitung pengaruh alternatif data input, seperti perubahan penggunaan lahan, data iklim, dan lainnya. 2. Menggunakan input yang telah tersedia, saat SWAT akan digunakan untuk melakukan proses analisa yang lebih spesifik, maka diperlukan tambahan data yang diperoleh dari instansi penelitian pemerintah. 3. Menggunakan perhitungan dengan proses yang lebih efisien, sehingga dalam melakukan simulasi DAS yang luas serta dengan banyak strategi pengelolaan, dapat menghemat waktu dan materi. 4. Memungkinkan untuk dapat melakukan penelitian untuk dampak dalam jangka waktu yang lama.
12
METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan Juli hingga Desember 2014. Penelitian mengkaji kawasan DAS Ciliwung Hulu yang secara geografis terletak pada 6°37'-6°46' LS dan 106°50'-107°00' BT. Pengolahan data dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor menggunakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa lembaga dan instansi pemerintah, diantaranya kantor BPDAS (Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Citarum-Ciliwung dan SPAS (Stasiun Pengamatan Arus Sungai) Katulampa Bogor. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer atau laptop yang telah dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1, ArcSWAT versi 2012.10_1.14, pcpSTAT, Google Earth, dan Microsoft Office 2013. Perhitungan nilai koefisien deterministik (R2) dan nilai efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SWATPlot dan SWATGraph yang secara otomatis akan menunjukkan grafik dan angka nilai R2 dan NS untuk 2 seri data yang dibandingkan, yaitu data observasi dan data hasil model yang diinginkan. Sedangkan untuk proses kalibrasi dan validasi model tidak menggunakan perangkat lunak khusus seperti SWAT-CUP melainkan secara manual. Kalibrasi manual dilakukan hanya terhadap satu parameter saja dengan sistem coba-coba atau yang biasa disebut dengan trial and error. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 jenis, yaitu data spasial dan data numerik. Data spasial digunakan untuk keperluan pembentukan jaringan sungai, pembentukan outlet, batas DAS, dan HRU. Datadata spasial dan numerik tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Peta DEM (Digital Elevation Model) Jawa Barat skala 1:25,000; sumber dari Citra SRTM dengan resolusi 30 m. 2. Peta batas DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Hulu skala 1:25,000; sumber dari BPDAS Citarum-Ciliwung. 3. Peta tutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2009 skala 1:25,000 berdasarkan interpretasi citra satelit wordview; sumber dari BPDAS Citarum-Ciliwung. 4. Peta jenis tanah DAS Ciliwung Hulu skala 1:25,000; sumber dari FAO (Food and Agriculture Organization). 5. Data iklim tahun 1979-2010; sumber dari CRU (Climate Riset Unit). 5.a. Data curah hujan harian (mm) 5.b. Data temperatur maksimum dan minimum harian (°C) 5.c. Data kelembaban udara harian (%) 5.d. Data radiasi matahari harian (MJ m-2 hari-1) 5.e. Data kecepatan angin harian (m s-1) 6. Data debit observasi harian Sungai Ciliwung tahun 1991-2010; sumber dari SPAS (Stasiun Pengamatan Arus Sungai) Katulampa Bogor.
13 Prosedur Analisis Data Langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian ini diawali dengan munculnya gagasan atau ide penelitian, perumusan masalah, kemudian studi literatur. Langkah berikutnya adalah pengumpulan data dan dilanjutkan dengan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data. Diagram alir penelitian disajikan dalam Gambar 14 pada akhir bagian bab ini. Pengolahan Data Simulasi hidrologi menggunakan pemodelan SWAT membutuhkan data-data spasial dan numerik. Sebelum dilakukan pemodelan menggunakan program ArcSWAT, perlu dilakukan pengolahan data terlebih dahulu sebagai persiapan data yang akan digunakan sebagai input dalam menjalankan program. Data-data yang diolah tersebut adalah data spasial dengan membuat sistem koordinatnya terlebih dahulu, dan data iklim dengan menghitung nilai akhir dari data harian yang telah diperoleh sebagai masukan dalam weather generator data (.wgn) pada ArcSWAT. Pengolahan data spasial yang dimiliki seperti peta DEM, peta batas DAS, peta tutupan lahan, dan peta jenis tanah diolah terlebih dahulu dengan membuat sistem koordinat yang sesuai. Sistem koordinat yang digunakan adalah sistem koordinat Universal Transverse Mecator (UTM). Menurut Gandasasmita et al. (2003), bahwa pada wilayah Indonesia terdapat sembilan zona yaitu zona 46-54 (Lampiran 2). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa lokasi penelitian yang dikaji berada pada zona 48 bagian selatan. Maka dari itu dibuat sistem koordinat dari data spasial lokasi penelitian yang sesuai dengan masukan program adalah WGS 1984 UTM Zone 48S. Peta DEM dan peta batas DAS yang telah dibuat sistem koordinatnya selanjutnya digunakan dalam rangka untuk membuat Watershed Delineator (delineasi DAS). Sedangkan peta tutupan lahan dan peta jenis tanah selanjutnya digunakan dalam rangka pembentukan HRU (Hydrology Response Unit). Pembentukan HRU membutuhkan data input penggunaan lahan, jenis tanah, dan kelerengan. Penggunaan lahan tanaman yang terdapat di Sub DAS Ciliwung Hulu pada tahun 2009 yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman, semak belukar, perkebunan, pertanian lahan kering, dan pertanian lahan kering bercampur semak. Penggunaan lahan urban yaitu pemukiman dan lahan terbuka. Kelerengan atau kemiringan lahan dibagi kedalam 5 kelas, yaitu 0-8%, 8%-15%, 15%-25%, 25%-40%, dan > 40%. Informasi data jenis tanah diperoleh dari data sekunder. Data numerik yang digunakan pada penelitian ini yaitu data iklim harian tahun 1979-2010 seperti yang telah disebutkan di atas. Pembuatan basis data iklim untuk membuat data generator iklim (weather generator data) membutuhkan 14 parameter input yang perlu diolah terlebih dahulu berdasarkan data iklim. Data-data tersebut dihitung terlebih dahulu agar dapat digunakan karena parameter input dalam program ArcSWAT merupakan parameter iklim bulanan. Data iklim yang digunakan merupakan hasil pengukuran dari satu stasiun penakar (pos hujan) yang berada di sekitar DAS Ciliwung Hulu yang tersedia pada Geo Climate Metereology (GCM). Sumber data pada Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) tahun 2010, diketahui bahwa beberapa stasiun penakar yang berada di sekitar lokasi penelitian diantaranya stasiun Hambalang, BPP Bogor, Baranang Siang, Katulampa, Gunung
14 Mas (Ciawi), dan Pondok Gedeh (Cigombong, Sukabumi). Namun koordinat daripada stasiun-stasiun tersebut tidak terdaftar/tersedia pada Geo Climate Metereology (GCM), hal tersebut dapat dikarenakan kondisi alat yang kurang baik maupun status stasiun yang tidak aktif sehingga tidak terdapat pada data iklim global. Satu-satunya stasiun penakar dengan titik koordinat di sekitar lokasi penelitian yang diperoleh dari Geo Climate Metereology (GCM) adalah stasiun 671069 (kode dari sumber) terletak pada 6°42'47.246" LS dan 106°52'30.45" BT. Kode tersebut digunakan sebagai nama stasiun cuaca pada database program ArcSWAT yaitu User Weather Station. Selain itu diperlukan juga input parameter cuaca bulanan sebagai masukan data iklim bulanan pada User Weather Station program ArcSWAT untuk membentuk data generator iklim (weather generator data). Adapun parameter iklim bulanan yang dibutuhkan dalam pembuatan data generator iklim dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Parameter input iklim bulanan pada weather generator data Parameter
Satuan
Definisi
TMPMX TMPMN TMPSTDMX TMPSTDMN PCPMM PCPSTD PCPSKW
°C °C °C °C mm H2O mm H2O -
Rata-rata temperatur maksimum bulanan Rata-rata temperatur minimum bulanan Standar deviasi temperatur maksimum bulanan Standar deviasi temperatur minimum bulanan Jumlah rata-rata curah hujan bulanan Standar deviasi curah hujan harian dalam satu bulan Koefisien skew curah hujan harian dalam satu bulan Perbandingan kemungkinan hari basah ke hari kering dalam satu bulan Perbandingan kemungkinan hari basah ke hari basah dalam satu bulan Rata-rata jumlah hari hujan dalam satu bulan Curah hujan 0.5 jam maksimum pada seluruh periode dalam satu bulan Rata-rata radiasi matahari harian dalam satu bulan Rata-rata titik embun/beku dalam satu bulan Rata-rata kecepatan angin dalam satu bulan
PR_W1
-
PR_W2
-
PCPD
hari
RAINHHMX
mm
SOLARAV DEWPT WNDAV
MJ m-2 hari-1 °C m s-1
Parameter iklim di atas diolah menggunakan program Ms. Excel yaitu dengan fitur pivot table. Pengolahan data menggunakan pivot table sangat mempermudah dan mempercepat dalam mendapatkan hasil dibandingkan dengan menghitung menggunakan rumus secara manual. Pengolahan data iklim menggunakan pivot table hanya digunakan untuk menghitung 7 (tujuh) parameter saja, yaitu TMPMX, TMPMN, TMPSTDMX, TMPSTDMN, RAINHHMX, SOLARAV, DEWPT, dan WNDAV. Tampilan pengolahan data menggunakan pivot table dapat dilihat pada Gambar 3.
15
Fitur pivot table
Hasil pivot table
Kotak dialog pengaturan pivot table
Gambar 3 Tampilan pengolahan data menggunakan pivot table Sedangkan untuk pengolahan data curah hujan dimana terdapat 6 (enam) parameter yaitu PCPMM, PCPSTD, PCPSKW, PR_W1, PR_W2, dan PCPD dihitung dengan menggunakan program pcpSTAT. Pertama dimasukkan nama file dari data curah hujan yang dimiliki, lalu ditentukan keluaran nama file hasil perhitungan sesuai yang diinginkan, kemudian dimasukkan tahun pertama periode, terakhir ditentukan nilai masukan untuk baris data yang kosong atau tidak memiliki nilai. Setelah selesai dan dilakukan eksekusi penghitungan secara otomatis oleh program, maka diperoleh nilai keenam parameter dari data curah hujan yang disebutkan di atas. Berikut merupakan tampilan program pcpSTAT.
Gambar 4 Tampilan program pcpSTAT Parameter terakhir yaitu jumlah curah hujan 0.5 jam maksimum (RAINHHMX), diperoleh dari penghitungan data curah hujan menggunakan rumus Mononobe. Rumus Mononobe digunakan apabila data yang dimiliki hanya data hujan harian dan tidak tersedia data hujan jangka pendek. Adapun rumus Mononobe dapat dilihat pada persamaan (1) berikut.
16 2⁄ 3
R 24 I = 24 ( t ) 24
(1)
Keterangan: I = Intensitas curah hujan (mm jam-1) R24 = Curah hujan maksimum harian selama 24 jam (mm) t = Waktu konsentrasi hujan (jam) Menjalankan Program SWAT a. Delineasi DAS Proses delineasi DAS dilakukan dengan menggunakan menu Watershed Delineator (Gambar 5). Dalam membuat delineasi DAS terdapat beberapa tahapan yang dilakukan yaitu pemasukan peta DEM grid (add DEM grid), penentuan jaringan sungai (stream definition), penentuan outlet (outlet definition), seleksi dan penentuan outlet DAS (watershed outlet selection and definition), dan penghitungan parameter Sub DAS (calculate subbasin parameter). Proses delineasi batas luar Sub DAS Ciliwung Hulu berdasarkan peta DEM, dilakukan secara otomatis oleh model SWAT setelah titik outlet yang merupakan titik observasi pengukuran debit ditentukan, yang mana dalam penelitian ini adalah bendung Katulampa pada koordinat 06°38'00.6" LS dan 106°50'13.7" BT. Hasil delineasi ini adalah terbentuknya batas luar Sub DAS Ciliwung Hulu yang dalam model SWAT didefinisikan sebagai basin. Bersamaan dengan terbentuknya basin, terbentuk juga jaringan sungai dan titik-titik outlet pada setiap percabangan sungai yang ada.
Gambar 5 Tampilan menu delineasi DAS
17 b. Pembentukan dan Definisi HRU (Hydrology Response Unit) HRU merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lahan yang spesifik. Pembentukan HRU dilakukan dengan overlay peta penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lahan. Setiap HRU yang terbentuk berisi informasi spesifik mengenai lahan tersebut yang mencakup penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. HRU ini tersebar dalam subbasin, sehingga dapat menggambarkan keadaan biofisik untuk masing-masing subbasin tersebut. Langkah berikutnya setelah pembentukan HRU yaitu pendefinisian HRU. Melalui menu definisi HRU (HRU Definition) maka dapat dilakukan penentuan kriteria spesifik untuk diaplikasikan dalam HRU. Multiple HRU merupakan opsi yang dipilih dalam tahap definisi HRU. Pada penggunaan threshold, masing-masing penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng menggunakan threshold sebesar 0%, artinya HRU terbentuk dari data-data tersebut yang luasnya tidak lebih dari luas basin.
Gambar 6 Tampilan menu pembentukan dan definisi HRU c. Pembentukan Data Iklim Input data untuk data generator iklim (weather generator data) dilakukan dengan memasukkan data-data iklim meliputi data iklim global (Lampiran 7), data curah hujan harian rata-rata serta data suhu maksimum dan minimum harian ratarata untuk digabungkan dengan HRU yang telah terbentuk. Data yang sudah dibuat lalu dimasukkan ke dalam Weather Data Definition. Input data iklim untuk pembuatan weather generator data dapat dilihat pada Gambar 7.
18
Gambar 7 Tampilan menu pembentukan data generator iklim d. Membangun Input Data Setelah data iklim dimasukkan dan berhasil running maka dilanjutkan dengan memasukkan informasi data input ke dalam database (basis data). Data input ini (Tabel 3) secara otomatis terbentuk berdasarkan delineasi DAS dan karakterisasi dari penggunaan lahan/jenis tanah/lereng. Pembuatan input data dilakukan dengan memilih opsi Write All. Masukan data secara default ini dapat diedit dengan menggunakan menu Edit SWAT Input. Tabel 3 File data input analisis hidrologi pada SWAT No.
Nama file
1
Configuration File (.fig)
2 3 4
Soil Data (.sol) Weather Generator Data (.wgn) Subbasin General Data (.sub)
5
HRU General Data (.hru)
6
Main Channel Data (.rte)
7 8 9 10 11 12 13 14
Groundwater Data (.gw) Water Use Data (.wus) Management Data (.mgt) Soil Chemical Data (.chm) Pond Data (.pnd) Stream Water Quality Data (.swq) Operations Data (.ops) Watershed General Data (.bsn)
15 Master Watershed File (.cio)
Fungsi Mengidentifikasi dan mendefenisi jaringan hidrologi sungai (DAS beserta parameternya) Membuat data jenis tanah Membuat data generator iklim Membuat dan mengontrol keragaman data parameter di tingkat Sub DAS Membuat dan mengontrol keragaman data parameter di tingkat HRU Membuat data saluran utama (pergerakan air, sedimen, hara, dan pestisida) Membuat data air bawah tanah Membuat data penggunaan air Membuat data pengelolaan lahan Membuat data kimia tanah Membuat data untuk badan air Membuat data kualitas aliran air Membuat data operasi Membuat dan mengontrol keragaman data parameter di tingkat DAS File data informasi DAS mengenai pilihan modeling, database, cuaca, dan output specification
19 e. Run SWAT Simulasi model SWAT dapat dijalankan setelah proses input data selesai dan database telah dibangun. Run model (Gambar 8) dapat dilakukan setelah mengisi tanggal mulai dan tanggal akhir simulasi serta dipilih distribusi curah hujan yang digunakan (skewed normal). Kemudian ditentukan hasil keluaran simulasi dalam bentuk harian, bulanan, atau tahunan dan data-data apa saja yang ingin dicetak. Dilanjutkan dengan klik Setup SWAT Run dan terakhir klik tombol Run SWAT. Hasil dari simulasi dapat dilihat pada menu Read SWAT Output atau menggunakan program SWATPlot dan SWATGraph. Model SWAT yang telah dijalankan akan menghasilkan output file yang terpisah untuk subbasin, HRU, dan outlet sungai. Beberapa variable output di lahan atau subbasin (file output.sub) dapat dilihat pada Tabel 4 dan variable output di outlet sungai (file output.rch) dapat dilihat pada Tabel 5. Pada penelitian ini periode simulasi yang digunakan adalah periode Januari-Desember tahun 2008 dan 2009. Dari sekian banyak output yang dikeluarkan model SWAT, penelitian ini hanya difokuskan pada debit harian rata-rata yang dihasilkan (FLOW_OUT) pada outlet sungai.
Gambar 8 Tampilan menu pengaturan dan simulasi model SWAT Tabel 4 Variable output model SWAT pada subbasin Variable PRECIP PET ET SW PERC SURQ GW_Q WYLD SYLD
Definisi Jumlah curah hujan (mm) Evapotranspirasi potensial (mm) Evapotranspirasi aktual (mm) Kadar air tanah pada akhir periode waktu (mm) Air yang meresap melewati zona akar (mm) Kontribusi aliran permukaan terhadap debit sungai (mm) Air bawah tanah (mm) Hasil air (mm) Hasil sedimen (ton ha-1)
20 Tabel 5 Variable output model SWAT pada outlet sungai Variable
Definisi
FLOW_IN FLOW_OUT EVAP TLOSS SED_IN SED_OUT
Debit sungai harian rata-rata yang masuk ke outlet (m3 s-1) Debit sungai harian rata-rata yang keluar dari outlet (m3 s-1) Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena penguapan (m3 s-1) Jumlah kehilangan air harian rata-rata karena kebocoran (m3 s-1) Sedimen yang terangkut air dan masuk ke outlet (ton) Sedimen yang terangkut air dan keluar dari outlet (ton)
f. Kalibrasi Setiap analisis yang menggunakan pemodelan harus disertai dengan pengujian untuk menilai keakuratan output yang dikeluarkan model terhadap data hasil observasi atau pengamatan lapangan. Kalibrasi merupakan suatu pengujian model untuk mengetahui apakah model yang digunakan dapat menggambarkan kondisi sebenarnya. Kalibrasi model dilakukan dengan cara mengubah nilai parameter-parameter yang bersifat sensitif dan mempunyai pengaruh besar terhadap proses hidrologi yang diukur lalu dilakukan simulasi kembali untuk melihat perubahan output model yang terjadi. Perbandingan output debit hasil simulasi SWAT dengan debit hasil observasi outlet di lapangan dilakukan dengan menggunakan SWATPlot dan SWATGraph (George 2014). Metode kalibrasi ada tiga, yaitu coba-coba, otomatis, dan kombinasi. Dalam metoda coba-coba, nilai parameter dicocokkan secara manual dengan cara cobacoba. Metode ini banyak digunakan dan direkomendasikan untuk model yang komplek. Metode otomatis menggunakan algoritma untuk menentukan nilai fungsi objektif dan digunakan untuk mencari kombinasi dan permutasi parameter dengan tingkat keakuratan yang optimum. Metoda kombinasi dilakukan dengan menggunakan kalibrasi otomatis untuk menentukan kisaran parameter lalu selanjutnya dilakukan trial and error untuk menentukan detail kombinasi yang optimal (Indarto 2012). Pada tahap kalibrasi, data yang digunakan yaitu data debit harian dan bulanan hasil observasi serta data debit harian dan bulanan hasil simulasi pada periode bulan Januari-Desember tahun 2008 dan 2009. Kalibrasi dilakukan secara manual hanya terhadap parameter hidrologi dalam model SWAT dengan metode coba-coba atau yang biasa disebut dengan trial and error. Perubahan nilai parameter dilakukan dengan menggunakan menu Edit SWAT Input (Gambar 9). Nilai parameter yang diubah diberlakukan terhadap seluruh subbasin dalam jaringan hidrologi DAS. Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi dan validasi adalah model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang direkomendasikan oleh The American of Civil Engineers (Ahl et al. 2008). Persamaan model yang digunakan adalah persamaan (2) dan persamaan (3). 2 2
R =
[
∑ni=1(Qobs,i
̅ ̅ -Q obs,i )(Qcal,i - Qcal,i ) 2
2
n ̅ ̅ √∑ni=1(Q obs,i - Qobs,i ) ∑i=1(Qcal,i - Qcal,i )
]
(2)
21 NS = 1 - [
2
∑n (Qobs,i i=1
- Qcal,i )
∑n (Qobs,i i=1
- ̅̅̅ Qobs,i )
2]
(3)
Dimana Qobs,i adalah debit observasi (m3 s-1), Qcal,i adalah debit simulasi (m3 s-1), 3 -1 ̅ ̅ Q obs,i adalah debit rata-rata observasi (m s ), dan Qcal,i adalah debit rata-rata 3 -1 simulasi (m s ). Nilai R2 berkisar antara 0 sampai dengan 1. Apabila nilai R2 semakin mendekati 1, berarti menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara data simulasi dengan data observasi. Nash-Sutcliffe (NS) merupakan suatu model statistik yang menunjukkan besar dari pengaruh hubungan data simulasi dan data observasi. Nilai NS berkisar antara 0 sampai dengan 1, yang mana nilai mendekati 1 menunjukkan bahwa performa dari suatu model yang baik. Model statistik NS ini paling banyak digunakan untuk menunjukkan performa dari suatu model karena dapat memberikan informasi yang lebih akurat mengenai nilai yang diberikan. Kriteria nilai statistik untuk Nash-Sutcliffe (NS) dapat dilihat pada Tabel 6. Jika hasil kalibrasi didapatkan hasil memuaskan atau layak maka model SWAT dapat diaplikasikan disimulasikan untuk berbagai kondisi dalam manajemen sumber daya air pada DAS tersebut. Tabel 6 Kriteria nilai statistik Nash-Sutcliffe (NS) Kriteria Sangat baik Baik Memuaskan Kurang memuaskan
NSE 0.75 < NSE < 1.00 0.65 < NSE < 0.75 0.50 < NSE < 0.65 NSE ≤ 0.50
Sumber: Moriasi et al. 2007
Gambar 9 Tampilan kalibrasi parameter menggunakan menu Edit SWAT Input
22 g. Validasi Langkah validasi bertujuan untuk membuktikan bahwa suatu proses/metode dapat memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan. Validasi dilakukan pada data debit dengan memasukkan parameter yang sudah dikalibrasi pada data simulasi lalu kemudian membandingkan data observasi dengan hasil simulasi debit yang sudah dikalibrasi menggunakan program SWATPlot dan SWATGraph. Data yang digunakan yaitu data debit bulanan hasil observasi dan data debit bulanan hasil simulasi pada bulan Januari-Desember tahun 2010. Metode statistik yang digunakan adalah model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe (NS). Kriteria statistik NS pada tahap validasi sama dengan pada tahap kalibrasi. Pemodelan Waduk Setelah model dikalibrasi dan divalidasi, model digunakan untuk mensimulasikan keadaan debit dengan skenario pemodelan waduk. Skenario ini diperoleh berdasarkan studi literatur dengan menitikberatkan pada pengendalian banjir dengan cara mekanik. Hal tersebut dikarenakan aliran permukaan dan sedimen yang berasal dari daerah hulu akan mengancam fasilitas-fasilitas penting di bagian hilir yakni wilayah pemukiman di sepanjang aliran sungai, khususnya Ibukota DKI Jakarta. Sebelum dilakukan pemodelan waduk, terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap lokasi rencana pembangunan waduk. Identifikasi lokasi dilakukan dengan memperkirakan lokasi waduk berdasarkan desa-desa yang akan dijadikan lokasi pembangunan waduk. Sebagaimana informasi dari UPT Pengairan Wilayah Ciawi menyebutkan lebih dari empat desa akan dijadikan lokasi pembangunan waduk di dua kecamatan, yakni Kecamatan Ciawi dan Kecamatan Megamendung. Desa-desa itu adalah Desa Cibogo, Desa Gadog, dan Desa Cipayung (Datar dan Girang) di Kecamatan Megamendung. Langkah pertama yaitu setiap lokasi dari desa di Kecamatan Megamendung tersebut diberi placemark pada program Google Earth. Setelah itu lokasi waduk diperkirakan berada pada aliran Sungai Ciliwung di antara desa-desa tersebut dan dengan memperhitungkan luasan dari waduk itu sendiri. Kemudian hasil perkiraan dari lokasi waduk tersebut diberi placemark sehingga diperoleh titik koordinatnya. Tampilan program Google Earth dalam representasi penentuan lokasi desa dan lokasi perkiraan waduk dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Lokasi desa dan perkiraan Waduk Ciawi pada Google Earth
23 Lokasi waduk yang diperkirakan berada pada titik A dengan koordinat 6°39'28.88" LS dan 106°52'54.22" BT. Titik koordinat dari lokasi bendung kemudian ditransformasikan kedalam program ArcSWAT menggunakan menu fungsi Go To XY. Selanjutnya titik tersebut diidentifikasi untuk mengetahui nilai ketinggian sebenarnya berdasarkan peta DEM yang digunakan. Nilai tersebut sangat penting karna digunakan sebagai landasan dalam menentukan ketinggian model waduk. Tahap pembuatan titik koordinat dan identifikasi ketinggian titik dapat dilihat pada Gambar 11. Setelah dilakukan identifikasi dapat diketahui bahwa ketinggian sebenarnya dari titik koordinat tersebut pada peta DEM yang digunakan adalah 524 m. Berikutnya ketinggian model waduk diperoleh dari penghitungan beda elevasi antara ketinggian titik koordinat, tinggi rencana waduk, dan kedalaman sungai. Dimana hasil penjumlahan dari ketinggian titik koordinat dengan tinggi rencana waduk dikurangi dengan kedalaman sungai. Contoh perhitungan dapat dilihat sebagai berikut. Tinggi model waduk (m) = (Tinggi titik koordinat + Tinggi rencana waduk) – Estimasi kedalaman sungai = (524 m + 90 m) – 3m = 611 m (di atas permukaan laut)
Gambar 11 Transformasi dan identifikasi titik koordinat waduk Parameter input data waduk seperti volume dan luas permukaan waduk pada program ArcSWAT menggunakan desain principal spillway dan emergency spillway untuk pemodelannya, sehingga digunakan tinggi rencana waduk yang berbeda untuk masing-masing keadaan tersebut. Untuk mengetahui potensi volume dan luas permukaan waduk pada peta DEM yang digunakan, maka dilakukan klasifikasi ketinggian DEM berdasarkan ketinggian dasar waduk (524 m) dan ketinggian puncak waduk (611 m) menggunakan menu fungsi Reclassify pada ArcToolbox > Spatial Analyst Tools > Reclass > Reclassify. Hasil klasifikasi ketinggian pada peta DEM menampilkan area yang berpotensi menjadi area pembangunan waduk. Lalu area yang menjadi bagian upstream pada model waduk dipisahkan dengan menggunakan grafik polygon yang telah diubah kedalam bentuk format shapefile sesuai dengan luas waduk yang direncanakan. Volume dan luas permukaan waduk aktual berdasarkan model dapat diketahui dari peta DEM yang diekstrak dengan polygon dalam format shapefile tersebut (Gambar 12).
24
Gambar 12 Pembentukan polygon DEM model waduk Skenario pemodelan waduk dilakukan dengan cara merubah parameter input waduk (Tabel 7) menjadi beberapa kondisi yang berbeda. Pada penelitian ini, akan digunakan 15 skenario atau kondisi yang berbeda untuk nilai parameter yang digunakan. Perubahan nilai parameter input waduk dilakukan dengan menggunakan menu Edit SWAT Input > Reservoirs (Gambar 13) pada program ArcSWAT. Setelah parameter input waduk dimasukkan, lalu model SWAT kembali dijalankan untuk memperoleh hasil simulasi hidrologi yang telah ditambahkan waduk. Hasil output simulasi model SWAT yang telah dilakukan skenario pemodelan waduk kemudian dibandingkan dengan hasil output simulasi terkalibrasi model SWAT. Dalam penelitian ini output model atau variable yang digunakan sebagai perbandingan adalah debit aliran (FLOW_OUT). Tabel 7 Parameter input waduk Parameter Satuan MORES IYRES RES_ESA RES_EVOL RES_PSA RES_PVOL RES_VOL IRESCO IFLOOD1R IFLOOD2R NDTARGR
ha 104 m3 ha 104 m3 104 m3 bulan bulan hari
Definisi Bulan waduk mulai beroperasional Tahun simulasi waduk mulai beroperasional Luas permukaan waduk pada kondisi emergency spillway Volume waduk pada kondisi emergency spillway Luas permukaan waduk pada kondisi principal spillway Volume waduk pada kondisi principal spillway Volume waduk aktual Pilihan simulasi outflow Awalan bulan pada hari/musim kering Akhiran bulan pada hari/musim kering Jumlah hari untuk mencapai target tampungan waduk
25
Gambar 13 Input data parameter waduk
26 Gagasan Penelitian Perumusan Masalah Studi Literatur
Tahap I Pengumpulan Data Peta DEM Citra SRTM
Tahap II Delineasi DAS
Pengumpulan Data
Peta Batas DAS
Peta Tutupan & Kemiringan Lahan
Peta Jenis Tanah
Data-Data Iklim
Data Debit Observasi
Membentuk: - DEM - Jaringan Sungai - Outlet - Sub DAS
Tahap III Pembentukan HRU dan Running SWAT
Identifikasi: - Tutupan Lahan - Kemiringan Lahan - Jenis Tanah Pembentukan HRU Mengisi Input Tabel Iklim
Simulasi (Run) SWAT Edit SWAT Database (mengubah persentase parameter curah hujan pada subbasin)
Tahap IV Kalibrasi dan Validasi
Output Model
Tidak
Kalibrasi & Validasi
Ya Tahap V Pemodelan Waduk
Tahap VI Analisis Respon Hidrologi
Skenario & Simulasi Pemodelan Waduk Analisis Biofisik Pembahasan
Simpulan dan Saran
Gambar 14 Diagram alir penelitian
27
HASIL DAN PEMBAHASAN Daerah aliran sungai Ciliwung Hulu terletak pada posisi 6°37'-6°46' LS dan 106°50'-107°00' BT. Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas ±14,860 ha yang merupakan daerah pegunungan dengan elevasi antara 347 sampai 2,984 m dpl (hasil delineasi DEM). Di bagian hulu paling sedikit terdapat 7 Sub DAS, yaitu Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Berdasarkan wilayah administrasi, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua, dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Pada penelitian ini, outlet yang digunakan sebagai lokasi pengukuran debit adalah bendung Katulampa pada posisi 06°38'00.6" LS dan 106°50'13.7" BT. Penempatan outlet pada bendung Katulampa dilakukan karena bendung Katulampa merupakan titik awal pengukuran debit aktual DAS Ciliwung. Bendung Katulampa merupakan stasiun pengamatan arus sungai dengan tujuan sebagai pos peringatan yang memberi informasi dini atas air dan bahaya banjir Sungai Ciliwung yang akan memasuki wilayah Ibukota DKI Jakarta. Data mengenai ketinggian air di bendung Katulampa ini memperkirakan bahwa sekitar 3 sampai 4 jam kemudian air akan sampai di daerah Depok. Selanjutnya di bendung Depok ketinggian air dipantau dan dilaporkan ke Jakarta sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar aliran dapat mengantisipasi sedini mungkin datangnya banjir yang akan melewati daerah mereka. Selain itu bendung Katulampa juga merupakan sumber sarana irigasi lahan yang terdapat di sekitar bendung hingga seterusnya. Sehingga bendung Katulampa ini merupakan lokasi yang sangat cocok sebagai outlet pengukuran debit pada penelitian ini berdasarkan peranannya yang sangat penting. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu terletak pada pemodelan hidrologi SWAT yang dilakukan. Pada penelitian ini, selain dilakukan pemodelan SWAT untuk menganalisis respon hidrologi yang dihasilkan oleh kondisi biofisik pada Sub DAS Ciliwung Hulu, juga dilakukan pemodelan SWAT dengan rekayasa skenario Waduk Ciawi yang direncanakan akan segera dibangun guna mempengaruhi respon hidrologi yang dihasilkan. Respon hidrologi yang dihasilkan oleh skenario pemodelan waduk dengan menggunakan SWAT digunakan untuk menganalisis efektivitas pembangunan Waduk Ciawi yang sudah dan sedang direncanakan serta akan dilaksanakan. Kondisi Biofisik Penggunaan Lahan Jenis penggunaan lahan pada suatu DAS sangat mempengaruhi hidrologi kawasan tersebut. Begitu pula perubahan penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi hidrologi khususnya mempengaruhi besar aliran permukaan dan debit sungai. Data yang digunakan adalah data tutupan lahan DAS Ciliwung Hulu tahun 2009 skala 1:25,000 berdasarkan interpretasi citra satelit wordview (BPDAS Citarum-Ciliwung). Pengolahan data menggunakan model SWAT menghasilkan bahwa pada Sub DAS Ciliwung Hulu terdiri dari 9 (sembilan) jenis tutupan lahan, yaitu hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder, hutan tanaman,
28 semak belukar, perkebunan, pemukiman, lahan terbuka, pertanian lahan kering, dan pertanian lahan kering bercampur semak. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan lahan pada Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh pertanian lahan kering dengan persentase sebesar 43.46%, sedangkan penggunaan lahan terkecil adalah lahan terbuka dengan persentase sebesar 0.15%. Proporsi luasan masing-masing tutupan lahan beserta peta sebarannya dapat dilihat pada Tabel 8 dan Gambar 15. Tabel 8 Sebaran tutupan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Luas
Kode SWAT
Nomor kode
(ha)
(%)
Hutan lahan kering primer FRST Hutan lahan kering sekunder FRSD Hutan tanaman FRSE Semak belukar RNGB Perkebunan PLAN Pemukiman URMD Lahan terbuka WETN Pertanian lahan kering AGRR Pertanian lahan kering AGRC bercampur semak
2001 2002 2006 2007 2010 2012 2014 20091
454.88 1,550.42 3,641.79 106.55 543.91 829.30 20.09 6,023.41
3.28 11.19 26.28 0.77 3.92 5.98 0.15 43.46
20092
689.51
4.97
13,859.86
100.00
Tutupan lahan
Total
Gambar 15 Peta tutupan lahan Sub DAS Ciliwung Hulu Jenis Tanah Data yang digunakan adalah data jenis tanah DAS Ciliwung Hulu skala 1:25,000 dari FAO (Food and Agriculture Organization). Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan model SWAT diketahui bahwa tanah pada Sub DAS
29 Ciliwung Hulu diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis tanah. Umumnya tanah bertekstur tanah liat dan berlempung. Proporsi luasan masing-masing jenis tanah beserta peta sebarannya dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 16. Tabel 9 Klasifikasi jenis tanah Sub DAS Ciliwung Hulu No. 1 2 3
Jenis tanah Clay Loam Loam Loam
Kode SWAT Ao83-2-3c-4467 To24-2c-4575 Th17-2c-3856
Total
Luas (ha)
(%)
381.46 5,234.49 8,243.91
2.75 37.77 59.48
13,859.86
100.00
Gambar 16 Peta jenis tanah Sub DAS Ciliwung Hulu Kemiringan Lahan Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi karakteristik aliran air karena dapat menentukan besarnya debit yang keluar dari outlet dan kecepatan volume runoff. Lahan dengan kemiringan yang curam memiliki potensi runoff dan erosi yang tinggi jika terjadi hujan. Data spasial kemiringan lahan dibuat secara otomatis oleh SWAT dari DEM sesuai dengan kelas interval yang ditetapkan sebanyak 5 kelas, yaitu 0-8% (landai), 8-15% (bergelombang), 15-25% (berbukit), 25-40% (curam), > 40% (sangat curam). Penetapan kelas kelerengan ini mengacu pada penetapan kelas kelerengan oleh Dirjen RLPS Kemenhut (2009). Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan model SWAT, kelas kelerengan Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh lereng bergelombang (15-25%) seluas 3,469.54 ha. Daerah yang memiliki kelerengan lebih tinggi tersebut terletak pada elevasi yang lebih tinggi, yaitu pada daerah pinggiran Sub
30 DAS Ciliwung Hulu bagian timur dan tengah. Proporsi luasan masing-masing kelas kelerengan beserta peta sebarannya dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 17. Tabel 10 Kelas kelerengan Sub DAS Ciliwung Hulu No. 1 2 3 4 5
Slope (%)
Luas
Definisi
0-8 8-15 15-25 25-40 > 40
(ha)
Landai Bergelombang Berbukit Curam Sangat curam Total
(%)
1,334.26 2,559.87 3,469.54 3,214.91 3,281.28
9.63 18.47 25.03 23.20 23.67
13,859.86
100.00
Gambar 17 Peta kelerengan Sub DAS Ciliwung Hulu Analisis Hidrologi Model SWAT ArcSWAT ArcGIS extension adalah perangkat lunak pengguna grafis untuk model SWAT (Soil and Water Assessment Tool) (Arnold et al. 1998). ArcSWAT ArcGIS extension berevolusi dari AVSWAT 2000, sebuah ArcView extension yang dikembangkan untuk versi sebelumnya dari SWAT. Aplikasi SWAT digunakan untuk simulasi hidrologi dengan interval waktu harian, bulanan, dan tahunan. Selain itu aplikasi SWAT juga dirancang untuk melakukan prediksi dampak jangka panjang dari praktek pengelolaan lahan terhadap air, sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu area DAS yang kompleks dengan mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS setelah melalui periode yang lama, untuk memastikan simulasi berhasil. Pada simulasi model SWAT dilakukan beberapa tahap, diantaranya yaitu delineasi DAS, pembentukan
31 dan definisi HRU (Hydrology Response Unit), pembentukan data iklim, menjalankan simulasi model, serta kalibrasi dan validasi hasil simulasi. Delineasi Sub DAS Data input peta DEM (Lampiran 3) yang berisi informasi topografi Sub DAS Ciliwung bagian hulu diproses dalam SWAT dengan menggunakan Watershed Delineator. Proses delineasi secara otomatis menghasilkan laporan hasil perhitungan topografi secara lengkap, peta jaringan sungai, peta batas DAS, peta Sub DAS, dan outlet sungai. Pembagian subbasin merupakan prosedur dalam model SWAT yang membagi wilayah berdasarkan topografi dan jaringan sungai. Hasil dari delineasi terbentuk 28 subbasin (Gambar 18) dengan luasan berkisar 4 ha sampai 2,061 ha. Titik outlet berada pada subbasin nomor 1 yaitu di bendung Katulampa, Bogor yang terletak paling hilir dari Sub DAS Ciliwung Hulu. Total luas yang diperoleh adalah sebesar 13,859.86 ha, dimana terjadi pengurangan luas lahan Sub DAS Ciliwung Hulu yang seharusnya adalah 14,860 ha. Hal ini disebabkan oleh adanya anak sungai yang tidak terhubung atau masuk ke dalam outlet (Katulampa) sehingga tidak termasuk dalam wilayah delineasi. Luasan masing-masing subbasin dapat dilihat pada Lampiran 6.
Gambar 18 Peta delineasi Sub DAS Ciliwung Hulu Pembentukan dan Definisi HRU HRU merupakan unit analisis hidrologi yang dibentuk berdasarkan tumpang tindih (overlay) antara peta penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lahan. Hasil pembentukan HRU memberikan informasi spesifik mengenai penggunaan lahan, jenis tanah, kemiringan lahan, luas area, dan persentase luas HRU pada Sub DAS. Pada penelitian ini diperoleh 516 HRU pada 28 subbasin di Sub DAS Ciliwung Hulu. Pembagian HRU dilakukan dengan menggunakan threshold sebesar 0% untuk seluruh aspek penggunaan lahan, jenis tanah, dan kemiringan lahan, yang berarti seluruh luas wilayah dari Sub DAS yang telah terbentuk
32 sebelumnya diperhitungkan dalam pembentukan HRU. Peta hasil pembagian HRU dapat dilihat pada Gambar 19. Berdasarkan hasil HRU yang telah dibentuk, diketahui bahwa pada outlet Katulampa yang berada pada subbasin 1 terbentuk 18 jenis HRU dengan total luas 663.04 ha atau 4.78% dari seluruh luas Sub DAS Ciliwung Hulu. Pada wilayah subbasin 1 penggunaan lahan yang terdapat adalah pemukiman seluas 106.55 ha (16.07%) dan pertanian lahan kering seluas 556.48 ha (83.93%). Terdapat 2 jenis tanah yaitu clay loam seluas 381.46 ha (57.53%) dan loam seluas 281.57 ha (42.47%). Subbasin 1 ini memiliki tingkat kemiringan lahan yang relatif bergelombang (8-15%).
Gambar 19 Peta HRU (Hydrology Response Unit) Sub DAS Ciliwung Hulu Pembentukan Data Iklim Simulasi hidrologi suatu DAS tentunya sangat dipengaruhi oleh iklim yang terjadi pada wilayah DAS tersebut. Pada penelitian ini digunakan data input iklim berupa curah hujan, temperatur, kelembaban relatif, radiasi matahari, dan kecepatan angin. Data-data tersebut merupakan data hasil pengukuran salah satu stasiun cuaca dari 43 stasiun cuaca yang terdapat di Jawa Barat, yaitu stasiun cuaca dengan kode 671069 (kode sumber) yang terletak pada 6°42'47.246" LS dan 106°52'30.45" BT (Lampiran 4). Stasiun cuaca 671069 tersebut digunakan sebagai sumber data iklim karena lokasinya berada paling dekat dengan titik outlet Katulampa. Data iklim yang digunakan adalah data iklim jangka panjang yaitu sejak tahun 1979 sampai 2010 yang bersumber dari CRU (Climate Riset Unit). Data iklim yang lengkap dan memiliki jangka waktu yang cukup panjang hanya dari satu sumber sangat mendukung untuk memberikan hasil simulasi hidrologi yang baik, karena semakin lama periode simulasi maka output yang dihasilkan akan semakin baik dan akurat. Data-data iklim tersebut telah diolah sebelumnya dengan menggunakan program Ms. Excel fitur pivot table, program pcpSTAT, dan rumus Mononobe sehingga dihasilkan 14 parameter input dalam data generator iklim (weather
33 generator data) untuk masukan pada program ArcSWAT. Hasil pengolahan data iklim sebagai parameter input data generator iklim (weather generator data) pada program ArcSWAT secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 7. Rata-rata curah hujan dari stasiun hujan 671069 selama 32 tahun (1979-2010) menunjukkan bahwa curah hujan maksimum terjadi pada bulan April sebesar 574.67 mm dan diikuti bulan Maret sebesar 534.58 mm. Sedangkan curah hujan minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar 125.73 mm. Grafik dari sebaran rata-rata curah hujan dapat dilihat pada Gambar 20. 574,67
600 534,58 500
458,92
445,04
Curah Hujan (mm)
409,40
409,18
426,46
400 321,57 300 236,67 175,24
200
173,99 125,73
100
0 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sept
Oct
Nov
Dec
Waktu (bulan) Gambar 20 Rataan curah hujan bulanan tahun 1979-2010 Berdasarkan data dari stasiun iklim 671069 tahun 1979-2010, rata-rata kecepatan angin terbesar terjadi pada bulan Februari mencapai 1.70 m s-1 sedangkan rata-rata kecepatan angin terkecil terjadi pada bulan Mei yaitu sebesar 1.15 m s-1. Rata-rata penyinaran matahari lebih besar terjadi pada bulan Maret sampai dengan bulan Desember. Penyinaran matahari mencapai puncaknya pada bulan Maret sebesar 15.89 MJ m-2 hari-1. Selama periode bulan Januari dan Februari rata-rata penyinaran matahari yang terjadi lebih kecil. Bulan Februari merupakan bulan yang mempunyai rata-rata penyinaran matahari paling kecil sebesar 12.82 MJ m-2 hari-1. Temperatur rata-rata maksimum bulanan menunjukkan sekitar 30.67 °C terjadi di bulan September dan 30.23 °C terjadi di bulan Oktober. Temperatur rata-rata minimum bulanan terjadi di bulan Januari dan Februari. Pada bulan Februari menunjukkan temperatur rata-rata minimum paling kecil sebesar 17.74 °C. Kondisi iklim Sub DAS Ciliwung Hulu secara umum dapat dilihat pada Tabel 11.
34 Tabel 11 Kondisi iklim Sub DAS Ciliwung Hulu Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Temperatur (°C) Maks Min
Curah hujan (mm)
24.18 23.64 26.56 27.58 27.95 28.42 28.86 29.82 30.67 30.23 28.93 26.40
458.92 445.04 534.58 574.67 409.40 236.67 175.24 125.73 173.99 321.57 409.18 426.46
17.81 17.74 19.45 19.89 19.47 18.68 17.91 17.90 18.79 19.54 20.01 19.11
Radiasi Kecepatan matahari angin -2 -1 (MJ m hari ) (m s-1) 12.87 12.82 15.89 15.52 14.88 14.88 14.21 13.94 13.80 14.04 14.45 14.51
1.60 1.70 1.43 1.36 1.15 1.39 1.44 1.46 1.36 1.28 1.35 1.60
Run SWAT Model hidrologi SWAT dapat disimulasikan setelah dilakukan penggabungan data antara jaringan hidrologi DAS, data HRU, dan data iklim. Pada penelitian ini output model atau variable yang ingin diketahui dan diuji analisis adalah debit aliran (FLOW_OUT). Debit aliran yang dimaksud adalah debit harian rata-rata dalam periode harian dan bulanan selama tahun 2008-2009 pada lokasi outlet Katulampa (subbasin 1). Hasil simulasi ditampilkan dengan menggunakan program SWATPlot dan SWATGraph dalam bentuk grafik. Berdasarkan hasil simulasi yang diperoleh, pada simulasi harian debit maksimum yang terjadi adalah sebesar 95.66 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 0.55 m3 s-1, serta debit rata-rata sebesar 10.52 m3 s-1. Sedangkan pada simulasi bulanan, debit maksimum yang terjadi sebesar 20.30 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 1.77 m3 s-1, serta debit rata-rata sebesar 10.57 m3 s-1. Hasil visualisasi grafik hubungan antara debit simulasi dan observasi menunjukkan bahwa debit hasil simulasi harian dan bulanan yang diperoleh kurang mendekati kondisi sebenarnya di lapangan, terlihat bahwa sebaran debit observasi memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan debit simulasi. Perbandingan hasil debit simulasi dengan debit observasi disajikan pada Gambar 21 dan 22. Perbandingan debit hasil simulasi dan debit observasi hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan SWATPlot dan SWATGraph juga digunakan untuk menghasilkan nilai validitas awal model. Nilai validitas berdasarkan koefisien determinasi (R2) dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang diperoleh adalah 0.365 dan -0.109 untuk debit harian, serta 0.681 dan -0.014 untuk debit bulanan. Menurut Moriasi et al. (2007), dalam kriterianya simulasi dianggap baik jika nilai NS > 0.65, memuaskan jika 0.50 < NS <0.65, dan kurang baik jika NS ≤ 0.5. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa pada penelitian ini nilai validitas yang dihasilkan oleh hasil perbandingan debit simulasi dan observasi baik harian maupun bulanan belum dapat diterima. Oleh karena itu, diperlukan proses kalibrasi agar nilai validitas yang diperoleh dapat diterima.
170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Observed
Simulation R2 = 0.365 NS = -0.109
1 32 60 91 121 152 182 213 244 274 305 335 366 397 425 456 486 517 547 578 609 639 670 700 731
Debit (m3 s-1)
35
Waktu (hari)
Debit (m3 s-1)
Gambar 21 Perbandingan debit harian observasi dengan hasil simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Observed
Simulation R2 = 0.681 NS = -0.014
Waktu (bulan) Gambar 22 Perbandingan debit bulanan observasi dengan hasil simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu Kalibrasi Kalibrasi merupakan proses pemilihan kombinasi parameter untuk meningkatkan koherensi antara respon hidrologi yang diamati/diukur dengan hasil simulasi. Kalibrasi model dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang adaptif di lapangan. Untuk mengetahui hubungan antara hasil simulasi (output) model dengan keadaan di alam maka hasil simulasi model tersebut perlu dibandingkan dengan data observasi. Kemudian dilakukan penyesuaian nilai parameter-parameter yang
36 berpengaruh terhadap kondisi hidrologi kawasan DAS sehingga pada akhirnya diperoleh hasil simulasi yang mendekati nilai observasi. Hasil simulasi awal pada Gambar 21 dan 22 menunjukkan bahwa sebaran data debit simulasi berada cukup jauh di bawah data debit observasi khususnya pada lima bulan awal yaitu Januari, Februari, Maret, April, dan Mei, beserta bulan Desember. Menurut Arsyad (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi sifat aliran permukaan adalah: (1) curah hujan: jumlah, intensitas, dan distribusi; (2) temperatur udara; (3) tanah: tipe, jenis substratum, dan topografi; (4) luas DAS; (5) tanaman/tumbuhan penutup tanah; dan (6) sistem pengelolaan tanah. Sebagaimana yang diketahui bahwa curah hujan yang terjadi sangat berpengaruh terhadap debit aliran yang dihasilkan. Kondisi debit aliran yang dihasilkan oleh simulasi SWAT berdasarkan data curah hujan yang diperoleh menunjukkan bahwa curah hujan pada kelima bulan tersebut perlu dinaikkan agar dapat mendekati kondisi debit observasi di lapangan. Sedangkan untuk bulan Juni, Juli, Agustus, Oktober, dan Desember terlihat berfluktuasi, dimana data debit simulasi berada di atas debit observasi, sehingga perlu dilakukan penurunan curah hujan. Pada bulan September dan November perubahan debit yang terjadi antara debit simulasi dan debit observasi tidak terlalu jauh, sehingga curah hujan hanya perlu dinaikkan sedikit saja. Parameter sensitif hidrologi yang dapat mempengaruhi respon hidrologi dalam simulasi mode SWAT ada beberapa. Berdasarkan beberapa kondisi di atas, maka pada penelitian ini ditetapkan parameter hidrologi yang digunakan sebagai parameter input model yang perlu dikalibrasi yaitu perubahan curah hujan dalam bentuk persen (RFINC). Perubahan nilai curah hujan dilakukan secara manual dengan menggunakan metode coba-coba (trial and error) pada menu Edit SWAT Input. Nilai curah hujan yang diubah diberlakukan terhadap seluruh subbasin dalam jaringan hidrologi DAS. Sesuai dengan metode yang digunakan, perubahan nilai curah hujan dilakukan berkali-kali sehingga output hasil simulasi model mendekati dengan output hasil observasi. Perubahan naik atau turunnya curah hujan dalam bentuk persen sangat tergantung dari hasil visualisasi pada simulasi awal. Pada penelitian ini perubahan nilai persentase curah hujan yang dilakukan memiliki rentang nilai dari -50 sampai +150 persen. Setiap kalibrasi yang dilakukan sangat mempengaruhi nilai validitas R2 dan NS, sehingga setiap dilakukan perubahan-perubahan nilai sangat perlu memperhatikan hasil visualisasi dari kalibrasi-kalibrasi sebelumnya terlebih dahulu. Hal tersebut dikarenakan tidak semua bulan mengalami kondisi curah hujan yang sama. Berdasarkan hasil kalibrasi debit harian dan bulanan Sub DAS Ciliwung Hulu, pada simulasi harian diperoleh debit maksimum yang terjadi adalah sebesar 204.10 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 0.58 m3 s-1, serta debit rata-rata sebesar 19.22 m3 s-1. Sedangkan pada simulasi bulanan, diperoleh debit maksimum sebesar 56.64 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 1.50 m3 s-1, serta debit ratarata sebesar 19.44 m3 s-1. Hasil dari kalibrasi parameter curah hujan, diperoleh nilai validitas berdasarkan koefisien determinasi (R2) dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) adalah 0.533 dan -0.087 untuk simulasi debit harian, serta 0.943 dan 0.889 untuk simulasi debit bulanan. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kriteria atas nilai validitas NS yang diperoleh dari simulasi debit harian terkalibrasi yaitu kurang memuaskan (NS < 0.5). Hal ini dapat terjadi karena sebaran data debit simulasi
37
210 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Observed
Calibrated Simulation R2 = 0.533 NS = -0.087
1 32 60 91 121 152 182 213 244 274 305 335 366 397 425 456 486 517 547 578 609 639 670 700 731
Debit (m3 s-1)
hasil kalibrasi cenderung tidak seragam dengan data debit observasi harian. Sedangkan untuk simulasi debit bulanan terkalibrasi diperoleh nilai validitas NS dengan kriteria sangat baik (0.75 < NS < 1.00). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan parameter curah hujan dalam proses kalibrasi sangat memperhatikan hasil visualisasi dari setiap simulasi bulana model terkalibrasi sebelumnya. Dengan demikian hasil simulasi hidrologi Sub DAS Ciliwung Hulu model SWAT dapat dikatakan valid dengan kategori sangat baik berdasarkan hasil simulasi periode waktu bulanan. Fluktuasi antara debit observasi dan debit hasil simulasi terkalibrasi model SWAT disajikan pada Gambar 23 dan 24.
Debit (m3 s-1)
Waktu (hari) Gambar 23 Fluktuasi debit harian observasi dan hasil simulasi terkalibrasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu 60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Observed
Calibrated Simulation R2 = 0.943 NS = 0.889
Waktu (bulan) Gambar 24 Fluktuasi debit bulanan observasi dan hasil simulasi terkalibrasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu
38 Validasi Validasi adalah proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat ketidakpastian yang dimiliki oleh suatu model dalam memprediksi proses hidrologi. Langkah validasi bertujuan untuk membuktikan bahwa suatu proses/metode dapat memberikan hasil yang konsisten sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan. Proses validasi dilakukan dengan membandingkan data bulanan debit observasi bulan Januari-Desember tahun 2010 dengan data bulanan debit simulasi yang menggunakan parameter kalibrasi. Hal tersebut dilakukan untuk memperlihatkan bahwa simulasi model SWAT akan memiliki nilai validitas yang baik untuk tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan hasil validasi dan visualisasi, nilai validitas koefisien determinasi (R2) dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang diperoleh adalah 0.806 dan -4.861. Nilai validitas R2 yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara data simulasi dengan data observasi sehingga dapat dikatakan valid. Namun nilai validitas NS yang diperoleh tidak menunjukkan hasil yang diinginkan, dimana berarti tidak terdapat pengaruh yang besar dari hubungan data simulasi dan data observasi. Hal ini dapat terjadi karena sebaran data debit simulasi hasil kalibrasi cenderung tidak seragam dengan debit observasi. Hasil visualisasi yang diperoleh memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 debit observasi berada di bawah debit simulasi. Fluktuasi antara debit observasi dan debit hasil validasi simulasi model SWAT disajikan pada Gambar 25. Perubahan nilai curah hujan (RFINC) beserta nilai statistik hasil kalibrasi dan validasi secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 12. 100 90
Debit (m3 s-1)
80
Observed
Validated Simulation R2 = 0.806 NS = -4.861
70 60 50 40 30 20 10 0
Waktu (bulan) Gambar 25 Fluktuasi debit bulanan observasi dan hasil validasi simulasi model SWAT Sub DAS Ciliwung Hulu
39 Tabel 12 Nilai statistik hasil kalibrasi dan validasi Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Curah hujan (RFINC) (%) +150 +180 +120 +30 +70 -10 -10 -50 +10 0 +10 +50
Kalibrasi Harian Bulanan 2 R NS R2 NS
0.533
-0.087
0.943
0.889
Validasi R2
NS
0.806
-4.861
Analisis Hidrologi Pemodelan Waduk Pembangunan suatu waduk dimaksudkan untuk menyimpan air. Demikian pula halnya dengan pembangunan Waduk Ciawi bertujuan untuk menampung dan kemudian mendayagunakan air yang melimpah pada musim hujan untuk keperluan pertanian dan berbagai keperluan lainnya pada saat musim kemarau. Dalam satu tahun, persediaan air di alam khususnya di Indonesia berubah-ubah, pada musim penghujan air sangat melimpah sedangkan pada saat musim kemarau air menjadi sangat langka. Dengan kapasitas tampungan yang besar dan elevasi muka air yang tinggi, sebuah waduk selain dapat mengatur besar aliran sungai di sebelah hilirnya agar menjadi lebih merata sepanjang tahun, juga dapat berfungsi sekaligus sebagai sarana pengendali banjir yang efektif dan berbagai manfaat lainnya. Lokasi pembangunan Waduk Ciawi yang diperkirakan terletak pada koordinat 6°39'28.88" LS dan 106°52'54.22" BT (Lampiran 5), tepatnya berada di antara Desa Cibogo, Desa Gadog, dan Desa Cipayung (Datar dan Girang) di Kecamatan Megamendung, Bogor. Berdasarkan peta jaringan hidrologi Sub DAS Ciliwung Hulu hasil delineasi, diketahui bahwa waduk berada pada subbasin 7, dan berdasarkan peta DEM yang digunakan diketahui bahwa titik koordinat waduk berada pada elevasi 524 m. Penerapan model waduk pada program ArcSWAT menggunakan desain principal spillway dan emergency spillway, sehingga digunakan tinggi rencana waduk yang berbeda pada masing-masing keadaan tersebut untuk mendapatkan besar volume dan luas permukaan waduk. Berdasarkan pengolahan data peta DEM dengan menggunakan program ArcSWAT, diperoleh volume dan luas permukaan model waduk untuk masing-masing desain spillway seperti disajikan pada Tabel 13.
40 Tabel 13 Volume dan luas permukaan waduk Desain spillway waduk Principal Emergency
Ketinggian Faktor dasar Z (m) 525 525
1 1
Luas permukaan (ha) 2D 3D 148.0714 153.3589 149.4997 154.8511
Volume (104 m3) 7317.7976 7433.8027
Skenario Waduk Simulasi waduk dilakukan dengan memasukkan nilai parameter waduk yang berbeda-beda untuk mengetahui besar perubahan yang terjadi dari masing-masing skenario tersebut. Pada tahap ini output model atau variable yang ingin diketahui dan dilakukan perbandingan untuk selanjutnya diuji analisis efektivitasnya adalah debit aliran (FLOW_OUT). Debit aliran yang dimaksud adalah debit harian ratarata dalam periode bulanan pada tahun 2008-2009. Adapun outlet sungai yang dijadikan titik pengukuran debit aliran pada simulasi terdapat tiga lokasi, yaitu outlet 7 pada subbasin 7 yang merupakan titik outlet Waduk Ciawi yang direncanakan, outlet 6 pada subbasin 6, dan terakhir outlet 1 atau outlet Katulampa pada subbasin 1 yang merupakan lokasi pengukuran debit observasi. Pada penelitian ini simulasi pemodelan waduk dilakukan dengan 15 skenario. Secara umum untuk seluruh skenario, waduk mulai dioperasikan pada tahun 2006 dimana dua tahun sebelum periode tahun waduk disimulasikan (2008-2009), pilihan metode simulasi outflow (debit aliran) yang dihasilkan adalah simulated target release. Pada jenis simulasi outflow, metode simulated target release mencoba menggambarkan aturan umum yang mungkin digunakan oleh operator waduk. Meski metode ini sederhana dan kurang dapat menjelaskan kriteria secara detail, namun secara realistis dapat mensimulasikan debit aliran maksimum serta periode saat debit aliran yang terjadi rendah. Pendekatan metode simulated target release pada waduk yaitu, volume principal spillway berhubungan dengan kondisi dimana dilakukan pengendalian banjir maksimum, sedangkan volume emergency spillway berhubungan dengan kondisi dimana tidak ada pengendalian banjir sama sekali. Simulasi model waduk membutuhkan input parameter awalan dan akhiran dari hari/musim kering. Awal bulan hari/musim kering yang digunakan yaitu pada bulan April dan berakhir pada bulan September, sesuai dengan periode musim yang terjadi di Indonesia. Perubahan input parameter yang diaplikasikan pada skenario waduk, yang pertama adalah target penyimpanan waduk (104 m3), dan yang kedua adalah jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai target penyimpanan waduk tersebut dari tampungan waduk aktual (NDTARGR). Target penyimpanan waduk ditentukan secara bulanan (monthly target storage). Pada input parameter target penyimpanan waduk, tidak terdapat syarat atau aturan baku untuk penentuan nilainya. Nilai target penyimpanan waduk yang ditentukan pada penelitian ini terdapat lima kondisi, dengan masing-masing interval nilai pada tiap kondisi adalah 500. Sedangkan nilai NDTARGR ditentukan sebanyak tiga kondisi, dimana kondisi pertama jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai target penyimpanan waduk adalah 1 hari, kondisi kedua adalah 15 hari, dan kondisi ketiga adalah 30 hari. Skenario pemodelan waduk yang ditentukan berdasarkan dari kedua input parameter waduk yang memiliki kondisi berbeda-beda tersebut sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kelima nilai target penyimpanan waduk yang telah ditentukan kemudian diaplikasikan kepada
41 ketiga kondisi jumlah hari yang dibutuhkan untuk mencapai target penyimpanan waduk, sehingga diperoleh jumlah skenario pemodelan waduk yang digunakan yaitu sebanyak 15 skenario. Skenario pemodelan waduk dengan masing-masing nilai input parameter dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Input parameter skenario waduk Parameter Skenario Monthly NDTARGR IFLOD1R IFLOD2R Target IYRES IRESCO (hari) (bulan) (bulan) Storage 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
0 500 1000 1500 2000 0 500 1000 1500 2000 0 500 1000 1500 2000
1
15
2006
Simulated Target Release
April
September
30
Fluktuasi Debit Aliran Perubahan debit aliran yang terjadi berdasarkan masing-masing skenario diamati pada ketiga titik outlet sungai pada subbasin. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa secara umum cenderung terjadi penurunan debit pada setiap titik outlet secara berurutan, dimulai dari titik outlet 7 (Waduk Ciawi) yang memiliki elevasi lebih tinggi hingga titik outlet 1 (Katulampa) dengan elevasi yang paling rendah. Fluktuasi debit aliran dari satu titik outlet ke titik outlet lainnya pada masing-masing skenario waduk secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 12. Perubahan debit aliran yang terjadi secara khusus diamati pada titik outlet 1 (Katulampa), dimana merupakan lokasi outlet pada simulasi terkalibrasi model SWAT sebelumnya. Data debit hasil simulasi tersebut yang akan digunakan sebagai pembanding dengan debit hasil simulasi terkalibrasi yang telah dilakukan pemodelan waduk dengan masing-masing skenario. Berdasarkan hasil simulasi terkalibrasi sebelumnya, diketahui bahwa jumlah total debit aliran yang dihasilkan pada periode simulasi tahun 2008-2009 yaitu sebesar 466.510 m3 s-1. Hasil pemodelan waduk dengan 15 skenario yang diterapkan menunjukkan terjadinya penurunan jumlah total debit yang dihasilkan jika dibandingkan dengan debit hasil simulasi terkalibrasi tersebut. Penurunan jumlah total debit tertinggi yang terjadi terdapat pada skenario 2 sebesar 34%, sedangkan penurunan terkecil terdapat pada skenario 15 sebesar 31.93%. Besar penurunan jumlah total debit yang terjadi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 15.
42 Tabel 15 Penurunan jumlah total debit aliran skenario pemodelan waduk Skenario
Q (m3 s-1)
Tanpa skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
466.510 308.686 307.884 308.382 308.786 309.146 312.985 313.953 314.335 314.705 315.032 312.988 316.284 316.684 317.094 317.534
Debit total Penurunan 3 (m s-1) (%) 157.824 158.626 158.128 157.724 157.364 153.525 152.557 152.175 151.805 151.478 153.522 150.226 149.826 149.416 148.976
33.83 34.00 33.90 33.81 33.73 32.91 32.70 32.62 32.54 32.47 32.91 32.20 32.12 32.03 31.93
Debit puncak aliran hasil simulasi terkalibrasi pada titik outlet subbasin 1 dalam periode tahun 2008-2009 terjadi pada bulan Februari tahun 2009 sebesar 56.64 m3 s-1, sedangkan debit terendah terjadi pada bulan September tahun 2008 sebesar 1.501 m3 s-1. Hasil pemodelan waduk dengan 15 skenario yang diterapkan menunjukkan terjadinya penurunan debit puncak dan debit minimum pada masingmasing skenario jika dibandingkan dengan debit hasil simulasi terkalibrasi tersebut. Penurunan debit puncak terbesar yang terjadi terdapat pada skenario 12 sebesar 47.79%, sedangkan penurunan terkecil terdapat pada skenario 6 sebesar 34.39%. Sebaliknya, tidak ada peningkatan debit minimum setelah penerapan skenario model waduk dari kondisi awal tanpa skenario. Besar penurunan debit puncak aliran yang terjadi pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 16. Fluktuasi debit aliran juga dapat dinilai dengan perhitungan nilai Koefisien Regim Sungai (KRS), yaitu dengan cara membagi debit maksimum (Qmaks) dengan debit minimum (Qmin). Nilai KRS < 50 termasuk kategori baik, nilai KRS 50 –120 termasuk kategori sedang, dan nilai KRS > 120 termasuk kategori buruk (Dirjen RLPS 2009). Semakin kecil nilai KRS artinya semakin baik kondisi DAS tersebut (Asdak 1995). Berdasarkan hasil perhitungan nilai KRS untuk 15 skenario pemodelan waduk yang diterapkan, nilai KRS skenario 7 sebesar 28.326 adalah yang terbaik, sedangkan nilai KRS skenario 5 sebesar 487.996 adalah yang terburuk. Nilai KRS pada masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 17.
43 Tabel 16 Penurunan debit maksimum dan peningkatan debit minimum skenario pemodelan waduk Debit Skenario
Qmaks (m3 s-1)
Penurunan (m3 s-1) (%)
Tanpa skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
56.640 36.430 36.610 36.680 36.740 36.790 37.160 30.450 30.480 30.510 30.530 37.170 29.570 30.950 32.830 34.910
20.210 20.030 19.960 19.900 19.850 19.480 26.190 26.160 26.130 26.110 19.470 27.070 25.690 23.810 21.730
35.681 35.364 35.240 35.134 35.046 34.393 46.239 46.186 46.133 46.098 34.375 47.793 45.357 42.037 38.365
Qmin (m3 s-1) 1.501 0.952 0.075 0.075 0.075 0.075 1.075 1.075 1.075 1.075 1.075 0.947 0.947 0.947 0.947 0.947
Peningkatan (m3 s-1) (%) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000
Tabel 17 Nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) skenario pemodelan waduk Debit
KRS
Skenario
Qmaks (m3 s-1)
Qmin (m3 s-1)
Qmaks/Qmin
Tanpa skenario 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
56.640 36.430 36.610 36.680 36.740 36.790 37.160 30.450 30.480 30.510 30.530 37.170 29.570 30.950 32.830 34.910
1.501 0.952 0.075 0.075 0.075 0.075 1.075 1.075 1.075 1.075 1.075 0.947 0.947 0.947 0.947 0.947
37.735 38.275 485.608 486.537 487.333 487.996 34.567 28.326 28.353 28.381 28.400 39.246 31.222 32.679 34.664 36.860
Berdasarkan fluktuasi debit aliran hasil skenario pemodelan waduk yang terjadi pada titik outlet 1 (Katulampa), pada umumnya mengalami penurunan debit
44 jika dibandingkan dengan debit awal tanpa skenario hasil simulasi terkalibrasi model SWAT sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemodelan waduk yang dilakukan dengan beberapa skenario berhasil meminimalkan laju debit aliran yang terjadi, sehingga dapat dikatakan pembangunan Waduk Ciawi cukup efektif berdasarkan pemodelan yang dilakukan. Hasil simulasi dan visualisasi skenario pemodelan waduk pada masingmasing titik outlet (Lampiran 9) menunjukkan terjadinya fluktuasi debit yang kurang baik oleh beberapa skenario. Fluktuasi tersebut terjadi pada bulan April dan Oktober pada masing-masing tahun 2008 dan 2009. Berdasarkan hasil debit simulasi oleh beberapa skenario waduk yang diterapkan, terjadi penurunan debit yang ekstrim pada bulan April dan peningkatan debit yang ekstrim pada bulan Oktober dibandingkan dengan debit hasil simulasi tanpa skenario. Sebagaimana yang diketahui bahwa bulan April dan September merupakan awal dan akhir bulan kering yang digunakan pada model. Fluktuasi debit yang kurang baik dapat terjadi dikarenakan input parameter skenario waduk yang kurang sesuai dengan model, sehingga menyebabkan penurunan debit yang ekstrim pada bulan April dimana curah hujan yang terjadi menurun menandakan awal dari dimulainya bulan kering, dan peningkatan debit yang ekstrim pada bulan Oktober dimana curah hujan yang terjadi meningkat menandakan bulan kering telah berakhir. Secara umum fluktuasi penurunan debit di bulan April terjadi pada skenario 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, dan 10, sedangkan untuk peningkatan debit di bulan Oktober terjadi pada skenario 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, dan 15. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa skenario-skenario tersebut kurang sesuai untuk diterapkan pada model. Berdasarkan kondisi tersebut, maka skenario pemodelan waduk dengan mengunakan SWAT yang dianggap paling baik adalah skenario 1, 6, dan 11.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Simulasi hidrologi berdasarkan kondisi biofisik pada Sub DAS Ciliwung Hulu dengan menggunakan model SWAT sebelum dilakukan penerapan model waduk menghasilkan respon hidrologi berupa debit aliran beserta nilai validitas model. Respon hidrologi yang dimaksud antara lain: a. Pada model simulasi harian, debit maksimum yang terjadi adalah sebesar 204.10 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 0.58 m3 s-1, serta debit rata-rata sebesar 19.22 m3 s-1. Hasil kalibrasi dengan data observasi diperoleh nilai validitas R2 dan NS adalah 0.533 dan -0.087. b. Pada model simulasi bulanan, debit maksimum yang terjadi adalah sebesar 56.64 m3 s-1, dengan debit minimum sebesar 1.50 m3 s-1, serta debit rata-rata sebesar 19.44 m3 s-1. Hasil kalibrasi dengan data observasi diperoleh nilai validitas R2 dan NS adalah 0.943 dan 0.889.
45 c. Hasil validasi debit bulanan diperoleh nilai validitas berdasarkan koefisien determinasi (R2) dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) sebesar 0.806 dan -4.861. d. Simulasi hidrologi Sub DAS Ciliwung Hulu model SWAT dapat dikatakan valid dengan hasil kategori yang baik berdasarkan hasil kalibrasi dan validasi, meskipun nilai NS yang diperoleh kurang memuaskan. 2. Penerapan skenario model waduk dengan menggunakan SWAT menghasilkan respon hidrologi berupa debit aliran yang berfluktuasi. Respon hidrologi yang dimaksud antara lain: a. Jumlah total debit aliran yang dihasilkan menunjukkan terjadinya penurunan berdasarkan skenario pemodelan waduk yang diterapkan. Penurunan jumlah total debit aliran tertinggi terjadi pada skenario 2 sebesar 34%, sedangkan penurunan terkecil terjadi pada skenario 15 sebesar 31.93%. b. Debit puncak aliran yang dihasilkan menunjukkan terjadinya penurunan berdasarkan skenario pemodelan waduk yang diterapkan. Penurunan debit puncak terbesar terjadi pada skenario 2 sebesar 47.79%, sebaliknya tidak ada peningkatan debit minimum yang terjadi. c. Nilai Koefisien Regim Sungai (KRS) pada fluktuasi debit aliran yang terjadi berdasarkan skenario pemodelan waduk yang diterapkan diperoleh hasil sebesar 28.326 dengan kategori baik (KRS < 50) pada skenario 7. d. Terdapat fluktuasi debit yang kurang baik pada beberapa skenario pemodelan waduk. Fluktuasi tersebut yaitu penurunan debit di bulan April yang terjadi pada skenario 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, dan 10, serta peningkatan debit di bulan Oktober yang terjadi pada skenario 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, dan 15. Respon hidrologi berupa debit aliran hasil penerapan skenario model waduk yang terjadi pada umumnya mengalami penurunan debit jika dibandingkan dengan debit awal tanpa skenario hasil simulasi terkalibrasi model SWAT sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemodelan waduk yang dilakukan dengan beberapa skenario berhasil meminimalkan laju debit aliran yang terjadi, sehingga dapat dikatakan pembangunan Waduk Ciawi cukup efektif. Berdasarkan skenario pemodelan waduk yang dilakukan dengan menggunakan SWAT, maka skenario yang dianggap paling baik adalah skenario 1, 6, dan 11. Saran Saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. 1. Perlu dilakukan simulasi dengan menggunakan data stasiun iklim yang lebih banyak dan berada dalam area DAS, sehingga data iklim yang diperoleh dapat lebih menggambarkan kondisi DAS dan hasil pemodelan SWAT lebih baik. 2. Walaupun hasil simulasi skenario pemodelan waduk secara umum dinilai baik untuk mengurangi debit aliran yang dihasilkan, namun perlu diperhatikan bahwa perencanaan waduk harus diperhitungkan dengan sangat teliti baik dari segi fisik konstruksi bangunan maupun dari segi dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Selain itu, dalam simulasi hidrologi dan skenario pemodelan waduk dengan menggunakan SWAT guna menganalisis perubahan debit aliran yang dihasilkan, selanjutnya perlu memperhatikan dampak dari perubahan penggunaan lahan dari tahun ke tahun serta memperhitungkan erosi dan sedimen yang dihasilkan.
46 3. Model hidrologi SWAT dapat digunakan sebagai salah satu alternatif alat dalam perencanaan pengelolaan DAS. Penggunaan model hidrologi SWAT dalam perencanaan pengelolaan DAS dapat mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi tingkat permasalahan DAS dan dapat digunakan sebagai alat untuk memilih tindakan pengelolaan dalam mengendalikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu dengan penggunaan model hidrologi SWAT dapat dikembangkan skenario tindakan pengelolaan secara sistematis untuk menentukan kondisi perencanaan pengelolaan DAS terbaik. 4. Perlu adanya peraturan yang memuat prosedur baku penanganan bencana banjir. Pengaturan ini seharusnya dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Banjir yang independen, yang dalam pembentukannya melibatkan masyarakat luas.
47
DAFTAR PUSTAKA Ahl RS, Woods SW, Zuuring HR. 2008. Hydrologic calibration and validation of SWAT in a snow-dominated rocky mountain watershed, Montana, U.S.A. J American Water Resources Association. 44(6):1411-1430.doi:10.1111/ j.1752-1688.2008.00233.x. Arnold JG, R. Srinivasan R, Muttiah RS, Williams JR. 1998. Large area hydrologic modeling and assessment part I: model development. J American Water Resourc Association. 34(1):73-89.doi:10.1111/j.1752-1688.1998.tb05961.x. Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Ed ke-2. Bogor (ID): IPB Pr. Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Pr. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung-Cisadane. 2004. Laporan Tahunan Kalibrasi Bendungan Ciliwung-Katulampa. Bogor (ID): [penerbit tidak diketahui]. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2002. Laporan Hasil Monitoring Tata Air di Wilayah Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2002. Bogor (ID): Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial BPDAS Citarum-Ciliwung. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 2007. Penyusunan Rencana Detail Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekjur. Bogor (ID): Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial BPDAS Citarum-Ciliwung. Bettinger P, Wing MG. 2004. Geographic Information Systems: Applications in Forestry and Natural Resource Management. New York (US): McGraw-Hill. 230 p. Carolina M. 2012. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologis Sub-DAS Citarik tahun 2000 dan 2007 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Chang KT. 2003. Introduction to Geographic Information Systems. 2nd ed. London (UK): McGraw-Hill. 400p. Chow VT, Maidment DR, Mays LW. 1988. Applied Hydrology. New York (US): McGraw-Hill. 572p. Clause V. 2012. Using ArcMap to streamline reservoir volume computation: Susitna-Watana reservoir volume and surface area calculations. GEO327G/ 386G: GIS & GPS Applications in Earth Sciences - Fall 2012 Class Projects [Internet]. Austin, Texas (US): Jackson School of Geosciences, University of Texas. 17 p; (2012 Des, [diunduh 2014 Mei 16]). Tersedia pada: http:// www.jsg.utexas.edu/helper/files/Clause-project.pdf. Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta. 2009. Masterplan Pengendalian Banjir dan Drainase. Jakarta (ID): PT. Multimera Harapan.
48 [Dirjen RLPS] Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor: P.04/V-SET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID). Fakhrudin M. 2003. Kajian respon hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Ciliwung dengan model Sedimot II [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 1976. A framework for land evaluation. Rome (IT): FAO Publications Division. Firdaus G. 2014. Analisis respon hidrologi terhadap penerapan teknik konservasi tanah di Sub DAS Lengkong menggunakan model SWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gandasasmita K, Hadi SA, Saroinsong FB. 2003. Data structure developing for land resources information storage and management (in Indonesian). Di dalam: The 10th National Seminar of Persada, 2003 Jul 3-4; Nikko Hotel, Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID): [penerbit tidak diketahui]. Gassman PW, Reyes MR, Green CH, Arnold JG. 2007. The soil and water assessment tool: historical development, applications, and future research directions. J ASABE (American Society of Agricultural and Biological Engineers). 50(4):1211-1250.ISSN 0001-2351. George C. 2014. SWAT Output Plotting and Graphing Tools (SWATPlot and SWAT Graph), Version 1.2. WaterBase Project [Internet]. (2014 Feb, [diunduh 2014 Des 11]). Tersedia pada: http://www.waterbase.org/docs/ SWATPlot%20and%20SWATGraph.pdf. Indarto. 2012. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Irsyad F. 2011. Analisis debit sungai cidanau dengan aplikasi SWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Janudianto. 2004. Analisis perubahan penggunaan/penutupan lahan dan pengaruhnya terhadap debit maksimum-minimum di Sub DAS Ciliwung Hulu [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai DAS Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-1014. Jakarta (ID). Kodoatie RJ, Sjarief R. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Yogyakarta (ID): Andi. Latifah I. 2013. Analisis ketersediaan air, sedimentasi, dan karbon organik dengan model SWAT di hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Marbun PR. 2014. Pendugaan debit aliran Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa menggunakan software ArcSWAT [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
49 Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew MW, Bingner RL, Harmel RD, Veith TL. 2007. Model evaluation guidelines for systematic quantification of accuracy in watershed simulations. J ASABE (American Society of Agricultural and Biological Engineers). 50(3):885-900.ISSN 0001-2351. Nash JE, Sutcliffe JV. 1970. River flow forecasting through conceptual models part I – a discussion of principles. J Hydrology. 10(3):282-290.doi:10.1016/00221694(70)90255-6. Oeurng C, Sauvage S, Sanchez-Perez JM. 2011. Assessment of hydrology, sediment, and particulate organic carbon yield in a large agricultural cacthment using the SWAT model. J Hydrology. 401(1):145-153. doi:10.1016/j.jhydrol.2011.02.017/ISSN 0022-1694. Rau MI. 2012. Analisis debit sungai dengan menggunakan model SWAT pada DAS Cipasauran, Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rusdiana O, Sudaryanto, Ichwandi I, Arifjaya NM, Hendrayanto, Soekmadi R. 2003. Hubungan Kerjasama Institusi dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kasus Das Ciliwung. Fakultas Kehutanan. Bogor (ID): IPB Pr. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, Williams JR, Haney EB. 2012. Soil and Water Assessment Tool: Input/Output File Documentation, Version 2012. Temple, Texas (US): Texas Water Resources Institute-Texas A&M University [Grassland, Soil and Water Research Laboratory-Agricultural Research Service; Blackland Research Center-Texas AgriLife Research]. Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2011. Soil and Water Assessment Tool: Theoretical Documentation, Version 2009. Temple, Texas (US): Texas Water Resources Institute-Texas A&M University [Grassland, Soil and Water Research Laboratory-Agricultural Research Service; Blackland Research Center-Texas AgriLife Research]. Pawitan H. 2002. Hidrologi DAS Ciliwung dan andilnya terhadap banjir Jakarta. Di dalam: Pawitan H, editor. Lokakarya Pengelolaan DAS Terpadu di Era Otonomi Daerah: Peningkatan Kapasitas Multipihak Dalam Pengendalian Banjir DKI Jakarta; Lembaga Penelitian IPB dan Andersen/Prasetyo Strategic Consulting; 2002 Mei 8; Bappeda DKI, Jakarta, Indonesia. Bogor (ID): [penerbit tidak diketahui]. Singgih I. 2000. Kajian hidrologi DAS Ciliwung menggunakan model HEC-1 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Srinivasan R. [tahun terbit tidak diketahui]. ArcSWAT, ArcGIS Interface for Soil and Water Assessment Tool (SWAT). Texas (US): Texas A&M University. Suwarno J. 2011. Pengembangan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS Ciliwung Hulu Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wahyudi BA. 2011. Studi komparasi pemetaan pengunaan/penutupan lahan melalui citra landsat dan citra quickbird. Studi Kasus: Sub Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Yustika RD. 2013. Pengelolaan lahan terbaik hasil simulasi model SWAT untuk mengurangi aliran permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
51
LAMPIRAN Lampiran 1 Pembagian DAS Ciliwung berdasarkan administrasi daerah
Lampiran 2 Pembagian zona UTM wilayah Indonesia
52
Lampiran 3 Peta DEM (Digital Elevation Model) Jawa Barat
53
Lampiran 4 Peta lokasi stasiun cuaca
54
Lampiran 5 Peta lokasi Waduk Ciawi
55
56 Lampiran 6 Pembagian subbasin Sub DAS Ciliwung Hulu Subbasin
Luas (ha)
(%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
663.04 380.89 1,037.55 1,066.40 88.37 37.04 50.94 239.01 442.31 382.70 330.52 39.99 152.83 259.39 565.62 475.73 722.84 4.86 425.84 15.43 492.49 644.94 839.86 728.26 714.74 396.51 600.19 2,061.57
4.78 2.75 7.49 7.69 0.64 0.27 0.37 1.72 3.19 2.76 2.38 0.29 1.10 1.87 4.08 3.43 5.22 0.04 3.07 0.11 3.55 4.65 6.06 5.25 5.16 2.86 4.33 14.87
Total
13,859.86
100.00
Definisi
Rata-rata temp. maksimum bulanan Rata-rata temp. minimum bulanan Standar deviasi temp. maksimum bulanan Standar deviasi temp. minimum bulanan Jumlah rata-rata curah hujan bulanan Standar deviasi curah hujan harian dalam PCPSTD satu bulan Koefisien skew curah hujan harian dalam PCPSKW satu bulan Perbandingan kemungkinan hari basah ke PR_W1 hari kering dalam satu bulan Perbandingan kemungkinan hari basah ke PR_W2 hari basah dalam satu bulan Rata-rata jumlah hari hujan dalam satu PCPD bulan Curah hujan 0.5 jam maksimum pada RAINHHMX seluruh periode dalam satu bulan Rata-rata radiasi matahari harian dalam satu SOLARAV bulan DEWPT Rata-rata titik embun/beku dalam satu bulan WNDAV Rata-rata kecepatan angin dalam satu bulan
TMPMX TMPMN TMPSTDMX TMPSTDMN PCPMM
Parameter
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agu
Sep
Okt
(Elevasi stasiun cuaca) : 794 m dpl WELEV (Jumlah tahun data yang digunakan) : 32 tahun RAIN_YRS Nov
Des
0.95
0.95
0.95
0.86
0.95
0.67
0.93
0.91
0.62
2.56
8.20
0.88
0.59
2.50
7.04
0.89
0.56
2.13
0.92
0.51
1.69
0.95
0.63
1.60
0.94
0.62
2.61
8.81 12.35 12.88 14.01
1.60
0.90
1.30
1.00
0.80
0.70
0.40
0.50
0.80
0.80
1.40
0.00 1.60
0.00 1.70
0.00 1.43
0.00 1.36
0.00 1.15
0.00 1.39
0.00 1.44
0.00 1.46
0.00 1.36
0.00 1.28
0.00 1.35
0.00 1.60
12.87 12.82 15.89 15.52 14.88 14.88 14.21 13.94 13.80 14.04 14.45 14.51
0.90
30.53 28.19 30.66 29.78 30.53 28.47 28.53 26.81 26.53 28.56 29.50 29.69
0.95
0.55
0.67
0.95
0.73
2.44
2.02
2.57
3.69
2.26
1.80
9.15
12.54 12.94 14.61 16.16 11.74
24.18 23.64 26.56 27.58 27.95 28.42 28.86 29.82 30.67 30.23 28.93 26.40 17.81 17.74 19.45 19.89 19.47 18.68 17.91 17.90 18.79 19.54 20.01 19.11 2.60 2.00 4.45 1.91 4.37 1.51 1.72 2.00 2.72 3.09 2.93 2.50 0.80 0.90 3.89 0.91 3.94 1.29 1.45 1.50 1.33 1.22 0.98 1.00 458.92 445.04 534.58 574.67 409.40 236.67 175.24 125.73 173.99 321.57 409.18 426.46
Jan
(Nama stasiun cucaca) : 671069 STATION (Koordinat lintang stasiun cuaca) : 6°42'47.246" LS WLATITUDE WLONGITUDE (Koordinat bujur stasiun cuaca) : 106°52'30.45" BT
Lampiran 7 Data Generator Iklim (Weather Generator Data)
57
Non
1
2
3
4
5
1
S U B B A S I N
Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 May-09 Jun-09 Jul-09 Aug-09 Sep-09 Oct-09 Nov-09 Dec-09
2.555 1.501 6.204 19.630 15.100 33.610 56.640 45.780 30.790 22.150 14.250 7.673 3.455 2.059 13.200 16.040 23.420
1.637 0.952 4.178 12.950 9.924 22.770 36.430 30.370 19.790 14.720 8.757 4.914 2.178 1.320 8.711 10.570 15.370
1.637 0.952 29.530 12.720 9.774 21.760 36.610 29.510 0.080 8.633 8.757 4.914 2.178 1.320 33.990 10.370 15.120
1.637 0.952 27.680 12.750 9.794 21.810 36.680 29.560 0.080 10.520 8.757 4.914 2.178 1.320 32.140 10.400 15.160
1.637 0.952 25.820 12.780 9.811 21.840 36.740 29.610 0.080 12.410 8.757 4.914 2.178 1.320 30.290 10.420 15.180
1.637 0.952 23.970 12.800 9.825 21.880 36.790 29.650 0.080 14.300 8.757 4.914 2.178 1.320 28.440 10.430 15.200
1.644 1.075 4.069 12.950 9.927 22.190 37.160 29.930 20.030 14.470 9.198 4.909 2.174 1.396 8.648 10.570 15.390
1.644 1.075 25.030 13.480 10.080 15.300 30.170 30.450 9.620 14.470 9.198 4.909 2.174 1.396 28.010 11.880 13.730
1.644 1.075 23.390 13.300 10.070 15.310 30.200 30.480 11.570 14.470 9.198 4.909 2.174 1.396 26.370 11.700 13.730
21.320 24.120 25.370 5.834 11.460 5.046 2.229 1.644 1.075 21.740 13.110 10.060 15.330 30.230 30.510 13.520 14.470 9.198 4.909 2.174 1.396 24.730 11.510 13.720
Debit skenario (m3 s-1) 6 7 8 9
O Jan-08 28.070 18.500 21.570 21.610 21.640 21.670 21.950 21.280 21.300 U Feb-08 32.120 22.560 22.940 22.980 23.020 23.050 23.230 24.070 24.090 Mar-08 35.900 24.600 24.250 24.300 24.340 24.370 24.610 25.320 25.340 T Apr-08 27.890 18.740 0.075 0.075 0.075 0.075 18.730 1.932 3.884 L May-08 17.320 11.460 3.909 5.800 7.687 9.573 11.460 11.460 11.460 E Jun-08 7.679 5.051 5.051 5.051 5.051 5.051 5.046 5.046 5.046 T Jul-08 3.474 2.234 2.234 2.234 2.234 2.234 2.229 2.229 2.229
Bulan 21.340 24.140 25.390 7.781 11.460 5.046 2.229 1.644 1.075 20.100 12.930 10.040 15.340 30.260 30.530 15.470 14.470 9.198 4.909 2.174 1.396 23.080 11.320 13.710
10 21.930 23.260 24.610 18.730 11.460 5.049 2.231 1.641 0.947 4.190 12.950 9.930 22.160 37.170 29.930 20.040 14.460 9.223 4.911 2.176 1.326 8.714 10.570 15.380
11 19.690 22.430 25.090 13.410 11.460 5.049 2.231 1.641 0.947 18.360 13.860 11.240 13.640 29.070 29.570 19.190 14.460 9.223 4.911 2.176 1.326 20.250 13.340 13.720
12 19.660 22.430 26.310 14.100 11.460 5.049 2.231 1.641 0.947 17.140 13.440 11.090 13.600 30.950 29.750 19.250 14.460 9.223 4.911 2.176 1.326 19.040 12.920 13.580
13
19.700 22.980 26.930 14.790 11.460 5.049 2.231 1.641 0.947 15.930 13.010 10.950 13.560 32.830 29.920 19.310 14.460 9.223 4.911 2.176 1.326 17.830 12.490 13.440
14
Lampiran 8 Data debit bulanan tahun 2008-2009 pada titik outlet 1, titik outlet 6, dan titik outlet 7 hasil 15 skenario pemodelan waduk
20.400 23.980 26.450 15.470 11.460 5.049 2.231 1.641 0.947 14.720 12.590 10.800 13.520 34.910 29.920 19.380 14.460 9.223 4.911 2.176 1.326 16.610 12.070 13.290
15
58
6
S U B B A S I N
O U T L E T
Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 May-09 Jun-09 Jul-09 Aug-09 Sep-09 Oct-09 Nov-09 Dec-09
Bulan
18.410 22.460 24.500 18.660 11.420 5.032 2.226 1.630 0.948 4.159 12.900 9.883 22.680 36.270 30.250 19.710 14.670 8.722 4.895 2.170 1.314 8.673 10.520 15.310
1
2
21.470 22.840 24.150 0.000 3.864 5.032 2.226 1.630 0.948 29.520 12.670 9.733 21.670 36.450 29.390 0.000 8.576 8.722 4.895 2.170 1.314 33.950 10.330 15.060
Lampiran 8 (lanjutan)
21.520 22.890 24.200 0.000 5.754 5.032 2.226 1.630 0.948 27.660 12.700 9.753 21.710 36.530 29.440 0.000 10.470 8.722 4.895 2.170 1.314 32.100 10.350 15.090
3 21.550 22.920 24.240 0.000 7.642 5.032 2.226 1.630 0.948 25.810 12.720 9.770 21.750 36.590 29.490 0.000 12.350 8.722 4.895 2.170 1.314 30.260 10.370 15.120
4 21.580 22.960 24.270 0.000 9.528 5.032 2.226 1.630 0.948 23.950 12.740 9.784 21.790 36.640 29.520 0.000 14.240 8.722 4.895 2.170 1.314 28.410 10.390 15.140
5 21.860 23.130 24.510 18.660 11.410 5.027 2.221 1.638 1.072 4.050 12.900 9.886 22.100 37.010 29.810 19.950 14.410 9.162 4.890 2.166 1.391 8.609 10.530 15.330
6 21.190 23.970 25.220 1.857 11.410 5.027 2.221 1.638 1.072 25.010 13.430 10.040 15.200 30.020 30.330 9.540 14.410 9.162 4.890 2.166 1.391 27.980 11.840 13.670
21.210 24.000 25.240 3.809 11.410 5.027 2.221 1.638 1.072 23.370 13.240 10.030 15.220 30.050 30.360 11.490 14.410 9.162 4.890 2.166 1.391 26.330 11.650 13.660
21.230 24.020 25.270 5.758 11.410 5.027 2.221 1.638 1.072 21.720 13.060 10.020 15.240 30.080 30.380 13.440 14.410 9.162 4.890 2.166 1.391 24.690 11.470 13.650
Debit skenario (m3 s-1) 7 8 9 21.250 24.040 25.290 7.706 11.410 5.027 2.221 1.638 1.072 20.080 12.870 10.000 15.250 30.110 30.410 15.390 14.410 9.162 4.890 2.166 1.391 23.050 11.280 13.650
10 21.840 23.170 24.510 18.650 11.420 5.030 2.223 1.634 0.943 4.171 12.900 9.889 22.070 37.020 29.810 19.960 14.400 9.188 4.892 2.168 1.320 8.676 10.520 15.320
11 19.600 22.330 24.990 13.340 11.420 5.030 2.223 1.634 0.943 18.340 13.810 11.200 13.550 28.910 29.440 19.110 14.400 9.188 4.892 2.168 1.320 20.210 13.300 13.660
12
19.570 22.330 26.210 14.020 11.420 5.030 2.223 1.634 0.943 17.130 13.380 11.050 13.510 30.800 29.620 19.170 14.400 9.188 4.892 2.168 1.320 19.000 12.870 13.510
13
19.610 22.890 26.830 14.710 11.420 5.030 2.223 1.634 0.943 15.910 12.960 10.900 13.470 32.680 29.800 19.230 14.400 9.188 4.892 2.168 1.320 17.790 12.450 13.370
14
20.310 23.880 26.350 15.400 11.420 5.030 2.223 1.634 0.943 14.700 12.530 10.760 13.420 34.750 29.800 19.300 14.400 9.188 4.892 2.168 1.320 16.570 12.020 13.230
15
59
7
S U B B A S I N
O U T L E T
Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09 Feb-09 Mar-09 Apr-09 May-09 Jun-09 Jul-09 Aug-09 Sep-09 Oct-09 Nov-09 Dec-09
Bulan
30.440 35.260 38.080 29.040 17.850 7.918 3.553 2.538 1.513 6.437 19.980 15.360 34.770 56.660 46.780 30.870 22.680 13.910 7.725 3.460 2.049 13.430 16.290 23.750
1
2
33.510 35.640 37.740 10.380 10.300 7.918 3.553 2.538 1.513 31.790 19.760 15.210 33.760 56.840 45.920 11.160 16.590 13.910 7.725 3.460 2.049 38.700 16.100 23.500
Lampiran 8 (lanjutan)
33.550 35.690 37.790 10.380 12.190 7.918 3.553 2.538 1.513 29.940 19.790 15.230 33.810 56.910 45.970 11.160 18.480 13.910 7.725 3.460 2.049 36.860 16.120 23.530
3 33.580 35.730 37.820 10.380 14.070 7.918 3.553 2.538 1.513 28.080 19.810 15.250 33.850 56.970 46.020 11.160 20.370 13.910 7.725 3.460 2.049 35.010 16.140 23.550
4 33.610 35.760 37.850 10.380 15.960 7.918 3.553 2.538 1.513 26.230 19.830 15.260 33.880 57.020 46.050 11.160 22.250 13.910 7.725 3.460 2.049 33.160 16.160 23.580
5 33.890 35.940 38.100 29.030 17.840 7.914 3.549 2.546 1.637 6.329 19.980 15.360 34.190 57.390 46.340 31.110 22.430 14.350 7.719 3.456 2.126 13.370 16.290 23.770
6 33.220 36.770 38.800 12.230 17.840 7.914 3.549 2.546 1.637 27.290 20.510 15.520 27.300 50.400 46.860 20.700 22.430 14.350 7.719 3.456 2.126 32.730 17.610 22.110
33.240 36.800 38.830 14.190 17.840 7.914 3.549 2.546 1.637 25.650 20.330 15.510 27.310 50.440 46.890 22.650 22.430 14.350 7.719 3.456 2.126 31.090 17.420 22.100
33.260 36.820 38.850 16.140 17.840 7.914 3.549 2.546 1.637 24.000 20.140 15.500 27.330 50.470 46.910 24.610 22.430 14.350 7.719 3.456 2.126 29.450 17.230 22.090
Debit skenario (m3 s-1) 7 8 9 33.280 36.850 38.880 18.080 17.840 7.914 3.549 2.546 1.637 22.360 19.960 15.480 27.340 50.500 46.940 26.550 22.430 14.350 7.719 3.456 2.126 27.800 17.050 22.080
10 33.870 35.970 38.100 29.030 17.850 7.916 3.551 2.542 1.508 6.450 19.980 15.370 34.160 57.400 46.340 31.120 22.420 14.370 7.722 3.458 2.055 13.430 16.290 23.760
11 31.640 35.130 38.580 23.710 17.850 7.916 3.551 2.542 1.508 20.620 20.890 16.670 25.640 49.300 45.970 30.270 22.420 14.370 7.722 3.458 2.055 24.970 19.070 22.100
12 31.600 35.130 39.800 24.400 17.850 7.916 3.551 2.542 1.508 19.400 20.470 16.530 25.600 51.180 46.150 30.330 22.420 14.370 7.722 3.458 2.055 23.760 18.640 21.950
13
31.640 35.690 40.420 25.090 17.850 7.916 3.551 2.542 1.508 18.190 20.040 16.380 25.560 53.060 46.330 30.400 22.420 14.370 7.722 3.458 2.055 22.540 18.220 21.810
14
32.340 36.690 39.940 25.780 17.850 7.916 3.551 2.542 1.508 16.980 19.620 16.240 25.520 55.140 46.330 30.460 22.420 14.370 7.722 3.458 2.055 21.330 17.790 21.670
15
60
Outlet Subbasin 1 (Katulampa)
Lampiran 9 Fluktuasi debit aliran pada masing-masing titik outlet hasil skenario pemodelan waduk
61
Lampiran 9 (lanjutan)
Outlet Subbasin 6
62
Lampiran 9 (lanjutan)
Outlet Subbasin 7 (Waduk Ciawi)
63
64 Lampiran 10 Fluktuasi debit aliran masing-masing skenario pemodelan waduk
Skenario 1 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 2 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
65 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 3 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 4 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
66 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 5 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 6 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
67 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 7 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 8 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
68 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 9 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 10 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
69 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 11 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 12 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
70 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 13 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
Outlet 1
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Skenario 14 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
71 Lampiran 10 (lanjutan)
Skenario 15 60
Outlet 7 (Reservoir)
Outlet 6
55 50
Debit (m3 s-1)
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Waktu (bulan)
Outlet 1
73
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 20 September 1992. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Asep Setiaputra dan Ani Tjachjani Apriliani. Penulis mulai masuk jenjang pendidikan formal pada tahun 1998 di SDN Polisi IV Bogor. Kemudian tahun 2004 melanjutkan ke SMP Negeri 4 Bogor. Penulis lulus SMP pada tahun 2007 kemudian diterima di SMA Negeri 5 Bogor. Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2010 dan diterima di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa dan mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum untuk mata kuliah Gambar Teknik dan Konstruksi pada tahun ajaran 2012/2013 dan 2013/2014, serta asisten praktikum Gambar Teknik dan Desain Instalasi Lingkungan Program Diploma selama 2 tahun ajaran (2012/2014). Penulis aktif terlibat dalam berbagai kegiatan organisasi mahasiswa seperti menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan (HIMATESIL) IPB, sebagai anggota Departemen Keprofesian (2011/2012) dan menjabat sebagai ketua divisi pada departemen yang sama (2012/2013). Penulis aktif dalam kepanitiaan acara seperti menjadi Ketua Panitia PONDASI 2012, Ketua Panitia Company Visit 2012, serta Ketua Logistik dan Transportasi ICEF 2012. Selain itu penulis juga aktif dalam menjadi anggota dan mengikuti kegiatan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Futsal IPB dan Music Agricultural Expression (Max!!). Penulis juga aktif mengikuti lomba karya tulis ilmiah tingkat mahasiswa. Beberapa prestasi yang diraih oleh penulis antara lain ialah lolos seleksi dan mendapat insentif pada Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Gagasan Tertulis (PKM-GT) yang diselenggarakan oleh Dirjen Dikti (2013), dan Juara Harapan 2 Lomba Desain Rumah Ramah Lingkungan Nasional: Edisi Rumah Susun (Eco-House Design Competition IV) yang diselenggarakan oleh UGM (2013). Pada bulan Juni hingga Agustus 2013 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT. Jaya Real Property, Tbk. dengan judul "Perencanaan Wilayah dan Desain Rencana Pembangunan Underpass di PT. Jaya Real Property, Tbk.". Selain itu penulis memiliki pengalaman bekerja sebagai internship pada bulan Juni hingga Juli 2014 di PT. Mitrana Lingkungan Hijau. Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi berjudul "Analisis Efektivitas Waduk Ciawi Menggunakan Model SWAT Sebagai Upaya Pengendalian Banjir DAS Ciliwung" yang dibimbing oleh Dr. Ir. Yuli Suharnoto, M.Eng.