BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah infeksi saluran akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan menjadi pneumonia lobaris, pneumonia interstisialis, dan bronkopneumonia.1 Bronkopneumonia sebagai penyakit yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.2 Bronkopneumonia lebih sering menyerang bayi dan anak kecil. Hal ini dikarenakan respon imunitas mereka masih belum berkembang dengan baik. Tercatat bakteri sebagai penyebab tersering bronkopneumonia pada bayi dan anak adalah Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae.3 Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan yang mencolok walaupun ada berbagai kemajuan dalam bidang antibiotik. Hal di atas disebabkan oleh munculnya organisme nosokomial (didapat dari rumah sakit) yang resisten terhadap antibiotik. Adanya organisme-organisme baru dan penyakit seperti AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) yang semakin memperluas spektrum dan derajat kemungkinan terjadinya bronkopneumonia ini. Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia dibawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, lebih kurang dua juta anak balita, meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survey kesehatan nasional (SKN), 27,6% angka kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.9
1
1.2 Tujuan Penulisan Untuk dapat menjelaskan penyakit rabies mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, perjalanan penyakit hingga penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit ini.
1.3 Manfaat Penulisan 1.3.1. Manfaat Teoritis a. Bagi Institusi Diharapkan referat ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan dan sebagai tambahan referensi dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak terutama mengenai rabies. b. Bagi Akademik Diharapkan referat ini dapat dijadikan landasan untuk penulisan karya ilmiah selanjutnya.
1.3.2.
Manfaat Praktis Diharapkan agar dokter muda dapat mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari referat ini dalam kegiatan kepaniteraan klinik senior (KKS) dan diterapkan di kemudian hari dalam praktik klinik.
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia yang sering dijumpai pada anak – anak.7,8
2.2 Epidemiologi Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun. Diperkirakan hampir seperlima kematian anak di seluruh dunia, kurang lebih 2 juta anak balita meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Pneumonia lebih sering dijumpai di negara berkembang dibandingkan negara maju. Menurut survei kesehatan anak nasional ( SKN ) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia.1, 9
3
Gambar 2.1 Penyebab Kematian Pada Balita Pada Tahun 2008 ( WHO/Child Health Epidemiology Reference Group (CHERG) )
2.3 Etiologi Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan.1 Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi vertikal ibu – anak yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan.
4
Penularan transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks ( TORCH ), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae.1,9 Di negara maju, pneumonia pada anak tertuama disebabkan oleh virus, di samping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Virkki dkk. melakukan penelitian pada pneumonia anak dan menemukan etiologi virus saja sebanyak 32%, campuran bakteri dan virus 30%, dan bakteri saja 22%. Virus yang terbanyak menyebabkan pneumonia antara lain adalah Respiratory Synctial Virus ( RSV ), Rhinovirus, dan virus Parainfluenzae. Bakteri yang terbanyak adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B, dan Mycoplasma pneumoniae. Kelompok anak berusia 2 tahun ke atas mempunyai etiologi infeksi bakteri yang lebih banyak dibandingkan dengan anak berusia di bawah 2 tahun. Namun, secara klinis umumnya pneumonia bakteri sulit dibedakan dengan pneumonia virus. Daftar etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia yang bersumber dari data di negara maju dapat terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju1 USIA
ETIOLOGI YANG SERING
ETIOLOGI YANG JARANG
Lahir – 20 hari
BAKTERI
BAKTERI
E. colli
Bakteri anaerob
Streptococcus group B
Streptococcus group D
Listeria monocytogenes
Haemophillus influenzae Streptococcus pneumoniae Ureaplasma urealyticum VIRUS Virus Sitomegalo
5
Virus Herpes simpleks 3 minggu – 3 bulan
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia trachomatis
Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
4 bulan – 5 tahun
VIRUS
Moraxella catharalis
Virus Adeno
Staphylococcus aureus
Virus Influenza
Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenza 1, 2, 3
VIRUS
Respitatory Syncytical Virus
Virus Sitomegalo
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae tipe B
Mycoplasma pneumoniae
Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae
Neisseria meningitidis
VIRUS
Staphylococcus aureus
Virus Adeno
VIRUS
Virus Influenza
Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza Virus Rino Respiratory Synncytial virus 5 tahun – remaja
BAKTERI
BAKTERI
Chlamydia pneumoniae
Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae
Legionella sp
Streptococcus pneumoniae
Staphylococcus aureus VIRUS Virus Adeno Virus Epstein-Barr Virus Influenza Virus Parainfluenza Virus Rino
6
Respiratory Syncytial Virus Virus Varisela-Zoster
2.4 Faktor Risiko Faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang, antara lain: Pneumonia yang terjadi pada masa bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Tidak mendapat imunisasi Tidak mendapat asi yang adekuat Malnutrisi Defisiensi vitamin A Tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring Tingginya pajanan terhadap polusi udara ( polusi industri atau asap rokok) Imunodefisiensi dan imunosupresi ( hiv, penggunaan obat imunisupresif ) Adanya penyakit lain yang mendahului, seperti campak Intubasi, trakeostomi Abnormalitas anatomi 1,8
2.5 Patogenesis Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol 7
yang infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal. Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen – agen infeksius adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria, atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 – 2,0 mm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas ( hidung, orofaring ) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur ( 50% ) juga pada keadaan penurunan kesadaran. Sekret dari faring tersebut mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10
8 – 10
/mL, sehingga aspirasi dari
sebagian kecil sekret ( 0,001 – 1,1 mL ) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.1,6,8
2.6 Patologi Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu tergantung pada agen etiologinya. Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif disertai konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel – sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk antibodi. Sel – sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimaakan. Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium prodromal, stadium hepatisasi, dan stadium resolusi. Pada stadium prodromal, yaitu 4 – 12 jam pertama, alveolus – alveolus mulai terisi sekret dari pembuluh darah yang
8
berdilatasi dan bocor yang ditimbulkan infeksi dengan kuman patogen yang berhasil masuk. Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah dan bergranulasi, seperti hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut dengan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari, terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu. Sebagai akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat menjalankan fungsi pernapasan ( jadi merupakan gangguan restriksi ). Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi. Proses radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat. Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat. Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan terdengar wheezing. Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada hari ke – 7 sampai 11 terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag mingingkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak untuk berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan jaringan paru kembali kembali pada struktur semulanya. Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi, dimanan pada pneumonia lobaris konsolidasi ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia terjadi penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3 – 4 cm yang mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau Mycoplasma pneumoniae, gambaran patologi ditandai dengan peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari eksudat dan tidak ada konsolidasi.1,6,7,8
2.7 Klasifikasi Pneumonia 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
9
a. Pneumonia komuniti ( community – acquired pneumonia ) : pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering disebabkan oleh kokus Gram positif ( Pneumokokus, Staphylococcus ), basil Gram negatif ( Haemophillus influenzae ), dan bakteri atipik. b. Pneumonia nosokomial ( hospital – acquired pneumonia ) : pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri gram negatif ( Staphylococcus aureus ) dan jarang oleh pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae. c. Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat aspirasi antara lain makanan dan asam lambung d. Pneumonia pada penderita immunocompramised 2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab a. Pneumonia bakterial / tipikal b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella, dan Clamydia c. Pneumonia virus d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah ( immunocompromised ) 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris b. Bronkopneumonia c. Pneumonia interstisial 6,10
2.8 Manifestasi Klinis Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar dari ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi komplikasi sehingga perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
10
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis. Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut: Gambaran infeksi umum : o demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 oC o sakit kepala o gelisah o malaise o penurunan nafsu makan o keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare o kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner Gambaran gangguan respiratori: o batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif o sesak nafas o retraksi dada o takipnea o napas cuping hidung o penggunaan otat pernafasan tambahan o air hunger o merintih o sianosis Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak dijumpai pada anak – anak. Bila terdapat batuk, batuk berawal kering lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.1,7,11
1. Pneumonia pada Neonatus dan Bayi Kecil
11
Gambaran klinis pada neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis, grunting, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta, dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.1,12 Infeksi oleh Chlamydia trachomatis sering terjadi pada bayi berusia di bawah 2 bulan, dimana gejala baru timbul pada usia 4 – 12 minggu dan pada beberapa kasus pada usia 2 minggu, tetapi jarang setelah usia 4 bulan. Gejala timbul perlahan – lahan, dan dapat berlangsung hingga berminggu – minggu. Gejala umum berupa gejala infeksi respiratori ringan – sedang, ditandai dengan batuk staccato ( inspirasi diantara setiap satu kali batuk ), kadang – kadang disertai muntah, umumnya pasien tidak demam. Bila berkembang menjadi pneumonia berat yang juga dikenal sebagai sindroma pneumonitis, terdapat gejala klinis ronki atau mengi, takipnea, dan sianosis.1
2. Pneumonia pada Balita dan Anak Pada anak – anak prasekolah, keluhan meliputi demam, menggigil, batuk ( nonproduktif/produktif ), takipneu, dan dispneu yang ditandai oleh retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja dapat dijumpai demam, batuk ( nonproduktif/produktif ), nyeri dada, sakit kepala, anoreksia, dan kadang – kadang keluhan gastrointestinal seperti mual atau diare, dan juga dehidrasi. Secara klinis ditemukan gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta ( chest indrawing ), sianosis, dan napas cuping hidung. Ronki basah halus ( fine crackles ) khas pada anak besar dapat tidak dijumpai pada bayi. Penyakit ini sering ditemukan bersamaan dengan konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Iritasi pleura dapat mengakibatkan nyeri dada dan bila berat gerakan dada akan menurun waktu inspirasi. Anak besar dengan pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveolar.
12
Retraksi dan takipnea merupakan tanda klinis pneumonia yang bermakna. Bila terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di daerah efusi. Bula efusi pleura bertambah, sesak napas akan semakin bertambah, tetapi nyeri pleura semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri tumpul. Kadang – kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomenn mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi pneumonia.1,12
3. Pneumona Akibat Infeksi Mycoplasma pneumoniae Infeksi diperoleh melalui droplet dari kontak dekat. Masa inkubasi kurang lebih 3 minggu. Gambaran klinis pneumonia atipik didahului dengan gejala menyerupai influenza ( influenza like syndrome ) seperti demam, malaise, sakit kepala, mialgia, tenggorokan gatal, dan batuk. Suhu tubuh jarang mencapai 38,5 °C. Batuk terjadi setelah awitan penyakit, awalnya tidak produktif tetapi kemudian menjadi produktif. Sputum mungkin berbercak darah dan batuk dapat menetap hingga berminggu – minggu.
4. Pneumona Akibat Infeksi Clamidia pneumoniae Clamidia pneumoniae merupakan penyebab tersering infeksi saluran napas atas, seperti faringitis, rinosinusitis, dan otitis, tetapi dapat menyebakan pnumonia juga. Gejala klinis awalnya berupa gejala seperti flu, yaitu batuk kering, mialgia, sakit kepala, malaise, pilek, dan demam tidak tinggi. Pada pemeriksaan auskultasi dada tidak ditemukan kelainan. Gejala respiratori umumnya tidak mencolok. Leukosit darah tepi biasanya normal. Gambaran foto toraks menunjukan infiltrat difus atau gambaran peribronkial nonfokal yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis.1
13
2.9 Pemeriksaan Penunjang 1. Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan mikoplasma, umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000 / mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (< 5.000 / mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Leukositosis hebat hampir selalu menunjukkan adanya infeksi bakteri sering ditemukan pada keadaan bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi Clamydia pneumoniae kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara 300 – 100.000 / mm3, protein > 2,5 g/dL, dan glukosa relatif lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90% penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti.1 2. C – Reaktive Protein ( CRP ) dan LED CRP adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama IL – 6, IL – 1, dan TNF. Meskipun fungsinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda, dimana kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda.1
14
3. Uji Serologis Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas yang rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi bakteri atipik.1
4. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologis untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna. Diagnosis dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah, cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus, dimana kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur darah jarang positif.1
5. Analisa Gas Darah Analisa gas darah (AGDA) menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia.Pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis metabolik.
6. Pemeriksaan Rontgen Thorax Foto toraks dengan proyeksi antero – posterior merupakan dasar diagnosis untuk pneumonia. Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala
15
klinis menetap, penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari: Pneumonia
/
infiltrat
interstisial:
ditandai
dengan
peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh virus atau Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena atelektasis Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain. Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrat halus yang dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial
Gambar 6. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik
16
Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan pneumonia pada anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat. Gambaran mengarahkan
foto
toraks
pada
kecenderungan
pneumona
etiologi
dapat
membantu
pneumonia.
Penebalan
peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses – abses kecil dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran. Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma sangat bervariasi. Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral, dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen. Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula bila ditemukan gambaran perkabutan atau ground – glass consolidation, serta transient pseudoconsolidation.
2.10 Diagnosis Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriskaan mikrobiologis dan / atau serologis merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi, penemunan bakteri
17
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut: takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas melemah. 1 WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Gejala klinis sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan berbagai tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat dinilai dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas ( retraksi epigastrium ). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut: Tabel 2. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.1 Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun Pneumonia berat bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotik Pneumonia bila tidak ada sesak napas ada napas cepat dengan laju napas o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral Bukan pneumonia
18
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah sebagai berikut: Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.1 Bayi di bawah 2 bulan Pneumonia bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas harus dirawat dan diberikan antibiotik Bukan pneumonia bila tidak ada napas cepat dan sesak napas tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ), pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat: 1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah: a. Pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit b. Pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit 2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: a. Kepala terangguk – angguk b. Pernapasan cuping hidung c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam d. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia ( infiltrat luas, konsolidasi, dll. )
19
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: Napas cepat o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda Pada auskultasi terdengar o crackles ( ronki ) o suara pernapasan menurun o suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya Kejang, letargi, atau tidak sadar Sianosis Distress pernapasan berat 12 2.11 Diagnosis Banding12 1. Pneumonia lobaris Biasanya pada anak yang lebih besar disertai badan menggigil dan kejang pada bayi kecil. Suhu naik cepat sampai 39 – 40 oC dan biasanya tipe kontinua. Terdapat sesak nafas, nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut dan nyeri dada. Anak lebih suka tidur pada sisi yang terkena. Pada foto rotgen terlihat adanya konsolidasi pada satu atau beberapa lobus.
2. Bronkioloitis Diawali infeksi saluran nafas bagian atas, subfebris, sesak nafas, nafas cuping hidung, retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran labarotorium
20
dalam batas normal, kimia darah menggambarkan asidosis respiratotik ataupun metabolik.
3. Aspirasi benda asing Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba – tiba, wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat fokal.
4. Tuberkulosis Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji tuberkulin positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5 mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk 3 minggu atau lebih, pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun, pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik, pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang, dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat ditegakkan melalui skor TB.
5. Atelektasis Adalah pengembangan tidak sempurna atau kempisnya bagian paru yang seharusnya mengandung udara. Dispnoe dengan pola pernafasan cepat dan dangkal, takikardia, sianosis. Perkusi mungkin batas jantung dan mediastinum akan bergeser dan letak diafragma mungkin meninggi. 2.12 Tatalaksana1,5,12 Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat – ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm – basa dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
21
dapat diberikan analgetik/antipiretik. Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan, maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor epidiemiologis.
1. Pneumonia Rawat Jalan Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB sulfametoksazol
dua kali sehari
selama 3 hari. Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai terapi alternatif beta – laktam untuk pengobatan inisial pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik. Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik ( melambat ), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat.
2. Pneumonia Rawat Inap Terapi Antibiotik Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan golongan beta – laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap beta – laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai dengan petunjuk
22
etiologi yang ditemukan. Antibiotik diteruskan selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti kombinasi
betalaktam
/
klavulanat
dengan
aminoglikosid,
atau
sefalosporin generasi ketiga. WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin 25 – 50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari berikutnya. Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah
antibiotik
beta
–
laktam
dengan/tanpa
klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta – laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari. Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol 25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang dengan keadaan klinis yang berat segera
berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi
ampisilin
–
kloramfenikol atau ampisilin – gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80 – 100 mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan 48 jam, maka bila mungkin foto toraks. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu.
23
Terapi Oksigen Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen ( berikan pada anak dengan saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna.
Terapi Penunjang Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan distres, beri antipiretik seperti parasetamol. Bila ditemukaan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara perlahan. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan yang sesuai, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral. Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang sama.
2.13 Komplikasi Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ). Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.
24
Ilten F dkk. melaporkan mengenai komplikasi miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri pneumonia anak berusia 2-24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal, maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasif seperti EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim. 1
2.14 Pencegahan Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan teratur, menjaga kebersihan, beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit. Efektivitas vaksin pneumokok adalah sebesar 70% dan untuk H. influenzae sebesar 95%. Infeksi H. influenzae dapat dicegah dengan rifampicin bagi kontak di rumah tangga atau tempat penitipan anak. 11,12
2.15 Prognosis Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1 %. Mortalitas dapa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi – protein dan datang terlambat untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua – duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama – sama dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila
25
berdiri sendiri. Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak.11,12 BAB III RINGKASAN
Pneumonia adalah inflamasi dari parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan interstisial.5 Pneumonia biasanya disebabkan oleh mikroorganisme, namun pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.6 Bila parenkim paru terkena infeksi dan mengalami inflamasi hingga meliputi seluruh alveolus suatu lobus paru maka disebut pneumonia lobaris atau pneumonia klasik. Bila proses tersebut tidak mencakup satu lobus dan hanya di bronkiolus dengan pola bercak – bercak yang tersebar bersebelahan maka disebut bronkopneumonia Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, parasit ) dan sebagain kecil disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis.6,9 Usia pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pnemothoraks, atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri. Kecurigaan ke arah empiema apabila terdapat demam persisten, ditemukan tanda klinis dan gambaran foto dada yang mendukung ( bila masif terdapat tanda pendorongan organ intratorakal, pekak pada perkusi, gambaran foto dada menunjukkan adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada ). Efusi pleura, abses paru dapat juga terjadi.Pengurangan prevalensi infeksi dapat dilakukan
dengan
Melakukan
vaksinasi
diharapkan
dapat
mengurangi
kemungkinan terinfeksi antara lain: vaksinasi Pneumokokus, vaksinasi H. influenza, vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan daya tahan tubuh rendah, dimana vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit
26
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang dari 1 %. Mortalitas dapa lebih tinggi didapatkan pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi – protein dan datang terlambat untuk pengobatan
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Raharjoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010. hal. 350 -365. 2. Hudoyo
A.
Anatomi
Saluran
Napas..
2009
April
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/e4e3ff458efaa961c32c1e9163a77 a24964c5c0a.pdf 3. Ellis H. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Students and Junior Doctors. 11th ed. [ e – book ]. Massachussets : Blackwell Publishing. 2006 4. Sherwood L. Human Physiology. 6th ed. China: Thomson Brooks/Cole; 2007. hal. 451 - 455 5. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH, Kosim MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. hal. 351-354. 6. Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al. Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. 7. Danusantosos H. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit Hipokrates. 2000. Hal. 74 – 92 8. Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit. Vol 2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal. 804 – 810 9. Marcdante, dkk., 2013. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Elsevier - Local. Jakarta. 10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 2. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. 2007. Hal 984. 11. Iwantono HS. Bronkopneumoni 2008 Mar. Available from: http:// /2008/03/bronkopneumonia.html 12. Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit: Pedoman Bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83 – 113
28
13. Bennett
NJ,
Steele
RW.
Pediatric
Pneumonia..
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/967822-medication 14. UNICEF. The Challange: Pneumonia is the Leading Killer of Children. Available from: http://www.childinfo.org/pneumonia.html
29