Referat Tumor Paru.docx

  • Uploaded by: Alhumairah Aulia Akis
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Tumor Paru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,079
  • Pages: 26
REFERAT TUMOR PARU

Disusun Oleh: Alhumairah Aulia Akis 1102013019

Pembimbing: dr. Abdul Waris, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 28 JANUARI 2019 – 16 FEBRUARI 2019

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Tumor adalah kondisi pertumbuhan sel yang tidak normal sehingga membentuk suatu lesi atau dalam banyak kasus membentuk benjolan di bagian tubuh (Kementrian Republik Indonesia, 2015). Salah satu tumor yang paling sering dijumpai adalah tumor paru. Seperti jenis tumor lainnya, tumor paru berdasarkan asalnya dibedakan menjadi tumor paru primer dan tumor paru sekunder. Lebih dari 90% tumor paru primer merupakan tumor ganas, dan sekitar 95% tumor ganas ini termasuk karsinoma bronkogenik (Wilson, 2006). Sementara itu, tumor jinak pada paru hanya sekitar 5% atau bahkan kurang (Myers & Arenberg, 2016). Tumor paru yang bersifat ganas atau lebih dikenal dengan kanker paru merupakan kanker yang sering dijumpai dan menjadi salah satu jenis kanker yang paling mematikan, dengan angka kematian lebih dari 1,1 juta jiwa di seluruh dunia. Tumor paru paling banyak dikaitkan dengan kebiasaan merokok, selain itu diduga pula berkaitan dengan polusi udara dan paparan zatzat karsinogen di daerah industri. Prognosis kanker paru sangat buruk dengan 5-years survival rates hanya sekitar 10% di berbagai Negara (World Health Organization, 2004). Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh tumor ganas paru banyak keterlambatan dalam mendiagnosis sehingga sebagian besar yang diagnosis sudah berada pada kanker stadium lanjut. Oleh sebab itu, dibutuhkan suatu metode untuk mendeteksi dini adanya tumor paru yang bertujuan untuk mendiagnosis tumor paru yang bersifat ganas pada stadium awal sehingga diharapkan berespon baik terhadap terapi yang diberikan. Dengan terapi yang adekuat diharapkan survival rate pasien bisa meningkat serta bisa meningkatkan kualitas hidup penderita (Ciello, et al, 2017). Salah satu penyebab keterlambatan diagnosis tumor paru adalah tidak adanya gejala yang khas pada stadium awal, sehingga penegakkan diagnosis akan sangat bergantung pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan salah satu

modalitas utamanya adalah pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi paling dasar yang digunakan pada pasien dengan keluhan gangguan saluran pernafasan terutama pada paru-paru adalah pemeriksaan foto toraks (Ciello et al, 2017). Sampai saat ini pemeriksaan foto toraks dinilai masih memegang peranan penting dalam

mendiagnosis

tumor

paru.

Hal

tersebut

dikarenakan

pemeriksaan foto toraks terbilang murah dan sederhana, sehingga menjadi pemeriksaan awal untuk mendeteksi adanya penyakit kelainan pada paru-paru, misalnya tumor paru. Bahkan, seringkali pada pemeriksaan foto toraks rutin secara tidak sengaja didapatkan gambaran tanda-tanda adanya tumor paru. Meskipun demikian foto toraks memiliki keterbatasan dalam mendeteksi tumor ganas pada paru stadium awal, tetapi informasi seperti refleksi mediastinal yang tampak pada foto toraks dapat memberikan petunjuk adanya tumor paru, meskipun tidak selalu menandakan adanya tumor ganas stadium awal (Kono & Adachi, 2008).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI Tumor paru adalah pertumbuhan sel yang tidak normal pada jaringan paru, dapat bersifat jinak maupun ganas (World Health Organization, 2004).

EPIDEMIOLOGI Prevalensi tumor paru terutama yang bersifat ganas di Negara maju sangat tinggi, di USA tahun 2002 dilaporkan terdapat 169.400 kasus baru (13% dari semua kasus keganasan yang terdiagnosis) dengan 154.900 kematian (28% dari seluruh kematian akibat keganasan). Di Inggris angka kejadiannya mencapai 40.000 kasus/tahun. Karena sistem pencatatan yang belum baik di Indonesia, prevalensi pasti tumor paru belum diketahui tetapi klinik tumor paru di rumah sakit merasakan benar peningkatannya (Amin, 2014). Bahkan menurut Infodantin Kanker yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan RI pada tahun 2015 di RS Kanker Dharmais, kanker paru menempati peringkat ketiga penyakit keganasan terbanyak setelah kanker payudara dan kanker serviks selama 4 tahun berturut-turut (2010-2013).

KLASIFIKASI Tumor paru secara umum dibedakan menjadi : 1. Tumor paru primer, yaitu tumor yang berasal dari jaringan paru. Dibedakan menjadi berdasarkan sifatnya jinak atau ganas. 2. Tumor paru sekunder, tumor yang berasal dari organ tubuh lain kemudian bermetastasis ke paru-paru.

Secara histologis (WHO,2004) membagi tumor paru menjadi :

A. Tumor Jinak Paru Tumor jinak paru jarang dijumpai, hanya sekitar 2% dari seluruh tumor paru, biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin, karena tumor jinak jarang memberikan keluhan dan tumbuh lambat sekali. Tumor jinak paru yang sering dijumpai adalah hamartoma. Jenis tumor jinak lain yang lebih jarang dijumpai adalah fibroma, kondroma, lipoma, hemangioma, tumor neurogenik, papiloma, leiomiofibroma, dan lain-lain. 1. Hamartoma Hamartoma merupakan tumor jinak paru yang pertambahan besarnya berlangsung dengan sangat lambat. Tumor ini jarang didapati pada anakanak, biasanya di atas umur 40 tahun. Sebagian besar (90%) ditemukan di perifer paru dan sebagian lagi di sentral (endobronkial) dan sering terdapat di beberapa bagian paru (multiple). Bentuk tumor bulat atau bergelombang (globulated) dengan batas yang tegas. Biasanya ukuran kurang dari 4 cm dan sering mengandung kalsifikasi berbentuk bercak-bercak garis atau gambaran pop corn. Kalsifikasi ini akan bertambah dengan bertambah besarnya tumor. Pembentukan kavitas tidak pernah terjadi.

Hamartoma : Posteroanterior ( PA ) rontgen dada pada seorang pria menunjukkan lesi koin insidental di zona tengah yang tepat dengan karakteristik popcorn kalsifikasi

(A)

(B)

(A) : Axial computed tomography ( CT ) scan tepat di atas karina menunjukkan hamartoma paru raksasa . Perhatikan popcorn kalsifikasi karakteristik (B) : Meninggalkan hamartoma infrahilar . berbatas tegas, biasanya di bawah 4 cm , dan di 20 % berbintik-bintik atau ( seperti di sini ) homogen kalsifikasi

2. Kista Paru Terbentuknya kista paru merupakan hiperinflasi udara ke dalam parenkim paru melalui suatu celah berupa klep akibat suatu peradangan kronis. Kista paru merupakan pertumbuhan abnormal berupa kantung (pocket/pouch) yang tumuh abnormal di paru-paru. Kista paru dapat pula disebabkan kelainan kongenital yang secara radiologik tidak dapat dibedakan dengan kista paru didapat (akibat peradangan). Kista paru berisi udara, cairan, nanah, atua bahan lainnya. Gambaran radiologik memberi bayangan bulat berdinding tipis dengan ukuran bervariasi. Bila kista paru lebih dari satu dan tersebar di kedua paru dikenal sebagai paru polikistik.

(A)

(B)

Gambaran Kista Paru : (A): Photo thorax menunjukkan kista ukuran besar berdinding tipis di lobus atas kiri (tanda panah). (B) : Tomographic scan memperlihatkan kista berdinding tipis berukuran 9 cm di Computed lobus atas kiri.

B. Tumor Ganas Paru Semua keganasan mengenai paru, baik berasal dari paru sendiri maupun dari tempat lain yang bermetastasis ke paru. Secara garis besar kanker paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC) dan Non Small Cel Lung Cancer (NCLC). 1. Small Cell Lung Cancer (SCLC) Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan. gambaran histologinya yang khas adalah dominasi sel-sel kecil yang hampir semuanya diisi oleh mukus dengan sebaran kromatin yang sedikit sekali tanpa nukleoli. Disebut juga “oat cell carcinoma” karena bentuknya mirip dengan bentuk biji gandum, se kecil ini cenderung berkumpul sekeliling pembuluh darah halus menyerupai pseudoroset. Sel-sel yang bermitosis banyak sekali ditemukan begitu juga gambaran nekrosis. DNA yang terlepas menyebabkan warna gelap sekitar pembuluh darah. 2. NSCLC (non small cell lung cancer) Sebanyak 80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah adenokarsinoma, karsinoma bronkoalveolar, dan karsinoma sel besar. a. Adenokarsinoma,

khas

dengan

bentuk

formasi

glandular

dan

kecenderungan ke arah pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk musin, sering tumbuh dari bekas kerusakan jaringan paru (scar). Dengan penanda tumor CEA (Carcinoma Embrionic Antigen) karsinoma ini bisa dibedakan dari mesotelioma. b. Karsinoma Bronkoalveolar, merupakan subtipe dari adenokarsinoma, dia mengikuti/meliputi permukaan alveolar tanpa menginvasi atau merusak jaringan paru. c. Karsinoma Sel Besar, ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusion. Dia termasuk NSCLC tapi tidak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular, sel bersifat anaplastik, tak berdiferensiasi, biasanya disertai oleh infiltrasi sel netrofil.

Staging Sistem TNM Stadium

TNM

Karsinoma tersembunyi

Tx, N0, M0

Stadium 0

Tis, N0, M0

Stadium IA

T1, N0, M0

Stadium IB

T2, N0, M0

Stadium IIA

T1, N1, M0

Stadium IIB

T2, N1, M0 T3, N0, M0

Stadium IIIA

T3, N1, M0 T1-3, N2, M0

Stadium IIIB

T berapa pun, N3, M0 T4, N berapa pun, M0

Stadium IV

T berapa pun, N berapa pun, M1

Keterangan : Status Tumor Primer (T) -

T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer.

-

Tx : Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus, tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi.

-

Tis : Karsinoma in situ.

-

T1 : Tumor berdiameter ≤ 3 cm dikelilingi paru atau pleura viseralis yang normal.

-

T2 : Tumor berdiameter > 3 cm atau ukuran berapa pun yang sudah menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan ateletaksis yang meluas ke hilus; harus berjarak > 2 cm distal dari karina.

-

T3 : Tumor ukuran berapa saja yang langsung meluas ke dinding dada, diafragma, pleura mediastinalis, dan perikardium parietal atau tumor di bronkus utama yang terletak 2 cm dari distal karina, tetapi tidak melibatkan karina, tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra.

-

T4 : Tumor ukuran berapa saja dan meluas ke mediastinum, jantung, pembuluh darah besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, rongga pleura/perikardium yang disertai

efusi pleura/perikardium, satelit nodul ipsilateral pada lobus yang sama pada tumor primer.  Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N) -

N0 : Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar getah bening regional.

-

N1 : Metastasis pada peribronkial dan/atau kelenjar hilus ipsilateral.

-

N2 : Metastasis pada mediastinal ipsilateral atau kelenjar getah bening subkarina.

-

N3 : Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus kontralateral; kelenjar getah bening skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.

 Metastasis Jauh (M) -

M0 : Tidak diketahui adanya metastasis jauh. M1 : Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu misalnya otak M1a : metastasis ke paru kontralateral, nodul di pleura, efusi pleura ganas,

efusi pericardium Mib : Metastasis jauh ke organ lain (otak, tulang, hepar, ginjal, KGB, leher, aksilla, adrenal, dll).

ETIOLOGI Penyebab pasti tumor paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama selain adanya faktor lain seperti imunitas tubuh dan genetik. Lombard dan Doering pada 1928 melaporkan tingginya insiden tumor paru pada perokok dibandingkan yang tidak merokok. Bahkan dikatakan bahwa 1 dari 9 perokok berat akan menderita tumor ganas paru. Belakangan, dilaporkan pula bahwa perokok pasif pun akan beresiko terkena tumor paru (Amin, 2014). Selain rokok, etiologi tumor paru yang pernah dilaporkan diabtaranya: paparan zat karsinogen, seperti asbestos, radiasi ion pada pekerja tambang uranium, radon, arsen, kromium, nikel polisiklik hidrokarbon, vinil klorida. Polusi udara, genetic, dan diet. Selain faktor tersebut, jika dikaitkan dengan teori onkogenesis, terjadinya tumor paru dihubungkan dengan mutase gen suppressor tumor (Amin, 2014).

PATOGENESIS Patogenesis terjadinya tumor paru dikaitkan dengan perubahan pada tingkat gen. Terjadinya tumor paru didasari dari tampilnya gen suppressor tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen suppressor tumor dengan cara menghilangkan (delesi) atau penyisipan (insersi) sebagian susunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB1 dan atau erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiah/programmed cell death). Pada kasus keganasan, perubahan tampilan gen ini menyebabkan sel sasaran, yaitu sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan otonom (Amin, 2014). MANIFESTASI KLINIS Gejala tumor paru tidak spesifik dan sangat bervariasi dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis sehingga pada kasus keganasan lebih sering terdiagnosis pada stadium akhir. Hal-hal yang harus dievaluasi dari pasien yang dicurigai menderita tumor paru meliputi efek local dari tumor, ekstensi penyakit memasuki rongga toraks, keterkaitan dengan pemeriksaan radiologi, sindrom paraneoplatik, serta adanya tanda atau gejala metastasis jauh. Gejala umum dari tumor paru diantaranya :

DIAGNOSIS Langkah pertama adalah secara radiologis dengan menentukan apakah lesi intratorakal tersebut sebagai jinak atau ganas. Bila fasilitas tersedia dengan teknik PET (Positron Emission Tomography), maka dapat dibedakan antara tumor jinak dan ganas serta untuk menentukkan staging penyakit. Kemudian ditentukan apakah letak lesi sentral atau perifer, yang bertujuan untuk menentukkan bagaimana cara pengambilan jaringan tumor (Amin, 2014). Untuk lesi yang letaknya perifer, kombinasi bronkoskopi dengan biopsy, sikatan, bilasan, transtorakal biopsy/aspirasi dan tuntunan USG atau CT Scan akan memberikan hasil lebih baik. Sedangkan untuk lesi letak sentral, langkah pertama sebaiknya dengan pemeriksaan sitologi

sputum diikuti bronkoskopi fleksibel. Secara radiologis dapat ditentukan ukuran tumor, kelenjar getah bening torakal, dan metastasis ke organ lain. TATALAKSANA DAN PROGNOSIS Tujuan pengobatan tumor paru adalah kuratif, paliatif, dan suportif. Untuk kasus tumor paru ganas, terdapat perbedaan mendasar dari Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) dengan Small Cell Lung Carcinoma (SCLC), sehingga pengobatannya harus dibedakan. Pengobatan Non Small Cell Lung Carcinoma (NSCLC) meliputi terapi bedah yang merupakan pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien yanga dekuat sisa cadangan parenkim parunya. Survival pasien pada stadium I mendekati 60%, pada stadium II 26-37%, pada stadium III A masih ada kontroversi mengani keberhasilan operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding toraks terdapat metastasis. Pada stadium III B dan IV tidak dilakukan operasi, tetapi dilakukan Combined Modality Theraphy yaitu gabungan radiasi, kemoterapi dengan operasi (Amin, 2014). Untuk jenis Small Cell Lung Carcinoma (SCLC) dibagi menjadi dua yaitu limited stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif (yaitu kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20% serta extensive stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon terapi inisial sebesar 60-70% dan angka respon terapi komplit sebesar 20-30%. Angka median survival time untuk limited stage adalah 18 bulan dan untuk extensive stage adalah 9 bulan (Amin, 2014). KOMPLIKASI Komplikasi dari tumor paru dapat berupa komplikasi torakal, komplikasi ekstra torakal, atau pada kasus keganasan bermetastasis ke organ lain, misalnya otak. Komplikasi torakal diantaranya efusi pleura, atelektaksis, dan metastasis ke struktur organ di dalam rongga toraks (Amin, 2014).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI TORAKS Foto Toraks Foto toraks adalah pemeriksaan radiologi/pencitraan cepat dan tanpa rasa sakit yang menggunakan gelombang elektromagnetik tertentu untuk membuat gambar struktur di dalam dan sekitar dada. Pemeriksaan ini dapat membantu mendiagnosis dan memantau kondisi seperti pneumonia, gagal jantung, tumor paru, tuberkulosis, sarkoidosis, dan jaringan parut paru-paru, yang disebut fibrosis. Dokter juga dapat menggunakan foto toraks untuk melihat seberapa baik perawatan tertentu bekerja dan untuk memeriksa komplikasi setelah prosedur atau operasi tertentu.(National Institute of Helath, 2016). Berdasarkan standar ACR (American College of Radiology), untuk foto toraks pada orang dewasa dilakukan paling tidak dari jarak 72 inch dari tabung, dengan focal spot tabung tidak lebih dari 2 mm (disarankan 0,6 – 1,2 mm). Berbentuk segiempati dan filtrasi balok, teknik kilovoltage tinggi (120 sampai 150 kVp) sesuai dengan karakteristik kombinasi layar film, kecepatan layar film minimal 200, teknik antiscatter (celah grid atau udara) yang setara dengan grid 10: 1 (sebaiknya 12: 1), dan waktu pemaparan maksimal 40 msec.. selain itu, ACR menentukan maximum mean skin entrance radiation dose (0,3 mGy/exposure) (Gotway, 2016). Adapun indikasi untuk melakukan pemeriksaan foto toraks, yaitu: a. Foto toraks rutin yang dilakukan pada seseorang yang mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB paru, pada general medical check up, dan pada pemeriksaan berkala pada pekerja yang terpapar polusi. b. Terdapat gejala yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga dada. c. Terdapat gejala umum yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di

rongga dada, seperti demam yang tidak diketahui

penyebabnya (FUO), juga untuk mengetahui apakah terdapat metastasis keganasan ke paru (Djojodibroto, 2014)

Foto (paru standar pada orang dewasa adalah foto posteroanterior (PA). Pembuatan foto paru PA dilakukan dengan cara pasien berdiri, dan kaset film menempel pada dada. Tabung rontgen di belakang pasien kira – kira berjarak 2 meter dari kaset. Dengan posisi ini, proyeksi jantung pada kset film mendekati besar yang sesungguhnya karena pembesaran bayangan sangat minimal dibandingkan dengan diagram foto yang dibuat dengan posisi Anteroposterior. Agar skapula tidak menutupi lapangan paru, diusahakan supaya pasien pada posisi tangan di pinggang dan siku ditarik kedepan. Pengambilan foto biasanya dilakukan ketika pasien berada dalam inspirasi maksimal. selain foto posisi PA, terdapat beberapa posisi foto toraks lainnya, diantaranya

posisi

lateral,

anteroposterior,

oblik,

dan

lateral

dekubitus (Djojodibroto, 2014). Dalam mengidentifikasi hasil suatu pemeriksaan foto toraks, hal-hal yang perlu diperhatikan: a. Status rangka toraks termasuk iga – iga, pleura, dan kontur diafragma dan saluran napas atas pada waktu memasuki dada. b. Ukuran, kontur, dan posisi mediastinum dan hilus paru, termasuk

jantung,

aorta,

kelenjar

limfe,

dan

akar

percabangan bronkus. c. Tekstur dan derajat aerasi parenkim paru. d. Ukuran, bentuk, jumlah, dan lokasi lesi paru termasuk kavitasi, tanda fibrosis, dan daerah konsolidasi (Wilson, 2006).

(a)

(b)

(c) Gambaran foto toraks posisi PA. (a) anatomi organ dalam rongga toraks. (b) Struktur pembatas mediastinum. (c) Pembagian lapangan pandang paru (Singh, 2013)

Gambaran coin lesion pada paru-paru kanan

Gambaran massa pada paru kiri disertai kavitasi

Gambaran konsolidasi heterogen difuse pada kedua paru

Gambaran foto toraks posisi AP; a) kolaps paru kiri dengan pergeseran mediastinum dan nodul pada lapang pandang paru tengah kanan. b) massa pada

hilum kanan dengan limfangitis karsinomatosis bilateral difus disertai efusi pleura kanan.

Gambaran CT-Scan pada metastasis paru

Gambaran Ca Bronkogenik

Gambaran : Karsinoma epidermoid (squamous cell ca) pada foot toraks dan CT-Scan. Pemeriksaan CT-Scan Toraks Computed Tomography atau Ct-Scan merupakan prosedur pemeriksaan untuk menunjang diagnosis suatu penyakit atau kelainan dalam tubuh dengan menggunakan sinar-X. pemeriksaan Ct-Scan umunya menghasilkan pencitraan berupa potongan melintang tubuh tetapi hasil pemeriksaan tersebut dapat di format ulang dalam berbagai bidang sehingga menghasilkan kesan pencitraan 3 dimensi. Hasil pencitraan CT-Scan dinilai lebih baik daripada pemeriksaan foto konvensional terutama gembaran jaringan lunak dan pembuluh darah. Indikasi pemeriksaan CT-Scan Toraks: a. Memeriksa temuan abnormal pada pemeriksaan foto toraks konvensional. b. membantu mendiagnosis penyebab tanda dan gejala penyakit pada rongga dada, misalnya batuk, sesak napas, nyeri dada, dan demam. c. mendeteksi dan mengevaluasi tumor yang ada di dalam rongga dada, termasuk tumor dari organ lain yang menyebar ke rongga dada. d. menilai respon tumor terhadap pengobatan e. membantu perencanaan radioterapi f. mengevaluasi chest injury g. mengevaluasi temuan abnormal pada pemeriksaan USG fetal

CT-Scan toraks dapat memperlihatkan berbagai kelainan atau penyakit pada rongga dada, misalnya: tumor jinak maupun ganas, tuberculosis, pneumonia, bronchiectasis dan cystic fibrosis, inflamasi atau penyakit lain pada pleura, penyakit paru kronik, dan kelainan kongenital. CT-Scan dada juga di beberapa negara digunakan untuk screening kanker paru di beberapa negara. (Radiologic Society of North America, 2016).

Peran Radiologi Toraks dalam Diagnosis Tumor Paru Sensitivitas dan Spesifitas Sebagai salah satu modalitas radiologi sederhana yang paling sering dilakukan, pemeriksaan foto toraks pada tumor paru bertujuan untuk: a. Deteksi primer/ karakterisasi tumor parenkim b. Menilai adanya pergeseran bronkus utama dan trakea c. Mendeteksi adanya invasi ke dinding dada d. Menilai adanya invasi ke hilum dan mediastinum serta mendeteksi adanya adenopati e. Mendeteksi adanya atelectasis f. Mendeteksi adanya efusi pleura (World Health Organization, 2004). Berdasarkan hasil

penelitian

yang

dilakukan

di

Jepang,

dengan menggunakan detection method diperoleh hasil sensitivitas dan spesifisitas foto toraks dalam mendeteksi kanker paru adalah sekitar 78,3% dan 97%, sedangkan dengan Incidence method didapatkan sensitivitas sekitar 86,5% (Toyoda, et al., 2008).

Gambaran CT-Scan atelektaksis Nodul soliter paru biasanya akan memberikan gambaran lesi berbentuk seperti koin yang dikenal sebagai ‘coin lession’ dengan sekitar 50% bersifat ganas (40% karena kanker paru primer, 10% oleh metastasis soliter). Sekitar 20-30% kanker paru memberikan gambaran radiologi berupa nodul soliter, 88% diantaranya masih dapat direseksi dengan 5years survival rates sekitar 50%. Sebab itu, identifikasi awal dan penilaian yang benar terhadap nodul ini menjadi sengat penting (Hollings & Shaw, 2002).

Gambaran Nodul dan Massa Soliter Tumor Sentral Berbeda dengan nodul soliter paru, tumor paru sentral biasanya memberikan gambaran radiografi berupa massa pada hilum, atau paru kolaps dan konsolidasi di distal tumor. Gambaran berikut ini bisa menjadi penanda ada tumor sentral paru yang menyebabkan obstruksi jalan napas:

a. Golden S sign, menandakan adanya deviasi fissura di sekitar tumor yang merupakan gambaran dari tumor yang terletak pada hilus yang mengakibatkan atelektaksis perifer (umunya sumbatan berada di lobus kanan atas).

Gambaran Golden S Sign a. Pneumonia yang terbatas pada satu lobus (atau lebih, tergantung ada letak obstruksi pada bronkus) b. Pneumonia local yang menetap lebih dari 2 minggu atau kambuh pada lobus yang sama. Pembesaran hilum merupakan gambaran radiografi umum adanya. Masaa hilum atau perihilum. Massa tumor dan pembesaran kelenjar limfe menyebabkan gambaran hilum menjadi lebih opaque (Hollings & Shaw, 2002).

Gambaran tumor sentral

Gambaran radiografi lain yang biasanya menyertai adanya tumor paru adalah kalsifikasi pada lesi, lesi berbentuk kavitasi, adanya lesi satelit, adanya tanda metastasis ke tulang rusuk, serta pembesaran bayangan jantung akibat adanya efusi pericardium (Sharma, et al., 2002). Selain gambaran khas yang telah disebutkan, tumor

paru

bisa memberikan

gambaran radiografi yang mirip dengan

kelainan atau penyakit lain sehingga memberikan gambaran berupa: a. Cystic Airspace Presentation, b. Pneumonia like presentation, c. Pleural neoplasms like presentation, d. Lymphoma like presentation, e. Sarcoidosis like presentation, f. TBC like presentation. Dengan demikian, dokter harus bisa membedakan gambaran radiografi tumor paru dengan gambaran penyakit yang mirip untuk bisa mendiagnosis dengan cepat dan tepat (Cardinale, et al., 2016).

Gambaran pneumonia like presentation Gambaran CT-Scan Toraks Tumor Paru Salah satu kelebihan CT-Scan toraks dibandingkan foto toraks konvensional adalah kemampuan dalam menilai tumor secara lebih detail sehingga ukuran dan tepi tumor dapat dinilai lebih jelas, begitu pula dengan penilaian terhadap ada tidaknya kalsifikasi, kavitasi, dan lemak. selain itu, penilaian terhadap attenuation dan ground-glass opacity pada CT-Scan dapat membantu dalam membedakan sifat tumor, jinak atau ganas (Tripathi & Zhen, 2015). Ukuran Semakin besar ukuran suatu tumor pada gambaran radiologis, maka semakin besar kemungkinan tumor tersebut bersifat ganas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Henschke et al pada tahun 2004 menemukan bahwa tidak ada keganasan pada

nodul dengan ukuran diameter di bawah 5 mm, dan terdapat korelasi antara peningkatan ukuran dan peningkatan kejadian keganasan (Tripathi & Zhen, 2015). Tepi Tepi diklasifikasikan sebagai tepi reguler dan halus, berlobus, atau irregular. Tepi yang berlobus menandakan pertumbuhan yang tidak merata dan biasanya dikaitkan dengan tanda-tanda keganasan meskipun dapat ditemukan pada sekitar 25% kasus tumor jinak. Di sisi lain meskipun tumor dengan tepi regular dan halus biasanya jinak, sekitar 21% tumor ganas juga memberikan gambaran tepi yang regular. Sedangkan tumor bertepi irregular dengan tampilan corona radiata sign

mengindikasikan adanya infiltrasi dan distorsi tumor ke jaringan sekitarnya

dan hampir dipastikan bersifat ganas (Tripathi & Zhen, 2015). Kalsifikasi Kalsifikasi lebih sering ditemukan pada tumor jinak. Penelitian yang dilakukan Fishman AP et al (1988) memperlihatkan sifat kalsifikasi pada tumor jinak, yaitu laminasi, dense central, dan popcorn. sedangkan kalsifikasi eksentrik merupakan karakteristik tumor ganas (Tripathi & Zhen, 2015).

Gambaran kiri; kalsifikasi difus (homogeny), kanan; kalsifikasi snetral

Gambaran kiri; kalsifikasi kosentrik, kanan; kalsifikasi popcorn

Kavitasi Kavitasi dapat ditemukan pada tumor jinak maupun ganas. sayangnya, ketebalan dinding tidak dapat diandalkan untuk membedakan tumor jinak dan ganas, meskipun kavitasi pada tumor ganas berdinding lebih tebal dan irregular (Tripathi & Zhen, 2015). Lemak di dalam tumor Adanya lemak di dalam tumor merupakan tanda yang hampir memastikan sifat tumor jinak. Hamartoma, lipoid pneumonia, lipoma merupakan contoh lesi pada paru yang memberikan gambaran lemak di dalam lesi (Tripathi & Zhen, 2015).

Gambaran hasil pemeriksaan CT-Scan Toraks Tumor Paru. Gambar bagian atas adalah tumor ganas, gambar bagian bawah adalah tumor jinak.

DAFTAR PUSTAKA 1. Suyono, Slamet, (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2. Gray J,et al. Lung Cancer Chemoprevention. ACCA Evidence-Based Clinical Practice Guidelines Chest. 2007 3. Fauci, Braundwald, Kasper, Hauser, Longo, Jemeson, Loscalzo. Harrison’s Principal Of Internal Medicine. 18th ed. New York : Mc Graw Hill ; 2012 4. Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Muray JF, Nadel JA. Murray & Nadel’s. Textbook Of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2010 5. Sjamsuhidajat, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah.3rd ed. Jakarta : EGC ; 2010 6. R. Putz, R. Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Edisi 23 Jilid 2. Jakarta: EGC. 2006. 7. Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Muray JF, Nadel JA. Murray & Nadel’s. Textbook Of Respiratory Medicine. 5th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier ; 2010 8. Sjahriar Rasad. 2011. Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Badan Penerbit FKUI. Jakarta. 9. Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 10. Price, S. A., Wilson, Lorraine M., 2005. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 11. Rani AA, Soegondo, Nazir AU et al. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. 12. Ganong, W. F., 2000. Fisiologi Kedokteran, terjemahan Adrianto, P., Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 13. World

Health

Organization,

2004.

World

Health

Organization

Classification of Tumours. Lyon: IARC Press. 14. Sharma, C. et al., 2002. Radiographic Pattern in Lung Cancer. Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences, pp. 25-30. 15. Tripathi, S, Zhen, XQ, 2015. Differentiation of Benign and Malignant Solitary Pulmonary Nodule. Scientific Research Publishing. Pp; 18-24. 16. Djojodibroto, R. D., 2014. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC 17. Amin, Z., 2014. Kanker Paru. In: S. Setiati, et al. eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing, pp. 2998-3007. 18. Ciello, A. d. et al., 2017. Missed Lung Cancer: When, Where, and Why?. Diagnostic and Interventional Radiology, pp. 118-126.

Related Documents


More Documents from "Cut Hanassa Muly"