Referat Tht.docx

  • Uploaded by: santri safira
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Tht.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,133
  • Pages: 35
BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL

REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

DESEMBER 2017

UNIVERSITAS HASANUDDIN

OTOTOKSIK

DISUSUN OLEH : Santri Safira C111 12 122 Hendra Abadi C111 01 214

PEMBIMBING : dr. Richa Endah

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Santri Safira C111 12 122 Hendra Abadi C111 01 214

Judul : Ototoksik

Telah menyelesaikan tugas referat pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Desember 2017

Pembimbing,

dr. Richa Endah

BAB I PENDAHULUAN

Ototoksisitas adalah keracunan telinga (oto = telinga, toksisitas = keracunan), yang diakibatkan oleh paparan obat-obatan atau bahan kimia yang merusak telinga bagian dalam atau saraf vestibulo-koklea (keseimbangan saraf dan informasi pendengaran dari telinga dalam ke otak). 1 Efek samping obat lebih sering terjadi, daripada yang dibayangkan orang. Setiap tahun, efek samping dari obat-obatan ototoksik mengganggu jutaan nyawa manusia. Kejadian pasti efek samping ototoxik tidak diketahui, kita seperti melihat puncak gunung es. Obat ototoksik seperti cisplatin kemungkinan menimbulkan gangguan pendengaran hampir 100%, sementara diperkirakan 63% dengan Aminoglikosida.2 Otoksisitas dapat menyebabkan gangguan pendengaran, keseimbangan, atau keduanya baik untuk sementara waktu atau permanen. Banyak zat kimia yang berpotensi bersifat ototoksik, baik itu berupa obat atau zat kimia yang ada di lingkungan kita. Obat apapun yang berpotensi menyebabkan reaksi toksik terhadap struktur dalam telinga, yang mencakup koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit, dianggap sebagai obat ototoksik. Secara khusus, jika pendengaran yang terganggu maka disebut sebagai “kokleotoksik”, dan jika keseimbangan terganggu maka disebut “vestibulotoksik”.1,3 Terjadinya dan tingkat keracunan telinga bagian dalam bergantung pada obat yang terlibat serta faktor lain seperti keturunan. Ototoksisitas bisa bersifat sementara atau permanen. Efek obat tertentu seringkali bersifat sementara, sementara obat lain biasanya menghasilkan perubahan permanen pada telinga. Beberapa obat dapat menyebabkan masalah sementara atau permanen.1 Sebagian besar orang yang mengalami ototoksik memiliki bentuk sementara atau reversibel yang tidak mengakibatkan gangguan besar atau jangka panjang dalam kehidupan mereka. Dengan sitokotoksisitas, gangguan pendengaran atau awal atau pertambahan tinnitus (dering di telinga) dapat terjadi melalui kerusakan pada koklea (alat bantu dengar) atau cabang koklea dari saraf vestibulochlear.1

BAB II ISI

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI ANATOMI TELINGA LUAR Telinga luar alau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit. Bentuk rawan ini unik dan dalam merawat trauma telinga luar, harus diusahakan untuk mempertahankan bangunan ini. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya oleh hematom atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol). Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di sebelah medial Seringkali ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan rawan ini. Sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan terhadap liang telinga sementara prosesus mastoideus terletak di belakangnya. Saraf fasialis meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus di posteroinferior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang digunakan untuk mencari saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura timpanomastoideus.4

Membrana Timpani Membrana timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membrana timpani umumnya bulat. Penting untuk disadari bahwa bagian dari rongga telinga tengah yaitu epitimpanum yang mengandung korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas membrana timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas rnelampaui batas bawah membrana timpani. Membrana timpani tersusun oleh suatu lapisan epiOermis di bagian luar, lapisan fibrosa di bagian tengah di mana tangkai maleus dilekatkan, danlapisan mukosa bagian dalam. I:pisan fibrosa tidak terdapat di atas prosesus lateralis maleus dan

ini menyebabkan bagian membrana timpani yang disebut membrana Shrapnell menjadi lemas (flaksid).4 Gambar 1. Anatomi Telinga Luar

ANATOMI TELINGA TENGAH Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak dengan enam sisi. Dinding posteriomya lebih luas daripada dinding anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. promontorium pada dinding medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membrana timpani sehingga kotak tersebut lebih sernpit pada bagian rengah. Dinding superior telinga tengah berbatasan dengan lantai fosa kranii media. Pada bagian atas dinding posterior terdapat aditus adalah tulang mastoid dan di bawahnya adalah saraf fasialis. Otot stapedius timbul pada daerah saraf fasialis dan tendonnya menembus melalui suatu piramid tulang menuju ke leher stapes. Saraf korda timpani timbul dari saraf fasialis di bawah stapedius dan berjalan ke lateral depan menuju inkus tetapi di medial maleus, untuk keluar dari telinga tengah lewat sutura petrotimpanika. Korda timpani kernudian bergabung dengan saraf lingualis dan menghantarkan serabut-serabut sekretomotorik ke ganglion submandibularis dan serabut-serabut pengecap dari dua pertiga anterior Iidah. 4 Dasar telinga tengah adalah atap bulbus jugularis yang di sebelah superolateral menjadi sinus sigmodeus dan lebih ke tengah menjadi sinus transversus. Keduanya adalah aliran vena utama rongga tengkorak. Cabang aurikularis saraf vagus masuk ke

telinga tengah dari dasarnya. Bagian bawah dinding anterior adalah kanalis karotikus. Di atas kanalis ini, muara tuba eustakius dan otot tensor timpani yang menempati daerah superior tuba kemudian membalik, melingkari prosesus kokleariformis dan berinsersi pada leher maleus. 4 Dinding lateral dari tclinga tengah adalah dinding tulang epitirnpanum di bagian atas, membrana timpani, dan dinding tulang hipotimpanum di bagian bawah.4 Bangunan yang paling menonjol pada dinding medial adalah promontorium yang menutup lingkaran koklea yang penama. Saraf timpanikus berjalan melintas promontorium ini. Fenestra rotundum terletak di posteroinferior dari promontorium, sedangkan kaki stapes terletak pada fenestra ovalis pada batas posterosupcrior promontoriurn. Kanalis falopii bertulang yang dilalui saraf fasialis terletak di atas fenestra ovalis mulai dari prosesus koklearifonnis di anterior hingga piramid stapedius di posterior. Rongga mastoid berbentuk seperti piranrid bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal. Atap mastoid adalah fosa kranii rnedia. Dinding medial adalah dinding lateral fosa kranii posterior. Sinus sigmoideus terletak di bawah dura mater pada daerah ini. Pada dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum. Tonjolan kanalis semisirkularis lateralis menonjol ke dalam antrum. Di bawah ke dua patokan ini berjalan saraf fasialis dalam kanalis tulangnya untuk keluar dari tulang temporal melalui foramen stilomastoideus di ujung antcrior krista yang dibentuk oleh insersio otot digastrikus, Dinding lateral mastoid adalah tulang subkutan yang dengan rnudah dapat dipalpasi di posterior aurikula. 4

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah

Tuba eustakius Tuba eustakius rnenghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring. Bagian lateral tuba euslakius adalah yang bertulang- sementara duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani terletak di sebclah alas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor supcrior. Bagian ini biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis. Tuba eustakius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi mernbrana timpani. 4 ANATOMI TELINGA DALAM Auris interna (telinga bagian dalam) atau organum vestibulocochlear berhubungan dengan penerimaan bunyi dan pemeliharaan keseimbangan. Auris interna yang tertanam di dalam pars petrosa, salah satu bagian tulang temporal, terdiri dari kantong-kantong dan pipa-pipa labyrinthus membranasceus. Sistem selaput ini berisi endolimfe dan organ-organ akhir untuk pendengaran dan keseimbangan. Labyrinthus membranaceus berupa selaput yang diliputi oleh perilimfe terbenam di dalam labyrinthus osseus.4

Gambar 3. Anatomi telinga dalam

Labyrinthus osseus (Tulang Labirin) Labyrinthus osseus auris interna menempati hampir seluruh bagian lateral pars petrosa pada os temporal. Labyrinthus osseus auris interna terdiri dari 3 bagian, yaitu: 3,5 1. Cochlea Susunan anatomi struktur di dalam koklea sangat penting untuk transformasi sinyal akustik menjadi sinyal neurokimia yang dapat diartikan oleh otak sebagai suara. Yang tidak kalah pentingnya adalah fisiologi sistem. Fisiologi koklea biasanya dibagi menjadi dua jenis: fisiologi seluler jaringan koklea, yang melibatkan biokimia dan biologi molekular sel, dan elektrofisiologi transduksi saraf, yang melibatkan pengukuran aktivitas saraf sel neuroepitel. Fisiologi seluler, biologi molekular, dan biokimia jaringan secara langsung dipengaruhi oleh agen ototoksik, dengan konsekuensi anatomi dan elektrofisiologi sistem. Aspek ini bervariasi menurut sel dan jaringan. Oleh karena itu, agen ototoksik mempengaruhi jaringan yang berbeda, bergantung pada agennya. efek pada biologi sel dan akses ke jaringan rentan. Saluran cochlear menyimpan struktur jaringan yang bertanggung jawab untuk transduksi sensorineural. Bagian labyrinthus osseus yang berbentuk seperti keong, berisi ductus cochlearis, bagian auris interna yang berhubungan dengan pendengaran. Cochlea membuat 2,5 putaran, mengelilingi sumbu tulang yang disebut modiolus dan berisi terusan-terusan untuk pembuluh

darah dan saraf. Putaran cochlea basal yang lebar menyebabkan terbentuknya promontorium pada dinding medial cavitas timpani.

2. Vestibulum Ruang yang kecil dan jorong ini (panjangnya kira-kira 5 mm) berisi utriculus dan sacculus, bagian-bagian peranti keseimbangan. Ke anterior vestibulum bersinambungan dengan cochlea tulang, ke posterior dengan canalssemicirculares ossei, dan dengan fossa crani posterior melalui aqueductus vestibule. Aqueductus vestibule melintas ke permukaan posterior pars petrosa dan di sini bermuara di sebelah postero-lateral meatus acusticus internus. Di dalamnya terdapat ductus endolymphaticus dan dua pembuluh darah kecil.

3. Canalis semicircularis ossei Canalis semicircularis anterior, canalis semicircularis posterior, dan canalis semicircularis lateralis berhubungan dengan vestibulum labyrinthus ossei. Canalis semicircularis ossei terletak posterosuperior

terhadap

vestibulum

yang

merupakan

tempat

bermuaranya

Canalis

semicircularis ossei; ketiga terusan ditempatkan tegak lurus satu terhadap yang lain. Dengan demikian stereometris mereka menempati tiga bidang. Masing-masing terusan berupa kira-kira dua pertiga dari sebuah lingkaran dengan diameter kira-kira 1,5 mm, kecuali pada satu ujung yang melebar sebagai ampulla.

Gambar 4. Anatomi tulang labirin

Labyrinthus Membranaceus Labyrinthus membranaceus terdiri dari urut-urutan kantung dan pipa yang saling berhubungan dan terbenam di dalam labyrinthus osseus. Di dalam labyrinthus membranaceus terdapat endolimfe, cairan yang menyerupai air komposisinya berbeda dari perilimfe dalam labyrinthus osseus yang meliputinya. Labyrinthus membranaseus terdiri dari bagian utama.  Utriculus dan sacculus, dua kantung kecil di dalam vestibulum labyrinthus ossei yang saling berhubungan.  Tiga duktus semicircularis di dalam canalis semicircularis ossei.  Duktus cochlearis di dalam cochlea. Meaticus acusticus interna Meaticus acusticus internus adalah sebuah terusan sempit yang melintas ke lateral sejauh kira-kira 1 cm di dalam pars petrosa. Lubangnya terdapat pada bagian posteromedial tulang tersebut, sejajar dengan meatus acusticus eksternus. Ke arah lateral meatus acusticus internus tertutup oleh selembar tulang yang berlubang-lubang dan tipis, dan memisahkannya dari auris interna. Melalui lembar tulang tersebut melintas nervus fasialis (nervus cranialis VII), cabangcabang nervus vestibulocochlearis (nervus cranialis VIII), dan pembuluh-pembuluh darah. Di dekat ujung lateral meatus acusticus internus, nervus vestibulocochlearis bercabang dua menjadi nervus cochlearis dan nervus vestibularis.3 Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai labirin. Derivat vesikel otika mernbentuk suatu rongga tcrlutup yaitu labirin membran yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraselular dalam lubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membran dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rcndah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. kbirin tulang dan rnembran memriliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibularis (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran kita. 5 Koklea (Gambar 5) melingkat seperti siput dengan dua dan satu-setengah putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis

oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibuli, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duklus koklearis oleh membrana Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga nrengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrana basilaris. Perilirnfe pada kedua skala berhubungan pada apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duklus koklearis nrelalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan rnelebar pada apeks (nada rendah).5 Gambar 5. Topografi dan ukuran relatif dari luba cus(akius digambarkan pada ilustrasi ini oleh Brcidel

Terletak di atas membrana basilaris dari basis ke apeks adalah organ Corti, yang mengahdung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran. Organ Corti terdiri dari satu baris sel rambut dalarn (3.000) dan tiga baris sel rambut luar (12.000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang lengan horisontal dari suatu jungkat-jangkit yang dibentuk oleh selsel penyokong (Gambar 6). Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat gclatinosa dan aselular, dikenal scbagai membrana tcktoria. Membrana tektoria disckresi dan disokong oleh suatu panggung yang terlelak di medial disebut sebagai limbus. 5

Gambar 6. Alat corti, sel-sel rambut tergantung pada bagian horisotal dari suatu jangkitjangkit yang dibentuk oleh lamina retikularis dan sel pillar luar dan dalam

Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh scl-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah sualu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini tcrdapat pula otolit yang mengandung kalsiurn dan dengan berat jenis yang lcbih besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari otolit akan membengkokkan silia scl-sel rambut dan menimbulkan rangsangan pada rescptor. Sakulus berhubungan dcngan utrikulus melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus terhadap makula sakulus. Kctiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis mempunyai suatu ujung yang melebar membentuk ampula dan mngandung sel-sel rarnbut krista. Sel-sel rambut menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gcrakan endolimfe dalarn kanalis

semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya akan membengkokkan silia scl-sel rambut krista dan merangsang sel rcscplor.5 FISIOLOGI PENDENGARAN Proses pendengaran diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran tersebut mengetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplikasikan getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplikasi ini akan diteruskan ke stapes yang akan mengerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran ini diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang akan menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis. 5

Gambar 7. Fisiologi pendengaran

Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu "pengumpul" suara, sementara liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara dalam reutang 2 saurpai 4kHz perbesaran pada frekuensi ini adalah sanlpai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika dilinjau dari sudut trauma akustik. 5 Pada telinga tengah terrdapat maleus, inkus dan stapes. Tangkai dari maleus terletak dalam membrane tinrpani, sedangkan otot tensor timpani berinsersi pada leher maleus. Kaput maleus bersendi dengan permukaan anterior korpus inkus dalarn epitimpanum.Inkus memiliki prosesus brevis yang menonjol ke belakang dan prosesus longus yang berjalan ke bawah untuk bersendi dengan kaput stapes. 5 Sumbu rotasi meleus dan inkus yang alami adalah sepanjang garis yang ditarik dari prosesus brevis inkus hingga daerah leher maleus. Stapes adalah tulang yang berbentuk sanggurdi. Kontraksi otot stapedius dapat diukur dengan audiometri hambatan (impedance audiometry), dan teknik ini merupakan alat bantu klinis yang penting. Telinga lengah adalah sualu alat penghilang-hambatan antara udara (lingkungan kita) dan cairan (telinga dalam). Kelika gelombang suara yang dihantarkan udara mencapai cairan, maka 99% energinya akan dipantulkan. Jadi hanya 0,1% energi yang diteruskan (kehilangan sekitar 30 dB). Telinga lengah dapat mengkompensasi kehilangan tersebut terutama karena luas membrane timpani 17 kali lebih besar dari luas basis stapes. Rangkaian osikula ikut pula berperan sebesar 1,2/1. Dengan demikian, telinga tengah tidak penting pada makhluk-makhluk air. 5 Getaran suara dihaularkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalarn melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membrana basilaris dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang membrana basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yaug melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Paling tidak sebagian analisis frekuensi telah terjadi pada lingkat organ

Corti. Peristiwa listrik pada organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut sebagai potensial aksi. 5 Ligamentum spiralis lerletak di Iateral dinding tulang dari duktus koklearis. Merupakan jangkar lateral dari membrana basilaris dau mengandung stria vaskularis, satu-satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Dua dari tiga jenis sel pada stria vaskularis kaya mitokondria dan memiliki luas perrnukaan yang sangat besar dibandingkan dengan volume sel. Maka stria merupakan suatu sistem transpor cairan dan elektrolit yang dirancang secara unik. Diduga memainkan peranan penting dalam pemeliharaan komposisi elektrolit cairan endolimfe (tinggi kalium, rendah natrium) dan sebagai baterei kedua untuk organ Corti. Juga merupakan sumber potensi arus searah (80 milivolt) dari skala media. Darah merupakan sumber nutrisi utama untuk sel-sel lubuh dan alirannya menimbulkan suara bising, namun stria vaskularis merupakan suatu adaptasi yang unik dimana dapat menyuplai organ Corti dari jarak terentu, dengan demikian memperbaiki rasio sinyal-bising pada organ Corti. 5 Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensarafi 15.000 sel rambut pada tiap koklea. Masing-rnasing sel rambut dalam disarafi oleh banyak neuron. Hanya presentasi kesil (sekitar 10 persen) neuron aferen yang mensarafi rambut luar, akan tetapi terdapat percabangan-percabangan sedernikian rupa sehingga tiap neuron aferen berasal dari banyak sel rambut luar dan tiap sel rambut luar dipersarafi oleh banyak neuron aferen. 5 Juga ada sekitar 500 serabut saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabutserabut ini bercabang-cabang pula secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki banyak ujung saraf eferen. Ujung-ujung saraf eferen dari sel rambut luar tidak seluruhnya berasal dari satu serabut saraf eferen. 5 Serabut-serabut saraf koklcaris (Gambar 8) bcrjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis. Sebagian besar serabut dari inti nrclinlasi garis tcngah dan bcrjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, naulun scbagian scrabut tclap bcrjalan ipsilatcral. Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti lernniskus lateralis dan kolikulus infcrior. Dari kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus gcnikulatunr dan kcnrudian kc korlcks pcndcngaran pada lobus tenrporalis. Karena seringnya penyilangan scrabut-

scrabut saraf tcncbut, nraka lcsi sentral jaras pendengaran hampir tidak pernah mcnycbabkan kctulian unilalcral. 5 Scrabut-scrabut saraf vestibularis berjalan menuuju salah satu dari keempat inti vestibularis, dan dari sana disebarkan sccara luas dcngan jaras-jaras menuju medula spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya4 Gambar 8. Diagram dari hubungan-hubungan pendengaran sentral

3.

ETIOLOGI Penyebab ototoksisitas dibagi atas dua, yaitu eksogen dan endogen.9 Terdapat beberapa obat

yang diketahui mempengaruhi sistem pendengaran dan sistem vestibular1: 1. Antibiotik Dalam dosis melebihi 0,5 mg setiap hari, streptomisin dapat merusak keseimbangan dan pendengaran.

Dihidrostreptomicin

lebih

bersifat

cochleotoksik

dibandingkan

streptomisin. Kanamisin dan neomisin sangat toksik pada koklea dan jarang pada sistem vestibular namun gentamisin dan tobramycin lebih bersifat vestibulotoksik. Gangguan pendengaran sensorineural juga mengikuti penerapan topikal neomisin.

2. Diuretik Asam ethacrynic dan furosemide adalah dua agen diuretik yang manjur. Gangguan pendengaran sensorineural sementara dan permanen telah dilaporkan dengan obat ini terutama bila diberikan secara intravena. 3. Analgesik dan antipiretik 4. Agen antimalaria Tinnitus dan / atau gangguan pendengaran dapat terjadi dengan obat ini namun efeknya reversibel. Obat ini mungkin menginduksi vasokonstriksi pembuluh darah kecil dari microvasculature koklea. Aspirin dan kina Aspirin (asam asetilsalisilat, ASA) dan kinin diketahui menyebabkan ototoxisitas sementara yang mengakibatkan tinitus. Mereka mungkin juga mengurangi pendengaran, terutama bila diberikan pada dosis tinggi. Produk kina juga bisa mengurangi kemampuan keseimbangan sementara. Setelah aspirin atau kina dihentikan, ototoksik

umumnya

-

klorokuin

-

Quinidine

-

kina (termasuk Q-vel)

hilang.

Beberapa

produk

kina

meliputi:

5. Agen kemoterapi Agen antineoplastik, yang paling spesifik, cisplatin (cisplatinum), berpotensi sebagai ototoksik. Regimen kemoterapi yang menggunakan cisplatin telah dilaporkan dapat menyembuhkan 60-100 persen pasien dengan tumor germ cell lanjut yang menyerang kepala dan leher, ovarium, dan area lunak lainnya. Telinga tampaknya paling terpengaruh oleh suntikan dosis tunggal dan dosis tinggi, namun efek kumulatif dari perawatan dosis rendah berulang juga telah dicatat. Obat anti kanker bekerja dengan membunuh sel kanker. Sayangnya beberapa juga bisa merusak atau membunuh sel di tempat lain di tubuh, termasuk di telinga. Cisplatin dikenal menyebabkan gangguan pendengaran yang besar dan permanen. Carboplatin juga dikenal sebagai ototoksik. 6. Lain-lain termasuklah obat anti heparinizing, obat anti konvulsif dan obat beta bloker i.

Beberapa kasus kehilangan pendengaran sensorineural akibat obat heksadimetrin bromida (Polybrene) telah dilaporkan. Ini sebelumnya digunakan pada pasien

yang dirawat karena gagal ginjal dengan hemodialisis, selama heparin diberikan sebagai antikoagulan dan Polybrene diberikan pada akhir setiap dialisis sebagai agen antiheparinising. Ketulian sensorineural telah dilaporkan dengan obat ini. Ada degenerasi organ Corti dan stria vascularis. ii.

Fenitoin dosis lebih dapat dikaitkan dengan gangguan vestibular. Etosuksimida juga bersifat vestibulotoksik.

iii.

Obat ini termasuk propranolol, oxprenolol dan practolol. Semua dari mereka dapat menghasilkan reaksi yang merugikan namun practolol nampaknya unik karena kemampuannya untuk menyebabkan tuli. Dalam proporsi yang signifikan dari kasus tersebut, tuli telah menunjukkan secara klinis sebagai tuli campuran.

7. Bahan kimia (Merkuri, alkohol) Perubahan metabolik diketahui terkait dengan gangguan pendengaran dan kelaian labirin lainnya. Hubungannya dengan hiperlipidema sangat mapan. Untuk alasan ini, koreksi gangguan semacam itu disarankan pada pasien yang datang dengan gangguan pendengaran kronis yang tidak dapat dijelaskan. Uremia juga bisa menjadi penyebab langsung kerusakan labirin.9 4. MEKANISME OBAT OTOTOKSIK Akibat penggunaan obat-obat yang bersifat ototoksik akan dapat menimbulkan gangguan fungsional pada telinga dalam yang disebabkan oleh karena terjadinya perubahan struktur anatomi pada organ telinga dalam yang mungkin berefek pada fungsi koklea dan vestibular.4,9 Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain:

Degenerasi stria vaskularis

•Kelainan patologi ini terjadi pada penggunaan semua jenis obat ototoksik.

Degenerasi sel epitel sensori

•Kelainan patologi ini terjadi pada organ corti dan labirin vestibular, akibat penggunaan antibiotik aminoglikosida dimana sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks

Degenerasi sel ganglion 5.

Tabel 1. Obat-obatan dengan Ototoksisitas 6

•Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya degenerasi sel epitel sensori

a. Aminoglikosida Aminoglikosida merupakan obat ototoksik paling umum yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang didapat. Aminoglikosida adalah kelompok antibiotik bakterisidal yang berasal dari berbagai macam streptomyces. Yang termasuk kelompok obat ini adalah streptomisin, kanamisin, neomisin, tobramisin, amikasin, gentamisin, sisomisin, netilmisin.4,6,7,8 Karena spektrum aktivitas dan bakterisidalnya, aminoglikosida secara klinis berguna untuk infeksi

serius seperti septikemia, infeksi traktus urinarius dengan komplikasi, infeksi

intraabdominal, infeksi traktus respiratorius, dan osteomyelitis. Aminoglikosida juga sering dikombinasi dengan antibiotik lainnya. Pemberian aminoglikosida pada pasien dengan fungsi ginjal normal yakni diberikan tiga kali sehari pada gentamisin, tobramisin dan netilmisin menurut rekomendasi produsen dan dua kali sehari pada amikasin dengan regimen pengobatan terbagi menjadi dosis inisial loading (2 mg/kg untuk gentamisin, tobramisin dan netilmisin tetapi 7,5 mg/kg untuk amikasin) dan dosis maintenance (1,7 mg/kg tiap 8 jam untuk gentamisin dan tobramisin, 2 mg/kg tiap 8 jam untuk netilmisin, dan 7,5 mg/kg tiap 12 jam untuk amikasin).7

Semua jenis aminoglikosida, kecuali spektinomisin, mempunyai potensi menjadi nefrotoksik, merusak koklea dan apparatus vestibular, dan memblokade sistem neuromuskular. Telah diketahui bahwa penggunaan sistemik aminoglikosida dapat menyebabkan toksisitas baik pada koklea maupun vestibular. Neomisin adalah jenis aminoglikosida yang paling toksik, penurunan toksisitas kemudian diikuti oleh gentamisin, tobramisin, amikasin dan netilmisin. Gentamisin dan streptomisin lebih berefek pada sistem vestibular (vestibulotoksik), sedangkan amikasin dan kanamisin lebih berefek pada koklea (kokleotoksik). Agen kokleotoksik (neomisin, kanamisin, amikasin, sisomisin) menyebabkan kerusakan sel rambut luar pada putaran basal koklea yang akan berlanjut ke apeks jika dosis ditambah dan jangka pengobatan diperpanjang. Gejala vestibular berupa pusing, ketidakseimbangan, mual, oscillopsia sebanding pada gentamisin dan tobramisin, kurang sering pada amikasin dan paling sering pada netilmisin.6,7,8,9 Gangguan fungsi ginjal bersifat reversibel, akan tetapi gangguan pendengaran dan sistem keseimbangan tubuh bersifat ireversibel/permanen. Kerusakan pada koklea dapat menimbulkan penurunan

pendengaran

permanen,

sedangkan

kerusakan

pada

organ

keseimbangan

menyebabkan pusing, ataksia, dan atau nistagmus. Secara umum, gejala aminoglikosida berupa gangguan pendengaran, gangguan keseimbangan, tinitus, dan rasa penuh pada telinga.8,10,12 b. Ototopikal Antibiotik Terdapat banyak obat tetes telinga yang mengandung antibiotik golongan aminoglikosida seperti Neomisin dan Polimiksin B. Terjadinya ketulian oleh karena obat tersebut dapat menembus membran tingkap bundar (round window membrane). Walaupun membran tersebut pada manusia lebih tebal 3X dibandingkan pada baboon (semacam monyet besar) (± > 65 mikron), tetapi dari hasil penelitian masih dapat ditembus obat-obatan tersebut. Pemakaiannya sering kali tidak dapat dihindari karena obat tetes telinga aminoglikosida menjadi tatalaksana infeksi telinga luar.4,8

Tabel 2. Ototoksisitas Ototopikal Antibiotik 6

c. Makrolid (Eritromisin) Gejala berupa gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural nada tinggi bilateral, tinitus meniup (blowing tinnitus dimana pasien merasakan adanya suara tiupan saat bernapas) dan kadang-kadang disertai vertigo. Gangguan pendengaran dapat membaik apabila obat dihentikan. Antibiotik lain seperti Vankomisin, Viomisin, Capreomisin, Minosiklin dapat mengakibatkan ototoksisitas bila diberikan pada pasien gangguan ginjal.4,8 d. Agen Antineoplastik (Cisplatin, Carboplatin) Cisplatin merupakan agen kemoterapi yang umum digunakan pada kanker kepala dan leher, yang juga diketahui dapat menyebabkan tuli sensorineural bilateral yang irreversibel apabila sudah berat. Yang disebabkan oleh karena terjadinya pengurangan glutation yang diproduksi untuk radikal bebas yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan sel rambut. Pada hewan penelitian menunjukkan berkurangnya ketajaman pendengaran sebagian diperantarai oleh karena radikal bebas dan inhibisi antioksidan. Adanya superoksie radikal menyebabkan perubahan stria vaskularis, organ Corti dan sel ganglion spiral. Gejala lain yang mungkin didapatkan yakni tinitus yang samar-samar, otalgia dan tuli ringan dimana dengan penghentian obat akan memulihkan pendengaran.6,7,8 e. Loop Diuretik (Asam Etikrinat, Furosemide, Bumetanide) Loop diuretik umumnya digunakan pada pengobatan CHF, gagal ginjal, sirosis dan hipertensi yang menimbulkan kerusakan seluler pada beberapa struktur, yaitu stria vaskularis, limbus spiralis, serta sel rambut koklea dan vestibular. 7,8

Tuli sensorineural reversibel dan permanen telah dilaporkan pada pasien yang mendapat loop diuretik. Ototoksitas furosemid telah diidentifikasi pada mereka yang sudah mendapat furosemid intravena atau bolus dosis besar dengan periode singkat atau infus dengan kecepatan tinggi (>5 mg/menit). Bumetanide lebih kuat dan ototoksik lebih kurang apabila dibandingkan dengan furosemide dan menjadi alternatif pada pasien dengan gejala ototoksik yang dicurigai disebabkan oleh furosemide.7 f. Salisilat, OAINS dan Kuinin Salisilat adalah salah satu obat yang paling banyak digunakan. Acetylsalicylic Acid (ASA), umumnya dikenal sebagai aspirin, secara luas digunakan sebagai anti-inflamasi, antipiretik dan analgesik. ASA menghambat agregasi trombosit dan digunakan pada pengobatan pasien dengan riwayat TIA, stroke, unstable angina dan infark miokard. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) merupakan sekelompok senyawa heterogen yang memiliki aksi terapeutik dan efek samping yang mirip dengan salisilat, begitupun dengan kuinin. 7 Mekanisme toksisitas salisilat kemungkinan oleh karena berkurangnya aliran darah ke koklea. Hawkins mencatat bahwa konsumsi ASA akut menghasilkan vasokonstriksi kapilerkapiler pada ligamen spiral dan stria vaskular. Akumulasi obat lokal dan vasokonstriksi mikrovaskular pendengaran mungkin dimediasi oleh aktivitas antiprostaglandin pada agen ini.7 Salah satu efek samping dari salisilat, OAINS dan kina adalah tinitus dan tuli sensorineural yang bersifat reversibel. Pada toksisitas salisilat, frekuensi tinitus biasanya sekitar 7 sampai 9 kHz dimana secara klinis, tinitus menjadi tanda awal dari toksisitas. Tuli sensorineural yang diinduksi oleh salisilat biasanya ringan sampai sedang dan simetris bilateral, mungkin datar atau hanya pada frekuensi yang lebih tinggi sekitar 20-40 dB. Manifestasi toksisitas salisilat lainnya berupa mual, muntah, sakit kepala, pusing, denyut nadi cepat, dan peningkatan respirasi. Pemulihan biasanya terjadi 24-72 jam setelah penghentian obat.7,8 Kina dan klorokuin adalah obat anti malaria yang biasa digunakan. Efek ototoksisitasnya berupa gangguan pendengaran berupa tuli sensorineural dan tinitus. Tetapi bila pengobatan dihentikan, pendengaran akan pulih dan tinitusnya hilang. Perlu dicatat bahwa penggunaan kina dan klorokuin pada ibu hamil dapat melewati sawar plasenta sehingga dapat terjadi tuli

kongenital atau hipoplasia koklea.4,7,8 Selain itu, kina dihubungkan dengan triplet toksisitas yang terkait dengan dosis ketika diberikan pada dosis terapeutik penuh atau berlebihan. Yakni cinchonism, hipoglikemia dan hipotensi. Bentuk ringan dari cinchonism yang sangat sering terjadi terdiri dari tuli nada tinggi, gangguan visual dan sakit kepala. Mekanisme pasti sakit kepala dan gangguan penglihatan masih menjadi tanda tanya sejak tahun 1880-an.14 Tabel 3. Agen-agen ototoksik5 Antibiotik -Aminoglikosida : Streptomisin, Dihidrostreptomisin, Neomisin, Gentamisin, Tobaramisin, Amikasin -Antibiotik lain : Vankomisin, Eritromisin, Kloramfenikol, ristosetin, Polimiksin B, Viomisin, Farmasetin, Kolistin Diuretik : Furosemid, Asam etakrinat, Bumetanid, Asetazolamid, Manitol Analgetik dan Antipiretik: Salisilat, Kinin, Klorokuin Antineoplastik : Bleomisin, nitrogen mustard, eis-platinum Lain-lain : Fenobarbital, Heksadin, Mandelamin, Praktolol Zat Kimia : Karbon monoksida, nikotin, minak chenopodium, zat warna anilin, alcohol, kalium bromate Logam berat : Air aksa, emas, timbal, arsen

5. MANIFESTASI KLINIS Berbagai obat dan bahan kimia lainnya telah terbukti memiliki efek toksik pada telinga bagian dalam, yang mempengaruhi fungsi pendengaran dan atau vestibular. Yang menonjol adalah antibiotik aminoglikosida, agen antineoplastik, diuretik dan antiseptik.15 Gejala

Vestibulotoxicity

berkisar

dari

ketidakseimbangan

ringan

dengan

total

ketidakmampuan. Gejala kehilangan fungsi vestibular atau keseimbangan bergantung pada tingkat kerusakan, apakah kerusakan terjadi dengan cepat atau lambat, apakah kelainan terdapat pada satu telinga atau keduanya, dan berapa lama kerusakan terjadi. Kehilangan satu sisi yang lambat mungkin tidak menimbulkan gejala apapun, sementara kehilangan cepat bisa terjadi vertigo, muntah, dan nistagmus. Sebagian besar, gejalanya perlahan menghilang, memungkinkan seseorang kembali ke aktivitas normal. 15 Gangguan kedua telinga pada vestibulotoxicity biasanya menyebabkan sakit kepala, telinga rasa penuh, ketidakseimbangan sampai-sampai tidak dapat berjalan, dan penglihatan yang memantul dan kabur (oscillopsia) daripada vertigo, muntah, dan nistagmus yang intens. Hal ini juga cenderung menyebabkan ketidakmampuan untuk mentolerir gerakan kepala, gaya berjalan yang lebar (berjalan dengan kaki lebih jauh dari biasanya), sulit berjalan dalam kegelapan, tidak stabil, dan kelelahan yang signifikan. Jika kerusakan parah, gejala seperti osilator dan masalah berjalan dalam gelap atau dengan mata tertutup tidak akan berkurang seiring berjalannya waktu.15 Tinitus, gangguan pendengaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Gejala lainnya juga terdapat gangguan keseimbangan badan, sulit memfiksasikan pandangan, terutama setelah perubahan posisi.4 Secara umum, ototoksik menyebabkan gejala toksisitas koklea dan vestibular. Gejala toksisitas koklea berupa gangguan pendengaran yang sering kali disertai dengan tinitus, yang mungkin menjadi gejala pertama yang muncul. Tinitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun dan seringkali mendahului serta lebih mengganggu jika dibandingkan dengan tulinya sendiri dimana pada ototoksisitas, tinitus cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. Pada kerusakan yang

menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak pernah hilang. 4,9 Sedangkan gejala vestibular biasanya mencakup oscillopsia dan ketidakseimbangan badan. karena input vestibular simetris, maka tidak terdapat imbalans labirin dan mengakibatkan tidak adanya nistagmus. Oscillopsia adalah pergerakan kedua mata yang diinduksi oleh pergerakan kepala yang cepat. Disebabkan oleh karena ketidakstabilan fiksasi visual, yang merupakan tanda klasik lesi vestibular bilateral. Dengan hilangnya refleks vestibulo-okular, adaptasi normal pergerakan cepat pada sistem vestibular hilang dan pandangan distabilkan hanya dengan sistem optik yang lebih lambat. Pasien mengeluhkan ketidakmampuan membaca tanda-tanda atau mengenali orang lain pada saat sedang berjalan. Oscillopsia dapat dideteksi dengan tes Halmagy.9 Efek ototoksik umumnya simetris, kecuali efek toksik lokal yang diproduksi oleh substansi pada cavum timpani. Sebagai contoh, penggunaan lokal obat ototoksik seperti yang dikandung pada obat tetes telinga dan efek dari toksin endogen lokal yang terbentuk pada otitis media kronik.9 Diuretik kuat dapat menimbulkan tinnitus yang kuat dalam beberapa menit setelah menyuntikkan intravena, tetapi pada kasus-kasus yang tidak begitu berat dapat terjadi tuli sensorineural secara perlahan-lahan dan progresif dengan hanya disertai tinnitus yang ringan dan biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Tinnitus dan kurang pendengaran yang reversibel dapat terjadi pada penggunaan salisilat dan kina serta tuli akut yang disebabkan diuretik kuat dapat pulih dengan menghentikan pengobatan dengan segera.4 Gejala dini gangguan pendengaran pada ototoksisitas aminoglikosida sulit dikenali oleh pasien karena hanya bermanifestasi pada frekuensi tinggi. Pada keadaan lanjut akan mempengaruhi frekuensi percakapan dan ketuliannya akan semakin berat jika penggunaan obat ini diteruskan. Pada audiogram ditemukan ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi.4 6. DIAGNOSIS Berdasarkan anamnesis tinnitus, gangguan pendegaran dan vertigo merupakan gejala utama ototoksisitas. Tinnitus biasanya menyertai segala jenis tuli sensorineural oleh sebab apapun, dan sering kali mendahului serta lebih mengganggu dari pada tulinya sendiri. Tinnitus yang berhubungan dengan

ototoksisitas cirinya kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz. Kurang pendengaran akibat pemakaian obat ototoksik bersifat tuli sensorineural. Antibiotika yang bersifat ototoksik mempunyai ciri penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram, sedangkan diuretik yang dapat menimbulkan ototoksisitas biasanya menghasilkan audiogram yang mendatar atau sedikit menurun. Terdapat juga gangguan keseimbangan badan dan sulit memfiksasi pandangan, terutama setelah perubahan posisi.4 Diagnosis didasarkan pada riwayat pasien, gejala, dan hasil tes. Tidak ada tes spesifik untuk ototoksik; Hal ini membuat riwayat positif untuk paparan ototoxin penting untuk diagnosis. Pemeriksaan fisik membrane timpani intak terdapat pantulan cahaya. Pada pemeriksaan audiologi,tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Swaback memendek. Pada pemeriksaan Pure Tone audiometri cirinya kuat dan bernada tinggi, sensorineural hearing loss berkisar antara 4 KHz sampai 6 KHz serta biasa bilateral. 9 Gambar 9. Grafik Pure Tone Audiometry menunjukkan (kanan) normal dan (kiri) Sensorineural Hearing Loss. 1

Pada gejala vestibular biasanya mencakup oscillopsia. Oscillopsia dapat dideteksi dengan tes Halmagyi. Pasien dan pemeriksa duduk berlawanan satu sama lain, terpisah sekitar 1 meter. Pemeriksa menggerakkan kepala pasien maju mundur dengan cepat sekitar 30º sementara pasien tetap memfiksasi pandangan pada hidung pemeriksa. Jika kontrol vestibular pada pergerakan mata lemah, secara jelas akan terlihat pergerakan perbaikan saccade-like yang disebabkan oleh karena kesulitan pasien dalam mempertahankan fiksasi.9

Gambar 10. Skrining oscillopsia, ketidakmampuan untuk memfiksasi pandangan pada objek yang menetap selama pergerakan kepala secara aktif adalah tanda hipofungsi vestibular bilateral.9

7. DIAGNOSIS BANDING a. Meniere’s Disease Penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfe pada koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan hilang timbul diduga disebabkan oleh: (1) meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri. (2) berkurang tekanan osmotic dalam kapier. (3) meningkatkan tekanan osmotik runag ektra kapiler. (4) jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat, sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfe. Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal, ditemukan pelebaran dan perubahan morfologi pada membrane Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibule, terutama di daerah apeks koklea helikotrema. Sakulus juga mengalam pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awlanya penekanan skala media dimulai dari daerah apeks koklea, kemudian dapat meluas mengenai baian tengah dan basal koklea. Hal ini dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada rendah pada penyakit Meniere.4 Penyebab pasti penyakit Meniere belum diketahui. Penambahan volume endolimfe diperkirakan oleh adanya gangguan biokimia cairan endolimfe dan gangguan klinik pada membrane labirin. Terdapat Trias atau sindrom Meniere yaitu vertigo, tinnitus dan tuli sensorineural terutama nada rendah. Vertigo disertai muntah, untuk berdiri merasa berputar. Gejala lain yang menyertai adalah tinnitus, perasaan penuh di dalam telinga.Diagnosis

mengikuti kriteria, yaitu: (1) vertigo hilang timbul. (2) fluktuasi gangguan pendengaran berupa tuli saraf. (3) menyingkirkan kemungkinan penyebab dari sentral, misalnya tumor N. VIII. Bila gejala-gejala khas penyakit Meniere pada anamnesis ditemukan, maka diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakkan. Pemeriksaan fisik diperlukan hanya untuk menguatkan diagnosis penyakit ini. Bila dalam anamnesis terdapat riwayat fluktuasi pendengaran, sedangkan pada pemeriksaan ternyata terdapat tuli snesorineural. Maka kita sudah dapat mendiagosis penyakit Meniere, sebab tidak ada penyakit lain yang bisa menyebabkan adanya perbaikan dalam tuli sensorineural, kecuali pada penyakit Meniere.4

b. Gangguan Pendengaran Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss) Gangguan pendegaran akibat bising adalah gangguan pendnegaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural koklea dan umumnya tejadi pada kedua telinga. kurang pendengaran disertai tinnitus (berdengung di telinga) atau tidak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan, pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk pendengaran seperti audiometri. Anamnesis pernah bekerja atau sedang bekerja di lingkungan bising dalam janka waktu yang cukup lama biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopi tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan audiologi,tes penala didapatkan hasil Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan Swaback memendek. Pada pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada frekuensi antara 3000-6000 Hz pada frekuensi 4000 Hz terdapat takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini.4

c. Tuli Saraf Pada Geriatri (Presbikusis) Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan. Presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000 Hz atau lebih. Umumnya diketakui bahwa presbikusis merupakan akibat dari proses degenerasi.proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea dan N.VIII. pada koklea peruahan yang mencolok ialah atrofi dan degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ corti. Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara perlahan-

lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga, telinga berdengung (tinnitus nada tinggi). Pasien dapat mendengar suara percakapan, tetapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan cepat di tempat dengan latar belakang yang bising (cocktail party deafness). Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini disebabkan oleh factor kelelahan saraf (recruitment). 4 Dengan pemeriksaan otoskopik, tampak membran timpani suram, mobilitasnya berkurang. Pada tes penala didapatkan tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Pada tahap awal terdapat penurunan yang tajam (sloping) setelah frekuensi 2000 Hz. Gambaran ini khas pada prebikusis jenis sensorik dan neural. 4

8. PENATALAKSANAAN Meskipun ada beberapa laporan tentang pemulihan pendengaran secara spontan, saat ini belum ada pengobatan efektif untuk ototoksik. Bila pada waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam dapat diketahui secara audiometrik, maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut harus segera dihentikan. Berat ringan ketulian yang terjadi tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat tersendiri. Ozothime (suatu preparasi encer produk oksidatif dari minyak turpentine) dengan streptomisin telah ditemukan untuk mengurangi toksisitas, namun juga mengurangi aktivitas antimikrobanya. Beberapa penulis telah merekomendasikan dosis obat ototoksik maksimum tertentu dan yang lainnya telah menyarankan pemantauan rutin kadar serum mereka. Obat-obatan toksik harus dihindari kecuali jika penting untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan pasien di masa depan. Audiogram serial harus dilakukan pada semua pasien yang menerima obat ini, perlu ditarik, jika mungkin, segera setelah ada gejala atau tanda adanya ototoksik. Audiogram serial harus dilakukan pada semua pasien yang menerima obat ini, perlu ditarik, jika mungkin, segera setelah ada gejala atau tanda adanya ototoksik. Pasien dengan gejala vestibular dapat dibantu oleh sedative labirin dan mereka yang memiliki masalah pendengaran mungkin memerlukan alat bantu dengar. Apabila ketulian sudah terjadi dapat dicoba melakukan rehabilitasi antara lain dengan alat Bantu dengar (ABD),

psikoterapi, auditory training, termasuk cara menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar, belajar komunikasi total dengan belajar membaca bahasa isyarat. Pada tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea.1,4 Di luar obat-obatan yang umum digunakan yang dapat menyebabkan ototoksik, klinisi dapat mempertimbangkan beberapa faktor saat merancang rejimen pengobatan, namun tidak terbatas pada penggunaan agen ototoksik, dosis dan frekuensi fungsi administrasi dan ginjal secara bersamaan. Tidak mengherankan, pemberian agen ototoksik, penggunaan dosis tinggi, atau pemberian sering memerlukan pemeriksaan ketat melalui pemantauan nilai laboratorium atau status klinis pasien. Hal ini sangat penting dalam kasus dekomposisi ginjal, karena hal ini dapat meningkatkan risiko ototoksisitas. Antioksidan, termasuk salisilat, telah terbukti memiliki efek otoprotektif saat digunakan dengan aminoglikosida. Namun, pendekatan pencegahan toksisitas ini harus digunakan dengan hati-hati karena dapat dikaitkan dengan efek samping tambahan dan potensi interaksi obat. Ototoksisitas adalah efek buruk yang merugikan, namun dampaknya dapat diminimalkan dengan mengikuti standar kehati-hatian. Penilaian riwayat medis sebelumnya termasuk gangguan pendengaran, pusing atau tinnitus, pendengaran awal dan peninjauan rejimen pengobatan untuk agen ototoksik membantu mengurangi kejadian secara keseluruhan. Selain itu, penggunaan agen ototoksik dengan dosis efektif terendah untuk durasi terpendek perlu ditekankan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencegah atau meningkatkan ototoksik, namun pemanfaatan teknik ini dapat membantu meminimalkan dampaknya dalam praktik.4

9. PENCEGAHAN Berhubung tidak ada pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan penggunaan obatobat ototoksik, menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal baik sebelum, selama dan setelah terapi, hindari lingkungan bising selama 6 bulan. Pada pasien yang menunjukkan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi audiologik dan menghentikan pengobatan.4 Jika penggunaan obat ototoksik yang berpotensi sudah direncanakan, fungsi koklea pasien harus diuji terlebih dahulu jika memungkinkan. Tes yang berguna adalah pure tone audiometri,

audiometri nada tinggi, dan emisi otoakustik. Resiko ototoksik secara signifikan dapat dikurangi dengan memantau paparan ototoksik melalui audiometri serial. Monitoring audiologi pada suatu ototoksisitas mempunyai dua tujuan utama, yaitu deteksi dini gangguan dengar serta intervensi audiologi apabila sudah timbul gangguan pendengaran. Deteksi dini pada gangguan pendengaran akibat obat ototoksik memberikan kesempatan para dokter untuk mengevaluasi pemberian terapi dalam meminimalkan atau mencegah gangguan pendengaran yang membutuhkan rehabilitasi. 9,11,13

Telinga dalam yang memiliki kerusakan yang sudah ada umumnya lebih rentan terhadap efek ototoksik. Kriteria seleksi yang sangat ketat harus diterapkan untuk penggunaan obat ototoksik pada pasien ini. Selama pengobatan dengan obat ototoksik, perhatian khusus harus diberikan pada dosis, fungsi ginjal, dan hidrasi yang adekuat. Pengukuran kadar serum secara teratur juga sangat membantu. Untuk profilaksis kedua (deteksi awal terhadap penyakit), fungsi telinga dalam harus dites dengan audiometri nada tinggi, emisi otoakustik, atau pure tone audiometri. Paling lambat, tes ini harus dilakukan saat pasien pertama kali mengeluhkan tinnitus, masalah vestibular, atau gangguan pendengaran subyektif.9 10. PROGNOSIS Prognosis sangat tergantung kepada jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan, kerentanan pasien, adanya faktor resiko seperti gagal ginjal akut ataupun kronis dan penggunaan obat ototoksik yang lain secara bersamaan akan tetapi pada umumnya prognosis tidak begitu baik dan malah makin memburuk.4

BAB III PENUTUP Ototoksisitas merupakan kecenderungan agen terapeutik tertentu dan zat kimia lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan telinga bagian dalam dan saraf vestibulokoklear. Obat-obat ototoksik yakni aminoglikosida, ototopikal antibiotik, makrolid, antineoplastik, loop diuretik, salisilat, OAINS, dan kina dapat memberikan gejala toksisitas koklea dan vestibular sesuai dengan mekanisme kerja masing-masing obat. Gejala toksisitas koklea berupa gangguan pendengaran yang sering kali disertai dengan tinitus, yang mungkin muncul pertama kali. Sedangkan gejala vestibular mencakup oscillopsia dan ketidakseimbangan badan. Gejala lainnya berupa mual, muntah, sakit kepala, pusing, denyut nadi cepat, peningkatan respirasi hingga gangguan visual juga dapat ditemukan. Beberapa diantaranya akan sembuh dengan penghentian obat segera. Sebagai dokter umum, diharapkan kita mampu mencegah efek ototoksik dengan mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, monitoring ketat level obat dalam serum dan fungsi ginjal baik sebelum, selama dan setelah terapi, hindari lingkungan bising selama 6 bulan.

REFERENSI

1. Haybach, P.J. 2011. Ototoxicity. Diakses dari http//: www.vestibular.org/Ototoxicity. Tanggal akses 13 September 2017. 2. Bisht, Manisha. 2011. Ototoxicity: The Hidden Menace. Association of Otolaryngologists of India. 3. Ryan and Sachin. Drug Induced Ototoxicity. Clinical & Experimental Pharmacology, 3USA: 2014, 4:5. 4. Soepardi, EA. 2011. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL, Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 5. Adam, G. L, Boies, L. R. 2000. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta EGC. (1,4,46,49,50,51,52) 6. Bailey, B. J. 2006. Head & Neck Surgery – Otolaryngology. Ed.IV. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins 7. Roland,

P.

S.

2004.

Ototoxicity.

London:

BC

Decker.

(41,42,44,45,46,48,49,55,59,95,96,97) 8. Chris, Tanto., et al. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. 9. Probst R., et al. 2006. Basic Otorhinolaryngology . New York: Georg Thieme Verlag. (263) 10. Bruce W. J., Bruce W. M. 2007. ENT Secret. Edisi ke-3. Elsevier Inc. 11. Lawlani, A.K., et al. Current Diagnosis and Treatment: Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-2. New York: Mc Graw Hill. 12. Reviono, Widayanto, Harsini, Aphridasari J, Sutanto YS. Streptomisin dan insidens penurunan pendengaran pada pasien Multidrug Resistant Tuberculosis di Rumah Sakit Dr. Moewardi. Surakarta: J Respir Indo. 2013; 33(3); 167-172. 13. Rakhmawati, L., Agustian, R. A., dan Wijana. Peluang Kejadian Ototoksisitas pada Penggunaan Kanamisin dalam Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat Ganda Selama Satu Bulan. Bandung: MKB. 2015;47(4)224-230. 14. Reddenna, L., et al. Quinine Induced Headache and Visual Disturbances: A Case Report. India: Sch J Med Case Rep 2014;2(1):32-22.

15. Strain, George. Hearing disorders in cats Classification, pathology and diagnosi. USA : Journal of Feline Medicine and Surgery 2017 19, 276–287

Related Documents

Referat
May 2020 53
Referat Skizoid.docx
April 2020 17
Referat Carotid.docx
November 2019 20
Referat Faringitis.pptx
December 2019 28
Referat Cont.docx
December 2019 26
Referat Hnp.docx
June 2020 17

More Documents from "Nalda Nalda"

15.pdf
June 2020 4
Gna.doc
June 2020 10
Referat Tht.docx
June 2020 7
Ileus Obstruksi.docx
June 2020 25
Lp Hemiperesis.docx
November 2019 58