Referat Tht Scrib.docx

  • Uploaded by: evanfaishal
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Tht Scrib.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,572
  • Pages: 35
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Hidung sebagai salah satu organ syok yang menonjol pada penyakit alergi,

terganggu oleh manifestasi alergi primer, rhinitis kronik dan sinusitis yang menunggangi perubahan alergi, komplikasi pada obstruksi anatomis yang relatif ringan karena edema, dan akhirnya, efek lanjut gangguan alergi kronik, seperti hipertrofi mukosa dan poliposis. Aliran udara hidung dapat terganggu oleh kongesti hidung dan rinore yang terjadi pada rhinitis alergi, baik langsung maupun tidak langsung. Bila berhadapan dengan penyakit hidung, klinisi perlu memiliki indeks kecurigaan yang tinggi, serta kemampuan mendiagnosis dan mengobati gangguan alergi.1 Alergi hidung dapat bersifat musiman, seperti demam jerami, atau menetap jika disebabkan oleh debu rumah, bulu binatang, kain yang terlalu sering dipakai, atau ingestan dalam diet sehari-hari. Hampir semua materi dalam udara atau yang dapat ditelan terbukti memiliki sifat alergenik. Seringkali seorang pasien alergi terhadap sejumlah agen dan daripada hanya satu inhalan saja.1 Rhinitis alergika telah terbukti berkaitan dengan insiden asma dan ekzema atopik. Suatu penelitian pada sekelompok mahasiswa dengan rhinitis alergika memperlihatkan bahwa 17 hingga 19 persen dari mereka juga menderita asma, namun 56 sampai 74 persen pasien asmatik ternyata menderita rhinitis alergika. Tampaknya ada predisposisi herediter terhadap kondisi-kondisi ini.1 Alergi adalah respon jaringan yang berubah terhadap antigen spesifik atau alergen. Hipersensitivitas pejamu bergantung pada dosis antigen, frekuensi paparan, polesan genetik dari individu tersebut, dan kepekaan relatif tubuh pejamu.1 Rhinitis alergika terjadi bilamana suatu antigen terhadap seorang pasien telah mengalami sensitisasi, merangsang satu dari enam reseptor neurokimia hidung, yaitu : reseptor histamine H1, adrenoreseptor-alfa, adrenoreseptor-beta2, kolinoreseptor, reseptor histamine H2, dan reseptor iritan. Dari semua ini, yang terpenting adalah reseptor histamine H1, dimana bila terserang oleh histamine akan

meningkatkan tahanan jalan nafas hidung, menyebabkan bersin-bersin, gatal dan rinore.1

1.2. Tujuan Penulisan Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter muda mengenai “Pengguaan Kortikosteroid pada Rhinitis Alergi”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti ujian stase Telinga Hidung Tenggorokan.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung 2.1.1. Anatomi Hidung Luar Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.2

Gambar 1 Anatomi Hidung Luar

3

2.1.2. Anatomi Hidung Dalam Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.2

Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam

2.1.2.1. Septum Nasi Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral), premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.2

Gambar 3 Anatomi Septum Nasi

4

2.1.2.2. Kavum Nasi Kavum nasi terdiri dari : 2 

Dasar hidung Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus

horizontal os palatum. 

Atap hidung Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,

prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. 

Dinding Lateral Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila,

os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial. 

Konka Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara

konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yang teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada maksila bagian superior dan palatum. 2.1.2.3. Meatus superior Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal, tempat bermuaranya sinus sfenoid.2

2.1.2.4. Meatus media

5

Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan selsel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadangkadang duktus nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.2 2.1.2.5. Meatus Inferior Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.2 2.1.2.6. Nares Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus. Di bahgian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla. Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang

6

berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.2 2.1.2.7. Kompleks ostiomeatal (KOM) Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal. Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka media.2

Gambar 4 Kompleks Ostiomeatal

2.1.3. Vaskularisasi Rongga Hidung Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri ethmoidalis anterior dan posterior sebagai cabang dari arteri oftalmika. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri maxilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Vena hidung memiliki

7

nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Plexus Kiesselbach merupakan anyaman pembuluh darah pada septum nasi bagian anterior.3 Pembuluh darah yang membentuknya adalah arteri nasalis septum anterior & posterior, arteri palatina mayor, dan arteri labialis superior. Pecahnya plexus Kiesselbach biasanya akan menyebabkan epistaksis anterior.3

Gambar 5 Vaskularisasi Rongga Hidung

2.1.4. Persarafan Rongga Hidung Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior & superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk melembabkan rongga hidung.3

2.2. Rhinitis Alergi 2.2.1. Definisi Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan 8

alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.5 2.2.2. Patofisiologi Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kotak dengan allergen sampai 1 jam setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.5 Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major Histocompability Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti Interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2.5

Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL 4, IL 5 dan IL 13. IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E (IgE). IgE di

9

sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamine. Selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL 3, IL 4, IL 5, IL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).5 Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada secret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang , perubahan cuaca dan kelembapan udara yang tinggi.5

2.2.3. Mekanisme Terjadinya Nasal Allergy Syndrome Pada Rhinitis Alergi Nasal Allergy Syndrome terdiri dari sneezing, itching, obstruksi nasi dan rhinorrhea. Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

10

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Gatal pada hidung dan bersin-bersin mewakili gejala karakteristik utama selain obstruksi hidung dan rhinorrhea pada rhinitis alergi. Mukosa hidung diinervasi oleh saraf sensoris, simpatik dan parasimpatik. Transmisi sinyal saraf sensoris menghasilkan sensasi gatal dan refleks motorik seperti bersin sedangkan refleks parasimpatis dan simpatis mengatur sistem kelenjar dan vaskular. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.5,6

2.2.4. Gambaran Histologik Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta ditemukan infiltrasi sel sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.5 Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus menerus/ persisten sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.5 Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas : 5 11

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farinae, B. tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria).5 2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.(5) 3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.5 4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.5

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi.5 Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari : 5 1. Respons primer : Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respons sekunder.5 2. Respons sekunder : Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respons tertier.5 3. Respons tertier :

12

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.5

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberkulin (delayed hypersensitivity).5 Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu rhinitis alergi.5

2.2.5. Klasifikasi Rhinitis Alergi Dahulu rhinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu : 5 1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat ialah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).5 2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering ialah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen diluar rumah (outdoor). Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perennial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musimantetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.5

13

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi5: 1. Intermiten (kadang-kadang), yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.5 2. Persisten/ menetap, yaitu bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.5

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi5: 1. Ringan, yaitu bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.5 2. Sedang atau berat, yaitu bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas.5

2.2.6. DIAGNOSIS Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan: 1.Anamnesis Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja(5). Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin ini terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamine. Karena itu perlu ditanyakan adanya riwayat atopi pada pasien. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak-anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.5

14

2.Pemeriksaan Fisik Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue).5

3.Pemeriksaan Penunjang In vitro : Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rhinitis alergi juga menderita asma bronchial atau

15

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Imuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan

pelengkap.

Ditemukannya

eosinofil

dalam

jumlah

banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri. 5

In Vivo : Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat tinggi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.5 Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). 5

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 5 hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.5

2.2.7. Penatalaksanaan 1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.5 2. Medikamentosa

16

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara per oral.5 Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non sedative). Anti histamine generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral denagn cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.5 Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa.5 Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon). Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran

17

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respons fase cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pengelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.5 Preparat antikolinergik topical adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.5 Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 5 3. Operatif Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirka bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.5 4. Imunoterapi Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlagsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.5

2.2.8. Komplikasi Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah5 : 1. Polip hidung5 Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.5 2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.5 3. Sinusitis paranasal.5

18

2.3. Kortikosteroid 2.3.1. Definisi Kortikosteroid adalah derivat hormon steroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memiliki peranan penting seperti mengontrol respon inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Glukokortikoid memiliki efek penting pada metabolism karbohidrat dan fungsi imun, sedangkan mineralokortikoid memiliki efek kuat terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit.7,8 Penggunaan kortikosteroid di klinik mendasar pada efek metabolisme dan efek katabolisme, antiinflamasi, imunosupresi dan juga sebagai antiproliferasi. Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan mineral pada sel yang berperan pada fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik dan tulang, sistem saraf dan organ lainnya. Pertimbangan pemberian kortikosteroid tentu mendasar pada efek positif dan efek negatif. Efek negatif bergantung pada dosis serta lamanya penggunaan yang bisa berefek pada atrofi dari kelenjar korteks adrenal sampai pada glaukoma, gangguan keseimbangan natrium, kalium, kalsium serta nitrogen demikian juga sistem imunitas dan hormon-hormon lainnya seperi hormon pertumbuhan.9 Kortikosteroid banyak digunakan untuk tatalaksana penyakit inflamasi seperti reumathoid arthritis (RA) dan systemic lupus erythematosus (SLE). Kortikosteroid juga diresepkan dalam berbagai pengobatan seperti replacement therapy pada penderita insufisiensi adrenal, supresor sekresi androgen pada congenital adrenal hyperplasia (CAH), dan terapi kelainan-kelainan non endokrin seperti penyakit ginjal, infeksi, reaksi transplantasi, alergi, dan lain-lain.4 Kortikosteroid juga banyak diresepkan untuk penyakit kulit, baik itu penggunaan topikal maupun sistemik.11 Penggunaan yang luas dan manfaat yang banyak, membuat kortikosteroid menjadi obat yang digemari. Selain memiliki manfaat yang banyak, kortikoseteroid memiliki banyak efek samping, yaitu sekitar sembilan puluh lima efek samping pengobatan. Kortikosteroid sering disebut life saving drug karena

dalam

penggunaanya sebagai antiinflamasi, kortikosteroid berfungsi sebagai terapi

19

paliatif, yaitu menghambat gejala saja sedangkan penyebab penyakit masih tetap ada. Hal ini akhirnya menyebabkan kortikosteroid banyak digunakan tidak sesuai indikasi, dosis, dan lama pemberian.10 Penggunaan yang terus menerus menyebabkan efek samping yang serius dan bersifat merugikan. Efek samping yang ditimbulkan oleh kortikosteroid akan menjadi semakin buruk apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan pakainya, baik itu dosis maupun lama pemakaian.7 Maka penting dipertimbangkan indikasi dan efek samping pengunaan kortikosteroid sebelum memulai terapi.

2.3.2. Mekanisme Kerja Kortikosteroid Secara umum mekanisme kerja kortikosteroid mendasar pada ikatan dengan reseptor protein spesifik corticosteroid binding globulin (CBG), suatu α-globulin yang disintesa di liver. Sekitar 95% kortikosteroid yang yang beredar disirkulasi akan berikatan dengan CBG dan sisanya sekitar 5% beredar bebas dan atau terikat longgar dengan albumin.9 Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif. Hanya dijaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini mengalami perubahan konfirmasi, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik steroid.12 Diketahui bahwa kortikosteroid mempengaruhi metabolisme baik di perifer maupun di liver. Di perifer kortikosteroid memobilisasi asam amino di sejumlah jaringan seperti limfa, otot dan tulang. Akibatnya terjadi atrofi jaringan limfa, menurunnya massa otot, osteoporosis. Di liver ditemukan induksi sintese de-novo dari sejumlah enzim yang berkaitan dengan glukoneogenesis dan keseimbangan asam amino yang nantinya berefek nyata dalam hal antiinflamasi selain efek metabolik dan imunogenik.6

2.3.3. Efek Kortikosteroid pada Fungsi Tubuh

20



Metabolisme Karbohidrat dan Protein Kortikosteroid berperan dalam metabolisme karbohidrat dan protein dimana

berfungsi untuk mempertahankan jaringan tubuh dari kekurangan zat tersebut. Hormon ini menstimulasi liver untuk membentuk glukosa dari asam amino dan gliserol dan untuk menyimpan gula dalam bentuk glikogen liver.12 Di perifer, glukokortikoid berefek mengurangi pemakaian glukosa, meningkatkan katabolisme protein dan sintesis glutamin, dan mengaktifkan lipolisis. Hasil akhirnya akan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan merangsang pelepasan insulin tambahan.7 

Metabolisme Lemak Peningkatan kadar insulin merangsang lipogenesis dan sedikit menghambat

lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan deposit lemak, peningkatan penglepasan asam lemak dan gliserol. Daerah ekstremitas tidak terlalu sensitif terhadap insulin dan lebih sensitif terhadap reaksi lipolisis sehingga akan terjadi penurunan cadangan lemak pada ekstremitas dan akan terjadi peningkatan cadangan lemak pada belakang leher (bufallo hump), wajah (moon face), dan area supraklavikular.7 

Elektrolit dan Keseimbangan Cairan Mineralkortikoid bekerja di tubulus distal dan duktus kolektivus di ginjal

untuk meningkatkan reasobsi Na+ dari cairan tubular dan meningkatkan sekresi K+ dan H+ ke urin. Dampak kelebihan pemakaian mineralkortikoid adalah peningkatan volume ekstracelular, hipokalemia, dan alkalosis.12 Glukokortikoid memiliki efek berbeda dengan mineralkortikoid. Efek penggunaan glukokortikoid adalah meningkatkan diuresis air, laju filtrasi ginjal, dan aliran plasma ginjal. Glukokortikoid dalam metabolisme Ca2+ berefek untuk menurunkan penyerapan Ca2+ di usus dan meningkatkan ekskresi Ca2+ di ginjal. Hal ini menyebabkan tubuh kekurangan kalsium terutama berdampak pada penurunan kepadatan tulang.13 

Kardiovaskular Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara langsung

maupun tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah terhadap keseimbangan air dan elektrolit; misalnya pada hiperkortisisme, terjadi pengurangan volume yang

21

diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol, dan miokard. Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil berkurang, fungsi jantung menurun dan curah jantung menurun.12 

Otot dan Tulang Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi dengan baik,

dibutuhkan kortikosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.12 Pada pemakaian mineralkortikoid berlebih akan terjadi kelemahan otot yang disebabkan oleh hipokalemia. Sementara pada pemakaian glukokortikoid berlebih berakibat wasting otot rangka yaitu pengurangan massa otot. Mekanisme miopati pada

pemakaian

glukokortikoid,

disebabkan

oleh

efek

katabolik

dan

antianaboliknya pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas fosforilase dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan fungsi mitokondria.12 

Sistem Saraf Pusat Kortikosteroid secara tidak langsung mempengaruhi sistem saraf pusat

melalui efeknya terhadap tekanan darah, kandungan glukosa darah, dan kontrol terhadap elektrolit. Secara langsung, kortikosteroid dapat mempengaruhi mood, perilaku, dan kepekaan otak.7 Pasien penyakit addison dapat menunjukan gejala apatis, depresi dan cepat tersinggung bahkan psikosis. Gejala tersebut dapat diatasi dengan kortisol. Penggunaan glukokortikol untuk waktu yang lama dapat menimbulkan serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati, yang lain memperhatikan keadaan euforia, insomnia, kegelisahan dan peningkatan aktivitas motorik, kortikol juga dapat menyebabkan depresi.12 Pada hiperkortisme umumnya terjadi peningkatan kepekaan jaringan saraf, nampaknya perubahn tersebut berhubungan dengan perubahan kadar elektrolit diotak. Sebaliknya pemberian kortisol dapat meningkatkan kepekaan otak tanpa

22

mempengaruhi kadar Na+ dan K+ otak. Pada insufisiensi adrenal dapat terjadi penurunan ambang rangsang untuk persepsi rasa, bau dan bunyi. Pada hiperkortisisme terjadi keadaan sebaliknya. Perubahan ambang rangsang ini dapat diatasi dengan kortisol. Glukokortikoid dosis tinggi dalam waktu lama dapat menimbulkan gejala pseudotumor cerebri karena tekanan intrakranial yang meningkat.12 

Elemen Pembentuk Darah Glukokortikoid meningkatkan kadar hemoglobin dan sel darah merah,

kemungkinan dengan memperlambat eritrofagositosis. Glukokortikoid dapat meningkatkan jumlah leukosit polimorfonuklear karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut kedalam darah dari sumsum tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sebaliknya, jumlah sel limfosit, eosofil, monosit dan basofil dalam darah dapat menurun sesudah pemberian glukokortikoid. Hal ini terjadi 4 sampai 6 jam setelah pemberian dan bertahan sekitar 24 jam. Jumlah sel kemudian meningkat 24 sampai 72 jam setelah pemberian. Penurunan limfosit, monosit, dan eosinofil lebih banyak disebabkan karena redistribusi sel dari pada akibat destruksi sel.12,13 

Gastrointestinal Glukokortikoid meningkatkan produksi kelenjar ludah, sekresi asam lambung

dan aliran darah ke mukosa lambung, sekaligus menurunkan laju proliferasi sel lambung. Dari efek ini dapat menimbulkan peningkatan asam lambung disertai panas pada lambung. Keadaan ini akan memperparah ulkus di saluran gastrointestinal.13 

Anti-Inflamasi dan Imunosupressan Glukokortikoid dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi

akibat radiasi, infeksi zat kimia, mekanik atau alergen. Penggunaan klinik kortikosteroid sebagai anti inflamasi merupakan terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebab penyakit tetap ada. Pada penggunaan glukokortiroid kadang-kadang terjadi masking effect, dimana penyakit terlihat sudah sembuh dari luar tetapi masih ada di dalam tubuh.12 Efek anti inflamasi dan imunosupressan dari pemberian glukokortikoid disebabkan dari efek terhadap penurunan limfosit dan respon imunnya sehingga

23

reaksi imunitas tubuh berkurang. Glukokortikoid juga menurunkan pengeluaran pro-inflammatory cytokines yaitu COX-2 dan NOS2.7

Gambar 2 Tabel proses anti inflamasi dan imunosupressan dari glukokortikoid Sumber : Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2nd Ed.



Hormon Pertumbuhan Penggunaan glukokortikoid pada anak dalam waktu yang lama, dapat

menghambat pertumbuhan karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon pertumbuhan diperifer. Efek ini berhubungan dengan besarnya dosis yang dipakai. Pada beberapa jaringan, terutama di otot dan tulang, glukokortiroid menghambat sintesis dan menambah degradasi protein dan RNA. Hal ini lah yang menyebabkan kegagalan fungsi hormon pertumbuhan.7 Pada tulang, glukokortikoid menghambat maturasi dan proses pertumbuhan tulang. Hal ini terjadi karena penurunan hormon pertumbuhan menyebabkan berkurangnya poliferasi sel di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang lalu ditambah dengan rendahnya penerimaan kalsium saat pengunaan kortikosteroid.12 

Farmakokinetik Kortikosteroid

24

Kortikosteroid terutama glukokortikoid mudah diserap baik oleh tubuh secara oral. Jika diinginkan kadar tinggi dalam waktu cepat maka digunakan jalur IV, kalau dibutuhkan lebih lambat maka digunakan jalur IM. Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorbsi, mulai kerja dan lama kerja karena juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein.12 Glukokortikoid dapat diabsorbsi melalui kulit, sakus konjungtiva dan ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang pada daerah kulit yang luas dapat menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.12 Pada keadaan normal, 90% glukokortikoid terikat pada 2 jenis protein plasma yaitu globulin pengikat kortikosteroid dan albumin. Anfinitas globulin tinggi tetapi kapasitas ikatan rendah, sebaliknya afinitas albumin rendah tetapi kapasitas ikatannya relatif tinggi. Karena itu pada kadar rendah atau normal sebagian besar kortikosteroid terikat globulin. Bila kadar kortikosteroid meningkat jumlah hormon yang terikat albumin dan bebas juga meningkat, sedangkan yang terikat globulin sedikt mengalami perubahan. Kortikosteroid berkompetisi sesamanya untuk berikatan dengan globulin pengikat kortikosteroid. Glukokortikoid mempunyai anfinitas tinggi sementara mineralkortikoid mempunyai anfinitas rendah.12

Gambar 3 Tabel preparat kortikosteroid dan fungsinya Sumber : Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2nd Ed.

2.3.4. Toksikologi dari Pengunaan Kortikosteroid

25

Ada 2 kategori toksik dari pengunaan kortikosteroid, karena penghentian kortikosteroid secara mendadak (withdrawal of therapy) dan pemakaian kortikosteroid yang terlalu lama atau dosis tinggi. Keduanya memiliki pengaruh besar ke fisiologi tubuh pasien sehingga diperlukan pengunaan kortikosteroid yang tepat.7 Pada kasus withdrawal of therapy, gejala yang timbul yaitu demam, mialgia, malaise, dan arthralgia. Terjadi pada pasien yang menerima pengobatan dalam jangka 2-4 minggu dan berhenti tanpa tappering off. Gejala akan hilang sendirinya dalam beberapa minggu-bulan tetapi jika penderita sensitif terhadap kortikosteroid maka bisa memanjang sampai setahun / lebih.7 Pada kasus pengunaan kortikosteroid terlalu lama atau dosis tinggi, dapat terjadi gangguan keseimbangan elektrolit, hipertensi, hiperglikemia, peningkatan kejadian infeksi, gangguan pertumbuhan (pada anak), osteoporosis, miopati, katarak, dan gangguan distribusi lemak.7

Gambar 4 Tabel rangkuman singkat efek kortikosteroid pada tubuh Sumber : http://tmedweb.tulane.edu/pharmwiki/doku.php/glucocorticoid_pharmacolog

26

2.4 Penggunaan Nasal Steroid dalam Penatalaksanaan Rhinitis Alergi 2.4.1

Mekanisme Kerja Nasal Steroid Kortikosteroid bekerja mengendalikan laju sintesis protein. Saat diberikan

baik secara sistemik maupun topikal, molekul steroid bebas akan berdifusi secara pasif ke membran sel target dan memasuki sitoplasma dan kemudian berikatan dengan reseptor glukokortikoid. Kemudian reseptor glukokortikoid teraktivasi dan memasuki inti sel, dan kemudian melekat sebagai dimer pada lokasi ikatan spesifik (elemen respon glukokortikoid) pada DNA di gen 5’-upstream promotor region of steroid-response. Efek interaksi ini menginduksi dan mensupresi transkripsi gen. Transkripsi RNA messenger terinduksi selama proses ini kemudian diikuti proses post-transkripsional dan ditransportasikan ke sitoplasma untuk translasi ribosom, dengan produk sampingan protein baru. Setelah proses post-transkripsional terjadi, protein baru dilepaskan untuk aktivitas ekstraselular atau ditahan oleh sel untuk aktivitas intraselular. Waktu yang dibutuhkan untuk transalasi RNA messenger dan transkripsi protein dapat terjadi pada lag phase antara pemberian dan menghasilkan aktivitas klinis kortikosteroid.16,17 Penelitian terkini, terlihat bahwa aktivasi reseptor glukokortikoid dapat berinteraksi langsung dengan faktor transkripsi lain di sitoplasma, yang mana dapat sangat mempengaruhi respon steroid pada sel target.16 Efektivitas kortikosteroid dalam penatalaksanaan rhinitis alergi berkaitan dengan beberapa aksi farmakologis. Kortikosteroid telah menunjukkan efek spesifik dalam sel inflamasi dan mediator kimia yang terlibat dalam proses alergi. Mediator kimia yang dipengaruhi secara langsung oleh kortikosteroid adalah leukotrien dan prostaglandin, yang disintesa dari asam arakidonat melalui jalur enzimatik lipoksigenase dan siklooksigenase. Kortikosteroid meningkatkan sintesis suatu protein (lipocortin-1) yang memiliki efek fosfolipase A2 dan dapat menghambat produksi mediator lipid. Mediator lainnya seperti histamin, platelet activating factor, kinin dan substansi P dipengaruhi secara tidak langsung pada selsel inflamasi.16

27

Kortikosteroid mengurangi jumlah limfosit T yang bersirkulasi dan menghambat aktivasi limfosit T, produksi IL-2, generasi reseptor IL-2, dan produksi IL-4. Kortikosteroid juga mengurangi jumlah eosinofil yang bersirkulasi dan influks eosinofil dalam RAFL, menghambat IL-5 yang dimediasi eosinofil, dan menghambat produksi GM-CSF. Kortikosteroid mengurangi sel mast nasal dan kadar histamin, mengurangi jumlah basofil di sirkulasi dan menghjambat influks netrofil setelah paparan alergen. Kortikosteroid menyebabkan reduksi jumlah makrofag dan monosit dalam sirkulasi dan menghambat pelepasan sitokin termasuk IL-1, IFN-1, TNF-a dan GM-CSF.16 Steroid intranasal mempengaruhi seluruh aspek respon inflamasi nasal. Efek inhibisi steroid intranasal pada respon alergi fase cepat dan lambat telah diteliti pada beberapa penelitian.16 Durasi penggunan kortikosteroid pretreatment merupakan faktor yang mempengaruhi RAFC. Pada penelitian ditemukan inhibisi signifikan dari peningkatan resistensi jalur napas nasal pada penggunaan beclometasone. Penggunaan steroid juga mengurangi produksi sekret nasal dan hidung tersumbat yang diukur menggunakan rhinomanometri. Pemberian steroid pretreatment sangat efektif dalam menurunkan symptom scores. Steroid juga mempengaruhi RAFL dengan menurunkan gejala bersin, kadar histamin dan aktivitas TAME-esterase.16 Penelitian lain menunjukkan steroid secara signifikan menurunkan kadar protein kationik eosinofil pada sekret nasal. Kortikosteroid juga secara signifikan menghambat influksbasofil, eosinofil, netrofil, dan sel mononukleat pada RAFL penderita yang terpapar alergen musiman. Pada biopsi nasal penderita rhinitis alergi yang diberikan steroid intranasal juga tidak ditemukan peningkatan eosinofil epitelial, submukosal dan sel mast epitelial. Penggunaannya juga mengurangi jumlah antigen-presenting cell dan sel T di mukosa nasal pasien rhinitis alergi. Penggunaan steroid juga menurunkan kadar chemokins (IL-8, macrophage inflammatory protein-1a, dan RANTES) dan sitokin (IL-1b dan GM-CSF) pada sekret nasal pasien alergi setelah paparan alergen.16,17

28

2.4.2

Dosis dan Sediaan Nasal Steroid Sediaan dan dosis steroid yang sering dipergunakan ditampilkan pada tabel

berikut:16 Kortikosteroid

Bioavailabilitas

Dosis dan Pemberian

Merek Dagang Beclomethasone

1-2 spray/nostril

Beconase AQ®

2 kali sehari

168-336 µg/hari

Intranasal Dewasa dan anak

Belum diketahui

≥ 6 tahun

42 µg per spray Vancenase

1 atau 2 spray/

84AQ®

nostril per hari

168-336 µg/hari

Dewasa dan anak ≥ 6 tahun

84 µg per spray 2 Flunisolide Nasalide®

spray/nostril

200 µg/hari

dua kali sehari /

atau

Dewasa

≥ 15

40%-50%

tahun 300 µg/hari

Nasarel®, 25 µg

2 spray/nostril 3

per spray

kali sehari

150 µg/hari

Anak 6-14 tahun

1 spray/nostril 3 kali sehari atau

200 µg/hari

2 spray/nostril 2 kali sehari 256 µg/hari Budesonide

2 spray/nostril 2

Rhinocort®, 32 µg

kali sehari

per spray

4

Dewasa dan anak

20%

≥ 6 tahun

spray/nostril

per hari 200 µg/hari Fluticasone

2

Flonase®, 50 µg

per hari

per spray

1-2 spray/nostril

Dewasa dan anak

0,5%- 2%

≥ 12 tahun

spray/nostril 100-200 µg/hari

Anak 4-11 tahun

220-440 µg/hari

Dewasa dan anak

per hari

Triamcinolone

2-4 spray/nostril

Nasacort®, 55 µg

per hari

per spray

2

Belum diketahui

≥ 12 tahun 220 µg/hari

Anak 6-11 tahun

220 µg/hari

Dewasa dan anak

spray/nostril

per hari

Nasacort AQ®, 55

2spray/nostril per

µg per spray

hari

≥ 12 tahun 110-220 µg/hari

Anak 6-12 tahun

29

1-2 spray/nostril per hari

200 µg/hari

0,1%

≥ 6 tahun

Mometasone Nasonex®,50

Dewasa dan anak

µg

per spray

2 spray /nosreil per hari

Tabel 3. Dosis dan cara pemberian beberapa sediaan steroid intranasal Dikutip dari Craig LaForce: Use of Nasal Steroids in Managing Allergic Rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:S388-94

2.4.3

Keuntungan Penelitian efek humoral steroid intranasal menunjukkan pengaruh langsung

respon imun pada alergen musiman oleh regulasi produksi antibodi alergen spesifik. Penggunaan steroid mengurangi gejala rhinitis dan mengantisipasi peningkatan IgE spesifik selama paparan alergen. Penggunaan kortikosteroid intranasal juga terlihat lebih efektif dalam mengatasi rhinitis alergika perenial dibandingkan antihistamin generasi kedua.16 Kortikosteroid intranasal juga sering dikominasikan dengan antihistamin untuk mengurangi gejala pada mata dengan lebih cepat. Pada suatu penelitian juga terlihat bahwa kortikosteroid intranasal juga lebih baik dibandingkan dengan Pollinex-R, suatu bentuk imunoterapi.17 Sediaan baru nasal steroid dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason dipertimbangkan pada penatalaksanaan rhinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.17

2.4.4

Efek Samping Efek samping penggunaan kortikosteroid juga jarang dilaporkan. Efek

samping yang paling sering adalah iritasi nasal, yang terjadi pada 10% pasien. Hal ini memberikan gejala berupa sensasi terbakar atau bersin-bersin. Dua persen pasien melaporkan mengeluarkan sekret hidung bercorak darah akibat obat maupun

30

gejala. Perforasi septum juga pernah dilaporkan meskipun sangat jarang. Biopsi nasal setelah penggunaan obat dalam jangka waktu lama juga tidak memperlihatkan penipisan epitel nasal atau abnormalitas mukosa nasal. Superinfeksi mukosa oleh Candida albicans, yang biasanya ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal, inhalasi oral pada penatalaksanaan asma, bukanlah hal yang sigifikan di hidung.16,17 Efek samping sistemik telah dipermasalahkan sejak dahulu. Deksametason, kortikosteroid topikal pertama yang tersedia di Amerika Serikat, telah diperhitungkan absorbsi sistemiknya menyebabkan supresi adrenal setelah penggunaan jangka panjang. Sediaan yang lebih baru seperti yang digunaan saat ini memiliki absorbsi sistemik yang lebih rendah dan pada dosis standar yang digunakan untuk terapi rhinitis alergi, tidak ditemukan efek pada aksis hipotalamuspituitari-adrenal.

Katarak

retrokapsular

pernah

diaporkan

pada

terapi

beklometason. Namun penelitian lebih lanjut menujukkan efek katarak akibat penggunaan steroid ini tidak lebih tinggi daripada efek yang ditimbulkan akibat tidak digunakannya kaca mata hitam.17 Gangguan pertumbuhan tulang pada anak juga telah diperhatikan, sebagaimana yang diamati pada penggunaan steroid jangka panjang pada asma. Hal ini diamati pada penggunaan beclometason. Namun penggunaan steroid dosis rendah namun dapat mengurangi gejala rhinitis pada jangka panjang masih disarankan dan aman. Penelitian penggunaan mometason furoat pada anak-anak dengan rhinitis alergi parenial tidak menyebabkan retardasi pertumbuhan atau supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal. Efek jangka panjang penurunan kecepatan pertumbuhan yang berpengaruh pada tinggi saat dewasa dan kemampuan mengejar pertumbuhan setelah penghentian terapi steroid belum diteliti secara adekuat. Namun disarankan pengamatan reguler setiap 3 hingga 6 bulan dengan instrumen adekuat (statiometer) oleh staf terlatih. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan penggunaan sediaan baru dengan bioavailabilitas sistemik rendah seperti mometason dan fluticason pada penatalaksanaan rhinitis alergi pada anak. Sediaan ini telah disetujui oleh FDA dimulai pada usia 3 tahun (mometason) dan 4 tahun (fluticason), dengan dosis yang direkomendasikan setengah dari dosis dewasa. Mometason dan fluticason hampir tidak diabsorbsi di traktus

31

gastrointestinal, dengan fraksi yang diabsorbsi dimetabolisme dengan cepat di hepar.17

32

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan Steroid intranasal merupakan obat yang sangat efektif dalam penatalaksanaan pasien dengan rhinitis alergi dibandingkan dengan antihistamin, dekongestan dan kromolin. Saat ini telah tersedia beberapa sediaan steroid intranasal yang memiliki efektivitas dan karakteristik keamanan relatif sama. Meskipun steroid intranasal masih kurang efektif dalam mengurangi gejala akut seperti gejala okular dibandingkan antihistamin dalam penatalaksanaan rhinitis alergi perenial, steroid intranasal dapat digunakan sebagai kombinasi dengan terapi lainnya untuk mencapai perbaikan optimal dari gejala keseluruhan. Sediaan kortikosteroid memiliki onset aksi terlambat dan dibutuhkan pemberian harian untuk mencapai hasil yang optimal. Efek samping utama dari steroid intranasal adalah iritasi lokal dan meskipun telah diteliti bioavailabilitas sistemik dari beberapa sediaan steroid intranasal, laporan mengenai efek samping sistemik masih sangat jarang.

33

DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7. 2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf . Accesed at : November 25, 2011. 3. Anatomi Hidung. Available http://www.pdfcoke.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung November 25, 2011.

from . Accesed

at

: :

4. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rhinitis Alergi. In : Soepardi EA, Iskandae N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. p. 128-32 5. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching and Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p 3540 6. Roberts, L.J. & Morrow, J.D. 2014. Chapter 42 : Pharmacology of The Adrenal Cortex in Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. 2nd Ed. McGraw-Hill, New York. 7. Katzung, B.G. 2009. Basic and Clinical Pharmacology. 9th Ed. McGraw-Hill, New York. 8. Purba, Jan Sudir. 2007. Efek Kortikosteroid Terhadap Metabolisme Sel; Dasar Pertimbangan Sebagai Tujuan Terapi Pada Kondisi Akut Maupun Kronik. Dexa Media, Vol. 20, No. 2, April-Juni 2007 9. Azis, A. L. 2006. Penggunaan kortikosteroid di klinik (The use of corticosteroid in clinics). Divisi Gawat Darurat Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya. 10. Johan, Rayshiani. 2015. CPD Pengunaan Kortikosteroid Topikal yang Tepat. CDK, Vol. 42, No. 4, 2015. 11. Staf Pengajar Bagian Farmakologi FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 12. Lalwani, AK. Non Allergic and Allergic Rhinitis. Dalam Current Diagnose and Treatment in Otolaryngology 2nd Edition. McGraw Hill. New York, 2005.

34

13. LaForce, Craig. Use of nasal steroids in managing allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1999;103:S388-94. 14. Pinto, JM dan RM Naclerio. Allergic Rhinitis. Dalam Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery Sixteenth edition. BC Decker. Spain, 2003: hal 708-740. 15. Irawati, N, E. Kasakeyan dan N. Rusmono. Rhinitis Alergi. Dalam: Soepardi EA dkk, eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. FKUI. Jakarta, 2009: hal 128-134. 16. Blumenthal, MN. Kelainan Alergi Pada Pasien THT. Dalam: Adams, GL dkk. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta, 1997: hal 190-198. 17. Snell, RS. Kepala dan Leher. Dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3 Edisi 3. EGC. Jakarta, 1997: hal 152-154. 18. Dhillon, RS dan CA East. Allergic and Vasomotor Rhinitis. Dalam An Illustrated Colour Text Ear Nose and Throat and Head and Neck Surgery Second Edition. Churchill Livingstone. London, 2000 : hal 34-35. 19. Sheikh, Javed dan U.Najib. Allergic Rhinitis. Last Update: Feb 1, 2011. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/134825-print 20. Krouse, JH. Allergic and Nonallergic Rhinitis. Dalam Head and Neck Surgery Otolaryngology Fourth Edition. Lippicott Williams&Wilkinss. New Jersey, 2006 : hal 352-364. 21. Kalayci, Omer dan A. Togias. Allergic Rhinitis. Diunduh dari: www.worldallergy.org/educational_programs/gloria/international/material.php

35

Related Documents

Referat Tht 2.docx
November 2019 17
Referat Tht Scrib.docx
December 2019 14
Referat Tht Revisi.docx
April 2020 31
Tht
November 2019 39
Tht
June 2020 23

More Documents from ""

Lapsus.docx
December 2019 22
Scrib.docx
December 2019 8
Tetanus.docx
December 2019 11
Tutorial.docx
December 2019 12
Afifah (vesikolitiasis).docx
December 2019 14
Diba (chondrosarcoma).docx
December 2019 10