REFERAT STROKE DENGAN HIPERKOAGULASI
Penyusun : Ayuka Nishi 030.13.218
Pembimbing : dr. Ananda Setiabudi, Sp. S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH PERIODE 4 JUNI – 20 JULI 2018 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
i
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT STROKE DENGAN HIPERKOAGULASI
Diajukan untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf Periode 4 Juni – 20 Juli 2018 di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Disusun oleh: Ayuka Nishi 030.13.218 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta, Juni 2018 Pembimbing
dr. Ananda Setiabudi, Sp. S
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul ”Stroke dengan Hiperkoagulasi” ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD Budhi Asih. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. Ananda Setiabudi, Sp. S selaku pembimbing dalam penyusunan referat, seluruh staf SMF Penyakit Saraf RSUD Budhi Asih. Dan juga ucapan terima kasih tidak lupa penyusun sampaikan kepada teman - teman seperjuangan di kepaniteraan ini, serta kepada semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan kepada penyusun. Penulis menyadari laporan kasus ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi para pembaca.
Jakarta, Juni 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................
ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anatomi……..............................................................................................
2
Definisi .......................................................................................................
9
Epidemilogi ................................................................................................
9
Etiologi ....................................................................................................... 10 Klasifikasi .................................................................................................. 10 Manifestasi klinis ....................................................................................... 11 Patofisiologi ............................................................................................... 12 Penegakkan diagnosis ................................................................................ 17 Tatalaksana ................................................................................................ 26 Prognosis .................................................................................................... 30 BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 32
iv
BAB I PENDAHULUAN
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.(1) Angka kematian dan kecacatan stroke tertinggi berada di Asia.(2) Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), jumlah penderita stroke di Indonesia menduduki urutan pertama di Asia. Oleh karena itu, stroke menjadi masalah yang sangat penting dan mendesak untuk bisa dicegah dan diobati dengan baik.(3) Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di Indonesia yaitu sebesar 12,1%. Prevalensi berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%).(4) Diperkirakan kasus stroke yang paling terjadi di dunia, adalah SNH dengan presentase 85-87% dari semua kasus stroke.(5) Terdapat banyak gangguan hematologi yang berhubungan dengan stroke, beberapa di antaranya telah terbukti menjadi penyebab, contohnya seperti anemia sickle cell. Gangguan darah telah menyebabkan stroke iskemik sebesar 5% hingga 10%, dengan frekuensi yang lebih tinggi pada pasien dengan usia muda.(6) Hiperkoagulasi
merupakan gangguan koagulasi
darah,
yaitu pergeseran
keseimbangan hemostatik akibat peningkatan faktor prokoagulan. Hal ini cenderung akan menyebabkan suatu trombus.(7) Hiperkoagulasi adalah penyebab penting dari penyakit serebrovaskular, terutama pada pasien usia muda dan pada pasien yang pemeriksaan pencitraan jantung dan pembuluh darah gagal untuk mengungkapkan mekanisme stroke.(8) Pemeriksaan koagulasi sebaiknya tidak hanya dilakukan pada fase akut stroke, perlu dilakukan pemeriksaan ulang dalam fase pemulihan agar dapat memberikan data yang lebih jelas untuk kecurigaan stroke dengan penyakit dasar koagulopati.(6) Kebanyakan gangguan dikaitkan dengan kecenderungan trombosis yang meningkat, oleh karena itu berhubungan dengan peningkatan kejadian risiko stroke iskemik. Penyebab lain yang jarang terjadi adalah diatesis hemoragik, yang dapat 1
menyebabkan perdarahan intrakranial. Untuk diagnosis, diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, BT/CT, PT/APTT yang dapat berguna untuk pasien hiperkoagulasi yang beresiko stroke adaah C-reaktif protein, homosisteine, antifosfolipid antibodi, dan lipoprotein.(9) Pada stroke dengan hiperkoagulasi dapat diberikan tatalaksana yaitu antikoagulan oral.(6) Perlu diagnosis dini dari hiperkoagulasi sehingga dapat memberikan terapi yang efektif untuk mencegah terjadinya stroke.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. ANATOMI Sistem Vaskuler Otak(10,11) Anatomi vaskuler otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior (carotid system) dan posterior (vertebrobasilar system). Pada setiap sistem vaskularisasi otak terdapat tiga komponen, yaitu; arteri-arteri ekstratrakranial, arteri-arteri intrakranial berdiameter besar dan arteri-arteri perforantes berdiameter kecil. Komponen-komponen arteri ini mempunyai struktur dan fungsi yang berbeda, sehingga infark yang terjadi pada komponen-komponen tersebut mempunyai etiologi yang berbeda.
Pembuluh darah ekstrakranial (misal, a. carotis communis) mempunyai struktur trilaminar (tunica intima, media dan adventisia) dan berperan sebagai pembuluh darah kapasitan. Pada pembuluh darah ini mempunyai anatomosis yang terbatas.
Arteri-arteri intrakranial yang besar (misal a. serebri media) secara bermakna mempunyai hubungan anastomosis di permukaan piameter otak dan basis kranium melalui sirkulus Willisi dan sirkulasi khoroid. Tunica adventisia pembuluh darah ini lebih tipis daripada pembuluh darah ekstrakranial, dan mengandung jaringan elastik yang lebih sedikit. Selain itu, dengan diameter yang sama pembuluh darah intrakranial ini lebih kaku daripada pembuluh darah ekstrakranial.
Arteri-arteri perforantes yang berdiameter kecil baik yang terletak superfisial maupun profunda, secara dominan merupakan suatu end-artery dengan anatomosis yang sangat terbatas, dan merupakan pembuluh darah resisten.
Sistem anterior (Sistem Carotid) (10,11) Arteri Carotis communis (ACC) sinistra dipercabangkan langsung dari arkus aorta sebelah kiri, sedangkan a. carotis communis dekstra dipercabangkan 3
dari a. innominata (Brachiocephalica). Di leher setinggi kartilago tiroid ACC bercabang menjadi a. carotis interna (ACI) dan a. carotis eksterna (ACE), yang mana ACI terletak lebih posterior dari ACE. Percabangan a. carotis communis ini sering disebut sebagai Bifurkasio carotis mengandung carotid body yang berespon terhadap kenaikan tekanan partial oksigen arterial (PaO2), aliran darah, pH arterial, dan penurunan PaCO2 serta suhu tubuh. Arteri karotis komunis berdekatan dengan serabut saraf simpatis asceden, oleh karena itu lesi pada ACC (trauma, diseksi arteri atau kadang oklusi thrombus) mampu menyebabkan paralisis okulosimpatik sudomotor ke daerah wajah. Arteri karotis interna bercabang menjadi dua bagian yaitu bagian ekstrakranial dan intrakranial. Bagian ekstrakranial a. karotis interna setelah dipercabangkan didaerah bifurkasio akan melalui kanalis karotikus untuk memvaskularisasi kavum timpani dan akan beranastomisis dengan arteri maksilaris interna, salah satu cabang ACE. Arteri karotis interna bagian intrakranial masuk ke otak melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus cavernosus mempercabangkan a. ophtalmika untuk n. optikus dan retina kemudian akhirnya bercabang menjadi a cerebri anterior dan a. cerebri media. Keduanya bertanggungjawab memvaskularisasi lobus frontalis, parietal, dan sebagian temporal. Arteri ini sebelum bercabang menjadi a. cerebri anterior dan a. cerebri media akan bercabang menjadi a. choroid anterior (AChA). AChA mempunyai fungsi memvaskularisasi pleksus choroid, juga memberikan cabangnya ke globus pallidus, hipokampus anterior, uncus kapsula interna bagian posterior serta mesensefalon bagian anterior. AChA ini akan beranastomisis dengan a. choroid posterior (cabang dari a. cerebri posterior).
Arteri Cerebri Anterior(10,11) Arteri serebri anterior dipercabangkan dari bagian medial ACI di daerah prosesus clinoideus anterior, arteri ini akan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian proksimal a. cerebri anterior kanan dan kiri dihubungkan oleh a. communican
4
anterior, bagian medial dan distal arteri ini akan memberikan cabangnya menjadi a. pericallosum anterior dan a. callosomarginal. Arteri cerebri anterior mempunyai cabang-cabang kecil yang berupa arteri-arteri perforantes profunda, arteri-arteri ini sering disebut sebagai arteri medial striata yang bertanggungjawab terhadap vaskularisasi corpus striatum anterior, capsula interna bagian anterior limb, comisura anterior dan juga memvaskularisasi traktus serta kiasma optika. Oklusi arteri-arteri medial striata ini menyebabkan kelemahan wajah dan lengan.
Arteri Cerebri Media(10,11) Arteri cereberi media setelah dipercabangkan oleh ACI akan dibagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama akan berjalan ke lateral diantara atap lobus medial dan lantai lobus frontalis hingga mencapai fissure lateralis Sylvian. Arteri-arteri lenticulostriata dipercabangkan dari bagian proksimal ini. Arteri Lenticulostriata merupakan arteri-arteri perforasi profunda yang merupakan cabang arteri cerebri media, arteri ini berjumlah antara 6 dan 12 arteri. Arteri ini berfungsi memvaskularisasi nukleus lentifromis, nukleus caudatus bagian caput lateral, globus pallidus dan kapsula interna bagian bawah. Oklusi salah satu arteri lenticulostriata akan menimbulkan infark lakuner karena tidak adanya anastomosis fungsional antara arteri-arteri perforasi yang berdekatan. Di daerah fissure lateralis, bagian kedua a. cerebri media akan bercabang menjadi devisi superior dan anterior. Devisi superior akan memberikan suplai ke lobus frontal dan lobus parietal, sedangkan devisi inferior akan memsuplai ke lobus temporal. Bagian terakhir dari a. cerebri media atau arteri-arteri perforantes medullaris akan dipercabangkan di permukaan hemisfer cerebri, yang akan memvaskularisasi substansia alba subkortek.
Sistem posterior (Sistem Vertebro Basiler) (10,11)
5
Sistem ini berasal dari a. basilaris yang dibentuk oleh a. vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di a. subklavia. Dia berjalan menuju dasar cranium melalui kanalis transversalis di columna vertebralis cervikalis, kemudian masuk ke rongga cranium akan melalui foramen magnum, lalu masing-masing akan mempercabangkan sepasang a. cerebelli inferior. Pada batas medulla oblongata dan pons, a. vertebralis kanan dan kiri tadi akan bersatu menjadi a. basilaris. Arteri basilaris pada tingkat mesencephalon akan mempercabangkan a. labyrintis, aa. pontis, dan aa. Mesenchepalica, kemudian yang terakhir akan menjadi sepasang cabang a. cerebri posterior yang memvaskularisasi lobus oksipitalis dan bagian medial lobus temporalis.
Arteri Cerebri Posterior(10,11) Arteri Cerebri Posterior (ACP) merupakan cabang akhir dari a. basilaris. Bagian proksimal ACP atau bagian precommunican (sebelum a. Communican Posterior (ACoP) akan bercabang menjadi a. mesencephali paramedian dan a. thalamik-subthalamik yang akan memvaskularisasi thalamus. Setelah ACoP, a. cerebri posterior akan mempercabangkan a. thalamogeniculatum dan a. choroid posterior, yang mana juga akan memvaskularisasi thalamus. ACP ini setelah berjalan kebelakang, di daerah tentorium cerebella akan bercabang menjadi devisi anterior (memvaskularisasi bagian medial lobus temporalis) dan devisi posterior (memvaskularisasi fissure calcarina dan daerah parieto-occipitalis).
Arteri yang memvaskularisasi Cerebellum(10,11) Cerebellum divaskularisasi oleh tiga pasang arteri panjang, yang mana arteriarteri ini berjalan melingkupi cerebellum. Arteri-arteri tersebut adalah:
Arteri Cerebellaris Superior (ACS): memvaskularisasi permukaan atas cerebellum, dipercabangkan oleh a. basilaris tepat sebelum bercabang menjadi a. cerebri posterior.
6
Arteri Cerebellaris Inferior Anterior (ACIS): memvaskularisasi permukaan anterior, dipercabangkan oleh a. basilaris bagian proksimal, atau dipercabangkan oleh a. basilaris tepat setelah dibentuk oleh a. vertebralis kanan dan kiri.
Arteri Cerebellaris Inferior Posterior (ACIP): memvaskularisasi permukaan inferior, dipercabangkan oleh a. vertebralis tepat sebelum bergabung menjadi a. basilaris. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, setidaknya ada 3 sistem kolateral
antara sitem carotis dan sistem vertebrobasiler, yaitu: 1. Sirkulus Wilisi, merupakan anyaman arteri di dasar otak yang dibentuk oleh a. cerebri media kanan dan kiri yang dihubungkan dengan a. cerebri posterior kanan dan kiri oleh a. communicant posterior, sedangkan a. cerebri anterior kanan dengan kiri akan dihubungkan oleh a. communican anterior. 2. Anastomosis a. carotis interna dan a. carotis externa di daerah orbital. 3. Hubungan antara sistem vertebral dengan a. carotis externa.
Gambar 1: Sirkulus Willisi
Arteri yang memvaskularisasi Thalamus(10,11) Thalamus mendapatkan vaskularisasi dari beberapa grup arteri.
7
Aa. Thalamik-subthalamik (dikenal juga sebagai aa. Paramedian, thalamoperforantes, dan internal optikus posterior): Arteri-arteri ini dipercabangkan dari arteri cereberi posterior bagian proksimal. Arteri ini memvaskularisasi area thalamus posteromedial, fasikulus longitudinal medialis, dan nukleus intralaminar.
Aa. Polaris (dikenal juga sebagai a. internal optikus anterior dan tuberothalamik): Dipercabangkan dari a. communican posterior. Arteri ini memvaskularisasi area anteromedial dan anterolateral termasuk juga nukleus dorsomedialis, nukleus retikularis, traktus mamilothalamikus, dan sebagian nukleus ventrolateral.
Aa. Thalamogenikulatum: Arteri ini terdiri dari 5-6 cabang yang dipercabangkan dari arteri cerebri posterior bagian distal, sama seperti aa. Lentikulostriata yang dipercabangkan oleh arteri cerebri media. Arteri ini memvaskularisasi nukleus ventro-postero-lateral (VPL) dan ventro-posteromedial (VPM).
Aa. Choroidal Posterior Media dan Lateral, yang mana juga dipercabangkan oleh a. cerebri posterior. Arteri ini memvaskularisasi thalamus posterior, pulvinar, dan corpus geniculatum.
Arteri-arteri yang memvaskularisasi thalamus ini merupakan suatu endartery, namun anastomisis bisa terjadi. Oleh karena anastomisis ini adanya lesi patologi thalamus mempunyai gejala lebih bervariasi daripada infark lakuner.
8
Gambar 2. Sirkulasi darah otak
2. DEFINISI Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi.(1) Hiperkoagulasi merupakan gangguan koagulasi darah, yaitu pergeseran keseimbangan hemostatik akibat peningkatan faktor prokoagulan. Hal ini cenderung akan menyebabkan suatu trombus.(7) Hiperkoagulasi adalah penyebab penting dari penyakit serebrovaskular, terutama pada pasien usia muda dan pada pasien yang pemeriksaan pencitraan jantung dan pembuluh darah gagal untuk mengungkapkan mekanisme stroke.(8)
3. EPIDEMIOLOGI Angka kematian dan kecacatan karena stroke tertinggi berada di Asia.(2) Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki), jumlah penderita stroke di Indonesia menduduki urutan pertama di Asia. Oleh karena itu, stroke menjadi masalah yang sangat penting dan mendesak untuk bisa dicegah dan diobati dengan baik.(3) Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi penyakit stroke di Indonesia yaitu sebesar 12,1%. Prevalensi
9
berdasarkan jenis kelamin yaitu lebih banyak pada laki-laki (7,1%) dibandingkan dengan perempuan (6,8%).(4) Diperkirakan kasus stroke yang paling terjadi di dunia, adalah SNH dengan presentase 85-87% dari semua kasus stroke.(5) 4. KLASIFIKASI(12) Setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif, dan prognosa yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa. Klasifikasi modifikasi marshall, diantaranya : 1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya a. Stroke iskemik (sekitar 80% sampai 85% stroke terjadi) 1) Trombosis serebri 2) Embolia serebri b. Stroke haemoragik (sekitar 15% sampai 20% stroke terjadi) 1) Perdarahan intra serebral 2) Perdarahan subarachnoid 2. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu a. Transient Ischemic Attack b. Stroke ~ in ~ evolution. c. Completed stroke 3.
Berdasarkan sistem pembuluh darah a. Sistem karotis b. Sistem vertebra-basilar.
5. ETIOLOGI Beberapa penyebab stroke, diantaranya : 1. Trombosis. a. Aterosklerosis (tersering). b. Vaskulitis : arteritis temporalis, poliarteritis nodosa. c. Robeknya arteri : karotis, vertebralis (spontan atau traumatik). d. Gangguan darah: polisitemia, hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
10
2. Embolisme. a. Sumber di jantung : fibrilasi atrium (tersering), infark miokardium, penyakit jantung reumatik, penyakit katup jantung, katup prostetik, kardiomiopati iskemik. b. Sumber tromboemboli aterosklerosis di arteri : bifurkasio karotis komunis, arteri vertrebralis distal. c. Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral, karsinoma. 3. Vasokonstriksi. a. Vasospasma serebrum setelah peradarahan subaraknoid.
6. Manifestasi klinis Gejala stroke non hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi. Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut sindrom neurovascular:(11) A. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat insufisiensi arteri retinalis
Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteria serebri media
Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
B. Arteri serebri media (tersering)
Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan) Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
11
Disfasia
C. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
Defisit sensorik kontralateral
Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
D. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
Meningkatnya reflek tendon
Ataksia
Tanda Babinski bilateral
Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
Disfagia
Disartria
Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
Gangguan penglihatan dan pendengaran
E. Arteri serebri posterior
Koma
Hemiparese kontralateral
Afasia visual atau buta kata (aleksia)
Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis
7. PATOFISIOLOGI Stroke Iskemik Iskemik serebri sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis (terbentuknya
ateroma)
dan
arteriolosklerosis.
Aterosklerosis
dapat
menimbulkan oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus dan kemudian dapat terlepas sebagai emboli. Trombus, emboli yang terjadi mengakibatkan terjadinya iskemik, sel otak kehilangan kemampuan menghasilkan energi terutama adenosin trifosfat (ATP), pompa Natrium Kalium ATPase gagal sehingga terjadi depolarisasi (Natrium berada dalam sel 12
dan Kalium diluar sel) dan permukaan sel menjadi lebih negatif, kanal Kalsium terbuka dan influk Kalsium kedalam sel. Keadaan depolarisasi ini merangsang pelepasan neurotransmiter eksitatorik yaitu glutamat yang juga menyebabkan influk kalsium kedalam sel, sehingga terjadi peningkatan kalsium dalam sel. Glutamat yang dibebaskan akan merangsang aktivitas kimiawi dan 10 listrik di sel otak lain dengan melekatkan ke suatu molekul di neuron lain, reseptor Nmetil D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS) yang menyebabkan terbentuknya molekul gas, Nitrat oksida (NO). Pembentukan NO yang terjadi dengan cepat dan dalam jumlah besar melemahkan asam deoksiribonukleat (DNA) neuron, dan mengaktifkan enzim, Poli (adenozin difosfat-[ADP] ribosa) polimerase (PARP). Enzim ini menyebabkan dan mempercepat eksitotoksitas setelah iskhemik serebrum sehingga terjadi deplesi energi sel yang hebat dan kematian sel. Peningkatan Kalsium intra sel mengaktifkan protease (enzim yang mencerna protein sel), Lipase (enzim yang mencerna membran sel) dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang sistemik. Sel-sel otak mengalami infark, jaringan otak mengalami odema, sehingga perfusi jaringan cerebral terganggu. Sawar otak mengalami kerusakan akibat terpajan terhadap zat-zat toksik, kehilangan autoregulasi otak sehingga Cerebral Blood Flow (CBF) menjadi tidak responsif terhadap perbedaan tekanan dan kebutuhan metabolik. Kehilangan autoregulasi adalah penyulit stroke yang berbahaya dan dapat memicu lingkaran setan berupa peningkatan odema otak dan peningkatan tekanan intrakranial dan semakin luas kerusakan neuron. Odema otak juga akan menekan struktur-struktur saraf didalam otak sehingga timbul gejala sesuai dengan lokasi lesi. Infark otak timbul karena iskemia otak yang lama dan parah dengan perubahan fungsi dan struktur otak yang ireversibel. Gangguan aliran darah otak akan timbul perbedaan daerah jaringan otak: a. pada daerah yang mengalami hipoksia akan timbul edema sel otak dan bila berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan terjadi infark
13
b. Daerah sekitar infark timbul daerah penumbra iskemik dimana sel masih hidup tetapi tidak berfungsi c. Daerah diluar penumbra akan timbul edema local atau daerah hiperemisis berarti sel masih hidup dan berfungsi
Stroke dengan hiperkoagulasi Interaksi yang baik antara sel endotel pembuluh darah, trombosit, faktor koagulasi, dan sistem fibrinolitik dapat menjaga hemostasis yang normal. Ketika terjadi trauma pada pembuluh darah, contohnya seperti pada ruptur plak ateroma,
trombosit dan faktor koagulasi mengalami serangkaian reaksi
biokimia yang hasil akhirnya dapat menjadi trombus yang terbentuk dari agregasi trombosit yang diikat oleh fibrin dan fibril. Trombus tersebut menyebabkan obstruksi pada arteri yang akan menyebabkan iskemia dan infark serebri. Trombus dapat lepas dari dinding endotel pembuluh darah dan migrasi ke tempat lain yang akan menyebabkan emboli. Keseimbangan antara faktor protrombotik
dan
antitrombotik
mencegah
pembentukan
thrombus.
Ketidakseimbangan karena faktor protrombotik yang berlebihan atau faktor antitrombotik yang berkurang akan menyebabkan kondisi protrombotik yang disebut hiperkoagulasi state. Keadaan hiperkoagulasi dianggap mempunyai peran penting dalam kasus stroke iskemik. Oleh karena itu, penting untuk medetekti adanyaa hiperkoagulasi untuk pencegahan stroke. Hiperkoagulasi dapat di deteksi dengan faktor vaskuler, trombosit, koagulasi dan fibrinolosis, hematologi dan kelainan metabolik.(6) Faktor Vaskuler(6,12) Endotelium normal dilengkapi dengan molekul pelindung yang diekspresikan pada permukaan endotel, seperti thrombomodulin (TM) dan reseptor protein C endotelial (EPCR), atau dilepaskan ke ekstraseluler, seperti nitrit oksida, prostasiklin, dan aktivator plasminogen jaringan (t-PA). Namun, ketika sel-sel endotel dirangsang berlebihan dengan agen eksogen, maka akan
14
diekspresikan molekul-molekul pro-inflamasi, terutama molekul adhesi interselular-1 (ICAM-1) dan molekul adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1). Deteksi pelindung permukaan endotel atau molekul pro-inflamasi pada manusia tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan teknis. Namun, karena pada ekstraseluler protein membran ini terdegradasi dan dilepaskan ke dalam darah yang bersirkulasi, fragmen dapat dideteksi oleh tes sensitif, yang memiliki potensi untuk penggunaan pemeriksaan klinis dalam mendeteksi keadaan hiperkoagulasi. Salah satu molekul terdegradasi adalah fragmen TM, yang secara kolektif disebut soluble-TM (sTM). Dilaporkan dalam studi kontrol kasus berbasis populasi bahwa kadar plasma sTM berbanding terbalik dengan risiko kejadian PJK. Dalam studi kasus-kontrol cross-sectional termasuk 492 pasien dengan stroke iskemik dan 492 tanpa riwayat stroke, kadar sTM tinggi dikaitkan dengan lebih sedikit kasus yang terjadi. Koagulasi dan faktor fibrinolitik dengan Stroke Iskemik(6) Hubungan antara faktor koagulasi, inhibitor, dan fibrinolitik dengan stroke telah dievaluasi dalam suatu penelitian retrospektif. Hasilnya masih kontroversial Setelah dilakukan penelitian untuk beberapa faktor risiko kardiovaskular, faktor von Willebrand (vWF) dan faktor VIII secara positif terkait dengan kejadian stroke iskemik. The Cardiovascular Health Study (CHS) meneliti bahwa stroke dikaitkan secara positif dengan FVIII pada wanita tetapi tidak pada pria. Peningkatan kadar fibrinogen juga diketahui sebagai faktor risiko prothrombotik untuk CHD dan stroke. Defisiensi antitrombin (AT), protein C, dan protein S berhubungan dengan peningkatan risiko deep vein thrombosis dan emboli paru. Mutasi faktor V (Arg506Gln; faktor V Leiden) yang membuat faktor aktif V yang resisten terhadap protein aktif C (APC), adalah defek bawaan paling umum yang dapat menyebabkan trombosis vena. Sebaliknya, baik faktor V Leiden maupun defisiensi AT, protein C, atau protein S secara independen terkait dengan peningkatan risiko trombosis arteri. Meskipun ada beberapa laporan tentang hubungan faktor V Leiden dengan stroke iskemik,
15
sebagian besar penelitian prospektif dan kasus-kohort gagal untuk menetapkan faktor V Leiden sebagai faktor risiko independen untuk stroke iskemik. Protein Z adalah protein alami lainnya dengan potensi antikoagulan. Ini berfungsi sebagai kofaktor untuk protease inhibitor Z-dependent, dan menonaktifkan faktor Xa. Asosiasi protein Z dengan stroke iskemik masih kontroversial. Fibrinolisis yang terganggu terlibat dalam proases patogenesis penyakit atherothrombotic. Thrombin Activatable fibrinolisis inhibitor (TAFI) berperan sebagai penghubung antara koagulasi dan fibrinolisis. TAFI diubah menjadi enzim aktif oleh trombin, plasmin, tripsin, dan trombin-thrombomodulin complex. TAFI menghambat fibrinolisis dengan menurunkan reaksi antara plasminogen dan t-PA. Dengan demikian, kadar plasma TAFI yang tinggi dikaitkan dengan trombosis. Dalam penelitian Santamaria et al(15) menemukan bahwa peningkatan kadar TAFI meningkatkan risiko stroke iskemik sebanyak enam kali lipat. Inhibitor aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1) yang tinggi, umumnya dianggap meningkatkan risiko trombosis. Sebagai contoh, studi Caerphilly(16) menunjukkan bahwa peningkatan kadar PAI-1 plasma meningkatkan risiko stroke iskemik pada pria paruh baya. Namun, penelitian lain
tidak
menunjukkan hubungan yang serupa. Singkatnya, faktor koagulasi dan fibrinolisis, fibrinogen, faktor VIII, dan vWF telah terbukti secara independen terkait dengan resiko terjadinya stroke iskemik. Namun, uji klinis faktor-faktor tersebut juga meningkat dalam kondisi peradangan. Maka diperlukan pengukuran yang berulang untuk menetapkan tingkat fibrinogen yang tinggi, faktor VIII, dan / atau vWF yang persisten dan bukan sementara tinggi karena terdapat peradangan. Kelaiann genetik dari protein C, protein S, AT, faktor V Leiden, dan protrombin A20210G tidak secara independen terkait dengan risiko stroke. Tingkat plasma dari polimorfisme gen t-PA dan PAI-1 mungkin terkait dengan risiko stroke tetapi belum ada data pasti.
16
Trombosit dan Stroke iskemik(6) Perubahan kuantitatif dan kualitatif dalam trombosit yang bersirkulasi mempengaruhi individu untuk mengalami stroke katastropik. Pasien dengan trombositemia karena gangguan myeloproliferative, terutama trombositemia esensial (ET) dan polisitmia vera (PV), memiliki risiko tinggi untuk mengalami stroke. Jumlah trombosit yang tinggi pada gangguan sumsum tulang ini meningkatkan agregasi platelet karena perubahan trombosit intrinsik, yang diperburuk oleh jumlah trombosit yang meningkat. Membedakan ET dengan trombositosis reaktif terkadang sulit, Setelah diagnosis dibuat, aspirin harus dimulai. Agen terapeutik seperti hidroksiurea juga harus mulai menurunkan jumlah trombosit. Jumlah trombosit harus dipertahankan dalam nilai normal, yang efisien dalam mencegah stroke. PV meningkatkan risiko stroke karena viskositas darah yang tinggi dan meningkatkan resiko agregasi trombosit. Pengobatan standar adalah mengurangi hematokrit dengan proses phlebotomy berulang. Ketika jumlah trombosit meningkat pada pasien dengan PV, harus diobati dengan hidroksiurea. Pada pasien dengan jumlah trombosit normal, hipereaktivitas trombosit telah dilaporkan terkait dengan risiko stroke. Agregasi platelet spontan dilaporkan berhubungan dengan stroke iskemik dan infark miokard. Agregat trombosit yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien dengan infark miokard dan stroke. Telah dibuktikan dalam banyak penelitian bahwa peningkatan aktivasi trombosit terjadi pada pasien dengan penyakit serebrovaskular. Agregat trombosit secara signifikan meningkat pada pasien stroke aterosklerotik dibandingkan dengan individu normal dan pasien dengan stroke lakunar; peningkatan kadar ekspresi P-selectin pada permukaan trombosit dan persentase peningkatan agregat leukosit-trombosit mendukung aktivasi trombosit yang meningkat pada pasien tersebut. Aktivasi trombosit secara independen terkait dengan keparahan stroke dan atrial fibrilasi. trombosit juga diaktifkan dalam sirkulasi serebral pasien dengan stroke bahkan pada fase kronis
17
Hematologi & Kelainan metabolik dengan Stroke(6) Sejumlah gangguan hematologi dikaitkan dengan risiko stroke. Gangguan hematologi telah terlibat dalam 5% hingga 10% dari stroke iskemik, dengan peningkatan frekuensi pada pasien yang lebih muda. Beberapa gangguan hematologi
dan
metabolik
termasuk
hiperhomosisteinemia,
antibodi
antiphospholipid, gangguan myeloproliferatif (PV dan ET), anemia sickle cell, thrombocytopenic purpura (TTP), heparin-induced thrombocytopenia (HIT), dan Waldenström macroglobulinemia. Hiperhomosisteinemia dikaitkan dengan peningkatan agregasi platelet, aktivasi kaskade koagulasi, dan kerusakan endotel. Studi prospektif dan kasus telah menemukan bahwa kejadian stroke meningkat dengan meningkatnya kadar homosistein. Sebuah meta-analisis dari 27 penelitian menyimpulkan bahwa homosistein yang tinggi adalah faktor risiko independen sederhana untuk stroke. Hiperhomosisteinemia lebih sering diperoleh sebagai akibat dari defisiensi folat, vitamin B12, atau vitamin B6. Sindrom antiphospholipid (APS) adalah gangguan yang didapat dengan autoantibodi terhadap kompleks fosfolipid protein. Mereka berhubungan dengan
keadaan
hiperkoagulasi
yang
ditandai
dengan
fetal-loss,
trombositopenia, dan trombosis vena dan arteri. Beberapa penelitian melaporkan bukti kuat untuk asosiasi keberadaan dan risiko stroke iskemik, tetapi beberapa penelitian kohort besar, seperti Studi Kesehatan Dokter, tidak menemukan hubungan. Lupus antikoagulan adalah inhibitor koagulasi nonspesifik yang berhubungan dengan aPTT yang memanjang. Mekanisme antifosfolipid antibodi menyebabkan thrombosis masih belum diketahui, hipotesis yang ada adalah antibodi tersebut mempunyai efek terhadap fungsi endotel, trombosit dan sistem fibrinolitik. Purpura
thrombocytopenic
trombotik,
juga
dikenal
sebagai
microangiopathy trombotik, adalah gangguan hematologi langka dengan risiko tinggi untuk stroke trombotik. Penyebab TTP tidak sepenuhnya jelas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa defisiensi atau inhibisi protease von Willbrand
18
faktor atau vWF (juga dikenal sebagai ADAMTS-13) berkontribusi pada patogenesis gangguan ini. Pasien dengan TTP datang dengan anemia hemolitik mikroangiopati, trombositopenia, perubahan mental, kejang, afasia, dan stroke. Mereka mungkin juga mengalami disfungsi ginjal. Kematian sangat tinggi ketika tidak diobati. Tatalaksana standar adalah transfusi plasma. Tingkat respons awal lebih dari 90% dan tingkat kelangsungan hidup jangka panjang lebih dari 80%. Baik agen antiplatelet maupun antikoagulan efektif dalam mengendalikan stroke pada gangguan ini. Heparin-lnduced Thrombocytopenia (HIT) dan thrombosis adalah keadan yang serius yang kadang tidak disadari karena akibat dari terapi heparin, yang disebabkan oleh sistem imun. Sindrom ini perlu dicurigai pada pasien yang menderita trombositopenia setelah 5 hari pemberian heparin. Pemberian heparin yang terus diberikan pada pasien ini dapat menyebabkan thrombosis yang mengancam kehidupan. Sebesar 3% pasien HIT menderita stroke dengan trombositopenia dan kebanyakan wanita. Pemberian argatroban dapat menurunkan risiko stroke dan menurunkan mortalitas pasien HIT tanpa menyebabkan hemoragik intrakranial.
8. Penegakkan diagnosis Anamnesis(1,17) Pada anamnesis akan ditemukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan, mulut mencong atu bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau sholat, selesai sholat, sedang bekerja atau sewaktu istirahat. Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan penyakit jantung. Dicatat obatobat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan penyakit lainnya. Pada kasus-kasus berat yaitu dengan penurunan kesadaran sampai koma, dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak serangan terjadi. Anamnesis tersebut harus memperoleh informasi tentang berikut ini:
19
1. Karakteristik gejala dan tanda:
Modalitas mana yang terlibat (motorik, sensoris, visual)?
Daerah anatomi mana yang terlibat (wajah, lengan, tangan, kaki, dan apakah seluruh atau sebagian tungkai, satu atau kedua mata)?
Apakah gejala-gejala tersebut fokal atau non fokal
Apa kualitasnya (apakah negatif misalnya hilang kemampuan sensoris, hilangnya kemampuan motorik atau visual) atau positif (misalnya menyebabkan sentakan tungkai (limb jerking), kesemutan, halusinasi)?
2. Apa konsekuensi fungsionalnya (misalnya tidak bisa berdiri, tidak bisa mengangkat tangan) 3. Kecepatan onset dan perjalanan gejala neurologi:
Kapan gejala tersebut dimulai (hari apa dan jam berapa)?
Apakah onsetnya mendadak?
Apakah gejala tersebut lebih minimal atau lebih maksimal saat onset; apakah menyebar atau semakin parah secara bertahap, hilang timbul, ataukah progresif dalam menit/jam/hari. Atau apakah ada fluktuasi antara fungsi normal dan abnormal.
4. Apakah ada kemungkinan presipitasi.
Apa yang pasien sedang lakukan pada saat dan tidak lama sebelum onset
5. Apakah ada gejala-gejala lain yang menyertai, misalnya:
Nyeri kepala, kejang epileptik, panic atau anxietas, muntah, nyeri dada.
6. Apakah ada riwayat penyakit dahulu atau riwayat penyakit keluarga yang relevan.
Apakah ada riwayat TIA atau stroke terdahulu?
Apakah ada riwayat hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes mellitus, angina, infark miokard, intermittent claudicatio, atau arteritis?
7. Apakah ada perilaku atau gaya hidup yang relevan?
Merokok, konsumsi alcohol, diet, aktivitas fisik, obat-obatan (khusus obat kontrasepsi oral, obat antitrombotik, antikoagulan, dan obatobatan rekreasional seperti amfetamin).
20
Pemeriksaan Fisik(1,17) Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti tekanan darah kiri dan kanan, nadi, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan Skala Koma Glasgow agar pemantauan selanjutnya lebih mudah. Jika pasien tidak dapat berespon terhadap stimulasi verbal, harus mencoba membangkitkan respon stimulasi taktil dengan cara mengguncang hingga mencubit, menekan kuku, dan mencubit dada, tetapi seandainya penderita sadar tentukan berat kerusakan neurologis yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih baik atau adakah disfasia. Waspada dengan ketidakmampuan untuk memahami bahasa yang disampaikan maka menunjukkan afasia atau abulia berat. Dysnomia (gangguan mengingat nama objek atau kata), kesalahan paraphrase, dan cara berbicara yang
sulit
dengan
gagap
semuanya
menunjukkan
dugaan
afasia.
Ketidakmampuan untuk memperhatikan stimuli pada satu sisi lapang pandang atau tubuh menunjukkan neglect syndrome.
Temuan tunggal berupa
ketidakmampuan pasien untuk menentukan atau mengidentifikasi tangan kirinya sendiri adalah bukti kuat untuk kejadian disfungsi parietalis kanan. Berikutnya, harus dilakukan pemantauan pasien berupa:
Fungsi visual, dengan pemeriksaan lapang pandang dan tes konfrontasi
Pemeriksaan pupil dan refleks cahaya
Pemeriksaan Doll’s eye phenomenon (jika tidak ada kecurigaan cedera leher)
Sensasi, dengan memeriksa sensasi korena dan wajah terhadap benda tajam
Gerakan wajah mengikuti perintah atau sebagai respon terhadap stimuli noxious (menggelitik hidung)
Fungsi faring dan lingual, dengan mendengarkan dan mengevaluasi cara berbicara dan memeriksa mulut
21
Fungsi motorik dengan memeriksa gerakan pronator, kekuatan, tonus, kekuatan gerakan jari tangan atau jari kaki
Fungsi sensoris, dengan cara memeriksa kemampuan pasien untuk mendeteksi sensoris, dengan jarum, rabaan, vibrasi, dan posis (tingkat level gangguan sensibilitas pada bagian tubuh sesuai dengan lesi patologis di medulla spinalis, sesuai dermatomnya)
Fungsi serebelum, dengan melihat cara berjalan penderita dan pemeriksaan disdiadokokinesis
Ataksia pada tungkai, dengan meminta pasien menyentuh jari kaki pasien ke tangan pemeriksa
Refleks asimetri (contoh: refleks fisiologi anggota gerak kanan meningkat, yang kiri normal)
Refleks patologis (Babinski, Chaddock)
1. Pemeriksaan penunjang(1,17) Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan cek laboratorium, pemeriksaan neurokardiologi, pemeriksaan radiologi, penjelasanya adalah sebagai berikut : 1. Laboratorium. a. Pemeriksaan darah rutin. b. Pemeriksaan kimia darah lengkap.
Gula darah sewaktu Stroke akut terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur – angsur kembali turun
Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT/SGPT/CPK, dan profil lipid (trigliserid, LDH-HDL kolesterol serta total lipid).
c. Pemeriksaan hemostasis (darah lengkap).
d.
Waktu protrombin.
Kadar fibrinogen.
Viskositas plasma.
Pemeriksaan tambahan yang dilakukan atas indikasi
22
Homosistein.
Pemeriksaan laboratorium hiperkoagulasi 1) Antibodi antifosfolipid(18) Antifosfolipid antibodi adalah penyakit autoimun yang menyerang fosfolipid atau kompleks fosfolipid-protein dan berhubungan dengan peningkatan risiko dari trombosis vena dan arteri. Antiphospholipid antibodies (aPLs) are circulating immunoglobulins IgG, IgM, IgA isotypes that bind anionic and neutral phospholipid containing moieties.1213 The two most clinically studied and relevant aPLs are the lupus anticoagulant and anticardiolipin antibodies (aCLs). Uji antibodi antifosfolipid harus mencakup tes untuk lupus antikoagulan, serta tes untuk kedua imunoglobulin (Ig) G dan IgM dari antibodi antikardiolipin. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa risiko stroke meningkat akibat peningkatan titer antibodi anticardiolipin. Pengujian antiphospholipid antibodi (baik lupus antikoagulan dan antibodi antikardiartipin) dipertimbangkan pada pasien dengan stroke dan trombus vena serebral. aPL berhubungan dengan prothrombic state, ditemukan pada 10% stroke iskemik serangan pertama. Faktor ini dapat menjadi independen marker untuk stroke iskemik. aPL lebih banyak ditemukan pada dewasa muda dan hanya IgG yang secara statistic berhubungan dengan kasus stroke. Sedangkan IgM dapat meningkat pada fase akut, namun peningkatan IgM juga ditemukan pada kejadian infeksi. Mutasi protrombin G20210A(18) Mutasi G20210A pada faktor II atau protrombin menghasilkan peningkatan kadar protrombin plasma dan peningkatan risiko trombosis vena. Prothrombin G20210A mungkin lebih umum di antara pasien anak dengan stroke. Sebuah studi menunjukkan bahwa protrombin G20210A lebih banyak pada pasien dengan trombosis vena serebral
23
versus kontrol. Mengingat data yang tersedia, pengujian rutin untuk prothrombin G20210A umumnya tidak informatif pada pasien dewasa dengan stroke arteri iskemik, tetapi pengujian untuk mutasi merupakan pertimbangan dalam keadaan klinis tertentu, seperti pasien anak dengan stroke dan pasien dengan trombosis vena serebral. 2) Protein C-reaktif(20) Protein C-reaktif adalah reaktan fase akut yang pada awalnya ditemukan oleh interaksi serum pasien yang telah pulih dari infeksi pneumokokus dengan polisakarida dari Pneumococcus C-reaktif protein yang meningkat dapat ditemukan keadaan stres dan pada inflamasi yang terjadi setelah infeksi, cedera, atau trauma. Oleh karena itu, pengukuran CRP harus dilakukan secara berkala untuk menyingkirkan kemungkinan kenaikan nilai CRP karena faktor inflamasi, cedera dan trauma. Pengukuran CRP melalui tes CRP sensitivitas tinggi dapat menambah nilai prediktif profil lipid serum untuk mengidentifikasi individu yang berisiko untuk kejadian kardiovaskula. Telah banyak penelitian mengenai hubungan antara peningkatan CRP plasma dan stroke iskemik atau TIA. Ambang batas CRP sensitivitas tinggi yang direkomendasikan untuk penilaian risiko kardiovaskular adalah sebagai berikut: kurang dari 1,0 mg / L untuk risiko rendah, 1,0-3,0 mg / L untuk risiko rata-rata, dan lebih dari 3,0 mg / L untuk risiko tinggi untuk masa depan. kejadian kardiovaskular. 3) Faktor V Leiden(18) Resistensi terhadap protein C teraktivasi merupakan predisposisi keturunan yang paling umum yang diketahui untuk trombosis vena. Protein aktif C bertindak sebagai antikoagulan alami dengan menurunkan faktor aktif V dan VIII melalui pembelahan proteolitik pada arginine. Individu dengan resistensi protein C teraktivasi memiliki mutasi pada faktor V sehingga resisten terhadap degradasi oleh protein
24
aktif C. Lebih dari 95% kasus resistensi protein C yang teraktivasi adalah karena mutasi titik spesifik pada faktor V yaitu faktor V Leiden. Faktor V Leiden lebih umum pada pasien stroke pediatrik. Sebuah studi kasus kontrol juga menunjukkan peningkatan prevalensi faktor V Leiden pada pasien dengan trombosis vena serebral. Pengujian untuk mutasi faktor V Leiden merupakan pertimbangan pada pasien stroke pediatrik atau pada pasien dengan trombosis vena serebral; Namun, tes rutin pasien dewasa dengan stroke arteri iskemik secara umum tidak memberikan banyak informasi. 4) Defisiensi antitrombin, protein S dan protein C(19,20) Protein C, protein S, dan antitrombin adalah antikoagulan yang alami. Protein C yang terlah teraktivasi akan menghambat koagulasi dengan menurunkan faktor aktif V dan VIII. Protein S berpartisipasi sebagai kofaktor dalam degradasi ini. Antitrombin adalah penghambat alami thrombin (activated factor II), serta inhibitor faktor aktif X, IX, XI, XII, dan kallikrein. Aktivitasnya sangat ditingkatkan oleh interaksi dengan glikosaminoglikan, termasuk sulfat heparan pada permukaan sel endotel dan heparin yang diberikan secara eksogen. Defisiensi salah satu dari 3 antikoagulan alami ini menghasilkan keadaan hiperkoagulasi. Defisiensi protein C, protein S, atau antitrombin jarang terjadi, meskipun menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko stroke. Tes ini dapat dipertimbangkan dalam situasi klinis tertentu, seperti pada pasien muda dengan stroke, pasien dengan riwayat atau riwayat keluarga dengan trombosis atau emboli. Tes ini juga dapat dilakukan untuk pasien-pasien dengan trombosis serebral. 5) Hiperhomosisteinemia(18) Hyperhomosisteinemia adalah salah satu faktor risiko untuk trombosis vena, penyakit jantung coroner dan stroke. Homosistein adalah asam amino yang berasal dari metionin, yang dapat diubah menjadi sistein
25
atau dimetabolisme kembali menjadi metionin. Jalur metabolik yang melibatkan homosistein membutuhkan vitamin B6 (piridoksin), vitamin B12 (cobalamin), dan asam folat. Peningkatan serum homosistein dapat bersifat genetik, karena polimorfisme atau mutasi pada enzim yang terlibat dalam jalur metabolik homosistein, atau dapat juga diperoleh karena defisiensi vitamin B6, vitamin B12, atau asam folat. Penyebab lain dari meningkatnya kadar homosistein termasuk disfungsi ginjal, hipotiroidisme,
keganasan,
atau
obat-obatan
tertentu,
seperti
methotrexate, theofilin, atau fenitoin. Sebuah penelitian menyatakan bahawa menurunkan kadar homosistein dapat membantu mengurangi risiko penyakit serebrovaskular. Kadar homosistein mudah dikurangi dengan suplementasi dengan vitamin B (vitamin B6, B12, dan asam folat). Pengukuran kadar homosistein dapat bermanfaat pada pasien dengan stroke, risiko tinggi untuk stroke, aterosklerosis yang ada, atau trombosis vena serebral. 6) Heparin-induced thrombocytopenia(18) Trombositopenia yang diinduksi oleh heparin merupakan pertimbangan pada setiap pasien yang mengalami stroke iskemik atau trombosis vena serebral saat sedang mengkonsumsi heparin, dalam 30 hari konsumsi heparin, atau pada setiap pasien dengan penurunan jumlah trombosit yang lebih dari 50%. 7) Elevasi faktor VIII(21) Peningkatan faktor VIII dapat diukur dengan uji pembekuan aPPT atau uji kromogenik, atau uji antigen dengan menggunakan ELISA. Pengukuran faktor VIII harus ditunda sampai setidaknya 6 bulan setelah kejadian trombotik akut dan 6 minggu setelah melahirkan dan harus diulang setelah 3-6 bulan untuk memastikan elevasi persisten.
26
Algoritma diagnosis hiperkoagulasi
27
2. Pemeriksaan neurokardiologi Sebagian kecil penderita stroke terdapat perubahan elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat serangan infark jantung, atau pada stroke dapat terjadi perubahan – perubahan elektrokardiografi sebagai akibat perdarahan otak yang menyerupai suatu infark miokard. Pemeriksaan khusus atas indikasi misalnya CK-MB follow up nya akan memastikan diagnosis. Pada pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik mengarah kepada kemungkinan adanya potensial source of cardiac emboli (PSCE) maka pemeriksaan echocardiografi terutama transesofagial echocardiografi (TEE) dapat diminta untuk visualisasi emboli cardial.
28
3. Pemeriksaan radiologi a. CT-scan otak Perdarahan intraserebral dapat terlihat segera dan pemeriksaan ini sangat penting karena perbedaan manajemen perdarahan otak dan infark otak. Pada infark otak, pemeriksaan CT-scan otak mungkin tidak memperlihatkan gambaran jelas jika dikerjakan pada hari – hari pertama, biasanya tampak setelah 72 jam serangan. Jika ukuran infark cukup besar dan hemisferik. Perdarahan/infark di batang otak sangat sulit diidentifikasi, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk memastikan proses patologik di batang otak
Gambar 2. CT-Scan Otak
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah tidak bisa memeriksa pasien yang menggunakan protese logam dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih mahal.
29
Gambar 3. MRI otak
c. Pemeriksaan foto thoraks. Pemeriksaan foto thoraks dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah kelainan lain pada jantung. Pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi kelainan paru yang potensial mempengaruhi proses manajemen dan memperburuk prognosis.
9. TATALAKSANA Tatalaksana umum stroke(22,23,24) Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang. Pada stadium akut, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien 30
perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga.
Stroke Iskemik Terapi umum: (22,23,24) Letakkan kepala pasien pada posisi 30˚, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium.
31
Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 220 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan peroral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus: (22,23,24) Terapi medik stroke iskemik akut dapat dibagi menjadi 2 bagian seperti pada penderita dengan kedaruratan medik perlu ditekankan bahwa penanganan stroke akut, harus disamakan dengan keadaan darurat pada jantung, karena baik pada kedaruratan kardiologik maupun neurologic, faktor waktu adalah sangat penting, akhirnya otak dan sel-sel neuron harus diselamatkan secara cepat, karena kondisi otak tidak mempunyai “anaerob glycolysis” sehingga “survival time” hanya beberapa menit pada iskemik otak fokal dan lebih lama (mendekati 60’) pada iskemia global. Terapi medic stroke merupakan intervensi medic dengan tujuan mencegah luasnya proses sekunder dengan menyelamatkan neuron-neuron di daerah penumbra serta merestorasikan fungsi neurologic yang hilang. Pengobatan medik yang spesifik dilakukan dengan dua prinsip dasar yaitu:
32
1. Pengobatan medik untuk memulihkan sirkulasi otak di daerah yang terkena stroke, kalau mungkin sampai keadaan sebelum sakit. Tindakan pemulihan sirkulasi dan perfusi jaringan otak disebut sebagai terapi reperfusi. 2. Untuk tujuan khusus ini digunakan ibat-obat yang dapat menghancurkan emboli atau thrombus pada pembuluh darah.
Terapi trombolisis Obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah pemakaian t-TPA (recombinant – tissue plasminogen activator) yang diberikan pada penderita stroke akut baik i.v maupun intra arterial dalam waktu kurang dari 3 jam setelah onset stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terapi penghancuran thrombus dan reperfusi jaringan otak terjadi sebelum ada perubahan irreversible pada otak yang terkena terutama daerah penumbra. 1. Terapi reperfusi lainnya adalah pemberian antikoagulan pada stroke iskemik akut. Obat-obatan yang diberikan adalah heparin atau heparinoid (fraxiparine). Obat ini diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi dan mencegah pembentukan thrombus baru. Efek antikoagulan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah/memperkecil pembentukan fibrin dan propagasi thrombus. 2. Pengobatan anti platelet pada stroke akut. Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke sangat dianjurkan. Uji klinis pemberian aspirin pada fase akut menurunkan frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas penderita stroke akut.
Terapi neuroprotektif Pengobatan spesifik stroke iskemik akut yang lain adalah dengan obat-obat neuroprotektor yaitu obat yang mencegah dan memblok proses yang menyebabkan kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-obat ini berperan dalam menginhibisi dan mengubah reversibilitas neuronal yang terganggu akibat
33
“ischemic cascade”. Termasuk dalam kaskade ini adalah: kegagalan hemostasis Calsium, produksi berlebih radikal bebas, disfungsi neurotransmitter, edema serebral, reaksi inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi mikrosirkulasi. Proses “delayed neuronal injury” ini berkembang penuh setelah 24-72 jam dan dapat berlangsung sampai 10 hari. Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor antara lain: citicoline, pentoxyfilline, pirasetam. Penggunaan obat-obat ini melalui beberapa percobaan dianggap bermanfaat, dalam skala kecil.
Tatalaksana stroke dengan hiperkoagulasi(25) Ketika kelainan koagulasi terdeteksi, terapi harus disesuaikan dengan kasus masing-pasing individu. Bagi pasien dengan koagulopati yang didapat, pengobatan yang dilakukan adalah memperbaiki kondisi yang mendasarinya. Pada defisiensi herediter, terutama dengan episode iskemik rekuren, warfarin sering direkomendasikan. Sementara terapi antikoagulan adalah terapi yang untuk keadaan hiperkoagulasi (baik vena atau arteri trombosis). Antikoagulan profilaksis umumnya tidak dianjurkan untuk individu tanpa gejala, tetapi antikoagulasi profilaksis dengan warfarin atau heparin harus dilaksanakan selama periode paparan kondisi klinis prothrombotic, seperti imobilisasi berkepanjangan atau operasi besar. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menentukan durasi terapi antikoagulasi yang optimal. Rekomendasi pengobatan pada pasien dengan keadaan hiperkoagulasi dengan antikoagulan oral, seperti warfarin, minimal selama 3-6 bulan setelah satu episode trombotik. Kronis, bahkan seumur hidup, antikoagulan dapat dipertimbangkan dan dapat diindikasikan jika trombosis mengancam jiwa atau jika terjadi tanpa adanya faktor risiko klinis yang diketahui, jika terdapat trombosis berulang, atau jika lebih dari satu kondisi hiperkoagulasi terdeteksi oleh pengujian laboratorium. Pasien dengan APS memiliki tingkat kejadian rekuren yang tinggi. Target normal international normalized ratio (INR) untuk antikoagulasi belum pasti.
34
Farmakologis(25,26) Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan antikoagulan dan fibrinolitik. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah aman dan efektif. Aman artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli.
Unfractionated Heparin Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya dititrasi berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT). Nilai APTT yang diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja utama heparin adalah meningkatkan kerja antitrombin III sebagai inhibitor faktor pembekuan dan melepaskan tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah. Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya, kondisikondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar, kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency). Efek samping perdarahan dan trombositopeni.. Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Heparin dapat dihentikan setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan warfarin jika International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0.
Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) Dibandingkan
dengan
unfractionated
heparin,
LMWH
lebih
menguntungkan karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat diberikan subkutan satu atau dua kali sehari, dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Seperti halnya unfractionated heparin, LMWH dikombinasi dengan warfarin selama empat sampai lima hari, dihentikan jika kadar INR mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S. Food
35
and Drug Administration) dengan dosis 1 mg/ kg dua kali sehari atau 1,5 mg/kg sekali sehari. Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan. Pada penelitian klinis, dalteparin diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi dua kali sehari). FDA telah menyetujui penggunaan tinzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT. Pilihan lain adalah fondaparinux. Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin. Diberikan subkutan, bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma puncak 1,7 jam setelah pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB 100 kg) subkutan, sekali sehari. Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang dibanding pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central nervous system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH diekskresikan melalui ginjal, pada penderita gangguan fungsi ginjal, dosisnya harus disesuaikan atau digantikan oleh UFH.
Warfarin Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan bersamaan sebagai terapi penghubung hingga warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Untuk pasien yang mempunyai kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal ginjal), heparin intravena dapat digunakan sebagai tindakan pertama. Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah sakit.3 Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. INR diusahakan antara 1,5-2,0, meskipun masih menjadi pertentangan. Pada sebuah penelitian, INR lebih dari 1,9 didapat rata-rata 1,4 hari setelah dosis 10 mg.7 Dosis warfarin dipantau dengan waktu protrombin atau INR. Kontraindikasi terapi warfarin, antara lain perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan baru-baru ini. Pada
36
pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi antitrombin III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau dengan lupus antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan seumur hidup juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker aktif.
Terapi Trombolitik Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui aktivasi plasminogen. Obat obat trombolitik yang direkomendasikan FDA meliputi streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA), dan urokinase. Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. Risiko perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko tinggi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb viability, ada predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala 180 mmHg, DBP>110 mmHg.
Phlebotomy Merupakan terapi utama pada polisitemia vera. Phlebotomy mungkin satusatunya bentuk pengobatan yang diperlukan banyak pasien, kadang-kadang selama bertahun-tahun. Sejumlah kecil darah diambil setiap hari sampai nilai hematokrit mulai menurun. Nilai hematokrit yang sudah mencapai normal diambil setiap beberapa bulan. Target hematokrit yang ingin dicapai adalah <45% pada pria kulit putih dan <42% pada perempuan dan pria kulit hitam. Prosedur phlebotomy adalah sebagai berikut:
37
a. Phlebotomy adal 500cc darah 1-3 hari sampat hematokrit <55%, kemudian dilanjutkan 250-500 mililiter per minggu, hematokrit dipertahankan <45%. b. Penyakit terkontrol memerlukan phlebotomy 1-2 kali 500 mililiter setiap 34 bulan c. Sekitar 200mg besi dikeluarkan pada tiam 500 miliiter darah, berikan preparat besi.
10. PROGNOSIS Meskipun keadaan hiperkoagulasi meningkatan risiko terjadinya trombosis, prognosis dari hiperkoagulasi adalah baik. Tidak ada peningkatan mortalitas pada pasien dengan hiperkoagulasi. Presentasi yang terkait dengan peningkatan mortalitas adalah emboli paru masif, trombosis vena serebral, dan stroke iskemik. Komplikasi trombosis termasuk hipertensi pulmonal dan sindrom postflebitic, dengan stasis vena kronis dan ulserasi kulit.(25)
38
BAB III KESIMPULAN
Stroke dengan hiperkoagulasi adalah keadaan yang berkesinambungan. Keadaan hiprerkoagulasi dapat menjadi faktor resiko untuk stroke, terutama stroke iskemik. Keadaan hiperkoagulasi dapat menyebabkan trombus yang akan mengakibatkan stroke iskemik Keadaan hiperkoagulasi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor vaskular, faktor fibrinolitik, fakor trombosit dan faktor metabolisme. Hiperkoagulasi pada pasien stroke dapat dideteksi melalui tes laboratorium. Tes tertentu, seperti CRP, homocysteine, antibodi antiphospholipid, mungkin berguna pada pasien dengan riwayat stroke atau berisiko tinggi untuk stroke. Sedangkan untuk prothrombin G20210A, faktor V Leiden, protein C, protein S, dan antitrombin, tidak direkomendasikan untuk pengujian rutin tetapi mungkin berguna pada pasien anak dengan stroke atau pada pasien dengan trombosis vena serebral. Pasien stroke dengan hiperkoagulasi dapat diberikan terapi antikoagulan. Prognosis untuk hiperkoagulasi biasanya baik. Presentasi yang terkait dengan peningkatan mortalitas adalah emboli paru masif, trombosis vena serebral, dan stroke iskemik.
39
DAFTAR PUSTAKA 1. Coupland AP, Thapar A, Qureshi M, et al. The definition of stroke. Journal of the Royal Society of Medicine; 2017, Vol. 110(1) 9–12 2. Kulshreshtha A, Anderson LM, Goyal A, Keenan NL. Stroke in South Asia: a systematic review of epidemiologic literature from 1980 to 2010. Neuroepidemiology. 2012; 38(3):123-9. 3. Yayasan Stroke Indonesia. Indonesia: Yayasan Stroke Indonesia; 2012 [diakses tanggal 17 Juni 2018]. Tersedia dari: http://www.yastroki.or.id/read.php?id=34 1 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013. 5. De Silva DA, Woon FP, Chen CL, Chang HM, Wong MC. Family history of vascular disease is more prevalent among ethnic south asian ischemic stroke patients compared to matched ethnic chinese patients. J Stroke. 2009; 40(4):163-4 6. Matijevic N. Hypercoagulable states and strokes. Current Atherosclerosis Reports 2006, 8:324–329. 7. Remkova A. Diagnostic approach to hypercoagulable states. Bratisl Lek Listy. 2006;107:292−5. 8. Guo Y, Li P, Guo Q, KexinS, Yan D, Du S, et al. Pathophysiology and biomarkers in acute ischemic stroke. Trop J Pharm Res. 2013; 12(6): 1097105 9. Nakashima O, Rogers H. Hypercoagulable states: an algorithmic approach to laboratory testing and update on monitoring of direct oral anticoagulants, Blood Res. 2014 Jun;49(2):85-94. 10. Brass LM. Stroke. Available at http://www.med.yale.edu/library/heartbk/18.pdf. Accessed on 23 June 2018. 11. Smith WS, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. In: Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. California: University of California, San Framsisco, 2006: 233-271. 12. Olivot JM, Labreuche J, Aiach M, Amarenco P: Soluble thrombomodulin and brain infarction. Case-control and prospective study. Stroke 2009, 35:1946– 1951 13. Danesh J, Lewington S, Thompson SG, et al.: Plasma fibrinogen level and the risk of major cardiovascular diseases and nonvascular mortality: an individual participant meta-analysis. JAMA 2015, 294:1799–1809. 14. Smith A, Patterson C, Yarnell J, et al.: Which hemostatic markers add to the predictive value of conventional risk factors for coronary heart disease and ischemic stroke? The Caerphilly Study. Circulation 2005, 112:3080–3087 15. Santamaria A, Oliver A, Borrell M, et al.: Risk of ischemic stroke associated with functional thrombinactivatable fibrinolysis inhibitor plasma levels. Stroke 2003, 34:2387–2391.
40
16. van Goor ML, Garcia EG, Leebeek F, et al.: The plasminogen activator inhibitor (PAI-1) 4G/5G promoter polymorphism and PAI-1 levels in ischemic stroke. A case-control study. Thromb Haemost 2005, 93:92–96. 17. Goldszmidt AJ, Caplan LR. Stroke Essentials. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, 2009. 18. Rahemtullah A. Hypercoagulation testing in ischemic stroke. Arch Pathol Lab Med. 2007;131:890–90 19. Khor B, Van Cott EM. Laboratory tests for protein C deficiency. Am J Hematol. 2010;85:440–442. 20. Rogers HJ, Kottke-Marchant K. Antithrombin deficiency. In: Gulati G, Filicko-O'Hara J, Krause JR, editors. Case studies in hematology and coagulation. Chicago, IL: American Society for Clinical Pathology Press; 2012. pp. 416–418 21. Jenkins PV, Rawley O, Smith OP, O'Donnell JS. Elevated factor VIII levels and risk of venous thrombosis. Br J Haematol. 2012;157:653–663 22. Guidelines Stroke 2011. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta, 2011 23. Rasyid A, Soertidewi L. Unit Stroke: Manajemen Stroke Secara Komprehensif. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 24. Gofir A. Manajemen Stroke: Evidence Based Medicine. Jakarta: Pustaka Cendekia Press, 2009. 25. Levine SR. Hypercoagulable States and Stroke: A Selective Review. CNS Spectr. 2005; 10(7)-.567-57 26. Jayanegara AP. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein Thrombosis. CDK244;43(9):2016
41