BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Steven Johnson sindrom merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. SJS merupakan kompleks imun yang memediasi proses hipersentitifitas , bisa dikatakan SJS merupakan menifestasi parah dari eritema multiforme. Banyak penelitian meempertimbangakan bahwa steven Johnson sindrom dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama hanya berbeda manifestasi. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Barubaru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula). Penyakit ini berjalan tanpa dapat diprediksi. Mula-mula timbul dermatosis yang tampak tidak berbahaya namun dapat menjadi progresif dalam watu singkat, dan setelah terjadi pelepasan kulit (skin detachment) yang luas maka tidak dapat diprediksi kapan penyakit akan sembuh. Beberapa penelitian telah meneliti tentang gejala klinis dari SJS dan TEN
1
dan telah membentuk suatu kriteria diagnosis. Risiko kematian juga dapat diprediksi secara akurat dengan menggunakan tingkat keparahan penyakit yang dapat digunakan sebagai prediksi prognosis dari TEN (SCORTEN) Banyak penelitian mempertimbangkan bahwa SJS dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah sebuah penyakit yang sama. Baik SJS maupun TEN ditandai dengan kelainan pada kulit dan mukosa. Makula eritem merupakan lesi yang sering terdapat pada lokasi tubuh dan kaki bagian proksimal lalu berkembang secara progresif menjadi bula flaccid yang menyebabkan pelepasan epidermal. Dikarenakan kesamaan antara gejala klinis, penemuan histopatologis, penyebab, serta mekanismenya, kedua kondisi ini hanya dapat bisa dibedakan dengan total body surface area. Dikatakan SJS apabila total body surface area yang terkena <10%, apabila total body surface area yang terkena 10-30% disebut SJS-TEN overlap, dan dikatakan TEN apabila total body surface area yang terkena >30%. Keduanya juga dikenal dengan istilah epidermal necrolysi bentuk penyakit yang cenderung berat dan dapat menyebabkan kematian memerlukan penatalaksanan yang cepat dan tepat sehingga jiwa pasien dapat segera tertolong.
1.2 Tujuan Mengetahui definisi dan patofisiologi SJS/TEN. Mengetahui manifestasi klinis dan cara pemeriksaan SJS/TEN Mengetahui penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi SJS/TEN.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Manifestasi disebabkan karena adanya kematian sel-sel keratinosit yang luas yang mengakibatkan pemisahan yang luas pada dermal-epidermal junction memberikan gambaran kulit yang melepuh (bula) . 2.2 Epidemiologi Insiden SJS dan TEN jarang dijumpai. Keseluruhan insidensi SJS dan TEN diperkirakan 2 sampai 7 kasus per 1 juta orang per tahun. Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) dapat terjadi pada semua usia tapi penyakit infeksius juga dapat berdampak pada insidensi terjadinya TEN, yaitu pada pasien HIV dapat meningkat 100 kali lipat dibandingkan populasi umum, dengan jumlah hampir 1 kasus/seratus orang/tahun pada populasi HIV positif. Perbedaan regional pada peresepan obat, latar belakang genetik dari pasien (HLA, enzim metabolism), koeksistensi kanker, atau bersama dengan radioterapi dapat berdampak pada insidensi SJS dan TEN. Mortalitas penyakit tersebut 10% untuk SJS, 30% untuk SJS / TEN, dan lebih dari 30% untuk TEN. Dalam analisa kelangsungan hidup SJS / TEN
3
dengan angka mortalitas secara keseluruhan adalah 23% pada enam minggu, 28% pada tiga bulan dan 34% pada satu tahun. Bertambahnya usia, komorbiditas yang signifikan, yang luasnya permukaan tubuh yang terlibat berkaitan dengan prognosis yang buruk. Di Amerika Serikat, evaluasi dari kematian menunjukkan resiko tujuh kali lebih tinggi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih (Bolognia J, 2012). 2.3 Etiologi Etiologi SJS dan TEN adalah sama, yaitu dapat terjadi akibat reaksi graft versus host, infeksi (virus, jamur, bakteri, dan parasit), dan dapat pula disebabkan oleh reaksi terhadap suatu obat yang berjumlah hampir 95%. Hubungan antara intake obat dan onset penyakit ini merupakan faktor yang sangat penting. Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) umumnya dimulai kurang dari 8 minggu . Obat yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalah
4
Tabel 2.1 Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan SJS dan TEN
Menunjuk satu agen penyebab spesifik sulit dilakukan, karena tidak ada uji laboratorium definitif untuk mengonfirmasi peran dari agen penyebab yang dicurigai tersebut. Pada anak, penyakit ini dapat lebih jelas berkaitan dengan obat karena sedikitnya obat yang digunakan pada kelompok umur tersebut. Ketika dicurigai diagnosis SJS/TEN, riwayat konsumsi obat secara mendetail dalam 8 minggu sebelum onset harus didapatkan, walaupun waktu yang paling penting adalah dalam 1-2 minggu sebelum onset erupsi (Harr Thomas, 2010).
5
2.4 Patofisiologi Hingga kini urutan pasti dari proses molekuler dan seluler yang terjadi dalam SJS/TEN baru dipahami sebagian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SJS/TEN terkait dengan ketidakmampuan tubuh dalam detoksifikasi metabolit obat reaktif. Prosesnya diawali dengan adanya respon imun terhadap kompleks antigenik yang dibentuk dari reaksi metabolit tersebut dengan jaringan tubuh tertentu. Patogenesis utama diduga akibat adanya proses hipersensitivitas tipe II (sitotoksik). Suseptibilitas genetic juga memainkan peran, dibuktikan dengan identifikasi dari alel HLA spesifik terkait obat (specific-drug related HLA) sebagai gen suseptibilitas mayor untuk perkembangan SJS dan TEN. Sel
T
sitotoksik
mengekspresikan
skin-homing
receptor,
cutaneous
lymphocyte-associated antigen (CLA) dapat ditemukan pada lesi kutaneus awal. Sel-sel ini kemungkinan adalah suatu T sitotoksik terkait obat (drug-spesiic cytotoxic T cells). Sitokin-sitokin penting seperti IL-6, TNF-α, interferon γ, IL-18 dan Fas ligand (FasL) juga terdapat pada epidermis yang mengalami kelainan dan/atau cairan bula dari pasien dengan TEN, dan kerja dari sitokin-sitokin ini dapat menjelaskan sebagian dari gejala TEN dan ketidaksesuaian antara luas kerusakan pada epidermis dengan infiltrat inflamasi yang minimal. Selain itu, interval tipikal antara onset dari terapi obat dengan timbulnya SJS/TEN adalah 13 minggu, mengindikasikan adanya periode sensitasi dan menunjang peran imunitas dalam patogenesisnya. Periode ini memendek secara signifikan pada pasien yang terpapar kembali oleh obat yang sebelumnya mengakibatkan SJS/TEN.
6
Penelitian menunjukkan bahwa kerusakan jaringan yang dideskripsikan sebagai nekrolisis epidermal adalah akibat kematian sel-sel keratinosit yang luas melalui proses apoptosis. Apoptosis dari keratinosit merupakan suatu ciri khas pada stadium awal SJS dan TEN, dan merupakan tanda morfologik awal yang jelas dari kerusakan jaringan spesifik. Gambaran histologik klasik berupa “nekrolisis” epidermal yang luas sesungguhnya merupakan gambaran akhir dari apoptosis keratinosit. Keadaan apoptotik dari sel bersifat sementara, dan akan diikuti dengan keadaan nekrosis bila sel-sel apoptotic tersebut tidak segera difagositosis. Pada SJS dan TEN, dalam kurun waktu singkat (hitungan jam), apoptosis keratinosit tertimbun sangat banyak pada kulit yang terkena dan melebihi kapasitas fagositosisnya.
Dalam hitungan jam sampai hari, keratinosit yang apoptosis
tersebut menjadi nekrosis dan kehilangan kemampuan kohesinya pada kehilangan viabilitasnya, mengakibatkan gambaran histologik khas berupa full thickness epidermal necrolysis. Fas ligand (FasL), salah satu sitokin TNF, memiliki kemampuan menginduksi apoptosis dengan berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik yaitu Fas (CD95, Apo-1) death receptor. Death receptors secara fisiologis memiliki fungsi sebagai sensor di permukaan sel yang mendeteksi adanya sinyal kematian sel spesifik dan secara cepat mengaktifkan dekstruksi sel melalui apoptosis. Pada pasien dengan TEN, apoptosis keratinosit yang luas dikaitkan dengan peningkatan signifikan ekspresi FasL dari keratinosit dengan ekspresi Fas receptor yang tetap.
7
Penelitian oleh Chung, et al, menunjukkan bahwa molekul sitotoksik lainnya turut berperan dalam apoptosis keratinosit pada SJS maupun TEN. Konsentrasi tinggi dari granulysin, protein sitolitik yang diproduksi oleh limfosit T sitotoksik (CTLs), natural killer cell (NK), dan natural killer T cell (NKT) ditemukan pada cairan bula yang didapat dari pasien SJS/TEN. Injeksi dari granulysin rekombinan ke dalam kulit tikus mmengakibatkan terjadinya nekrolisis epidermal dan infiltrat sel inflamasi. Model patogenesis dari SJS/TEN kini dideskripsikan sebagai berikut: setelah pajanan dari obat-obatan tertentu, seseorang dengan faktor predisposisi tertentu akan membentuk reaksi imun spesifik terhadap obat atau metabolitnya. Dengan mekanisme yang masih belum sepenuhnya diketahui, reaksi ini mengakibatkan molekul FasL diekspresikan dalam jumlah besar pada keratinosit disertai sekresi granulysin dari CTLs, NK dn NKT. Proses ini berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal (Bolognia J, 2012). 2.5 Gejala Klinis Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) biasanya dimulai dalam 8 hari stelah pemberian obat (biasanya setelah 4-30 hari). Hanya beberapa kasus yang memberikan reaksi yang cepat dalam beberapa jam. Biasanya terpapar oleh obat yang sama. Spektrum efek samping kutaneus berat yang dapat menunjukkan varian proses penyakit yang sama termasuk SJS dan TEN. Eritema multiforme (EM), EM mayor,
8
dan EM mayor atipikal adalah reaksi kutaneus yang biasanya tampak setelah infeksi daripada setelah pengobatan. Kasus-kasus berat EM mayor dan EM mayor atipikal dapat dibingungkan dengan SJS. Kebanyakan peneliti mempercayai bahwa SJS dan TEN berada dalam satu spektrum keparahan dan berbeda dengan penyakitpenyakit EM. Diferensiasi antara SJS dan TEN tergantung pada riwayat lesi kulit dan luasnya area permukaan tubuh yang terlibat. Secara klinis setiap pola reaksi tersebut ditandai dengan adanya trias erosi membran mukosa, lesi target, dan nekrosis epidermal dengan pengelupasan kulit (Adhi D,2013). Gejala Prodromal Gejala non spesifik (prodromal) seperti demam, dengan temperature melebihi 39°C ( 102,2°F) sakit kepala, rhinitis, mialgia dapat terjadi 1-3 hari sebelum timbul kelainan pada kulit. Timbul rasa nyeri menelan, konjungtiva terasa gatal dan panas disertai silau bila terkena cahaya. Hal ini menandakan gejala awal keterlibatan mukosa. Sepertiga pasien dimulai dengan adanya gejala non spesifik, sepertiganya dengan gejala terlibatnya mukosa dan sepertiga lainnya dengan keluhan eksantema. Fase prodromal atauu demam, batuk, dan malaise dapat mendahului perkembangan lesi kulit selama 2 minggu (Valeyrie Allanore L, 2008). Lesi Pada Kulit Lesi kulit yang nyeri sering pertama kali tampak ada badan dan kemudian menyebar cepat ke muka, leher, dan ekstremitas dengan keterlibatan maksimal setelah 4 hari. Erupsi biasanya simetris, terdistribusi pada wajah,
9
tubuh bagian atas dan proksimal ekstremitas, namun bisa sampai seluruh badan. Lesi kulit awal dikarakteristikkan dengan makula eritematosa, merah kehitaman bentuk ireguler yang bersatu secara progresif. Lesi target atipikal dengan warna gelap di tengah sering terlihat. Lesi nekrotik yang berkonfluensi menimbulkan eritema yang meluas dan difus. Epidermis nekrotik mudah terlepas karena trauma gesekan, meninggalkan daerah yang merah dan erosi. Bula SJS/TEN kendur dan dapat dijumpai Nikolsky’s sign. Bila terkena sentuhan lesi ini terasa sakit (Valeyrie Allanore L, 2008).
Gambar 2.1 Lesi awal dari SJS dan TEN
10
Gambar 2.2 Lesi berupa bula pada pasien dengan TEN
Pasien dapat diklasifikasikan berdasarkan total permukaan tubuh yang terkena, yaitu SJS apabila total permukaan tubuh yang terkena adalah < 10%. TEN apabila total permukaan tubuh yang terkena >30% dan SJS/TEN overlapping dengan TEN bila mengenai total permukaan tubuh yang terkena adalah antara 10-30%
11
Gambar 2.3 Spektrum penyakit berdasarkan luas permukan tubuh yang terkena
Lesi Pada Mukosa Keterlibatan membran mukosa (hampir selalu sedikitnya 2 tempat) diamati pada 90% kasus dan mendahului atau diikuti erupsi pada kulit. Dimulai dengan eritema yang diikuti oleh erosi mukosa bukal, mata, dan genital yang terasa nyeri. Biasanya diikuti dengan gangguan pencernaan, fotofobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat BAK. Kavitas oral dan batas bibir lebih banyak terkena dan gambaran erosi hemoragik yang nyeri tertutup grayish white
12
pseudomembrane dan krusta pada bibir. Stomatitis dan mucositis menyebabkan gangguan asupan oral sehingga mengakibatkan malnutrisi dan dehidrasi Pada 85% pasien terdapat lesi konjungtiva, umumnya bermanifestasi hyperemia, erosi, edema pada konjungtiva, fotofobia dan lakrimasi. Dapat memungkinkan terjadi shedding of eyelashes. Bentuk yang berat dapat menyebabkan ulserasi kornea, uveitis anterior, pan opthalmitis dan konjungtivitis purulen. Sinekia antara eyelid dan konjungtiva sering terjadi. Keterlibatan membran mukosa dapat mengakibatkan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang yang disebabkan oleh fibrosis dan striktur. Dalam sebuah analisis retrospektif, 60% pasien SJS/TEN mengalami manifestasi okular selama stadium akut dari sindroma. Keterlibatan kornea dapat mengakibatkan ulserasi kornea, perforasi, dan perubahan kornea sklerotik yang permanen. Urogenital sering terlibat pada penderita SJS/NET terutama wanita. Uretritis terjadi sekitar 2/3 pasien , hal ini dapat menyebabkan retensi urin serta erosi genital. Keterlibatan ini ditandai dengan ulseratif vaginitis, bula vulva dan sinekia vagina. Dalam jangka panjang dapat terjadi adhesi vagina dan stenosis, terhambat aliran kemih serta retensi urin, cystitis berulang, hematocolpos. Adenosis vulvovaginal terkait adanya metaplasti serviks atau kelenjar epitel endometrium pernah dilaporkan pada penderita SJS/TEN (Valeyrie Allanore L, 2008).
13
Gejala Ekstra Kutan Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) dapat melibatkan organ visceral terutama komplikasi pada paru-paru dan gastrointestinal. Komplikasi pada paru dijumpai 25% kasus yang ditandai dengan sesak nafas, hipersekresi bronkus, hipoksia, hemaptoe dan edema paru. Keterlibatan bronkus pada SJS/TEN tidak berhubungan dengan beratnya lesi pada kulit. Pada beberapa kasus yang dilaporkan, apabila terjadi gagal nafas akut segera setelah munculnya kelainan kulit, maka prognosisnya lebih jelek. Kelainan pada gastro dari SJS intestinal jarang ditemukan. Kelainan gastrointestinal biasanya berupa nekrosis epithelial esofagus, diare, perdarahan gastrointestinal, melena, dan perforasi kolon. Kelainan pada ginjal biasanya berupa proteinuria, mikroalbuminuria, hematuria dan azotemia. Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis. pernafasan yang terkait dengan keterlibatan spesifik bronkus serta sedikit pengaruh asidosis metabolik. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada SJS/NET adalah gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia, hipoproteinemia, insufisiensi ginjal, azotemia Dapat pula ditemukan adanya akut tubular nekrosis, glomerulonefritis (Valeyrie Allanore L, 2008).
14
2.6 Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium (Siregar, 2004) :
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain pemeriksaan biopsi.
Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
Pemeriksaan elektrolit.
Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.
Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan.
1. Imaging studies :
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
2. Pemeriksaan histopatologi dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.
15
2.7 Diagnosa Banding Diagnosis banding dari SJS dan TEN yaitu EM, SSSS, AGEP dan generalized fixed drug eruption. Pemfigus paraneoplastik, drug-induced linear IgA bullous dermatosis (LABD), penyakit Kawasaki, lupus eritematosus, dan eritema toksik akibat kemoterapi juga dapat dipikirkan sebagai diagnosis banding tergantung dari keadaan klinisnya. Untuk menegakkan diagnosis EM harus ada typical target lesion, sedangkan SJS dipertimbangkan sebagai diagnosis bila lesi targetnya atipikal. Pada beberapa pasien lesi macular dapat mempunyai bagian tengah agak kehitaman hingga memiliki gambaran target-like appearance. Lesi ini harus dibedakan dengan typical target lesion yang mempunyai tiga lingkaran konsentris yang khas dan dengan atypical target lesion yang papular pada EM .( Barnhill, 2001). SSSS biasanya terjadi pada anak-anak dan neonates, namun dapat pula terjadi pada dewasa yang menderita gagal ginjal dan pasien immunocompromised. SSSS diakibatkan oleh adanya eksotoksin stafilokokal. Area eritem terasa nyeri dan tersebar luas, namun tidak terdapat pada membrane mukosa, telapak tangan dan kaki. Nikolsky sign dapat (+) seperti pada TEN, tapi dihasilkan oleh pemisahan subkorneal superficial bukan pemisahan dermal-epidermal seperti pada TEN. Lesi berupa bula yang mudah pecah, diikuti pengelupasan. Pengelupasan (eksfoliasi) yang terjadi lebih superfisial, meninggalkan lapisan epidermis yang masih intak
16
dan bukan jaringan dermis yang basah dan berwarna merah terang seperti pada TEN. Pada SSSS sering didapatkan adanya nasal discharge yang purulen. AGEP, yang juga merupakan efek samping akibat obat, tampak sebagai area eritema yang luas dengan pustul kecil multipel di atasnya. Adanya neutrofilia dan eosinofilia, ditambah dengan pustule akan membedakan dengan diagnosis TEN. Nikolsky sign dapat positif sehingga tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis. Keterlibatan membran mukosa terjadi pada 20% kasus. Histologi adalah salah satu pemeriksaan yang berguna, dimana pada AGEP ditemukan infiltrat neutrofil yang padat dengan pustul intraepidermal dan subkorneal, namun tidak ada full thickness epidermal necrosis. Lesi mukokutaneus multipel dari fixed drug eruption dapat menyerupai SJS naik secara klinis maupun histologis, untuk itu perlu ditentukan jumlah lesi yang timbul pertama kali (Bolognia, 2012). 2.8 Penatalaksaan Penatalaksanaan Umum Adapun prinsip – prinsip utama perawatan suportif adalah sama seperti pada luka bakar . Selain menghentikan pemberian obat penyebab, dilakukan perawatan luka, manajemen cairan dan elektrolit, dukungan nutrisi, perawatan mata, manajemen suhu, kontrol nyeri dan pemantauan pengobatan infeksi.
Penghentian Obat Penyebab Diagnosis dini dengan pengenalan dini dan penghentian segera dari segala obat-obatan yang diduga menjadi penyebab sangat menentukan hasil akhir. Morbiditas dan mortalitas meningkat jika obat-obatan yang menjadi
17
penyebab terlambat dihentikan. Ignacio Garcia dkk melakukan penelitian untuk menentukan apakah waktu penghentian obat berhubungan dengan prognosis pasien SJS atau TEN. Hasil penelitian menunujukkan bahwa angka kematian lebih rendah apabila obat penyebab dengan waktu paruh eliminasi yang pendek dihentikan tidak lebih dari 1 hari ketika bula atau erosi muncul. Pasien yang mengkonsumsi obat penyebab dengan waktu paruh yang panjang, memiliki resiko kematian yang lebih tinggi (Adhi, 2013).
Menjaga Keseimbangan Cairan, Termoregulasi dan Nutrisi Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) dihubungkan dengan hilangnya cairan yang signifikan dikarenakan erosi, yang menyebabkan hipovolemia dan ketidakseimbangan elektrolit. Penggantian ulang cairan harus dimulai secepat mungkin dan disesuaikan setiap harinya. Jumlah infus biasanya kurang dari luka bakar pada tingkat keparahan yang sama, karena interstisial edema tidak dijumpai. Aliran vena perifer lebih disukai jika dimungkinkan, karena bagian tempat masuk aliran sentral sering melibatkan pelepasan epidermis dan mudah terinfeksi. Hal lain yang perlu dijaga adalah temperatur lingkungan, sebaiknya dinaikkan hingga 28 ̊C hingga 30 ̊C - 32°C untuk mencegah pengeluaran kalori yang berlebihan karena kehilangan epidermis. Penggunaan pelembab udara saat tidur meningkatan rasa nyaman pasien.3,15 Pasien SJS dan TEN mengalami status katabolik yang tinggi sehingga
18
memerlukan tambahan nutrisi. Kebutuhan energi dan protein berhubungan dengan luas area tubuh yang terlibat. Terapi enteral lebih diutamakan daripada parenteral karena dapat ditoleransi dengan lebih baik dan dapat memberikan pemasukan kalori lebih banyak. Sedangkan terapi parenteral membutuhkan akses vena sentral dan meningkatkan resiko sepsis. Dapat juga digunakan nasogastric tube apabila terdapat lesi mukosa mulut. (Adhi, 2013).
Antibiotik Antibiotik profilaksis bukan merupakan indikasi, malah mungkin dapat menyebabkan resistensi organisme dan meningkatnya mortalitas. Pasien diberikan antibiotik apabila terdapat tanda-tanda klinis infeksi. Tanda-tanda tersebut antara lain perubahan status mental, mengigil, hipoterimia, menurunnya pengeluaran urin dan penurunan kondisi klinis. Selain itu juga terdapat peningkatan bakteri pada kultur kulit. Kultur rutin dari kulit, darah, urin, dan kanula intravascular sangat disarankan. Penyebab utama dari sepsis pada pasien SJS/TEN adalah Staphylococus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Spesies Staphylococus yang dikultur dari darah biasanya sama dengan yang dikultur dari kulit.
Perawatan Luka Pembersihan luka (debridement) nekrosis epidermis yang ekstensif dan agresif tidak direkomendasikan pada kasus NE karena nekrosis permukaan bukanlah halangan untuk reepitelisasi, dan justru dapat mempercepat
19
proliferasi sel-sel stem berkenaan dengan sitokin peradangan. Pengobatan topikal diberikan untuk mengurangi kehilangan cairan, elektrolit, dan mencegah terjadinya infeksi. Debridement dilakukan dengan pemberian analgetik dengan derivat morfin sebelumnya. Kulit dibersihkan dengan antiseptic yang ringan dan solusio antibiotik seperti sabun povidone iodine, chlorhexidine, silver nitrate untuk mengurangi pertumbuhan bakteri (Adhi, 2013)..
Perawatan Mata dan Mulut Komplikasi oftalmik adalah satu dari permasalahan tersering terhadap SJS/TEN. Sekitar 80% pasien yang dihospitalisasi mengalami komplikasi ocular akut yang sama pada SJS maupun TEN dengan keterlibatan berat sebesar 25%. Gejala sisa kronis terjadi pada sekitar 35% pasien, biasanya disebabkan oleh skar konjungtiva. Permasalahan residual pada mata yang paling sering dilaporkan adalah fotosensitivitas kronis dan mata kering. Namun pada beberapa pasien penyakit ocular kronis bermanifestasi sebagai kegagalan permukaan mata, inflamasi episodik rekuren, skleritis, atau sikatriks konjungtiva progresif yang menyerupai pemfigoid membran mukosa. Perawatan mata meliputi pembersihan kelopak mata dan memberi pelumas setiap hari dengan obat tetes atau salep mata. Mulut harus dibersihkan beberapa kali dalam sehari untuk menjaga kebersihan rongga mulut, berulang-ulang kumur-kumur dengan antiseptik dan mengoleskan topikal anestesi seperti xylocaine, lignocaine sebelum
20
makan sehingga dapat mengurangi sakit waktu menelan. Tindakan ini hanya
direkomendasikan
bila
penderita
tidak
mengalami
pharyngealdysphagia. Hindari makanan yang terlalu panas atau dingin, makanan yang asam dan kasar. Sebaiknya makanan yang halus dan basah sehingga tidak mengiritasi lesi pada mulut. Kadang-kadang diberikan obat anti fungal seperti mikostatin, obat kumur-kumur soda bikarbonat, hydrogen peroksida dengan konsentrasi ringan. Pemberian topikal pada bibir seperti vaselin, lanolin (Adhi, 2013).. Penatalaksanaan Spesifik
Kortikosteroid Sistemik Pemakaian kortikosteroid sistemik masih kontroversial. Beberapa studi menemukan bahwa pemberian kortikosteroid dapat mencegah perluasan penyakit bila diberikan pada fase awal. Studi lain menyebutkan bahwa steroid tidak menghentikan perkembangan penyakit dan bahkan dihubungkan dengan kenaikan mortalitas dan efek samping, khususnya sepsis. Selanjutnya, banyak kasus telah dilaporkan yang telah diobati dengan kortikosteroid, akan meningkatkan resiko SJS/TEN. Jadi, kortikosteroid sistemik tidak dapat direkomendasikan sebagai pedoman utama pengobatan SJS/TEN. Kortikosteroid dapat diberikan dalam 72 jam pertama setelah onset untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, dapat diberikan selama 3-5
21
hari diikuti penurunan secara bertahap (tapering off). Dosis yang dapat diberikan adalah 30-40 mg sehari. Dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Tapering off hendaknya cepat dilakukan karena pada umumnya penyebab SJS/TEN adalah eksogen (alergi). Pada SJS/TEN, kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi, imunosupresif dan anti apoptosis. Kortikosteroid juga mempunyai efek anti-apoptosis pada banyak jaringan termasuk kulit dengan menghambat aktivitas Fas-FasL (Adhi, 2013)..
Siklosporin A Siklosporin merupakan suatu agen imunosupresif yang penuh kekuatan dihubungkan dengan efek biologik yang secara teoritis berguna dalam pengobatan SJS/TEN. Dalam sebuah serial kasus retrospektif, 11 pasien TEN diterapi dengan siklosporin A (3 mg/kg/hari), terapi siklosporin A menyebabkan reepitelisasi yang cepat dan angka mortalitas yang rendah bila dibandingkan dengan siklofosfamid dan kortikosteroid (0% vs 50%). Berbagai laporan kasus individual yang menggunakan dosis 3 hingga 5 mg/kg/hari secara intravena atau oral juga telah dipublikasikan memperlambat perkembangan SJS/NET tanpa toksisitas yang signifikan. Durasi pengobatan bervariasi mulai dari 8 hingga 24 hari, biasanya hingga pasien mengalami reepitelisasi. Efek samping termasuk peningkatan ringan dari serum kreatinin, hipertensi dan infeksi. Siklofosfamid sebagai bahan tunggal telah digunakan meskipun saat ini tidak digunakan di kebanyakan
22
sentra (Adhi, 2013). 2.9 Komplikasi Penyembuhan dari area dengan skin detachment melalui proses reepitelisasi umumnya terjadi dalam beberapa hari dan selesai dalam 3 minggu pada sebagian besar kasus. Proses ini dihasilkan dari proliferasi dan migrasi dari keratinosit dari area “reservoir” seperti jaringan epidermis yang masih sehat di sekeliling lesi dan folikel rambut. Sehubungan dengan kemampuan untuk reepitelisasi, skin graft tidak diperlukan pada SJS dan TEN. Namun sayangnya penyembuhan dapat berlangsung tidak sempurna, dan pasien yang selamat dapat terjadi sekuele berupa simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus. Pada TEN kelainan pada mata bervariasi mulai dari sindrom sicca hingga kebutaan terjadi pada 35% pasien yang selamat. (James, 2006)
Gambar 2.4 Sekuele pasca TEN
23
Kompllikasi sistemik yang sering terjadi di Indonesia yaitu bronkopneumonia (16% kasus), lainnya dapat berupa hipovolemia, ketidak seimbangan elektrolit, insufisiensi renal, dan sepsis . (Bolognia, 2012) 2.10
Prognosis
Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Selain itu, jumlah obat, peningkatan serum urea, kreatinin dan glukosa, neutropenia, limfopenia dan trombositopenia secara statistic berhubungan dengan prognosis buruk. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis. Penghentian obat penyebab dengan segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit.
24
Angka kematian terjadi pada 1 dari 3 pasien dengan TEN dan paling sering disebabkan oleh infeksi (S. aureus dan Pseudomonas aeruginosa). Kehilangan cairan transepidermal yang berat dikaitkan dengan ketidakseimbangan elektrolit, inhibisi dari sekresi insulin, dan resistensi insulin juga dapat menjadi faktor yang memperberat. Penatalaksanaan dari semua komplikasi dari TEN ini (dapat pula terjadi pada SJS) paling baik dilakukan dalam intensive care unit. Komplikasi tersebut di atas data berujung pada adult respiratory distress syndrome dan multiple organ failure meskipun dengan terapi suportif yang adekuat (Bolognia, 2012).
25
BAB III KESIMPULAN Steven Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolisis (TEN) adalah penyakit mukokutaneus yang jarang, bersifat akut dan mengancam nyawa dengan karakteristik berupa nekrosis dan pelepasan dari lapisan epidermis yang luas yang hampir selalu berhubungan dengan konsumsi obat. Lebih dari 100 jenis obat yang telah diidentifikasi berhubungan dengan SJS/TEN. Patogenesis dari SJS/TEN belum sepenuhnya diketahui, diduga akibat adanya hipersensitivitas tipe II yang berujung pada FasL- dan granulysin-mediated apoptosis dari keratinosit diikuti nekrosis epidermal. Pada SJS terlihat trias kelainan berupa kelainan pada kulit, kelainan pada mukosa orifisium (mulut, genital, hidung dan anus), dan kelainan mata. Lesi awal berupa macula eritematous atau purpura dengan Nikolsky sign (+) yang diikuti terbentuknya bula. Bula yang terjadi memiliki ciri khas: mudah pecah, dapat meluas ke lateral dengan penekanan ringan oleh ibu jari seiring dengan meluasnya pelepasan epidermis (Asboe-Hansen sign). Penatalaksanaan optimal dari SJS dan TEN memerlukan diagnosis secara dini, penghentian dengan segera obat-obatan pencetusnya, perawatan suportif dan terapi spesifik. Komplikasi yang dapat terjadi berupa sekuele antara lain simblefaron, sinekia konjungtiva, entropion, scarring, pigmentasi irregular, erosi persisten dari membrane mukosa, phimosis, sinekia vaginal, distrofi kuku, dan kerontokan rambut difus.
26
Pada TEN ada beberapa faktor yang yang dihubungkan dengan prognosis buruk, termasuk di dalamnya usia tua dan luas lesi. Penghentian obat penyebab yang terlambat juga berhubungan menurunnya prognosis.
Penghentian obat penyebab
dengan segera dapat menurunkan risiko kematian sebesar 30%. Skor derajat berat penyakit untuk TEN telah dibuat (SCORTEN) dimana ada tujuh parameter signifikan dalam menentukan prognosis dari penyakit.
27
DAFTAR PUSTAKA 1. Adhi D, Mochtar H. Sindrom Stevens-Johnson. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Edisi Keenam, 2013. Editor: Adhi Juanda, dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 163-165. 2. Barnhill R, Crowson A. Textbook of Dermatopathology. Edisi Kedua. 2001. McGraw-Hill. Halaman 178-179 3. Bolognia J, Jorizzo J, Schaffer J. Textbook of Dermatology. Edisi Ketiga. 2012. Elsevier. Halaman 324-332 4. Harr Thomas, French LE. Toxic epidermal necrolysis and stevens Johnson syndrome. Dalam: Orphanet Journal of rare disease 2010:1-11 5. James W, Berger T, Elston D. Andrew’s Diseases of the Skin: Clinical Dermatology. Edisi Kesepuluh. 2006. Elsevier. Halaman 129-131 6. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142. 7. Valeyrie Allanore L, Roujeau JC. Epidermal Necrolysis (Steven Johnsosns Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz
SI,
Gilchrest
BA,
Paller
AS,
Leffel
DJ,
editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw;2008;349-55
28